untotd story of pangeran diponegoro (sebuah novel)

198

Upload: khas-bani

Post on 19-Jan-2016

436 views

Category:

Documents


93 download

TRANSCRIPT

Page 1: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)
Page 2: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 1

Untold Story of Pangeran Diponegoro

(Sebuah Novel)

Era Muslim

2012 (versi web) (belum selesai…)

Alamat web: http://www.eramuslim.com/novel/

@ al-Ma‘ Publishing 2013 (recollecting and editing)

Page 3: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 2

CATATAN PENULIS

ahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa

beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar

Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC,

sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.

Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah

untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di

Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam.

Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai

perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan

tanah makam leluhur.

Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran

Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun

kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah

sama. Persis sama… []

Dengan penuh hormat dan kebanggaan,

kupersembahkan kepada anak keturunan

dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau

menginspirasi hidup kita semua…

Era Muslim

T

Page 4: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 3

PROLOG

Plered, Jawa Tengah, 1647

pa yang sekarang dilihat dengan mata dan kepalanya sendiri

sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua

jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci

besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya

untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus

tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini

tidak berani bertanya macam-macam.

Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan,

dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke

bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari

berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga

Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit

tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa

hubungannya dengan panci panas itu.

Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah

payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia

berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang

sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup

secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah

lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di

sampingnya.

Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo

memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di

depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling

lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur

tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.

Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua

matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu

tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha

Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa

Arab.

A

Page 5: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 4

Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong

panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci

itu ke kepala sang pesakitan.

―Allahu Akbar!!!‖

Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat

menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‗Topi

besi panas‘ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar,

seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan.

Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya

mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai

hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak

ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu

ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa

pekan lalu.

Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi

sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa

hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah

mulai tergelincir ke barat.

Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur

deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor

relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras

mengagetkan dirinya.

―Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah

ini keluar!‖

Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal

dari prajurit kraton.

Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

―Cepat keluar! Atau kami dobrak!‖

Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di

bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu

bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan

Page 6: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 5

pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan

tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik

satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara

pasukan itu dengan pengawalan ketat.

―Siapa lagi yang ada di dalam!‖ hardik salah seorang prajurit. Tangan

kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

―Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,‖ jawab Dyah pelan. Ketakutan

segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya.

Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian

mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.

―Dia benar. Tak ada lagi orang…‖

Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu

memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah,

serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan

menaiki seekor kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak

begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka

sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri

bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian,

Raja Amangkurat I sudah menempatinya.

Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di

Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I

yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun

berkuasa.

Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton

baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding

batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya

mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung

dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah

ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I

tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.

Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan

istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat

prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model

istana-benteng raja-raja Eropa.

Page 7: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 6

Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi

bertingkat-tingkat.

Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung

Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-

alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari

tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima

meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan

tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

―Ada apa gerangan, Nduk?‖ bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang

duduk di belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, ―Aku ndak tahu, Pak. Tapi

perasaanku ndak enak.‖

―Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan

tidak terjadi suatu apa.‖

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa

membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk

pasti akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas

perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim

ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia

amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan

juga dengan adik-adiknya

Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap

loyalis ayahnya sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun

di luar. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji. Jumlahnya

mencapai tiga ribuan.

Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki

kegemaran yang tidak lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah

terpuaskan terhadap perempuan-perempuan muda, raja ini juga gemar

menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja menciptakan sendiri cara-cara

penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-orang yang

dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala

Amangkurat I di antaranya adalah:

Page 8: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 7

Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok

kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan

meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau

kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.

Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di

bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi

minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam

minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit

kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui

ajal karena sakit yang tak terperikan.

Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum

diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah

dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit

kepala terkelupas dan gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang

selamat dari jenis siksaan seperti ini.

Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah

Jayengsari mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga

berdatangan—mengalir bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-

anak santri dan santriwati, beserta seluruh keluarganya, yang seluruhnya

digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke alun-alun. Semuanya

dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah putih.

Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya,

tanpa kecuali, disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah

timur di mana sebuah bukit yang tidak begitu tinggi tampak memanjang

searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan orang itu, besar dan kecil, tua

dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur paksa oleh

para prajurit.

Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan

tombak mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya

Amangkurat I memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun

dengan rapat, hingga tak ada celah untuk meloloskan diri.

Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya

dilarang untuk menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam,

siapa pun yang ketahuan mengerjakan sholat, akan langsung ditebas

lehenya. Beberapa ulama tidak mengindahkan ancaman itu dan tetap

Page 9: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 8

mengerjakan sholat, walau sambil duduk. Celakanya, hal itu diketahui

para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher beberapa ulama

tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah

kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali

karena para prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan

melakukan hal yang sama jika ada yang berani berteriak atau membuat

ribut.

Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke

arah pintu gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-

alun yang tanpak bercahaya. Dari gapura batu kali setinggi enam

meteran, serombongan orang dengan membawa tiang obor keluar dari

dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang anggota

Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari

perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat

menyandang pedang dan tombak. Di bawah cahaya ratusan obor,

pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.

―Trisat Kenya…,‖ ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-

anggukan kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air

minum sejak berada di alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa

kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil di tenggorokannya terus bergerak-

gerak tak pernah berhenti.

Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya

merupakan pasukan khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I

yang semuanya terdiri dari para perawan cantik yang dibekali olah

kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan pengawal khusus

karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab terhadap

keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga

kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling

pribadi sekali pun.

Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam.

Adalah Kanjeng Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga

Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-sungguh paham jika sejak kecil

Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang punya banyak

musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya menyesal

dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan

Page 10: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 9

Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran

Alit.

Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan

memiliki kegemaran yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan

terhadap perempuan. Pada tahun 1637, ketika masih berstatus sebagai

putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam skandal

memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior,

Tumenggung Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini

melaporkan hal itu kepada Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin

dihukum. Untuk beberapa lama, dia dibuang ke hutan larangan.

Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera

mahkota tersebut, sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang

telah menjadi Susuhunan Amangkurat I membunuh Tumenggung

Wiraguna dan seluruh pengikutnya.

Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang

anak, dia tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau

nyawanya sendiri jadi taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu

yang berinisiatif membentuk pasukan khusus pengawal raja.

Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung

Upasanta yang merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru

Martani—menginginkan sang raja dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun

Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan dia tidak bisa

mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh

anggota pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan

muda, masih perawan, dan tentu saja harus cantik.

―Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata,

dan juga harus dibekali olah kanuragan yang mumpuni,‖ ujar

Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu. ―…dan tugas atau keanggotaan

setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala mereka dihadiahkan

kepada para adipati atau bawahanku.‖

Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana

pun adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun.

Akhirnya terbentuklah pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah

berjalan dengan langkah tegap menaiki bukit di timur alun-alun.

Page 11: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 10

Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan.

Di belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa

dibekali senjata, menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat

dari jati yang berat, lengkap dengan atapnya yang berumbai sutera dan

bordiran benang emas. Di sekeliling raja, tigapuluh anggota Trisat Kenya

berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak, dan juga tulup, sejenis

sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya beracun.

Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan

senjata dan juga ilmu kanuragannya.

Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan.

Beberapa lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada

paling depan membuka jalan. Di bagian paling belakang juga ditutup

sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang tiang obor. Ketika

singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem laki-

laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula

dengan yang membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang

duduk dengan pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan

Trisat Kenya lengkap dengan senjatanya.

Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa

menit itu sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang

ke atas bukit, menanti apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan

oleh sang raja. Untuk beberapa lama sang raja hanya duduk diam di atas

singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati lautan jubah putih yang

memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa yang ada

di dalam benaknya ketika itu.

Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih

duduk di alun-alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat

I mulai bergerak turun dari singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah

ke depan, dan berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang.

Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih

berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya,

menyapu seluruh areal alun-alun kratonnya. Bibirnya yang menghitam

mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam kesumat berbinar-binar

tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan kanan masih

berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi.

Page 12: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 11

Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari

sore telah siap dengan senjatanya

―Habisi !!!‖ teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar.

Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang

terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa

daya. Dengan teramat ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan

pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada di

dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan,

bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa

memenuhi angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang

sanggup menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan

Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.

Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan

pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan

ulama, santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk

puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia

benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang

yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi.

Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa

dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.

Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya

berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.

Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala

terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika

berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang

menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah

belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari

tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di

Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin

penjagal bagi bangsanya sendiri.

Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai

setengah jam!

Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para

pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang

Page 13: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 12

ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar

isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-

tinggi.

Buang semua mayat itu ke parit!

Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar

satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang

dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut

datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala

dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit

yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan

membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali

Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta

maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.

Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental

berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.

Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik

dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil

tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih

tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil

ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara

yang sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya

tercekat oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam

tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan,

kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir di

sekitarnya.

Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan

dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk

begitu saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan.

Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu

malah menyelamatkan nyawanya.

Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh

sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam

berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan

gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan

Page 14: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 13

kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas

ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah

dipenuhi mayat.

Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan

tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan

menahan kengerian yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah

satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut

kemana air membawanya.

Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I

yang masih sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan.

Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya.

Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga

jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang

menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.

Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika

siuman, matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu

mendapati dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh

di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di

beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga

tersangkut. Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau

seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah

kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia tergeletak di

atas rerumputan, satu meter dari air kali.

Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke

sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan

rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.

Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak

tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa

perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu

akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas

rerumputan, dinaungi pohon beringin besar yang ada didekatnya.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala

ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati.

Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki

tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang

Page 15: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 14

sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya

dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke

arah barat

Page 16: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 15

BAB 1

178 tahun kemudian…

Gua Selarong, Yogyakarta, 1825

yali lebih penting ketimbang otak! Walau malam ini gelap gulita,

tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit,

namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah

berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki

kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya

membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam

menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan

penunggangnya itu.

Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan

sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil

yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh

mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan

amat cepat bagai terbang di atas tanah.

Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah

jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada

di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung

pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat.

Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap

masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan

histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas

yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak

semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan

tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat

dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh

tubuhnya terbakar.

Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan

yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.

Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening

isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke

N

Page 17: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 16

atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi

meninggalkan dusunnya.

Londo anjing!!!

Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja

selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya

ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam

ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan

pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan

untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.

Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!

Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah

tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua,

lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke

dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja

di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian

melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan

Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam

sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat

dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang

ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya,

bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat

Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk

merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai

kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib

memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya

yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat

menyakitkan.

Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.

Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah

haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat

Page 18: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 17

sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti

nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.

Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu

sekarang menjadi musuh terbesarku!

Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang.

Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.

Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus.

Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana

Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro,

hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan

kerinduan yang teramat sangat.

Inilah jalanku!

Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi.

Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki

Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia

segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga

keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap

tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan

baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan

tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor di

tangannya.

―Berhenti!‖ teriak mereka.

―Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!‖ teriak salah

satunya. Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki

Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak

menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri

menghadang dengan senjata terhunus.

Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak

asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak

bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang

setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan

berani.

Page 19: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 18

“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta‟ala, bukan kepada

mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah…”

Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang

pedangnya, ―Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini

dan siapa lagi itu yang kau bunuh!‖

Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, ―Ini anakku! Minggir

kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku

mau menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!‖

Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.

―Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah

berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum

kami membunuhmu!‖

―Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti

Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih

saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!‖

bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki

Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat

mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.

Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur

sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh

kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing

terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara

derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.

―Tunggu! Berhenti! Siapa itu!‖

Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu

menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang

penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya

tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki

Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara

Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng

Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding

dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama

sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya

Page 20: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 19

Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang

bocah yang berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut,

―Assalamu‟alaikummusalam warahmatullahi wabarakatuh, wahai

Singalodra. Apa gerangan yang membawamu ke sini! Anak siapa yang kau

bawa itu?‖

Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya

panas mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.

―Wa‟alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti

Pangeran, wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati

dibunuh Belanda tadi malam, juga isteriku… Izinkan aku menghadap

Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.‖

Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada

tamunya.

―Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…‖

―Terima kasih, Ki Guntur…‖

Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali

memacu kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa

berjalan di depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri

kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi jalan utama yang

terus menanjak menuju Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit

batu yang besar.

Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka

terbentang batu karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke

atas, Ki Guntur Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang

diangkat ke atas.

―Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas

sana.‖

Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan

menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir

pelataran. Ki Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih

menggendong Surya Mandriga.

Page 21: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 20

―Mari Kisanak, ikut aku,‖ ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki

Singalodra dan menawarkan diri untuk membantu menggendongkan

anaknya. Namun Ki Singalodra menolaknya.

―Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.‖

Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari

terlebih dahulu ke atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra

kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke

atas.

―Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,‖ ujar Ki Guntur.

Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di

ujung bawah susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke

gua yang ada di atasnya.

Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan

menuruni anak tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki

Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki Singalodra.

―Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….‖

Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping,

memberi jalan kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu

berlompatan bagai Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup

curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan mereka

sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit muda yang

melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.

Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.

Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran

Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma

alias Pangeran Bei1, Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya

yang seluruhnya berpakaian putih-putih tampak mendampinginya.

Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang,

ada pula yang memegang pedang.

1 Putera Sultan Hamengku Buwono II

Page 22: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 21

Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus

memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala

menunduk, lelaki dengan janggut dan cambang yang lebat ini berkata

pelan, ―Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….‖

Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro

yang mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut

yang menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,

―Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra…

Semoga Allah Subhana wa ta‟alaselalu melindungi, merahmati, dan

memberkati Kisanak…‖

Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa

itu. Entah mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia

merasakan satu getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak

pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak berani mengangkat

wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang juga

bergetar bagaikan terkunci rapat.

―Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama.

Semua manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia

bukanlah keturunan, pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya

kepada Allah subhana wa ta‟ala…,‖ ujar Diponegoro lagi.

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri.

Tangannya tetap memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra

masih saja tidak berani menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya

melihat ke bawah.

―Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?‖

―Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung dengan

Kanjeng Gusti Pangeran…‖

Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di

samping Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu,

―Sebaiknya kita urus dahulu jenazah anak itu…‖

Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya

untuk mengurus jenazah anak dari Ki Singalodra itu.

Page 23: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 22

―Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih

dahulu dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah

dengan layak. Serahkan saja pada kita…‖

Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati

dan berlinang airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua

orang pengawal yang segera menyambutnya.

Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali,

―Nah, apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di

sisi kami dalam menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir

kaum kafir Belanda dari negeri ini?‖

Dengan mantap lelaki itu mengangguk, ―Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya

bersungguh-sungguh.‖

―Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?‖

―Melawan Belanda…?‖

―Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda

bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan

orang-orangnya. Musuh kami adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang

kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi sistem

yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.‖

―Thagut…?‖

―Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami

dengan benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum

Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak

keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan

disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan

menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya

berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar

memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami ilmu,

karena itu adalah perintah agama.‖

―Berperang di dalam Islam..?‖

―Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan

diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…‖

Page 24: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 23

Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa

yang dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah

membunuh musuh sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga

musuh takluk. Itu saja.

Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, ―…semua yang ada disini

harus memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan

mengikuti perkataan saya sekarang. Bagaimana?‖

Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, ―Baik Kanjeng Gusti

Pangeran, saya bersedia.‖

―Nah, sekarang ikuti perkataan saya...‖

Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan

namun jelas, Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang

masih berdiri mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua

tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian dia mulai

mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki

Singalodra.

―Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu...

Saya bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya

bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah…‖

Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar

namanya saja orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua

kalimah syahadat. Ki Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro

menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah selesai, semuanya

mengucapkan syukur.

―Alhamdulillahi Rabb al‟Amien…―

Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan

hangat. Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama

sekali tidak ada kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera

Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan hangat memeluk

erat seorang jagoan yang tangannya banyak berlumur darah orang lain.

Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan

menangis terisak.

Page 25: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 24

―Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada cara

untuk menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan

isteriku di surga?‖

Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua

matanya yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata

lelaki itu.

―Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-

Nya akan diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat,

terkecuali dosa syirik, yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan

sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.‖

―Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan

keluargaku di surga?‖ ulang Ki Singalodra.

―Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila

kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang

menemui kematian di jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah

langsung masuk surga…tanpa dihisab.‖

Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. ―Terima

kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad

disamping Paduka.‖

Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga

memeluk Ki Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran

Diponegoro ini berdiri dan memberikan sambutannya, ―Dahulu ketika

menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa

ta‟ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk

memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan

Rasul-Nya. Dialah yang menjadi pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan

sekarang, Allah subhana wa ta‟ala mengirimkan bagi kita seorang Ki

Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan izin Allah, dengan

bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah kuat. Cahaya

kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah

yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!‖

―Amien ya Rabb! Allahu akbar!‖ teriak semua yang ada disitu.

Page 26: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 25

BAB 2

slam tidak pernah bersekutu dengan Thagut, sebagaimana air yang

tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak

akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad

Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap

pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‗taklim dadakan‘ yang hanya

diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam

orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja

dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI2 yang

juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono

VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.

Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga

mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang

tidak sedikit.

Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang,

terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila

di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat

bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo

tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua.

Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah

berjaga, namun mereka tetap waspada.

2 Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan

meninggal dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.

I

Page 27: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 26

Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan

Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani

segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan persepsi

tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan

antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki

persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada

anggota baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga

tahapan penting: bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta

memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad di Jalan

Allah.

Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah

satu bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‗tuhan yang lain‘.

Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan,

―…Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta‟ala. Segala

pandangan hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan

sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan

dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut… Apakah ada yang

ingin bertanya?‖

Ki Singalodra mengacungkan tangannya, ―Ustadz, apakah bea kerig-aji3

juga bisa dianggap sebagaiThagut?‖

―Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng4, bea pangawang-

awang5, bea pajigar6, bea wikah-welit7, bea pajongket8, bea bekti9, bea

3 Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan

kecil tanpa perkecualian.

4 Pajak atas pintu rumah.

5 Pajak atas pekarangan rumah.

6 Pajak atas hewan ternak.

7 Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.

8 Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.

9 Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.

Page 28: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 27

jalan, bea pertunjukan10, bea penimbangan11, dan banyak lagi yang

lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-

jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil.

Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus

dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini

amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat.

Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan

seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup

bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus

diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….‖

“Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran

Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.

―Wa‟alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,‖ jawab Ustadz

Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila

di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di

belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk memberi ruang

kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk

membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah

menahannya.

―Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,‖ bisiknya sambil

tersenyum.

Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada

tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.

―Pangeran,‖ ujar Taftayani. ―… kita disini sedang membahas pajak

dan Thagut. Apakah ada yang ingin ditambahkan?‖

―Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?‖

10

Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.

11 Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga

pajak pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar sepeser pun.

Page 29: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 28

―Sedikit. Silakan paparkan…‖

Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat

pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus,

namun mengandung kekuatan.

―Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-

pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan

membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya…,‖ paparnya.

Kemudian dia melanjutkan, ―…Keberadaan pajak sangat penting, jika

suatu negeri memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan,

misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa,

tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta‟ala telah menitipkan

sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur.

Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya,

baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik,

negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit

pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini

adalah haram hukumnya…‖

Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar

kalimat yang disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.

―Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang?

Bahkan orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya

sendiri…‖ tanya Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang

menjawabnya, ―Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi bangsa ini.

Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya.

Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang

dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti

pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi

pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di

negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka

ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat

kebanyakan…‖

―Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang

atau jihad fisabilillah itu?‖ tanya salah seorang senopati yang kemarin

baru dikirim Paku Buwono VI.

Page 30: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 29

Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun

ustadz itu malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya,

―Silakan Pangeran…‖

―Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,‖ jawab Diponegoro,

―…sebab itu, jika suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum

Muslimin, maka istilahnya bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya,

tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti ‗pembebasan‘

atau ‗membebaskan‘. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan

manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta‟ala, baik

itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa

yang korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam,

membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman…‖

Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar

menyayangi murid yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang

ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro

Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro Raden Mas

Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki

banyak keistimewaan.

Diponegoro12 adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan

Raden Ayu Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro,

Sultan Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro

akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.

―Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk

mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan

kerusakan yang sangat besar pada kafir Belanda. Dia akan menjelma

menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,‖ tegas

Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro.

Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro

kelak diasuh dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng.

12 Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di

keraton Jogyakarta, pada Jum‘at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.

Page 31: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 30

Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di

kalangan bangsawan kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif

sangat muda. Ketika Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati,

sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16 tahun13. Dan sudah

menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh oleh nenek atau

buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan

pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang jauh

lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah

punah.

Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh

oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang

permaisuri yang sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun

1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu Ageng mengasuh

Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo

setelah suaminya wafat.

Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada

Langen Kesuma-kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja,

seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan

Mangkubumi.

Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang

sangat tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan

berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek,

pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan

mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall

Hermann Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan

atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-kagum melihat

atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika

Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang

mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.

13 Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau

Pangeran Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

Page 32: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 31

Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga

pernah menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut

dengan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan amat

sempurna.

Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan

Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di

alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton, Pupuh

XXII, Sinom, menyebutkan:

“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng

Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga

priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di,

angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”

Artinya lebih kurang sebagai: ―Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan

datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka,

seorang perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma,

penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti

prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di

ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.‖

Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan

kanuragan, Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama

sehingga pakaian pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan tetap

mengedepankan kebebasan gerak untuk berperang. Ratu Ageng sebagai

pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini.

Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan seorang

permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab

itulah, selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara seorang

ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu

agama yang cukup dalam.

Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya

sendiri Ratu Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas

Sundoro dianggap tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau

Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap penjajah

Belanda.

Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh

Raden Mas Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II

Page 33: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 32

di tahun 1792, Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton

yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng

lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak dikenal

sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro

ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah

rakyatnya sendiri.

Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang

dijadikan kiblat bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam

kompleks puri, Ratu Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah

barat laut bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.

Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka

dalam jiwa seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat

besar kepada orang-orang kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat

dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri

seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo

alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah

dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena

dia harus menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak

bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori oleh

kemaksiatan dan kezaliman.

―Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan

dan kakiku sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor

yang berasal dari memeras keringat dan darah rakyat!‖ tegasnya.

Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada

literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga

rumahnya yang sederhana di Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan

kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak memiliki minat

yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer yang memang

dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang

dipanggil maupun yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda

menyebabkan Pangeran Diponegoro menjadi seorang pemuda yang

bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras mengikuti

teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan,

mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam

Page 34: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 33

dia sering membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di

pedesaan dengan menggunakan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat

samarannya hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok

pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang mengembara,

keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk menyendiri, dan menatap

lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.

Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang

sebagian besar masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari

tuntunan agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah memeluk

Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir Belanda. Islam

bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah

tidak ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai

dansa-dansi sampai pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi

dengan taruhan gadis-gadis penari.

Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi

dan mulia kini sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar

pembesar kraton sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.

Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak

menobatkannya sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal

dari permaisuri, namun selir-dengan tegas dia menolaknya. Ustadz

Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih disebabkan ketidaksukaannya

terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan

pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen

Belanda-lah yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan

semua ini. Itulah yang melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja

di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia,

Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi sebagai putera mahkota.

Dihadapan orang-orang terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,

―Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya

lupa, tolong ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau

dijadikan pangeran mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat

menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin itu

terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang, dekat

dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha

Page 35: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 34

Besar. Hidup di dunia tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini

nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup dengan

menanggung dosa…‖14

Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali

tidak menarik hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan

dosa, dan dia tidak mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup

dan berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian dan makna

hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.

Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para

alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan

penguasa. Sejumlah ulama besar yang dekat dengan Diponegoro antara

lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji Baharudin

yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai

Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain.

Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi

salah satu guru bagi orang yang berhati mulia ini.

―Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,‖

ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad

Taftayani15 tentang murid kesayangannya itu.

―Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah

semakin malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu.

Mudah-mudahan iman Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati

kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan mendatangi kita.

Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa

agar Allah subhana wa ta‟ala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita

14 Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad

Diponegoro jilid I hal.39-40.

15 Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal

dari Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, ―Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29).

Page 36: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 35

semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb. Apakah kisanak semua

masih ada pertanyaan?‖

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling

berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala.

―Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya.

Untuk saat ini saya cukupkan.Wassalamu‟alaikum warahmatullahi

wabarakatuh.―

―Wa‟alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,‖ jawab semuanya.

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat,

ada pula yang bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh,

dan pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup

besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang dilakukan setiap

malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir

situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau mata-mata

yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung

memimpin pertemuan tersebut. []

Page 37: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 36

BAB 3

uromenggolo bersama tiga lelaki lainnya sudah duduk bersila di

ruangan agak besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan

kapur, sehingga bilik-biliki bambu yang mengikat dengan saling-

silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah pelita kecil sengaja

diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan. Keempat

orang itu merupakan bagian dari pasukan telik sandi yang sengaja dikirim

Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-

banyaknya tentang berbagai hal.

Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di

kejauhan, lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan,

bagai meneriakkan nasib rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di

bawah kekejaman Belanda dan antek-anteknya.

Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku

Buwono IV. Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama

Pangeran Mangkubumi16-yang menganjurkan agar pamannya memilih

Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya. Wilayah Selarong dengan

beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya berada di

ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak

luas. Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga

sulit dilalui kereta yang ditarik kuda. Walau berada di ketinggian, namun

Gua Selarong yang berada di selatan Yogyakarta ini tak begitu jauh

dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang disukai Diponegoro

untuk tafakur .

Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh

rumah penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang

menjadikannya sangat cocok untuk dijadikan markas komando dalam

kacamata militer.

16

Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II

atau yang lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali dengan jelas mendukung Belanda.

S

Page 38: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 37

Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran

Diponegoro akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang

tepat. Gua Selarong memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.

Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus

pengawal raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang.

Ratu Ageng tidak hanya memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga

membekalinya dengan dasar-dasar kepemimpinan dan kemiliteran,

pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan senjata, manajemen

pasukan, dan lain sebagainya.

Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di

saat yang lain sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-

masing, Pangeran Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas

dengan para telik sandi terpilih untuk memantau perkembangan di luar

sana.

Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para

telik sandinya. Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya,

Diponegoro juga membentuk unit kontra intelijen yang mengawasi dan

mengecek semua informasi yang diterima dari bawahannya. Yang terakhir

ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya, walau pun

jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat

mereka dengan kitab suci al-Qur‘an di atas kepala.

Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak

terbuka. Deritnya terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki

Guntur Wisesa yang pertama memasuki ruangan, diikuti Pangeran

Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, seorang pengawal khusus,

dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para senopati. Salam

pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan

kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan,

diterangi temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat

wuwungan.

Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.

―Bagaimana laporanmu Suromenggolo?‖ bisiknya langsung ke pokok

pertemuan.

Page 39: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 38

Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus

orang kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang

berada di utara Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan

terlebih dahulu pandangannya ke sekeliling ruangan. Walau nyaris gelap,

namun dia bisa merasakan jika seluruh pimpinan pasukan jihad fi

sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.

Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil

duduk bersila, Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai

mengeluarkan suaranya. Terdengar seperti orang berbisik, namun bisa

didengar dengan jelas.

―Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang

menyatakan dengan tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….‖

Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga

mengucapkan hamdallahtanda syukur kepada Allah subhana wa ta‟ala.

Beberapa tahun lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang

bergerak di segenap penjuru negeri untuk menggalang kekuatan untuk

memerangi dan mengusir Belanda.

Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai

Anom di Bayat, Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas

kesanggupannya untuk bergabung namun juga memberi Diponegoro

tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat, Diponegoro bersama Pangeran

Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali, untuk menemui

Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono

VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan

diantar Kiai Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung

Prawirodigdoyo di Gagatan. Tumenggung ini adalah orang kepercayaan

Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran

Diponegoro pun menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro

sendiri.

―Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu,

Kulon Progo, dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng

Pangeran. Bukan saja para ulama, namun juga para pendekar dan jagoan-

jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan Belanda. Mereka hanya

tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.‖

Page 40: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 39

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. ―Alhamdulillah, ini perkembangan

yang baik. Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini

adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata

bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan menghapuskan segala

kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-pengajian di

seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita

memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?‖

―Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik

kemenangan. Tidak ada sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi

hari esok bagi orang-orang beriman. Kematian adalah kepastian. Dan

hanya orang-orang beriman dan tawakal yang kematiannya akan benar-

benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para senopati

dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada

semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya

Allah..,‖ ujar Diponegoro.

―Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?‖ tanya Ustadz Taftayani

kembali kepada Suromenggolo.

―Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang

sedang hamil tua bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang

lewat jembatan di Desa Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang

ibu tadi untuk bayar pajak jalannya kurang. Danurejo ada di sana. Dia

tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia sendiri yang kemudian

memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi Kali Code

yang berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-

anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh

dan terbawa hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani

menolongnya karena Danurejo dan pasukannya melarang semua orang

yang ada di situ untuk menolong mereka….‖

―Astaghfirullah al-adziem....,‖ desis semua yang ada di sana.

―Dasar anjing Belanda!‖ umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai

terdengar bergemeletuk saking marahnya.

―Teruskan Kisanak…,‖ ujar Ustadz Taftayani.

Suromenggolo melanjutkan paparannya, ―Danurejo juga telah

memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan

Page 41: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 40

Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan

yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas

di jalan itu…‖

Pangeran Diponegoro bergumam, ―Murdaningrat dan Ponular, jahat benar

mereka…‖

Suromenggolo mendengar gumamannya, ―Ya, benar Kanjeng Gusti

Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi

Danurejo dan juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan

Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di

dewan perwalian?‖

Diponegoro mengangguk. ―Ya, mereka yang menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.‖

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu

benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi

kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun

1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru

berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang

menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun

tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya.

Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku

Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali

pemerintahannya.

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah

hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan

sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV

hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822

tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal

dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagaiSultan

Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya.

Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya

telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih

Page 42: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 41

Danuredjo IV bisa lebih besar17. Patih Danuredjo IV, yang berasal dari

keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan

Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki

jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku

Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru

berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka

Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton.

Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia

tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk

mendampingi raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV

membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-orang

terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk

menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku

Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa

berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan

dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi

seorang Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian

hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan

final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-

sama dengan Residen Belanda.

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan

sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya.

Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan

mengucapkanBismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk

mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan

Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro

berharap dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan

17

Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of

an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, ―…bagaimana dia wafat sangat mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan-dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni… Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.‖

Page 43: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 42

Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak

umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat

berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap

berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala

keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan

hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih

Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan

menyitir banyak ayat Qur‘an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu

menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan

seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara.

Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau

itu bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton.

Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri.

Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak

memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.

Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan

tegas, Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan

ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang

bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan

uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah

dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan

semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan

pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru

yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota

pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin

panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil

suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai

perang.

―Maaf Kanjeng Pangeran..,‖ ujar Suromenggolo. ―…saat ini Kanjeng

Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati.

Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika

Page 44: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 43

Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua

terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih

dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan

membunuh kita semua di sini…‖ []

Page 45: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 44

BAB 4

Pertengahan Juli 1825

alam telah turun menyelimuti langit Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar

mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para

pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky

dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar

kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-

perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo

entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak

duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta.

Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita,

merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas

tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi

dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para

pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian

pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky

yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan

residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya

yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka

mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang

bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat

kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya

pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh

sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada

Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan tangan kosong,

namun juga menggunakan berbagai macam senjata.

―Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera

ditangkap!‖

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat

yang teratur rapi, dia menjawab, ―Insya Allah, Tuan Residen tenang saja.

M

Page 46: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 45

Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera

mungkin ditangkap.‖

―Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai

pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!‖ sergah Smissaert sambil

menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar

terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan

sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain.

Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo.

