untuk lebih mengarahkan jalannya penulisan, maka...
TRANSCRIPT
68
BAB IV
KONSEPSI NEGARA DAN REVOLUSI MENURUT V.I LENIN
Bab IV adalah pembahasan yang diuraikan oleh penulis sesuai dengan
perumusan masalah sebagaimana terungkap dalam Bab I dan dalam Bab IV ini
penulis menggunakan Metode Historis untuk menguraikannya sebagaimana yang
telah diungkapkan dalam Bab III sebelumnya.
Untuk lebih mengarahkan jalannya penulisan, maka diajukanlah beberapa
permasalahan yaitu sebagai berikut :
1. Mengapa V.I Lenin berpikir kritis mengenai konsep negara dan revolusi?
2. Bagaimana pemikiran V.I Lenin tentang negara dan revolusi?
3. Bagaimana kontribusi pemikiran tokoh-tokoh intelektual yang
mempengaruhi pemikiran V.I Lenin tentang konsep negara dan revolusi?
4. Bagaimana dampak pemikiran V.I Lenin tentang konsep negara dan
revolusi terhadap perkembangan sejarah di Rusia?
Rusia yang akan dibicarakan dalam bab ini adalah Rusia pada tahun 1917
dimana terjadi sebuah Revolusi yang dinamakan Revolusi Bolshevik dibawah
pimpinan Vladimir Ilyich Lenin untuk menurunkan pemerintahan sementara yang
dipimpin oleh Alexander Kerensky.
Adapun penjabaran dari negara Rusia, adalah negara terbesar diantara 15
Republik Uni Sovyet (Republik Uni Sovyet ini adalah kumpulan dari negara-
negara yang berada di Eropa Timur). 15 negara tersebut adalah Rusia, Ukraina,
Belarusia, Uzbekistan, Kazakstan, Georgia, Azerbeijan, Lithuania, Moldavia,
68
69
Latvia, Kirghistan, Tajikhistan, Armenia, Turkmenistan dan Estonia. Rusia
terbentang antara sebelah utara dekat kutub utara dan sampai pada samudera
Arktika yang es-nya selalu membeku walaupun pada musim panas. Sebelah
selatan Rusia ini selalu basah oleh air yang berasal dari Laut Hitam sehingga
tumbuh pohon Salem dan jeruk. Sebelah barat Rusia berbatasan dengan Lautan
Baltik dan di sebelah Timur terbentang sampai ke Laut Bering yang memisahkan
antara Asia dan Amerika.
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka penulis
membagi bab ini menjadi beberapa sub-bab, hal ini dilakukan agar memudahkan
penulis dalam proses pembahasan dan penulisan menjadi sistematis dan lebih
terarah. Adapun sub-bab tersebut antara lain riwayat singkat Vladimir Ilyich
Lenin, latar belakang V.I Lenin berpikir kritis, pemikiran V.I Lenin tentang
negara dan revolusi, kontribusi pemikiran tokoh-tokoh intelektual yang
mempengaruhi pemikiran V.I Lenin tentang konsep negara dan revolusi, serta
dampak pemikiran V.I Lenin tentang konsep negara dan revolusi terhadap
perkembangan sejarah di Rusia.
A. Riwayat singkat Vladimir Ilyich Lenin
Bila dilihat dari latar belakangnya, tidak akan ada seorang yang pun yang
menyangka bahwa Vladimir Ilyich Ulyanov akan menjadi tokoh besar yang
menentukan nasib dari negara Uni Sovyet selanjutnya. Sebelum melanjutkan
pembahasan terhadap apa yang dipikirkan V.I Lenin tentang negara dan revolusi,
70
terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan latar belakang keluarga Lenin dan
bagaimana perjalanan hidupnya hingga mencapai Revolusi Bolshevik tahun 1917.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arif dan Prasetyo (2004:2), bahwa
Lenin adalah:
”...sosok yang cerdas yang dilahirkan dengan nama Vladimir Ilyich Ulyanov pada tanggal 10 April 1870 menurut kalender Rusia atau 22 April 1870 menurut kalender modern di Simbrisk atau yang kemudian berubah namanya menjadi Ulyanovski di wilayah Olga. Dia adalah anak ketiga dari seorang ahli bedah dan administrator sekolah yang telah mencapai derajat terhormat dalam kehidupan sosial masyarakat Rusia pada saat itu. Lenin muda tumbuh menjadi seorang pelajar yang cerdas dan teliti. Hempasan dalam hidupnya dimulai dengan meninggalnya sang ayah dan hal itu menjadikan Lenin menjadi seorang Atheis”. Dengan kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa setelah dua orang
terdekatnya itu meninggal, hal itu mengakibatkan pukulan yang berat bagi Lenin
sampai akhirnya ia dikeluarkan dari Universitas Kasan. Akan tetapi, ia dapat
melanjutkan studi hukumnya di Universitas Petersburg. Pada tahun 1892 ia mulai
bekerja sebagai pengacara. Ia mulai masuk ke dalam pelbagai kelompok Marxis
dan menulis artikel-artikel tentang masalah-masalah sosialisme. Ia menentang
anggapan kaum Narodniki (kawan-kawan rakyat) bahwa di Rusia proletariat
industri dapat diganti oleh kaum tani dalam revolusi sosialis. Karena agitasi
politiknya tersebut, maka pada tahun 1986 Lenin dihukum pembuangan ke
Siberia.
Meskipun tengah mengalami hukum pembuangan akan tetapi Lenin
diperbolehkan untuk membawa kekasihnya dengan alasan dinikahi terlebih dahulu
hingga akhirnya Lenin menikah dengan wanita yang juga berjiwa revolusioner
yaitu Nadyeshda Konstantinova Krupskaya.
71
Kemudian pada tahun 1989, didirikanlah Partai Buruh Sosial Demokrat
Rusia (PBSDR) namun tak berselang lama Lenin dihukum pembuangan lagi akan
tetapi ia dapat melarikan diri ke Eropa Barat dan menetap di Swiss. Bersama
dengan dengan Plekhanov, Martov dan Vera Sassulic, Lenin menerbitkan majalah
Marxis-revolusioner Iskra (Bunga Api) yang kemudian diselundupkan di Rusia.
Berselang dari itu, pada tahun 1902, terbitlah tulisan Lenin yang pertama kalinya
yaitu ”Berbuat Apa?” dimana ia mengeluarkan pahamnya yang baru tentang partai
perintis.
Konsepsi partai itu mendapat tentangan yang luas antara lain dari Rosa
Luxemburg. Perbedaan tentang partai mengakibatkan perpecahan Partai Sosial
Demokrat Rusia dalam kongresnya 1903 di Brussel dan London kedalam dua
kubu yaitu Kaum Bolshevik berarti mayoritas (bolshintvo) yang mendukung
konsepsi Lenin dan kaum Menshevik berarti minoritas (menshintvo) yang
dipimpin oleh Martov dan kawan-kawannya menolak apa yang dikemukakan oleh
Lenin.
Perjalanan berikutnya merupakan tahun-tahun yang kurang
menguntungkan bagi Lenin dan partainya. Revolusi 1905 di Rusia pecah secara
mendadak dan kaum sosial demokrat tidak siap. Keadaan politik dan ekonomi di
Rusia mulai membaik dan kaum Bolshevik tidak mempunyai ruang gerak dan
tempat yang luas untuk berpijak. Sementara itu, di pengasingan antara lain
Muenchen, Paris, Krakau, dan Geneva, Lenin terus berhubungan dengan partainya
di Rusia. Ia juga turut serta dalam pelbagai polemik dalam Internasionale II
72
(Asosiasi Buruh Internasional II). Lagi, menurut Suseno (2005:4) menerangkan
bahwa:
”Lenin dengan tulisan-tulisannya tersebut, ia menyerang dengan sangat populis segala pendapat di kalangan sosialis yang dianggapnya dapat memperlemah kesadaran revolusioner proletariat. Pada tahun 1908 terbitlah buku yang berjudul ’Materialisme dan Empiro-kritisisme’ yang kemudian bersama dengan buku Anti-Dühring karangan Engels akan menjadi dasar Materialisme Dialektis, filsafat alam resmi Marxisme-Leninisme”. Kemudian, situasi itu berubah karena adanya Perang Dunia I, perang itu
dengan nasionalisme menggelora di kedua belah pihak ternyata memecahbelah
kaum sosial demokrat Eropa. Sayap kiri, diantaranya Lenin, menuntut agar kaum
sosialis menentang ”perang kaum kapitalis dan imperialis” itu, tetapi mayoritas
dalam partai-partai sosialis di Jerman dan Prancis berpihak pada pemerintah
masing-masing dan ikut menyetujui pinjaman-pinjaman pemerintah masing-
masing untuk membiayai pelaksanaan perang. Sebagai akibat perpecahan itu
Internasionale II amruk. Lenin ikut dalam konferensi anti-perang kaum sosialis
kiri di Zimmerwald (1915) dan Kienthal (1916), namun resolusinya untuk
mengubah perang dijadikan perang saudara tidak dapat diterima. Lenin dan kaum
kiri radikal kelihatan sama sekali tersingkir dari kejadian-kejadian di panggung
dunia. Pada waktu yang sama Lenin masih sempat mempelajari buku Logika
Hegel.
Sementara itu, di Rusia telah terjadi perkembangan yang akan berakibat
jauh. Sesudah sederetan kekalahan di medan perang dan dengan keadaan ekonomi
semakin hancur, Tsar Nikolaus II dipaksa turun tahta pada tanggal 15 Maret 1915
atau peristiwa tersebut lebih dikenal dengan sebutan Revolusi Maret 1917.
73
Pemerintahan diambil alih oleh sebuah koalisi semua kekuatan nasional. Itulah
kesempatan yang ditunggu-tunggu Lenin. Dengan bantuan staf angkatan perang
Jerman, yang mengharapkan bahwa Lenin akan memperlemah tekad Rusia untuk
melanjutkan perang, Lenin pulang ke Rusia pada tanggal 3 April. Kemudian ia
langsung menarik partai Bolshevik dari koalisi nasional dan mengumumkan
sebuah program radikal untuk mematangkan kondisi-kondisi untuk melakukan
revolusi.
Sekali lagi Suseno menegaskan (2005:5), bahwa:
”Dengan semogan ’Roti dan Perdamaian’ ia mencari dukungan masa yang menderita. Ia menuntut agar perang melawan Jerman dan Australia-Hongaria langsung dihentikan, tanah para bangsawan diserahkan kepada kaum tani, bank-bank dinasionalisasikan, produksi industri dan pembagian hasilnya diawasi oleh para buruh sendiri, tentara, polisi dan demokrasi dihapus”. Dengan tuntutan, ”seluruh kekuasaan kepada sovyet-sovyet” (”dewan”
buruh dan prajurit yang desersi). Lenin mencoba menggerogoti legitimasi
parlemen resmi. Sebuah percobaan pemberontakan sayap kiri partai Bolshevik
pada bulan Juli 1917 gagal karena tergesa-gesa sehingga Lenin terpaksa harus
melarikan diri kembali ke Finlandia. Pemerintah yang diambil alih oleh Kerensky
dari Partai Sosial Revolusioner tidak berhasil menstabilkan keadaan.
Barulah kemudian, pada bulan Oktober 1917, Lenin kembali Petrograd
dan bersama Trotsky mempersiapkan pemberontakan bersenjata, dan terbuktilah
pada tanggal 7 Novembern 1917 (menurut penanggalan kuno Rusia masih di
Bulan Oktober) massa buruh pendukung Lenin yang dibantu oleh kelas-kelas
angkatan laut dari Kronstadt, mengambil alih kekuasaan di Petrograd. Kerensky
74
berhasil melarikan diri. Di bawah Lenin dibentuklah ”Dewan Komisaris Rakyat”
sebagai pemerintahan baru.
Namun, Lenin mengalami banyak tantangan dalam proses
kepemimpinannya, baik dari dalam partai maupun dari luar Partai Bolshevik.
Adapun hal yang harus dihadapi oleh Lenin pasca revolusi, Arif dan Prasetyo
(2005:18) menyimpulkan:
”Pertama, Lenin harus segera menghadapi keinginan kelompok sayap kanan dalam kepemimpinan Partai Bolshevik tentang perlu dimasukkannya Partai Menshevik dan Partai Sosial Revolusioner sayap kanan dalam pemerintahan koalisi. Kedua, Lenin harus dengan segera mengatasi persoalan perdamaian dengan Jerman, sebagaimana yang dijanjikannya menjelang Revolusi Oktober 1917. Hal itu terbukti dengan ditandatanganinya antara Pemerintahan Sovyet dengan Jerman dalam Perjanjian Brest-Litovsk. Ketiga, dan yang paling sulit adalah tantangan ekonomi. Selain persoalan ekonomi peninggalan dari Pemerintahan Sementara, kebijakan Komunisme Perang pada saat perang sipil juga menambah beban berat ekonomi rakyat. Melalui kebijakan itu, pemerintah mengambilalih alat-alat produksi dan sangat membatasi ruang bagi kepemilikan pribadi, dan untuk mendukung bahan pangan bagi para buruh dan tentara yang sedang perang, pemerintah menyita gandum dari para petani kecil”. Tantangan yang akan dihadapi Lenin begitu berat dan mengandung banyak
aspek, baik itu masalah internal pemerintahan Rusia sendiri, masalah
perekonomian hingga permasalahan hubungan luar negeri dengan Jerman ketika
Perang Dunia I.
Dalam menyikapi persoalan yang pertama, yaitu memasukkan Partai
Mensyevik dan Partai Sosial Revolusioner sayap kanan kedalam pemerintahan
koalisi yang dipimpin Lenin. Kemudian, dengan tegas lenin menjawabnya dengan
menberikan syarat-syarat yang tidak akan mungkin diterima oleh Menshevik dan
Partai Sosial Revolusioner yaitu agar partai-partai tersebut mau menerima bentuk
75
pemerintahan Sovyet dan bukan lagi parlementer. Namun, hanyalah Partai
Sosialis Revolusioner sayap kiri saja yang menerima syarat tersebut dan dapat
masuk kedalam pemerintahan koalisi. Seiring dengan masuknya partai lain dalam
pemerintahan koalisi tersebut, Lenin pun tak segan untuk membubarkan dewan
konstituante apabila tidak seperti yang ia harapkan. Dan untuk mencegah hal
tersebut terjadi dibentuklah Polisi Rahasia Cheka yang bertujuan untuk mengatasi
”musuh-musuh revolusi”.
Dalam permasalahan yang kedua yaitu Perjanjian Brest-Litovsk dengan
Jerman. Lenin menemui banyak reaksi yang diakibatkan perjanjian tersebut,
namun nampaknya Lenin tidak mempunyai pilihan lain agar revolusi yang ia
jalankan dapat berjalan dengan lancar. Akibat dari perjanjian ini juga, Rusia
kehilangan Finlandia, Polandia, provinsi-provinsi Baltik dan Ukraina. Hal tersebut
dianggap sangat mengecewakan, dan munculah beragai reaksi dari tiga pihak
yaitu 1) Kelompok komunis kiri yang secara fanatik menolak perjanjian dan
mengajak berperang, meski itu berarti membahayakan Pemerintahan Sovyet.
Lenin menolaknya dengan tegas dan memberikan pilihan ”menerima atau dia
mengundurkan diri dari pemerintahan”. Menurut Lenin, perdamaian adalah hasrat
yang paling dalam dari rakyat yang sudah jemu dengan perang. Dan akhirnya,
Sentral Komite Partai dapat menerima perjanjian itu. 2) Kelompok-kelompok
pengikut Tsar di Rusia dan reaksi ini didukung oleh reaksi yang ketiga 3) yaitu
dari sekutu. Pihak sekutu yang tidak menyukai perjanjian damai dan ini berarti
akan kehilangan dukungan dari Rusia dalam pertempurannya menghadapi Jerman,
dan sekutu berusaha untuk menjatuhkan pemerintahan Sovyet tersebut dengan
76
mendukung usaha-usaha pemberontakan kaum pengikut Tsar untuk kembali
berkuasa. Inggris, AS, Jepang Perancis menyerbu Sovyet dar timur (Vladivostok),
utara (Murmansk), barat (Estonia, Turki), selatan (Laut Kaspia). Para perwira
tentara anti-Bolshevik di Rusia Selatan mengerahkan tentara sukarela dibawah
pimpinan Jenderal Lavr Kornilov dan Anton Denikin dengan mendapat dukungan
dari Inggrisd an Perancis. Kekuatan anti-Bolshevik inilah yang kemudian dikenal
sebagi Rusia Putih. Namun semua serangan itu dapat dilumpuhkan oleh Tentara
Merah yang dipimpin oleh Trotsky.
Tiga tahun berikutnya menjadi tahun yang penuh dengan tantangan. Hanya
berkat dan tekad tangan besi Lenin kaum Bolshevik berhasil memantapkan
kekuasaan mereka setelah membasmi segala macam perlawanan. Dalam
pemilihan umum untuk Konstituante hanya 17 hari sesudah Revolusi Oktober
partai Bolshevik mengalami kekalahan besar dari Partai Sosial Revolusioner yang
memperoleh 58 persen dari semua suara. Tetapi Lenin tidak peduli nampaknya,
hal itu terbukti ketika hari pertama sidang lenin membubarkannya dengan bantuan
satu kompi penembak jitu dari Latvia.
Kemudian, pemerintahan baru segera memulai dan melaksanakan program
kaum Bolshevik yaitu: tanah para tuan tanah diambil alih dan diserahkan kepada
dewan-dewan tani; ditetapkan hak penentuan diri bagi semua bangsa di Rusia;
hukum khusus yang mendiskriminasikan orang yahudi yang dibatalkan dan
perang diakhiri dalam perdamaian Brest-Litowsk. Partai Bolshevik secara resmi
menggantikan namanya menjadi ”Partai Komunis Rusia” dan pemerintahan
pindah ke Moskwa. Semua rencana yang dicanangkan oleh kaum Bolshevik
77
langsung dilaksanakan dan diambil alih oleh negara. Untuk lebih efektif dalam
melawan segala bentuk perlawanan hanya beberapa hari sesudah kaum Bolshevik
merebut kekuasaan, Lenin menyuruh Felix Dsershinski seorang Polandia dan
kawan akrab untuk membangun polisi rahasia ”Tsheka”.
Namun, nampaknya perlawanan terhadap rezim komunis masih kuat. Hal
itu terukti selama tahun 1918-1921 pelbagai pasukan ”putih” dalam dan luar
negeri berusaha menjatuhkan pemerintahan komunis, namun akhirnya dipatahkan
oleh bantuan dari Tentara Merah yang dipimpin oleh Leon. D Trotsky. Situasi
”komunisme perang” ini memaksa pemerintah revolusioner untuk mengambil
tindakan keras terhadap serangan semua lawan. Untuk memaksa para petani
menyerahkan sebagian hasil panennya dikirim ekspedisi-ekspedisi hukuman ke
desa-desa. Para petani menjawab dengan menyembelih hewan ternak dan berhenti
menggarap tanah mereka. Maka, sebagai akibatnya tak ayal lagi adalah produksi
pertanian di Rusia menurun drastis. Dalam kelaparan pada tahun 1918-1922
diperkirakan ada lima juta orang mati dan pada tahun 1919 Lenin membubarkan
dewan-dewan buruh (sovyet) yang pada tahun 1917 menjadi tulang punggung
perebutan kekuasaan. Dua tahun kemudian kelasi-kelasi di Kronstandt yang empat
tahun sebelumnya memainkan peran kunci dalam Revolusi Oktober berontak
terhadap rezim komunis, tetapi atas perintah Lenin juga ditumpaslah oleh Trotsky.
Pada tahun 1921, Lenin membalikkan kebijakannya karena menyadari
bahwa Rusia berada dalam bahaya kehancuran. Ditetapkan ”kebijakan ekonomis
baru (new economic politics) dimana penyerahan hasil pertanian diganti pajak
berbentuk hasil produksi dan perdagangan bebas diizinkan kembali di pasar-pasar
78
demikian juga usaha pertukangan, perusahaan kecil dan menengah swasta. Pada
tahun 1922 diumumkan undang-undang dasar baru: dimana Rusia menjadi ”Uni
Republik Sovyet Sosialis” atau biasa disebut dengan Uni Sovyet dan hal bangsa-
bangsa republik-republik itu untuk memisahkan diri diakui secara eksplisit. Tiga
tahun sebelumnya Lenin telah mendirikan Asosiasi Internasional Sosialis III
(Komintern). Melalui komintern Moskwa dapat menggerakan dan sekaligus
mengontrol partai-partai komunis lokal di seluruh dunia yang sebaliknya selalu
mendapat dukungan dan perlindungan dari Moskwa. Mulailah ”gerakan komunis
internasional” yang akan menjadi salah satu kekuatan politik utama dalam abad
ke-20.
Kemudian, pada musim semi 1922, Lenin jatuh sakit parah. Setelah dalam
bulan April, dokter berhasil mengeluarkan sebuah peluru dari lehernya yang
didapati saat rencana pembunuhan pada bulan Agustus 1918 sehingga
mengakibatkan Lenin mengalami pendarahan otak. Pada 10 Maret 1923, serangan
stroke yang kedua membuatnya tak lagi bisa berbicara, setengah lumpuh dan
berakhirlah aktivitas politiknya.
Hingga akhirnya pada 21 Januari 1924, tibalah saat-saat terakhir dari
seorang tokoh besar. Pagi hari tanggal 21 Januari 1924 serangan stroke yang
ketiga menyerang, dan pada siang harinya dia meninggal dunia di Gorky, dekat
Moskow. Jenazahnya diawetkan dan dimakamkan di dekat Kremlin dalam suatu
Mausoleum (makam yang indah) dimana setiap rakyat Rusia dapat melihat wajah
dari ”Bapak Komunisme Rusia” itu di persemayaman yang terakhirnya.
79
B. Latar Belakang V.I Lenin berpikir kritis
Pemikiran kritis Vladimir Ilyich Lenin didasari atas banyak alasan dan
konsekuensi yang ingin diwujudkan Lenin dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Rusia. Khususnya dalam hal ini bagaimana mewujudkan Revolusi
Sosialis sehingga Negara Sosialis pun dapat terbentuk sebagaimana yang
dipikirkannya. Semangat revolusionernya bukan tumbuh begitu saja, tetapi
merupakan puncak dari rangkaian demi rangkaian peristiwa yang terjadi pada
Lenin. Pada awalnya semangat itu bukan diinspirasi oleh suatu visi tentang masa
depan yang lebih adil, akan tetapi semangat tersebut dilandasi oleh kemarahan dan
didorong oleh hasrat untuk balas dendam. Menurut Pipes (2003: 43) menyatakan
bahwa salah satu ciri utama kepribadian Lenin adalah kebencian yang didasari
atas pengalaman tragis yang terjadi selama hidupnya.
Berjalan seiring waktu akhirnya Lenin menemukan jati dirinya sebagai
pejuang revolusioner Rusia yang ingin mengubah masa depan negaranya yang
selama ini dilingkupi oleh sistem feodalis.
Semua berawal dari Revolusi rusia yang terjadi pada tahun 1905, peristiwa
tersebut mengakibatkan runtuhnya pemerintahan feodalis Tsar dan digantikan
dengan pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Pangeran George Lvov.
Pertentangan antara kedua golongan dari Partai Buruh Sosial Demokratik Rusia
yaitu Bolshevik dan Mensyevik semakin tajam setelah teradinya Revolusi 1905.
menurut Arif dan Prasetyo (2004: 11) dalam bukunya menyatakan bahwa :
”Menurut Mensyevik yang dipimpin oleh Plekhanov, revolusi 1905 itu terdiri dari dua tahap yaitu pertama, revolusi borjuis yang dipraktikkan dengan aliansi dengan kaum liberal dan kedua revolusi proletar. Namun oleh Lenin, hal tersebut ditentang keras. Lenin menolak aliansi kaum
80
proletar dengan kaum borjuis dengan alasan kaum borjuis terlalu penakut untuk melakukan revolusinya sendiri. Justru menurut Lenin, kaum proletar harus beraliansi dengan kaum petani kecil untuk mendirikan sebuah kediktatoran demokratik revoluisoner kaum proletariat dan petani kecil”.
Pertentangan tersebut menimbulkan gesekan yang semakin tajam antara
Bolshevik dan Menshevik, sehingga semakin sulit untuk disatukan oleh adanya
persamaan ideologi dan perjuangan revolusioner yang mereka usung ketika
pertama membentuk Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia.