Patih Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya

berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau hatinya serasa panas

diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan

tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna

putih keperakan dan bermata biru itu berkata, ―Aah, jangan-jangan kowe

berkomplot dengan Diponegoro hah!‖

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari

sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.

―Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal

itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya

punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…‖

―Kenapa kowe dari tadi diam saja?‖ ketus Smissaert dengan sinis. Bekas

Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen

pada 3 Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh

kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

―Saya baru mau cerita, Tuan…‖

―Ya, cepatlah cerita!‖

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan

tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah

terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

―Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke

Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?‖

Page 47: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 46

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, ―Ya, ya, saya tentu tahu.

Ada apa dengan proyek itu?‖

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang

merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik

mengingatkan Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam

epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf,

kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

―Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu,

melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan

itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan

juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di

sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….‖

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya

ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. ―Ha! Ini

baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti

kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!‖

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang

dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa

saja dan hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu

Belanda.

―Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro

marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan

protes. Kita acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk

dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai

mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan

kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu.

Atau bisa jadi pula dia akan menyerang langsung kita di sini. Kalau itu

sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita katakan saja jika

Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu

mudah?‖

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit,

―Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah

leluhurnya Diponegoro!‖

Page 48: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 47

―Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?‖

―Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!‖

―Baik, Tuan!‖

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. ―Sebentar,

Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.‖

―Ya, kowe harus bergerak cepat!‖

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar

ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak

limbung karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil

salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat

dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo

sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih

Danuredjo datang, lelaki yang duduk menunggu itu segera bangkit dan

menyongsong tuannya.

―Joko!‖ panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

―Dalem, Kanjeng Patih!‖ ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas

menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti

tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit

membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.

―Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau

malam ini juga rencana itu dilakukan?‖

―Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…‖

―Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada

padaku.‖

―Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.‖

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert

tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang

Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta

minuman keras.

Page 49: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 48

―Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?‖ tanya Smissaert menyebut salah

satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert

agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas

tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert

menanyakan Sari.

―Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.‖

―Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari

lama-lama. Nanti diakecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti

cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?‖

Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Smissaert juga ikut tertawa.

―Sriayu lagi…?‖ goda Smissaert.

Patih itu menggelengkan kepalanya, ―Untuk malam ini yang lain saja.

Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur

lodeh…‖

Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian.

Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan

keputusan pengadilan pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak

yang memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik kepadanya.

Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi mereka dalam

urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara,

termasuk dengan puteri-puteri kraton.

Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari

phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna

hitam. Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan

perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik.

Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula

kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma

alkohol menyeruak sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]

Page 50: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 49

BAB 5

Puri Tegalredjo, 04.50 wib

dzan Subuh berkumandang memenuhi angkasa pagi. Suaranya

terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola

dan masjid, besar dan kecil, yang tersebar di seantero dusun di

lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok bersahut-

sahutan.

Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih

sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib

dan Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam

masjid yang belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah

difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih

dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya. Dia

benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya

malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha.

Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana

untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.

Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan

jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid.

Dia lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan

zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan

sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.

Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri,

kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian,

beberapa orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid.

Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian

pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah

sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau

jubah putih.

Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat

kemudian berdiri paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak

muda yang tadi bersamanya untuk segera mengumandangkaniqamah.

A

Page 51: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 50

Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak

muda tadi menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai

meneriakkan iqamah, tanda sholat subuh berjamaah akan segera

didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat

berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas telinga.

Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, ―Allahu Akbar!‖

Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.

Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat

membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk

surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid.

Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh dengan membaca

surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang benar

agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana wa

ta‟ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.

Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang

merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia

kebanyakan yang sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan

dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu. Dengan suara yang

lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat tersebut.

Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang

Pangeran yang begitu menyayat hati.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Sampai kamu masuk ke liang kubur,

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,

Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan

yakin seyakin-yakinnya,

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan

(yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)…”

Page 52: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 51

Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro

mengisi tausiyah18 subuh yang berisi soal penguatan akidah dan

sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah

soal ―Islam dan Negara‖.

―…di dalam sirohnya19, Rasulullah shallallahu wa allaihi wa

salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah

yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang

menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di

zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun

tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah,

lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi

kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut

suatu negara itu? Ada yang tahu?‖

Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap

dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta

mengangkat tangannya.

―Ya, silakan jawab anak muda…‖

―Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah

negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki

aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau

salah…‖

Diponegoro tersenyum bangga, ―Kisanak tidak salah.

Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di

suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita

dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-

hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau

wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah

Islamiyah.‖

Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.

18

(Bahasa Arab): Nasehat.

19 (Bahasa Arab): Sejarah.

Page 53: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 52

―Ada lagi yang ingin bertanya?‖

Seorang lelaki tua mengangkat tangan.

―Ya, silakan Pak,‖ ujar Diponegoro.

―Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa

itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa yang harus kita lakukan?‖

―Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara

Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan

bersama, maka mulailah dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di

dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di dalam

keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu sebarkanlah dengan

damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan terus

menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah

Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara

Islam.‖

―Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang,

dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula.

Dan bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu

dengan kafir Belanda itu?‖

―Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah

hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-

tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan

perintah dan larangan Allah subhana wa ta‟ala. Thagut adalah musuh

Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar,

maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga

wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan

alasan atau dalih apa pun. Orang Islam yang bersekutu

dengan thagut adalah orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan

Allah subhana wa ta‟ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap orang-

orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?‖

Para jamaah menganggukkan kepalanya.

―Nah…,‖ lanjut Diponegoro, ―…bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang

harus kita lakukan sekarang ini? Jawabannya adalah: Pertama, kita harus

paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai dengan al-

Page 54: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 53

Qur‘an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita tegakkan Islam

itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum yang

mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan kuat-kuat

cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga,

untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya

harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan malah

bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.

Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari ke depannya

melawan kafir Belanda, maka bukan orang Belanda-nya yang kita musuhi,

namun sistem thagut-nya yang kita perangi. Yang akan kita lakukan

adalah perang sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua

yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu

surga telah menanti, dan jika kita menang, maka kita akan hidup bahagia

di dalam suatu negara yang penuh dengan kedamaian dan

kemakmuran…‖

―Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…‖

―Benar itu. Allah subhana wa ta‟ala sendiri di dalam surat al-Baqarah ayat

120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi‟an

milatahum…” yang artinya, ―Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah

sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada

kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk mengikuti,

mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.

Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi dengan sukarela dari

tanah Islam ini. Sebab itu kita harus menghimpun segenap kekuatan

untuk memerangi dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.

Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita yang diwariskan

nenek moyang kita. Bukan tanah mereka. Tanah mereka ada di seberang

samudera, nun jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan

mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka. Ini perang untuk

menegakkan keadilan. Nanti setelah mereka kembali ke negerinya, maka

kita akan bisa menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua

rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah Islamiyah…‖

Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang pemuda berlari

mendekati masjid sambil berteriak-teriak, ―Kanjeng Gusti Pangeran!

Kanjeng Gusti Pangeran..!‖

Page 55: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 54

Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid langsung melihat

pemuda itu. Diponegoro mengenalinya sebagai salah seorang anggota

pasukan Laskar Ki Joyosuto yang berasal dari Winongo.

Diponegoro bertanya, ―Ada apa Kisanak berlari-lari seperti itu?‖

―Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!‖

―Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan dirimu dulu. Jika

sudah tenang, ceritakan dengan jelas…‖

Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran Diponegoro. Setelah

menenangkan diri, walau nafasnya masih tersengal-sengal, dia mulai

bercerita, ―Tanah makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki

Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan menerabas tanah itu

Kanjeng Pangeran…‖

Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang

biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

―Pasti ini kerjaan Danuredjo!‖ desisnya.

―Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?‖ ujar salah seorang

pemuda yang lain.

―Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap

bergerak!‖ pekik yang lain.

Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran

Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk

menenangkan semua pengikutnya.

―Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita sudahi

dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan

bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa

yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua

kita. Saya sendiri akan berangkat memimpin barisan ini!‖

Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil Kiai

Gentayu-nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat

kakinya-beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan

yang berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran

Page 56: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 55

Diponegoro. Setelah mengambil keris dan menyelipkan di pinggang,

dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu.

Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing dan

mengikuti Sang Pangeran.

Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu jauh. Tidak

sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang dipenuhi

batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu

yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya,

tertancap begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan

ada sejumlah patok yang ditancapkan pas di bagian tengah makam,

seakan sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam tanahnya.

Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh

pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris,

pedang, dan trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan

kompleks malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang teramat

sangat. Walau demikian dia mencoba untuk tetap tenang. Bibirnya komat-

kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha keras menguasai dirinya dari

kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga dirinya serasa

diinjak-injak.

Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di

sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar

dengan sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri

di dekat mereka berdua.

―Ki Guntur…,‖ bisik Diponegoro pelan.

―Dalem, Kanjeng Pangeran…‖

―Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?‖

―Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala

dingin. Sebaiknya sekarang kita kembali saja ke Puri…‖

Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa

barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro

mengangguk pelan, ―Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong

kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.‖

Page 57: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 56

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!‖

Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan para

pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu

pasukan berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia

berteriak lantang,

―Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim! Tanah makam

leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita telah dicederai. Mereka tidak

saja menindas dan menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup.

Para leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari. Sekarang juga, kita

akan cabut semua patok-patok ini! Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu

dengan tombak di sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan

protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika kita tidak

pernah takut kepada orang-orang kafir itu. Allahu Akbar!‖

Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya dengan gegap

gempita. Langit Tegalredjo pagi itu membahana dengan teriakan takbir.

Cahaya matahari yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah

panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh rongga dada.

―Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun yang mencintai

Islam sebagai agamanya, yang mencintai saya sebagai hamba dari Sang

Khaliq, Allah subhana wa ta‟ala, bergabunglah dalam barisan jihad ini.

Mereka telah menantang kita, dan haram bagi kita untuk takut terhadap

tantangan kafir Belanda itu! Bersiagalah. Tunggu perintah dariku.

Siapkan perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka ke

tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan pun. Allah bersama

kita!‖

―Allahu akbar!‖ Pekik takbir membahana sekali lagi.

―Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri kalian

semuanya. Bismillah! Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh!―

Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro memacu Kiai Gentayu

kembali ke dalam puri diikuti Ki Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya.

Debu membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang meninggalkan

tanah makam. Suaranya benar-benar menakutkan.

Page 58: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 57

Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di tanah makam.

Mereka bekerja cepat mencabuti patok-patok kayu tersebut dan

menggantinya dengan tombak yang mengelilingi tanah makam. Patok-

patok kayu Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar hingga

habis menjadi abu.

Page 59: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 58

BAB 6

idak sampai satu jam kemudian masjid dan Paseban20 Puri

Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan

pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar juga sudah berdatangan.

Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya

dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam

masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas

dengan sejumlah sesepuh dan pimpinan pasukan.

―Bagaimana menurutmu, Paman?‖ tanya Diponegoro kepada Pangeran

Mangkubumi yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat.

―Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan

menantang kita dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus

mempercepat persiapan pasukan dan segala sesuatunya.‖

―Apakah basis sudah dipersiapkan juga?‖ selidik Diponegoro. Basis adalah

nama sandi bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas

komando utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan.

Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang mengusulkan

lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro

mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.

Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus21 Laskar

Diponegoro menjawab, ―Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu

Ki Guntur Wisesa?‖

Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong

tersenyum dan menganggukkan kepalanya, ―Insya Allah siap. Demikian

pula dengan jalur, sudah kita amankan…‖

―Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh

empat jam, tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.‖

20

Bahasa Jawa: Tanah atau Lapangan yang cukup luas.

21 Panglima Besar.

T

Page 60: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 59

Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai

pemuda yang sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng,

termasuk dasar-dasar kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari

sudah mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi pasukan Belanda

jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri Tegalredjo sebagai poros

utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia

masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran

Mangkubumi.

Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang

berbeda. Gelang terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang

disebut sebagai lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua

setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua. Dan lingkar satu

sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-masing lingkar

dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu

dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan

dengan jalur komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika

terjadi sesuatu.

Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi

atau mata-mata yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari

berbagai macam usia. Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke

seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.

―Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan

lama lagi meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu,

keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan

diam-diam. Saya tidak ingin mereka menjadi korban kebuasan pasukan

kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para

perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,‖ ujar

Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab

terhadap keamanan sebelah Lor22 Desa Tegalredjo.

Joyokirno mengangguk pelan, ―Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya

laksanakan.‖

22 Bahasa Jawa: Utara.

Page 61: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 60

―Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini

tidak menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada

para senopati yang lain,‖ ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk

bahu Joyokirno.

―Inggih, Kanjeng Pangeran…‖

―Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…‖

Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera

melompat ke atas kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo

untuk kembali ke pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah

pintu desa di sebelah utara.

―Ustadz…,‖ panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang

meneliti peta sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai

masjid. Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo

itu mendekat.

―Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?‖

Taftayani mengangguk dan balas berbisik, ―Insya Allah mereka juga sudah

siap. Bahkan saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan

konsolidasi dengan pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah

mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah di

sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung dengan

kita.‖

Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, ―Apakah kita

akan tetap dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta,

Ustadz?‖

Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab.

Diponegoro memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh

daerah komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang

komandan. Khusus Madiun, wilayah ini dibagi menjadi tiga komandemen.

Diponegoro telah berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih

kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa disiapkan

sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus

menjadi pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat

Page 62: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 61

komando tetap berada di tangan Pangeran Diponegoro. ―Bagaimana,

Ustadz?‖ tanya Diponegoro lagi.

―Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti kita

lihat perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan

organisasi hanyalah suatu ikatan yang teramat lentur? Semuanya

tergantung pada improvisasi para pemimpin di lapangan dan kecepatan

dalam bertindak tepat. Itu yang penting.‖

―Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang

sebentar lagi akan meletus?‖

―Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai kita

dituding sebagai pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu.

Tentang pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan

Patih Danuredjo, yang menancapkan patok-patok di tanah makam,

sebaiknya Pangeran mengirim nota protes kepada Residen Smissaert…‖

―Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan minta

agar kafir Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan

yang akan dibuat sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya

minta agar residen kafir itu segera memecat Danuredjo.‖

―Ya, itu bagus. Saya setuju…‖

―Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan surat

sekarang juga untuk diantar ke residen kafir itu.‖

Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro. Pemuda

keturunan Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan

Diponegoro sejak awal perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun

1820-an.

Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk

memanggil pemuda yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu

datang bersama seorang pemuda berkacamata bulat yang mengenakan

baju koko dan songkok putih.

―Ahmad…,‖ ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu, ―…Saya

akan tulis surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert.

Pastikan dia yang menerimanya…‖

Page 63: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 62

―Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.‖

―Tunggu sebentar disini.‖

Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di

samping masjid. Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil

sederhana, sebuah meja kayu kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit

bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah Pangeran Diponegoro menulis

surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, yang isinya

antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih

Danuredjo yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir

semua rakyat Yogyakarta memusuhi dia.

Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke

dalam masjid. Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya

didampingi Ustadz Taftayani.

―Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada

residen itu. Berangkatlah dalam nama Allah…‖

―Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah…―

Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan

dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam

tas kulit yang disandangnya di bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad

keluar dari masjid dan langsung melompat ke atas kudanya. Dengan

sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri

Tegalredjo.

Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan

pembahasan rencana perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati.

Setelah itu semua pasukan diperintahkan untuk kembali ke posnya

masing-masing dengan kesiagaan penuh di sekeliling Puri Tegalredjo

dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.

―Ustadz…‖

―Ya, Kanjeng Gusti Pangeran…‖

Page 64: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 63

―Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di

pantai utara, di Mancanegara23, serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka

harus mulai bersiap menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.‖

―Surat perintah?‖

―Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar

mulai saat ini tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya.

Orang-orang yang mengaku Muslim tapi di dalam hidupnya

menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan

loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya,

juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta‟ala yang layak dan

berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika

terdengar meriam berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya

harus siap siaga. Itu saja.‖

―Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.‖

―Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati24, Ustadz! Ini prinsip

kita.‖

Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan

kepalanya. []

23

Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan

Rembang).

24 Bahasa Jawa: ―Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah

penghabisan‖.

Page 65: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 64

BAB 7

hmad terus memacu kudanya melewati jalan utama dari Tegalredjo

ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai

macam penghalang demi memperlambat gerak maju pasukan

reguler Belanda yang biasanya menggunakan kereta penarik meriam.

Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang sengaja direbahkan

melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara acak, atau

penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar satu

tombak. Di beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga

sudah dipasang jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang

ditutup bilik yang kemudian disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang

menginjak lubang itu akan jatuh dan tertusuk belasan mata tombak atau

panah yang telah ditanam menghadap ke atas. Sebab itu, kurir dan rakyat

kebanyakan sejak beberapa hari lalu menghindari jalan-jalan besar sekitar

Tegalredjo dan memilih untuk melewati ‗jalan tikus‘ yang walau kecil dan

berliku namun aman.

Menurut informasi dari pasukan telik sandi, Residen Yogyakarta Smissaert

pagi menjelang siang ini masih berada di dalam kraton usai pesta besar

tadi malam. Namun beberapa kilometer sebelum pintu gerbang kraton,

Ahmad terlebih dahulu mampir ke sebuah rumah di gang sempit sekitar

Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah salah satu ‗rumah aman‘

bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan utama menuju

pusat kraton.

Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko putihnya,

dengan baju wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap

seperti kebanyakan penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu

kudanya menuju kraton melewati jalan utama menuju gerbang kraton

yang serupa garis lurus, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Malioboro.

Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga di sisi

kanan dan kiri pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun

pemuda itu bersikap tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit

sesobek kain merah putih biru dengan lambang kraton di sisi kanannya

sebagai tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi keresidenan Belanda

A

Page 66: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 65

untuk Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk kraton dan

gedung pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua

prajurit kraton menghunjamkan tombak ke arahnya.

―Berhenti! Turun!‖ bentak mereka.

Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah

membentak prajurit itu, ―Minggir! Ada surat penting dari Gubernur

Jenderal untuk Tuan Residen. Secepatnya harus dibalas oleh Tuan

Residen!‖

Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang di

antaranya menjawab dengan nada yang lebih sopan, ―Coba perlihatkan

kepada kami tanda izin Kisanak!‖

Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi

sobekan kain merah putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya.

Melihat simbol tersebut, kedua prajurit penjaga tersebut segera memberi

ruang bagi Ahmad dan kudanya.

―Silakan lewat.‖

―Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung sampai di

tangannya sekarang juga.‖

―Di ruang kepatihan.‖

―Baiklah, matur nuwun..!‖

Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka

kraton dan langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV

berkantor.

Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian

dalam. Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan

aroma alkohol dan tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu.

Beberapa puntung rokok masih terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja

dan kursi. Namun ketika melihat seorang prajurit jaga yang berdiri di

depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega. Prajurit yang tengah

jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal kepada

Page 67: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 66

Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo

juga merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo

segera menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo

segera berbisik, ―Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan

pada residen itu.‖

Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran

Diponegoro, ―Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu

dibalas…‖

Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun

mengetuk pintu kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. []

Page 68: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 67

BAB 8

Kantor Residen Surakarta, 19 Juli 1825

engan wajah yang sangat serius, Residen Surakarta Mac Gillavry

terlihat marah-marah sendiri di kantornya. Sekretarisnya hanya

berdiam diri mendengar atasannya mengomel tak menentu.

Sebabnya, tak lain dan tak bukan, karena surat peringatan akan bahaya

Diponegoro yang ditulisnya-yang ditujukan bagi Residen Yogyakarta

Smissaert-mendapat tanggapan yang dingin. Bahkan Smissaert

menganggap Mac Gillavry terlalu berlebihan dan sedikit paranoid

menghadapi Pangeran Diponegoro dan pasukannya.

―Keparat Residen Yogyakarta itu! Sudah saya bantu tapi dia tidak perduli!

Dasar orang tak tahu berterimakasih! Kalau Yogya kacau, kita juga yang

nanti kena getahnya. Maunya apa Smissaert itu! Pesta dan pesta!

Perempuan dan whisky melulu! Dia terlalu menyepelekan Diponegoro…‖

―Anthonie!‖ jerit Gillavry. Suaranya mengguntur menyakitkan gendang

telinga.

Sekretaris Residen Surakarta yang sedari tadi berdiri di dekat pintu yang

tertutup dengan agak takut menjawab, ―Ya, Tuan.‖

―Saya akan menulis surat lagi yang isinya lebih kurang sama. Tapi kali ini

langsung ditujukan untuk Chevallier!‖

―Asisten Sekretaris Residen Yogya itu, Tuan?‖

―Ya, siapa lagi jika bukan dia! Cepat kau siapkan kertas dan pena. Saya

akan diktekan!‖

Anthonie van Huyn segera mengambil alat tulis dan menarik beberapa

lembar kertas kosong. ―Siap, Tuan.‖

Mac Gillavry duduk di atas kursinya yang memiliki sandaran tinggi.

Dengan mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil di samping kursi

dia mulai mendiktekan suratnya yang kali ini ditujukan langsung bagi

bawahan Smissaert. Dia akan potong kompas, sekaligus merendahkan

rekannya itu.

D

Page 69: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 68

―Amice,‖ ujarnya, ―… De demang der desa Grojogan (de voornamste van

boven bedoelde hoofden) is op last van den Pangeran Dipanegara met 100

man zjin gevolg naar Yogya vertrokken. Eenigen mijner spionnen zijn

terug. Zij brengen de tijding, dat het plan bestaat om eerst Patjitan een te

vallen en met die bevolking Yogya te vermeesteren. Zorg intusschen maar,

dat hij, noch Dipanegara er iets van merken, dat wij hen bespionneeren‖

Mac Gillavry mengambil nafas. Kemudian dia mulai mendiktekan kembali

kelanjutan suratnya:

―…Een bijwijf van den demang heeft zich uitgelaten, dat hij naar Yogya was

om nadere orders te ontvangen, meldt mij per extra-post wanner hij weer

van Yogya vertrekt en laat dan door een knappen vent, slechts in de verte,

nagaan of hij ook een anderen koerst neemt. Op de pasars alhier loopt het

gerucht, dat er op Yogya prang (Oorlog) zak jineb eb dat het kleine volk

reeds al zijn goederen geborgen heeft; dat de Rijksbestierder van Yogya de

Merapi heeft beklommen om een gelofte te doen voor dien prang enz., deze

merae nugae (loutere beuzeipraat) allen tot Uwe informatie. Vaarwel, H.C.

Gillavry…‖25

―Ya selesai. Coba aku baca dulu.‖

Anthoine menyerahkan surat yang barusan ditulisnya. Mac Gillavry

melihatnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya kini

sudah mulai mengembang.

25

―Sahabatku, atas perintah Diponegoro, Demang Desa Grojogan (yang dituakan

di antara para kepala desa yang disebut di atas) berangkat ke Yogyakarta bersama 100 orang anak buahnya. Beberapa mata-mata saya telah kembali. Mereka membawa berita bahwa ada rencana untuk menyerang Pacitan terlebih dahulu, lalu dengan kelompok itu mereka akan menguasai Yogyakarta. Sementara itu, usahakan agar Demang maupun Diponegoro jangan menyadari bahwa kami memata-matai mereka. Selir sang Demang memberitahukan bahwa dia pergi ke Yogya untuk menunggu perintah selanjutnya. Tolong beritahu saya melalui pos kapan dia berangkat dari Yogya dan suruh seseorang mengawasi dari kejauhan apakah Demang juga mengambil arah lain. Di pasar-pasar sudah tersebar kabar bahwa di Yogya akan terjadi perang dan bahwa rakyat kecil telah menyimpan harta benda mereka; pepatih Dalem Yogyakarta telah naik ke Gunung Merapi untuk melakukan kaul bagi perang ini dsb, merae nugae (omong kosong) ini hanya sebagai informasi buat Anda. Sampai jumpa, H. Mac Gillavry.‖ (Het Legioen van Mangkoe Nagoro, Let Col H.F. Aukes, page 62, 1935, A.C. Nix & Co, Bdg/ ditulis kembali dari Santosa, Irwan; Legiun Mangkunegara 1808-1842; Kompas; hal.144-145; Sept, 2011)

Page 70: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 69

―Hmm… bagus. Ya, seperti ini. Tulisanmu lama-lama bagus juga,

Anthoine…,‖ ujarnya sambil melirik sekretarisnya itu.

―Terima kasih, Tuan,‖ jawab Anthoine tersipu-sipu. Selama delapan bulan

bekerja dengan Gilavry, baru kali ini dia menerima pujian dari si gendut

dengan kumis melintang itu.

―Sekarang tolong kamu kirimkan surat itu langsung kepada Chevallier.

Secepatnya!‖ ujar Gillavry kembali berdiri dan menenggak segelas gula

asam lagi, minuman tradisonal kesukaannya.

Anthoine menerima surat itu kembali, melipatnya dan memasukkannya ke

dalam amplop yang kemudian disegel dengan lilin panas yang dicap

simbol kerajaan Belanda. Lalu dia bergegas keluar ruangan menemui

petugas jaga dan menyuruhnya untuk segera memanggil kurir khusus ke

Yogyakarta. Tak lama kemudian, kurir yang dipanggil pun menghadap

Anthoine dengan sikap badan yang terbungkuk-bungkuk.

―Serahkan surat ini kepada Residen Yogyakarta Smissaert sekarang juga.‖

―Inggih, Tuan,‖ ujar kurir itu sambil berkali-kali membungkukkan

badannya. Dia kemudian bergegas menuju kudanya yang ditambatkan di

sayap kanan gedung karesidenan Surakarta. Dengan beberapa kali

gebrakan kaki pada badan kuda, dia pun melesat meninggalkan Surakarta

melewati jalan utama menuju Vredeburg Castle yang berada di utara

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. []

Page 71: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 70

BAB 9

esiden Yogyakarta ini kemudian berteriak agar prajurit jaga

memanggil Patih Danuredjo, ―Panggil itu patih ke sini

menghadapku!‖

Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera

menghadap, ―Inggih, Tuan Residen.‖

Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang ke

ruangan di mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen

Belanda merupakan panggilan yang sangat penting. Melihat wajahnya

yang kusut, Danuredjo sepertinya juga baru terbangun dari mimpinya.

―Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?‖

―Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!‖ ujar Belanda itu sambil

melemparkan sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih

Danuredjo dengan sigap menangkap gulungan surat itu dan

membukanya. Wajahnya kemudian terlihat berseri-seri.

―Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar. Sebaiknya

orang kita memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang

juga. Jika dirusak, kita pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil

Diponegoro untuk menghadap kesini untuk menjelaskan tentang surat ini.

Dia meminta Tuan untuk memecat saya. Ini sudah makar! Kita tangkap

saja orang itu di sini!‖

Smissaert mengangguk-angguk, ―Well, kowe benar-benar pintar

Danuredjo! Ya, periksa patok-patok itu sekarang dan kita panggil

Diponegoro ke sini segera.‖

Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang demikian,

orang itu tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar

saja. Tiba-tiba dia menyebut Pangeran Mangkubumi.

―Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran

Mangkubumi. Aku juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau

Mangkubumi saja yang kita suruh untuk menghadap Diponegoro dan

menyampaikan undangan kita itu.‖

R

Page 72: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 71

―Bagus, itu juga rencana yang bagus.‖

―Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin pemberontak itu

tidak akan mau datang.‖

―Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu pemberontak

Diponegoro ke sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di kraton

ini. Jika dia menolak ya tangkap saja.‖

―Jabatan di kraton?‖ tukas Danuredjo agak curiga.

Smissaert terkekeh, ―Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas seperti

itu…‖

Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. ―Ya, Tuan Residen. Saya

tahu itu. Tapi menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan

pasukan, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kita duga.‖

―Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke sini. Di mana

dia sekarang? Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi…‖ []

Page 73: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 72

BAB 10

usantara adalah tempat di mana Allah menitipkan sebagian

kekayaan surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur.

Kekayaan alamnya berlimpah-ruah. Udaranya bersih dan

iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga paling strategis di antara

tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi apa pun. Inilah yang

menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang menjadi

rebutan kaum imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir

Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, dan sekarang Belanda.

Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah yang

sangat istimewa ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya

bertambah makmur dan sejahtera, malah bertambah miskin dan melarat.

Belanda mengatakan jika hal itu disebabkan kemalasan dari orang-orang

pribumi. Namun bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali tidak

berdasar. Sebagai orang yang tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika

sejak sinar matahari menyingsing, sudah banyak orang-orang pribumi

yang pergi ke sawah dengan cangkulnya, dan ada pula yang pergi ke pasar

untuk menjual hasil bumi, atau menjual jasa sebagai tenaga angkut. Dan

mereka baru berhenti atau pulang ketika matahari sudah jauh condong ke

barat.

Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras, namun jika

bangsa yang seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti

ada sesuatu yang salah dengan sistem kekuasaan yang ada.

Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan

bangsanya dari kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari

Nusantara dan menginsyafkan orang-orang pribumi yang sudah menjadi

pelayan setianya. Thagut harus ditumbangkan dan dihancurkan, diganti

dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang berkeadilan. Bukannya

dengan mendekati thagut. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan

berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan benar, dan sama sekali tidak

bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut atau kemungkaran.

―Kanjeng Pangeran…,‖ tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di

sampingnya. Lelaki kekar dengan jambang dan janggut yang lebat ini-

sehingga sangat mirip dengan seorang Warok Ponorogo-sekarang

wajahnya terlihat lebih bersih dan rapi. Pangeran Diponegoro yang tengah

N

Page 74: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 73

berdiri melihat sawah yang membentang di hadapannya dengan latar

belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping. Ketika mengetahui siapa

yang datang, Pangeran tersenyum.

―Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..‖

―Wa‘alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran…‖

―Ada apa, Kisanak?‖

Ki Singalodra menundukkan kepalanya.

―Kanjeng Pangeran… Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian

dari barisan ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika

Kanjeng Pangeran nantinya tidak berkenan…‖

―Katakan saja, Ki…‖

―Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya

menjaga Kanjeng Pangeran setiap waktu…‖

Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki

Singalodra. ―Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta‘ala,

Kisanak…‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya

menjadi perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta‘ala untuk menjaga

diri Kanjeng Pangeran…‖

―Terima kasih, Ki Singalodra… Apa yang menyebabkan Kisanak hendak

menjadi pengawal utamaku…‖

Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke

sawah dan Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi

alis yang tebal terlihat basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu

berkata lirih, ―Aku ingin cepat-cepat menggapai syahid fi sabilillah. Aku

ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri dan anakku di surga.

Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada keluarganya

kelak?‖

Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru

mendengar pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki

Page 75: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 74

Singalodra yang masih terisak. Orang itu agaknya benar-benar

memendam rindu yang teramat sangat kepada isteri dan anak satu-

satunya.

―Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang

sudah hidup bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di

mana Kisanak bisa berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu

hadits Nabi shalallahu wa‘allaihi wasalam yang diriwayatkan dengan baik

oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada hari kiamat, anak-anak kecil

akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ‗Masuklah ke surga.‘ Maka

mereka mengatakan,‘(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami

masuk (juga) ke surga.‘ Lalu dikatakan kepada mereka,‘Masuklah kalian

dan bapak-bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu

Kisanak di pintu gerbang surga. Janganlah cemas…‖

Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur‘an berkenaan dengan syahid

fisabilillah. Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, ―Janganlah kalian

berkata bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya

mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.‖ Lalu juga surat Ali

Imron ayat 169.

―Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia

akan dapat memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota

keluarganya. Itu janji Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam

Ahmad dan Abu Dawud.‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid

itu. Izinkan saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-

teman, pintu-pintu surga sebentar lagi akan membentang di depan mata.

Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak. Perjalanan Kanjeng Pangeran masih

panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan negeri ini dahulu dari

tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid. Sebab

itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran

bisa menunaikan tugas dengan paripurna…‖

Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah.

Hidayah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa

mengubah seorang jagoan yang tangannya berlumuran darah seperti Ki

Singalodra menjadi Singa Allah yang telah bertekad untuk menghibahkan

Page 76: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 75

jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu perniagaan yang tidak

akan pernah merugi hingga akhir dunia.

―Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku

melawan kafir Belanda?‖

Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, ―Mereka telah

membunuh anak dan isteriku, Kanjeng Pangeran…‖

Diponegoro menganggukkan kepalanya, ―Ya, soal itu saya sudah

mendengarnya. Itu saja?‖

―Ya, Kanjeng Pangeran…‖

―Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda,

makaKisanak masih akan membela orang-orang kafir itu?‖ selidik

Diponegoro dengan senyum tulus yang mengembang di sudut bibirnya.

Ki Singalodra menundukkan kepalanya. ―Maafkan saya, Kanjeng

Pangeran… Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.‖

Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. ―Tidak mengapa Kisanak.

Apa yang dilakukan Kisanakdengan membela kafir Belanda juga

dilakukan oleh banyak saudara-saudara kita. Itu disebabkan

ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika

bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada banyak saudara-

saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah memilih

untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka

tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin

kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan

masuk ke dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama

rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum

kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai mereka,

namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai

oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir

itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk

menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia

sebagai tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka,

bukan lagi panji syahadah… Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk

menipu umat dan memperkaya diri…‖

Page 77: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 76

―Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang

dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup

bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi

memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan

menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara agar

mereka bisa bertambah kaya dan kaya…‖

Diponegoro kembali tersenyum, ―Benar, Kisanak. Sebab itu, apa

yang Kisanak jalani di masa lalu insya Allah akan diampuni

Allah subhana wa ta‟ala, karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini

sungguh berbeda dengan para ustadz dan ulama yang sekarang sudah

duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang Allah katakan

sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan

dunia….‖

Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia

sungguh-sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama

yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra,

―Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari

pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang

baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan

Allah. Satu-satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah

menegakkan panji tauhid demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan

campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang lainnya. Sebab semua itu

akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad. Mengerti Kisanak?‖

―Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran…‖

―Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?‖

Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap

wajah Pangeran Diponegoro. ―Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya

ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja…‖

Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan

kepalanya. ―Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di

sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan

malam. Bismillah, Kisanak….‖

Page 78: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 77

Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh

di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil

menangis sesenggukan bagai anak kecil.

―Semoga Allah subhana wa ta‟ala selalu menyatukan hati kita di jalan

lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali

di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin…‖

―Amien Ya Rabb al‟amien….―

Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia

teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika

buyutnya adalah orang-orang hebat. ―Kakek buyutmu itu, Singalodra,

bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai

enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih

berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa

menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu

betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau kelak juga

menjadi orang besar. Yakinlah itu!‖

Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk

mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah

tanggungjawab besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []

Page 79: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 78

BAB 11

ari belum begitu siang ketika Pangeran Mangkubumi tiba di

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi

turun dari kudanya, seorang prajurit jaga dengan tergesa

menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan Residen

Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.

―Ada apa mereka menungguku, Suryo?‖

―Maaf Pangeran, saya kurang tahu…‖

Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju

ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan

tembakau yang begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan,

Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di

dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah menunggunya.

―Darimana saja engkau Pangeran?‖ sapa Smissaert yang duduk di

belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke

atas meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk

bisa mengendalikan diri.

―Menengok sawah,‖ jawab Mangkubumi singkat. ―Ada apa Tuan Residen

memanggilku?‖

Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di

sampingnya.

―Duduk dulu Pangeran…‖

―Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.‖

―Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya…‖

―Tugas? Secepatnya?‖

―Ya.‖

―Apa itu?‖

H

Page 80: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 79

―Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus

mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak

mengganggu ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku

menunggunya di sini…‖

―Ada surat undangannya?‖ tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua

tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan.

Baginya, bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.

Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada

Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan

disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat

yang diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan

ukiran serong di sudut ruangan.

―Ini suratnya Tuan Residen…,‖ ujar Danuredjo sembari badannya

membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.

―Berikan saja langsung ke dia…,‖ ujar Smissaert dengan acuh.

Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu

kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu

merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat

itu langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri

kembali duduk di samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di

balik ketiak induknya.

―Saya berangkat,‖ ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan

keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.

Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke

arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan

Desa Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di

musim hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak

lubang. Namun bulan Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi

bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.

Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana

orang yang lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun

Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan melompati portal

penghalang yang ada sehingga dia sama sekali tidak membayar pajak.

Page 81: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 80

Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi

jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar

bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku

untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede…

Page 82: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 81

BAB 12

katan tali kekang kuda yang dikendarai Pangeran Mangkubumi agak

mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya

dan berhenti terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia26

yang berdaun lebat dengan bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-

sini. Tak sampai semenit dia sudah mengencangkan ikatan itu. Dengan

sekali gebrak, kudanya pun kembali melesat.

Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi

melambatkan lari kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah

dan kebun terlihat begitu indah. Tapi bukan itu yang membuat dia

menurunkan kecepatan kudanya. Di berbagai mulut gang dan jalan desa,

para lelaki dewasa, bahkan banyak yang masih remaja belasan tahun,

tampak berkerumun lengkap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang

membawa golok, keris, pisau panjang, clurit, tombak atau bambu yang

yang diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain sebagainya.

―Ada apa ini?‖ tanya Mangkubumi di dalam hati.

Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda, semuanya

membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa

mereka dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.

―Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan senjata?‖

tanyanya sambil tetap berada di atas pelana kuda.

Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya menjawab,

―Beribu ampun Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran

Diponegoro. Kami dengar Belanda akan menangkap beliau…‖

Pangeran Mangkubumi tersenyum, ―Siapa yang mengabarkan berita itu

kepada kalian?‖

―Demang27, Kanjeng Pangeran…‖

26

Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.

27 Semacam kepala desa.

I

Page 83: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 82

Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, ―Ya, Demang

kalian benar…‖

Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya,

―Saudara-saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki

Belanda dan Patih Danuredjo tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang

memang tengah bersiap jika nanti terjadi hal-hal yang buruk. Pesan saya,

tetaplah bersiaga. Sampai ada perintah selanjutnya…‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap…,‖ sahut mereka serempak sembari

mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi

menganggukkan kepalanya kembali.

―Allah bersama kita! Allahu Akbar!‖ teriaknya.

―Allahu Akbar! Allahu Akbar!!‖ teriak orang-orang di bawahnya dengan

bergemuruh.

―Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu

perkembangan selanjutnya!‖

Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang

sudah terlihat di kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin

banyak rakyat yang berkumpul di pinggir jalan dan juga di bukit-bukit

lengkap dengan senjatanya. Bahkan beberapa di antaranya sudah

menunggang kuda. Perasaan haru meliputi Mangkubumi. Rakyat Yogya

memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran Diponegoro dengan

perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi seorang

pangeran, namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan

ini menjadikan semangat di dalam dada seorang Mangkubumi untuk

berjuang di sisi keponakannya semakin besar.

―Aku akan berdiri di sisinya!‖ bathin Mangkubumi mantap. []

Page 84: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 83

BAB 13

angit siang begitu cerah. Angkasa terlihat biru. Di beberapa bagian

ke arah utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai

gelombang prajurit berjubah putih yang berbaris menyongsong ke

medan laga. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan raut wajah

Patih Danuredjo siang itu. Usai Pangeran Mangkubumi pergi ke

Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk membawa Pangeran

Diponegoro ke kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi dirinya.

Padahal dia sudah dengan segenap tenaga melayaninya.

Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada

kepastiannya. Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari

sejumlah telik sandi Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro

diperoleh informasi, jika beberapa hari lalu Diponegoro telah memberikan

sejumlah uang yang tidak diketahui asal sumber dananya, kepada dua

orang kepercayaannya untuk dibelikan sejumlah senjata api.

Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap remeh.

Diponegoro memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah

Yogyakarta, tapi juga meluas jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para

pendukungnya terutama dari kalangan ulama dan pondok pesantren.

Belum lagi pasukan perempuannya yang dilatih sendiri oleh Ratu Ageng.

Kebanyakan dari laskar perempuannya adalah para desertir dari Bregada

Langen Kesuma, yang sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga

penggunaan senjata. Semua itu ditambah dengan pasukan telik sandinya

yang cukup hebat dan dapat dukungan dari akar rumput, yakni rakyat

Yogyakarta dan sekitarnya.

Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan lokal

yang diharapkan bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua

kegeraman itu ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya

hanya bisa menjilat namun tidak berusaha maksimal.

―Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi sultan

yang sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa

dengan mudah menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe

punya banyak rumah, tanah, hewan ternak, dan lainnya. Perempuan

mana saja yang kowe mau pasti dapat, dari yang masih gadis sampai

janda kembang, dari yang masih bau kencur sampai yang sudah seperti

L

Page 85: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 84

mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja setengah-setengah

membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!‖

Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih

Danuredjo memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu

bersabar sedikit. ―Sabar, Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya.

Mereka pasti datang. Tunggulah sampai sore, pasti ada berita baik buat

kita…‖

―Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja, kalau

sampai sore tidak ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa

hidup dengan enak lagi…‖

―Aduuuh… Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan ada

beritanya. Mereka pasti datang…‖

―Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa selamat!‖

―Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.‖

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya

dan berjalan keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih

mengantuk setelah semalaman hingga dini hari berpesta pora. Patih

Danuredjo sendiri keluar dari ruangan kerjanya dan memerintahkan agar

prajurit jaga memanggil Ki Sentono, salah seorang kepercayaannya.

―Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!‖ ujar Danuredjo.

Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu, segera

berlari. Danuredjo kembali ke ruangannya dan mencoba untuk

menenangkan diri. Hatinya benar-benar panas mendapat omelan dari

Smissaert. Dia mengutuk Belanda itu. Namun hanya itu yang bisa

dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya tergantung pada orang itu. Segala

kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh berkat pengabdiannya

kepada Belanda.

Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak

kerasan. Dia lalu berdiri dan membuka pintu samping yang langsung

menuju kamar tidurnya. Dengan perlahan tangannya memegang gagang

kunci dan mendorong pintu itu kedalam. Dari pintu yang terbuka,

Danuredjo bisa mengintip seorang perempuan muda masih berkemul di

Page 86: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 85

atas pembaringan. Kedua matanya masih tertutup. Pundaknya yang putih

mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu membuat darah

Danuredjo naik sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar

kembali. Dengan cepat dan hati-hati dia segera mengunci pintu kamar.

Lalu bagai seekor serigala kelaparan, dia langsung melompat ke tempat

tidur. Perempuan itu terbangun. Dia malah tersenyum ketika melihat

Danuredjo yang datang.

RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar

tidurnya. Wakil Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari

pintu kamar tidur residen tersebut.

―Tuan memanggilku?‖ tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri peraih

medali kehormatan Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo28 ini

memberikan military salute29 dengan sikap tubuh tegak sempurna.

Residen Smissaert hanya menganggukkan kepalanya.

―Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek juga

bantuan dari Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung

Kolonel Von Jett yang ada di sana. Kita akan segera menangkap

Diponegoro. Pemberontak itu sekarang sudah punya pasukan bersenjata,

kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan…‖

Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua

perkembangan terkini dari Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun

wajahnya tetap menunjukkan sikap profesionalnya sebagai Wakil Residen.

―Siap, laksanakan!‖

28

Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun…… antara pasukan

Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan

29 Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan tangan kanan

diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti ini.

Page 87: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 86

BAB 14

angkubumi sungguh-sungguh tidak enak hati menyampaikan

surat dari Residen Smissaert kepada Pangeran Diponegoro.

Untunglah, keponakannya itu sangat bijaksana sehingga tidak

timbul syak wasangka di antara mereka.

―Paman, katakan kepada kafir Belanda itu jika saya sama sekali tidak

tertarik dengan semua yang ditawarkannya. Tidak ada jabatan dan

kedudukan yang lebih tinggi dan yang lebih aku inginkan terkecuali

menjadi hamba yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Saya hanya

menginginkan itu. Saya juga ingin kafir Belanda itu segera angkat kaki

dari bumi Jawa ini, dari Nusantara ini, dan biarkanlah negeri yang indah

dan kaya ini kembali menjadi milik pewarisnya yang sah, yaitu kita

semua. Kita sama sekali tidak memerlukan kehadiran mereka sebagai

penguasa di sini…‖

―Mereka tidak akan sudi melakukan itu semua…‖

―Tidak mengapa, paman. Jika mereka tetap bersikeras untuk meneruskan

penjajahan ini dan ingin terus menindas rakyat seperti sekarang ini, juga

memerangi agama kita, maka tiada jalan lain kecuali kita harus mengusir

mereka dengan pedang. Allah telah menyatakan itu di dalam kitab suci Al-

Quran. Sebab itu, sejak jauh hari kita memang telah bersiap untuk

menghadapi segala kemungkinan. Kita sangat cinta damai, tapi jika

musuh ingin berperang maka seribu pertempuran akan kita gelar!‖

Kemudian Diponegoro mengutip salah satu ayat al-Quran, surat Al-Anfal

ayat 60 yang berbunyi, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka

kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat

untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh

Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak

mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu

nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu

dan kamu tidak akan dianiaya.”

Mendengar jawaban yang sangat tegas itu, Pangeran Mangkubumi seperti

tersihir oleh pesona seorang Diponegoro yang begitu agung.

M

Page 88: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 87

Seharusnya memang dia yang menjadi sultan di tanah ini!

―Jadi apa keputusanmu, Pangeran?‖

―Maaf, paman. Katakan kepada kafir Belanda itu bahwa aku sama sekali

tidak tertarik dengan semua tawarannya. Dan untuk undangannya

menghadap residen kafir itu, ucapkan terima kasih karena telah

mengundangku, namun aku tidak akan datang kepada dia sampai kapan

pun. Itu saja.‖

Mangkubumi sudah menduga jika keponakannya akan bersikap demikian.

Dan itu sangat dihargai olehnya. Dia segera pamit untuk menyampaikan

jawaban itu kepada Residen Smissaert.

―Pergilah paman. Semoga Allah subhana wa ta‟ala melindungi dan

mempermudah semua urusan Paman…‖

―Terima kasih, Pangeran….‖

Usai mengucap salam, Mangkubumi pun pergi kembali ke kraton saat itu

juga. Debu-debu mengepul dari kaki kudanya yang terbang bagaikan

angin. []

Page 89: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 88

BAB 15

barat peluru yang tidak bisa dihentikan jika sudah dimuntahkan dari

laras senapan, demikian pula dengan kehidupan seseorang di masa

sekarang yang sesungguhnya merupakan konsekuensi dari

keputusan orang itu di dalam menjalani hidup pada mulanya. Hidup,

sebagaimana halnya dengan sang waktu, terus berjalan ke depan,

mustahil untuk bisa dimundurkan walau barang sekejap.

Berkali-kali sanubari seorang Patih Danuredjo merasakan hal itu dan

sedikit banyak menyesalinya. Namun berkali-kali pula, Danuredjo

menyangkal suara hatinya sendiri dengan mengatakan jika sesuatu itu

sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia hanya menjalani takdir yang

sudah digariskan. Danuredjo selalu merasa gelisah. Namun semua itu

dengan kuat berusaha ditutupinya dengan senyum dan sikapnya yang

sulit ditebak.

Siang itu, usai kesekian kalinya melepaskan hasrat pada perempuan

muda yang seakan tiada pernah terpuaskan, Patih Danuredjo tampak

termangu sendirian duduk di belakang meja kerjanya. Tidak tampak

Residen Smissaert yang sepertinya bersungguh-sungguh meneruskan

istirahatnya. Dan Danuredjo bersyukur atas hal itu.

Sudah hampir satu jam lamanya dia duduk di atas kursi di ruangan

utama kepatihan, namun Ki Sentono belum juga menampakkan batang

hidungnya. Kemarin pagi, Danuredjo memang memerintahkan salah satu

orang kepercayaannya itu untuk meminta konfirmasi dari pihak

Mangkunegaran soal kesiapannya membantu pihak Belanda dan Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat, jika terjadi sesuatu yang buruk terkait dengan

pembangkangan Pangeran Diponegoro. Namun sampai sekarang orang itu

belum muncul-muncul juga untuk memberikan laporannya.

Tahun lalu ketika berkunjung ke Kraton Mangkunegaran, Danuredjo

mendapat janji bahwa Legiun Mangkunegaran akan membantu

pemerintah Belanda dan juga kraton jika diperangi musuh atau pun

pemberontak. Danuredjo tadinya merasa aman posisinya dengan

dibentuknya Dewan Perwalian dimana Diponegoro mau bergabung.

Namun ketika tahun 1822 Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari

I

Page 90: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 89

Dewan Perwalian dan memilih berjuang di luar struktur pemerintahan

sama sekali, dengan membawa serta Mangkubumi, maka Patih Danuredjo

baru merasa cemas. Ini berarti pemerintah tidak bisa lagi mengendalikan

sepak terjang Diponegoro. Sosok yang satu ini telah semakin sukar untuk

diawasi. Apalagi di kemudian hari, banyak ulama, pangeran, kepala

daerah, dan sejumlah jagoan atau jawara bergabung dengannya. Mereka

sama-sama ingin mengusir Belanda dari Tanah Jawa dan itu berarti

‗celaka tiga belas‘ bagi Patih Danuredjo.

Ketukan pintu tiga kali terdengar cukup keras membuyarkan lamunan

Danuredjo.

―Ya, masuk!‖

Seorang prajurit jaga membuka pintu, ―Maaf Kanjeng Patih Dalem, Ki

Sentono sudah ada di aula depan…‖

―Bawa saja ke sini sekarang juga!‖

―Inggih, Kanjeng Patih… Laksanakan!‖

Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berjalan dengan

cepat di atas lantai kraton. Ketukan kembali terdengar di pintu ruangan.

―Masuk saja!‖

Seorang lelaki tua bertubuh pendek gempal dan berpakaian serba putih,

dengan janggut dan kumis yang juga sudah mulai memutih, masuk ke

dalam ruangan kerja kepatihan dan membungkukkan badannya

menghormat Patih Danuredjo.

“Assalamu‟alaikum warahmatullah wabarakatuh, Kanjeng Patih Dalem…”

Danuredjo berdiri dan menyambut orangtua itu, ―Wa‟alaikumusalam Ki

Sentono. Mari duduk di sini dan bagaimana kabar dari teman-teman?‖

Ki Sentono duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Danuredjo.

Dengan senyum mengembang, lelaki tua yang jidatnya menghitam seperti

bekas sujud itu mulai melaporkan hasil kerjanya.

―Maafkan saya jika terlambat melapor kepada Tuan. Saya berhasil

mendapatkan konfirmasi dari Kraton Mangkunegaran jika Legiun mereka-

Page 91: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 90

termasuk pasukan khusus Jayeng Sekar jika diperlukan-sudah sangat

siap untuk bergerak merapat ke kita. Demikian juga dengan Panembahan

Sumenep Madura, Sultan Madura, Mayor Raja Sulaiman dari Buton,

Laskar Suku Alifuru-Tidore, dan Laskar Ternate. Beberapa pangeran,

kepala desa, dan yang lainnya juga sudah siap untuk membantu

pemerintah. Termasuk sejumlah korps pasukan yang berada langsung di

bawah para Bupati.‖

―Apakah semuanya pasti akan membantu kita, Ki Sentono? Kisanak bisa

menjamin hal itu?‖

―Diri saya menjadi jaminannya, Tuan Patih. Bahkan Kanjeng

Mangkunegara II sudah menyatakan siap dipanggil kapan pun ke

Yogyakarta jika diperlukan. Dari yang lainnya, pasukan dari

Mangkunegaran memang yang terdekat dengan kita. Mereka akan tiba di

Yogya dalam waktu yang tidak lama…‖

―Ya. Kisanak benar…‖

Danuredjo menghembuskan nafasnya lega. Dia tahu jika saat ini Belanda

sedang dalam keadaan lemah secara militer. Sebagian pasukan regulernya

masih dalam penugasan ekspedisi militer ke Celebes30 dan Borneo. Satu-

satunya harapan hanyalah bantuan dari pasukan reguler Belanda yang

ada di Surakarta dan Semarang yang berada di bawah pimpinan Kolonel

Von Jett. Perwira ini adalah komandan kesatuan militer terbesar kedua di

Jawa yang bermarkas di Semarang. Namun itu pun jumlahnya masih

dianggap kurang oleh Danuredjo. Sebab itu, ketika mendengar jaminan

dari Ki Sentono, Patih Danuredjo sangat bersuka cita. Wajahnya yang

tadinya tegang kini sudah bisa tersenyum kembali.

―Ki Sentono, entah apa yang harus saya ucapkan kepadamu. Apa yang

sudah Kisanak kerjakan akan sangat berarti bagi kita semua, bagi

pemerintahan yang kita sama-sama berada di belakangnya. Aku berjanji,

Kisanak akan mendapatkan hadiah dari pemerintah. Dan kapan mereka

semua akan bergerak?‖

―Semuanya tinggal menunggu perintah Tuan Patih saja.‖

30 Celebes adalah nama lain dari Sulawesi.

Page 92: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 91

Danuredjo mengangguk-anggukan kepalanya. Residen Smissaert harus

segera diberitahu hal ini. Tetapi dia agak jengkel juga terhadap Residen

pengganti Baron de Salis ini yang menurutnya tidak bisa bekerja dengan

cepat. Danuredjo menggerutu. Namun bagaimana pun, Smissaert

sekarang adalah orang yang harus dilayaninya dan dia harus bekerja

dengan sebaik-baiknya agar posisinya sungguh-sungguh aman.

―Ki Sentono,‖ ujar Danuredjo. ―…Kisanak sekarang saya perintahkan

untuk ke Tegalredjo. Membaurlah di sana dan laporkan dengan cepat

perkembangan yang terjadi di sana. Beberapa teman kita yang juga sudah

berada di Tegalredjo akan membantu Kisanak.‖

―Apakah kodenya berubah, Tuan Patih?‖

Danuredjo kembali tersenyum. Dia kemudian melihat ke kanan dan kiri

ruangan. Sepi. Dengan pelan Danuredjo menangkupkan kedua tangannya

ke telinga Ki Sentono dan berbisik, ―Parangkusumo dan Progo.‖

―Tanda?‖

―Tali putih dan hijau pada ujung gagang senjata…‖

Ki Sentono mengangguk. Ini berarti setiap pasukan telik sandi dari

Danuredjo akan mengikat ujung gagang senjatanya, apakah itu keris,

pedang, kelewang, atau pun yang lain, dengan tali putih dan hijau. Dan

untuk konfirmasi, dia harus mengucapkan ―Parangkusumo‖ dan orang

yang dimaksud harus menjawab, ―Progo‖.

―Sekarang pergilah Ki Sentono. Selamat bertugas.‖

Ki Sentono membungkukkan badannya dan mengucap salam kembali.

Setelah itu dia keluar dari ruangan. Danuredjo kembali sendirian di dalam

ruangannya. []

Page 93: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 92

BAB 16

khirnya residen smissaert keluar juga dari kamar tidurnya. Dengan

kedua mata yang masih sembab dan seluruh wajahnya kemerah-

merahan bagai udang rebus, pejabat Belanda itu membanting

pantatnya di atas kursi kerja Danuredjo. Dan seperti biasan, kedua

kakinya diangkat ke atas meja.

―Bagaimana kabar Mangkubumi? Apakah dia sudah balik dari

Tegalredjo?‖

Danuredjo menggelengkan kepalanya, ―Belum Tuan Residen… Tapi saya

mendapat kabar bahwa dia sedang menuju ke sini dengan membawa

jawaban dari Diponegoro.‖

―Well, kita tunggu saja di sini.‖

Belum kering bibir Smissaert berbicara, pintu ruangan terbuka. Sosok

Mangkubumi sudah berada diambang pintu. Dengan langkah tegap dia

masuk ke dalam ruangan. Tanpa memberi salam dia langsung

memberikan jawaban Diponegoro yang disampaikan secara lisan.

―Pertama-tama Pangeran Diponegoro mengucapkan terima kasih atas

undangan Tuan Residen. Tapi dia menolak memenuhinya. Pangeran

Diponegoro juga menolak semua tawaran yang Tuan ajukan. Dia hanya

ingin supaya Patih Danuredjo dipecat dan Belanda angkat kaki dari Tanah

Jawa. Baginya, tiada tawaran atau jabatan yang paling utama kecuali

mengharapkan kecintaan dan keridhaan Allah Yang Maha Kuasa. Dia

ingin supaya Tuan Residen menginsyafi kesalahannya dengan membuat

jalan di atas tanah makam leluhur tanpa izin. Itu saja.‖

Wajah Smissaert merah padam. Dengan penuh amarah dia berteriak,

―Diponegoro tidak usah menceramahiku soal tuhannya! Dia benar-benar

tidak tahu diuntung! Dia ingin perang, maka kita akan beri dia perang

yang besar!‖

Danuredjo hanya berdiam diri. Dia menatap lantai ruangan kerjanya

sendiri yang sepertinya semakin lama entah mengapa semakin

membuatnya gerah. Namun beda dengan Mangkubumi. Lelaki ini tidak

A

Page 94: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 93

terpengaruh dengan kemarahan Smissaert yang bagaikan letusan Gunung

Merapi. Dia tetap berdiri dengan tenang dan menatap langsung ke arah

residen itu.

―Apalagi yang dikatakan pemberontak itu padamu?‖

―Tidak ada lagi,‖ ujar Mangkubumi. ―…Hanya saja, menurut hematku,

pembangunan jalan raya dengan menerabas tanah makam leluhur dan

sebagian kebun milik Diponegoro tanpa izin memang tidak bisa

dibenarkan. Aku pun secara pribadi keberatan karena itu adalah tanah

makam leluhurku juga…‖

―Aku tidak minta pendapatmu. Kowe hanya perlu menjawab

pertanyaanku. Itu saja,‖ ujar Smissaert ketus. Mukanya yang bulat masih

merah padam.

―Bagaimana Patih? Apakah kowe punya rencana lagi?‖ tanya residen itu

pada Danuredjo.

―Kita beri peringatan terakhir saja kepada Diponegoro. Jika peringatan

terakhir ini, berikut batas waktunya, dia masih juga membangkang, maka

itu berarti dia memang menginginkan perang.‖

Smissaert agaknya kurang berkenan dengan usulan Danuredjo kali ini.

Dia sempat berdiam agak lama. Setelah menimbang-nimbang sejenak,

Smissaert akhirnya tidak punya pilihan. Pihaknya bagaimana pun juga

harus mengulur waktu karena pasukan yang tersedia belum kuat,

sedangkan pasukan bantuan belum datang. Sambil menunggu datangnya

pasukan bantuan, maka ada baiknya dia mengirim peringatan terakhir

kepada Diponegoro. Dan Mangkubumi sekarang juga harus kembali ke

Tegalredjo.

―Mangkubumi! Kowe sekarang juga kembali lagi ke Tegalredjo. Temui

Diponegoro dan katakan padanya jika nanti tengah malam dia masih

bersikap seperti ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kami akan

menangkapnya, dengan segala cara! Kami sudah benar-benar habis

kesabaran! Cepat jalan! Dan jika dia tidak mau juga kesini, kowe yang

harus jadi gantinya. Kowe akan kita tahan disini!‖

Kedua geraham Mangkubumi bergemeretak menahan marah. Tapi dia

tahu, tidak ada gunanya menghadapi orang-orang seperti Smissaert dan

Page 95: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 94

Danuredjo. Keduanya adalah sampah, dan dia benar-benar jijik untuk

berlama-lama dengan keduanya di dalam satu ruangan. Sebab itu dia

segera berangkat kembali ke Tegalredjo bersama kudanya. Tekadnya

sudah bulat, dia akan bergabung secara terang-terangan dengan

pasukannya Diponegoro. Sebelum memacu kudanya, diam-diam dia

segera memanggil Suryo Widhuro, seorang prajurit jaga kraton yang

bersimpati kepada perjuangan Pangeran Diponegoro. Di bawah pohon

beringin yang lebat, sambil berbisik Pangeran Mangkubumi memberikan

pesan kepada Suryo.

―Kisanak, inilah terakhir kali aku menginjak kraton sebagai seorang

sahabat. Sore ini aku akan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di

Tegalredjo dan tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini sebagai

kawan. Kisanak dan prajurit yang lain, para sahabat kita, tetaplah disini.

Bertugaslah seperti biasa. Sewaktu-waktu kami akan memerlukan

keberadaan Kisanak dan lainnya yang ada di sini…‖

Wajah Suryo Widhuro terlihat tegang. Dia berkali-kali membungkukkan

badannya kepada Pangeran Mangkubumi. Namun Mangkubumi bukanlah

seorang bangsawan yang gila hormat. Dengan tangan kanannya dia

memegang pundah prajurit itu dan menganggukkan kepala sambil

tersenyum.

―Suryo, Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pamit…‖

―Wa‟alaikumusalam, Kanjeng Pangeran… Saya akan setia dan siap selalu!‖

Mangkubumi segera menggebrak kudanya. Dalam sekejap, kuda hitam

coklat itu meringkik dan kemudian berlari kencang meninggalkan kraton.

Sikap Mangkubumi sudah bulat. Sore ini dia akan bergabung dengan

barisan Diponegoro. Namun walau bagaimana pun, kedua matanya

berkaca-kaca. Hatinya haru harus meninggalkan kraton untuk selama-

lamanya dengan cara seperti ini.

Perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu mensyaratkan

pengorbanan. Sebab itu, jalan ini adalah jalan sepi. Jalan yang hanya

kuat dilalui oleh orang-orang yang memiliki kemauan baja dan prinsip

hidup yang tak tergoyahkan

Page 96: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 95

BAB 17

angkubumi baru saja pergi meninggalkan kraton untuk kembali

ke Tegalredjo. Residen Smissaert segera memerintahkan Patih

Danuredjo agar menghubungi setiap pasukan lokal yang ada yang

telah menyatakan siap untuk bergabung memperkuat pemerintah.

―Panggil seluruh pasukan bantuan yang sudah siap bergabung dengan

kita secepatnya. Terlebih-lebih Legiun Mangkunegaran. Mereka akan tiba

terlebih dahulu, bersama dengan pasukan reguler dari Surakarta. Ke sini

itu Cuma mereka hanya perlu tiga jam dari Surakarta. Setelah itu baru

yang dari Semarang dan lainnya akan datang ke sini.‖

―Betul, Tuan. Saya akan segera kontak agar Legiun Mangkunegaran segera

mengirimkan pasukannya ke sini.‖

―Diponegoro pasti akan tetap tidak mau kesini… Orang koeppeg31 itu

memang harus ditangkap secepatnya.‖

―Betul, saya setuju, Tuan. Termasuk orang-orang yang dekat

dengannya…‖

―Apakah Mangkubumi bisa dipercaya, Patih?‖

Danuredjo menggelengkan kepala, ―Diponegoro hormat padanya, dan dia

pun sangat menghormati Diponegoro. Keduanya terikat satu tali keluarga.

Saya yakin, Tuan Residen, jika Mangkubumi itu diam-diam juga

bersimpati padanya. Demikian pula dengan sejumlah pangeran yang lain,

seperti Joyokusumah itu…‖

―Jika demikian, kalau dia pulang nanti, kita tangkap saja, atau jangan

izinkan dia untuk keluar kraton lagi…‖

―Ya, ya, sangat bagus itu, Tuan.‖

31

Bahasa Belanda: Keras Kepala.

M

Page 97: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 96

―Jika tidak ada aral melintang, satu jam lagi Mangkubumi akan tiba

kembali di sini. Kita akan dengar apa maunya Diponegoro itu. Apakah dia

memang berani melawan kita atau menyerah…‖

―Saya tidak yakin kalau dia mau menyerah, Tuan. Tapi kita lihat saja

nanti…‖

Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang.

―Ya, masuk,‖ ujar Danuredjo.