Selain hal tersebut, munculnya pemikiran kritis Lenin juga
dilatarbelakangi oleh kondisi Rusia sebelum terjadinya Revolusi Bolshevik
Oktober 1917 sebagaimana yang diungkapkan oleh Kohn (1966:103) yaitu
sebagai berikut:
“Peperangan telah memakan biaya sebesar 1,820 juta Rubbel pada tahun 1915 dan 14,573 juta Rubbel pada tahun 1916, hampir delapan kali lipat. Pada permulaan perang, uang kertas yang beredar berjumlah 1,630 juta Rubbel. Indeks harga naik dari 100 pada permulaan perang menjadi 115 pada tanggal 1 Januari 1915, 238 pada tanggal 1 Januari 1916 dan melonjak naik 702 pada tanggal 1 Januari 1917.” Keadaan yang diungkapkan diatas adalah hal-hal yang diakibatkan oleh
adanya Perang Dunia yang melibatkan Rusia sebagai pihak sekutu bersama
dengan Inggris, Perancis, dan Serbia. Pada bulan Juli 1917, Rusia mengalami
situasi sosial dan politik yang semakin memburuk dan penuh dengan
ketidakpastian. Rakyat sebagai pihak yang paling banyak dirugikan atas dampak
perang tersebut menjadi semakin menderita. Rusia mengalami kerugian ekonomi
yang begitu besar sedangkan apa yang dihasilkan dari sumber daya alamnya tidak
dapat memenuhi semua kebutuhannya. Kekalahan Rusia di medan perang untuk
membantu sekutu di Barat pada bulan Juli 1917 nampaknya berhasil
81
menghancurkan moral tentara Rusia dan membuat Pangeran George Lvov
digantikan oleh Alexander Karensky pada tanggal 20 Juli 1917.
Pemerintahan sementara yang dipimpin Alexander Karensky tersebut
merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas golongan Menshevik.
Ketika menggantikan Lvov, pemerintahan Karensky berjanji untuk sesegera
mungkin mengadakan sidang Majelis Konstituante guna membentuk suatu
pemerintah republik yang baru: tetapi karena terbebani oleh tugas-tugas lain yang
lebih mendesak ia terus-menerus menunda pemilihannya. Selain itu juga
pemerintah menunda Reformasi Agraria. Para petani penggarap yang sudah tidak
sabar kemudian menyerang tanah-tanah pribadi sementara para tentara
meninggalkan medan peperangan karena ingin segera pulang untuk menerima
pembagian tanah yang telah dijanjikan pemerintah.
Menurut Pipes (2003:52) dalam bukunya Komunisme Sebuah Sejarah
menyatakan bahwa kelemahan dari pemerintahan sementara adalah:
”Selama kurun waktu itu, pemerintahan sementara bersikeras tetap meneruskan peperangan yang sudah semakin kehilangan pendukung di dalam negeri. Negeri tersebut, yang selam berabad-abad dipersatukan lebih oleh otoritas negara daripada oleh kohesi sosial, dan jatuh pada anarki”. Pendapat Pipes juga selaras dengan pendapat dari Arif dan Prasetyo (2004:
16) bahwa :
”Ketika terjadi kekalahan perang, pemerintahan Karensky telah kehilangan dukungan populernya. Keresahan dan keputusasaan sosial terjadi dimana-mana. Tentara sudah jemu untuk berperang, para petani kecil membutuhkan lahan garapan, dan kaum buruh kekurangan pangan. Mereka menginginkan perubahan yang menyeluruh. Akhirnya pada bulan September diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Sovyet Petrograd, dan Dewan Soviet di kota-kota besar dan kecil
82
di seluruh negeri. Dengan slogan Perdamaian, Pembagian tanah dan Bahan Pangan, Bolshevik meraih kemenangan mayoritas”. Situasi politik saat itu memiliki nilai positif bagi pergerakan yang
dilakukan oleh Lenin, dengan semboyan ”Roti, Pembagian Tanah dan
Perdamaian” ia mencari dukungan massa yang menderita dari petani yang
tanahnya diambil oleh para bangsawan dan dari tentara yang kawan dan
keluarganya meninggal di medan perang. Lenin juga menarik simpati massa
dengan janji akan mengembalikan situasi dan kondisi menjadi aman terkendali. Ia
menuntut agar perang melawan Jerman dan Austria-Hongaria langsung
dihentikan, tanah para bangsawan diserahkan kepada kaum tani, bank-bank
dinasionalisasikan, produksi industri dan pembagian hasilnya diawasi oleh para
buruh sendiri, tentara, polisi dan birokrasi harus dihapuskan.
Ketidakmampuan pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Karensky
tersebut, memberikan kesempatan bagi Lenin untuk mengatur jalannya revolusi
Juli 1917 namun dapat digagalkan oleh tentara Karensky karena terlalu terburu-
buru sehingga membuat Lenin harus menyingkir terlebih dahulu ke Finlandia.
Selanjutnya, faktor lain yang melatarbelakangi Lenin berpikir kritis
tentang apa yang terjadi di negaranya adalah adanya pemikiran mengenai
perwujudan dari negara Sosialis dengan Revolusi Sosialis sebagai sarana untuk
mencapainya. Hal yang terlebih dahulu harus diwujudkan adalah dalam bentuk
yang paling kecil yaitu organisasi untuk menghimpun massa buruh dan petani
kecil yang menjadi sasaran utama dari gerakan yang dilancarkan Lenin. Pemikiran
Karl Marx yang diselaraskan dengan apa yang dipikirkan Lenin menjadi tidak
terpisahkan satu dengan yang lainnya.
83
Suseno (2005:9) menyatakan dalam bukunya Dalam Bayang-bayang
Lenin bahwa:
”Masalah besar yang dihadapi oleh Lenin ketika terjun di gelanggang perjuangan politik adalah apakah di Rusia sosialisme harus dicapai melalui jalan yang sama dengan di negara-negara industri maju, ataukah ada sebuah jalan khusus, langsung dari feodalisme ke sosialisme. Sebagai seorang Marxis, bagi Lenin jawabannya jelas: tak ada jalan khusus Rusia menuju sosialisme. Di Rusia pun sosialisme hanya dapat tercapai melalui sebuah revolusi anti-kapitalis. Tahap kapitalisme tidak dapat diloncati”. Hal itu berarti, sosialisme dapat diwujudkan apabila Rusia sudah melewati
tahapan Kapitalis yang matang sebagaimana yang dikatakan oleh Marx dan Rusia
harus menunggu hingga berpuluh-puluh tahun hingga hal itu dapat benar-benar
terjadi. Lenin menolak tentang kesimpulan ini, dan ia memutuskan bahwa
Sosialisme harus cepat direalisasikan tanpa harus menunggu berakhirnya
Kapitalisme sedangkan Rusia saat itu masih berada dalam fase awal kapitalis.
Suseno (2005:10) mengutip pernyataan dari Lenin yaitu teori yang mengatakan
bahwa Imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme.
Lenin berpendapat (Suseno, 2005:10) bahwa:
”Imperialisme merupakan sarana negara-negara kapitalis maju untuk sementara dapat mengekspor ketegangan-ketegangan internal mereka ke negara-negara pra-kapitalis. Tetapi dengan demikian – itulah kesimpulan asli Lenin – revolusi sosialis justru lebih mungkin akan pecah di negara-negara pra-kapitalis. Negara-negara itu adalah mata rantai yang paling lemah dalam sistem kapitalisme internasional. Jadi revolusi sosialis akan pecah bukan di pusat kapitalisme, melainkan di pinggirannya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan utama dari pergerakan yang
dilakukan oleh Lenin adalah untuk menciptakan Revolusi Sosialis dengan
mewujudkan kekuatan yang dimiliki oleh kaum proletar yaitu buruh dan petani
84
kecil. Dengan peranan dari kaum yang terpelajar (Inteligensia), kaum proletar bisa
dijadikan kekuatan dan kelas revolusioner.
Hal pertama yang dilakukan adalah pembentukan partai buruh yang
berbeda dari organisasi buruh yang sudah ada. Lenin menegaskan bahwa partai itu
memerlukan struktur organisatoris sedemikian rupa, hingga betul-betul dapat
memimpin perjuangan buruh.
Suseno mengutip perkataan Lenin (2005:15) bahwa:
”Partai tidak boleh terbuka luas, melainkan terdiri atas orang-orang yang ”pekerjaan pokoknya adalah kegiatan revolusioner” yang ”terlatih secara profesional dalam seni perjuangan melawan polisi politik”. Partai itu harus merupakan sebuah organisasi tertutup dan konspirasif yang terdiri atas orang-orang revolusioner purna waktu, dengan tidak membedakan antara kaum buruh dan kaum intelektual”. Maka, dengan ada penjabaran yang begitu kompleks dari Lenin mengenai
ideologi, partai, tujuan, sasaran, dan penggerak lengkap sudah apa yang harus
dimilikinya dalam proses menuju terwujudnya Revolusi Sosialis. Sebagai puncak
dari apa yang dipikirkan Lenin, adalah adanya bentuk kenegaraan yang
dinamakan Diktator Proletariat yang terdiri dari gabungan dari kaum buruh dan
kaum tani yang berjiwa revolusioner. Aspek-aspek tersebutlah yang akan
mempengaruhi pemikiran kritis Lenin mengenai konsep negara dan revolusi yang
dipikirkannya. Tak hanya sebatas teoritis, Lenin berusaha sekuat tenaga untuk
membuktikan hal tersebut sehingga apa yang dipikirkannya dapat diwujudkan
dalam tataran praktis.
C. Pemikiran V.I Lenin tentang Negara dan Revolusi
Pemikiran Karl Marx tidak akan ada artinya apabila tidak dibuktikan oleh
adanya sumbangsih dari pemikiran Lenin sendiri. Pemikiran Marx hanya akan
85
diketahui oleh para tokoh filsafat dan ahli ekonomi saja, tak akan ada pula hal
yang disebut Marxisme-Leninisme sebagai sebuah isme dan ideologi yang
berpengaruh pada negara yang disebut Negara Komunis. Lenin telah menjadi
pelopor orang yang mempraktiskan pemikiran-pemikiran Marx, tidak hanya
sekedar berwacana saja tetapi dibuktikan dalam pergerakan revolusionernya di
Rusia. Lenin jugalah bukti dari anak remaja Rusia yang mampu memberikan
kekuatan luar biasa bagi terciptanya gerakan-gerakan perubahan, perubahan dari
penindasan kaum borjuis dan kapital dalam industrialisasi menuju terwujudnya
sebuah komunitas masyarakat yang sosialis, tanpa kelas dan tanpa penindasan.
Sejak akhir September, Lenin dari persembunyiannya di Finlandia
(sebagai akibat dari gerakan pada Juli 1917) mengirimkan artikel-artikel dan
surat-surat ke Petrograd yang menyarankan pada Sentral Komite Partai untuk
mengorganisasikan pengambilalihan kekuasaan dengan bersenjata tanpa
menunda-nunda lagi. Tapi jerih payahnya ini tidak banyak direspon, sehingga
Lenin memutuskan untuk mengambil tindakan, sebuah tindakan yang akan
membawa perubahan dalam kehidupannya selanjutnya yaitu Revolusi.
Pengikut Lenin tidak banyak, tetapi mereka sangat terorganisasi dan patuh
pada perintah yang diberikan oleh Komite Pusat. Tidak ada partai lain yang
seperti itu: kaum Sosialis-Revolusioner yang jauh lebih cepat popular di mata
warga, terutama di kalangan petani penggarap, mempunyai struktur yang longgar
yang tidak memungkinkan mereka memobilisasi pengikutnya.
86
Selain itu juga, tercatat tidak ada politisi selain Lenin, yang ingin
mengambil alih kekuasaan dan memikul tanggung jawab untuk memerintah
sebuah negara yang tampaknya tidak terkendali itu dan menunggu saat yang tepat
untuk bertindak. Hingga akhirnya terjadilah Revolusi Bolshevik pada tanggal 23-
24 Oktober 1917.
Sebagaimana yang telah diungkapkan pada sub-bab sebelumnya bahwa
Lenin memiliki kekuataan dari pada buruh dan petani kecil. Akan tetapi tidak
begitu saja, buruh dan petani kecil itu bisa diubah menjadi tentara bersenjata yang
revolusioner. Oleh karena itu tak heran apabila Lenin menolak mentah-mentah
gagasan kaum Menshevik dengan Teori Dua Jembatannya yang menyatakan
bahwa untuk sampai pada Revolusi Sosialis para proletariat itu (buruh dan petani
kecil) harus bekerja sama dengan kaum borjuis untuk dapat mewujudkan revolusi.
Sebagaimana yang dikutip oleh Suseno (2005:10) Lenin berpikir bahwa :
“Kaum proletariat harus bersekutu dengan kelas Borjuasi, tetapi sebagai yang memimpin gerakan revolusioner. Apabila kekuasaan Tsar sudah dihancurkan, proletariat lalu sudah berada dalam posisi untuk dalam waktu tidak terlalu lama meneruskan revolusi dan mengakhiri kekuasaan Borjuasi. Karena itu, Lenin selalu menegaskan bahwa proletariat harus dibentuk sebagai kekuatan politik mandiri yang tidak hanya melawan kekuasaan feudal Tsar saja, melainkan senantiasa sadar bahwa musuhnya yang sebenarnya adalah para pemilik modal”. Pada kenyataannya, Buruh dan petani kecil Rusia belum bisa diandalkan
begitu saja dalam pergerakan revolusioner, oleh karena itu perlu diadakan
penyuntikkan kesadaran revolusioner dalam diri mereka agar dapat melaksanakan
semua tujuan revolusionernya. Secara logika, para buruh dan petani kecil yang
hanya mengenyam pendidikan rendah tidak akan mudah secara spontan dapat
sampai ke sosialisme ilmiah yang begitu kompleks. Dalam semua cerita dari
87
negara-negara industri para buruh hanya bisa menumbuhkan kesadaran pola
serikat buruh artinya keyakinan akan perlunya mempersatukan diri dalam serikat-
serikat untuk berjuang melawan majikan, memaksakan pemerintah untuk
membuat undang-undang demi kepentingan buruh saja akan tetapi perjuangan
pergerakan buruh juga harus diarahkan pada tujuan yang lebih kompleks lagi yaitu
terwujudnya Revolusi Sosialis dimana tercipta Diktator Proletariat yang
memimpin kelas-kelas borjuasi sehingga negara sebagai lembaga organisasi
paling tinggi lambat laun akan lenyap.
Berdasarkan Buku yang ditulis Arif dan Parsetyo (2004:50-59)
menyatakan bahwa pokok-pokok pemikiran Vladimir Ilyich Lenin itu, terdiri atas
4 aspek yaitu sebagai berikut:
1. Kepercayaan atas Hukum Evolusi Sejarah Umat Manusia
Sebagai pengikut Marxis, Lenin juga meyakini akan adanya
Hukum evolusi sejarah yang berjalan dalam tahapan-tahapan: tahap
primitif, tahap perbudakan, tahap feodalis, tahap kapitalis dan tahap
sosialis. Kelima tahapan tersebut niscaya akan berlangsung mengikuti
perkembangan daya-daya produktif manusia.
Sebagai negara yang dipimpin oleh Tsar yang bersifat kekaisaran,
banyak orang yang berpikir bahwa saat itu Rusia masih berada dalam fase
feodalis. Akan tetapi berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Georgia
Plekhanov (salah satu tokoh Marxis Rusia) dan Lenin. Mereka berdua
sama-sama beranggaan bahwa saat itu Rusia sudah memasuki tahapan
awal kapitalisme. Hal itu dibuktikan dengan mulai ramainya industrialisasi
88
di Rusia, meskipun sistem pemerintahan dan agraria masih menuruti
sistem feodalis. Akan tetapi untuk bidang kemajuan industri dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi Rusia sudah memasuki tahapan
kapitalisme awal. Hal itu dibuktikan dengan adanya pembentukan kelas
buruh sebagai dampak dari munculnya industrialisasi dan mulai
bermunculanlah kaum-kaum intelektual atau intelegensia dari berbagai
kalangan dan latar belakang ekonomi.
Sepaham dengan Plekhanov dalam hal itu, tetapi Lenin
bertentangan dengan Plekhanov dalam hal Revolusi menuju masyarakat
Sosialis di Rusia. Dalam hal ini, Plekhanov menyatakan bahwa untuk
mencapai masyarakat sosialis di Rusia, maka kaum proletar (yang saat itu
jumlahnya amat kecil) harus membantu kaum Borjuis-kapitalis
mengadakan revolusi menyatukan kekuasaan feodal dan menggantikannya
dengan rezim kapitalisme. Dibawah rezim ini, kapitalisme akan
berkembang dan dengan demikian berkembang pulalah jumlah dan
kekuatan kaum proletar. Dengan kekuatan tersebut, diharapkan kaum
proletar akan sanggup melakukan revolusi sosialis.
Lenin dengan tegas membantah dua fase tersebut, baginya kaum
Borjuis-kapitalis tak bisa dipercaya untuk membuka jalan bagi
terbentuknya revolusi sosialis dan masyarakat sosialis. Oleh karena itu,
kaum proletar tak perlu mendukung apalagi menjadi sekutu kaum Borjuis-
kapitalis untuk menjatuhkan feodalisme di Rusia. Kaum proletar tak boleh
bergantung pada revolusi borjuis untuk mencapai masyarakat sosialis.
89
Kaum proletar harus menciptakan revolusi sosialisnya sendiri. Tapi yang
menjadi pertanyaannya apakah kekuatan kaum Proletar saja cukup untuk
melakukan revolusinya sendiri?.
Arif dan Prasetyo menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip
tulisan Lenin dalam bukunya yang berjudul Development of Capitalism in
Rusia yang diterbitkan tahun 1899. dalam buku ini Lenin berpandangan
bahwa:
”...ternyata bukan kaum proletar saja yang menderita akibat kapitalisme, namun juga para petani kecil. Akibat perkembangan kapitalisme, komunitas-komunitas kaum petani hancur, dan para petani terbelah menjadi petani kaya, petani menengah, dan petani miskin atau petani kecil. Dan jumlah para petani kecil inilah yang jumlahnya telah memenuhi sebagian dari populasi para petani di Rusia yang menurut pandangan Lenin harus disatukan dan dijadikan sekutu bagi kaum proletar Rusia yang jumlahnya masih minim. Mulai dari saat itulah, konsentrasi Lenin tertuju pada dua pihak
kaum proletariat yaitu kaum buruh dan petani kecil sebagai penyokong
jalannya Revolusi Sosialis yang ingin dicapai oleh Lenin.
2. Kaum Proletar-Petani Kecil sebagai Pilar Revolusi Sosialis
Sebagaimana yang ditulis Marx dalam Manifesto Komunis bahwa
kelas menengah kecil termasuk didalamnya para petani dianggap tidak
revolusioner tetapi konservatif dan reaksioner hanya bertindak kalau hak
mereka sebagai petani dirampas. Dengan kata lain, Marx tidak
menganggap kaum petani sebagai kekuatan Revolusioner. Pernyataan
tersebut juga selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Plekhanov yang
menyatakan bahwa ”Sosialisme Rusia hanya akan berjaya hanya sebagai
90
sebuah gerakan revolusioner dari kaum buruh atau tidak sama sekali”.
Bagi Plekhanov, hanya kaum proletarlah satu-satunya kelas revolusioner
dalam analisis kelas. Dalam pandangan Plekhanov, pertarungannya adalah
antara kelas proletar dan kelas borjuis-kapitalis.
Maka tak heran ketika Lenin menerima kaum petani kecil sebagai
kekuatan revolusioner, Plekhanov orang pertama yang menggugat hal
tersebut. Plekhanov beranggapan bahwa kekuatan revolusioner kaum
petani bertentangan dengan teori kelas. Arif dan Presetyo mengungkapkan
(2004:52) bahwa:
”Dalam pandangan Plekhanov, partai sosialis yang akan menjalankan revolusi sosialis tidak boleh berkompromi dengan kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang lain. Termasuk dengan petani yang lebih mewakili masa lalu dan berbeda dengan kaum proletar, masih memiliki alat-alat produksi dan karenanya tak bisa menjadi sebuah kekuatan sosialis”. Hal diatas menunjukkan bahwa Plekhanov terlalu menganggap
kaum petani tidak memiliki kekuatan revolusioner yang akan membantu
dalam revolusi sosialis. Berbeda dengan Lenin, ia justru menjadikan
kekuatan petani kecil sebagai kekuatan baru yang akan membantu jalannya
revolusi. Lenin juga menyadari bahwa bagaimanapun juga kekuatan kaum
proletar di Rusia terlalu kecil untuk sanggup mengadakan revolusi sosialis.
Selain itu, dalam pandangan yang mengatakan bahwa kaum borjuis
kapitalis yang memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi
menyingkirkan feodalisme, tak bisa dipercaya sepenuhnya.
Maka muncullah kediktatoran proletariat yang telah diperbaharui
dengan memadukan dua kekuatan revolusioner yaitu buruh dan petani.
91
Sehingga pertarungan kini bukan lagi antara kelas proletar dan kelas
borjuis, tetapi antara kelas buruh dan tani melawan kelas borjuis-kapitalis.
Pendapat ini juga didukung oleh Theodor Shanin (1986) yang menuliskan
pikiran lenin sebagai berikut:
”..bahwa untuk mencapai tujuan alamiahnya, revolusi harus berlandaskan pada kehendak mayoritas dan ’radikalisme petani’ pada saat mengecam keragu-raguan kaum borjuis (yang akan berkompromi dengan kekuasaan Tsar)”. Jelas sekali sebagaimana yang diungkapkan diatas bahwa,
semenjak Lenin menginjakkan kakinya lagi di Rusia setelah
persembunyiannya di Finlandia. Ia sebenarnya telah menyadari bahwa
untuk melakukan sebuah revolusi sosialis yang cukup besar kapasitasnya,
diperlukan tenaga, kekuatan, strategi, visi, misi dan tujuan yang jelas
sehingga mulailah ia berpikir untuk menemukan kekuatan baru menuju
revolusi sosialis. Dan ia menemukan kekuatan tersebut dalam jiwa petani
yang juga merupakan korban berkembangnya kapitalisme di Rusia. Petani
itu mencakup sebagian dari populasi petani yang ada di Rusia dan apabila
disekutukan dengan kekuatan buruh yang juga berjiwa revolusioner akan
memunculkan kekuatan baru yaitu Kediktatoran Proletariat.
3. Tugas Partai dan Sifat Kepemimpinannya
Sebagai tindak lanjut dari apa yang disebut organisasi oleh Lenin,
maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah pendirian partai yang sesuai
dengan tujuan revolusioner.
Karl Marx, dalam Manifesto Komunisnya menyebutkan bahwa
partai komunis hanya sebagai koordinator gerakan-gerakan kaum buruh di
92
seluruh dunia. Dalam buku ini, Arif dan Prasetyo mengungkapkan bahwa
Lenin menolak pemikiran Marx tersebut. Baginya Partai Komunis
memiliki tugas dan fungsi yang vital daripada sekedar mengkoordinasikan
gerakan-gerakan buruh di seluruh dunia. Tugas itu ialah menyuntikkan
kesadaran sosialis pada diri kaum buruh dan sekaligus menjadi mentor,
pemimpin dan pemandu bagi kaum proletar dalam melaksanakan revolusi
sosialisnya.
Dalam hal ini Lenin mengoreksi apa yang dikatakan Marx,
(2005:54), Lenin mengatakan bahwa:
”...kesadaran politik suatu kelas dapat ditanamkan kepada kaum buruh hanya dari luar yaitu hanya di luar dari pertarungan ekonomi, diluar dari atmosfer hubungan antara buruh dan majikan. Kesadaran tersebut harus disuntiikan dari luar oleh sebuah organisasi revolusioner dan oleh golongan intelegensia dari organisasi tersebut”. Dengan demikian, kesadaran sosialis dari kaum buruh dan petani
bisa disuntikkan oleh orang-orang terpelajar yang ada dalam organisasi
revolusioner tersebut sehingga Lenin menganggap tidak memerlukan
massa yang banyak tetapi tidak dapat terkoordinasi dengan baik dan
disiplin. Karena alasan itulah, terjadi perpecahan dalam Partai Buruh
Sosial Demokrat Rusia yaitu antara Bolshevik dan Menshevik.
Arif dan Prasetyo juga menyimpulkan bahwa (2005:57):
“Secara komprehensif, pandangan Lenin didasarkann pada pemahamannya bahwa partai komunis sedang berada di tengah-tengah perang yaitu perang antarkelas. Karena itu, prinsip-prinsip partai komunis haruslah juga menerapkan sifat-sifat organisasi yang tengah terlibat perang yaitu rahasia, kepemimpinan oleh minoritas, kewenangan yang tersentralisasi dan penggunaan cara-cara ilegal. Mengenai kepimpinan minoritas oleh sejumlah kecil
93
revolusioner profesional hal tersebut sangatlah vital bagi pencapaian revolusi sosialis”. Selain itu juga, Arif dan Prasetyo mengutip pernyataan dari
Ebenstein (1969) yaitu:
“Menurut Lenin, dibawah kapitalisme, mayoritas kaum buruh tak mampu mengeluarkan dirinya dari mentalitas kapitalis dan hanya sejumlah kecil kaum revolusioner yang sadar kelas yaitu partai komunis sebagai garda depan dari proletariat yang dapat menganalisis situasi secara tepat dan memeta sebuah rancangan aksi yang tepat. Kediktatoran atas kaum proletar oleh partai komunis adalah perlu sampai mayoritas buruh telah mengeluarkan dirinya dari ideologis kapitalis”. Selanjutnya Lenin kembali menambahkan pendapatnya bahwa”
“Mayoritas kaum buruh akan mencapai ideologi proletarian yang tepat hanya setelah kondisi-kondisi obyektif kehidupan mereka telah diubah, yaitu setelah partai komunis sebagai garda depan kaum proletariat telah menjatuhkan kaum kapitalis penindas dan institusi-institusi kapitalisme. Hanya perubahan revolusioner yang semacam ini, Lenin berargumen yang akan mengeluarkan kaum buruh dari sifat-sifat egois, tak bersatu, jahat dan lemah yang ditimbulkan oleh kepemilikan pribadi”. Sebagaimana yang dikatakan oleh Karx bahwa kaum petani bukan
termasuk golongan revolusioner akan tetapi konservatif bahkan cenderung
reaksioner. Mereka (kaum petani) akan bereaksi apabila kepentingan-
kepentingan mereka terganggu dan hal itu adalah hal-hal yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan kepemilikan tanah.