Seorang anak buah Ki Sentono masuk. Setelah memberi salam dan

penghormatan, dia memberikan informasi jika Ki Sentono telah memanggil

pasukan Mangkunegaran agar secepatnya ke Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat.

―Mereka sudah dalam perjalanan ke sini, terdiri dari 10 orang kavaleri

Eropa, 100 infanteri, dan limapuluh dragonder32. Selain itu, pasukan

reguler dari Surakarta, Magelang, dan Semarang juga sedang bersiap

untuk berangkat ke Yogya…‖

Danuredjo terdiam. Sepertinya dia baru saja berbicara hal itu pada

Smissaert di ruangan ini dan belum didengar siapa pun. Namun mengapa

Ki Sentono sudah mengetahui hal ini dan bergerak cepat? Danuredjo

sungguh-sungguh heran sekaligus takjub.

Darimana Ki Sentono bisa mengetahui apa yang diinginkannya?

―Bagus, bagus. Tolong sampaikan pesanku untuk Residen Magelang

bahwa kita juga memerlukan dana yang besar untuk menghadapi

Diponegoro…‖

Senyum Danuredjo bertambah lebar mendengar Smissaert meminta

dukungan dana. Kepalanya mengangguk-angguk. Ya, semuanya memang

butuh dana… Aku juga sangat memerlukannya…

―Patih, kowe siapkan pasukanmu di sini agar bersiap menghadapi segala

kemungkinan. Jangan tersenyum-senyum saja seperti itu. Aku muak

melihatmu seperti itu!‖

32

Dragonder adalah istilah untuk kavaleri ringan atau infanteri berkuda.

Page 98: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 97

Senyum Danuredjo mendadak hilang dari wajahnya, berganti dengan

keseriusan yang dibuat-buat bagaikan badut.

―Ya, Tuan Residen. Saya akan siapkan pasukan disini.‖

―Dan untukmu, prajurit. Terima kasih atas laporanmu dan kembalilah ke

posmu.‖

―Satu lagi Tuan-Tuan, patok-patok jalan raya yang ada di Tegalredjo telah

dicabut oleh pengikutnya Diponegoro. Mereka mengganti patok-patok

jalan itu dengan ratusan tombak. Para pekerjanya pun diusir…‖

Smissaert dan Danuredjo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mereka

agaknya memang mau berperang…

―terima kasih, prajurit. Kembalilah ke posmu.‖

―Siap, Tuan Residen. Siap, Kanjeng Patih Dalem. Laksanakan!‖

Prajurit itu pun segera keluar dari ruangan. Smissaert melihat Patih

Danuredjo yang masih saja duduk dengan pandangan mata yang

merendahkan. Dengan penuh kegeraman, orang Belanda itu berteriak

kepada Danuredjo, ―Patih, kowe mau apa lagi di sini? Cepat siapkan

pasukanmu sekarang juga! Panggil senopati-senopati terbaikmu

sekarang!‖

Mendengar Smissaert berteriak seperti itu, Danuredjo segera lompat dari

kursinya.

―Siap! Siap, Tuan Residen. Saya akan segera panggil para senopati untuk

menyiapkan pasukannya!‖ jawabnya sambil berkali-kali membungkukkan

badan ke arah Smissaert yang tengah duduk di belakang meja dengan

kedua kaki dijulurkan tepat ke depan muka Danuredjo. []

Page 99: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 98

BAB 18

slam agama yang cinta damai. Namun jika ada musuh yang

memerangi agama tauhid ini, maka Islam mewajibkan umat-Nya

untuk balas memerangi. Walau demikian, balasan yang dilakukan

harus tetap mengindahkan kaidah-kaidah berperang di dalam Islam, yakni

tidak boleh melakukan pengrusakan yang tidak perlu, baik terhadap alam

dan juga terhadap lingkungan, tidak boleh membunuh perempuan dan

anak-anak yang bukan kombatan33, tidak boleh membunuh dengan sadis,

dan lain sebagainya. Berkali-kali hal itu ditekankan Pangeran Diponegoro

kepada pasukannya.

Siang menjelang sore, Mangkubumi telah tiba kembali di Puri Tegalredjo.

Kepada Pangeran Diponegoro dan para sesepuh yang lain, Pangeran

Mangkubumi menyampaikan pesan dari Residen Yogya Smissaert. Setelah

itu dia menyatakan diri bergabung sepenuhnya dengan barisan

Diponegoro dan tidak ingin kembali lagi ke kraton.

Dengan penuh haru Diponegoro memeluk pamannya ini. ―Pamanda,

syukur alhamdulillah paman mau bergabung dengan kami. Mudah-

mudahan Allah subhana wa ta‟ala memberikan kekuatan dan ketabahan

pada paman di dalam perjuangan ini. Ahlan wa sahlan, Paman…‖

―Amien ya Rabb. Terima kasih, Pangeran. Semoga perjuangan kita

menghadapi kafir Belanda dan antek-anteknya bisa dimudahkan

Allah subhana wa ta‟ala. Semoga kafir Belanda dapat segera terusir dari

Tanah Jawa ini…‖

―Amien ra Rabb al „amien…―

Pangeran Diponegoro kemudian mengajak Mangkubumi, Pangeran Bei,

Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya untuk menggelar musyawarah

kecil di dalam masjid. Rombongan jubah putih itu pun beranjak dari

pendopo depan Puri Tegalredjo menuju masjid yang berdekatan letaknya.

33

Kombatan adalah pasukan tempur. ‗Bukan Kombatan‘ artinya adalah

perempuan dan anak-anak yang bukan bagian dari pasukan tempur.

I

Page 100: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 99

Hanya Ki Singalodra yang tetap berpakaian hitam-hitam dengan ikat

kepala yang juga hitam.

Di dalam masjid, Diponegoro membuka musyawarah dengan memaparkan

perkembangan paling baru dari pergerakan musuh.

―Dari lapangan, saya mendapatkan informasi jika Residen Yogya dan Patih

Danuredjo sedang menyiapkan pasukan yang dipusatkan di kraton.

Mereka juga memanggil sejumlah pasukan bantuan, baik dari pasukan

pribumi seperti Legiun Mangkunegaran, suku Alifuru, Tidore, Ternate,

Buton, maupun dari pasukan reguler kafir Belanda dari Semarang,

Magelang, dan Surakarta…‖

Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. ―Huffhhh…. ternyata banyak

pula saudara-saudara seiman kita, orang-orang Islam, yang mau

mempertaruhkan nyawanya demi membela kafir Belanda. Mereka ini

nyata-nyata telah menukar agama Allah dengan dunia, dengan harga yang

amat murah…!‖

―Ya, paman. Saya juga sedih dengan kenyataan ini. Tapi itulah faktanya.

Banyak orang yang mengaku Islam, namun ternyata loyalitasnya bukan

kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan kepada thagut. Mereka

mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan

naik haji berkali-kali, namun semua itu ternyata belum cukup, mereka

belum memahami Islam secara kafaah-syumuliyah, sehingga mereka

sesungguhnya tetap dalam kejahilannya…,‖ jawab Diponegoro.

―Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sejarah umat manusia…‖

―Benar, paman. Musuh kita bukan hanya kaum kafir, kaum musyrik,

tetapi juga orang-orang munafik dan orang-orang jahil. Orang-orang yang

mengaku Islam namun membela thagut, atau hidup dengan melayani

kepentingan thagut, sesungguhnya mereka kaum munafik dan jahil. Kita

harus memerangi mereka juga jika dakwah kita terhadap mereka tidak

mereka perdulikan…‖

Ustadz Taftayani menyela, ―Kanjeng Pangeran, bagaimana dengan

kesiapan pasukan kita? Yang di sekitar sini maupun yang ada di luar

Tegalredjo?‖

Page 101: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 100

Pangeran Diponegoro mengangguk kemudian berkata, ―Insya Allah,

Ustadz. Allah akan selalu bersama kita. Sampai dengan sekarang, sudah

banyak ulama, pangeran, kepala desa, dan beberapa sesepuh masyarakat

yang menyatakan siap menolong agama Allah ini dengan bergabung ke

dalam pasukan kita.‖

―Apakah jumlah pasukan kita sudah setara dengan kekuatan musuh,

Kanjeng Pangeran?‖ tanya Senopati Mardhiko dari Magelang.

Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia kemudian menjawab, ―Satu

orang beriman yang berjihad di jalan Allah, akan bisa menghancurkan

sepuluh prajurit musuh. Sepuluh orang beriman yang berjihad di jalan

Allah, akan mampu menghancurkan seratus musuh. Mengapa kita takut

jika jumlah kita lebih sedikit dibandingkan jumlah pasukan musuh Allah

itu? Lupakah Kisanak dengan ibrah dari Perang Badr?‖

―Astaghfirullah al adziiim...,‖ seru Senopati Mardhiko. ―Maafkan saya

Kanjeng Pangeran…‖

Diponegoro menggelengkan kepalanya, ―Tidak mengapa Senopati. Khilaf

dan lupa adalah sifat kita semua sebagai manusia biasa.

Apakah Kisanak masih ingat ibrah Perang Badar?‖

Mardhiko mengangguk, ―Ya, saya masih ingat.‖

―Coba Kisanak paparkan secara singkat saja.‖

Senopati Mardhiko mulai bercerita, ―Perang Badar adalah peperangan

pertama Rasulullah menghadapi Musyrikin Quraisy. Kala itu jumlah

pasukan Islam hanya tigaratus lebih sedikit, harus berhadapan dengan

pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang jumlahnya jauh lebih banyak,

sekitar seribuan lebih. Pasukan Muslim juga kalah jauh dalam

kelengkapan kuda, onta, dan persenjataan. Namun Allah telah berjanji

sebagaimana di dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi, ―…Jika ada

duapuluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat

mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang

sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir…‖ Dan

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Dalam perang Badr,

pasukan kaum Muslimin dapat menghancurkan pasukan musyrikin

Quraisy yang jumlah dan kelengkapannya lebih banyak…‖

Page 102: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 101

―Nah, sejarah sudah memperlihatkan kepada kita semua,‖ ujar Pangeran

Diponegoro. ―…jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan

menolong kita. Yakinlah, kita pasti menang.‖

Semua yang ada di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran

Diponegoro melanjutkan, ―Kafir Belanda dan antek-anteknya itu tidak

punya kekuatan. Yang Maha Kuat hanyalah Allah subhana wa ta‟ala. Dan

jangan takut, lebih dari setengah pangeran, lebih dari setengah demang,

dan sebagian besar rakyat ada di belakang kita. Dari informasi yang

disampaikan para telik sandi kita yang disebar di mana-mana, mereka

semua sudah mempersenjatai diri dan tinggal menunggu perintah. Dengan

pasukan yang sangat kuat dan bantuan serta ridho Allah, insya Allah, kita

akan meraih kemenangan!‖

―Allahu Akbar!‖ teriak Ki Singalodra. Yang lainnya pun meneriakkan takbir

tersebut hingga memenuhi seluruh bagian masjid tersebut.

―Dan saudara-saudaraku semua, para ulama, para pangeran, para

demang, dan senopati, kita sudah menempatkan pasukan-pasukan kita di

semua pos sekitar Tegalredjo ini. Kita sekarang hanya menunggu mereka,

karena kita tidak ingin dianggap yang memulai perang…‖

Pangeran Diponegoro kemudian membaca kembali ayat suci Al-Qur‘an,

kali ini surat Al-Hajj ayat 39 dan 40,

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena

Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-

benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah

diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali

Karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah

tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,

tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah

ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut

nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong

(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha

Perkasa‟―

―Kalian semua, nanti malam beristirahatlah dengan cukup. Berjagalah

bergantian. Sebab aku punya firasat jika besok akan menjadi hari yang

melelahkan bagi kita semua. Bersiaga dan bersiaplah…‖

Page 103: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 102

―Siap, Kanjeng Pangeran!‖ ujar para senopati.

―Nah, sekarang kembalilah ke pos kalian masing-masing. Jika sesuatu

yang paling buruk menimpa Puri Tegalredjo, maka semuanya sudah tahu

kemana aku dan pasukan akan pergi.‖

Para senopati dan sesepuh yang lain pun meninggalkan masjid. Mereka

kembali ke pasukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyebar

ke seluruh wilayah sekitar Tegalredjo. Satu jam lagi waktu maghrib akan

tiba. Pangeran Diponegoro segera mengambil wudhu untuk kembali

berzikir menjelang saat pergantian siang ke malam di dalam masjid. []

Page 104: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 103

BAB 19

afas Pangeran Diponegoro begitu tenang dan teratur. Bibirnya yang

selalu basah oleh zikir bergerak-gerak kecil. Kedua matanya

dipejamkan. Tangan kanannya begitu khusyuk memilin butiran biji

tasbih yang terbuat dari kayu asam jawa yang begitu langka. Putera

Sultan Hamengku Buwono III ini kuat duduk bersila di dalam masjidnya

semalaman penuh, diseling sholat tahajud yang panjang. Perutnya juga

jarang diisi makanan dan minuman. Sejak remaja di bawah bimbingan

Ratu Ageng, permaisuri dari Hamengku Buwono I, Diponegoro telah

terbiasa melakukan puasa sunnah Daud, selang-seling sehari puasa

sehari tidak.

Di sisi lain, sejak remaja Diponegoro juga mendapatkan gemblengan yang

begitu keras dan penuh disiplin dari Ratu Ageng yang notabene mantan

panglima tertinggi pasukan khusus pengawal raja Langen Kesuma. Selain

Ratu Ageng, sejumlah pendekar dengan ilmu beladiri juga didatangkan

untuk membekali cicit kesayangannya ini agar bisa menjadi manusia yang

shalih, cerdas, serta kuat secara fisik dan mental.

Sehabis menunaikan sholat Isya berjamaah, Pangeran Diponegoro terus

saja berzikir di dalam masjid ditemani Ustadz Taftayani. Ki Singalodra

dengan setia terus berjaga di shaft paling belakang masjid. Dia duduk

bersandar di dinding. Sesepuh yang lain sudah kembali ke biliknya

masing-masing. Sejumlah pasukan dengan senjata lengkap tampak terus

bersiaga di depan gerbang dan di batas desa dalam kelompok-kelompok

kecil. Tak hanya pasukan yang sudah terlatih, para lelaki Desa Tegalredjo

juga tampak melakukan penjagaan secara bergantian.

Malam itu menjadi malam yang menegangkan. Udara malam hari yang

biasanya sejuk bahkan dingin, berubah menjadi sangat gerah. Angin

seolah tidak mau bertiup. Tanda-tanda alam seperti ini sudah dimaklumi

banyak orang. Peristiwa besar pasti akan terjadi esok hari. Entah apa,

hanya Allah Yang Maha Tahu

Di dalam bilik utama di dalam Puri Tegalredjo, isteri Pangeran Diponegoro,

Raden Ayu Retnaningsih-puteri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro,

Bupati Jipang Kepadhangan-tengah menidurkan anak-anaknya. Lagu Lir-

N

Page 105: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 104

Ilir mengalun merdu perlahan dari bibirnya yang tipis. Dengan penuh

kasih sayang, Raden Ayu Retnaningsih mengusapkan tangannya dengan

lembut ke kening anak-anaknya yang baru saja terlelap. Disibakkannya

rambut di kening anak-anaknya yang sudah agak panjang menutupi

keningnya. Perempuan itu memandangi lekat-lekat wajah mereka. Ada

rasa damai yang sangat indah di dalam relung garbanya, di saat dia

memandangi wajah-wajah mungil tanpa dosa yang tengah tertidur pulas.

Namun penglihatannya tiba-tiba buram. Kedua matanya basah. Bulir-

bulir air mata yang begitu bening pun luruh, merambat turun dengan

pelan di kedua pipinya yang halus. Perempuan shalihah itu galau kala

teringat pesan suaminya, Pangeran Diponegoro, tadi sore, jika dirinya dan

anak-anak mereka harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang

terjadi. Belanda dan Patih Danuredjo IV sedang mengincar diri suaminya,

dan bukan tidak mungkin Belanda akan mempergunakan cara apa saja

untuk menangkap mereka, bahkan mungkin membunuhnya.

Sekali lagi diusapnya kening anak-anaknya. Kemudian diciumnya dengan

lembut. Setelah itu dia meraih sebuah mushaf yang selalu tergeletak di

ujung tempat tidurnya. Dalam keadaan masih berwudhu, perempuan itu

kemudian membaca ayat demi ayat Allah dengan suara yang begitu lirih.

Nyaris tak terdengar. Sepanjang malam, Raden Ayu Retnaningsih

bermunajat kepada Allah subhana wa ta‟ala agar diberikan ampunan,

ketabahan, sekaligus kekuatan untuk menghadapi hari-hari esok yang

hanya Allah yang Maha Tahu.

Secara pribadi, Retnaningsih sungguh tidak pernah takut jika harus

berhadapan melawan Belanda. Perempuan yang jago memanah dan

memimpin satu pasukan khusus perempuan yang menjadi bagian dari

Laskar Diponegoro ini hanya iba dengan nasib anak-anaknya kelak yang

harus ikut berperang. Walau tangguh dan tegar, Retnaningsih bagaimana

pun seperti seorang ibu kebanyakan, yang ingin anak-anaknya tumbuh

besar di dalam masa yang damai dan tenteram. Namun kenyataan berkata

lain. Agaknya Allah memang memiliki rencana lain terkait semua yang

harus dihadapinya.

Di luar bangunan utama Puri Tegalredjo, Pangeran Diponegoro didampingi

Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, Mangkubumi, dan Ki Singalodra, dengan

penjagaan dari satu regu pasukan kawal, masih berada di dalam

masjidnya. Di luar tembok puri, terdapat penjagaan satu lapis lagi di

Page 106: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 105

keempat penjuru mata angin. Demikian pula dengan lingkar satu, lingkar

dua, dan tiga. Semua prajurit sudah siap, menanti dengan kesiagaan

penuh apa yang akan terjadi.

Di tanah makam leluhur, tombak-tombak yang sengaja ditancapkan

untuk menggantikan patok-patok proyek jalan, masih berdiri dengan

gagahnya. Ini adalah pesan yang sangat nyata kepada kafir Belanda, jika

pribumi tidak akan pernah takut untuk berjuang menegakkan keadilan,

bahkan jika harus di bayar dengan nyawa sekali pun. []

Page 107: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 106

BAB 20

fuk pagi mulai merekah merah. Lampu-lampu sentir dan obor di

beberapa bagian Puri Tegalredjo masih menyala terang. Sebagian

lagi sudah padam. Kompleks Puri Tegalredjo yang memiliki luas

keseluruhan sekira dua hektar are ini tampak sepi. Namun sesungguhnya

tidak demikian. Di tiap sudut bangunan, bawah pohon beringin, dan di

tempat-tempat tersembunyi, selalu saja ada prajurit yang berjaga. Mereka

memang tidak menampakkan penjagaan secara menyolok, sesuai dengan

perintah Senopati Joyonenggolo yang bertanggungjawab terhadap

keamanan seluruh area dalam puri tersebut.

Puri Tegalredjo merupakan kompleks bangunan yang berbeda dengan

bangunan-bangunan lain di desa ini, bahkan jika dibandingkan dengan

bangunan kediaman para pangeran yang lain. Kebanyakan bangunan

masih menggunakan dinding bilik yang dilabur kapur putih dengan

tulang-tulang bambu atau kayu panjang dengan atap sirap atau genteng.

Berbeda dengan Puri tempat kediaman Ratu Ageng dan Pangeran

Diponegoro yang sudah dibangun secara permanen, dengan batu bata dan

semen. Bahkan sebuah tembok setebal setengah sampai hampir satu

meter dibangun mengelilingi kompleks puri ini dengan bagian samping

dan belakang lebih tinggi hingga mencapai tiga meter34.

Sebagaimana bangunan bangsawan kraton lainnya, kompleks ini juga

menghadap ke arah selatan di mana Laut Kidul menggelora. Hanya

bangunan kraton yang menghadap ke arah ini, sedangkan rumah rakyat

biasa akan berdiri dengan menghadap bangunan-bangunan kraton.

Gerbang besar Puri Tegalredjo diapit oleh dua pintu kecil yang selalu

terbuka. Di belakang gerbang, membentang sebuah alun-alun kecil

dengan luas lebih kurang empat kali luas lapangan basket. Alun-alun itu

dikelilingi sawo kecik yang berjajar rapi, diseling pohon beringin di sana-

sini. Sebuah pendopo besar dengan atap joglo berdiri di sisi utara alun-

alun yang juga menghadap ke selatan. Di bagian belakang pendopo berdiri

bangunan utama puri sebagai tempat tinggal Ratu Ageng, dan juga

Diponegoro serta keluarganya. Bangunan utama ini dikelilingi bangunan-

34

Disebut juga sebagai Pager Bumi.

U

Page 108: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 107

bangunan lain, seperti masjid di sebelah barat, istal kuda, gudang beras

dan hasil bumi lainnya, kamar-kamar tempat menginap para tamu, juga

rumah para pekerja puri ini.

Di Tegalredjo, tanah milik Pangeran Diponegoro cukup luas. Di sebelah

timur dibatasi Kali Winongo yang cukup dalam dan lebar.

Sejak Pangeran Diponegoro diboyong Ratu Ageng keluar dari kraton dan

menetap di Tegalredjo, wilayah ini berkembang dengan pesat. Jumlah

penduduk terus bertambah. Rumah-rumah baru terus bermunculan. Dan

rumah-rumah lama banyak yang diubah bentuknya. Dengan sendirinya

jalur jalan raya mulai membaik dan lebih panjang.

Pangeran Diponegoro sendirilah yang mengatur pohon-pohon, jalan, dan

kolam di daerah ini. Selain tumbuhan, putera Hamengku Buwono III ini

juga gemar memelihara sejumlah hewan piaraan seperti burung perkutut

dan juga kuda. Bisa jadi, dalam skala lebih kecil, Diponegoro tampaknya

mewarisi bakat kakek buyutnya, yakni Sultan Hamengku Buwono I, yang

merupakan seorang arsitek yang hebat, yang merencanakan sendiri tata

ruang serta rancang bangun untuk Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan

seluruh bangunan pendukungnya, termasuk Taman Sari35.

Tak jauh dari kompleks puri, masih di dalam areal tanah milik Diponegoro

yang berada di Selohardjo, di tepi Kali Winongo, Diponegoro juga

membangun sebuah panepen, yaitu tempat untuk menyendiri atau

bersemadi. Gedung ini sangat indah yang dilengkapi dengan serambi

depan, tempat menerima tamu, dan juga surau, kolam, dan taman. Di

depan gedung ada sebuah batu datar36 yang dinaungi pohon Kemuning

yang begitu rimbun daun-daunnya. Di tempat inilah, Pangeran Diponegoro

biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi kolam

dan di tengah kolam dibuat semacam ―pulau‖ kecil yang ditumbuhi

35

Gambaran tentang Puri Tegalrejo ini bisa dibaca dari kesaksian Pendeta H.A.

Brumund yang mengunjungi tempat tersebut selang beberapa hari setelah dibakar dan dihancurkan oleh Belanda pada bulan Juli 1825. Juga dari lukisan karya Ratmojo di tahun 1973 yang masih terpasang dengan rapi di salah satu ruangan Puri Tegalredjo yang kini menjadi Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, Jogyakarta.

36 Sela gilang.

Page 109: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 108

sebatang pohon beringin putih. Di kolam besar yang airnya jernih itu

banyak terdapat ikan dari berbagai jenis37.

Pagi ini, usai melaksanakan sholat subuh berjamaah yang seperti biasa

diikuti ceramah lima menit, Pangeran Diponegoro keluar dari masjid

menuju bangunan utama Puri Tegalredjo. Ustadz Taftayani yang

mendampinginya sejak tadi malam masih berdiam di dalam masjid.

Sedangkan Ki Singalodra tetap mengikuti Diponegoro, namun berhenti

sampai di teras depan bangunan utama.

Dari arah pendopo, Pangeran Mangkubumi berjalan mendekati Ki

Singalodra yang tengah berdiri di depan bangunan utama. Setelah

memberi salam, Mangkubumi menanyakan perihal pangeran kepada Ki

Singalodra.

―Bagaimana keadaan Pangeran, Kisanak?‖

―Alhamdulillah, baik…‖

―Residen gila itu tadi malam mengutus salah seorang anak buahnya

menemuiku. Dia mengancam, jika Pangeran Diponegoro tidak juga

menemuinya sampai maghrib, maka Belanda akan melakukan segala cara

untuk menangkapnya…‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran…‖

Tiba-tiba pintu puri terbuka. Seorang laki-laki dengan jubah putih dan

surban hijau pupus keluar dan menyapa Mangkubumi dengan salam doa

keselamatan.

―Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Paman Mangkubumi…‖

Mangkubumi menjawab salam Diponegoro kemudian memberitahukan

soal utusan Residen Smissaert yang menemuinya tadi malam di dekat Puri

Tegalredjo.

―Bagaimana sebaiknya, Pangeran?‖

37 Babad Diponegoro VII: b.40-42.

Page 110: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 109

Untuk sesaat Diponegoro terdiam. Dia tahu jika kali ini Residen Smissaert

rupanya benar-benar marah dan tidak mau menunggu lebih lama lagi.

Sejak beberapa hari lalu dan puncaknya tadi malam, perasaannya

mengatakan jika sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sungguh-sungguh

berbeda namun Diponegoro tidak tahu apa yang akan terjadi.

―Paman…,‖ jawabnya. ―…Saya tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini

atau besok. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Segala Sesuatunya. Kita

sebagai hamba-Nya hanya diperintahkan untuk bersiap jika terjadi

sesuatu. Sebab itu, kita telah mempersiapkan semuanya. Dan mudah-

mudahan, insya Allah, semua yang terjadi akan menjadi kebaikan bagi

kita semua…‖

Pangeran Mangkubumi menganggukkan kepala, ―Itu benar, Pangeran.

Namun apa yang akan kita kerjakan untuk menjawab ultimatum residen

itu?‖

―Nanti akan saya tulis surat kembali. Surat terakhir kita kepada mereka.

Tentang peneguhan sikap kita. Selain itu, pagi ini juga tolong siapkan

semua pasukan kita di sekitar Tegalredjo ini, Paman.‖

―Baik, Pangeran.‖

―Dan kau Ki Singalodra…‖

Ki Singalodra yang sedari tadi terdiam mendengarkan percakapan kedua

bangsawan di dekatnya itu dengan penuh hormat menjawab, ―Inggih,

Kanjeng Pangeran…‖

―Kau hubungi lagi Senopati Joyonenggolo dan perintahkan dia untuk

memperketat penjagaan. Dan satu lagi, tolong supaya Joyonenggolo

memeriksa jalur penyelamatan ke Gua Selarong sekali lagi. Kita tidak tahu

bagaimana nantinya, namun tidak ada salahnya untuk mempersiapkan

segala sesuatunya…‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan…‖

Setelah memberi salam, Ki Singalodra bergegas berjalan menuju kuda

hitamnya. Dengan sekali lompat, dia sudah berada di atas pelana dan

memacu kudanya menuju pos utama puri tempat Senopati Joyonenggolo

berada. []

Page 111: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 110

BAB 21

anuredjo tahu jika wakil residen Chevaliers telah menerima surat

langsung dari Residen Surakarta Mac Gillavry yang melaporkan

tentang perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro yang

semakin hari semakin besar. Bukan hanya dalam soal jumlah pangeran,

ulama, dan sesepuh desa yang setiap hari terus saja bertambah

mendukungnya, namun juga aliran dana yang diperoleh Diponegoro yang

sampai saat ini masih saja ditelusuri oleh Belanda. Pemerintah masih

kesulitan untuk mencari sumber pendanaan Diponegoro yang diduga kuat

sangat besar disebabkan dia bisa membeli senjata api dan tajam dalam

jumlah banyak, memberi makan pasukan tiap hari yang cukup banyak,

dan juga melaksanakan pelatihan demi pelatihan tempur bagi laskarnya di

berbagai tempat.

Danuredjo sendiri tidak bisa memastikan hal itu. Namun dia yakin jika

sejumlah pangeran, ulama, dan sesepuh yang berdiri di belakang

Diponegoro-lah yang telah menyumbangkan uangnya untuk

memberontak. Itu sudah dikatakannya kepada Smissaert, namun residen

tersebut malah menugaskannya untuk mencari bukti yang kuat agar

Belanda memiliki alasan untuk menangkapnya.

Seorang Danuredjo sesungguhnya malas mengurusi hal seperti itu,

namun dia sudah keburu melaporkan kepada Smissaert sehingga mau

tidak mau dia akhirnya berjanji untuk melakukan itu. Dan bukan seorang

Danuredjo jika dia tidak bisa memutar otak dengan licin. Setelah ditugasi

Smissaert, dia malah memanggil Ki Sentono dan menyerahkan tugas

tersebut kepada orangtua itu.

Siang itu di pendopo alun-alun Lor38 Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,

yang berbatasan sepelemparan meriam dari Benteng Vredeburg di mana

Residen Yogyakarta A. H. Smissaert tinggal, Danuredjo tengah

mengumpulkan semua senopati utama kraton dan juga beberapa pasukan

bantuan. Di depan mereka, Patih Dalem tersebut menyatakan bahwa

Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang sekarang berkumpul di

sekitar Tegalredjo tengah bersiap untuk melakukan pemberontakan

38

Bahasa Jawa: Utara.

D

Page 112: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 111

dengan menyerang kraton dan menghabiskan seluruh pejabat kraton

beserta keluarganya.

―Pasukan Belanda akan membantu kita. Akan melindungi kraton kita.

Walau mereka berbeda agama dengan kita, berbeda dengan agama Islam

sebagai falsafah kraton ini, tetapi mereka akan berjuang sampai titik

darah penghabisan untuk mendukung kita. Dengan izin Allah kita akan

menang. Allahu Akbar!‖ ujar Danuredjo berapi-api. Baginya, semua cara

harus ditempuh untuk bisa menyatukan kekuatan di belakangnya,

termasuk menunggangi Islam demi kepentingan pribadinya.

Seluruh senopati yang ada di hadapannya mengangguk-anggukkan

kepala. Walau tahu jika yang dikatakan Patih Dalem tersebut banyak

dustanya, namun para senopati tersebut tidak mau mendebatnya. Mereka

semua tahu, walau wajah Danuredjo selalu memasang senyum, namun

dia sesungguhnya sangat tidak suka didebat, bahkan sekadar untuk

dipertanyakan semua tindak-tanduknya. Dengan tersenyum dia bisa

memerintahkan pembunuhan yang paling keji sekali pun, atau paling

ringan adalah memecat mereka dan mengusir mereka beserta anak

isterinya ke hutan. Siapa pun yang berada dekat dengan Danuredjo tidak

ingin mengambil resiko itu. Di depan orang ini, lebih baik diam daripada

berbicara.

Dengan penuh kutipan ayat-ayat suci al-Qur‘an tentang Islam yang penuh

rahmat bagi semesta, derajat manusia yang sama, Allah Maha Pengasih

dan Penyayang, dan sebagainya, Patih Danuredjo berpidato panjang lebar

menekankan perlunya pihak kraton menjalin kerjasama yang erat dengan

pemerintah Belanda.

―Islam tidak melarang kita bermuamalah39 dengan orang-orang di luar

Islam. Rasulullah dahulu juga melakukan hubungan dagang dengan orang

Yahudi dan bukankah Rasulullah itu sebaik-baiknya teladan bagi umat

manusia? Sebab itu, bekerjasama dengan Belanda itu diperbolehkan di

dalam Islam. Bukankah begitu Kiai Suranudin?‖

Lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih dan tangan

kanannya yang selalu memilin sebuah tasbih kecil dari kayu cendana,

menganggukkan kepalanya, ―Ya. Memang benar Kanjeng Patih…‖

39 (Bahasa Arab): Berinteraksi.

Page 113: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 112

Danuredjo tersenyum puas, ―Dan saya ingin bertanya kepada kalian

semua. Apakah kita ini semuanya telah beragama Islam?‖

―Inggih, Kanjeng Patih…,‖ sahut semuanya serempak.

―Bukankah Kanjeng Sri Susuhunan Sultan Hamengku Buwono IV juga

seorang Muslim?‖

―Inggih, Kanjeng Patih…‖

―Nah, kita ini adalah kerajaan Islam. Kita adalah pemerintahan Islam.

Semua yang ada di kraton ini adalah orang-orang Islam. Kanjeng Sultan

adalah Imam kita semua. Jika Pangeran Diponegoro hendak melakukan

pemberontakan kepada kraton, terhadap Sultan, berarti dia telah

melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam, memberontak

terhadap Imam. Bukankah itu yang di dalam fiqh Islam disebut

sebagai Bughot? Bagaimana Kiai Suranudin?‖

Kiai Suranudin membelai-belai janggut putihnya yang sudah hampir

menyentuh dadanya, ―Ya, ya, itu benar. Di dalam fiqh,

kaum bughot adalah kaum atau kelompok bersenjata yang menentang

penguasa kaum Muslimin, menentang Sang Imam. Sepengetahuan saya,

syarat untuk bisa suatu kelompok dianggap

sebagai bughot adalah: Pertama, mereka memiliki pasukan bersenjata

yang akan digunakan untuk melawan Imamnya. Kedua, mereka ini

memiliki pimpinan yang ditaatinya. Ketiga, mereka berbuat demikian

disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya

mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa

memberontak adalah suatu keharusan…‖

Belum selesai Kiai Suranudin berbicara, Danuredjo langsung menyela,

―Jika demikian, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya jelas-jelas

memenuhi semua persyaratan disebut sebagai kaum bughot. Bukankah

demikian Kiai?‖

―Ya. Mereka sudah memenuhi ketiga syarat itu,‖ ujar Kiai Suranudin. Dia

sepertinya tidak punya pilihan lain. Danuredjo memang sangat lihai

memutar lidah dan logika, sehingga dia mau tidak mau akan mengatakan

apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Patih Dalem tersebut. Kiai

Suranudin pun merasa apa yang dikatakannya benar, sudah sesuai

dengan kaidah fiqh, namun entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman.

Page 114: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 113

Tiba-tiba seorang kurir dari Residen Smissaert datang ke pendopo alun-

alun Lor. Dia langsung menemui Patih Danuredjo dan menyerahkan surat

dari tuannya. Setelah membuka surat itu, Danuredjo langsung mengakhiri

pertemuan dengan para senopati utama kraton dan yang lainnya.

―Sekarang kalian semua persiapkan pasukanmu masing-masing dengan

baik. Dalam waktu dekat kita akan bergerak.‖

Itu saja. Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kraton.

Residen Smissaert telah menunggunya di ruangan kepatihan seperti

biasanya. Tak sampai memakan waktu lima menit, Danuredjo telah

membuka pintu ruangan kantornya. Dia tahu Smissaert sudah berada di

dalam. Dan benar saja, Belanda bermuka bulat dengan mata biru dan

rambut tipis seputih kapas di kedua bagian samping kepalanya sudah

berada di atas kursi Danuredjo dengan kedua kaki diselonjorkan ke atas

meja.

―Kowe sudah siapkan semua senopati yang ada?‖

Danuredjo menganggukan kepalanya sambil duduk di depan Residen

Smissaert tanpa memperdulikan jika kedua telapak kaki Belanda yang

masih memakai sepatu itu langsung menghadap ke arah mukanya.

―Sudah. Semuanya sudah siap.‖

Smissaert tertawa. Danuredjo juga. Belanda itu kemudian menurunkan

kakinya dan berdiri kemudian duduk di pinggir meja setelah menggeser

papan nama Patih Dalem Danuredjo IV dari tempatnya semula.

―Patih… Gillavry dan Von Jett telah mengkonfirmasi semua permintaan

kita. Pasukan mereka telah berangkat dari Surakarta, dan akan menyusul

kemudian yang dari Magelang serta Semarang. Mereka akan bergabung

dengan Legiun Mangkunegaran yang sebentar lagi akan tiba. Kita sudah

kuat kembali. Sore ini kita akan tangkap pemberontak itu!‖

―Apakah tidak sebaiknya kita menunggu surat jawaban darinya dulu,

Tuan Residen. Bagaimana laporan dari kurir kita tadi malam yang

menemui Mangkubumi?‖

Page 115: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 114

―Tidak perlu. Kita mengirim kurir dan meminta Diponegoro menulis surat

lagi hanyalah untuk memperbanyak pekerjaannya saja. Kita tidak

menunggu surat itu. Kita akan kepung mereka dengan kekuatan yang

lebih besar ketimbang kekuatan mereka.‖

―Apakah kita sudah tahu berapa kekuatan mereka yang dipusatkan di

Tegalredjo?‖

―Ya. Dari beberapa pasukan telik sandi, kita sudah mendapat

kepastiannya.‖

―Siapa nanti yang memimpin penangkapan?‖

Smissaert tertawa, ―Kowe mau, Patih?‖

Danuredjo menggeleng cepat. Sambil tertawa konyol Danuredjo menjawab,

―Tuan Residen pasti tahu saya bukan orang yang tepat untuk mengemban

tugas itu. Wakil Tuan, Chevallier jauh lebih tepat.‖

Smissaert mengangguk-angguk. ―Ya, kowe kali ini benar. Chevallier lebih

punya kemampuan untuk itu. Dia orang sudah aku panggil. Sekarang dia

sedang ke sini.‖

―Secepat itukah?‖

―Rencana sudah aku susun dengan sangat rapi.

Jika kowe pintar, kowe akan bisa banyak belajar…‖

Danuredjo hanya manggut-manggut. Tak berapa lama terdengar langkah-

langkah kaki tergesa milik wakil residen itu. Chevallier sudah mengenakan

seragam tempur, lengkap dengan topi dan pedangnya. Dia benar-benar

sudah siap diterjunkan ke medan laga. Setelah memberikan military-

salute, dengan sikap sempurna Chevallier melapor pada atasannya,

Residen Anthonie Hendriks Smissaert.

―Lapor Tuan Residen! Kami siap dan tinggal menunggu perintah!‖

―Berapa kekuatanmu untuk operasi nanti sore?‖

Page 116: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 115

―Siap! Duapuluh lima flankeurs40, duapuluh lima huzaren41, dan

dua veldstuk42. Demikian pula dengan pasukan prang Sultan, pasukan

prang Pangeran Pakualaman, Legiun Mangkunegaran, dan lainnya.

Semuanya sudah siap bergerak. Mereka kini berada di posnya masing-

masing untuk menunggu perintah. Letnan Satu Thierry dari Resimen

Huzaren ke-7 menjadi pimpinan operasi. Saya sendiri ikut di dalam

pasukan ini.‖

Senyum Smissaert mengembang di wajahnya. Sambil mengangguk-

angguk, dia memberikan beberapa perintah. ―Jika sampai pukul setengah

tiga sore Mangkubumi belum juga datang dengan membawa pimpinan

pemberontak itu ke sini, maka kedua orang itu-Mangkubumi dan

Diponegoro-harus kalian tangkap, hidup atau mati. Tak ada bedanya

bagiku. Gunakan segala cara untuk menyeret kedua orang itu ke

hadapanku. Secepatnya!‖

Smissaert melirik lemari jam Junghans yang berdiri di sudut ruangan

kepatihan. Jarum pendeknya yang berwarna keemasan telah mendekati

angka dua. Smissaert tahu, jarum itu akan terus bergerak pasti, detik

demi detik, menit demi menit, seirama gerak dua bandul yang

bergelantungan di bawah bulatan dengan dua jarum jam.

Residen itu kemudian menatap wakilnya yang masih berdiri dengan sikap

sempurna, ―Chevallier, kowepunya waktu kurang dari satu jam untuk

bersiap. Sekarang kembalilah ke pasukanmu. Bersiaplah. Sebelum hari

menjadi gelap, aku sangat berharap pimpinan pemberontak itu

sudah kowe seret ke sini. Kita perlihatkan kepada semua orang, hukuman

apa yang bakal menimpa orang-orang yang berani melawan pemerintah

yang sah ini!‖

―Siap!‖ jawab Chevallier singkat dan tegas. Setelah memberikan

penghormatan kembali, dia kemudian membalikkan badan. Dengan

setengah berlari, veteran Palagan Waterloo itu melintasi lorong yang satu

ke lorong yang lain di dalam kraton menuju alun-alun Lor tempat semua

pasukannya berkumpul.

40

Infanteri

41 Kavaleri

42 Artileri (pembawa meriam)

Page 117: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 116

Matahari bulan Juli yang terik semakin tergelincir ke barat. Chevallier

telah tiba di ujung alun-alun. Dari kejauhan, nampak semua pasukannya

telah berbaris rapi di lapangan yang luas. Chevallier tersenyum. Walau

tubuhnya bermandikan keringat, namun semangatnya begitu tinggi. Sore

nanti, Pangeran Diponegoro-Kepala Pemberontak itu-beserta Pangeran

Mangkubumi, sudah harus dibawanya ke Residen Smissaert. []

Page 118: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 117

BAB 22

nformasi merupakan sesuatu yang amat sangat berharga dalam

sebuah peperangan. Siapa yang menguasai informasi musuhnya,

maka dia akan keluar sebagai pemenang. Pangeran Diponegoro

sangat mengetahui hal ini.

Sebab itu, jauh-jauh hari Diponegoro telah menugaskan Pangeran Bei

untuk menyebarkan sejumlah pasukan telik sandi ke kantung-kantung

musuh, bahkan ke dalam kraton dan juga Vredeburg, benteng Belanda

yang berada tak jauh di utara kraton. Pasukan telik sandi Diponegoro

bukan hanya terdiri dari kaum lelaki, namun juga perempuan. Para isteri

pangeran, selir raja, pelayan kraton, tukang masak, hingga para penari,

dan pedagang yang diam-diam bersimpati pada perjuangan Pangeran

Diponegoro. Mereka secara suka rela bekerja, mengumpulkan informasi

sebanyak-banyaknya mengenai perkembangan dan pergerakan pasukan

musuh.

Mengenai pasukan telik sandi ini, laskar Diponegoro memiliki dua jenis.

Yang pertama adalah pasukan telik sandi sukarela, yang terdiri dari

banyak profesi dari berbagai macam lapisan masyarakat. Sedangkan yang

kedua adalah pasukan telik sandi utama, yaitu pasukan yang sengaja

dibentuk dari orang-orang terpilih, direkrut dan dilatih secara rahasia,

dan secara terencana serta terukur ditempatkan di posnya masing-

masing. Dengan sendirinya, tingkat kredibilitas informasi yang diperoleh

pasukan telik sandi utama ini jauh lebih terpercaya ketimbang yang

pertama.

Berdasarkan masukan dari pasukan telik sandi utama inilah, Pangeran

Bei bersama Pangeran Diponegoro menyusun sistem pengaman di sekitar

wilayah Tegalredjo, yang terbagi ke dalam tiga lingkaran dengan radius

yang berbeda. Satu lingkaran dipimpin oleh seorang senopati yang

membawahi empat komandan arah mata angin, komandan Lor43, Kulon44,

43

(Bahasa Jawa): Utara

44 (Bahasa Jawa): Timur

I

Page 119: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 118

Kidul45, dan Wetan46. Jadi total ada tiga senopati yang masing-masing

membawahi empat komandan sesuai dengan mata angin.

Siang itu ba‟da Dzuhur, dengan menunggang Kiai Gentayu, Pangeran

Diponegoro melakukan inspeksi ke seluruh pasukannya. Ki Singalodra,

Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan tiga orang laskar

menyertainya.

Tiba di tepi sebelah barat Kali Winongo yang berbatasan dengan wilayah

Badran dan Pringgokusuman, Pangeran Diponegoro beserta seluruh

rombongannya menemui Joyomustopo dan Joyoprawiro yang memimpin

laskar setempat. Jumlah laskarnya lebih kurang ada sekitar duaratusan

orang bersenjata tombak, keris, dan pedang. Beberapa di antaranya

terlihat memegang senjata berupa tiga buah bola besi sebesar kepalan

tangan orang dewasa yang diberi besi tajam di sana-sini, yang

dihubungkan dengan rantai dan diputar-putar hingga mengenai musuh.

Senjata ini disebut sebagai Bandil47.

Setelah itu rombongan melanjutkan inspeksinya ke seluruh wilayah

Tegalredjo. Inspeksi seperti ini diperlukan, selain untuk koordinasi antar

pimpinan pasukan, juga untuk menaikkan semangat berjuang di kalangan

laskar atau prajurit.

Menjelang kumandang adzan Asyar, Diponegoro dan rombongan sudah

kembali ke dalam masjid Puri Tegalredjo. Setelah beristirahat dan sholat

berjamaah, Diponegoro memanggil Mangkubumi.

―Paman, saya akan menulis surat terakhir untuk residen. Kita akan tetap

pada pendirian kita semula. Tak goyah sedikit pun. Tolong sebentar lagi

panggilkan Ahmad Prawiro untuk mengantarkan surat ini ke kraton.‖

45 (Bahasa Jawa): Selatan

46 (Bahasa Jawa): Barat.

47 Senjata bandil, keris, tombak, pedang, trisula, dwisula, dan sebagainya masih

tersimpan dengan baik di Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, museum yang dibangun di atas lahan bekas Puri Tegalredjo di Desa Tegalredjo, sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Page 120: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 119

Setelah itu Pangeran Diponegoro masuk ke dalam biliknya. Pangeran

Mangkubumi menunggu di dalam masjid. Beberapa sesepuh dan laskar

masih ada yang berzikir di dalam masjid.

Seorang kurir dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam masjid. Menyadari

Pangeran Diponegoro tengah menulis surat di dalam biliknya, kurir

tersebut mendekati Pangeran Mangkubumi yang tengah duduk bersila dan

segera menyampaikan berita yang menggembirakan.

―Kanjeng Pangeran, Kiai Modjo dari Surakarta menyampaikan salam pada

Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di Tegalredjo ini. Saat ini beliau,

bersama anaknya, Kiai Ghazali, dan seluruh pasukan santrinya tengah

menuju ke sini untuk memperkuat pertahanan…‖

―Kiai Modjo dan anaknya?‖

―Betul, Kanjeng Pangeran. Mereka semua sedang berjalan ke Tegalredjo

ini…‖

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk, ―Baiklah. Terima kasih atas

informasinya, Kisanak. Saya akan sampaikan berita menggembirakan ini

kepada Pangeran Diponegoro secepatnya.‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya minta diri…‖

Setelah mengucapkan salam, kurir tersebut keluar dari masjid untuk

mengambil air wudhu. []

Page 121: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 120

BAB 23

afas Suromenggolo tersengal-sengal. Salah seorang kepercayaan

Diponegoro itu kemudian lompat dari kudanya dan langsung berlari

menuju masjid, di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh

lainnya berada.

―Assalamu‟alaikum…!‖ ujarnya setengah berteriak. Dadanya terlihat turun

naik. Nafasnya masih satu-satu. ―Kanjeng Pangeran ada?‖ tanyanya

kepada salah seorang laskar yang masih berada di masjid. Laskar itu

kemudian menunjukkan ibu jarinya ke arah sudut depan masjid dimana

bilik Pangeran Diponegoro berada.

―Beliau sedang menulis surat di biliknya…‖

Suromenggolo mengangguk dan masuk ke dalam masjid. Begitu melihat

Mangkubumi juga ada di masjid, Suromenggolo memberi salam

mendekatinya.

―Salam, Kanjeng Pangeran Mangkubumi…‖

―Salam juga, Kisanak. Apakah ada perkembangan baru di lapangan.

Kenapa Kisanak terengah-engah begitu?‖

Suromenggolo menganggukkan kepalanya cepat, ―Ya. Belanda. Pasukan

Belanda sudah bergerak dari alun-alun Lor menuju ke sini. Dua kilometer

lagi mereka tiba di jembatan Kali Winongo!‖

Mangkubumi agak terkejut. Dia kemudian berdiri, ―Cepat sekali gerakan

mereka. Berapa kekuatannya?‖

―Dua meriam baja ukuran sedang yang ditarik dua kereta model Osten-

Grey. Meriam itu masih baru. Ada juga puluhan infanteri dengan senjata

laras panjang flintlock, puluhan kavaleri berkuda dengan pedang dan

senjata api. Legiun Mangkunegaran juga ada di sana. Jumlahnya sekira

limaratusan…‖

―Mereka ingin menangkap Pangeran Diponegoro?‖

N

Page 122: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 121

―Ya. Selain Kanjeng Pangeran Diponegoro, juga beberapa pimpinan

lainnya.‖

―Termasuk aku?‖

Suromenggolo mengangguk, ―Ya, termasuk.‖

Menyadari bahaya yang semakin mendekat, Mangkubumi akhirnya

bergegas mengetuk pintu bilik di mana Pangeran Diponegoro sedang

menulis surat. Pintu dibuka dari dalam. Pangeran Diponegoro sudah

berdiri diambang pintu. Mangkubumi segera melaporkan semuanya.

―Pasukan Belanda sudah mendekati jembatan Kali Winongo!‖

Diponegoro tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jembatan Kali

Winongo sangat dekat dengan Puri Tegalredjo. Namun pergerakan

pasukan Belanda juga akan sedikit terhambat dengan banyaknya barikade

dan jebakan yang sudah dipasang dengan cermat. Laskar yang menjaga

sekitar wilayah Winongo juga akan tidak tinggal diam. Pertempuran

sebentar lagi akan terjadi.

Kepada Mangkubumi, Diponegoro berkata, ―Paman, sekarang para kafirin

dan murtadin itu sudah di depan mata kita. Mereka menyerang kita.

Tentu kita tidak akan tinggal diam. Kini bersiaplah. Kita akan sambut

mereka. Kita kibarkan panji-panji gula kelapa!48 Kita kibarkan juga panji

kejayaan negeri ini49. Allah bersama kita! Allahu Akbar!―

―Allahu Akbar! Kami semua siap, Pangeran!‖

―Oh iya, Pangeran. Ada juga berita gembira. Kiai Modjo dan anaknya, Kiai

Ghazali, tengah berjalan ke sini memimpin pasukannya untuk

memperkuat Tegalredjo.‖

48 Panji Gula-Kelapa adalah panji atau bendera merah putih. Lambang

pemberontakan untuk merdeka.

49 Yang dimaksudkan dengan Panji Kejayaan adalah bendera berwarna kuning

yang melambangkan tanda kebesaran . Bendera ini merupakan simbol perjuangan leluhur yang sudah berabad lamanya tidak pernah dikibarkan, sejak tahun 1292 pada masa Jayakatwang hingga Sultan Agung.

Page 123: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 122

―Alhamdulillah. Semoga Allah subhana wa ta‟ala melindungi kita semua,

Paman…‖

―Amien ya Rabb…―

Setelah mengucap salam, Mangkubumi bergegas keluar dari masjid,

diikuti seluruh sesepuh dan laskar yang ada. Hanya Ki Singalodra dan tiga

prajurit kawal yang tetap berdiri di samping Diponegoro. Dengan senyum

tipis di bibirnya, Diponegoro menoleh kepada Ki Singalodra.

―Kisanak, pintu surga sebentar lagi akan terbuka lebar-lebar di hadapan

kita. Bersiaplah untuk menyambutnya. Saya akan persiapkan isteri dan

anak-anak dahulu. Tolong siapkan Kiai Gentayu. SilakanKisanak tunggu

disini…‖

Setelah mengucapkan kalimat itu, Pangeran Diponegoro bergegas masuk

ke dalam bangunan utama Puri Tegalredjo. Seorang prajurit keluar dari

masjid untuk mengambil salah satu kuda kesayangan Pangeran

Diponegoro dan menambatkannya di depan masjid. Dia sendiri menjaga

kuda itu.

Pada saat bersamaan, tepat di seberang Kali Winongo, limapuluh meter di

selatan jembatan, seorang pengintai yang bersembunyi di balik pohon

tampak memicingkan matanya di jendela intip teropong besi berukuran

kecil yang diberi lensa di kedua sisinya. Dari teropongnya, dia sudah bisa

melihat bagian depan pasukan Belanda yang membawa dua buah meriam

ukuran sedang. Beberapa tampak menunggang kuda, sedangkan yang lain

berjalan kaki. Semuanya bersenjata lengkap.

Menurut informasi yang diterima, pasukan Belanda ini berniat menangkap

Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, hidup atau mati.

Namun dia dan seluruh laskar Diponegoro tidak percaya. Dengan

membawa pasukan bersenjata lengkap, Belanda tidak akan sekadar

menangkap Diponegoro dan Mangkubumi, namun juga akan

menghancurkan laskarnya. Belanda memang menginginkan perang.

Pengintai itu meletakkan teropongnya. Dia segera memberi kode kepada

pasukan pemukul yang tigapuluh meter bersembunyi di belakangnya

dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menggoyangkan-

goyangkan dahan pohon yang dipegangnya ke atas. Para komandan regu

melihat isyarat tersebut. Mereka tahu, musuh sudah bergerak mendekati

Page 124: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 123

ujung wetan50 jembatan Kali Winongo. Namun sesuai dengan perintah

Pangeran Diponegoro, mereka tak diperbolehkan menyerang terlebih

dahulu. Sebab itu, sambil terus bersembunyi ke rerimbunan pohon dan

semak, mereka hanya menunggu apa yang akan dilakukan pasukan

Belanda tersebut.

Di sisi lain, pasukan pemanah sudah mempersiapkan anak panah mereka

di tali busur yang tinggal direntangkan. Pasukan pemanah bersembunyi di

dua sisi yang agak tinggi, di kiri dan kanan jembatan. Mereka akan

menyambut pasukan Belanda yang pasti akan melintasi jembatan Kali

Winongo di depannya.

Di kejauhan, Letnan Satu Thierry memerintahkan pasukannya untuk

berhenti sejenak di ujung jembatan. Pimpinan pasukan itu menyuruh tiga

prajuritnya memeriksa jembatan hingga ke ujungnya. Mereka agaknya

curiga, kalau-kalau jembatan sudah disabotase atau dirusak oleh Laskar

Diponegoro, sehingga bisa saja ketika meriam dan pasukan melintas,

jembatan itu akan ambruk ke bawah dan mereka akan jatuh tenggelam ke

dalam sungai yang cukup dalam tersebut.

Baru saja ketiga prajurit Belanda itu sampai di tengah jembatan, tanpa

diduga siapa pun, dari arah berlawanan tiba-tiba datang sejumlah warga

desa yang memegang aneka senjata tajam. Sambil berteriak-teriak riuh-

rendah, mereka mengacung-acungkan senjatanya ke arah Belanda.

Beberapa di antaranya bahkan mulai menembaki pasukan itu dengan

ketapelnya. Beberapa lagi menimpuki pasukan Belanda itu dengan batu-

batu.

Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo tertegun. Pimpinan duaratusan laskar

yang bertugas mempertahankan jembatan Kali Winongo dan sekitarnya

saling berpandangan. Mereka benar-benar tidak menduga jika warga desa

akan berani menyongsong pasukan Belanda yang bersenjata lengkap

seperti itu.

―Uedan! Mereka kira ono pesta opo?‖ umpat Joyo Prawiro sambil terus

merunduk di balik pohon nangka.

50 (Bahasa Jawa): Timur.

Page 125: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 124

Joyo Mustopo mengangguk cepat, ―Yo wis. Kita lihat saja bagaimana

Belanda itu. Kalau mereka mulai menyerang, kita balas!‖

Belum kering Joyo Mustopo berkata, tiba-tiba terdengar suara dentuman

yang amat keras. Beberapa detik kemudian, dentuman serupa terdengar

lagi.

―Meriam Belanda!‖ ujar Joyo Prawiro. Bukannya takut, orang ini malah

kegirangan. Dia benar-benar menunggu momen untuk bisa berperang

melawan kafir Belanda. Tak jauh beda dengan Joyo Prawiro, Joyo Mustopo

juga menyeringai. Belanda telah menyerang! Itu berarti mereka sudah

boleh menyerbu tentara kafir itu.

Dengan penuh semangat Joyo Mustopo berdiri, keluar dari tempat

persembunyiannya. Sambil mengacungkan pedangnya, dia berteriak,

―Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serbuu..!!!‖

Dua orang prajurit yang masing-masing membawa panji gula kelapa dan

panji kuning dengan kalimah syahadah yang dibordir dengan benang

emas berdiri sambil mengibar-kibarkan kedua panji tersebut ke atas.

Melihat panji perang sudah berkibar tinggi, dua ratusan laskar dengan

senjata aneka macam serentak keluar dari tempat persembunyiannya

sambil meneriakkan takbir. Tanpa takut mereka berlari menyongsong

musuh yang sebagian sudah berhasil melintasi jembatan. Pasukan

berkuda Belanda yang diikuti regu senapan juga baru saja menyeberangi

jembatan. Mereka terus merangsek maju dilindungi tembakan dari

senapan flintclock yang larasnya diarahkan rendah setinggi pinggang. Dari

seberang kali, dua meriam dengan kereta Osten Grey-nya masih tetap

menembak ke arah laskar untuk membuyarkan konsentrasi barisan

mereka.

Di ujung jembatan, duel jarak dekat tak bisa dihindari. Dengan

bersenjatakan keris, pedang, tombak, bandil, dan apa saja yang bisa

dijadikan senjata, dengan gagah berani mereka berusaha menahan laju

pasukan Belanda.

Joyo Mustopo terus merangsek ke depan. Tangan kanannya begitu lincah

menyabetkan pedang pendeknya ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan

kirinya menggenggam trisula yang akan melukai siapa pun yang berada di

dekatnya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, salah seorang pimpinan

Page 126: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 125

laskar ini berlompatan kesana-kemari menghadapi pasukan Belanda yang

terus saja berusaha untuk maju.

Sedangkan Joyo Prawiro yang berada lima meter di sebelah kanannya,

dengan ganas mengayun-ayunkan bandil dengan tiga bola besi berduri

yang bisa meremukkan tulang tengkorak. Kedua kakinya juga lincah

berlompatan menghindar dari ujung sangkur Belanda yang ditusukkan ke

segala arah.

Sambil bertempur jarak dekat, Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo melihat

Legiun Mangkunegaran mulai berdatangan. Bagai air bah, prajurit-prajurit

Jawa yang dikirim Mangkunegara II tersebut membantu pasukan Belanda

yang sesungguhnya mulai kepayahan. Mendapat bantuan yang besar,

pasukan kafir itu mulai bersemangat. Di depan mereka, pasukan kavaleri

mulai melabrak barisan bagian dalam laskar yang akhirnya membuat

laskar itu kocar-kacir.

Joyo Mustopo dan Joyo Prawiro tahu bahwa pasukan Belanda dan kaum

murtadin itu tidak akan bisa dibendung lagi. Kekuatan tidak imbang.

Mereka akhirnya memilih mundur teratur sembari melakukan perlawanan

kecil. Dua serangkai tersebut kemudian berbagi tugas. Joyo Mustopo akan

memberikan laporan ke puri, sedangkan Joyo Prawiro akan terus

memimpin laskarnya yang masih tersisa untuk mengundurkan diri ke

arah barat.

―Sampaikan salamku untuk Kanjeng Gusti Pangeran!‖ teriak Joyo Prawiro.

Joyo Mustopo menggebrak kudanya. Dia langsung melesat meninggalkan

arena pertempuran yang mengepulkan asap yang begitu pekat. []

Page 127: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 126

BAB 24

entuman meriam Belanda terdengar keras hingga ke dalam Puri

Tegalredjo. Disusul bunyi tembakan yang begitu ramai bersahut-

sahutan. Suara itu kian lama kian nyaring, menandakan pasukan

Belanda semakin dekat. Semua laskar bersiap dengan senjata di tangan.

Ada yang menjaga bagian luar dinding puri, ada yang berjaga di dalam.

Pintu gerbang utama sendiri dijaga seratusan laskar bersenjatakan

pedang dan beberapa pucuk senapan, dipimpin langsung Senopati Joyo

Nenggolo.

Di sekitar kompleks Puri Tegalredjo, ratusan warga desa dengan senjata

seadanya juga turut berjaga-jaga. Bahkan di antara mereka ada yang

menyongsong pasukan Belanda yang datang dari utara, timur, dan

selatan. Mereka menyambut musuh dengan begitu bernafsu bagai

menyambut datangnya gadis jelita untuk dipinang. Teriakan-teriakan

penyemangat dan takbir membahana di angkasa. Rakyat yang setiap hari

akrab dengan cangkul dan sawah, hari itu berlarian menjemput pasukan

Belanda tanpa rasa takut sedikit pun dengan senjata seadanya di tangan.

Kecintaan mereka kepada Pangeran Diponegoro dan agama Islam

membuat mereka rela berkorban jiwa dan raga. Mati satu tumbuh seribu.

Di tengah ketegangan itu, Ki Singalodra kehilangan Pangeran Diponegoro.

Dia terus berkeliling, memanjangkan leher ke kiri dan ke kanan mencari

orang yang harus dilindunginya. Namun sosok Pangeran Diponegoro tidak

ada juga, bagai hilang ditelan bumi. Ki Singalodra terus berdiri di ruang

terbuka antara rumah utama dengan masjid, duapuluh meter dari dinding

bagian barat Puri Tegalredjo.

Pangeran Bei masih berada di dalam pendopo utama. Dia menerima

sejumlah kurir yang melaporkan dengan cepat bahwa pasukan Belanda

ternyata tidak saja menyerang dari arah timur, tapi juga utara dan

selatan. Sedangkan di bagian barat, lebih sedikit terbuka.

Tiba-tiba sisi kiri gapura utama yang berada di selatan kompleks puri

meledak dan hancur terkena peluru meriam. Bunyinya begitu keras.

Setelah asap menghilang, bagai air bah, gabungan pasukan Belanda dan

Legiun Mangkunegaran mulai merangsek masuk ke dalam kompleks puri.

Pasukan kafir dan murtadin itu langsung disambut oleh tombak dan

D

Page 128: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 127

sabetan pedang oleh laskar Diponegoro. Duel jarak dekat terjadi. Puri

Tegalredjo mulai dibasahi darah. Bumi Mataram kembali bergolak.

Belanda ternyata tidak saja membawa peluru meriam konvensional,

namun juga peluru bakar51, sehingga dari mulut meriam berukuran

sedang itu terlontar bola-bola api yang menyala yang langsung membakar

apa pun yang dikenainya.

Ki Singalodra menyaksikan bangunan utama Puri Tegalredjo mulai

terbakar. Api mulai menjilat atapnya yang terbuat dari bambu dan daun

rumbia. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memadamkannya. Sambil

terus mengayunkan pedang untuk membunuh pasukan Belanda dan

kaum murtadin sebanyak-banyaknya, matanya masih sibuk mencari-cari

keberadaan Pangeran Diponegoro.

Lama-kelamaan jumlah prajurit Belanda dan para murtadin itu kian

banyak. Mereka sudah berada sangat dekat dengan bangunan utama puri.

Ki Singalodra dan sejumlah laskar pengawal utama Diponegoro mati-

matian mempertahankan bangunan utama itu agar Belanda tidak

memasukinya.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, Pangeran Diponegoro ternyata masih

berada di dalam biliknya. Raden Ayu Retnaningsih jatuh pingsan setelah

kepalanya tertimpa sebatang bambu menyala yang jatuh dari atap rumah.

Sambil menggendong isterinya tercinta, Pangeran Diponegoro

memerintahkan supaya para emban menggendong anak-anaknya satu

persatu.

―Jaga anak-anak itu. Cepat ikuti saya!‖ teriaknya.

Walau membawa tubuh isterinya, namun Diponegoro bisa melompat ,

keluar melewati dinding bangunan utama puri yang sudah berlubang di

satu sisinya. Kiai Gentayu juga sudah menunggu di dekat situ, seakan

sudah tahu jika tuannya akan keluar dari lubang tersebut. Ki Singalodra

merasa lega setelah melihat Pangeran Diponegoro masih hidup. Dengan

51 Peluru meriam konvensional di zaman itu hanya berupa bola-bola besi.Yang

dimaksudkan peluru bakar adalah bola-bola besi yang sudah dilumuri ter dan dibakar sehingga ketika dilontarkan lewat mulut meriam, bola-bola api itu tidak hanya menghancurkan benda yang terkena namun sekaligus membakarnya.