Oleh karena itu, tidak mudah untuk menjadikan kaum petani
sebagai salah satu kekuatan revolusioner yang akan menjamin tercapainya
revolusi sosialis. Diperlukan pembinaan dan penyuntikkan kesadaran
revolusioner terlebih dahulu agar kaum petani dapat menyadari
kekuatannya. Disinilah pentingnya peranan organisasi atau bahkan kalau
94
perlu partai revolusioner yang akan berpengaruh terhadap kesadaran
tersebut.
Berkaitan dengan partai, Lenin memiliki banyak sifat dan
karakteristik sebagaimana yang diungkapkan diatas. Dan dari situ Lenin
mengambil kesimpulan bahwa perjuangan spontan proletariat akan
menjadi perjuangan kelas sunguh-sungguh selama perjuangan itu dipimpin
oleh sebuah organisasi kaum revolusioner yang kuat. Lenin juga
menegaskan bahwa partai itu harus disusun secara sentralistik dan
birokratis dalam arti bahwa unsur-unsur bawah mutlak harus taat terhadap
unsur-unsur atas. Apalagi karena kaum intelektual, lain daripada kaum
buruh, cenderung suka tidak disiplindan tidak mantap dalam sikap politik.
4. Revolusi Permanen
Satu hal lagi pemikiran dari Lenin yang disimpulkan oleh Arif dan
Prasetyo yaitu adanya Revolusi Permanen. Ketika kita berbicara mengenai
revolusi sosialis, Lenin juga memikirkan secara perspektif global. Berbeda
dengan panutannya Marx, yang percaya bahwa revolusi sosialis akan
terjadi lebih dahulu di negeri-negeri yang tingkat perkembangan
kapitalismenya telah matang, Lenin justru menyatakan bahwa revolusi
sosialis akan terjadi lebih dahulu di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa
Timur yang tingkat perkembangannya kapitalismenya masih lemah. Hal
itu dikarenakan tingkat resistansi antikomunis di negeri-negeri tersebut
masih rendah. Tugas kaum komunis adalah menyerang dan
menghancurkan sistem politik dan sosial yang terlemah yaitu di daerah
95
yang secara ekonomu masih terbelakang di Asia, Afrika, Amerika Latin
dan Eropa Timur.
Melihat kasus yang terjadi di rusia, keberhasilan revolusi sosialis
bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir adalah sebagaimana yang diajarkan
Marx: terciptanya tahapan sejarah masyarakat sosialis di dunia. Namun itu
bukan berarti kemenangan kaum komunis di Rusia tidak bernilai. Justru
sebaliknya kemenangan kaum komunis di Rusia memberikan basis dan
pusat bagi kegiatan-kegiatan revolusi komunis di negara-negara lain di
seluruh dunia. Selain itu juga, Lenin berpandangan bahwa seluruh partai
komunis di segenap penjuru dunia harus mengikuti model partai Komunis
Rusia yaitu partai yang memiliki watak-watak: rahasia, kepemimpinan
oleh minoritas revolusioner profesional, kewenangan yang tersentralisasi
dan penggunaan cara-cara ilegal.
Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arif dan Prasetyo
di atas dapat kita ketahui bahwa isi pemikiran Lenin berpusat pada Hukum
Evolusi Sejarah Manusia, peranan kaum proletar-petani kecil sebagai Pilar
Revolusi Sosialis, tugas partai dan sifat kepemimpinannya dan adanya Revolusi
Permanen. Untuk mewujudkan tujuan tercapainya Revolusi Sosialis Lenin telah
menyiapkan beberapa aspek yang diperlukan agar revolusi itu dapat dilaksanakan.
Kali ini Lenin menyiapkan bantuan dari kekuatan proletar kecil lain yaitu para
petani karena dianggap petani juga merasakan dampak dari adanya kapitalisme
yang semakin merajarela di Rusia. Oleh karena itu, Kaum Proletar kini disatukan
antara kaum buruh dan petani kecil.
96
Selain itu juga Lenin mengatakan bahwa untuk mencapai revolusi itu,
diperlukan adanya sebuah lembaga dan organisasi yang mengatur kaum proletar
agar revolusi tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan
revolusi sosialis. Barulah kemudian setelah revolusi itu tercapai dan kaum proletar
dapat menduduki kekuatan kapitalisme di negara Rusia, Lenin memikirkan agar
hal yang dilakukan di Rusia tersebut dapat emenjadi inspirasi bagi lahirnya
revolusi-revolusi sosialis di negara lain khususnya di negara dunia ketiga. Adapun
revolusi yang dimaksud disini oleh Lenin adalah Revolusi dengan kekerasan
karena tanpa kekerasan bangsa Borjuis tidak akan dengan mudah menyerahkan
kekuasaannya kepada kaum proletar. Revolsui yang diinginkan adalah revolusi
sosialis dengan cukup hanya satu langkah saja, tidak seperti yang diungkapkan
oleh Marx dan yang dipercayai oleh golongan Menshevik.
Sesuai dengan apa yang dikemukakan diatas, bahwa fokus pemikiran
Lenin yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini adalah pemikiran mengenai
Negara dan Revolusi. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Arif dan
Prasetyo, dikutif dari buku State and Revolution, Lenin mengungkapkan begitu
banyak ide, konsep dan teori yang menerangkan mengenai negara dan revolusi.
Selain itu juga, Lenin mendeskripsikan, menganalisis, mengurai atau bahkan juga
menyimpulkan, apa sebenarnya yang ia pikirkan yang tak terlepas dari pemikiran-
pemikiran tokoh-tokoh sosialis sebelum Lenin sendiri ada yang sama-sama
mengungkapkan konsep pemikiran tentang Negara dan Revolusi. Tokoh-tokoh
tersebut antara lain Karl Marx, Georgii Plekhanov, Hegel, Engels, dan Kaum
Populis Rusia.
97
Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan diatas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa latar belakang yang mengakibatkan Lenin berpikir
kritis mengenai konsep negara dan revolusi begitu kompleks. Namun, meskipun
begitu, Lenin dapat dengan fokus, merumuskan konsep negara dan revolusi
tersebut sehingga dapat diaplikasikan dalam kondisi yang sedang dihadapi oleh
Rusia saat itu. Oleh karena itu, penulis akhirnya dapat menguraikan bahwa
pemikiran inti Lenin sendiri itu berpusat dan fokus pada konsep Negara dan
Revolusi. Penulis mengkaji konsep negara dan revolusi tersebut dalam
hubungannya dengan Revolusi Bolshevik 1917 yang terjadi di Rusia dan juga
dipelopori oleh Lenin.
a) Negara, Menurut V.I Lenin
Melihat kenyataan yang terjadi di Rusia sebelum Revolusi Bolshevik
1917, maka keinginan terbesar dari Lenin adalah adanya perubahan terhadap apa
yang selama ini dianggap salah di negaranya. Sebagaimana yang diungkapkan
dalam bukunya yang berjudul State and Revolution, fokus pemikiran Lenin
sebenarnya adalah terhadap permasalahan Negara dan Revolusi, akan tetapi untuk
mencapai konsep yang dia inginkan dalam negara ataupun revolusi, ada banyak
aspek yang saling berkaitan dan mendukung satu dengan lainnya. Dalam buku
tersebut juga, Lenin mengutarakan aspek-aspek pendukung lainnya seperti partai
politik, hukum evolusi sejarah manusia, kedikatatoran proletariat, dan sifat dan
cara revolusi yang dapat mendukung berjalannya Revolusi Sosialis sehingga
akhirnya dapat mencapai negara yang sosialis pula.
98
Sesudah revolusi sosialis, apa yang harus dilakukan terhadap Negara?
pertanyaan itu dijawab oleh Lenin, sebagaimana yang dikutip oleh Suseno
(2005:34) bahwa:
“Seperti biasanya, Lenin memaparkan pandangannya dengan menghantam pandangan-pandangan yang dianggapnya akan mengancam daya revoluisoner kelas buruh. Dalam “Negara dan Revolusi” dua pihak diserang dengan ganas. Pertama, kaum sosial demokrat yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan melalui mekanisme demokratis. Kedua, kaum anarkis yang menuntut agar sesudah revolusi negara langsung dihapuskan”. Masalah yang menjadi perhatian Lenin adalah masalah penerapan ajaran
Karl Marx dalam situasi dan kondisi khususnya di Rusia. Lenin, memandang
suatu konsep mengenai negara tak lepas dari adanya pemikiran-pemikiran dari
tokoh-tokoh sosialis lain yang berpikir hal yang sama misalnya seperi Marx dan
Engels yang menjadi acuannya dalam berpikir mengenai Negara dan Revolusi.
Pengertian Negara, Lenin mengutip pernyataan dari Engels (1917: 2) :
“Negara, dengan demikian, adalah sama sekali bukan merupakan kekuatan yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, sebagai suatu sesempit ‘realitas ide moral’, ‘bayangan dan realitas akal’ sebagaimana ditegaskan oleh Hegel. Malahan, negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontrakdisi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam ‘batas-batas tata tertib’; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara (halaman 177-178, edisi bahasa Jerman yang keenam)”.
99
Pengertian menurut Engels ini jelas sekali merupakan dasar ide dari
Marxisme khususnya mengenai masalah peran historis negara dan arti negara.
Lenin berpikir bahwa negara adalah produk dan manifestasi dari tak
terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas. Negara timbul ketika, dimana
dan untuk perpanjangan terjadinya antagonisme-antagonisme kelas secara
obyektif tidak dapat didamaikan dan sebaliknya juga, eksistensi negara
membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak terdamaikan.
Sedangkan menurut Marx, negara tidak akan timbul atau bertahan jika
perdamaian kelas itu adalah mungkin. Lenin mengutip juga pengertian negara
menurut Marx (1917:3) bahwa:
“Negara adalah negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan “tata tertib” yang melegalkan dan mengekalkan penindasan ini dengan memoderasikan bentrokan antar kelas”. Lenin berpikir bahwa ketika Revolusi Oktober terjadi tahun 1917, ketika
masalah dan peranan negara justru menjadi masalah yang luar biasa pentingnya,
menjadi masalah praktis, masalah yang menuntut aksi segera dalam skala massal,
seluruh kaum sosialis-revolusioner, dan Kaum Menshevik semuanya segera dan
sepenuhnya terjerumus kedalam teori borjuis kecil negara “mendamaikan” kelas-
kelas.
Bagi Lenin, seperti yang dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2005:75) bahwa:
”Negara adalah The Rulling Class dan sebagai mesin penindas, negara tak lain adalah mesin yang dipakai oleh satu kelas untuk menindas kelas lainnya. Pendapat ini sama dengan apa yang Marx paparkan, dan Lenin menyepakatinya. Bahkan dalam sub-bab 1 Bab 1 State and Revolution, Lenin mengatakan bahwa negara adalah hasil dari tak terdamaikannya kontradiksi antar kelas. Sehingga selama kaum proletar masih memakai
100
negara, mereka tidak mungkin memakainya untuk memperjuangkan kebebasan tetapi untuk menindas lawan-lawannya dengan kekerasan”. Kemudian, selanjutnya berkaitan dengan hal ini, Dalam buku Filosofi
Negara menurut Tan Malaka (2004:110), Malaka mengemukakan bahwa:
”bentuk negara yang tetap dipakai pada masa sosialisme adalah negara yang benar-benar menghilangkan sifat negara borjuasi. Belajar dari Komune Paris, Lenin berfikir bahwa semua suprastruktur borjuasi harus dilenyapkan karena kalau tidak dilakukan akan memberikan kesempatan bagi kaum borjuasi mengorganisir diri dan bangkit kembali melawan kekuasaan proletariat. Oleh sebab itu, negara yang digagas oleh Lenin adalah negara yang menghilangkan dua ciri utama negara borjuasi, yaitu parlemen dan tentara reguler. Parlemen dihilangkan karena hanya menjadi tempat orang berbicara namun tidak bekerja. Mereka adalah kelas penganggur yang harus dibiayai oleh negara. Pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dalam negara borjuis menyebabkan terjadinya kepincangan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Adanya parlemen juga mengakibatkan munculnya elit kekuasaan yang terpisah dari masyarakat. Tentara reguler juga harus diganti dengan milisi rakyat atau rakyat yang bersenjata. Tentara reguler berbahaya karena kemudian bisa menjadi alat bagi kaum yang memiliki harta, kekayaan ataupun modal sehingga bisa diperalat untuk membela kepentingan kaum yang memiliki uang”. Sedangkan, Lenin sendiri menyimpulkan apa yang dimaksud dengan
negara dalam bukunya State and Revolution (1917:4) yaitu:
“Negara adalah kekuatan yang berdiri di atas masyarakat dan yang ‘semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu’, maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa dan yang merupakan penjelmaan dari “pengasingan itu. Negara yang dimaksud disini bukanlah Negara sebagaimana pengertian umum yaitu Negara dengan karakter khasnya: memiliki tentara tetap, polisi, birokrasi dan penjara yang kesemuanya digunakan untuk menindas proletariat. Negara yang dimaksud disini adalah proletariat yang terorganisir sebagai kelas yang berkuasa.”. Dalam buku tersebut Lenin mengatakan bahwa tugas para petani dan kaum
buruh adalah untuk menumbangkan negara sebagai alat kapitalis, demi
101
terwujudnya masyarakat sosialis. Bersatunya kaum buruh dan petani tersebut,
Lenin menyebutnya sebagai kekuatan baru revolusioner yang akan merebut
kekuasaan dari tangan kapitalis dan menjadikan negara sebagai sarana untuk
menuju masyarakat sosialis, istilah dua kekuatan disebut dengan Kediktatoran
Proletariat.
Dalam UUD Uni Sovyet 1918, konstitusi hasil revolusi 1917, dikatakan
bahwa diktator proletar adalah transisi masyarakat kapitalis menuju masyarakat
komunis. Dalam hal ini, masyarakat negara akan hilang sama sekali manakala
masyarakat menerima prinsip bahwa setiap orang bekerja menurut
kemampuannya, setiap orang menerima kebutuhannya (from each according to
his ability, to each according to his needs). Sementara, negara adalah alat untuk
mencapai komunisme. Jadi cita-citanya bukan bagaimana menegakkan negara
yang demokratis, melainkan masyarakat yang sosialis, masyarakat tanpa kelas.
Bahkan cita-cita itu dengan tegas mengatakan bahwa demokrasi dan kediktatoran
adalah dua muka dengan lencana yang sama (two sides of one medal). Dengan
begitu, negara bukanlah merupakan tujuan akhir dari perjuangan, negara hanya
merupakan alat untuk mewujudkan masyarakat sosialis.
Inti dari buku State and Revolution sebenarnya merupakan kritikan
terhadap Lassalleanisme yaitu analisas mengenai hubungan antara perkembangan
komunisme dengan melenyapnya negara.
Arif dan Prasetyo juga mengutif pernyataan dari Marx (2005:77) bahwa:
”Bagi Marx, dengan membandingkan surat Marx kepada Bracke (5 Mei 1875) maka nampak bahwa Marx jauh lebih merupakan ”pembela negara” daripada Engels dan bahwa perbedaan pandangan diantara kedua penulis ini mengenai masalah negara yang sangat besar. Engels lebih
102
menyarankan Bebel agar setiap tentang negara dihentikan dan kata ”negara” dihapuskan sama sekali dan diganti dengan kata ”persekutuan hidup”. Engels bahkan menyatakan bahwa komune bukan lagi negara dalam arti kata yang sebenarnya, sedang Marx berbicara tentang ”ketatanegaraan masa depan dari masyarakat komunis” yaitu seolah-olah ia mengakui keharusan akan negara bahkan dibawah Komunisme. Sementara bagi Lenin, pandangan-pandangan itu mengalami koreksi secara mendasar. Pandangan Marx dan Engels mengenai negara dan melenyapnya negara adala sepenuhnya sama, sedang pernyataan Marx diatas justru berkaitan dengan ketatanegaraan yang sedang melenyap ini. Lenin tidak memberikan perhatian yang memihak akan sekaligus menentukan kapan negara akan hilang”. Dalam hal itu, Lenin memiliki persamaan juga perbedaan dengan apa yang
dipikirkan oleh Marx dan Engels. Akan tetapi Lenin lebih bisa mengungkapkan
kapan masyarakat sosialis yang senenarnya akan terbentuk. Sedangkan Marx, ia
lebih memfokuskan bahwa negara akan tetap ada meskipun dibawah bendera
komunisme hanya saja fungsi-fungsi yang awalnya dipegang oleh kalangan
individu berubah menjadi diatur oleh negara. Sedangkan bagi Engels, Negara
setelah revolusi itu tercapai secara mendasar bukan lagi disebut sebagai ”negara”
akan tetapi lebih tepatnya sebagai persekutuan hidup antara umat manusia yang
memiliki nasib dan masa depan yang sama.
Berbeda dengan Marx, Lenin dengan fleksibel menerapkan apa yang
dikatakan oleh Marx dan Engels itu sesuai dengan apa yang terjadi di Rusia
dengan berbagai situasi dan kondisi yang sudah ada. Ketika Revolusi Sosialis
sudah berhasil dicapai, akhirnya yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah
penerapan masyarakat sosialis yang diatur segala sesuatunya oleh negara dan
dipimpin oleh Diktator Proletariat. Meskipun begitu, Lenin menyadari bahwa
kaum proletar tidak begitu saja dapat dengan mudah memerintah dan mengatur
negara yang awalnya dipimpin oleh kaum borjuis dan kapitalis imperialis
103
sehingga diperlukan waktu yang cukup agar proletar bisa mengisi keberhasilan
revolusi dengan mengatur negaranya.
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, negara macam apakah yang masih
diperlukan sesudah terjadinya revolusi sosialis? Dalam hal ini, Lenin menyangkal
pernyataan dari Karl Kautsky bahwa revolusi proletar sekedar hanya merebut
kekuasaan negara, lalu revolusi borjuis memakai kekuatan negara itu untuk
mendirikan sosialisme. Tetapi, Lenin selalu berbeda pandangan dengan pemikir
sosialis lainnya. Lenin mengatakan bahwa memakai negara untuk mewujudkan
sosialisme amatlah mustahil. Hal itu dikarenakan ketika proletar sudah merebut
kekuasaan, negara borjuis masih tetap dikendalikan oleh birokrasi yang lama yang
juga akan menggagalkan segala usaha untuk betul-betul menjatuhkan kekuasaan
borjuasi. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikutip oleh Suseno (2005:38) :
”...Karena itu, tidaklah cukup kalau negara borjuis hanya dikuasai, dia harus dihancurkan. Tegas-tegas Lenin menyatakan bahwa menurut Karl Marx ”kelas pekerja harus membongkar menghancurkan ’aparat negara siap pakai’ dan tidak hanya membatasi diri untuk menguasainya. Lenin mengatakan bahwa Revolusi Proletariat tidak mungkin tanpa penghancuran paksa aparat negara borjuis dan tanpa penggantiannya oleh aparat negara baru yang menurut kata-kata Engels ’sudah bukan negara dalam arti yang sebenarnya’. Maka dengan kata lain hasil dari revolusi sosialis adalah kediktatoran proletariat”. Maka, dapat dikatakan bahwa Revolusi sosialis tidak akan hanya
membentuk pemerintahan baru dengan proletariat sebagai puncaknya akan tetapi
dengan segenap tenaga akan menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan
birokrasi negara yang lama. Jadi, bukan membentuk pemerintahan baru dengan
birokrasi yang sama, akan tetapi pemerintahan yang benar-benar baru yang
disebut Kediktatoran Proletariat.
104
Istilah kediktatoran proletariat berasal dari apa yang dikatakan oleh Karl
Marx yang dikutip oleh Suseno (2001:169):
”Revolusi itu pada permulaannya akan bersifat politis: proletariat merebut kekuasaan dan mendirikan ’Kediktatoran Proletariat” artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai untuk mengagalkan revolusi proletariat dan mengembalikan keadaan lama. Jadi kediktatoran proletariat perlu untuk mencegah segala kemungkinan sebuah revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara”. Sedangkan menurut Lenin, dikatakan dengan tegas (2005: 40):
”Bahwa negara proletariat itu jangan dipahami menurut demokratisme kaum sosial demokrat di barat. ’Revolusi berarti bahwa proletariat akan menghancurkan ’aparat administratif’ dan seluruh aparat negara dan menggantikannya dengan aparat baru yang terdiri dari buruh-buruh bersenjata. Kediktatoran berarti bahwa proletariat akan mengambil segala tindakan tanpa kenal ampun untuk menghancurkan segenap ancaman dan perlawanan terhadap sosialisme. Kediktatoran revolusioner proletariat adalah kekuasaan yang direbut dengan paksaan oleh proletariat dari borjuasi dan dipertahankan, sebuah kekuasaan yang tidak terikat oleh undang-undang apapun”.
Selanjutnya, Suseno menambahkan apabila sisa-sisa perbedaan kelas
sudah hilang dalam masyarakat maka dengan sendirinya kediktatoran proletariat
juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi, negara
pun lama-kelamaan akan menghilang. Jadi dengan merebut kekuasaan dan
menghapus hak milik pribadi, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa
kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai panitia untuk mengurus
kepentingan borjuasi tidak mempunyai dasar lagi, negara tidak dihapus akan tetapi
negara menjadi layu dan mati sendiri.
105
Barulah kemudian, apabila negara sudah secara keseluruhan adalah kaum
proletar yang terorganisasi dimana tidak ada lain kelas yang tertindas dan
penindas atau kaum penghisap dan kaum terhisap, barulah konsep masyarakat
sosialis bisa diterapkan sepenuhnya di Rusia.
Menurut Lenin dalam bukunya (2005:36):
”Negara memang akan layu dan hilang apabila sosialisme sudah seluruhnya mantap, tetapi kapam dan bagimana hal itu terjadi belum bisa ditentukan. Negara baru akan menghilang apabila sudah tidak dibutuhkan lagi. Padahal sesudah revolusi kekuasaan negara masih sangat dibutuhkan karena ada tiga alasan: pertama, pembangunan sosialisme masih terancam oleh kekuatan-kekuatan kapitalis di sekeliling yang ingin menghancurkannya. kedua, sesudah revolusi di samping proletariat masih terdapat pelbagai kelas sosial lain yang dapat saja mengancam kemenangan proletariat. Negara di tangan proletariat masih diperlukan untuk memastikan hegemoninya atas kelas-kelas itu. Alasan ketiga adalah bahwa kemenangan revolusi proletariat belum berati bahwa sosialisme sudah langsung terwujud”. Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan bahwa melenyapnya
negara menurut Lenin adalah ketika suatu negara tersebut sudah bisa menerapkan
tingkatan tinggi bidang ekonomi, politik dan sosial dalam lingkup masyarakat
sosialis dengan satu kelas yang sama dimana tidak ada lagi kaum yang tertindas
dan penindas berkuasa, maka secara otomatis fungsi, tugas, hak dan kewajiban
negara sudah tidak diperlukan lagi dan lambat laun negara pun akan hilang sesuai
dengan berkembangnya masyarakat sosialis komunis.
Suseno juga menyimpulkan mengenai tahap perwujudan sosialisme
menurut Lenin (2005:36) yaitu:
”Dalam tahap pertama, yang diubah secara radikal baru tatanan hak milik: Hak milik pribadi atas alat-alat produksi diganti dengan ”milik sosial” artinya sarana-sarana produktif seperti pabrik, toko, bengkel dan tanah pertanian menjadi milik negara atau koperasi. Negara akan layu menghilang sama sekali apabila masyarakat dapat menerapkan peraturan:
106
’Dari siapa menurut kemampuannya, bagi siapa menurut kebutuhan-kebutuhannya’. Jadi menurut Lenin negara masih akan diperlukan untuk waktu yang lama. Pandangan ini menunjukkan bahwa Lenin memahami negara pada hakikatnya sebagai aparat penindas. ’negara itu pengorganisasian khusus paksaan; negara adalah pengorganisasian kekerasan demi penindasan salah satu kelas’”.