Page 129: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 128

cepat dia mendekati Diponegoro dan menjadikan dirinya sebagai tameng

hidup.

―Lewat dinding barat saja, Kanjeng Pangeran. Tembok itu harus kita

lompati. Semua arah sudah dikepung pasukan kafir!‖ teriak Ki Singalodra

sambil tangannya menunjuk dinding sayap barat Puri Tegalredjo yang

tingginya mencapai tiga meter dan tebal hampir satu meter.

―Tidak mungkin, Kisanak. Anak-anak sulit melompat! Sekarang kamu jaga

isteriku ini dahulu!‖

Dengan cepat dan hati-hati, Diponegoro membaringkan Raden Ayu

Retnaningsih di atas Kiai Gentayu. Setelah itu dia berdiri tegak sejauh tiga

meter dari dinding tebal tersebut. Di belakang Diponegoro, Ki Singalodra

dan laskar yang lainnya membuat benteng hidup agar Belanda dan Legiun

Mangkunegaran tidak mampu mencapai Sang Pangeran.

Pangeran Diponegoro sendiri menghadapkan badannya ke tembok besar

itu. Sambil memejamkan mata, kedua tangannya terangkat ke atas dan

mengepal. Secepat kilat dia kemudian berlari menerjang tembok,

menubrukkan badannya, dan menghantamkan tangannya keras-keras.

Suara menggelegar terdengar . Asap mengepul begitu pekat. Tembok tebal

itu pun jebol berantakan bagai terkena peluru meriam yang besar.

Pangeran Diponegoro segera melompat ke punggung Kiai Gentayu di mana

tubuh isterinya masih terbaring lemas. Dia mempersilakan Ki Singalodra

dan yang lainya naik ke kudanya masing-masing, juga para emban yang

masing-masing membawa satu anaknya.

―Cepat! Kita pergi ke barat!‖ teriaknya.

Baru saja rombongan hendak bergerak, tiba-tiba dari arah belakang

sejumlah prajurit Belanda muncul dengan senapan flintclock siap tembak.

Dalam hitungan sepersekian detik, para emban segera memacu kudanya

melewati tembol yang jebol itu, diikuti Pangeran Diponegoro dan yang

lainnya, termasuk Mangkubumi dan Pangeran Bei. Ukuran tembok jebol

cukup besar, setinggi lebih dari dua meter dengan lebar hampir dua meter

juga, sehingga bisa dilalui orang yang berkuda dengan leluasa.

Seratusan meter di selatan, Letnan Satu Thierry dan Chevallier masih

berada di atas kudanya. Mereka mengawasi penyerbuan dari depan

Page 130: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 129

gapura yang sudah sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda dan Legiun

Mangkunegara. Sejumlah pasukan kawal berada di keliling mereka. Lalu

seorang opsir dengan kudanya mendekat.

―Tuan! Para pimpinan pemberontak sudah meloloskan diri ke arah barat!‖

Chevallier terkejut. Demikian pula Thierry. Setahu mereka, dari data yang

dihimpun dari pasukan mata-mata, termasuk tukang yang memandikan

Kiai Gentayu setiap hari yang disusupkan Belanda, tidak ada lubang

sedikit pun di sepanjang dinding arah barat yang bisa digunakan untuk

meloloskan diri.

―Barat? Mana bisa? Bukankah di sana tidak ada pintu? Mengapa kalian

tidak bisa mencegahnya!‖ sergah Thierry.

―Ampun, Tuan. Diponegoro menjebol temboknya…‖

Chevallier dan Letnan Satu Thierry kaget bukan kepalang. ―Apa katamu?

Menjebolnya? Tembok itu sangat tebal. Kowe jangan bohongi saya, opsir!‖

ujar Chevallier naik pitam.

―Tidak! Saya tidak bohong Tuan! Silakan Tuan lihat sendiri. Kita sudah

menguasai jalur ke sana. Mari ikuti saya…‖

Keduanya, diiring para pengawal berkuda, segera mengikuti opsir

tersebut. Sampai di depan tembok tebal yang dijebol Diponegoro, baik

Chevallier maupun Letnan Satu Thierry ternganga-nganga. Mereka sama

sekali tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana cara seorang

Diponegoro melakukannya hingga mampu menjebol tembok tebal dan

kuat seperti itu52.

Keterkejutan mereka hanya sesaat. Berganti dengan kemarahan yang

amat sangat. Chevallier tahu, Residen Smissaert pasti akan memarahinya

habis-habisan. Misinya gagal. Walau Puri Tegalredjo sudah dikuasai

namun mereka tidak mampu menangkap Diponegoro dan Mangkubumi.

Dengan menahan kegeraman, keduanya lalu memerintahkan agar seluruh

bangunan di Puri Tegalredjo dibakar.

52 Sampai sekarang, tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro masih bisa

disaksikan di Monumen Pangeran Diponegoro, Sasana Wiratama, Jalan H.O.S. Cokroaminoto 430, Tegalredjo, Yogyakarta. Telp. (0274) 622668.

Page 131: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 130

―Hancurkan! Bakar habis semuanya!‖ []

Page 132: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 131

BAB 25

pi yang menjilat seluruh bangunan kompleks Puri Tegalredjo

terlihat membumbung tinggi dari atas bukit karang, di mana

Pangeran Diponegoro dan seluruh rombongannya beristirahat

sejenak. Raden Ayu Retnaningsih sudah siuman. Isteri Pangeran

Diponegoro itu sedang dirawat Ki Maswadhi, tabib puri yang juga berhasil

melarikan diri bersama mereka. Perempuan itu dibaringkan di atas

rumput kering dan diselimuti kain batik panjang berwarna kecoklatan

yang biasanya dipakai untuk mengganjal kursi pelana dengan punggung

kuda.

Dari atas Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro menatap jauh ke bawah, ke

arah timur di mana Puri Tegalredjo berada. Hatinya teriris melihat rumah

kediamannya sejak kecil dibakar habis oleh pasukan kafir Belanda yang

dibantu prajurit Legiun Mangkunegaran. Kedua matanya meremang

basah. Bibirnya bergetar menahan sedih, dan juga amarah.

―Paman…,‖ ujar Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang berada di

sampingnya, ―…lihatlah sekarang. Rumah dan masjidku sudah dibakar

kaum kafir. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini… Hanya

Allah subhana wa ta‟ala dan Rasul-Nya yang aku punya. Insya Allah,

sampai mati, aku akan selalu berjuang membela agama haq ini…‖

Mendengar ucapan keponakannya yang dituturkan dengan penuh

perasaan, Mangkubumi ikut terharu. Kedua matanya juga ikut basah.

Dengan perlahan dia mencoba memberi penghiburan kepada

keponakannya yang tengah gundah.

―Pangeran…, Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Barangsiapa yang

menggantungkan diri hanya kepada-Nya, maka dia akan menjadi orang

yang paling beruntung di dunia kini dan akherat nanti. Cukuplah Allah

sebagai pelindung. Dia-lah sebaik-baik pelindung…‖

Pangeran Diponegoro mengangguk pelan, ―Benar, Paman. Apa yang terjadi

hari ini belumlah apa-apa dibandingkan dengan perang sesungguhnya.

Semoga Allah subhana wa ta‟ala memberikan perlindungan, kekuatan,

dan ketabahan bagi kita semua…‖

A

Page 133: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 132

―Amien ya Rabb…―

―Paman, mari kita segera berangkat. Hari sudah mulai gelap. Desa Dekso

masihlah jauh. Mudah-mudahan kita bisa sampai di sana dengan

selamat…‖

Pangeran Mangkubumi dan Ngabehi memerintahkan supaya semuanya

bersiap kembali. Desa Dekso yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo

masih jauh. Di desa ini, Pangeran Diponegoro berencana menitipkan

anak-anak dan keluarganya, juga para emban, dan yang lainnya yang

bukan termasuk kombatan. Sedang dirinya sendiri, juga Mangkubumi,

Pangeran Bei, Ki Singalodra, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya-termasuk

isterinya sendiri, Raden Ayu Retnaningsih-setelah dari Dekso akan

berjalan kembali menuju Gua Selarong. Di sanalah markas komando

utama berada. Ki Guntur Wisesa sudah mempersiapkan segalanya di

Selarong. []

Page 134: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 133

BAB 26

yala api masih begitu besar membakar hampir semua bangunan di

dalam kompleks Puri Tegalredjo. Asapnya membubung tinggi

mewarnai langit sore yang seharusnya berwarna jingga dengan

nuansa kelabu yang begitu pekat. Adzan maghrib yang biasanya mengalun

merdu dari masjid Tegalredjo, kini tiada terdengar lagi. Demikian pula

dengan rombongan warga desa berjubah putih yang biasanya berbondong-

bondong berjalan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat, sudah

tidak ada. Semuanya menghilang, seiring serbuan pasukan gabungan

Belanda dan Legiun dari Surakarta ke kediaman Ratu Ageng, tempat di

mana Bendoro Raden Mas Ontowiryo, yang kemudian lebih populer

disebut Pangeran Diponegoro, menempa diri sejak kecil dengan ilmu dan

amal.

Letnan Satu Thierry bersama pasukannya malam itu terus bertahan di

Tegalredjo. Demikian pula dengan Chevallier. Sebagai pimpinan pasukan,

Thierry merasa bertanggungjawab untuk terus melakukan pengejaran ke

arah Barat, arah di mana rombongan Pangeran Diponegoro melarikan diri.

Sedangkan Chevallier, walau tidak mengakui, namun sepertinya enggan

untuk kembali ke tempat Residen Smissaert berada malam ini. Lolosnya

Pangeran Diponegoro dan juga Mangkubumi pasti akan menimbulkan

kemarahan Residen Yogyakarta yang baru bertugas dua tahun itu. Sebab

itu dia memilih untuk tetap tinggal bersama Thierry.

Hari sudah mulai gelap. Penjagaan di sekeliling lahan bekas puri

diperketat. Para prajurit Legiun Mangkunegaran ditempatkan di pos-pos

jaga terluar dari kompleks puri. Menurut laporan sejumlah opsir

lapangan, pasukan Belanda ternyata belum sepenuhnya menguasai

wilayah ini sepenuhnya. Di sejumlah titik yang menyebar di sekitar

Tegalredjo, masih terdapat sisa-sisa laskar pemberontak. Mereka tidak

terorganisir dengan rapi, sehingga mirip dengan gerombolan kriminal.

Yang sama sekali tidak diketahui Thierry dan juga Chevallier, berita

penyerangan pasukan Belanda ke Puri Tegalredjo ternyata mengundang

simpati yang begitu dalam dari rakyat pribumi terhadap Pangeran

Diponegoro. Tanpa dikomando, dari berbagai desa dan pelosok kampung,

N

Page 135: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 134

dari lembah dan gunung, mengalir laskar-laskar dadakan dengan

membawa aneka jenis senjata yang berjalan menuju Tegalredjo. Laskar-

laskar dadakan ini dipimpin oleh Demang, ulama, atau jagoan setempat.

Tujuan mereka satu, untuk merebut kembali kompleks Puri Tegalredjo,

yang oleh rakyat pribumi sudah dianggap sebagai kraton sesungguhnya.

Laskar-laskar dadakan ini mengepung wilayah Tegalredjo dari segala arah.

Kecuali sekitar jembatan Kali Winongo menuju Kraton dan Benteng

Vredeburg, di mana jalur satu-satunya keluar-masuk Kraton-Puro

Tegalredjo yang aman dijaga dengan kuat oleh pasukan gabungan

Belanda-Legiun Mangkunegaran.

Di berbagai akses jalan, laskar dadakan ini melakukan blokade hampir di

semua jalan utama. Mereka menebangi pohon-pohon besar dan sengaja

membiarkannya melintang di jalan raya, batu-batu besar digulingkan, dan

sebagian bahkan mulai menggali lubang-lubang dan selokan tepat di

tengah-tengah jalan. Letnan Satu Thierry dan Chevallier cemas. Thierry

kemudian memanggil sejumlah kurir yang dikumpulkannya di depan

tenda komando yang didirikan di utara alun-alun, dekat dengan bagian

depan pendopo yang hampir keseluruhan bangunannya sudah hancur.

―Kalian semua secepatnya ke kraton. Temui Residen Smissaert. Katakan

padanya jika sekarang juga memerlukan pasukan bantuan. Para

pemberontak berdatangan dari segala arah. Nasib kita semua di sini

bergantung pada kalian semua! Pergilah cepat!‖

―Laksanakan, Komandan!‖

Dengan naik kuda, mereka segera menuju jembatan Kali Winongo yang

sudah diamankan. Setelah dari jembatan itu, mereka menyebar menuju

Benteng Vredeburg dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baru saja para kurir itu pergi dengan kudanya, seorang opsir kembali

datang, ―Lapor komandan! Para pemberontak semakin mendekati utara

dan selatan kita!‖ ujarnya.

―Utara dan selatan? Seberapa banyak kekuatan mereka?‖

―Masing-masing sekira seratusan orang. Mereka dipimpin para Demang,

pendekar, dan pemimpin Islam, dengan senjata tajam.‖

Page 136: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 135

―Bagaimana dengan pasukan kita?‖

―Mereka siap di posnya masing-masing. Yang di utara, di sekitar Bener

dan Kricak, sudah diperkuat oleh limapuluh prajurit Legiun. Limapuluh

prajurit Legiun lagi sekarang sedang bergerak ke pos selatan, di sekitar

Ngemper dan Gampingan, untuk memperkuat kedudukan kita di sana.

Thierry memandang sejenak ke arah Chevallier yang sedang duduk di atas

meja sambil mendengarkan laporan opsir tersebut. Kemudian perwira

tersebut memerintahkan agar beberapa regu pasukan yang masih ada di

dalam kompleks puri segera diberangkatkan ke pos wilayah utara dan

selatan Tegalredjo untuk menghadapi ancaman yang tidak bisa diduga itu.

―Bagaimana dengan pos Barat dan Timur kita?‖

―Pos Barat dan Timur sudah kuat. Juga akses kita ke pusat lewat

jembatan Kali Winongo sudah kuat…‖

―Good, kita sudah meminta tambahan pasukan dari Yogyakarta. Mudah-

mudahan mereka segera tiba di sini. Untuk pengamanan di dalam puri

cukup satu peleton pasukan…‖

Setelah opsir itu berlalu dari hadapannya, Letnan Satu Thierry mendekati

Chevallier. Dengan berbisik dia berkata, ―Komandan, saya punya firasat

jika apa yang kita lakukan sore ini akan menjadi awal dari sebuah perang

besar. Pangeran Diponegoro bukan sekadar pangeran pemberontak. Tapi

dia sudah menjadi pemimpin, raja yang sesungguhnya, dari inlander. Para

inlander itu akan bersatu di belakangnya untuk melawan kita semua…‖

Chevallier terdiam. Kedua matanya menatap lurus ke arah Thierry yang

jauh lebih muda. Dengan penuh keingintahuan, Chevallier juga berbisik,

―Kamu yakin?‖

Letnan Satu Thierry mengangguk. Begitu yakin.

―Apa yang membuatmu yakin seperti itu, Letnan?‖ selidik Chevallier.

―Ini penilaian obyektifku saja sebagai seorang tentara. Pemimpin yang

dicintai rakyatnya adalah pemimpin sejati. Adalah sangat sulit

mengalahkan peperangan yang dipimpin langsung oleh pemimpin yang

seperti ini. Rakyat akan rela mati demi pemimpin seperti ini. Mereka tidak

lagi menganggapnya sebagai seorang manusia yang memiliki kekurangan,

Page 137: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 136

namun mereka akan menganggapnya sebagai Pemimpin Agama mereka

sendiri. Diponegoro sudah memenuhi semua syarat itu. Ini akan jadi

peperangan yang besar, Komandan. Sama seperti sepuluh tahun lalu

ketika Napoleon memimpin pasukan Prancis di Waterloo menghadapi

Duke Wellington…‖

Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Pernyataan Letnan Satu

Thierry mengingatkannya akan pertempuran besar yang pernah diikutinya

sepuluh tahun lalu di sisi seorang Napoleon Bonaparte.

―Kita sekarang melawan raja sesungguhnya dari para inlander. Suatu

ketika, sejarah bangsa ini akan menulis Pangeran Diponegoro dengan

tinta emas. Pemberontak itu akan dianggap sebagai pahlawan besar. Aku

yakin itu…,‖ ujar Thierry. Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dia juga punya pandangan yang sama dengan perwira yang lebih muda

darinya itu. []

Page 138: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 137

BAB 27

dara malam yang biasanya sangat sejuk kali ini dirasakan begitu

panas bagi Residen Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. Itu

dirasakannya setelah mendengar kegagalan misi yang diemban

Letnan Satu Thierry dan Chevallier dari seorang opsir yang baru saja tiba

di depan mejanya.

―Kerja begitu saja tidak becus! Buat apa membawa pasukan banyak

seperti itu, dengan meriam pula, kalau untuk menangkap dua pimpinan

pemberontak seperti itu saja tidak bisa!‖ semprotnya pada opsir itu.

Prajurit rendahan tersebut hanya mematung diam.

―Dan sekarang dia minta bantuan pada kita untuk menyelamatkan

dirinya! Gila apa! Apa seluruh Yogyakarta ini mau dikosongkan hanya

untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung di Tegalredjo! Buat

apa bertahan di situ kalau para pemimpin pemberontak itu kabur? Buat

apa bikin pos disitu dan bukannya mengejar sampai mereka tertangkap!‖

Opsir itu masih saja mematung dengan dagu tegak. Smissaert geleng-

geleng kepalanya. Wajahnya kemudian didongakkan ke atas sembari

menghembuskan nafas panjang-panjang.

―Thierry dan Chevallier itu bikin malu saja. Apa kata Mac Gillavry

nantinya kalau ternyata dia tahu? Mau disembunyikan kemana mukaku

ini, hah!‖

Smissaert rupanya benar-benar marah. Beberapa hari lalu, Mac Gillavry

memang menulis surat kepada dirinya yang isinya memperingatkan

tentang bahayanya Pangeran Diponegoro yang berhasil menghimpun

pasukan yang cukup kuat. Namun kala itu Smissaert malah

mentertawakannya dan mengacuhkannya. Ternyata faktanya berkata lain.

Diponegoro berhasil lolos dari kepungan pasukan gabungan Belanda dan

Legiun Mangkunegaran. Sebab itu, dia sungguh-sungguh malu kepada

Residen Surakarta tersebut.

―Opsir!‖

―Siap, Tuan!‖

U

Page 139: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 138

―Apa benar pasukan kita terjepit di sana dan perlu penambahan

pasukan?‖

Dengan dagu tetap terangkat ke atas, opsir tersebut menjawab tegas,

―Siap, Tuan. Saya hanya menyampaikan perintah dari Letnan Satu

Thierry.‖

Smissaert kembali mengangguk-angguk. Prajurit memang hanyalah pion,

yang hanya dilatih untuk mematuhi atau menyampaikan perintah, bukan

untuk berpikir. Yang berpikir mengatur strategi adalah para perwira. Tapi

dia benar-benar kesal. Kalau saja Thiery atau Chevallier yang datang saat

ini di depannya, pasti dia akan memarahi habis-habisan kedua orang itu.

Akhirnya setelah berpikir sebentar dia punya satu rencana bagus. Thierry

dan Chevallier memang harus diberi pelajaran, namun hal itu tidak akan

sampai mengorbankan profesionalitasnya sebagai panglima tertinggi

pasukan pemerintah seluruh wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.

―Opsir..!‖ ujarnya lagi.

―Siap, Tuan!‖

―Dengarkan baik-baik dan sampaikan pada komandanmu di Tegalredjo…‖

―Siap, Tuan!‖

―Saya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pemerintah di Ngayogyakarta

Hadiningrat memutuskan tidak akan memberi tambahan pasukan di

Tegalredjo dalam waktu cepat. Komandanmu itu harus bertahan dahulu

menghadapi para pemberontak di sana dengan sekuat tenaga. Dan tolong

sampaikan pada komandanmu itu, mereka harus menulis laporan yang

berisi alasan pentingnya bertahan di Puri Tegalredjo padahal target sudah

kabur. Mengapa mereka tidak ikut mengejar Diponegoro dan malah

mendirikan pos komando di Puri Tegalredjo. Itu saja. Cepat sampaikan

dengan utuh!‖

―Siap, Tuan! Saya akan sampaikan semuanya dengan utuh!‖

―Laksanakan!‖

―Siap, laksanakan!‖

Page 140: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 139

Setelah memberikan penghormatan secara militer, opsir itu segera berlalu

dari hadapan Smissaert dan langsung menggebrak kudanya kembali ke

Tegalredjo.

Setelah ruangannya sepi, Smissaert kemudian menulis surat yang secara

singkat meminta bantuan kepada Residen Surakarta, Magelang, dan juga

Semarang, untuk secepatnya mengirim pasukan bantuan ke Yogyakarta.

Khusus kepada Residen Magelang, Smissaert juga meminta pasokan dana

untuk membiayai operasi ini. Selesai menulis beberapa surat, dia segera

memanggil seorang kurir khusus yang sudah biasa ke Surakarta dan

dikenal Mac Gillavry dengan baik. Sutowijoyo namanya.

―Selamat malam, Tuan,‖ sapa Sutowijoyo begitu masuk ke dalam ruangan

kepatihan. Dia kemudian berdiri saja di depan Smissaert.

―Ya, malam. Kowe sekarang juga pergi ke Surakarta dan temui Residen

Mac Gillavry di sana. Sampaikan salamku dan juga surat ini. Sedangkan

surat-surat yang lain nanti kowe sampaikan pada kurir yang lain sesuai

dengan tujuannya. Berhati-hatilah di jalan. Para pemberontak sudah

berada di mana-mana…‖

―Siap, Tuan. Laksanakan!‖

Sutowijoyo segera menerima surat-surat tersebut kemudian langsung

bergegas menuju kudanya.

Di dalam kamar kerjanya, Smissaert terkekeh sendirian. Dia puas sudah

mengerjai Thierry dan Chevallier. Wajah mereka berdua pasti akan terlihat

lucu ketika menerima laporan dari kurirnya jika dirinya menolak memberi

pasukan tambahan ke Tegalredjo… []

Page 141: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 140

BAB 28

esiden Surakarta, Hendrik Mauritz Mac Gillavry berdiri

memandangi langit malam dari jendela gedung karesidenan yang

lebar. Malam di pertengahan Juli benar-benar pekat. Nun jauh di

atas langit, ribuan titik kecil berwarna putih dan kuning bercahaya bagai

tebaran mutiara yang menggantung di awan yang gelap. Di bawahnya,

dari tempatnya berdiri, puluhan kunang-kunang beterbangan ke sana-

kemari dengan lincah di antara pucuk-pucuk ilalang, pohon, dan semak.

Walau mencoba untuk bersikap tenang, namun kedua mata Mac Gillavry

yang dilindungi tulang pipi yang kuat tidak bisa menyembunyikan

kegusaran di dalam hatinya. Mac Gillavry sekarang benar-benar kesal

dengan Anthonie Hendriks Smissaert yang menurutnya tidak becus

bekerja di wilayah sepenting Yogyakarta.

Dari tempatnya yang berada di sebelah Lor Wetan53 wilayah Karesidenan

Yogyakarta, Mac Gillavry terus mengikuti perkembangan demi

perkembangan operasi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dan

sejumlah pangeran pemberontak lainnya yang gagal di Tegalredjo.

Secara pribadi, Mac Gillavry tidak menyalahkan komandan di lapangan

terkait kegagalan operasi itu. Yang salah tetap komandan tertinggi di

Karesidenan Yogya, yakni Smissaert. Sudah sejak awal dia telah

memperingatkan, berkali-kali dia kirim surat yang melaporkan

perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro dari hari ke hari-sesuatu

yang sesungguhnya bukan kewajibannya-kepada Smissaert, tetapi

Residen Yogya ini malah mengabaikannya. Dan ketika perang sudah

pecah seperti malam ini, di mana banyak rakyat pribumi membentuk

satuan-satuan laskar tersendiri dan berperang di belakang Diponegoro,

maka keadaan menjadi sulit untuk dikendalikan dan diprediksi.

Dan semua ini membuat posisi Mac Gillavry serba salah. Mau tidak mau

dia harus memenuhi permintaan dari Smissaert untuk mengirimkan

pasukan tambahan ke Yogyakarta. Permintaan yang sama yang ditujukan

bagi Mangkunegara II dengan Legiun Mangkunegarannya.

53

(Bahasa Jawa): Timur Laut

R

Page 142: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 141

Kebetulan, malam ini baru saja tiba Letnan-Kolonel Genie54 Cochius dari

Markas Komando Semarang, yang berencana akan menginspeksi pasukan

besok pagi. Sebentar lagi, bawahan dari Kolonel Von Jett ini akan datang

di ruangannya untuk membahas strategi pertahanan Yogyakarta.

Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kakinya di atas

lantai marmer yang dingin di malam yang sunyi itu. Setelah saling

memberikan hormat secara militer dan bersalaman, Cochius dan Mac

Gillavry membentangkan sebuah peta Karesidenan Yogyakarta dan

sekitarnya di atas meja bundar, tempat di mana biasanya dilangsungkan

rapat antar pejabat karesidenan.

Sambil menunjukkan jarinya di satu titik merah di atas peta, Gillavry

berkata, ―Ini Tegalredjo. Semula Diponegoro dan yang lainnya tinggal dan

bermarkas di sini. Tadi sore Chevallier dan Letnan Satu Thierry

menyerang kedudukan mereka dari segala arah, terutama selatan, timur,

dan utara. Pasukan dari arah barat sendiri rupanya terhambat blokade

jalan dan banyak jebakan di sana sehingga Diponegoro dan yang lainnya

berhasil meloloskan diri ke arah barat ini.‖

―Kemana kira-kira perginya mereka?‖

Mac Gillavry mengangkat kedua bahunya. ―Entahlah. Mereka mungkin

sudah mempersiapkan segalanya, termasuk jalur pelarian. Yang jadi

masalah, sepeninggal Diponegoro dari Puri Tegalredjo sore tadi, sepanjang

malam ini timbul pemberontakan di mana-mana. Pasukan kita cukup

kewalahan sekarang. Bukan tidak mungkin, pemberontakan akan

merembet ke Surakarta ini…‖

―Ya, ya itu benar. Saya juga mendengar kabar jika pasukan Kiai Modjo

juga telah bergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Entah, mereka

sudah bertemu atau belum…‖

Mac Gillavry tidak begitu kaget dengan kabar yang dikatakan Cochius. Dia

tahu, Kiai Modjo dan banyak guru agama di wilayahnya memang sangat

dekat dengan Diponegoro sejak lama. Bahkan ada juga di antara mereka

yang mengikatkan diri dalam tali kekeluargaan dengan mengawinkan satu

anak dengan yang lainnya.

54 Insinyur kemiliteran, atau Korps Zeni.

Page 143: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 142

―Agama Islam telah menyatukan mereka semua. Inilah yang

sesungguhnya sangat berbahaya. Kita akan sulit untuk menundukkan

para pemberontak yang disatukan oleh agama ini. Sejarah telah memberi

kita banyak pelajaran tentang hal itu, sejak masa-masa awal penyebaran

agama ini di Arab hingga masa Perang Salib di Yerusalem…‖

Cochius mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia benar-

benar kagum dengan residen yang satu ini yang mempunyai wawasan

kesejarahan yang cukup baik. Berbeda sekali dengan Smissaert. Cochius

kemudian menoleh kepada Gillavry dan bertanya mengenai apa yang

sudah dilakukan Smissaert dalam menghadapi Diponegoro, ―Tuan

Residen, apa yang kemudian diperbuat oleh Karesidenan Yogya untuk

menghadapi hal ini?‖

Mac Gillavry tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. ―Tidak ada!

Nyaris tidak ada! Sejak awal aku sudah peringatkan mereka akan

bahayanya Diponegoro ini, tetapi mereka tidak perduli. Sekarang setelah

semuanya terjadi, dengan enaknya mereka meminta bantuan pasukan

kepada kita. Mau tidak mau, kita pasti akan membantu mereka. Segala

sesuatu yang terjadi di Yogya, sudah pasti akan dirasakan juga disini!‖

―Lantas jika demikian, apa yang sekarang Tuan Residen buat?‖

―Apa yang aku perbuat?‖

―Ya. Yang pertama sudah pasti Tuan akan berusaha keras mencegah

pemberontakan akan merembet di wilayah ini. Benar bukan?‖

Residen Surakarta itu mengamini pandangan Cochius, ―Ya. Itu sudah

pasti…‖

―Dan yang kedua?‖

―Bagaimana menurutmu sendiri, Letkol?‖ Gillavry balik bertanya.

―Memadamkan pemberontakan terhadap pemerintah adalah tugas kita

semua. Di mana pun itu terjadi. Apalagi yang berada dekat dengan

wilayah kita sendiri. Bukankah demikian, Tuan Residen?‖

―Itu benar. Kita memang harus ikut memadamkan pemberontakan dengan

menangkap pimpinan pemberontakan itu.‖

Page 144: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 143

―Bagaimana dengan permintaan penambahan pasukan ke Yogyakarta?‖

―Besok pagi engkau akan menginspeksi pasukan kita disini. Kita akan

memberangkatkan sejumlah pasukan ke Yogya besok pagi itu. Kita

hubungi juga Legiun untuk ikut berangkat ke Yogyakarta bersama-sama

kita.‖

―Legiun sudah siap. Mereka akan berangkat besok pagi menambah jumlah

pasukan mereka di Yogya. Jika tidak ada halangan, Ritmeester55 Raden

Mas Suwongso sendiri yang akan memimpin Legiun. Mereka ini akan

memperkuat pertahanan di sekeliling kraton…‖

―Baguslah jika begitu. Bagaimana dengan kabar dari Semarang sendiri?‖

―Kolonel Von Jett sudah menyanggupi untuk mengirim satu kompi

infanteri ditambah artileri sebanyak duaratusan prajurit infanteri dan

kavaleri yang akan dipimpin Kapten Kumsius. Mereka akan lewat

Magelang karena Residen Magelang akan menitipkan dana tambahan

untuk pertahanan Yogyakarta seperti yang Residen Smissaert minta.‖

―Apakah Kolonel Von Jett sendiri akan langsung memimpin pasukannya?‖

―Sepertinya begitu. Tapi sampai sekarang belum ada informasi yang valid

tentang itu…‖

―Menurut penilaianmu pribadi?‖

―Besar kemungkinan dia akan terjun langsung. Dia seorang pimpinan

yang tidak betah berada di belakang meja…‖

Gillavry tertawa, ―Beruntung kau punya pimpinan seperti dia…‖

―Ya. Dan Tuan Residen juga beruntung memiliki sekutu kuat yang sangat

setia pada kerajaan kita di sini…‖

―Oh ya? Siapa yang Anda maksud, Letkol?‖

―Siapa lagi jika bukan Susuhunan Mangkunegara II, si Raja Tua itu…‖

55

Pangkat setara Kapten.

Page 145: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 144

Mac Gillavry tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, ―Ya, kau benar,

Letkol. Raja itu sangat setia pada kita. Dia patut mendapatkan medali

kehormatan atas kesetiaannya selama ini. Kesetiaan yang tanpa cela…‖

Malam bertambah larut. Letnan Kolonel Genie Cochius dan Residen Mac

Gillavry terus membahas strategi yang bisa dilakukan untuk

mengantisipasi perkembangan terakhir. Mereka terus berbincang sampai

dini hari. Pukul tiga pagi mereka baru masuk ke dalam kamarnya masing-

masing untuk beristirahat. Keduanya percaya, esok hari adalah hari yang

amat melelahkan…

Tak jauh di perbatasan antara Karesidenan Surakarta dengan Yogyakarta,

di sejumlah tempat masih terjadi pertempuran dalam skala kecil antara

laskar-laskar dadakan melawan prajurit Belanda dan juga Legiun. Pos-pos

penjagaan jalan dan juga pos intai diserang. Korban terus berjatuhan di

kedua belah pihak. Sesekali masih terdengar suara tembakan bersahut-

sahutan. Malam yang biasanya sunyi, kali ini begitu meriah. Sebuah awal

bagi perang besar… []

Page 146: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 145

BAB 29

eran perempuan di nusantara ternyata sudah jauh ada sebelum

Raden Ayu Kartini lahir. Dua abad sebelum era Kartini, di Aceh

Darussalam terdapat Sri Sultanah Ratu Safiatudin Tajul ‗Alam. Ratu

ini selain sangat cerdas-menguasai sekurangnya tujuh bahasa asing,

pelahap karya sastra dan sejarah, dan diplomat ulung, juga seorang yang

perempuan shalihah yang begitu taat memegang ajarannya. Salah satunya

adalah catatan yang mengisahkan dia selalu menerima semua tamu

negara yang bukan muhrim dari balik hijab sutera berhiaskan emas

permata. Semua itu ditambah dengan ‗kegagahannya‘ memimpin satu

pasukan khusus perempuan pengawal istana yang ikut maju bertempur

dengan gagah berani dalam Perang Malaka di tahun 1639.

Di Tanah Jawa, puluhan tahun sebelum Kartini lahir, seorang Ratu

Ageng-permaisuri Sultan Hamengku Buwono I-juga menyamai kualitas

seorang Sultanah Safiatudin. Hal itu diwariskan kepada Raden Ayu

Retnaningsih, isteri dari Pangeran Diponegoro, yang tidak saja cantik,

cerdas, dan sholihah, namun juga mampu memimpin pasukan khusus

perempuan sebagaimana Bregada Langen Kesuma, yang turut berperang

di sisi Diponegoro dengan gagah berani melawan kafir Belanda dan antek-

anteknya.

Setelah siuman dari pingsannya, dengan masih merasakan lemas di

sekujur badan, Raden Ayu Retnaningsih sudah mengendarai kuda

sendirian. Perjalanan dari Tegalredjo ke Dekso yang sudah masuk ke

dalam wilayah Kulon Progo56 sebenarnya bukan perjalanan yang sulit dan

melelahkan. Namun disebabkan mereka mengambil jalur agak melambung

ke utara, dan tidak melalui jalan raya, melainkan melalui jalan kecil

bahkan harus menerabas hutan dan pinggiran sawah, maka mereka baru

tiba di desa kecil tersebut lewat tengah malam.

Sesekali dari atas kudanya, Pangeran Diponegoro mendekati isterinya

tersebut dan menanyakan apakah Retnaningsih sudah lelah dan

menawarkan istirahat. Namun dengan tegar dan tersenyum, perempuan

56 Kulon Progo berarti ―Sebelah barat Kali Progo‖

P

Page 147: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 146

itu selalu menggelengkan kepalanya dan bersikeras agar perjalanan

dilanjutkan saja hingga tiba di desa tujuan.

Menurut rencana yang disusun bersama dengan Ki Guntur Wisesa, jika

Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan maka semua anak-anak kecil,

para emban, dan siapa pun yang bukan atau belum bisa menjadi

kombatan, akan dititipkan di Dekso. Setelah itu, Pangeran Diponegoro,

Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya

akan melanjutkan perjalanan ke wilayah Gua Selarong yang sudah lama

ditetapkan sebagai basis perjuangan melawan kafir Belanda.

Perpisahan yang terjadi antara Raden Ayu Retnaningsih dan anak-

anaknya yang masih kecil di Dekso sungguh-sungguh mengharukan.

Sambil mengumpulkan semua anaknya di dalam rengkuhan pelukannya,

dengan penuh perasaan cinta Retnaningsih berkata,

―Anak-anakku, ibu atau bapakmu cepat atau lambat pasti akan

meninggalkanmu semua. Namun Allahsubhana wa ta‟ala tidak akan

pernah meninggalkanmu. Gusti Allah akan selalu menjagamu. Sebab itu,

janganlah sekali-kali melupakan atau meninggalkan Gusti Allah. Hanya

Gusti Allah sebaik-baik pelindung dan tempat mengadu. Ibu dan bapakmu

akan terus berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan kalian dan

semua saudara-saudara seiman. Doakanlah kami. Dan kami pun akan

selalu mendoakan kalian. Jika kalian selalu bersama Allah, maka kalian

juga akan selalu bersama ibu dan bapakmu ini. Yakinlah, kita akan segera

bertemu dan berkumpul kembali. Allah Maha Kuasa. Gusti Allah Maha

Kuat…‖

Walau berusaha tetap tegar, namun Retnaningsih tidak mampu

membendung airmata haru yang akhirnya mengalir keluar dari kedua

sudut matanya. Dipeluknya anak-anak itu satu-persatu dengan hangat.

Tidak ada yang tahu, apakah ini pertemuan terakhir atau bukan. Namun

semua berharap, agar mereka bisa kembali bertemu dalam satu keluarga

yang utuh.

Setelah Raden Ayu Retnaningsih memeluk anak-anaknya, giliran

Pangeran Diponegoro yang mencium dan melepas semua anak-anaknya,

juga dengan peluk dan cium.

―Anak-anaku sayang, yakinlah dengan keyakinan yang sebenar-benarnya.

Allah akan selalu bersamamu. Jika suatu hari kalian melihat cahaya yang

Page 148: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 147

indah, kapan pun itu, itu adalah aku. Tumbuh besarlah dan menjadi

kuatlah. Pegang agama kita sekuat-kuatnya, gigitlah dengan sekeras-

kerasnya, hingga nafas terakhir…Jika kalian selalu bersama Allah, aku

dan ibumu ada di sana…‖

Semua yang hadir malam itu berlinang airmata. Sebuah perpisahan yang

amat sangat mengharukan.

Di Dekso, mereka semua tidak berlama-lama. Malam itu juga mereka

melanjutkan perjalanan, kali ini terus ke arah selatan, menuju Gua

Selarong. Beberapa lelaki dewasa yang ada di Dekso mengikuti rombongan

dengan membawa senjatanya masing-masing dan bersumpah sehidup

semati bersama Pangeran Diponegoro. Di setiap kampung dan dusun yang

dilewati, jumlah rombongan selalu bertambah. Lebih dari setengah lelaki

yang sudah mampu berperang, memilih ikut bersama Pangeran

Diponegoro. Dari yang semula hanya berjumlah puluhan, semakin

mendekati Selarong, rombongan mereka sudah mencapai ratusan hingga

membentuk satu pasukan besar.

Rombongan besar ini mencapai Selarong disambut dengan gema adzan

subuh dan kokok ayam jantan. Ratusan laskar yang sudah berada di

Selarong menyambut rombongan itu dengan gegap gempita dan takbir.

Kedua mata Pangeran Diponegoro kembali basah karena terharu. Dia

teringat satu episode sejarah Rasul Muhammad SAW ketika hijrah

menghindari kezaliman kaum musyrik Quraisy, dari Makkah menuju

Madinah. Saat menginjak perbatasan kota Madinah, penduduk asli

Madinah yang dikenal sebagai Kaum Anshor menyambut rombongan

Rasulullah dengan takbir dan lagu-lagu perjuangan. Diponegoro

tersenyum. Mereka adalah kaum Muhajirin sekarang dan laskar serta

penduduk Selarong adalah kaum Anshor-nya.

Sejarah memang selalu berulang, dalam bentuk dan pola yang sama. Yang

berganti hanyalah nama-nama… []

Page 149: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 148

BAB 30

anuredjo sepanjang malam tidak berada di ruangan kerjanya di

kraton. Secara khusus Residen Smissaert menyuruhnya untuk

membuat selebaran dan memperbanyaknya.

―Patih, kowe cepat bikin pamflet. Umumkan jika Diponegoro itu penjahat

yang berbahaya. Siapa pun yang mengikutinya maka mereka akan kita

anggap juga sebagai pemberontak dan akan kita hukum seberat-beratnya.

Besok pagi pamflet-pamflet itu harus sudah tertempel di banyak tempat

strategis di seluruh karesidenan ini!‖ ujar Smissaert.

Patih Danuredjo tidak bisa membantah. Sebab itu, ketika Letnan Satu

Thierry dan Chevallier berangkat memimpin pasukan yang cukup besar ke

Tegalredjo, Patih Danuredjo malah sibuk menulis dan menyusun kata

demi kata untuk selebarannya di ruangan percetakan di dalam kraton.

Menulis kata demi kata untuk memfitnah seseorang adalah salah satu

keahlian Patih Danuredjo yang jarang dimiliki orang lain. Danuredjo tahu

jika sebuah peperangan bukan hanya mengandalkan pertempuran dengan

senjata yang mematikan di lapangan, tetapi juga mengandalkan banyak

pertempuran di palagan lain yang tidak menggunakan senjata api atau

senjata tajam. Salah satunya adalah pertempuran di lapangan media atau

propaganda.

Pertempuran di bidang propaganda bertujuan untuk memenangkan opini

masyarakat, meraih dukungan dan simpati yang luas, sekaligus

menghancurkan karakter musuh sehancur-hancurnya, sehingga musuh

tidak mendapatkan dukungan rakyat, dan akan jauh lebih baik jika

musuh bisa dijadikan common-enemy atau musuh bersama yang harus

diperangi. Dengan propaganda yang hebat, orang baik bisa dijadikan

orang jahat, juga sebaliknya.

Patih Danuredjo sungguh-sungguh paham akan hal ini. Patih Danuredjo,

yang diam-diam mengidolakan Machiavelli dengan Il Principe-nya57, telah

belajar banyak dari filsuf Italia kelahiran abad ke-15 Masehi ini tentang

57

http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli

D

Page 150: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 149

bagaimana cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan

segala tatktik dan strategi. Tujuan menghalalkan kekuasaan, itulah

Machiavelisme.

Untuk membuat sebuah selebaran, bukan perkara yang sulit bagi

Danuredjo. Sebuah pamflet yang efektif dan tepat sasaran, harus

memenuhi beberapa persyaratan, antara lain ditulis dengan bahasa yang

mudah dipahami semua orang, ringkas, to the point, menggunakan

tulisan yang jelas dan mudah terbaca, kertas dan tinta dengan warna yang

mencolok sehingga menjadi pusat perhatian orang banyak, dan

sebagainya.

Kepada juru tulis kraton, Patih Danuredjo memerintahkan untuk menulis

kata demi kata sesuai dengan perintahnya, ―Coba kau tulis semua yang

akan kukatakan ini.‖

―Inggih, Kanjeng Patih…‖

―Pengumuman…,‖ ujar Danuredjo memulai kalimatnya. Juru tulis kraton

itu mulai menuliskan satu persatu kata yang keluar dari bibir Danuredjo.

Tak sampai limabelas menit, konsep pamflet selesai. Danuredjo

membacanya kembali untuk memeriksa segala sesuatunya. Kepalanya

kemudian mengangguk-angguk.

―Bagus, wis bagus. Ya ini saja kamu cetak dan perbanyak. Malam ini juga

kamu sebar. Tempelkan di tempat-tempat strategis di seluruh wilayah

Yogyakarta. Besok aku ingin lihat, di semua tempat yang strategis, di

persimpangan jalan, depan semua toko, depan stasiun, pos penjagaan,

jembatan, tiang-tiang dan pohon, di depan masjid dan gereja, di semua

tempat, pamflet ini sudah harus tertempel…‖

―Inggih, Kanjeng Patih Dalem…‖

―Dan satu lagi… Siapa pun yang terlihat merusak atau mencabut pamflet

ini, tangkap saja. Mereka pastilah bagian dari pemberontak itu…‖

Setelah memberikan perintah itu, Patih Danuredjo segera keluar dari

ruang percetakan dengan membawa satu salinan konsep pamflet tersebut

yang akan diperlihatkannya kepada Smissaert. Dia bergegas menuju

ruang kepatihan di mana Residen Smissaert masih ada di sana.

Page 151: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 150

Patih Danuredjo benar-benar menyukai tugas yang satu ini.

Menghancurkan karakter orang lain lewat sebuah pamfler atau selebaran

efeknya bisa jauh lebih parah ketimbang daya hancur sebuah peluru

meriam. Dan hal ini sah-sah saja di dalam perang, bahkan bisa

dipergunakan di masa-masa damai pula untuk menghancurkan karakter

orang yang tidak disukai.

Pihak yang anti pemerintah juga suka menggunakan selebaran untuk

menyerang kekuasaan. Danuredjo ingat, salah satu kasus mengenai

selebaran yang pernah sangat dikenalnya adalah yang terjadi di masa

kekuasaan Pakubuwono III58. Hanya saja, selebaran di masa itu malah

dibuat oleh seorang yang berseberangan dengan pemerintah.

Alkisah, sebuah pamflet gelap ditemukan menempel di tempat

penyimpanan gamelan kramat milik keraton. Isinya, ringkas dan padat:

―Haruskah orang-orang Eropa itu dianggap lebih kuat daripada Allah?‖

Ketika selebaran itu sampai ke telinga Pakubuwono III, raja yang sangat

setia terhadap penguasa kolonial Belanda tersebut langsung marah. Dia

segera memerintahkan supaya dicari orang yang dianggap

bertanggungjawab atas selebaran tersebut. Tidak ada petunjuk apa pun

selain sebuah coretan kecil di bagian bawah selebaran bertuliskan:

Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.

Setelah mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Belanda,

Pakubuwono III kemudian memerintahkan agar Kiai Alim Demak, seorang

ulama yang hanif dan berada di luar struktur kekuasaan, ditangkap dan

dipenjarakan. Kiai yang buta huruf latin itu langsung dianggap bersalah.

Hukuman berat menantinya.

Tanpa pengadilan, orangtua itu dijatuhi hukuman mati dengan cara yang

sangat mengerikan. Di hadapan rakyat biasa yang diperintahkan untuk

menonton, di tengah alun-alun, Kiai Alim Demak digantung terbalik di

sebuah tiang dengan kaki di atas. Dengan perlahan kulit kepalanya

dikelupas selapis demi selapis. Lalu tepat di bawah wajahnya, pamflet

yang menjadi sebab-musabab itu dibakar.

58 Sri Susuhunan Pakubuwana III lahir di Kartasura tahun 1732 dan wafat

tahun 1788 adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Dia merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.

Page 152: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 151

Malam sudah semakin larut. Namun di dalam kraton sejumlah senopati,

pasukan telik sandi, beberapa prajurit kepala, dan kurir tampak masih

hilir-mudik dengan wajah tegang. Perkembangan di Tegalredjo sangatlah

mencemaskan. Dari sejumlah laporan, gabungan pasukan Belanda dan

Legiun yang dipimpin Letnan Satu Thierry dan Chevallier yang sore tadi

merebut Tegalredjo, malam ini malah terkepung oleh laskar pendukung

Pangeran Diponegoro. Walau laskar-laskar tersebut hanya bersenjatakan

alat-alat sederhana, seperti keris, pedang, tombak atau bambu runcing,

dan lainnya, namun semangat yang mereka miliki sungguh mengerikan.

Jika pasukan Belanda dan Legiun berperang untuk menyelamatkan diri,

maka para pendukung Pangeran Diponegoro itu pergi berperang untuk

mencari mati.

Patih Danuredjo tahu betul jika seruan jihad Diponegoro-lah yang

menyebabkan itu semua. Sebab itulah di dalam selebarannya, Danuredjo

berusaha keras jika yang digelorakan Diponegoro bukanlah jihad, namun

teror dan ajakan setan.

Sambil terus bergegas menuju ruangannya, Patih Dalem Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat itu bergumam, ―Orang-orang harus percaya

kalau dia itu mengangkat senjata hanya karena sakit hati tidak terpilih

menjadi Sultan. Islam hanya dijadikan kambing hitam untuk mengobati

kekecewaan hatinya. []

Page 153: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 152

BAB 31

arak dari Tegalredjo ke Dekso yang sudah masuk ke wilayah Kulon

Progo59 memang tidak begitu jauh. Namun juga tidak bisa dibilang

dekat. Apalagi rombongan Pangeran Diponegoro selalu menghindari

jalan besar. Rombongan ini selalu memilih lewat jalan-jalan kecil, jalan

setapak, bahkan harus menembus rapatnya belukar hutan, pematang

sawah, pinggir kali dan jurang, dan yang lainnya hanya dengan

mengandalkan cahaya bulan. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan

keberadaan mereka dari intaian mata-mata Belanda dan Danuredjo.

Sebab itu, setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, sholat, dan

juga makan, rombongan ini baru tiba di Dekso menjelang tengah malam.

Setelah melepas anak-anak, para emban, dan beberapa lainnya yang

bukan kombatan, rombongan kembali berjalan menerabas hutan menuju

selatan. Sesuai dengan arahan Mangkubumi dan Susuhunan

Pakubuwono VI, mereka akan menuju wilayah Gua Selarong yang sangat

strategis.

Perjalanan dari Dekso ke Selarong juga tidak mudah. Mereka harus

menyeberangi Kali Progo yang di musim panas seperti bulan Juli ini airnya

surut sehingga bisa dilalui, walau tetap harus berhati-hati karena

bebatuannya licin dan banyak ular. Mereka juga harus menyeberangi

beberapa kali kecil seperti Kali Konteng dan lainnya.

Mendekati Gua Selarong yang berada di wilayah Bantul, hari sudah

menjelang pagi walau matahari belum menampakkan wajahnya. Beberapa

dari anggota rombongan tampak kelelahan dan mengantuk, bahkan ada

yang sampai tertidur di atas kudanya, namun tidak demikian dengan

Pangeran Diponegoro, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan

para sesepuh lainnya. Mereka sudah terbiasa di dalam hidupnya

menyedikitkan tidur dan memperbanyak sholat sunnah, zikir, dan ibadah

lainnya.

59 Progo adalah nama sebuah sungai besar di sebelah barat Yogyakarta yang

berhulu di Puncak Gunung Merapi di utara Yogya dan bermuara di Pantai Selatan. Kulon Progo berarti ―sebelah barat Kali Progo‖.

J

Page 154: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 153

Adzan subuh bergema tepat ketika mereka memasuki batas Desa Selarong

di mana Ki Guntur Wisesa dan banyak laskarnya sudah menunggu di

kedua sisi jalan.

―Ahlan wa sahlan, Kanjeng Pangeran!‖ sambut Ki Guntur Wisesa ketika

menyambut kedatangan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Kedua

pasukan bertemu dan saling berangkulan. Beberapa di antara mereka

sampai menetaskan airmata haru. Persaudaraan di dalam Islam memang

sedemikian indah. Walau banyak yang tidak saling mengenal,

namun ukhuwah Islamiyah yang tlah tertanam di dalam dada mereka

membuat semuanya merasa sebagai satu bangunan yang kokoh, yang

saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

―Kanjeng Pangeran, subuh telah tiba. Mari kita ke masjid terlebih dahulu,‖

ajak Ki Guntur Wisesa yang segera membawa pasukan besar itu ke

sebuah masjid sederhana yang tidak begitu jauh dari gerbang desa. Walau

masjid kecil, tapi halaman rumputnya luas sehingga sebagian pasukan

bisa turut mengikuti sholat subuh berjamaah di halaman tersebut.

―Kanjeng Pangeran dan yang lainnya silakan sholat terlebih dahulu. Kami

akan berjaga-jaga di sini bergantian,‖ ujar Ki Guntur.

Setelah menunaikan sholat, semuanya berjalan beriringan menuju Gua

Selarong yang berada di ketinggian bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon

besar. Para senopati dan ulama pendekar sendiri berkumpul untuk

melakukan musyawarah mengenai pelaksanaan strategi pertahanan dan

penyerangan melawan pasukan kafir Belanda dan para murtadin lainnya

yang menjadi kaki tangan penjajah. []

Page 155: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 154

BAB 32

rang-orang kampung berlarian menyambut datangnya barisan

panjang laskar Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka, tua dan

muda, berteriak-teriak kegirangan.

―Kanjeng Pangeran Diponegoro datang! Kanjeng Pangeran Diponegoro

datang!‖

Pagi-pagi buta itu, di mana hawa masih terasa dingin mengigit tulang,

kaum perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua, bergegas keluar dari

rumahnya dan berdiri di pinggir jalan. Takbir berulang-ulang diteriakkan

memenuhi langit. Dari atas Kiai Gentayu, kuda hitam dengan ‗kaus kaki‘

putih di keempat kakinya, Pangeran Diponegoro dengan mengenakan

jubah dan sorban serba putih terus menebar senyum dan membalas

takbir dengan tak kalah semangat. Pangeran Bei dan Mangkubumi,

disertai Senopati Ki Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan Ki Singalodra,

berkuda di sekeliling Diponegoro.

Di bagian belakang rombongan, tak kurang sekira limaratus meter dari

keberadaan Pangeran Diponegoro di depan, terlihat di kejauhan satu

pasukan besar dipimpin dua lelaki yang mengenakan jubah dan sorban

putih, sebagaimana Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi pakai.

Pasukan besar itu mengibarkan satu panji berwarna hitam.

―Siapa mereka?‖ ujar Abdullah pelan. Lelaki yang menjabat sebagai kepala

regu yang bertugas mengamankan bagian paling belakang barisan

Diponegoro, bersama sepuluh anak buahnya, langsung berbalik arah dan

menunggu mereka. Sedangkan pasukan yang lain melanjutkan perjalanan

ke Gua Selarong dengan perlahan.

Abdullah menghela kudanya perlahan, diikuti anak buahnya. Mereka

berjalan berlawanan arah dengan rombongan Diponegoro untuk

menyambut kedatangan pasukan besar yang masih terlihat di kejauhan

sedang memasuki gerbang desa dengan sikap waspada. Ketika jarak di

antara mereka sudah sekira seratusan meter, Abdullah menarik nafas

lega. Dari jauh dia sudah mengenali dua lelaki berjubah dan bersorban di

depan pasukan besar.

O

Page 156: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 155

―Kanjeng Kiai Modjo dan Kiai Ghazali…,‖ desisnya gembira.

Kiai Ghazali adalah anak dari Kiai Modjo. Mereka berdua telah menyusul

Diponegoro ke Selarong membawa serta pasukan Boelkiyo, pasukan

khusus yang mendapat gemblengan dari Kiai Modjo dan ulama pendekar

lainnya di Surakarta.

―Topo, cepat kau lapor pada Kanjeng Pangeran bahwa Kiai Modjo dan

pasukannya sudah menyusul kita di Selarong!‖ ujar Abdullah.

Sutopo, salah seorang laskar dari Sambiredjo segera memacu kudanya

melewati rombongan pasukan dari samping jalan menuju ke bagian depan

di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada.

Sedangkan Abdullah dan beberapa anak buahnya tetap menunggu laskar

Kiai Modjo yang menurut kabar memang sudah berangkat dari Surakarta

kemarin siang, sebelum terjadi penyerangan Belanda ke Tegalredjo.

Pasukan besar itu kian dekat. Abdullah benar. Panji hitam yang dilihatnya

sekarang sudah menampakkan tulisan syahadatain di bagian tengahnya

yang dibuat dari sulaman benang emas sehingga tulisan arab itu

bercahaya ditimpa sinar mentari pagi yang baru saja muncul di ufuk

timur. Sosok Kiai Modjo dan Kiai Ghazali pun sudah tampak jelas. Dia

segera menyongsong ke depan.

―Assalamu‟alaikum warahmatullah wabarakatuh! Ahlan wa sahlan Kiai!‖

ujar Abdullah lantang seraya menggebrak kudanya mendekati Kiai Modjo

dan Kiai Ghazali.

Kiai Modjo tersenyum. Ulama besar dari daerah Modjo di Surakarta itu

membalas salam dari Abdullah. []

―Sebentar lagi Kanjeng Pangeran Diponegoro akan menemui Kanjeng

Kiai..‖

Belum kering bibir Abdullah mengucapkan kalimat itu, dari arah belakang

terdengar derap kaki kuda yang kian lama kian jelas. Pangeran

Diponegoro, disertai Mangkubumi, Ki Singalodra, dan Ustadz Taftayani

terlihat memacu kudanya ikut menyambut Kiai Modjo. Dari atas kudanya,

mereka semua bersalaman dan berpelukan. Kedua pasukan besar itu pun

bergabung menjadi satu. Pangeran Diponegoro mengajak Kiai Modjo dan

Page 157: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 156

Kiai Ghazali ke bagian depan. Mereka kemudian segera memacu kudanya

menuju pelataran yang terletak di bagian bawah Gua Selarong.

Ki Guntur Wisesa yang berada di depan barisan memanggil sejumlah

kepala regu. Kepada mereka semua, Senopati yang bertanggungjawab atas

wilayah Selarong ini memerintahkan agar mereka semua mengatur

pasukannya masing-masing, untuk mengisi pos-pos pertahanan yang

sudah dipersiapkan.

―Tempati posisi kalian semua. Isi posnya masing-masing. Bersiagalah,

jangan lengah!‖ teriaknya.

Para kepala regu segera membubarkan diri kembali ke regunya masing-

masing.

Setibanya di pelataran depan anak tangga menuju ke Gua Selarong,

Pangeran Diponegoro dan lainnya turun dari kudanya. Diponegoro

bersama para sesepuh lainnya menaiki tangga yang dibuat dari susunan

bebatuan menuju ke gua yang berada di bagian atas. Isteri dari Pangeran

Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih beserta puluhan Laskar Puteri,

menunggu di bawah membiarkan kaum laki-laki naik ke atas terlebih

dahulu. Setelah para sesepuh naik semua, barulah mereka menaiki

tangga menuju gua yang satunya lagi.

Gua Selarong seakan memang diciptakan berpasangan. Satu di sebelah

barat dan satu lagi di timur. Yang di sebelah barat di sebut Gua Kakung

karena dipakai sebagai pusat komando pasukan laki-laki, sedangkan yang

di timur disebut Gua Puteri yang akan dihuni oleh Raden Ayu

Retnaningsih beserta pasukannya.

Pagi yang sama jauh di utara Selarong, tepatnya di Semarang,Residen

Semarang dan Kolonel Von Jett tengah melakukan persiapan untuk

menginspeksi duaratusan pasukan artileri dan infanteri di bawah

pimpinan Kapten Kumsius yang akan segera berangkat ke Yogyakarta

siang atau sore harinya. Menurut rencana, pasukan ini akan transit

terlebih dulu ke Magelang untuk mengambil uang titipan dari residennya

sesuai dengan permintaan Residen Yogyakarta, A.H. Smissaert.

Kabar tentang pemberontakan yang meletus di Yogyakarta sendiri sangat

mengejutkan Semarang. Warga Semarang terbelah menjadi dua. Ada yang

mendukungnya namun lebih banyak yang cemas. Pemerintah jajahan

Page 158: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 157

sendiri menyebarkan fitnah jika yang memberontak di Yogyakarta adalah

para kriminal dan penjahat yang kabur setelah menjebol berbagai penjara.

Mereka ditampung oleh Pangeran Diponegoro dan dijadikan anggota

pasukannya. Kebanyakan warga Semarang, di antaranya banyak warga

Cina yang berprofesi sebagai pedagang, dilanda ketakutan yang teramat

sangat. Mereka takut jika pemberontakan itu akan menjalar ke Semarang.

Mereka segera berkumpul dan berencana membentuk satuan-satuan sipil

bersenjata-mirip pamswakarsa-yang akan mempertahankan kampungnya

dari segala ancaman yang mungkin saja timbul.

Karesidenan Semarang sendiri, sama seperti karesidenan-karesidenan

lainnya, berusaha turut memadamkan pemberontakan Diponegoro dengan

mengirimkan pasukannya ke Yogyakarta. Duaratusan pasukan infanteri

dan kavaleri yang dipimpin Kapten Kumsius sedang bersiap berangkat.

Komandan pasukan Belanda di Semarang, Kolonel Von Jett, malah

berinisiatif datang langsung ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para

pembuat kebijakan secara langsung menghadapi pemberontakan itu. []

Page 159: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 158

BAB 33

alah seorang prajurit jaga melapor pada Ki Guntur Wisesa yang

baru saja hendak mendaki susunan tangga batu menuju Gua

Kakung tempat di mana Diponegoro akan melangsungkan

musyawarah.

―Ada apa, Kisanak?‖ selidik senopati itu.

―Maaf Ki, ada kabar penting yang hendak disampaikan anggota pasukan

telik sandi kita dari Plered kepada Kanjeng Pangeran…‖

―Kanjeng Pangeran hendak memimpin pertemuan terbatas. Sampaikan

saja padaku, nanti aku teruskan pada Kanjeng Pangeran…‖

―Inggih, Ki….‖

―Apakah itu orangnya?‖ Ki Guntur Wisesa menunjuk seorang lelaki muda

berpakaian wulung hitam-hitam yang tengah berdiri sekira tujuh tombak

di belakang mereka. Prajurit jaga itu mengangguk. Dia kemudian

memanggil lelaki itu dan mempersilakan untuk menyampaikan informasi

yang dimiliki kepada Ki Guntur Wisesa.

―Apa yang hendak Kisanak sampaikan?‖

Dengan perlahan, prajurit mata-mata itu menyampaikan laporan jika

Sentot Prawirodirdjo dengan limaratusan pasukannya sudah menyatakan

akan bergabung di Selarong. ―Insya Allah, dalam waktu dekat…‖

Ki Guntur Wisesa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi dia sepertinya

belum yakin benar dengan kabar yang dibawa prajurit itu. ―Kisanak dari

Plered?‖

Prajurit itu mengangguk, ―Inggih, Ki…‖

―Siapa nama pemimpinmu?‖ selidik Ki Guntur. Kalimat ini sesungguhnya

adalah kata sandi yang harus dijawab dengan sesuai oleh orang yang

memang bagian dari pasukan telik sandi yang ditempatkan di Plered. Ada

dua kombinasi pertanyaan dan jawaban.

S

Page 160: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 159

―Semarang Magelang…,‖ jawabnya pelan.

―Apa?‖

―Magelang Yogyakarta…‖

Ki Guntur tersenyum. Kombinasi jawaban prajurit itu sesuai. Baru dia

yakin jika informasi yang disampaikan prajurit itu benar adanya. Sambil

menepuk-nepuk punggung prajurit tersebut, Ki Guntur mengucapkan

terima kasih.

―Terima kasih, Kisanak. Sekarang saya akan ke atas, melaporkan kabar

ini kepada Kanjeng Pangeran.‖

Prajurit itu segera minta diri dan menghilang dalam kesibukan para laskar

dan kepala regu yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya.

Ki Guntur sendiri bergegas menaiki susunan tangga batu menuju Gua

Kakung dimana Pangeran Diponegoro akan mengadakan tukar pikiran

dengan Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, dan Pangeran

Mangkubumi. Setibanya di mulut gua, semuanya sudah duduk melingkar.

Setelah memberi salam, Ki Guntur menyampaikan maaf karena datang

terlambat. ―Ndak apa-apa, Ki Guntur. Kita baru saja akan mulai,‖ ujar

Pangeran Diponegoro sembari mempersilakan Senopati Selarong itu

duduk di sampingnya.

Tukar pikiran dibuka dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur‘an yang

dilakukan oleh Kiai Modjo. Setelah itu, Pangeran Diponegoro

mempersilahkan masing-masing untuk bicara.

Ki Guntur Wisesa mengangkat tangan terlebih dahulu, ―Kanjeng Pangeran,

Kiai, dan Ustadz, maafkan saya bila lancang berbicara terlebih dahulu.

Saya hanya ingin menyampaikan kabar gembira dari pasukan telik sandi

kita yang ada di Plered. Dia mengabarkan jika Sentot Prawirodirdjo dan

pasukannya insya Allah akan bergabung disini. Itu saja….‖

Semua yang hadir di dalam gua tersebut mengucapkan syukur,

―Alhamdulillah…―

Berita baik ini tentu menggembirakan semuanya. Bergabungnya Sentot

dan pasukannya merupakan suntikan darah segar pada barisan kaum

Page 161: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 160

mujahidin yang tengah menggalang kekuatan untuk mengusir kekuatan

penjajah kafir Belanda dan antek-anteknya dari Bumi Mataram.

Bagi para sesepuh dan kerabat Kraton, sosok Sentot Prawirodirdjo yang

dilahirkan pada tahun 1807 tidaklah asing lagi. Ayahnya, Raden Ronggo

Prawirodirjo III, merupakan ipar Sultan Hamengku Buwono IV, dan

sekaligus juga mertua Pangeran Diponegoro dimana salah satu isterinya

yang bernama Raden Ayu Citrowati, merupakan anak dari Raden Ronggo

namun beda ibu dengan Sentot.