Maka, ketika konsep negara yang dipikirkan oleh Lenin itu sudah
terbentuk, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimana cara
mewujudkan konsep negara tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Rusia, dan satu-satunya jalan menuju konsep negara yang dipikirkan oleh Lenin
tersebut, tak ada jalan lain kecuali adanya sebuah Revolusi Sosial, Revolusi
dengan kekerasan. Bagaimana sebuah revolusi itu dijalankan dan bagaimana
strategi, taktik dan pengelolaannya, akan dijelaskan dalam sub-bab dibawah ini.
b) Revolusi, Menurut V.I Lenin
Rusia adalah salah satu negara di Eropa timur yang ibu kotanya terletak di
Saint Peterburg. Kota tersebut merupakan kota yang menyerupai Amsterdam
yang merupakan kota metropolis Barat. Kemunculan sastra, musik, seni dan ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan kebudayaan Eropa kontemporer di Rusia yang
dalam beberapa hal bahkan menjadi yang terdepan, selama abad kesembilan
belas dan awal abad kedua puluh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pipes
(2003:33) tentang kondisi Rusia menjelang abad 20 adalah:
”Meskipun Rusia memiliki kekayaan yang begitu indah, namun kebudayaan tinggi tersebut hanya mewakili satu lapisan kecil dalam masyarakat Rusia yang terdiri dari para bangsawan kaum intelektual dan birokrat terkemuka. Tiga perempat dari seluruh penduduk kekaisaran ini terdiri dari para petani penggarap kecil yang sebagai mayoritas di Rusia hidup dalam dunia mereka sendiri serta tidak tersentuh oleh peradaban barat. Mereka tidak menggunakan bahasa yang sama dengan kaum terpelajar yang mereka pandang sebagai orang asing. Sebagian besar petani penggarap Rusia bukanlah petani yang mengerjakan tanah mereka
107
sendiri, mereka adalah bagian dari komunitas-komunitas dusun yang memiliki tanah secara kolektif yang secara periodik dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga tersebut. Tanah, dalam pandangan para petani penggarap tersebut bukanlah suatu komoditas atau barang dagangan melainkan sumber kehidupan dimana hanya orang yang menggarapnya yang berhak menikmati hasilnya”. Kebanyakan dari para petani tersebut bersifat konservatif, taat pada
monarki kekaisaran Tsar dan terhadap Gereja Ortodoks. Kekaisaran yang bersifat
feodalisme ini lambat laun merongrong banyak rakyat Rusia karena para petani
tidak menggarap tanah mereka sendiri sehingga kehidupan mereka akan sangat
bergantung kepada tanah yang mereka garap. Sedangkan kaum bangsawan yang
berada di puncak kekuasaan hanya tinggal merasakan hasil jerih payah dari
mereka yang menggarap tanahnya. Latar belakang inilah yang memungkinkan
terjadi sebuah revolusi. Karena masalah tanah tersebut, para petani Rusia menjadi
amat sensitif, tanpa mereka sadari dalam kurun waktu yang singkat jumlah para
petani yang ada semakin meningkat dibandingkan dengan jumlah luas tanah yang
akan mereka garap.
Banyak hal yang mengakibatkan jumlah petani meningkat tajam,
meskipun begitu berkembang ilmu pengetahuan di Rusia, akan tetapi dalam hal
pertanian mereka masih menerapkan sistem pertanian yang tradisional yang
ekstensif konservatif sehingga hasil panen hanya menghasilkan jumlah yang
sedikit. Hal itu belum termasuk faktor ekstern yang mengakibatkan gagal panen,
misalnya cuaca dan iklim yang cenderung ekstrim. Meskipun para petani
seringkali mengalami gagal panen, namun mereka sangat loyal terhadap Tsar. Hal
itu dikarenakan, mereka percaya bahwa Tsar adalah pemilik semua tanah yang
sah, dan suatu hari nanti akan mengambil alih tanah-tanah tersebut dari para
108
pemiliknya serta memberikannya kepada komunitas (yang menaungi para petani
kecil), tetapi apabila Tsar tidak melakukan hal tersebut, mereka siap untuk
mengambil alih secara paksa. Pipes juga mengungkapkan (2003:35) bahwa:
”Faktor-faktor lain dari masa lalu juga turut membuat Rusia bukan barat. Hampir sepanjang seluruh sejarahnya, Rusia diperintah oleh suatu bentuk otoktasi yang ekstrim, dimana Tsar tidak hanya menikmati kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang tanpa batas tetapi juga secara harfiah adalah pemilik negara sehingga bila mau ia dapat mengeksploitasi baik manusia maupun sumber-sumber materialnya—tipe rezim yang oleh ahli sosiologi Jerman Max Weber dinamai ”Patrimonal”. Administrasi kekaisaran dipercayakan kepada suatu birokrasi yang bersama dengan tentara dan polisi menjalankan kekuasaan tanpa mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Hingga tahun 1905, ketika kerusuhan sipil memaksa tsar untuk menyerahkan kekuasaannya pada konstitusi dan hak-hak sipil rakyat Rusia dapat ditahan dan diasingkan tanpa diadili semata-mata karena membayangkan perubahan dalam status quo”. Para Tsar juga bertindak dan berkeinginan mengikuti perkembangan
zaman, sehingga Rusia dapat sejajar dengan negara-negara Eropa Barat. Hal yang
dilakukan Tsar tersebut adalah hasrat untuk mempunyai status sebagai penguasa
dunia yang besar sehingga secara tidak hati-hati mereka (para Tsar) malah
mengambil langkah yang pada akhirnya akan merongrong kekuasaan dan
legitimasi mereka di Rusia. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh Tsar tersebut
adalah dengan memajukan ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis, mulai terbuka
terhadap teknologi-teknologi baru, banyak didirikannya universitas-universitas di
Rusia yang menghasilkan warga negara berintelektual tinggi dan dapat merasakan
bahwa pengekangan yang terjadi di Rusia sebenarnya tidak dapat dibiarkan begitu
saja.
Kebijakan-kebijakan Tsar itu ternyata melahirkan para cendekiawan yang
berintelektual tinggi yang inti dari pemikiran mereka adalah oposisi terhadap
109
semua aturan politis dan sosial yang ada serta keyakinan bahwa dengan
melakukannya mereka bicara demi rakyat yang selama ini bungkam.
Selanjutnya, langkah lain yang dilakukan Tsar yang justru nantinya akan
membawa pada kehancuran otokrasinya adalah dengan didorongnya kapitalisme.
Rusia menjelang abad ke-20 adalah gerbang terbukanya kapitalisme dengan mulai
bermunculannya industrialisasi. Sebelum itu, Rusia telah mengalami kekalahan
dalam Perang Krim dan kekalahan ini menunjukkan bahwa dalam dunia modern
tidak ada negara yang mengklaim diri sebagai kekuasaan yang agung tanpa
adanya industri yang maju dan transportasi yang baik pula. Hal tersebut
mendorong para Tsar untuk dengan giat meningkatkan bantuan modal baik dari
dalam maupun luar negeri dan sebagai efeknya muncullah kebijakan yang terpisah
dari pemerintahan dan birokrasinya.
Dua langkah yang disebutkan diatas pada kenyataannya telah
memperlemah posisi dan kekuasaan Tsarisme di Rusia. Namun ternyata, tidak
hanya hal itu yang akan menimbulkan sebuah revolusi. Tetapi, akibat dari
kapitalisme tersebut, ternyata juga menimbulkan efek yang lain yang nantinya
akan menjadi salah satu kekuatan dari revolusi yang mereka miliki, yaitu
munculnya kaum buruh.
Faktor-faktor seperti itulah yang nantinya akan memunculkan tokoh-tokoh
intelektual yang orientasinya adalah pada gerakan-gerakan revolusioner. Sebagai
dampak dari tertindasnya rakyat oleh otoritas Tsar dan para kaum borjuis lainnya.
Salah satu tokoh yang concern terhadap permasalahan yang muncul di negaranya
adalah Vladimir Ilyich Lenin yang bergabung bersama dengan Partai Buruh Sosial
110
Demokrat Rusia (PBSDR) dan nantinya akan mengubah secara total masa depan
dari negara Rusia.
Selain itu, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah jawaban yang akan
menjelaskan mengapa revolusi sosialis yang menurut Marx akan terjadi di Barat
malah melenceng dan terjadi di Timur yang agraris. Rusia kurang memiliki
penghambat bagi terlaksananya revolusi sosialis sebagaimana yang terdapat di
Barat. Pipes menjelaskan dalam bukunya Komunisme Sebuah Sejarah (2003:38)
bahwa:
”...di Barat: penghargaan terhadap hukum dan hak milik, juga rasa kesetiaan kepada negara yang melindungi kebebasan serta menyediakan pelayanan-pelayanan sosial. Kaum intelektual Rusia yang radikal yang diresapi dengan idealisme utopis di satu sisi dan golongan petani penggarap yang ingin mengambil-alih tanah pribadi di sisi lain, menciptakan suatu kertegangan permanen yang memungkinkan terjadinya pergolakan bila sewaktu-waktu pemerintah pusat berada dalam masalah.” Dengan demikian dapat diuraikan bahwa, faktor-faktor pendorong yang
membuat Rusia cenderung bergejolak dalam revolusi juga ditentukan oleh
beberapa aspek yaitu:
1) Keadaan Rusia yang telah didukung oleh masuknya ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga mulai muncullah golongan cendekiawan yang
merasakan penderitaan rakyat Rusia yang menginginkan perubahan
dalam segi pemerintahan dan ketatanegaraan di Rusia.
2) Munculnya kapitalisme yang terbuka, sehingga mengakibatkan
lahirnya kaum buruh sebagai akibat semakin meningkatnya
industrialisasi.
111
3) Adanya keinginan untuk mengambil alih tanah dari pada pemilik tanah
dikarenakan sistem feodalisme yang merugikan rakyat dan adanya
desakan ekonomi yang semakin menuntut.
4) Terjadinya ketegangan yang berkepanjangan antara kaum borjuis dan
kaum proletar sehingga kesenjangan diantara mereka semakin melebar.
5) Munculnya ide-ide dan konsep-konsep sosialis Marxis yang mulai
disebarluaskan oleh sebuah partai yang menjungjung tinggi
kesejahteraan kaum buruh yaitu Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia
(PBSDR).
Dalam hal ini, Vladimir Ilyich Lenin adalah seorang pemuda yang
memiliki keyakinan tentang ide-ide Karl Marx. Lenin juga tidak hanya sebagai
penganut, tetapi juga sebagai pendobrak ide-ide Marx, mematerialisasikannya dan
mampu memberikan corak ide lain yang seimbang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang sedang terjadi saat itu di Rusia. Marx dan Lenin adalah dua orang
yang berbeda, akan tetapi Lenin mampu mempraktekkan ide-ide Marx kedalam
kondisi yang riil di Rusia.
Lenin bergabung dengan PBSDR yang didirikan pada tahun 1898 dan
secara resmi didirikan pada tahun 1903 dalam suatu kongres yang diadakan di
London. Dalam partai ini, digambarkan mengenai konsep sosialisme, yang
diuraikan oleh Pipes (2003:40):
”...bahwa Rusia akan memperoleh kebebasannya bukan oleh usaha para borjuis yang setengah-tengah melainkan oleh buruh industri. Pembebasan dari otokrasi pada gilirannya akan menjadi landasan bagi sosialisme. Premis yang dibayangkan ini akan menjadi postulat inti sosial demokrasi Rusia: gagasan mengenai revolusi dua-tahap, pertama adalah menghancurkan otokrasi tsaris dan mendirikan sebuah rezim ”Borjuis”
112
demokratis Rusia, dan yang berikutnya adalah meninggalkan rezim ini dan melangkah menuju sosialisme. Strategi ini mengulangi apa yang pernah dikemukakan oleh Marx dan Engels yang menyebutkan perlunya suatu persekutuan taktis dengan golongan liberal untuk melawan rezim feodal”. Namun, sebagai orang yang mempunyai pemikiran sendiri tentang
Revolusi Sosialis, bahwa masalah besar yang dihadapi oleh Lenin ketika terjun ke
gelanggang perjuangan politik adalah apakah di Rusia, sosialisme itu harus
dicapai dengan jalan yang sama dengan di negara-negara industri maju
sebagaimana hal yang dipikirkan oleh Marx. Ataukah ada jalan lain yang khusus
dan langsung menuju sosialisme dari fase feodalisme.
Lenin berpikir bahwa apabila Rusia diharuskan menunggu hingga fase
kapitalis melewati kematangannya dan negara benar-benar telah dihuni oleh hanya
satu kelas saja seperti yang diungkapkan Marx, maka Rusia harus menunggu
hingga berpuluh-puluh tahun lamanya karena saat itu fase kapitalisme di Rusia
baru mencapai fase awal kapitalis. Lenin dengan tegas menolak kesimpulan
tersebut dan kemudian merumuskan teorinya tentang ” Imperialis sebagai tahap
akhir dari kapitalisme”. Suseno menjelaskan Bagaimana Teori Imperialisme
dalam bukunya Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme
(2001:234-235).
”Materialisme historis Karl Marx menyatakan bahwa menurut Hukum Evolusi Sejarah Umat Manusia, masyarakat mesti berkembang dari feodalisme melalui kapitalisme ke sosialisme dan komunisme. Dan menurut analisis Marx terhadap cara produksi kapitalis, kapitalisme niscaya runtuh karena kontradiksi-kontradiksi internalnya. Kenyataan bahwa perkembangan kapitalisme tidak mengikuti ramalan ini, menunjukkan bahwa analisis Marx terhadapnya belum lengkap. Teori imperialisme memenuhi kekosongan ini dengan menyatakan bahwa kapitalisme harus melalui suatu tingkat perkembangan yang oleh Marx belum diperhatikan, yaitu Imperialisme. Imperialisme merupakan tingkat
113
tertinggi kapitalisme. Secara sederhana isi teori imperialisme menyatakan bahwa melalui imperialisme kapitalisme seakan-akan mengekspor kontradiksi-kontradiksi internalnya ke bagian dunia lain sehingga keruntuhannya dapat ditunda. Dalam pandangan Marxisme, teori imperialisme merupakan aktualisasi analisis Marx terhadap kapitalisme dalam kondisi-kondisi masyarakat kapitalis pada permulaan abad ke-20”. Kemudian, lagi menurut Suseno (2001:236-237) juga mengungkapkan
apa yang disebut Lenin sebagai Imperialis sebagai tahap akhir kapitalisme dengan
bentuk kedua dari Teori Imperialisme yaitu tentang Imperialisme Modal.
”Lenin mendasarkan diri pada Hobson, Bucharin, Luxemburg, dan terutama pada Hilferding. Teori ini dipakai oleh Lenin untuk mendukung teorinya tentang revolusi. Teori Imperialisme Lenin ini kemudian menjadi interpretasi standar Marxisme terhadap kolonialisme dan imperialisme. Lenin menyatakan bahwa pembentukan monopoli-monopoli dan modal moneter merupakan perkembangan kapitalisme yang niscaya. Keterjalinan modal yang memperkuat ketergantungan moneter dan ekonomis negara-negara prakapitalis pada negara-negara industri maju yang kaya modal”. Sedangkan Suseno menyimpulkan dari bukunya Dalam Bayang-bayang
Lenin: 6 Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka (2005:10) bahwa:
“Imperialisme merupakan sarana negara-negara kapitalis maju untuk sementara dapat mengekspor ketegangan –ketegangan internal mereka ke Negara-negara pra-kapitalis. Tetapi dengan demikian—itulah kesimpulan asli Lenin—revolusi sosialis justru lebih mungkin akan pecah di Negara-negara pra-kapitalis. Negara-negara itu adalah mata rantai yang paling lemah dalam sistem kapitalisme internasional. Jadi revolusi sosialis akan pecah bukan di pusat kapitalisme, melainkan di pinggirannya. Dengan demikian sebuah revolusi sosialis di Rusia justru sangat memungkinkan, dan revolusi itu diharapkan akan menjadi pemicu revolusi sosialis internasional”. Oleh karena itu, tak heran apabila Lenin berjuang mati-matian menentang
pendapat di kalangan Menshevik bahwa untuk menjatuhkan feodalisme dan
mendirikan pemerintahan demokratis, kelas buruh harus terlebih dahulu bekerja
sama dengan kaum borjuis. Sebagaimana yang dikutip oleh Suseno (2005:10-11)
bahwa:
114
“Menurut Lenin, proletariat harus bersekutu dengan kelas borjuasi tetapi sebagai yang memimpin gerakan revolusioner. Apabila kekuatan Tsar sudah dihancurkan, proletariat lalu sudah berada dalam posisi untuk dalam waktu tidak terlalu lama meneruskan revolusi dan mengakhiri kekuatan borjuasi. Oleh karena itu, Lenin selalu menegaskan bahwa proletariat harus dibentuk sebagai kekuatan politik mandiri yang tidak hanya melawan kekuasaan feudal Tsar melainkan senantiasa sadar bahwa musuhnya yang sebenarnya adalah para pemilik modal.” Namun, pergerakan kaum buruh tersebut terhalang oleh adanya teori yang
menyebutkan tentang kaum buruh hendaknya membatasi diri pada perjuangan di
bidang ekonomi, sedangkan perjuangan politik diserahkan terlebih dahulu kepada
borjuis. Maka untuk melawan bahaya tersebut, menurut Lenin kaum buruh juga
harus diberi kesadaran politik dan melakukan perjuangan di medan politik
misalnya saja Partai Buruh. Karena menurut “Ekonomisme” semangat
revolusioner-sosialis kaum buruh akan berkembang dengan sendirinya melalui
pengalaman perjuangan di bidang ekonomi. Namun bagi Lenin, mempercayai
harapan tersebut sama halnya dengan mempercayai bahwa kaum buruh akan
memperoleh kesadaran sosialis secara spontan.
Suseno (2005:12-14) mengutip pernyataan Lenin yang menyebutkan dua
alasan Lenin tidak percaya bahwa sosialis-revolusioner dapat berkembang secara
spontan.
“Pertama, karena kepentingan yang langsung diarasakan oleh para buruh terarahkan pada kepentingan-kepentingan langsung mereka dan bukan pada revolusi sosialis. Maka buruh yang masuk kedalam partai dan menunjukkan kemampuan berpolitik sebaiknya segera dicopot dari proses produksi dan dididik menjadi orang revolusioner purna waktu. Kedua, semangat revolusi sosialis mengandaikan sebuah teori revolusioner. Teori itu adalah sosialisme ilmiah. Tapi tidak mungkin kaum buruh yang hanya berpendidikan rendah secara spontan dapat sampai ke sosialisme ilmiah itu. Dari kenyataan itu Lenin menarik kesimpulan logis bahwa kesadaran revolusioner harus dimasukkan ke dalam kelas buruh dari luar dan dengan demikian jelaslah peranan kaum intelegensia dalam pembentukan
115
kesadaran sosialis. Hanya dengan dipimpin oleh mereka, kelas buruh dapat menjadi kelas revolusioner. Bentuk organisatoris kepemimpinan kelas buruh adalah partai revolusioner”. Maka, harus dibentuklah partai jenis baru yang berbeda dari organisasi
buruh pada umumnya. Melawan Martov dan para pengikutnya yang tergabung
dalam Menshevik, Lenin juga menegaskan bagaimana sebaiknya Partai Buruh itu
dibentuk. Sebagaimana yang diuraikan oleh Suseno (2005:15) bahwa:
“Partai itu memerlukan struktur organisatoris sedemikian rupa hingga betul-betul dapat memimpin perjuangan buruh. Partai itu tidak boleh terbuka luas, melainkan terdiri atas orang-orang yang ‘pekerjaan pokoknya adalah kegiatan revolusioner’ yang terlatih secara professional dalam seni perjuangan melawan polisi politik. Partai itu harus merupakan sebuah organisasi tertutup dan konspiratif yang terdiri atas orang-orang revolusioner purna waktu, dengan tidak membedakan antara kaum buruh dan kaum intelektual. Satu-satunya prinsip organisasi sungguhan bagi para peserta gerakan kita harusnya: konspirasi seketat mungkin, seleksi para anggota seketat mungkin, pembentukan orang revolusioner professional. Apabila ciri-ciri itu terdapat, yang jadi terjamin adalah sesuatu yang lebih daripada sekedar ‘demokratisme’: kepercayaan sepenuhnya antar kaum revolusioner sebagai kawan”. Dengan demikian, partai yang dimaksudkan tersebut akan menjadikan
buruh sebagai penyokong yang kuat dalam revolusi sosialis. Mempersiapkan
revolusi sosialis berarti juag mempersiapkan tangan kaum buruh untuk dapat
menghancurkan kekuasaan Tsar dan merebut ketangannya sendiri dan
menghancurkan borjuasi. Apapun dilakukan dan dilegalkan selama hal tersebut
mendukung perebutan kekuasaan di tangan kelas proletariat. Namun nampaknya
Lenin memiliki permasalahan yang cukup dalam untuk menyiapkan revolusi
sosialis tersebut yaitu ketika ia menyadari bahwa kekuatan yang dimilikinya
hanya terbatas pada orang-orang yang tergabung dalam Partai Bolshevik dan
116
kaum buruh saja yang jumlahnya masih sedikit apabila dibandingkan dengan
jumlah kaum petani yang terbesar dan tersebar ke seluruh pelosok Rusia.
Oleh karena itu, ia bicara tentang koalisi proletariat dengan kelas tertindas
lainnya di Rusia yaitu kaum tani dan borjuasi kecil. Lenin merumuskan program
politik partai Bolshevik yang bermaksud mencari dukungan dari dua kelas penting
itu. Program itu disingkat dalam semboyan “Roti dan Perdamaian” (chlebda mir)
dan terdiri dari tiga tuntutan: Akhirilah perang (Perang Dunia I) sekarang juga,
negarakan perusahaan-perusahaan Industri, dan bagikan tanah para tuan tanah
kepada para petani!.
Dalam Bukunya Arif dan Prasetyo (2005:67) menyatakan bahwa:
“Lenin mengemukakan pentingnya kaum tani dalam menyelenggarakan revolusi. Tentu ini bukanlah sekedar keteledoran seorang Marx dalam memandang situasi manakala Marx hanya melihat peranan kaum buruh dalam revolusi. Tentu juga bukan karena Marx terlalu percaya pada ide Hegel tentang dialektika, dimana materialisme dialektika dan materialisme historis adalah penentu kematian kapitalisme. Dalam manifesto komunis, Marx memang menyebut petani, tapi oleh Marx petani (pemilik tanah) digolongkannya kedalam kaum borjuis yang akan membawa sejarah kembali pada feodalisme”. Berlainan dengan yang diutarakan oleh Arif dan Prasetyo, Pipes (2003:46)
juga mengatakan bahwa:
“Bagi kaum Marxis, golongan petani penggarap merupakan sebuah kelas”borjuis kecil” dan karenanya juga adalah musuh bagi para buruh industri. Namun begitu, Lenin menyadari keinginan para petani penggarap tersebut untuk mendapatkan tanah mereka sendiri dan ia bersedia membantu mengadakan suatu revolusi kaum petani karena ia yakin bahwa setelah memperoleh kekuasaan ia dapat menyingkirkan mereka dengan cara menasionalisasi tanah pertanian” Hal ini berarti, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Lenin adalah
merupakan sebuah taktik dan strategi politik dari apa yang ingin dicapai Lenin
117
agar revolusi sosialis dapat berjalan dengan lancar dan menjadi bagian terpenting
dalan ajaran Marxisme-Leninisme tentang “strategi dan taktik perjuangan
revolusioner”. Nampaknya apapun akan dilakukan agar tujuan menjadikan
masyarakat sosialis dapat terwujud. Lenin seolah-olah memperoleh simbiosis
mutualisme dari hubungan kerjasamanya dengan kaum petani. Yaitu kaum petani
mendapatkan dukungan dan fasilitas untuk mengembalikan tanah mereka dan
Lenin juga mendapatkan sumbangan tenaga dan pikiran dari kaum petani dalam
menghimpun kekuatan revolusioner.
Hal ini, berlainan dengan apa yang dialami oleh Marx sendiri yaitu, ketika
terjadi pertentangan antar dua kelas yang sama-sama dilahirkan dari sejarah yaitu
masyarakat borjuis dan masyarakat proletar. Inilah awal mula dimana Marx
menancapkan teorinya bahwa konflik internal didalam tubuh kapitalisme akan
mengakibatkan apa yang oleh dirinya disebut sebagai revolusi. Bagi Marx, seperti
yang dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2005:69) bahwa:
“…sesuai dengan kondisi masyarakat Eropa pada saat itu, revolusi yang dimaksud adalah perubahan sistem kemasyarakatan secara struktural. Jadi, kaum proletar yang tertindaslah yang lebih banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Marx. Lenin lantas melengkapinya dengan menghadirkan objek tertindas lainnya yaitu kaum petani. Mereka sama-sama mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan kaum buruh, sama-sama diakibatkan oleh modal kaum kapitalis. Jika buruh di Eropa barat adalah bagian penting dari konsep Marx, maka petani di Rusia disamping juga buruh adalah bagian penting dari konsep yang dikembangkan oleh Lenin”. Dari apa yang dikemukakan diatas dapat kita lihat bahwa ternyata Marx
lebih fokus dan terinspirasi oleh apa yang ada disekelilingnya saat itu yaitu
penindasan yang dialami oleh kaum buruh. Maka, bukan tidak mungkin Marx
hanya memikirkan kaum buruh saja karena anggapan Marx, kaum petani ini
118
bersifat konservatif dan bahkan cenderung radikal, mereka akan bertindak apabila
kepentingan mereka sebagai pemilik atau penggarap tanah terganggu sedangkan
apa yang dipikirkan oleh Lenin adalah tak hanya kaum buruh saja yang tertindas
oleh adanya kapitalis dan borjuis akan tetapi keadaan dan situasi di Rusia saat itu
mengikutsertakan kaum petani sebagai salah satu korbannya. Maka, tak heran
Lenin menjadi orang pertama dalam sejarah yang memasukkan peran serta kaum
petani dalam gerakan revolusionernya. Hal itu dimaksudkan agar kesamaan nasib
yang dialami oleh keduanya dapat disalurkan untuk merebut kekuasaan dari kaum
borjuis. Dan akhirnya Lenin mengambil sebuah inisiatif bahwa: Mereka (kaum
proletariat) harus dikoordinasikan untuk melawan penindasan kapitalisme, dengan
berbekal radikalisme kaum Populis (kaum Rusia Pra-Marxis) maka revolusi
sosialis itu harus segera dilaksanakan.
Maka, berawal dari sinilah dengan berbekal ide-ide dari marx dan
kolaborasi dengan apa yang disampaikan dengan cerdas oleh Plekhanov dan
modal radikalisme kaum Populis, Lenin berhasil menemukan suatu cara yang
efektif untuk mengubah wajah Rusia yaitu melalui Partai politik yang berisi
orang-orang professional dan bekerja hanya untuk menyumbangkan tenaga dan
pikirannya demi revolusi, melakukan doktrinasi secara terus menerus agar para
petani dan buruh terbangun sebuah kesadaran akan ketertindasannya. Maka orang
itu, layak disebut sebagai Revolusioner Profesional.
Selain itu juga, Arif dan Prasetyo (2005:70) mengutip penolakan Lenin
terhadap konsep Marx yang juga dianut oleh Plekhanov yaitu:
“…Bahwa Revolusi sosialis akan dicapai melalui tua tahapan: Pertama, revolusi-revolusi yang dikomandani oleh golongan borjuis yang hendak
119
menghancurkan golongan feodal (revolusi borjuis) dan kedua adalah revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar untuk menggantikan kepemimpinan kaum borjuis. Sewaktu revolusi pertama berlangsung, kaum buruh modern sebenarnya sudah eksis membantu borjuis meruntuhkan golongan feudal. Bantuan yang diberikan oleh kaum buruh dalam revolusi pertama semata-mata dimaksudkan sebagai ajang latihan dan pemantapan tekad mengantisipasi kekuasaan, melatih diri berorganisasi serta memahami cara mengatur Negara—yang pada saatnya nanti juga harus digulingkan untuk mencapai masyaralat sosialis tanpa kelas (classless society), negara melenyapdiganti dengan pemerintahan proletariat. Selanjutnya dalam pemerintahan proletariat setelah runtuhnya kaum kapitalis, kelas-kelas dalam masyarakat dengan sendirinya akan turut hilang. Alienasi juga akan melenyap sebab alat produksi tidak lagi diletakkan sebagai kepemilikan individual tetapi berubah menjadi milik kolektif yang akan dikelola secara kolektif pula”. Berkaitan dengan jalannya revolusi, Lenin menolak mentah-mentah apa
yang dikemukakan oleh Marx sebagai teori revolusi dua tahap yang juga
dipercayai oleh Plekhanov. Bagi Lenin, tidak ada yang perlu dihargai dari adanya
revolusi borjuis, tapi revolusi kedua ala Marx itulah yang harus segera dijalankan
tanpa harus menunggu sesuatu syarat apapun sebagaimana yang dikemukakan
oleh Marx. Revolusi proletar tak bisa ditunda-tunda hanya karena harus
menunggu terjadinya revolusi borjuis terlebih dahulu. Inilah yang menjadi
perbedaan antara Marx dan Lenin, Lenin berhasil mempraktikkan apa yang telah
ia gagaskan sebelumnya, berbeda dengan Marx yang hanya sampai pada tataran
teori saja.
Marx menisbatkan bahwa revolusi akan tiba dengan sendirinya, manakala
konflik inheren tercipta dan pada saat puncak perkembnagan capital sudah tak lagi
bisa ditoleransi oleh kelas tertindas. Bagi Marx, partai politik hanyalah merupakan
instansi yang akan mengkoordinasikan dari kesadaran masa itu. Cara berevolusi
yang “alamiah” seperti itu pun ditolak oleh Lenin. Bagi Lenin, kaum buruh dan
120
petani harus dikoordinasikan dibawah satu komando yakni sebuah partai politik
yang didalamnya terdapat visi yang tegas untuk sebuah perubahan.
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh pimpinan revolusinya, Lenin.
Trotsky (2009:49) sebagai Panglima Tentara Merah juga menegaskan dalam
bukunya yang berjudul Revolusi Permanen bahwa:
“Revolusi adalah sebuah pertarungan kekuatan secara terbuka antara kekuatan-kekuatan social didalam sebuah perjuangan untuk mengambil kekuasaan. Negara bukanlah sebuah tujuan akhir didalam dirinya sendiri. Ia hanyalah sebuah alat di tangan kekuatan sosial yang mendominasi. Negara adalah kepentingan kelas; mekanisme motornya adalah agitasi, media, gereja, sekolah, partai-partai, pertemuan-pertemuan jalanan, petisi dan pemberontakan. Negara bukanlah suatu tujuan akhir didalam dirinya sendiri, tetapi ia merupakan alat untuk mengorganisir, disorganisir dan re-organisir hubungan-hubungan sosial. Ia dapat menjadi kekuatan yang besar bagi revolusi atau menjadi sebuah alat penghenti revolusi yang terorganisir, ini pada tangan yang mengontrolnya”. Maka, dapat dibayangkan apabila Lenin harus menunggu hingga bertahun-
tahun lamanya apabila revolusi sosialis harus menunggu fase kematangan
kapitalis terlebih dahulu dan dilanjutkan oleh adanya revolusi borjuis. Maka
dengan tegas, Lenin menolak argument Marx dimana revolusi harus diciptakan
dua kali.
Ketika revolusi bisa langsung dilompati dari fase kapitalis ke sosialis,
tanpa harus menunggu fase tersebut mengalami kontradiksi internal, atau adanya
revolusi borjuis terlebih dahulu sebagaimana yang disampaikan oleh Marx dan
diakui oleh Plekhanov dan dipercayai oleh kaum Menshevik, mengapa Rusia
harus menunggu selama itu apabila dari sekarang revolusi sosialis itu bisa
dijalankan.
121
Setelah revolusi bisa dijalankan dengan baik, maka tindakan selanjutnya
menurut Lenin adalah persiapan kaum proletariat untuk menumbangkan Negara
demokrasi parlementer dan menggantinya dengan demokrasi Rusia (demokrasi
langsung) yang sama sekali berbeda dan akan menjadi alat kekuasaan bagi kaum
proletariat Rusia dalam melawan kapitalisme.
D. Kontribusi pemikiran tokoh-tokoh intelektual yang mempengaruhi
pemikiran V.I Lenin tentang konsep Negara dan Revolusi
Barangkali, apabila tidak ada Lenin, maka pemikiran-pemikiran Karl
Marx hanya bisa diingat oleh beberapa ahli filsafat dan sejarah ilmu ekonomi saja.
Begitu juga sebaliknya, apabila tidak ada Marx maka Lenin tidak mempunyai
pijakan pemikiran yang ajeg tentang konsep negara dan revolusi yang ia pikirkan.
Lenin dan Marx saling melengkapi meskipun hidup di jaman yang berbeda dan
Lenin adalah orang pertama yang mempraktekkan pikiran-pikiran Marx secara
nyata di Rusia tidak hanya sebatas teoritis saja.
Dalam sub-bab ini akan diuraikan kontribusi dari pemikiran tokoh-tokoh
intelektual yang mempengaruhi Vladimir Ilyich Lenin dalam memikirkan konsep
tentang negara dan revolusi. Lenin bukan saja sosok yang berhasil menerapkan
dan merealisasikan pikiran-pikiran Marx kedalam kenyataan, tetapi juga adalah
sosok yang dapat mengimbangi pikiran-pikiran Marx tersebut dengan teori dan
ide yang seimbang dengan Marx. Kesatupaduan antara keduanya akan
mewujudkan sebuah paham yang disebut Marxisme-Leninisme, yang nantinya
akan dinisbatkan sebagai ideologi wajib bagi negara atau siapapun yang menganut
122
Komunisme. Lenin telah mengubah dirinya sendiri menjadi sebuah ideologi,
sebuah ideologi dimana digantungkan berjuta-juta nasib petani miskin dan buruh.
Oleh karena itulah, menurut Arif dan Prsetyo (2004:65) menyatakan
bahwa:
”Lenin berupaya untuk mempertajam teori Matx yang merupakan manifestasi kecerdasan yang radikal pula. Lenin percaya kepada Marx, dan Marxisme harus diperbaiki. Dibreak-down untuk menjadi landasan gerakan yang nyata. Lenin juga percaya pada Plekahnov, percaya pada tradisi kaum Populis di Rusia, tapi ia harus dibekali dengan kecerdasan teori dan taktik”. Dalam perjalanan sejarahnya, banyak sekali pemikiran-pemikiran kaum
intelektual yang mempengaruhi pemikiran Lenin, seiring dengan rasa kepenasaran
Lenin tentang konsep negara dan revolusi yang ingin dijalankannya. Untuk dapat
memahami bagaimana pemikiran Lenin, maka inti dari pemikiran Lenin
dipengaruhi oleh 3 tokoh yang terrangkum dalam skema dibawah ini (2004: 41):
Bagan 4.1
Skema Pemikiran Lenin
Karl Marx
(1818-1883)
Georgii Plekhanov
(1856-1918)
Kaum Populis Kaum Radikal
Pra-Marxis
V.I LENIN (1870-1924)
123
Dari skema diatas, dapat kita ketahui bahwa dasar pemikiran Vladimir
Ilyich Lenin itu dipengaruhi oleh beberapa tokoh intelektual yang memiliki
persamaan, perbedaan atau justru melengkapi dari pemikiran tokoh tersebut
sebelumnya. Semua tokoh-tokoh tersebut memiliki konstribusi terhadap
pemikiran Lenin karena dengan adanya pemikiran-pemikiran tokoh tersebut,
Lenin bisa memiliki dasar yang kuat terhadap apa yang akan dilakukannya.
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa skema yang diuraikan diatas adalah
hanya sekedar kunci agar kita dapat mengetahui skema dasar dari pemikiran Lenin
itu sendiri. Adapun tokoh-tokoh inteleketual tersebut adalah Karl Marx, Georgii
Plekahnov, dan Kaum Populis (Kaum Pra-Marxis Rusia).
1. Karl Marx
Tokoh yang bernama Karl Heinrich Marx (1818-1883) ini merupakan
tokoh utama dibalik pemikiran-pemikiran Lenin. Berkat pemikiran Marx, Lenin
dapat mengembangkan pokok-pokok yang diutarakan oleh Marx turut
dikembangkan pula oleh Lenin di Rusia.
Arif dan Prasetyo (2004:62) mengatakan apa yang menjadi ciri khas dari
Lenin:
”Konsistensi Lenin merupakan ciri penting yang dia tunjukkan dalam mengelola sebuah gerakan perubahan. Bahwa perubahan menuju masyarakat sosialis tak akan terwujud tanpa sebuah koordinasi dalam partai, dimana partai itu berisi orang-orang yang profesional, intelektual, dan cendekiawan yang menghabiskan waktunya hanya untuk kaum proletar dan petani. Lenin tidak hanya mencaci, tetapi dia juga memuji Marx. Bagi Lenin, kejeniusan Marx adalah karena orang pertama yang menyimpulkan pelajaran sejarah dunia dengan tepat dan menerapkan pelajaran itu secara konsisten. Kesimpulan yang dibuatnya menjadi doktrin dari perjuangan kelas. Rakyat selalu menjadi korban dari penipuan dan
124
kemunafikan dunia politik, mereka akan selalu begitu sampai mereka mencoba mencari tahu apa kepentingan sesungguhnya dari kelas-kelas yang ada dalam masyarakat, apa yang ada di balik ajaran moral, agama dan janji politik”. Bagi Lenin, doktrin Marxis bersifat serba guna karena tingkat
kebenarannya yang tinggi. Doktrin Marx juga lengkap dan harmonis serta
melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa
dipersatukan dengan berbagai macam tahayul, reaksi atau tekanan dari pihak
borjuis.
Selanjutnya, Arif dan Prasetyo juga mengatakan (2004:42) tentang Marx:
”Secara umum gagasan Marx sebenarnya tak bisa dilepaskan dari tokoh filsafat yang dikaguminya yaitu Hegel. Apa yang dikagumi oleh Marx dari Hegel tak lain adalah gagasan bahwa gerak sejarah umat manusia itu bersifat evolutif menuju ke tahap yang semakin tinggi. Menurut Hegel, proses kenaikan tahapan itu tidaklah berlangsung melalui dan dalam proses yang linear, namun dalam proses yang dialektik, yaitu proses dimana terjadi pertarungan antara tesis dan anti-tesis dileburkan dan diangkat kedalam tahap yang lebih tinggi dan karena itu tingkat kebenarannya lebih luas dan lebih tinggi dibandingkan tesis dan antitesis yang parsial. Lagi, menurut Hegel, gerak sejarah itu bersifat teleologis (memiliki sebuh tujuan). Namun, jika menurut Hegel tujuan sejarah adalah masyarakat tanpa kelas, menurut Marx tujuan sejarah ialah masyarakat tanpa kelas. Jika menurut Hegel yang bergerak dan juga ’bertarung’ dalam dialektika sejarah adalah negara-bangsa, maka menurut Marx yang bergerak dan ’bertarung’ dalam dialektika sejarah adalah kelas-kelas masyarakat. Dalam manifesto komunisnya, Marx menyatakan bahwa semua sejarah adalah pertarungan kelas antara mereka yang menindas dan yang tertindas”. Lantas, mengapa Marx begitu “mengidolakan” masyarakat tanpa kelas
sebagai tujuan sejarahnya?. Semuanya berawal dari inspirasi Hegel yang dikutip
oleh Arif dan Prasetyo (2004:44) bahwa:
“..pekerjaan sebagai medium pembentukan diri manusia maka menurut Marx, dalam masyarakat tanpa kelas itulah manusia bisa bekerja ‘memanusiakan alam yang objektif’ secara bebas tanpa keterpaksaan. Dalam masyarakat tanpa kelas, manusia bekerja untuk merealisasikan
125
dirinya di dunia, dan bukan semata-mata demi tuntutan ekonomi. Manusia bisa merealisasikan potensi-potensi kemanusiaannya secara utuh. Bekerja bukan lagi mengalienasikan manusia dari potensi-potensi kemanusiannya secara utuh. Dan dengan dengan demikian manusia berkembang secara utuh. Dia bisa mengembangkan potensi apa pun yang dia miliki”. Selain itu juga, Marx mengatakan bahwa:
”...diantara masyarakat kapitalis dengan komunis terdapat periode perubahan revolusioner dari yang satu menjadi yang lain. Sesuai dengan periode ini terdapat pula periode peralihan politik dimana negara tidak dapat berbuat lain kecuali adanya diktator revolusioner proletariat. Marx mendasarkan kesimpulan ini dengan analisis tentang peran proletariat dalam masyarakat kapitalis atas perkembangan masyarakat tersebut dan tentang tak terdamaikannya kepentingan-kepentingan yang berlawanan dari proletariat dan dan Borjuasi. Tapi tak hanya sekedar itu, Lenin melengkapinya dengan taktik dan strategi yang jitu, memikirkan masa depan Rusia dan memimpin revolusi”. Penindasan yang dilakukan kelas penindas terhadap kelas tertindas,
menurut Marx tidak hanya penindasan ekonomi dan politik belaka. Akan tetapi,
penindasan itu adalah penindasan atas ”totalitas realisasi kemanusiaan” manusia.
Arif dan dan Prasetyo juga mengungkapkan bahwa akibat penindasan itu, manusia
teralienasi dari keharusan untuk merealisasikan hakikat dirinya secara utuh dan
harmonis. Manusia-manusia dari kelas yang tertindas menjadi semata-mata alat
bagi manusia-manusia penindas untuk mencapai keinginannya.
Kemudian, menurut Marx sebagaimana yang dikutip oleh Arif dan
Prasetyo (2004:44) bahwa:
”Dalam pencapaian tujuan sejarah itu terdapat fase-fase yang harus dilalui dalam sejarah. Dua fase terakhir menjelang tercapainya tujuan sejarah itu adalah fase feodalisme dan fase kapitalisme. Menurut Marx, apa yang menggerakkan fase-fase tersebut berpindah ke fase yang lainnya adalah perkembangan kekuatan produktif manusia dan kelas-kelas sosial yang terbentuk sebagai akibat dari perkembangan kekuatan tersebut”.
126
Maka, secara keseluruhan, kemenangan beberapa kaum kapitalis tersebut
menciptakan pengelompokkan kelas sosial dalam masyarakat secara tajam
menjadi dua kelas besar yang saling berseteru kepentingannya yaitu kaum
kapitalis dan kaum proletar. Sementara di sisi lain, perkembangan kekuatan kaum
kapitalis yang semakin menindas kelas proletar dengan sendirinya akan
menumbuhkembangkan secara sadar ”kesadaran kelas” kaum proletar. Dari
”kesadaran kelas” itulah gerakan revolusi menuju cita-cita dan tujuan sejarah akan
muncul.
Leninisme sebagai ujung tombak dari ideologi Marxisme-Leninisme,
menjadi unsur kunci yang menentukan dari sosok ideologis Komunisme di
seluruh dunia. Maka tak berlebihan rasanya, apabila Leninisme dikatakan sebagai
alat perjuangan sebagian besar dari gerakan-gerakan revolusioner abad ke-20 dan
pada abad itu juga Komunisme menjelma sebagai kekuatan politik yang paling
ditakuti, dan semuanya itu tidak akan pernah terjadi tanpa adanya peranan dari
Lenin.
Suseno (2005:45) mengatakan bahwa:
”Teori Marx bukan produk pemikiran orang pintar yang kemudian dipakai untuk mengarahkan perjuangan proletariat, melainkan ungkapan teoritis perjuangan itu sendiri. Apa yang nyata-nyata dirasakan proletariat dalam kedudukannya sebagai kelas tertindas, dirumuskan dalam dimensi teori oleh Karl Marx untuk dikembalikan ke proletariat yang mengenalnya sebagai ungkapan konsepsional realitasnya sendiri”. Maka, menurut Marx, untuk menghadapi permasalahan seperti itu hanya
ada dua pilihan yaitu : Mati atau Memberontak. Suseno (2001:169) menuliskan
bahwa:
127
”Orang yang sudah lama tertindas sering tidak kuat untuk memberontak, maka akhirnya mati. Tetapi lain halnya dengan proletariat. Seperti yang telah diuraikan, pada saat mereka semakin miskin, kesadaran berkelas mereka malah semakin mantap. Semangat juang mereka semakin kokoh dan tak terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri mereka mati; mereka akan memberontak dengan jalan revolusi sosialis. Revolusi itu pada permulaannya akan bersifat politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan ”kediktatoran proletariat”. Artinya proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis untuk mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas luas yang masih mereka kuasai untuk menggagalkan revolusi proletariat dan mengembalikan keadaan lama. Jadi kediktatoran proletariat perlu untuk mencegah segala kemungkinan sebuah revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara. Marx memutuskan bahwa untuk mengkoordinasikan gerakan kaum proletar di seluruh dunia, dibutuhkan sebuah partai yang mengkoordinasikan gerakan revolusioner. Partai yang dikemukakan oleh Marx itu adalah partai Komunis”. Dalam buku Lenin: Revolusi Oktober 1917, Arif dan Prasetyo
menyimpulkan bahwa menurut Karl Marx, tujuan masyarakat sosialisme adalah
adanya masyarakat tanpa kelas yaitu suatu perwujudan dari terrealisasikannya
paham sosialisme sebagai akibat dari makin runtuhnya negara kapitalisme
sehingga golongan proletar semakin banyak dan terciptalah masyarakat 1 kelas
yaitu golongan pekerja/buruh saja sehingga sosialisme dapat diwujudkan.
Revolusi Sosialis tidak dapat terwujud apabila keadaan negara kapitalis belum
matang dan proletar masih merupakan golongan minoritas dan masih merupakan
kelas yang tertindas. Pada intinya, Lenin sepakat dengan apa yang dipikirkan oleh
Marx mengenai Hukum Evolusi Sejarah Ekonomi dan masyarakat tanpa kelas
yang diungkapkan oleh Marx, hanya saja Lenin lebih bersikap situasional dan
praktis sesuai dengan keadaan Rusia yang sedang dihadapi saat itu.
128
Apabila revolusi sosialis itu berhasil diwujudkan, maka menurut Marx fase
selanjutnya adalah adanya masyarakat sosialis yang pada tingkat tingginya akan
menjadi masyarakat komunisme. Namun, sebelum mencapai kearah sana, terlebih
dahulu kita bahas terlebih dahulu konsep sosialisme dan komunisme. Menurut
Suseno (2001:5) menyatakan bahwa:
“Marxisme tidak sama dengan ‘Komunisme’. ‘Komunisme” yang juga disebut sebagai ‘Komunisme Internasional’ adalah nama ‘gerakan kaum komunis’. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak Revolusi Oktober 1917 dibawah pimpinan Vladimir Ilyich Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah ‘komunisme’ juga dipakai untuk ‘ajaran komunisme’ atau bisa disebut dengan ‘Marxisme-Leninisme’ yang merupakan ajaran atau ideologi resmi komunisme. Jadi Marxisme menjadi salah satu komponen dalam ideologis komunisme. Kaum komunis memang selalu mengklaim monopoli atas interpretasi ajaran Marx, tentu dengan maksud untuk memperlihatkan diri sebagai pewaris sah ajaran Marx tersebut. Sedangkan istilah Marxisme adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang dilakukan oleh temannya Friedrich Engels dan oleh tokoh teori Mraxis Karl Kautsky”. Jadi, sesuai dengan apa yang dikatakan diatas bahwa komunisme Marx
berbeda dengan sistem komunis yang dibangun oleh Lenin 50 tahun kemudian.
Yang dimaksud komunisme menurut Marx adalah sebagaimana yang dikutip oleh
Arif dan Prasetyo (2004:170-171) yaitu:
”Komunisme bukanlah sebuah kapitalisme negara, jadi dimana hak milik diadministrasikan oleh negara. Marx mengatakan bahwa hanya pada permulaan, sosialisasi berarti nasionalisasi—negara mengambil alih hak milik pribadi. Tetapi sesudah kaum kapitalis tidak merupakan ancaman lagi. Negara kehilangan fungsinya dan menghilang. Maka pabrik dan tempat produksi lain akan diurus langsung oleh mereka yang bekerja disitu. Ciri-ciri inti masyarakat komunis adalah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, penghapusan adanya kelas-kelas sosial, menghilangnya negara, penghapusan pembagian kerja. Kelas-kelas tidak perlu dihapus secara khusus sesudah kelas kapitalis ditiadakan karena kapitalisme sendiri sudah menghapus semua kelas sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah sebabnya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan masyarakat dengan kelas atas dan kelas bawah lagi”.
129
Lenin yang telah mengubah dirinya sendiri menjadi sebuah ideologi
dimana digantungkan berjuta-juta nasib petani miskin dan kaum buruh. Pemikiran
Lenin telah berubah menjadi Leninisme, bahkan juga menjadi gaya berpikir dan
sebuah tradisi. Lenin bersikap terhadap apa yang terjadi di negaranya, ia tidak
menelantarkan dirinya diinjak-injak sang penguasa kapital, karenanya ia sama
sekali menolak gaya revisionisme Marxisme. Lenin bukan Marx, dan Marx juga
bukan Lenin, namun mereka saling melengkapi dan memadukan. Marx tanpa
Lenin menjadikan revolusi sosialisme dan masyarakat sosialis hanya dapat
dinikmati oleh beberapa ahli filsafat saja.
2. Georgii Plekhanov
Siapa tokoh ini?, Arif dan Prasetyo (2004:45) mengatakan bahwa:
”Tokoh yang satu ini dikenal sebagai Grandfather of Russian Marxism. Dialah yang berhasil membumikan Marxisme di Rusia. Membumikan tidak hanya dalam arti memperkenalkan, namun juga dalam artian mampu mengajarkan bagaimana menggunakan pikiran-pikiran Marx untuk membaca, menganalisa dan memahami gerak dan arah sejarah manusia”. Georgii Plekhanov, lahir pada tanggal 22 Desember 1856 di Gudalovka,
Rusia dari keluarga bangsawan kecil. Ia adalah seorang pendiri gerakan Sosial-
Demokrat di Rusia dan Marxis Rusia yang pertama. Sebagai seorang penulis yang
produktif ia berurusan dengan beberapa aspek dari pemikiran Marxis. Mulai pada
tahun 1875, ia mulai mengikuti gerakan revolusioner dari kaum Populis yang
konsentrasinya ditujukan kepada kaum petani kecil. Gerakan yang dilakukan oleh
kaum Populis adalah berusaha memabngun masyarakat sosialis agraria. Namun,
ternyata seiring dengan perkembangan gerakan kaum populis, Plekhanov lebih
cenderung berhubungan dan berkomunikasi dengan kaum buruh pabrik di kota.
130
Dan ketika kaum populis mulai melaksanakan kesadaran revolusioner di kalangan
petani kecil dan mulai melakukan aksi-aksi terorisme di Rusia sehingga
mengakibatkan terbunuhnya Tsar Alexander III. Plekhanov yang menyadari hal
tersebut menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh
kaum populis dan dia mulai mencari gagasan yang baru yang mampu mengatasi
kelemahan dan kegagalan gagasan kaum populis mengenai revolusi. Hingga
akhirnya ia menemukan pemikiran-pemikiran Karl Marx.
Selanjutnya, Arif dan Prasetyo (2004:45-46) mengungkapkan tentang
perkembangan yang dilakukan oleh Plekhanov yaitu:
”Pada tahun 1883, bersama beberapa sahabatnya mendirikan organisasi revolusi Marxis pertama di Rusia, yaitu Pembebasan Buruh (Liberation of Labour) di Jenewa. Tahun 1883, dia menerbitkan bukunya Sosialisme dan Perjuangan Politik (Socialism and Political Struggle) dan tahun 1885, Perbedaan-perbedaan kita (Our Differences). Dalam kedua karya tersebut, dia mengkritik kaum populis dan sekaligus memberikan basis ideologis bagi kaum Marxis di Rusia. Menurut Plekhanov, Rusia saat itu telah memasuki fase kapitalisme, yang mengubah struktur sosial masyarakat Rusia, dan sekaligus menciptakan kondisi-kondisi bagi kejatuhan pemerintahan otokrasi Rusia dibawah pemerintahan Tsar”. Dari pemaparan diatas dapat kita ambil kesimpulan menurut Plekhanov
dengan berdasar pada pemahaman bahwa Rusia tengah memasuki fase
kapitalisme, meski baru tahap awal dan meletakkan harapan revolusinya pada
kaum proletar yang terbentuk akibat masuknya kapitalisme. Kaum proletar adalah
kekuatan masa depan sejarah Rusia, menurut Plekahnov merekalah yang akan
melakukan revolusi sosialisme melalui adanya “Dua Jembatan Revolusi” dan
Lenin menyebutnya ini sebagai Teori Dua Tahapan Revolusi. Menurut Arif dan
Prasetyo (2004: 47), Teori Dua Jembatan Revolusi adalah :
131
“Proses menuju fase sosialisme yang terjadi melalui dua jembatan revolusi yaitu Pertama, Revolusi Borjuis, dimana kaum Borjuis-Kapitalis dengan bantuan kaum proletar menumbangkan kekuasaan feodal otoktasi. Kedua, melalui Revolusi Proletar yang akan menumbangkan kekuasaan kaum Borjuis-Kapitalis. Disini plekhanov menolak revolusi kaum proletar sebelum didahului oleh Revolusi Borjuis. Menurutnya, kaum Proletar harus terlebih dahulu mencapai kematangan politiknya dan ini akan bisa dicapai pada saat kekuasaan Borjuis-Kapitalis”. Apa yang diungkapkan oleh Plekahnov, sama halnya dengan apa yang
diungkapkan oleh Marx dan nantinya Plekhanov akan mengalami perpecahan
dengan Lenin bersama kaum Menshevik-nya. Plekahnov juga berpendapat bahwa
revolusi sosialis tidak bisa dengan mudah diwujudkan begitu saja tetapi
memerlukan persyaratan-persyaratan khusus agar revolusi tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Syarat-syarat tersebut, Marx dan Plekhanov memiliki
persamaan, makanya tak heran apabila Plekhanov dianggap sebagai Bapak Marxis
Rusia.
Jadi dapat dikatakan bahwa kaum proletar sebelum melakukan revolusi,
harus terlebih dahulu mengerti dan sadar akan tugas dari revolusi sosialis itu
sendiri sehingga mereka bisa melakukan revolusi sebagaimana mestinya. Selain
itu, Plekhanov juga tidak mengakui kekuatan yang dimiliki kaum petani, sehingga
ia tidak mencantumkan para petani bagi gerakan revolusinya karena petani
dianggap lebih konservatif dan tidak memiliki kekuatan masa.
Untuk mencapai revolusi sosialis, Plekahnov amat mempercayakan kepada
kekuatan revolusioner yang dimiliki oleh kaum buruh yang revolusioner, namun
untuk dapat mewujudkan revolusi tersebut, menurut Plekhanov terlebih dahulu
Rusia harus melewati fase kapitalisme yang matang dimana terjadi kontradiksi-
kontradiksi internal didalamnya seperti juga yang dikatakan Marx. Selain itu juga,
132
syarat yang lain adalah, adanya perjuangan kelas didalam negara yang akan
melakukan revolusi sosialis. Yaitu dimana disana sudah tidak ada lagi kelas yang
tertindas dan penindas dan hanya ‘dihuni’ oleh satu kelas yang sama yaitu Kelas
Proletar. Barulah apabila semuanya sudah terpenuhi, revolusi sosialis dapat
diwujudkan dengan dipimpin oleh Kediktatoran Proletariat.
Meskipun demikian, sebenarnya ketika terjadi Revolusi 1905 di Rusia,
pendapat yang dikemukakan oleh Plekhanov tersebut harus segera dikoreksi. Hal
itu dikarenakan gagasannya yang telah menilai sebelah mata kekuatan dari kaum
petani kecil sebagai kekuatan revolusioner baru. Seharusnya sebagai orang yang
tinggal dan besar di Rusia, Plekhanov dapat memahami potensi revolusioner yang
besar terdapat di kaum petani kecil. Selain itu, sama halnya dengan revolusi
borjuis, yang menurut Plekhanov harus mendahului revolusi proletar. Revolusi
borjuis itu tidak pernah terjadi sebagaimana mestinya dan borjuis adalah golongan
yang tidak dapat dipercaya untuk melaksanakan revolusi, sebagaimana apa yang
dibayangkan oleh Lenin.
3. Kaum Populis (Kaum Pra-Marxis Rusia)
Trotsky (2009:26) menjelaskan pengertian dari kaum Populis yaitu:
”Kaum Populis atau dalam bahasa Rusia disebut dengan Narodnik, pada awalnya ini adalah nama untuk kaum revolusioner Rusia pada tahun 1860-an dan 1870-an, Narodniki berarti ’bergerak ke rakyat’. Kelompok Narodnik dibentuk untuk merespon konflik yang semakin besar antara kaum tani miskin dan kaum tanah kaya (kulak). Kelompok tersebut tidak mendirikan organisasi yang konkrit, namun memiliki tujuan umum sama untuk menggulingkan monarki dan kulak, serta mendistribusikan tanah untuk kaum tani. Kaum Narodnik secara umum percaya bahwa kapitalisme bukan merupakan sebuah keharusan akibat perkembangan industri, dan bahwa dimungkinkan untuk melewati kapitalisme secara langsung dan masuk ke dalam masyarakat sejenis sosialisme”.
133
Sependapat dengan Trotsky, Arif dan Prasetyo (2004:47) mengungkapkan
pengertian dari Kaum Populis, yaitu:
”Kaum Populis merupakan bagian dari gerakan sosialis abad ke-19 di Rusia. Terdiri dari kaum intelektual Rusia yang percaya bahwa Rusia akan mampu mencapai tahap kemajuan tanpa harus melewati tahapan kapitalisme. Seperti kaum Marxis, mereka juga percaya akan teori perkembangan sejarah dan penciptaan masyarakat sosialis. Namun, berbeda dengan kaum Marxis yang mendasarkan masyarakat komunisnya pada kaum proletar, maka masyarakat komunismenya kaum populis adalah masyarakat komunisme agararis. Hal ini berlandaskan pada realitas bahwa mayoritas masyarakat Rusia adalah petani, sementara kaum buruh pada saat itu amat kecil jumlahnya. Selain itu, dalam pandangan mereka, kaum buruh itu pun tak lain dari kaum petani yang untuk sementara merangkap menjadi buruh. Karena masyarakat yang dituju adalah masyarakat agraris, maka kekuatan sejarah berada di tangan kaum petani. Untuk itu, kesadaran revolusioner kaum petani harus dibangkitkan”. Menurut kaum populis atau kaum Narodnik, hal yang mereka percayai
adalah bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner yang nantinya akan
menggulingkan monarki, menganggap komune desa sebagai embrio sosialisme.
Namun mereka tidak percaya bahwa kaum tani akan mampu mencapai revolusi
dengan usahanya sendiri. Menurut mereka, sejarah hanya dapat dibuat oleh
pahlawan, dan bagi mereka, individu yang luar biasalah yang akan memimpin
kaum tani menuju revolusi sosialis.
Selanjutnya, ditulis oleh Arif dan Prasetyo dalam bukunya (2004:48)
tentang perkembangan dari kaum populis:
”Akhir tahun 1860-an dan awal tahun 1870-an, kaum populis meluncurkan kampanye ’turun ke rakyat’ (khozdenie v narod). Ratusan intelektual muda berpakaian seperti petani turun ke desa-desa, tinggal disana dan mengajarkan perjuangan menciptakan revolusi guna mencapai masyarakat komunisme agraris. Tetapi sayangnya usaha ini sia-sia. Para petani yang buta huruf tidak terlalu merespon propaganda sebagaimana yang diharapkan, dan terkadang berkhianat serta melaporkan intelektual-intelektual tersebut pada polisi. Akibatnya banyak kaum populis yang tertangkap”.
134
Meskipun dipimpin oleh kaum intelektual Rusia yang masih berjiwa
muda, namun nampaknya kepintaran anggota dari kaum populis ini tidak
digunakan untuk merancang taktik dan strategi yang jitu agar para petani yang
diajarkan kesadaran revolusionernya bisa berhasil dengan baik. Namun hanya
kekecewaan yang didapat, selain tidak ada satu petani pun yang terpengaruh oleh
ajakan kaum populis itu, banyak juga para petani yang melaporkan kegiatan yang
dilakukan oleh kaum populis tersebut kepada polisi sehingga banyak yang
diamankan.
Meskipun demikian, dampak dari kegagalan tersebut, kaum populis
malahan berusaha untuk merencanakan untuk melakukan aksi-aksi yang lebih
radikal dan ekstrim lagi dengan menggunakan metode pengorganisasian yang
lebih ketat. Organisasi pertama yang muncul dari situasi tersebut adalah kelompok
revolusioner Zemlya i Volya (tanah dan kebebasan). Organisasi ini awalnya
melanjutkan kegiatannya di kalangan kaum petani, tetapi penangkapan yang terus
berlanjut oleh pihak polisi mengarahkan anggota-anggotanya ke terorisme sebagai
bentuk perjuangannya. Selain lewat ”propaganda dengan lisan”, kelompok ini
juga melakukan ”propaganda lewat aksi”.
Perkembangan selanjutnya terhadap aksi dari kaum populis ini, dirangkum
oleh Arif dan Prasetyo (2004:48), yaitu:
”Tahun 1879, Zemlya i Volya pecah menajdi dua kelompok yaitu Narodnaya Volya (kehendak rakyat) yang pada tahun 1881 membunuh Tsar Alexander II dan Chorny Peredel (Repartisi Hitam) yang terus melanjutkan kegiatan utamanya di kalangan petani sampai para anggotanya mulai menggeser perhatian mereka pada kaum proletar kota pada tahun 1880-an, sebagaimana yang dialami oleh Plekhanov”.
135
Salah satu gerakan yang dilakukan oleh kaum populis ini adalah gerakan
yang dilakukan oleh kakak kandung Lenin sendiri yaitu Alexander yang telah
merencanakan pembunuhan terhadap Tsar sehingga akhirnya Alexander pun
dijatuhi hukuman mati akibat perbuatannya tersebut. Melihat dari hal ini, dampak
jangka panjangnya adalah dapat dilihat pada diri Lenin, dimana kebencian dan
balas dendam terhadap kaum borjuis sangatlah besar karena didalamnya terdapat
unsur pribadi yang telah menyatu dalam setiap pemikiran-pemikirannya.
Maka, Inti dari pemikiran gerakan kaum Populis ini, Arif dan Prasetyo
(2004:48) mengutip Theodor Shanin (1986: 252-253) yang membedakan 3
perbedaan antara pemikiran Plekhanov dan kaum Populis yaitu sebagai berikut :
“Pertama, kaum Marxis menerima kemajuan yang dipahami sebagai hasil yang tak terelakkan dari kekuatan relasi-relasi produksi, mekanisasi dan dalam ukuran perubahan kapitalis yang memberikan jalan bagi demokratisasi Borjuisme dan sosialisme yang mengikutinya. Sedangkan kaum Populis mengkritik secara moral perkembangan kapitalisme. Kedua, kaum Marxis meyakini keniscayaan ilmiah dari perkembangan dua tahap di Rusia, dimana revolusi borjuis dan perkembangan kapitalisme dibawah rezim parlementer pasti memberikan landasan yang niscaya bagi gerakan masa sosialis dan revolusi sosialis. Bertentangan dengan keyakinan kaum Populis akan kemungkinan ‘lompatan tahap’ kapitalisme dan menjalankan secara sekaligus rekonstruksi Rusia secara sosialis. Ketiga, kaum Marxis Rusia menyatakan bahwa kaum proletar industri adalah satu-satunya kelas revolusioner yang konsisten dalam masanya yang akan mendukung transformasi sosialis yang akan tiba. Sedangkan kaum Populis mengatakan bahwa kaum tani dan intelektual bisa se-revolusioner kaum buruh industri ketika berhadapan dengan negara bentukan kapitalisme dan karena itu keduanya bisa dianggap sebagai sayap yang berbeda dari perjuangan kelas yang sama menuju sosialisme”.
4. Perbandingan dengan pemikiran V.I Lenin
Dari ketiga pemikiran tokoh dan golongan tersebut, pikiran Lenin tentang
revolusi sosialis dan negara yang akan dibentuknya itu pun menjadi berkembang.
136
Ada yang sejalan dengan ketiga pemikiran diatas tetapi juga banyak yang
berlawanan dengan ketiganya. Karena Lenin memiliki pemikiran sendiri
mengenai konsep Revolusi Sosialis dan negara yang telah disesuaikan dengan
situasi, kondisi atau bahkan ambisi pribadi Lenin sendiri. Adapun pokok-pokok
pemikiran Lenin yang disebutkan oleh Arif dan Prasetyo (2004:50-59) adalah :
a. Kepercayaan atas Hukum Evolusi Sejarah Umat Manusia
Lenin sebagai pengikut Marxis, juga mempercayai akan Hukum
Evolusi Sejarah yang dikemukakan Marx yaitu tahapan primitif, tahapan
perbudakan, tahapan feodalisme, tahapan kapitalisme dan tahapan sosialis.
Ia juga sejalan dengan pemikiran Plekhanov yaitu meyakini bahwa Rusia
telah memasuki tahapan kapitalisme, namun ia juga tidak sependapat
apabila kaum proletar harus mendukung dan menjadi sekutu kaum
Borjuis-Kapitalis sebagaimana yang dikatakan oleh Plekhanov untuk
menjatuhkan feodalisme di Rusia.
Selain itu juga Lenin memang sependapat dengan apa yang dikatakan
oleh Plekhanov tentang mulai masuknya Rusia kedalam tahapan
kapitalisme, namun juga menolak pandangan Plekhanov tentang dua fase
revolusi guna menuju masyarakat sosialis.
Dituliskan oleh Arif dan Prasetyo (2004:50) bahwa:
“Dinyatakan oleh Plekhanov bahwa untuk menuju tercapainya masyarakat sosialis di Rusia, maka kaum proletar (yang saat itu jumlahnya amat kecil) harus membantu kaum borjuis-kapitalis mengadakan revolusi menyatukan kekuasaan feodal dan menggantinya dengan rezim kapitalisme.di bawah rezim ini, kapitalisme akan berkembang dan dengan demikian berkembang pula jumlah dan kekuatan kaum proletar. Dengan kekuatannya tersebut, maka kaum
137
proletar akan sanggup melakukan revolusi sosialis dalam menciptakan pembentukan masyarakat sosialis”. Berdasarkan pemikiran tersebut, menurut Lenin, Kaum borjuis-
kapitalis adalah kaum yang tak bisa dipercaya untuk membuka jalan bagi
terbentuknya revolusi sosialis dan masyarakat sosialis. Alih-alih, kaum
borjuis-kapitalis akan bersedia berkoalisi dengan Tsar Rusia guna
mencegah terbentuknya revolusi sosialis dan juga masyarakat sosialis.
Maka, Kaum proletar tak boleh tergantung pada Revolusi Borjuis dan
tak juga harus menunggu revolusi itu terlaksana akan tetapi kaum proletar
harus menciptakan Revolusi Sosialisnya sendiri. Sebelum dampak
kapitalisme itu berkembang semakin buruk Lenin berpikir lebih baik
mencegah hal itu terjadi dengan adanya Revolusi Sosialis secepatnya,
kaum proletar tak perlu menunggu kapitalisme itu hancur terlebih dahulu
sebagaimana yang dikatakan oleh Marx.
Akan tetapi, permasalahan selanjutnya adalah saat itu, Rusia hanya
memiliki jumlah kaum proletar yang sedikit sehingga hal itu dirasa terlalu
kecil untuk bisa melakukan revolusi. Maka sebagaimana yang dikutip Arif
dan Prasetyo dalam karya Lenin yang berjudul Devepment of Capitalism
in Russia, menyatakan bahwa:
“…ternyata bukan kaum proletar saja yang menderita akibat kapitalisme, namun juga para petani kecil. Akibat perkembangan kapitalisme juga, komunitas-komunitas kaum petani hancur dan para petani terbelah menjadi petani kaya, petani menengah dan petani miskin atau petani kecil. Dan ternyata, yang terakhir inilah yang jumlahnya separuh dari populasi para petani di Rusia yang dalam pandangan Lenin, ini merupakan kenyataan yang harus disatukan, yakni dijadikan sekutu bagi kaum proletar Rusia yang saat itu jumlahnya sangat kecil. Dan peran petani inilah yang nantinya akan
138
menjadi kekuatan baru revolusioner yang disiapkan Lenin untuk revolusi sosialis”.
b. Kaum Proletar-Petani kecil sebagai pilar Revolusi Sosialis
Marx dalam Manifesto Komunisnya menyatakan bahwa kelas
menengah kecil itu (termasuk para petani) tidaklah revolusioner namun
konservatif. Akan tetapi jika suatu saat mereka revolusioner, mereka akan
bersikap demikian hanya bila dalam pandangannya mereka terancam
pindah menjadi kaum proletar. Artinya bahwa Marx menganggap para
petani sebagai kekuatan konservatif. Hal ini tampak sejalan dengan
Plekhanov yang menganggap kaum proletar sebagai satu-satunya kelas
revolusioner dalam analisis kelas dan dalam pandangannya
pertarungannya adalah antara kelas proletar dan kelas borjuis-kapitalis.
Namun, dalam hal ini Lenin memiliki perbedaan baik dengan Marx,
Plekhanov maupun dengan kaum Populis.
Mengenai hal ini, Arif dan Prasetyo (2004:52) mengutip pernyatan dari
Plekhanov bahwa:
“Dalam pandangan Plekhanov, partai sosialis yang akan menjalankan revolusi sosialis tidak boleh berkompromi dengan kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang lain, termasuk dengan petani yang lebih mewakili dengan masa lalu dan berbeda dengan kaum proletar, masih memiliki alat-alat produksi dan karenanya tak bisa menjadi sebuah kekuatan sosialis. Kalaupun partai sosialis hendak memenuhi tuntutan kaum tani, sikap yang mungkin adalah netralitas. Partai sosialis tak melakukan hal lain selain menawarkan realisme pada petani untuk menerima kenyataan hidup tentang nasib mereka dibawah kapitalisme dan harapan bagi masa depan yang lebih baik dibawah kepemimpinan kaum proletar”.
139
Bagaimanapun juga Lenin adalah orang yang selalu
mempertimbangkan akan kondisi realitas di Rusia, ia menyadari bahwa
untuk melakukan Revolusi Sosialis di Rusia tidaklah mungkin dan sulit
terwujud karena kekuatan kaum proletar masih terlalu minim. Selain dari
itu, dalam pandangan yang mengatakan bahwa kaum borjuis-kapitalis
yang memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi menjungkirkan
feodalisme, tak bisa dipercaya sepenuhnya untuk memberi jalan bagi
revolusi sosialis.
Belajar dari peristiwa Revolusi yang terjadi tahun 1905 yang
merupakan sebuah revolusi petani yang radikal ternyata memiliki kekuatan
yang selama ini dianggap sepele oleh Plekhanov dan kaum Menshevik
yang lainnya. Kekuatan kaum petani dianggap sepele karena dianggap
sebagai salah satu penghambat gerak revolusi sejarah Rusia menuju tahap
kapitalisme dan tahap sosialisme, selain kekuasaan Tsar Rusia, oleh Lenin
kaum petani justu dianggap sebagai kekuatan baru revolusioner menuju
masyarakat sosialis dan merupakan mitra sejajar kaum buruh.
Oleh karena alasan itu, maka Lenin mengubah Kediktatoran
Proletariatnya sebagaimana dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2004:53) yaitu
Kediktatoran Proletariat kini ‘diperbaharui’ oleh Lenin menjadi
kediktatoran buruh dan tani. Pertarungan kini bukan lagi antara kelas
proletar dan kelas borjuis-kapitalis, akan tetapi antara kelas buruh dan tani
melawan kelas borjuis-kapitalis.
140
Oleh karena alasan itu, maka Theodor Shanin (1986) menuliskan
pikiran Lenin sebagai berikut:
“Bahwa untuk mencapai tujuan alamiahnya, revolusi harus berlandaskan pada kehendak mayoritas dan ‘radikalisme petani’ pada saat mengecam keragu-raguan kaum borjuis (yang akan berkompromi dengan kekuasaan Tsar). Untuk mengakhiri ‘tahap borjuis’ dari sejarah Rusia dan untuk melaksanakannya secara radikal, yaitu secara ‘plebeian’ rezim baru itu haruslah merupakan suatu ‘kediktatoran demokratik kaum proletar dan kaum petani’”. Dari pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa semenjak
Lenin menyadari tentang besarnya kekuatan dari kaum petani, kaum petani
juga menjadi kekuatan yang patut untuk diperhitungkan. Kaum petani
yang awalnya disepelekan oleh Plekhanov dan golongan Menshevik
lainnya, oleh Lenin diangkat ke permukaan dan dijadikan salah satu pilar
terjadinya revolusi sosialis. Dan hal itu menjadi warisan yang permanen
dari pemikiran Lenin, ahl itu dibuktikan dengan adanya surat wasiat Lenin
yang salah satu intinya adalah menyatakan bahwa kekuasaan partai
komunis berdasarkan pada dua kelas (kelas buruh dan kelas petani kecil)
dan dengan dengan hubungan yang saling menguntungkan diantara
mereka.
c. Tugas Partai dan Sifat Kepemimpinannya
Marx menyebutkan bahwa Partai Komunis hanya sebagai koordinator
gerakan-gerakan kaum buruh di seluruh dunia. Lenin berpikir lain, baginya
Partai Komunis itu memiliki tugas dan fungsi yang penting, sebagaimana
yang dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2004:54) yaitu:
141
“Tidak hanya sekedar mengkoordinasikan gerakan-gerakan buruh di seluruh dunia, tetapi juga menyuntikkan kesadaran sosialis pada diri kaum buruh, dan sekaligus menjadi mentor, pemimpin dan pemandu bagi kaum proletar dalam melaksanakan revolusi sosialisnya”. Pemikiran tentang tugas dan fungsi partai ini sebenarnya tak lepas dari
asumsi Lenin mengenai kesadaran sosialis kaum buruh. Berbeda dengan
Marx yang menyatakan bahwa kesadaran sosialis kaum buruh merupakan
sesuatu yang muncul secara spontan dan alamiah sebagai akibat dari
perkembangan kapitalis itu sendiri. Sedangkan Lenin beranggapan bahwa
perkembangan kapitalisme itu hanya akan melahirkan kesadaran berserikat
saja bukan kesadaran sosialis.
Suseno (2005:12) mengulas kembali pernyataan Lenin yang tidak
mepercayai kesadaran sosialis revolusioner kaum buruh dapat berkembang
secara spontan, yaitu:
“Pertama, karena kepentingan yang langsung dirasakan oleh para buruh terarahkan pada kepentingan-kepentingan langsung mereka dan bukan pada revolusi sosialis. Maka menurut Lenin buruh yang masuk ke dalam partai dan menunjukkan kemampuan berpolitik sebaiknya segera dicopot dari proses produksi dan dididik menjadi orang revolusioner purna waktu. Kedua, semangat revolusi sosialis mengandaikan sebuah teori revolusioner. Teori itu adalah sosialisme ilmiah. Tapi tidak mungkin kaum buruh yang hanya berpendidikan rendah secara spontan dapat sampai ke sosialisme ilmiah itu. Kesadaran berserikat dan kesadaran sosialisme itu adalah dua hal yang berbeda jauh”. Maka, oleh karena itu, menurut Lenin kesadaran politik revolusioner
sosialis itu harus disadarkan dari luar yaitu hanya diluar pertarungan
ekonomi, diluar dari atmosfer hubungan antara buruh dan majikan. Dan
kesadaran tersebut harus disuntikkan dari luar oleh sebuah organisasi yang
revolusioner juga.
142
Lenin juga membedakan antara organisasi buruh dengan organisasi
revolusioner. Jika organisasi buruh itu lebih bersifat serikat pekerja saja,
bercakupan luas dan jika kondisi politik memungkinkan, bersifat publik.
Sementara itu organisasi revolusioner harus secara eksklusif, terdiri dari
sejumlah kecil revolusioner professional dan bersifar rahasia. Bagi Lenin,
seorang revolusioner professional tidak harus berasal dari kelas buruh,
yang terpenting adalah kesanggupannya menjalankan tanggung dengan
baik. Dan diibaratkan dengan polisi, Lenin menegaskan bahwa organisasi
para revolusioner professional haruslah tersentralisasi dan mampu
mengendalikan organisasi-organisasi buruh yang ada dan diakui secara
hukum.
Untuk selanjutnya, Lenin juga mengungkapkan apa yang harus
dilakukan untuk mengkoordinasikan organisasi revolusionernya
sebagaimana yang telah diuraikan Arif dan Prasetyo (2004:56) yaitu:
“Sebagaimana kekuatan kecil seperti tentara dan polisi dapat mengendalikan sejumlah besar massa rakyat yang terorganisir, Lenin percaya bahwa organisasi yang relatif lebih kecil namun sangat berdisiplin dan terkoordinasi dengan rapi, akan dapat mengambil alih kekuasaan dari aparatur sistem yang ada. Pandangan Lenin mengenai sentralisasi dan kedisiplinan kekuatan partai pada sekelompok kecil revolusioner profesional inilah yang pada tahun 1903 mengakibatkan terbentuknya faksi Bolshevik dan Menshevik dalam tubuh Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia”. Dalam hal yang berkaitan dengan Partai revolusioner, jelas sekali
bahwa Golongan Menshevik memiliki perbedaan yang mencolok dengan
apa yang diyakini oleh Golongan Bolshevik. Hal tersebut juga
disimpulkan oleh Arif dan Prasetyo (2004:57) berikut ini:
143
“Kelompok Menshevik lebih mengusulkan kepemimpinan yang lebih longgar daripada kepemimpinan sejumlah kecil revolusioner professional. Mungkin ada yang menyebutnya sebagai pertarungan antara sentralis versus demokrasi dalam partai, tetapi sebenarnya gagasan Lenin itu lebih berdasarkan pada pertimbangan realistis daripada pertimbangan ideal “asal sentralisme”. Selain pertimbangan efektivitas dari organisasi, pertimbangan lain yang lebih utama adalah adanya bahaya infiltrasi. Dengan kepemimpinan yang longgar, ada bahaya agen-agen polisi Tsar dapat melakukan penetrasi. Juga terdapat bahaya dari kaum borjuis dan liberal yang senantiasa berusaha untuk mengambilalih gerakan kaum buruh dan mengubahnya menjadi sekedar ‘serikat kerja’ daripada menjadi kekuatan politik revolusioner”. Dalam hal ini secara komprehensif, pandangan Lenin didasarkan
kepada pemahamannya bahwa partai komunis sedang berada di tengah-
tengah perang yaitu perang antara kelas. Maka prinsip-prinsip partai pun
haruslah menerapkan sifat organisasi yang terlibat perang termasuk
kedalam bagaimana pengelolaan revolusi itu dilakukan, bentuk organisasi,
orang-orang revolusioner, dan kesadaran revolusioner adalah hal-hal yang
dilakukan oleh partai, dan partai itu harus memiliki dan menerapkan sifat-
sifat organisasi seperti rahasia, kepemimpinan oleh minoritas,
kewenangan yang tersentralisasi dan pengggunaan cara-cara ilegal. Hal
itu tentu saja untuk mewujudkan kediktatoran proletariat dan itu adalah
wewenang yang dapat dilakukan oleh Partai Komunis agar bahaya
hidupnya kembali kapitalisme dapat dihindarkan dan juga menghindari
sifat-sifat egois kaum buruh yang tak bersatu, jahat dan lemah yang
ditimbulkan oleh kepemilikan pribadi.
144
d. Revolusi Permanen
Seperti pemikiran-pemikirannya yang lain, Lenin selalu melihat
sesuatu dari perspektif global, hal ini juga ia terapkan ketika berbicara
mengenai revolusi borjuis.
Arif dan Prasetyo (2004:58) menguraikan bahwa:
“Berbeda dengan Marx yang percaya bahwa revolusi sosialis akan terjadi terlebih dahulu di negeri-negeri yang tingkat perkembangan kapitalismenya telah matang, Lenin justru menyatakan bahwa revolusi sosialis akan terjadi lebih dulu di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur yang tingkat perkembangan kapitalismenya masih lemah. Mengapa? Karena tingkat resistensi antikomunis di negeri-negeri tersebut masih rendah. Dan tugas kaum komunis adalah menyerang dan menghancurkan sistem politik dan sosial yang terlemah yaitu di daerah yang secara ekonomi terbelakang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur”. Marx mengatakan seperti itu, dikarenakan konsistensinya terhadap apa
yang diungkapkan oleh teorinya sendiri bahwa untuk mencapai fase
sosialisme, terlebih dahulu fase kapitalisme yang sedang berlangsung
harus mencapai kematangan terlebih dahulu, dan negara-negara Eropa
Barat dan Amerika saat itu tidak sedang menunjukkan adanya tanda-tanda
kehancuran kapitalisme, yang ada malahan justru kapitalisme dapat
berkembang dengan pesat. Namun Lenin berpikir, apabila Rusia harus
menunggu agar fase kapitalisme itu mengalami kematangan, hal tersebut
akan membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun, karena Rusia baru saja
memulai fase awal dari kapitalisme. Oleh karena itu, tanpa menunggu
lebih lama, kenapa Rusia tidak berusaha untuk melewati fase kapitalisme
tersebut?.
145
Keberhasilan revolusi sosialis di Rusia bukanlah tujuan akhir, tujuan
akhir adalah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Marx yaitu terciptanya
tahapan sejarah masyarakat sosialis di dunia. Namun, hal itu bukan berarti
bahwa kemenangan kaum komunis di Rusia tidak bernilai sama sekali.
Justru hal tersebut adalah awal dari langkah-langkah Rusia berikutnya,
kemenangan tersebut memberikan basis dan pusat bagi kegiatan-kegiatan
revolusi komunis di negara-negara lain di seluruh dunia.
Maka, sebagai satu-satunya partai komunis di dunia yang berhasil
merealisasikan revolusi sosialis, Lenin berpandangan bahwa seluruh partai
komunis di segenap penjuru dunia harus mengikuti model partai komunis
Rusia. Hal tersebutlah yang mengatakan bahwa Revolusi yang diinginkan
oleh Lenin juga meliputi Revolusi Permanen yang memiliki pengaruh
global.
Sebenarnya, revolusi permanen adalah sumbangan yang amat penting
bagi pemikiran Marxis tersebut, berawal dari teori yang dikemukakan oleh
Trotsky (panglima Tentara Merah Rusia). Trotsky mengembangkan
teorinya tentang revolusi permanent dalam The Balance and the
Prospect—The Moving Forces of the Revolutions yang ditulisnya pada
tahun 1906 dalam penjara.
Berkaitan dengan Revolusi Permanen yang diungkapkan oleh Trotsky,
Suseno (2005:72-73) mengungkapkan bahwa:
“Trotsky yakin bahwa begitu proletariat Rusia melakukan revolusi dan menggulingkan feodalisme dan kapitalisme, kawan-kawan di Eropa yang maju akan ketularan semangatnya dan akan bangkit juga. Sama dengan Karl Kautsky dan kaum sosialis di Eropa pada umumnya,
146
Trotsky berpendapat bahwa masyarakat Eropa sudah ‘matang’ bagi sosialisme. Revolusi sosialis Rusia hanyalah sebuah permulaan. revolusi timur akan menjangkiti proletariat barat dengan idealisme revolusioner dan menimbulkan didalamnya hasrat untuk melawannya. Begitu proletariat merebut kekuasaan di Rusia dan memperlihatkan kemampuannya untuk menghancurkan kapitalisme, proletariat di seluruh Eropa yang jauh lebih kuat akan kejangkitan dan bangkit dalam revolusi yang akan menyapu bersih kapitalisme dari seluruh Eropa. Dalam pandangan Trotsky revolusi sosialis Eropa merupakan satu gerakan yang mulai dari Rusia kemudian akan menjalar ke seluruh Eropa dan menciptakan Eropa yang sosialis”. Trotsky juga pada intinya mengungkapkan mengenai pengenalan dan
perkembangan dari penciptaan Teori Revolusi Permanen yang
diungkapkan oleh Lenin. (2009:130):
“Revolusi permanen, menurut Marx berarti sebuah revolusi yang tidak membuat kompromi dengan bentuk kekuasaan kelas apapun, revolusi yang tidak berhenti pada tahapan demokratik namun terus bergerak pada pelaksanaan langkah-langkah sosialis dan berperang melawan reaksi dari luar yaitu: sebuah revolusi yang setiap tahapan suksesnya berakar pada tahapan sebelumnya dan hanya berakhir pada likuidasi masayarakat kelas secara total....Teori Revolusi Permanen menjelaskan bahwa, dalam era kita saat ini, tugas-tugas demokratik bangsa borjuis terbelakang akan mengantarkan kita langsung ke kediktatoran proletariat dan bahwa kediktatoran proletariat ini menempatkan tugas-tugas sosialis pada saat itu juga....”. Revolusi permanen yang dimaksudkan Lenin dan Trotsky disini
memiliki dua arti: pertama karena, di bawah pimpinan proletariat, revolusi
borjuis-kapitalis akan diteruskan menjadi revolusi sosialis. Kedua, karena
revolusi sosialis Rusia tidak akan berhenti pada batas-batas Rusia
melainkan akan meluap ke Eropa dan akan meruntuhkan kapitalisme.
Berdasarkan penguraian diatas, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa
pemikiran Marx dan Lenin tidak dapat dipisah-pisah begitu saja, keduanya
merupakan satu kesatuan yang saling memadukan sehingga munculah ideologi
147
Marxisme-Leninisme yang memadukan dua pemikiran kedua orang tersebut.
Berkaitan dengan pemikiran Lenin tersebut dapat disimpulkan bahwa pokok-
pokok pemikiran Lenin sebenarnya meliputi hukum evolusi sejarah umat manusia,
kaum proletar-petani kecil sebagai pilar Revolusi Sosialis, tugas partai dan sifat-
sifat kepemimpinannya serta revolusi permanen.
Namun, meskipun teori dan konsep yang dikemukakan oleh Lenin begitu
kompleks, akan tetapi dalam perkembangannya teori Marx mengalami
perkembangan yang luas, banyak orang yang berusaha untuk merevisi apa yang
dipikirkan oleh Marx sesuai dengan yang terjadi, Suseno kembali menegaskan
(2005:47) tentang Marxisme Pasca-Marx bahwa:
”Penegasan Marx tentang kaitan antara teori tentang revolusi sosialis dan perjuangan praktis proletariat sudah lama diabaikan. Pengertian Marxisme sebagai ”teori yang sudah benar tentang hukum-hukum perkembangan kapitalisme” pada akhir abad ke-19 menimbulkan perbedaan serius di kalangan Marxis: bagaimana kenyataan yang semakin tidak terbantah ini harus dijelaskan, yaitu bahwa kapitalisme dunia bukannya semakin rapuh sebagaimana yang diramalkan oleh Marxisme melainkan malah semakin jaya? Berhadapan dengan masalah ini muncul empat posisi yaitu: 1. Eduard Bernstein berpendapat bahwa Marxisme, seperti setiap teori
ilmiah, harus direvisi sesuai dengan tingkat pengetahuan baru yang lebih memadai. Ia menarik kesimpulan bahwa transisi dari kapitalisme ke sosialisme bisa saja terjadi, secara demokratis, tanpa revolusi, langkah kecil demi langkah kecil. ”Revisionisme” ini didikutuk oleh tiga posisi lainnya.
2. Karl Kautsky, si penjaga ”Marxisme Ortodoks”, mempertahankan bahwa revolusi sosialis adalah keharusan sejarah akibat niscaya kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme sebagaimana yang diutarakan oleh Marx sendiri, tetapi menolak segala usaha revolusioner sebelum kapitalisme sendiri sudah ”matang” artinya masuk ke dalam krisis akhir.
3. Rosa Luxemburg, sependapat dengan Kautsky, tetapi mencela keras penolakannya terhadap usaha revolusioner buruh. Kesadaran revolusioner adalah syarat mutlak keberhasilan revolusi sosialis, dan kesadaran itu harus dan akan berkembang dalam kelas buruh sendiri sebagai hasil-buah dari pengalaman perjuangan ekonomis maupun politis-revolusioner mereka.
148
4. Lenin, sependapat dengan Luxemburg bahwa tidak ada revolusi tanpa kesadaran revolusioner kelas buruh, tetapi menyangkal anggapan Luxemburg bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh akan berkembang secara spontan sebagai naif, dengan sendirinya kelas buruh tidak melampaui ’kesadaran serikat buruh’. Hanya dibawah pimpinan sebuah partai kader revolusioner kelas buruh dapat membentuk kesadaran teoritis benar yang akan membuat mereka melaksanakan revolusi sosialis (anggapan mana segera ditolak Luxemburg sebagai ’Blanquisme’.”
Dari apa yang disampaikan diatas, ada dua posisi yang begitu dekat yang
memiliki perbedaan yang mencolok yaitu antara Lenin dan Bernstein. Perbedaan
dari kedua tokoh tersebut dirangkum oleh Suseno (2005:48-49):
”Lenin dan Bernstein, kedua-duanya berpendapat bahwa kaum buruh sendiri tidak revolusioner, yang berbeda hanyalah kesimpulan yang mereka tarik. Bernstein bertolak dari kenyataan bahwa kaum buruh tidak revolusioner dan karena itu melepaskan anggapan Marx bahwa sosialisme hanya dapat tercapai melalui revolusi. Lenin, justru sebaliknya, bertolak dari perlunya revolusi dan karena itu mengagaskan partai revolusioner, bertugas menggiring kaum buruh yang sebenarnya tidak revolusioner ke revolusi itu. Karena bagi Lenin revolusi bukan lagi hal yang tak terelakkan, revolusi tergantung dari adanya kehendak revolusioner. Karena itu, Marxisme Lenin bersifat voluntaristik. Lenin menghendaki revolusi; Bernstein tidak. Itulah perbedaan mereka. Keduanya menolak otomatisme revolusi Kautsky maupun Luxemburg. Konsepsi mereka berdua yang sangat jauh dari Karl Marx ini oleh sejarah kemudian dibuktikan realistik, karena yang akhirnya menjadi kenyataan adalah sosial demoktarisme reformis keturunan Bernstein yang menjadi salah satu soko guru ’demokrasi barat’ dan Komunisme yang dibidani Lenin”. Lalu, apa yang dilakukan oleh Lenin ketika Revolusi Bolshevik berhasil
dilakukan di Rusia?.
Suseno (2005:49) menuliskan bahwa:
”Atas nama kediktatoran proletariat ia menghapus hak-hak demokratis masyarakat dan secara sistematik memakai teror untuk menghancurkan segala perlawanan. Ia yakin bahwa hanya melalui kediktatoran kelas buruh dapat mempertahankan kekuasaan yang diperlukan untuk membangun sosialisme. Sebagai akibatnya, gerakan sosialis seduani pecah kedalam dua kubu: pertama, sosialisme demokratis yang menolak kediktatoran komunis yang meyakini hak-hak asasi manusia sebagai dasar kehidupan bersama
149
masyarakat yang etis; kedua, partai-partai komunis yang memecahkan diri dari partai-partai sosial demokratis dan menempatkan diri dibawah payung Komintern”. Meskipun mereka itu saling memadukan, baik Lenin maupun Marx
ternyata memiliki pemikiran yang berbeda dengan apa yang terjadi di Rusia.
Meskipun Lenin begitu mengagumi Marx, tetapi untuk menjalankan revolusi
sosialis di Rusia, Lenin memiliki pemikiran yang berbeda, sebagaimana yang
diuraikan oleh Suseno (2005:50) yaitu:
”Menurut Marx revolusi sosialis baru mungkin dilaksanakan apabila bagian terbesar masyarakat terdiri atas proletariat yang berhadapan dengan segelintir pemilik modal. Proletariat memang untuk sementara waktu harus menjalankan kediktatoran keras untuk menindas usaha dari sisa-sisa kaum kapitalis untuk bangkit sekali lagi. Tetapi, begitu usaha itu ditumpas, masyarakat yang seluruhnya terdiri atas pekerja tidak mempunyai ’musuh kelas’ lagi dan karena itu aparat penindas negara tidak diperlukan lagi. Sementara Lenin dan situasi yang terjadi di Rusia jauh sekali berbeda. Di Rusia, kelas buruh industri yang merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober merupakan minoritas kecil diantara kelas-kelas lain (kelas tani, borjuis dan kaum feodal). Kelas-kelas itu mayoritas besar bangsa Rusia, menentang mati-matian monopoli kekuasaan kaum Bolshevik dan pemaksaan sosialisme. Jelaslah bahwa dalam situasi ini hanyalah penindasan tanpa ampun, kediktatoran tanpa kompromis yang dapat menyelamatkan sosialisme. Begitu pula, hanya kediktatoran total yang akan mampu menciptakan sosialisme dalam masyarakat dimana mayoritas kelas sosial dan bahkan sebagian proletariat yang masih ’diracuni’ oleh ’semangat serikat buruh’ melawan. Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui dan melalui tindakan-tindakan dikatoris sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja. Mengingat keterbelakangan Rusia, pembangunan sosialisme, dan karena itu kediktatoran proletariat yang dilaksanakan oleh partai komunis, akan berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya”. Dari pernyataan diatas, kita dapat melihat bahwa Lenin bekerja dan
berpikir keras untuk dapat mewujudkan apa yang dinamakan revolusi sosialis.
Dan ketika revolusi sosialis itu telah terwujud, pemikiran selanjutnya adalah
bagaimana caranya mewujudkan sosialisme pada negara Rusia yang notabene
150
adalah negara bekas monarki yang dipimpin oleh sistem feodalisme. Maka,
terkesan sosialisme di Rusia adalah sosialisme yang dipaksakan karena Lenin
seolah-olah tidak mau tahu apa yang terjadi saat itu sehingga sosialisme adalah
harga mati. Dia tidak peduli apakah kondisi negara tersebut sudah siap atau belum
siap. Tak ada satu pun yang dapat menghentikannya. Sosialisme tidak dibiarkan
berkembang sesuai dengan apa yang diramalkan oleh Marx, sosialisme Lenin mau
dipaksakan dari luar oleh sebuah partai. Jalan apapun dilakukan agar sosialisme
itu dapat terwujud, alih-alih menjadi masyarakat sosialis yang diimpikan, hal itu
malah melahirkan perlawanan baru yang hanya dapat ditindas oleh kediktatoran
yang lebih keras lagi.
E. Dampak pemikiran V.I Lenin tentang konsep negara dan revolusi
terhadap Perkembangan Sejarah di Rusia
Setelah Kongres Wina keadaan Eropa banyak yang mengalami perubahan
drastis khususnya di bagian Eropa Barat karena isi dari Kongres Wina itu adalah
memecah-mecah atau menyatukan negara-negara di kawasan Eropa, hal itu juga
menimpa Rusia yang mendapatkan Finlandia dan bagian timur Polandia. Karena
sistem pemerintahan Rusia saat itu yang masih bersifat feodalisme maka tak heran
kalau sistem yang dianut untuk mensejahterakan rakyat terkesan kolot dan
konvensional sehingga sistem-sistem liberalisme yang terbuka sulit untuk masuk
kedalam pemerintahan dan kehidupan rakyat Rusia.
Keadaan Rusia menurut Skocpol (1991: 22) adalah sebagai berikut :
“Rusia tetap mempertahankan masyarakat agrarisnya yang didasarkan pada perbudakan. Menjelang pertengahan abad ke-19, hanya sekitar 8
151
sampai dengan 10 % dari 60 juta penduduk kekaisaran Rusia yang tinggal di kota. Didaerah pinggiran kota yang sangat luas, berjuta-juta petani-budak merasa terikat dengan kampung dan tanah milik bangsawan atau negara, mereka bekerja hanya semata-mata meningkatkan hasil padi-padian”.
Pipes mengungkapkan mengenai keadaan masyarakat Rusia Pra-Revolusi
(2003: 33) :
“...Tiga seperempat dari seluruh penduduk kekaisaran ini terdiri dari para petani penggarap kecil yang sebagai matoritas di Rusia hidup dalam dunia mereka sendiri serta tak tersentuh oleh peradaban barat....sebagian besar petani penggarap Rusia bukanlah petani yang mengerjakan tanah mereka sendiri, mereka adalah bagian dari komunitas-komunitas dusun yang memiliki tanah secara kolektif yang secara periodik dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga didalamnya sesuai dengan besar kecilnya keluarga tersebut....petani-petani penggarap tersebut konservatif, setia kepada monarki dan Gereja Ortodoks. Dalam satu hal, dan hanya satu hal ini, mereka memenuhi persyaratan potensial bagi terjadinya revolusi yakni mereka mengalami kekurangan tanah....mereka sangat percaya bahwa Tsar yang mereka anggap pemilik semua tanah yang sah, suatu hari nanti akan mengambil alih tanah-tanah tersebut dari para pemiliknya—tuan tanah dan petani-petani penggarap yang serupa dengannya—serta memberikannya kepada komunitas. Namun, bila Tsar tidak melakukan hal tersebut mereka siap untuk mengambil alihnya secara paksa” Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pipes diatas, sebagaimana
revolusi-revolusi yang terjadi di negara-negara lain misalnya Perancis dan Cina,
Skocpol mengungkapkan persamaan kondisi keadaan negara Perancis, Rusia dan
Cina sebelum Revolusi Sosial itu terjadi yaitu bahwa (1991:66) :
“Kita mulai dari kenyataan bahwa Perancis, Rusia dan Cina sebelum revolusi adalah negara yang sama-sama dikendalikan oleh monarki otokratis yang tugasnya terpusat pada pemeliharaan tatanan dalam negeri dan penindakan terhadap musuh dari luar. Ketiga rezim lam tersebut sepenuhnya berdasarkan negara kekaisaran (imperial state) yang mempunyai hierarki militer dan administrasi yang dikoordinasikan secara terpusat dibawah pengawasan monarki absolut. Negara-negara tersebut merupakan proto-birokrasi: beberapa jabatan khususnya jabatan puncak dikhususkan secara fungsional: beberapa pejabat atau aspek-aspek kewajiban resmi tertentu tunduk pada aturan dan supervisi hierarki: pemisahan jabatan dan tugas kenegaraan dari milik dan kepentingan
152
pribadi sebagian dilembagakan dalam setiap rezim. Tetapi tidak satupun dari negara kekaisaran itu yang sepenuhnya birokratis".
Hal diatas dapat memberikan gambaran bahwa sebenarnya kondisi
masyarakat Rusia saat itu sudah dimasuki pemikiran-pemikiran anarkis untuk
melakukan revolusi hanya saja karena kesetiaan dan kepercayaan kepada Tsar dan
Gereja Ortodoks-lah yang membuat mereka masih bertahan dengan keadaan yang
memprihatinkan itu. Hampir sepanjang sejarah, Rusia diperintah oleh suatu
bentuk otokrasi yang ekstrim, dimana Tsar tidak hanya menikmati kekuasaan
legislatif, yudikatif dan eksekutif yang tanpa batas tetapi juga secara harfiah
adalah pemilik negara sehingga apabila ia berkehendak ia dapat mengeksploitasi
manusia dan sumber-sumber material yang ada didalamnya. Selain itu,
administrasi kekaisaran dipercayakan kepada suatu birokrasi yang bersama
dengan tentara dan polisi menjalankan kekuasaan tanpa dipertanggungjawabkan
kepada rakyat.
Pipes juga mendeskripsikan bahwa Rusia hingga tahun 1905 adalah negara
yang tidak mempunyai undang-undang hak kepemilikan tanah karena semua tanah
itu dikuasai oleh kerajaan, selain itu intitusi-intitusi yang lainnya yang berperan
aktif dalam pemerintahan Tsar juga baru bermunculan pada akhir abad ke-19
padahal apabila dibandingkan dengan Eropa Barat hal itu sudah ada dan terjadi
dari abad pertengahan.
Namun, ditengah keterbelakangan administrasi dan birokrasi itu, Tsar
Rusia ternyata juga begitu berambisi untuk menjadi penguasa dunia yang besar
sehingga ia tidak sadar bahwa kebijakan yang diambilnya adalah senjata yang
153
akan menghancurkan otokrasinya kelak, sebagaimana Pipes mengungkapkan
(2003:36-37) bahwa:
“Tsar melakukan kebijakan yaitu memajukan ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan mendirikan universitas-universitas sehingga dapat menghasilkan warga negara yang akan merasakan bahwa pengekangan yang selama ini terjadi tidak dapat dibiarkan....Langkah lain para Tsar yang justru merongrong otoritas mereka sendiri adalah didorongnya kapitalisme. Dalam Perang Crimean tahun 1854-1855, Rusia menderita kekalahan di daerahnya sendiri dari tangan negara-negara demokrasi industrial barat. Kekalahan memalukan ini menunjukkan bahwa dalam dunia modern tidak ada negara dapat mengklaim diri sebagai kekuasaan yang agung tanpa mempunyai industri dan trasportasi yang baik”. Dari beberapa pernyataan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pemajuan pendidikan dan industrialisasi yang diperlukan untuk memenuhi ambisi
global Rusia tersebut telah memperlemah kekuasaan Tsarisme di dalam negeri.
Faktor-faktor seperti itulah yang membantah pernyataan dari Marx yang
mengatakan bahwa Revolusi Komunis akan meletus di Barat yang
industrialisasinya telah maju., telah ada penghargaan hukum terhadap hak
kepemilikan dan rasa kesetiaan kepada negara yang melindungi kebebasan serta
menyediakan pelayanan-pelayanan sosial.
Seiring dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di
Rusia memunculkan beberapa mahasiswa-mahasiswa yang mulai menyadari
bahwa apa yang selama ini Tsar lakukan adalah hal yang tidak bisa dibiarkan
sehingga mulai bermunculanlah aktivis-aktivis sosialis dari kalangan mahasiswa,
gerakan-gerakan revolusioner bahkan partai-partai yang menentang kebijakan-
kebijakan Tsar, salah satunya adalah Vladimir Ilyich Lenin dengan Partai Sosial
Demokrat khususnya Golongan Bolshevik.
154
Lenin, dengan banyak pemikirannya tentang konsep negara dan revolusi
dengan kejeniusannya dalam analisis politik dan strategi organisasi sudah
mengetahui sejak dini bahwa komunisme pertama-tama akan ditegakkan di
negara-negara terbelakang sebelum inti dari perlawanan antikomunis yaitu Eropa
Barat dan Amerika Utara dijatuhkan.
Pipes, mendeskripsikan Lenin, siapa dan apa yang melatarbelakanginya
melakukan gerakan-gerakan revolusioner (2003: 42) yaitu :
“Lenin dikenali sebagai adik seorang teroris yang mendapat hukuman mati, ia dikeluarkan dari universitas karena terlibat dalam sebuah kerusuhan kecil. Lenin dipaksa menghabiskan tiga tahun setelahnya tanpa melakukan apapun, hal itulah yang membuatnya semakin merasa benci pada rezim yang telah menghancurkan hidupnya. Kebenciannya tidak hanya berpusat pada Tsarisme, tetapi juga kepada “Borjuis” yang mengucilkan keluarganya karena kejahatan yang dilakukan oleh kakaknya....Semangat revolusionernya yang berkobar-kobar pun bukan diinspirasi oleh suatu visi tentang masa depan yang lebih adil. Semangat tersebut dilandasi oleh kemarahan dan didorong oleh hasrat untuk balas dendam. Struve, yang berkolaborasi dengannya pada tahun 1890-an, beberapa tahun setelahnya menulis bahwa ciri utama kepribadian Lenin adalah Kebencian.”
Dalam revolusi 1905, dimana pemerintahan Tsar diguncang oleh adanya
berbagai tuntutan dari rakyat akan adanya feodalisme yang banyak
menyengsarakan rakyat Rusia tersebut, Partai Sosial Demokrat justru mengalami
konflik internal antara Lenin dan Plekhanov (dua ujung tombak partai tersebut).
Adapun hal yang menjadi persekutuan dalam partai tersebut, Arif dan Prasetyo
menguraikan sebagai berikut bahwa ada dua pokok pertentangan, yaitu
persekutuan kelas dalam revolusi dan sifat rezim pasca revolusi.
Dalam revolusi 1905 tersebut kaum Bolshevik dan Menshevik bekerja
sama pada level lokal dengan mengabaikan perbedaan diantara para pemimpin
155
mereka dan bersatu demi meruntuhkan rezim feodalisme yang sudah banyak
merongrong rakyat tersebut dan akhirnya kepemimpinan Tsar pun dapat dibatasi
dengan adanya Duma (Dewan Perwakilan Rakyat Rusia). Setelah itu pertentangan
antara Menshevik dan Bolshevik pun bukannya mereda, malah semakin
mempertajam konflik yang ada sampai akhirnya Bolshevik menyatakan keluar
dari Partai Sosial Demokrat.
Pipes (2003:45) mengutarakan alasan pemisahan kaum Bolshevik dari
PBSDR (Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia) sebagai berikut:
“Alasan resmi pemisahan diri tersebut adalah keyakinan kuat Lenin bahwa untuk menjadi anggota partai seseorang tidak hanya perlu mendukung program-program partai tetapi juga harus memberikan diri sepenuh-penuhnya sebagai aktivis revolusioner. Partai tersebut, yang diorganisasi layaknya militer dengan garis komando yang tegas adalah untuk mengarahkan buruh dan bukan sebaliknya diarahkan oleh buruh. Merasa mendapat dukungan dalam kongres PBSDR, Lenin memberi nama kelompoknya Bolshevik yang berarti mayoritas, sementara lawannya yang dipimpin oleh Martov harus puas dengan label Menshevik yang artinya Minoritas bahkan lebih parah daripada itu dengan sebutan ‘pengkhianat’ ataupun ‘pemecah belah’”. Pada tahun 1912, Lenin mengadakan kongres Partai Bolshevik di Praha.
Dalam kongres ini, Lenin semakin menyadari bahwa konfliknya dan partainya
dengan Partai Menshevik menjadi selamanya, dan tidak akan dipersatukan
kembali dalam satu partai. Dalam kongres itu pun, Lenin memproklamasikan
bahwa Partai Bolshevik-lah yang merupakan PBSDR (Partai Buruh Sosial
Demokrat Rusia) dan Menshevik hanyalan sempalan saja, dan mulai saat itu juga
pihak faksi mempertahankan sentral komite, aparat partai dan majalah partai yang
terpisah dengan Menshevik.
156
Lenin sepenuhnya banyak menghabiskan kurun waktu tahun 1900-1917 di
luar negeri, misalnya di Jerman, Austria, Italia dan Swiss, ia berusaha memecah
belah Internationale II sebagaimana ia dulu pernah memecah belah Partai buruh
Sosial Demokrat Rusia, tetapi ia tidak begitu berhasil dalam usaha ini. Ia terus
menjalin hubungan dengan pengikutnya di Rusia serta menghabiskan banyak
waktunya untuk menulis karya-karyanya. Selama kurun waktu tersebut, Lenin
hanya sekali berkunjung ke Rusia yaitu ketika Revolusi Rusia 1905.
Lalu, terjadilah Perang Dunia I pada tahun 1914, segenap Partai Sosialis di
Eropa masing-masing mendukung pemerintahannya. Hal tersebut sungguh
mengecewakan Lenin karena hal itu menunjukkan partai-partai sosialis telah
mengkhianati kesepakatan Kongres Internasional Kedua sebelum perang yang
menyatakan bahwa mereka wajib untuk melawan atau bahkan menjatuhkan
pemerintahannya masing-masing jika pemerintahan melibatkan mereka kedalam
perang yang menurut Lenin disebut sebagai Perangnya Imperialis. Oleh karena
itu, Lenin mengusulkan pembentukan Internasional ketiga yang terdiri atas partai-
partai sosialis yang sejati. Menurutnya, kaum sosialis revolusioner harus berusaha
untuk mentransformasi perang imperialis menjadi perang sipil.
Menuru Lenin, telah dikutip oleh Arif dan Prasetyo (2004:13) bahwa:
“Musuh yang sesungguhnya dihadapi oleh kaum buruh menurut Lenin, bukanlah buruh di negara lain, tetapi kaum kapitalis di negerinya sendiri. Karenanya kaum buruh dan tentara harus mengubah arah senjatanya ke penguasa-penguasa mereka dan menghancurkan sistem yang membuat mereka terjun ke dalam peperangan imperialis. Tapi pandangan Lenin ini, hanya mendapatkan sedikit dukungan. Bahkan tak sedikit kaum Bolshevik yang mendukung jalannya perang. Sesuatu hal yang tentu saja memukul perasaan Lenin”.
157
Ketika terjadi Perang Dunia I, Rusia mengalami serentetan kekalahan di
medan perang dan dengan keadaan ekonomi semakin hancur, Tsar Nicolaus II
dipaksa turun tahta pada tanggal 15 Maret 1917. Lenin yang ketika itu masih
tinggal di Swiss, terkejut sekaligus gembira oleh berita di surat kabar Swiss bahwa
otokrasi Tsar Rusia di bawah Tsar Nicolaus II telah jatuh dan telah dibentuk
sebuah pemerintahan sementara (provinsional government) yang merupakan
sebuah koalisi semua kekuatan nasional.
Namun, nampaknya bagi Lenin pemerintahan sementara tidak
memberikan kepuasan terhadap apa yang Lenin harapkan untuk negaranya.
Setelah kekalahan perang, Rusia mengalami krisis yang harus segera diatasi.
Menurut Pipes, (2003:52) :
“Pemerintah Sementara telah berjanji untuk sesegera mungkin untuk mengadakan Majelis Konstituante guna membentuk suatu pemerintahan yang baru, namun mereka terus saja menundanya sehingga para petani yang sudah tidak sabar akan terjadinya Revolusi Agraria kemudian menyerang tanah-tanah pribadi. Sementara itu, pemerintahan sementara bersikeras tetap meneruskan peperangan yang sudah semakin kehilangan pendukung didalam negeri sedangkan krisis sudah semakin menjalar ke berbagai bidang”. Akibat perang antara Rusia dan pihak sekutu tersebut, Rusia mengalami
kekalahan yang merugikan rakyat pada umumya, banyak lahan pertanian yang
rusak karena SDM yang kurang karena ikut perang, kerugian yang ditanggung
oleh Rusia setelah Perang seperti tertuang dalam buku Dasar Sedjarah Rusia
Modern oleh Hans Kohn (1966:103). Dia mengatakan bahwa :
“Inflasi meningkat sehingga harga-harga kebutuhan pokok juga meningkat tajam dan tidak sebanding dengan kenaikan upah. Inflasi ini terjadi sebagai akibat dari biaya perang yang membengkak. Peperangan telah memakan biaya sebesar 1,820 juta Rubbel pada tahun 1915 dan 14,573 juta Rubbel pada tahun 1916, hampir delapan kali lipat. Pada permulaan perang, uang
158
kertas yang beredar berjumlah 1,630 juta Rubbel. Indeks harga naik dari 100 pada permulaan perang menjadi 115 pada tanggal 1 Januari 1915, 238 pada tanggal 1 Januari 1916 dan melonjak naik 702 pada tanggal 1 Januari 1917”. Hal itu, memberikan peluang kepada Lenin untuk melakukan Revolusi
Sosialis sebagaimana yang telah ia pikirkan dalam pengasingannya. Dalam
pandangan Lenin, tampak sebuah bahaya baru yang mengancam, yaitu
kemungkinan bahwa semua elemen di Rusia akan berlomba-lomba membentuk
rezim baru. Lenin merasa harus segera berada di Rusia dan mencegah kaum
Bolshevik untuk bertindak bodoh dalam situasi yang kacau tersebut. Suseno
(2005:5) mengungkapkan bahwa:
“Dengan bantuan staf angkatan perang Jerman, yang mengharapkan bahwa Lenin akan memperlemah tekad Rusia untuk melanjutkan perang. Lenin pulang ke Rusia pada tanggal 3 April. Ia langsung menarik Partai Bolshevik dari koalisi nasional dan mengumumkan sebuah program radikal untuk mematangkan kondisi-kondisi untuk melakukan revolusi. Maka dengan semboyan ‘Roti dan Perdamaian’ ia mencari dukungan dari massa yang menderita. Ia menuntut agar perang melawan Jerman dan Austria-Hongaria. Langsung dihentikan, tanah para bangsawan diserahkan kepada kaum tani, bank-bank dinasionalisasikan, produksi industri dan pembagian hasilnya diawasi oleh para buruh sendiri, tentara, polisi dan birokrasi dihapus. Dengan tuntutan ‘seluruh kekuasaan kepada soviet-sovyet’ (dewan buruh dan prajurit yang desersi) Lenin mencoba menggerogoti legitimasi parlemen resmi. Sebuah percobaan pemberontakan sayap kiri Bolshevik pada bulan Juli gagal karena tergesa-gesa sehingga memaksa Lenin untuk melarikan diri ‘lagi’ ke Finlandia”. Dari paparan diatas, dapat kita lihat bahwa dampak pemikiran Vladimir
Ilyich Lenin itu sendiri adalah dapat berjalannya sebuah Revolusi Sosialis yang
selama ini dipikirkan oleh Lenin. Ia bisa dengan konsisten menyeimbangkan
antara konsep teori yang abstrak kedalam aksi yang nyata di lapangan.
Ketika terjadi peluang untuk melakukan revolusi, Lenin memanfaatkan
situasi tersebut untuk segera pulang ke Rusia dan mempersiapkan partainya atas
159
segala yang akan terjadi nanti. Dengan bantuan pemimpin tentara Jerman yang
ingin melihat Lenin menjatuhkan pemerintahan Rusia agar Rusia segera berdamai
dengan dengan Jerman. Ketika tiba di Rusia, yang dilakukan Lenin berikutnya
adalah segera menarik orang-orang Partai Bolshevik-nya dari koalisi sementara
(pemerintahan sementara yang merupakan gabungan dari seluruh partai yang ada
di Rusia) dan mulai menarik simpati dari rakyat Rusia dengan semboyan Roti,
Pembagian Tanah dan Perdamaian yang ditunjukkan sebagai luapan sebagian
rakyat Rusia yang mengalami kelaparan dan kekalahan akibat dari Perang Dunia
I. rakyat Rusia yang merasa diberikan harapan oleh Lenin.
Arif dan Prasetyo (2004:15) menguraikan dalam bukunya bahwa:
“Lenin menganggap pemerintahan sementara tersebut sunguh-sungguh imperialis dan tidak layak mendapatkan dukungan dari kaum sosialis. Pemerintahan tersebut tak akan dapat memuaskan harapan-harapan para buruh, tentara, dan petani kecil akan perdamaian yang segera dan pembagian tanah diantara para petani kecil. Awalnya kawan-kawan Bolshevik Lenin berpikir bahwa dia mengalami disorientasi akibatan kerumitan situasi. Bahkan ada yang telah menganggapnya gila. Sampai akhirnya dia berhasil meyakinkan Sentral Komite Partai Bolshevik untuk menerima pandangannya. Pada bulan Juli 1917, situasi sosial dan politik Rusia semakin memburuk dan penuh ketidakpastian. Kekalahan tentara Rusia di medan perang untuk membantu tentara sekutudi Barat pada bulan Juli 1917, nampaknya berhasil menghancurkan moral tentara Rusia. Ditambah dengan propaganda revolusioner kaum Bolshevik, menjadikan tentara Rusia semakin mengalami demoralisasi. Pada tanggal 16 dan 17 Juli 1917, tentara-tentara Rusia yang telah jemu berperang melakukan demostrasi di Petrograd menentang pemerintahan sementara. Demonstrasi berubah menjadi kekacauan dan kerusuhan. Kaum Bolshevik ragu-ragu dan menganggap pengambilalihan kekuasaan saat itu akan prematur. Pada mulanya mereka berusaha mencegahnya, tapi kemudian akhirnya hanya memberikan kepemimpinan yang setengah hati”.
Pada akhirnya Kerensky menggantikan Pangeran George Lvov pada
tanggal 20 Juli 1917 sebagai pemerintahan sementara. Namun, nampaknya bagi
160
Lenin pemerintahan sementara tidak memberikan kepuasan terhadap apa yang
Lenin harapkan untuk negaranya. Setelah kekalahan perang, Rusia mengalami
krisis yang harus segera diatasi. Menurut Pipes, (2003:52) :
“Pemerintah Sementara telah berjanji untuk sesegera mungkin untuk mengadakan Majelis Konstituante guna membentuk suatu pemerintahan yang baru, namun mereka terus saja menundanya sehingga para petani yang sudah tidak sabar akan terjadinya Revolusi Agraria kemudian menyerang tanah-tanah pribadi. Sementara itu, pemerintahan sementara bersikeras tetap meneruskan peperangan yang sudah semakin kehilangan pendukung didalam negeri sedangkan krisis sudah semakin menjalar ke berbagai bidang”. Lenin memang selalu memegang “mosi tidak percaya” terhadap siapapun
orang yang memimpin Rusia baik itu dari kalangan feodal yang otokratis maupun
dari kalangan Partai Sosial Demokrat seperti Pangeran George Lvov dan
Kerensky. Sampai akhirnya, pada musim gugur tahun itu, Pemerintahan
sementara dibawah pimpinan Kerensky kehilangan dukungan populernya.
Sehingga memunculnya keresahan dan keputusasaan sosial yang terjadi dimana-
mana. Tentara nampaknya sudah jemu berperang, dan para petani kecil
membutuhkan lahan garapan dan kaum buruh kekurangan pangan. Dan akhirnya
pada bulan September 1917 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota-
anggota Dewan Soviet Petrograd dan Dewan Sovyet di kota-kota besar dan kecil
di seluruh negeri. Dengan menggunakan semboyan perdamaian, pembagian tanah
dan bahan pangan, Bolshevik meraih kemenangan mayoritas.
Kemudian, semenjak akhir September, Lenin dari persembunyiannya di
Finlandia terus menerus mengirimkan artikel-artikel dan surat-surat ke Petrograd
yang menyarankan pada Sentral Komite Partai untuk mengorganisasikan
pengambilalihan kekuasaan dengan bersenjata tanpa menunda-nunda lagi. Namun,
161
tidak mengalami kesuksesan, sehingga akhirnya Lenin memutuskan untuk
melakukan tindakan yang akan membawa pada perubahan dalam kehidupannya
yaitu REVOLUSI.
Arif dan Prasetyo (2004:17) mengungkapkan detik-detik peristiwa penting
Revolusi Oktober 1917:
“Sekitar 20 Oktober 1917, Lenin dengan sembunyi-sembunyi dan penuh risiko, pergi ke Petrograd dan mengadakan pertemuan rahasia dengan Sentral Komite Partai Bolshevik pada 23 Oktober. Setelah perdebatan panjang selama 10 jam, akhirnya Lenin berhasil memenangkan suara mayoritas anggota Sentral Komite untuk menyetujui dan mempersiapkan pengambilan kekuasaan dengan senjata. Trotsky, dengan posisinya yang strategis sebagai Ketua Dewan Soviet Petrograd, memimpin persiapan itu. Dan tibalah saat bersejarah itu, malam hari, 6 Nopember 1917, kekuatan bersenjata kaum Bolshevik mengambil alih fasilitas komunikasi dan gedung-gedung publik di Petrograd. Gedung pusat pemerintah dengan mudah dikuasai karena hanya dijaga oleh sedikit orang. Sebagian besar anggota kabinet pemerintahan sementara ditangkap, namun Kerensky berhasil lolos. Tanggal 7 Nopember 1917, Kongres Dewan Sovyet Seluruh Rusia yang kedua diadakan. Bolshevik menjadi mayoritas dalam kongres tersebut dengan memiliki 390 kursi dari total 650 kursi. Dalam kongres tersebut, anggota Menshevik dan partai-partai sosialis revolusioner menarik diri dari Kongres sebagai protes menentang pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan oleh Bolshevik. Sehari setelah itu, kongres menghasilkan keputusan mengesahkan aksi Bolshevik. Juga ditetapkan berdirinya pemerintahan Sovyet, dengan Lenin sebagai Ketua Dewan Komisar Rakyat. Yaitu badan pemerintahan Soviet yang baru, dan menyetujui kebijakan perdamaian dan pembagian tanah. Di usianya yang ke-47 mimpi Lenin menjadi kenyataan. Usahanya yang tak kenal menyerah dan gigih sejak muda untuk membangun sebuah partai yang akan bisa merealisasikan revolusi sosialis, kini telah berubah. Revolusi Sosialis itu kini telah terwujud”. Dengan bantuan dari berbagai pihak yang sudah tidak mempercayai
kinerja dari Pemerintahan Sementara, hal itu dikarenakan setelah berjalan
beberapa bulan dari semenjak pengangkatan, tidak ada satu kondisi di Rusia pun
yang berubah menuju yang lebih baik. Ditambah ketika, keadaan Rusia bertambah
parah dengan kekalahan akibat perang, Lenin berusaha untuk memperoleh
162
dukungan dari rakyat Rusia dengan semboyannya “Roti, Pembagian Tanah dan
Perdamaian”. Rakyat Rusia yang terdiri dari para tentara, kaum petani dan kaum
buruh yang merasa jenuh dengan keadaan. Masa dengan waktu yang begitu
singkat, Revolusi Sosialis di Rusia pun akhirnya dapat diwujudkan.
Semua yang terjadi di Rusia sebelum dan sesudah Revolusi Bolshevik
adalah berkat pemikiran. usaha-usaha, tekad, kegigihan, semangat revolusioner
yang tinggi dan kepiawaian Lenin dalam mengorganisir keadaan dan timing yang
tepat sehingga Revolusi sosialis yang selama ini belum pernah terjadi di dunia
menjadi terwujud.
Pipes mengambil kesimpulan dari apa yang dilakukan oleh Lenin dan
Kaum Bolshevik yang dipimpinnya (2003: 56) :
“Berawal dari kenekatan mereka, sejarah akan diperhitungkan hingga tujuh puluh tahun kedepan. Padahal, tidak seorang pun dari pemimpin Bolshevik mempunyai pengalaman dalam mengatur sesuatu, namun mereka kemudian malah memikul tanggung jawab memerintah negara terbesar di dunia. Meski tidak punyak banyak pengalaman dalam bidang usaha, mereka tidak segan-segan melakukan nasionalisasi yang cepat dan dengan demikian memikul tanggung jawab untuk mengatur ekonomi terbesar kelima di dunia....Kediktatoran yang selama ini digunakan berkembang menjadi sebuah rezim totaliter dan hal itu menjadikan kaum Komunis memerintah dengan cara despotis dan kejam.” Selain itu, dalam buku ini juga Skocpol mengungkapkan bahwa Ideologi
Revolusioner ternyata juga berpengaruh terhadap perjuangan para revolusioner
untuk mendirikan dan merebut kekuasaan negara didalam situasi sosial
revolusioner. Ideologi Revolusioner itu adalah Jacobianisme dan Marxisme-
Leninisme (1991:132) :
“Pertama, ideologi revolusioner itu merupakan keyakinan universal yang dapat menyebabkan dan mendorong masyarakat dari berbagai latar belakang tertentu yang berbeda untuk hidup berdampingan dan sebagai
163
saudara sebangsa dan seperjuangan. Kedua, ideologi ini mengajak kaum elit revolusioner agar menarik dan mengerahkan masa untuk perjuangan dan kegiatan politik. Ketiga, Jacobianisme dan Marxisme-Leninisme merupakan faham yang berpandangan “totaliter” sekuler yang memberikan dasar pembenaran bagi para aktor yang meyakininya untuk memakai cara apa saja untuk mencapai tujuan politik mereka”. Terkait dengan Revolusi Rusia pada Oktober 1917 dan perjuangan
Golongan Bolshevik, Skocpol mempunyai pandangan tersendiri mengenai hal ini
(1991:232) :
“Di tengah-tengah kekacauan yang semakin menjadi-jadi di Rusia, hanya Partai Bolshevik-lah yang memiliki siasat yang berhasil dalam mengembangkan efektivitas taktikal yang terus meningkat dan telah berhasil pula memperoleh dukungan rakyat yang ada di tempat-tempat strategis. Pemerintah darurat dan kaum sosialis moderat telah mengupayakan agar perang tetap berlangsung, menunda pengakuan atas perampasan tanah oleh petani dan berjuang melawan merosotnya disiplin didalam angkatan bersenjata dan meluasnya kontrol buruh didalam industri-industri. Sementara itu, Partai Bolshevik tetap beroperasi, melalui propaganda kritis yang diarahkan pada buruh industri dan pada pasukan garnisun dan pasukan garis depan yang diwujudkan bersama-sama dengan gelombang pemberontakan rakyat yang spontan, yang menuntut perdamaian, tanah, makanan, wewenang buruh dan seluruh kekuasaan untuk rakyat Sovyet”. Begitu melihat Revolusi Sosialis di tiga negara tersebut, penulis dapat
membandingkan antara ketiganya berdasarkan dasar pemikiran dan akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh ketiga revolusi tersebut di negara yang bersangkutan.
Revolusi Perancis dilihat sebagai suatu revolusi kapitalis dan revolusi liberal yang
dipimpin oleh kaum Borjuis dan menghasillkan pemerintahan yang liberal,
sedangkan revolusi Rusia dipandang sebagai revolusi komunis/sosialis yang
antikapitalis yang dilakukan oleh kaum Proletar dan Partai Bolshevik yang
menghasilkan pemerintahan komunis sosialis dan terakhir Revolusi Cina
164
merupakan revolusi agraria yang dilakukan oleh para petani yang menghasilkan
pemerintahan komunis.
Tetap saja, dalam hal ini Lenin dapat secara konsisten menyeimbangkan
apa yang ia pikirkan dalam tataran teoritis dengan apa yang ia lakukan dalam
tataran praktis, dan sebagai pelopor hal tersebut Lenin menduduki posisi pertama
dalam tokoh sosialis yang dapat merealisasikan sebuah Revolusi Sosialis pertama
di dunia yaitu Revolusi Bolshevik 1917.