Berbeda dengan keluarga Danuredjan, keluarga Raden Ronggo dikenal

sebagai keluarga yang gigih menentang penjajah kafir Belanda. Bahkan

ayah Sentot Prawirodirdjo sendiri akhirnya meninggal dibunuh Daendels.

Hal ini memicu dendam membara di dalam dada seorang Sentot yang

sangat membanggakan ayahnya tersebut. Inilah yang menjadi salah satu

penyebab bergabungnya Sentot ke dalam pasukan Diponegoro.

Beda dengan remaja seusianya, seorang Sentot Prawirodirjo sejak masih

kanak-kanak telah digemblengberbagai macam ilmu dan pengetahuan,

seperti olah diri, cara berkelahi, ilmu agama, hingga dasar-dasar

kesatriaan atau ilmu perang.

Sebab itulah, walau masih terbilang remaja, namun Sentot tumbuh

menjadi seorang laki-laki yang berkepribadian matang dan dewasa. Salah

satunya diwujudkan dalam keberaniannya memilih cara berpakaian yang

sungguh berbeda dengan orang kebanyakan, yaitu jubah putih dengan

surban, yang serupa dengan Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo.

Sentot yang cerdas tahu jika sebuah pakaian bisa dijadikan sebagai

identitas sekaligus alat perlawanan. Jika kebanyakan rakyat Mataram

hanya berpakaian wulung, atau para pejabat kraton mulai mengenakan

pakaian jas dan pantalon, seperti lazimnya orang-orang kafir, maka Sentot

menuruti jejak Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo yang mengenakan

pakaian jubah dan surban sebagai identitasnya. Ini juga sekaligus

maklumatnya kepada rakyat Mataram jika dirinya merupakan bagian dari

kaum Muslimin dunia, yang siap mati syahid demi tegaknya kalimat

tauhid di seluruh muka bumi.

―Alhamdulillah, apa yang dikabarkan oleh Ki Guntur insya Allah benar…,‖

ujar Kiai Modjo menanggapi. ―…Saya mengenal Adinda Sentot dengan

baik. Sejak lama dia memang telah mempersiapkan diri dan juga

Page 162: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 161

menyusun pasukannya untuk bergabung dengan kita, untuk mengusir

penjajah kafir dari Bumi Mataram. Dengan adanya Sentot, insya Allah kita

akan semakin kuat. Anak muda itu memiliki wawasan dan kecakapan

perang yang hebat…‖

Pangeran Diponegoro mengangguk-angguk. Demikian pula dengan

Pangeran Bei yang menjadi panglima tertinggi pasukan Diponegoro, dan

juga yang lainnya.

―Ya, itu benar Kiai. Saya mengenalnya dan mengagumi banyak hal yang

ada pada dirinya. Jika semuanya berkenan, saya ingin Sentot memimpin

pasukan kita semua di dalam peperangan,‖ ujar Pangeran Bei dengan

wajah bersungguh-sungguh. ―Apakah ada pendapat lain?‖

Ustadz Taftayani menjawab, ―Insya Allah, peperangan ini adalah

peperangan untuk menegakkan La Illaha ilallah, menegakkan ketauhidan,

di bumi kita. Saya yakin, seorang Sentot Prawirodirdjo akan menjadi

Usamah bin Zaid bin Haritsah60 di dalam barisan ini. Bismillah…―

―Ya, bi idznillah, Ustadz. Dengan izin Allah..,‖ ujar Diponegoro.

―Paman Mangkubumi, bagaimana dengan perkembangan pasukan kita di

lapangan?‖ tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi.

―Pertempuran masih berlangsung hingga pagi tadi di Tegalredjo. Rakyat di

sana bangkit melawan kafir Belanda. Bukan hanya yang ada di Tegalredjo

dan sekitarnya, namun banyak laskar yang terus mengalir ke sana untuk

mengusir kafir Belanda dan antek-anteknya itu. Di berbagai desa, laskar-

laskar baru bermunculan. Mereka dipimpin para ulama, pendekar,

demang, atau jagoan setempat. Mereka telah berjanji setia pada garis

perjuangan di jalan Allah ini…‖

Pangeran Mangkubumi terdiam sebentar. Setelah menegakkan

punggungnya, dia melanjutkan laporannya. ―Pangeran, pasukan kita

sendiri sudah berada di posisinya masing-masing. Kafir Belanda yang ada

di Yogyakarta juga sudah meminta bantuan pasukan dari Semarang dan

60

Usamah bin Zaid bin Haritsah adalah panglima pasukan Rasulullah SAW

yang masih sangat muda, usianya belum 20 tahun ketika memimpin pasukan kaum Muslimin dalam membebaskan beberapa negeri. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Usama_ibn_Zayd

Page 163: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 162

Magelang. Legiun Mangkunegaran juga sudah mengirimkan kembali

pasukannya untuk membantu kaum kafir itu.‖

Pangeran Ngabehi Djayakusumah terlihat geleng-geleng kepala. Dia tidak

habis pikir dengan orang-orang Mataram sendiri, juga para pejabatnya,

yang malah berpihak pada kafir Belanda, bukan memihak pada rakyatnya

sendiri dan Allah. Padahal banyak dari para antek kafir Belanda itu yang

sudah memeluk Islam sebagai agamanya.

―Pangeran Bei…,‖ ujar Mangkubumi.

―Ya, saudaraku…‖

―Saya juga dapat kabar dari Pisangan, jika laskar yang dipimpin Mulyo

Sentiko sudah siap menghadang pasukan bantuan kafir Belanda yang

datang dari arah Magelang. Menurut kabar dari telik sandi kita, pasukan

itu juga membawa uang dalam jumlah besar yang diberikan Residen

Magelang kepada Residen Yogyakarta. Beberapa orang kita malah turut

sebagai kuli angkut yang berada di dalam barisan kafirin itu..‖

Pangeran Bei mengangguk-angguk senang, ―Berapa jumlah pasukan

bantuan kafir itu?‖

―Sekitar duaratusan prajurit, terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri,

dipimpin seorang kapten Belanda.‖

―Dan jumlah laskar Mulyo Sentiko?‖

―Paling banyak seratusan. Tapi laskar-laskar setempat sudah

menggabungkan diri dengannya.‖

Pangeran Bei terdiam sesaat. Kemudian dia berkata pada yang lainnya.

―Saudara-saudaraku semua, insya Allah, kita semua sudah siap dengan

segala kemungkinan yang terjadi. Kita akan menggunakan strategi

perang Dhedhemitan atau Gebag ancat nrabas geblas61. Kita akan serbu

atau sergap pasukan kafir itu, lalu dengan cepat menghilang ke hutan-

hutan. Kita akan gunakan hutan sebagai benteng alam.Insya Allah, orang-

orang kafir itu akan kalah!‖

61 Istilah ini merupakan prinsip-prinsip dari Perang Gerilya.

Page 164: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 163

―Dan satu lagi Pangeran…,‖ ujar Kiai Modjo dengan suara yang berwibawa.

Ulama yang disegani dari wilayah Modjo, Surakarta, itu kemudian

mengeluarkan secarik kertas yang dilipat empat dari saku jubahnya dan

membukanya.

―Selebaran ini saya dapat dari seorang prajurit saya. Dia bilang di

Yogyakarta dan sekitarnya sudah banyak tertempel selebaran seperti ini

subuh tadi. Isinya mengatakan jika Pangeran Diponegoro adalah penjahat

dan pasukannya terdiri dari para kriminal dan tahanan yang lari dari

penjara, yang telah disulap seolah-olah pasukan santri dan ulama. Kita

dituding sebagai orang-orang yang memperalat agama demi mencapai

ambisi kekuasaan duniawi. Dan siapa pun yang bergabung dengan kita,

akan dianggap sebagai penjahat dan akan diperangi oleh Belanda. Ini jelas

buatan Belanda atau antek-anteknya semacam Danuredjo itu. Bagaimana

pendapat sinuhun sendiri?‖

Pangeran Ngabehi menerima selebaran itu yang diserahkan oleh Kiai

Modjo kepadanya. Setelah membacanya sebentar, selebaran itu kemudian

diserahkannya kepada Pangeran Diponegoro.

―Aku sudah menduga jika kafir Belanda tidak saja menyerang kita secara

fisik, tetapi juga berusaha menghancurkan kita lewat cara-cara seperti ini.

Sejarah sudah mengajarkan kepada kita jika musuh-musuh Allah

senantiasa menggunakan berbagai macam cara untuk melenyapkan api

tauhid ini untuk selama-lamanya. Ini adalah bagian dari Ghouz al fikri,

perang urat syaraf. Allah subhana wa ta‟ala di dalam al Qur‘an telah

memperingatkan kita semua akan hal ini..,‖ papar Diponegoro yang

kemudian menyerahkan selebaran itu kepada Ustadz Taftayani. Setelah

membacanya sebentar, guru agama yang sudah mendidik Diponegoro

sejak usia kanak-kanak di Pesantren Mlangi dekat dengan Puri Tegalredjo

itu berkata,

―Selebaran berisi fitnah seperti ini mengingatkan kita pada satu episode

dalam siroh Rasul shalallohu wa alaihi wassalam tentang berita dari kaum

fasik. Adalah Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu‘ith, yang diutus Rasulullah

untuk mengambil zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin

waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar, seperti diriwayatkan Imam Ahmad. Al-

Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka

enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya. Padalah

sesungguhnya al-Walid tidak pernah sampai ke perkampungan Bani

Page 165: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 164

Musththaliq. Rasulullah marah. Namun Beliau harus mengecek

kebenaran berita itu. Rasulullah lalu mengutus Khalid untuk mengecek

kebenarannya. Ternyata al-Walid terbukti berdusta. Peristiwa ini

menyebabkan Allah subhana wa ta‟ala menurunkan firman-Nya seperti

yang tercatat di dalam surat al-Hujurat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar

kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa

mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas

perbuatanmu itu.”

Ayat ini, seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir, termasuk ayat yang

agung, karena berisi pelajaran yang amat penting agar umat tidak mudah

terprovokasi oleh fitnah atau berita dusta, atau mudah menerima begitu

saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya,

tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar fitnah. Apalagi perintah

Allah ini berada di dalam surat Al-Hujurat, surat yang sarat dengan pesan

etika, moral, dan prinsip-prinsip mu‘amalah. Insya Allah Pangeran, para

ulama kita akan membimbing saudara-saudara kita, rakyat Mataram

sampai ke desa-desa, agar tidak mudah percaya dengan selebaran-

selebaran yang dibuat oleh orang kafir dan kaum murtadin semacam ini.

Fitnah ini tidak akan mengurangi kekuatan kita sedikit pun!‖

―Ya, Ustadz. At-Tabayyun minaLlah wal „ajalatu Minasy Syaithan, sikap

tabayun62 merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru

merupakan arahan syaitan,‖ jawab Diponegoro. []

62 (Bahasa Arab) Tabayyun lebih kurang berarti cek dan ricek.

Page 166: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 165

BAB 34

ngin adalah prajurit Allah di medan perang. Dua orang anggota

laskar Mulyo Sentiko yang dikirim ke garis paling depan-sekira

duaratusan meter di luar gerbang Desa Lagorok, Pisangan-telah

mencium kedatangan pasukan kafir dari arah utara. Angin yang bertiup

dari Merapi ke arah Laut Kidul membawa serta bebauan orang-orang kafir

tersebut lewat udara, sehingga keberadaan mereka bisa diketahui jauh

sebelum sosok mereka terlihat.

Djauhari serta Djamhadi, dua orang laskar kepercayaan Mulyo Sentiko

segera memacu kudanya kembali ke perkemahan induk pasukan yang

berada di atas bukit kecil di tepi jalan raya Desa Lagorok.

Perkemahan pasukan mereka juga berada di atas bukit di sisi kanan dan

kiri jalan raya yang terlindung lebatnya pohon dan semak. Jalan raya yang

berada di bawah mereka agak menanjak dan menikung. Mulyo Sentiko

menganggap jalan dengan kondisi seperti ini sangat bagus untuk

dijadikan tempat penyergapan. Maka ketika dia menerima kabar dari

pasukan telik sandi jika pasukan Kapten Kumsius telah berangkat dari

Magelang menuju Yogyakarta lewat jalan ini, maka Mulyo Sentiko

memerintahkan pasukannya mendirikan kemah di tempat ini sekaligus

menyusun strategi penyergapan.

Di kedua sisi bukit yang mengapit jalan di bawahnya, para laskar

menghimpun batu-batu kali dengan ukuran besar dan disusun

sedemikian rupa sehingga terkesan alami. Batu-batu kali ini akan

digelontorkan ke bawah untuk menimbun pasukan kafir Belanda yang

akan lewat.

Selain batu-batu, pasukan panah juga disiapkan berjajar di kedua sisi

bukit dalam jarak tembak efektif. Mereka bersembunyi di dalam lubang-

lubang yang sudah disamarkan oleh ilalang dan semak, dan dilindungi

oleh batang-batang pohon, baik yang masih berdiri maupun yang sudah

mati.

Di selatan jalan, Mulyo Sentiko membuat lubang jebakan selebar

duameter dengan kedalaman satu meter yang ditutup dengan ranting dan

ditimbun dengan tanah kembali. Kuda atau siapa pun yang lewat akan

A

Page 167: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 166

terperosok jatuh ke dalam lubang, di mana dasarnya telah ditanami

banyak ujung tombak yang ujungnya menghadap ke atas dan telah diberi

racun ular weling.

Di utara jalan, dimana nanti ekor pasukan kafir Belanda berada, sedianya

akan ditutup oleh gelondongan-gelondongan kayu dan batu-batu yang

digelontorkan dari atas bukit sehingga pasukan Belanda akan terkurung

di jalan yang diapit dua bukit di kedua sisinya, serta tidak bisa maju atau

pun mundur. Dalam keadaan terkurung, laskar Mulyo Sentiko akan

menghabisi pasukan ini dengan mudah.

Semua pasukan sudah berada di tempatnya masing-masing. Mereka

tinggal menunggu datangnya dua pengintai yang memberi tanda jika

rombongan pasukan kafir Belanda sudah dekat.

Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dari arah utara dua pengendara kuda

memacu kudanya cepat-cepat. Debu beterbangan dan dengan cepat

menghilang dibawa angin.

―Bersiap! Bersiap!‖ ujar Djauhari dan Djamhadi. Kedua pasukan pengintai

itu segera masuk ke dalam jalan setapak yang segera ditutup semak dan

dedaunan kering oleh prajurit yang bertugas menghapus jejak kedua

pengintai tersebut.

Semuanya semakin waspada. Mereka tinggal menunggu aba-aba dari

seorang pengintai yang berada di puncak sebuah pohon beringin yang

tinggi di puncak bukit. Jika pasukan Belanda sudah tampak dan dekat,

dia akan segera menirukan suara monyet, tanda bahwa semua sudah

harus benar-benar bersiap untuk menyergap pasukan Belanda pimpinan

Kapten Kumsius tersebut.

Detik demi detik berlalu dengan penuh ketegangan. Semuanya sudah

memegang dengan erat senjatanya masing-masing. Anak panah mulai

diselipkan di tali busur. Suasana begitu mencekam. Tak lama kemudian

terdengar suara monyet melengking tinggi tiga kali.

Belanda sudah tiba!

Mulyo Sentiko yang berada di atas bukit sebelah barat sudah memberi

isyarat dengan tangannya agar seluruh prajurit yang bertugas

menggulingkan batu di bukit barat dan timur bersiap. Bagian depan

Page 168: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 167

pasukan Belanda sudah terlihat mulai memasuki jalan yang menyempit

yang diapit bukit. Mulyo Sentiko menunggu agar inti pasukan tersebut

benar-benar berada di tengah agar konsentrasi pasukan mereka buyar.

Mulyo Sentiko dan pasukannya tahu jika sejumlah kuli pengangkut

barang yang berada di ekor pasukan merupakan anggota laskar

Diponegoro yang sengaja disusupkan.

Semua menunggu tak sabar.

Tiba-tiba Mulyo Sentiko mendorong batu besar yang ada di depannya.

Semua anggota laskar yang bertugas menggelontorkan batu dan batang

pohon ke bawah mengikutinya. Suaranya menggemuruh bagai tanah

longsor. Pasukan Belanda yang berada di bawah seketika melihat ke atas.

Sesaat mereka tertegun. Lalu mereka berlarian ke segala arah mengindari

longsoran batu-batu besar dan batang-batang pohon yang tiba-tiba saja

menghujani mereka. Beberapa prajurit yang tak sempat menghindar

tertimbun hidup-hidup. Dari ketinggian, Mulyo Sentiko dan laskarnya

menyaksikan bagaimana pasukan pimpinan Kapten Kumsius tersebut

kacau-balau.

Ketika asap sudah agak mereda, Mulyo Sentiko mengibarkan panji

berwarna merah tinggi-tinggi. Kini giliran pasukan pemanah yang

bertugas menghujani pasukan Belanda yang masih kacau tersebut dari

atas bukit. Bagai ratusan burung walet yang beterbangan, meluncur lurus

ke bawah dalam kecepatan tinggi, anak-anak panah yang ujungnya telah

dicelup racun tersebut berlomba untuk menancap dan masuk ke dalam

kulit pasukan kafir tersebut. Tak lama kemudian, setelah hujan panah

usai, puluhan pasukan penombak maju dari arah depan dan atas dengan

meneriakkan takbir.

Pasukan Belanda yang sama sekali tidak siap berusaha membuat satu

formasi pertahanan. Namun sia-sia, jalan terlalu sempit dan musuh sudah

terlalu dekat. Pertarungan jarak dekat pun terjadi. Laskar Mulyo Sentiko

yang dibantu laskar setempat tanpa takut sedikit pun menerjang lawan.

Dengan kekuatan seadanya, pasukan Belanda membuang senjata api

laras panjangnya dan mencabut pedang. Mereka berkelahi dengan kalap

dan tak lagi menghirakan kawan dan lawan. Kapten Kumsius sendiri

diiringi empat prajuritnya sejak dari awal penyerangan sudah melarikan

diri dengan memacu kudanya ke arah Yogyakarta, meninggalkan

pasukannya yang semakin terdesak dan bergelimpangan mati di sana-sini.

Page 169: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 168

Sejumlah kuli angkut yang membawa berbagai barang-termasuk uang

yang berada di dalam peti kecil yang berada di atas kuda-sudah terlebih

dahulu melarikan diri dan bergabung dengan laskar Mulyo Sentiko.

Pertempuran itu tidak sampai memakan waktu satu jam. Mulyo Sentiko

dengan bertelanjang dada berdiri di tengah-tengah jalan yang dipenuhi

mayat pasukan Belanda. Darah musuh memenuhi dada dan celananya.

Pedangnya juga demikian.

Teriakan takbir kembali membahana tatkala mengetahui jika pasukan

Belanda sudah dikalahkan. Semuanya mati dan tak ada tawanan satu

orang pun. Mulyo Sentiko tersenyum dan menengadahkan kepalanya ke

langit yang luas.

“Matur nuwun sanget ya Gusti Allah…‖

Melihat hampir semua laskarnya juga bertelanjang dada, bahkan banyak

yang celananya robek terkena sabetan pedang dan tanah, serta belepotan

darah musuh, Mulyo Sentiko segera memerintahkan anak buahnya agar

mengganti bajunya dengan mengenakan seragam tentara Belanda yang

masih sangat bagus. Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya berlomba

melucuti seragam tentara Belanda tersebut dan mengenakannya.

Termasuk topi, pedang, senjata api laras panjang dan pendek, belati, dan

lainnya.

―Apakah semuanya sudah kebagian?‖ teriak Mulyo Sentiko.

Para anak buahnya ada yang menjawab sudah dan ada juga yang belum.

Namun disebabkan tidak ada lagi seragam Belanda yang tersisa, maka

Mulyo Sentiko memerintahkan agar semuanya berbaris kembali. Dia

kemudian menaiki kudanya dan mengambil posisi di depan barisan.

―Allahu Akbar!‖ teriaknya disambut takbir oleh seluruh laskarnya.

―Alhamdulillah! Alhamdulillahi Rabb al‟amin! Ini adalah kemenangan

pertama kita terhadap penjajah kafir Belanda.

Sekarang juga, kemenangan ini akan kita laporkan kepada Kanjeng

Pangeran Diponegoro di Selarong. Mari kita berbaris dengan tertib. Insya

Allah, jika tidak ada aral melintang, beberapa jam ke depan kita sudah

tiba di sana!‖

Page 170: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 169

BAB 35

afas Kapten Kumsius terdengar seperti lokomotif tua yang kelebihan

beban. Setelah memacu kudanya sejauh lebih kurang 7 paal atau 10

kilometer, hingga mencapai Yogyakarta, Kumsius tiba di Benteng

Vredeburg dan langsung menghadap Kolonel Von Jett yang sudah tiba

terlebih dahulu dari Semarang. Dengan suara tersengal, Kumsius

melaporkan tragedi yang baru saja dialaminya.

Demi mendengar laporan anak buahnya, Kolonel Von Jett segera

memerintahkan Letnan Delatree untuk memimpin satu detasemen

kavaleri untuk secepatnya membantu pasukan Belanda yang sedang

disergap pemberontak di Pisangan. Dalam waktu singkat, Letnan Delatree

pun berangkat bersama pasukan berkudanya meninggalkan debu musim

panas yang beterbangan sepanjang jalan.

Kolonel Vont Jett sendiri memerintahkan agar Kapten Kumsius

beristirahat di salah satu barak Benteng Vredeburg dan sesegera mungkin

membuat laporan tentang kejadian yang baru saja dialami.

Tak sampai satu setengah jam kemudian, Letnan Delatree dan

pasukannya tiba kembali. Sama seperti Kapten Kumsius, Letnan Delatree

dengan nafas tersengal juga melaporkan bahwa musuh yang sekarang

sudah mengenakan seragam pasukan Belanda tiba-tiba menyerangnya,

sedangkan pasukan yang dipimpinnya benar-benar tidak siap menghadapi

musuh yang disangka ‗teman sendiri‘.

―Para pemberontak itu mengenakan seragam pasukan kita. Semua senjata

kita juga sudah berada di tangan mereka. Dari jauh kami mengira jika

mereka itu sisa-sisa dari pasukan Kapten Kumsius yang berhasil lolos dari

penyergapan. Ternyata kami keliru. Mereka ternyata para pemberontak

yang mengenakan seragam kita dan tiba-tiba saja menyerang dengan

membabi-buta. Kita tidak siap!‖

Kolonel Von Jett sungguh-sungguh geram. ―Berapa anggota pasukanmu

yang tersisa!‖

N

Page 171: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 170

―Begitu kami menyadari musuh, kami hanya bertempur sebentar dan

segera menyelamatkan diri kembali ke sini. Korban di pihak kita tidak

banyak, Kolonel. Mereka terlalu kuat dan jumlahnya pun banyak sekali…‖

Von Jett mengangguk-angguk. Dia baru sadar jika Belanda sekarang tidak

bisa menganggap remeh kekuatan pasukannya Diponegoro. Setelah

menerima laporan dari Letnan Delatree, Von Jett segera bertemu dengan

Residen Yogyakarta Anthonie Hendriks Smissaert, Asisten Residen

Chevallier, dan juga Patih Dalem Danuredjo IV, untuk membahas

perkembangan terakhir. []

Page 172: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 171

BAB 36

urat kegembiraan terpancar jelas di wajah seluruh laskar Mulyo

Sentiko yang dalam waktu seharian telah memetik sekaligus dua

kemenangan gemilang: menghancurkan kolonel pimpinan Kapten

Kumsius dan memukul mundur detasemen kavalerinya Letnan Delatree.

Mulyo Sentiko yang juga mengenakan seragam pasukan Belanda lengkap

dengan pedang panjangnya memimpin di depan barisan. Sedangkan

seluruh laskarnya yang juga berseragam pasukan Belanda lengkap

dengan topi dan atributnya, juga semua senjata yang bisa direbut,

mengikutinya dari belakang. Dengan penuh kebanggaan, laskar ini terus

bergerak menuju Gua Selarong.

Ba‘da Asyar, ketika Pangeran Diponegoro, Kiai Modjo, Ustadz Taftayani,

Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, dan lainnya tengah berkumpul di

Gua Kakung, di batas terluar wilayah Selarong sekira seratus meteran dari

pelataran luas di bawah tangga menuju gua, dua orang prajurit jaga-

Luthfi dan Manto-yang sedang berada di posnya tampak gugup. Mereka

memicingkan mata, berusaha sekuat tenaga memperjelas penglihatannya,

jauh melampaui hamparan sawah dan kebun di ujung jalan, tampak

barisan panjang pasukan kavaleri dan infanteri Belanda tengah mendekati

mereka dengan perlahan.

―Jahanam! Londo wis uedan!63 Siang-siang begini mereka mau menyerang

kita!‖ jerit Luthfi. Laskar Selarong yang berasal dari Arab-Pekalongan ini

kepalanya turun-naik seperti burung onta dengan sebelah mata ditutup

dan dipayungi sebelah tangannya untuk memastikan apakah iring-iringan

pasukan yang masih jauh itu sungguh-sungguh Belanda atau bukan.

―Kowe ojo kesusu64. Lihat dulu baik-baik…,‖ ujar Manto yang juga

memicingkan matanya. Manto masih ragu apakah benar pasukan Belanda

akan mendatangi Gua Selarong siang-siang begini. Dia masih ragu. Tapi

semakin dekat, tampaknya apa yang dicemaskan Luthfi cukup beralasan

63

(Bahasa Jawa kasar): ―Jahanam! Belanda sudah gila!‖

64 (Bahasa Jawa kasar): ―Kamu jangan terburu-buru‖ atau ―Kamu jangan

gegabah.‖

G

Page 173: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 172

juga. Apalagi dari kejauhan, seseorang dari ‗pasukan Belanda‘ itu yang

berada di paling depan tiba-tiba tampak memacu kudanya sendirian

kencang-kencang mendatangi mereka. Kontan, keduanya bersiaga. Baru

saja keduanya hendak melompat ke atas kuda, terdengar teriakan yang

tidak asing di telinga mereka.

―Assalamu‟alaikum! Ini saya, Mulyo Sentiko!‖

Luthfi yang sudah berada di atas kuda hendak mengambil langkah seribu

menahan tali kudanya. Sedangkan Manto yang masih berada di bawah

menyambut kedatangan Mulyo Sentiko yang sore itu tampak gagah

dengan seragam kavaleri Belandanya. Keduanya bernafas lega karena

awalnya mereka menyangka jika pasukan Mulyo Sentiko adalah pasukan

Belanda yang hendak menyerang mereka.

―Uedan kowe, dapat dari mana seragam kafir londo itu?‖

Mulyo Sentiko terkekeh, ―Pasukanku baru saja mengalahkan wong kafir

itu. Ambrol mereka!‖

Manto geleng-geleng kepala. Demikian pula dengan Luthfi.

―Alhamdulillah!‖ ujar Manto. Prajurit jaga itu kemudian menyuruh Luthfi

yang sudah kadung berada di atas kuda menghantarkan Mulyo Sentiko

dan pasukannya ke Gua Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman.

―Sebaiknya Paman terlebih dahulu masuk ke Selarong agar tidak terjadi

kesalahpahaman yang lainnya. Dan pasukan yang lain mengikuti dari

belakang…‖ Ujar Manto.

―Matur Nuwun…!‖ jawab Mulyo Sentiko yang kemudian langsung

menggebrak kudanya mengikuti Luthfi yang telah berlari duluan.

Kedatangan Mulyo Sentiko dan anggota pasukannya yang mengenakan

seragam Belanda dan membawa serta aneka persenjataan, serta uang

yang cukup banyak, sangat menggembirakan seluruh laskar Diponegoro

yang berada di sekitar Selarong. Mereka mengelu-elukan barisan laskar

berseragam Belanda yang baru saja memenangkan pertempuran melawan

kaum kafir itu.

Page 174: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 173

Mengetahui kedatangan laskar dari Pisangan ini, Pangeran Diponegoro

dan para sesepuh lainnya keluar dari gua dan menyambut Mulyo Sentiko

dengan penuh haru.

―Insya Allah, kemenanganmu tadi merupakan awal dari kemenangan

perjuangan kita untuk mengusir kaum kafir penjajah dari Bumi Mataram

yang kita cintai ini.‖

―Amien Ya Rabb al‟amien… Terima kasih Kanjeng Gusti Pangeran…,‖

jawab Mulyo Sentiko. []

Page 175: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 174

BAB 37

etakutan melanda warga Eropa dan Cina di Yogyakarta dan

sekitarnya. Pemberontakan Pangeran Diponegoro yang awalnya

sempat dianggap remeh ternyata malah membesar dan meluas.

Banyak kepala desa, terutama di wilayah-wilayah perdikan yang banyak

terdapat sekolah agama, dengan terang-terangan memihak Diponegoro.

Bahkan para kepala desa itu membentuk laskarnya sendiri-sendiri dan

mulai mengganggu pos-pos jaga Belanda di sejumlah titik. Sejumlah

pasukan kraton juga bergabung dengan Diponegoro dengan membawa

serta persenjataan dan kudanya.

Dan di dalam kraton sendiri, terjadi perpecahan di kalangan kerabat

kerajaan. Lebih dari setengah pangeran dan bangsawan bergabung ke

Selarong. Mereka ingin ber sama-sama membebaskan Bumi Mataram dari

tangan kotor kafir Belanda dan juga menghukum Patih Danuredjo IV yang

telah mengotori kraton dan memperdaya Sultan Hamengku Buwono V

yang masih bocah. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun

Sultan Hamengku Buwono I dengan begitu berwibawa dan sakral, oleh

Danuredjo malah dicemari, hingga kini tak ubahnya bagai rumah bordil.

Para pangeran dan bangsawan bagaimana pun menghendaki kemuliaan

kraton bisa kembali seperti awalnya65.

Semua perkembangan ini yang terjadi dengan begitu cepat membuat pihak

Belanda cemas. Dari Batavia, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard

Philip baron van der Capellen menuding Residen Anthonie Hendriks

Smissaert tidak becus mengurus Yogya. Van der Capellen berjanji akan

sangat serius memperhatikan salah satu anak buahnya ini dan

mengancam akan mengambil tindakan tegas jika Smissaert masih saja

lemah.

65 Para putera Sultan Hamengku Buwono I, II, dan III yang berjumlah 23 orang

bergabung dengan Pangeran Diponegoro, demikian pula dengan cucu dan cicit mereka yang jumlahnya tak kurang dari 54 orang. Itu diluar angka 74 bangsawan kraton yang juga menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selarong. Sedangkan para ulama, hampir semuanya bergabung dengan Diponegoro, kecuali segelintir orang yang memilih bersekutu dengan Danuredjo dan Belanda.

K

Page 176: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 175

Sore itu Kolonel Von Jett mondar-mandir di ruangan peta yang berada di

dalam kompleks Benteng Vredeburg. Residen Smissaert dan Danuredjo

tampak duduk di atas kursi kayu yang menempel di dinding ruangan

dekat jendela. Keduanya tampak tegang memperhatikan Von Jett yang

tampak begitu serius, bahkan tak bisa menyembunyikan sedikit

kecemasannya.

―Gila! Ini sungguh gila jika dibiarkan. Baru tiga hari Diponegoro

memberontak, tapi dimana-mana sudah banyak orang yang bergabung

dengannya. Pasukannya bertambah kuat. Sedangkan pasukan yang mau

membantu kita masih saja berada di jalan. Lambat sekali mereka. Mana

itu laskar Sumenep! Mana laskar Tidore! Mana Legiun yang katanya mau

mengirim pasukan tambahan lagi ke sini!‖

Von Jett masih saja mondar-mandir. Dia kemudian menggeleng-gelangkan

kepalanya. Lalu dia berkata lagi. Masih dengan nada yang tinggi, ―Mana

Kapten Bouwensch! Panggil dia!‖

Smissaert dan Danuredjo saling berpandangan. Di ruangan hanya ada

mereka berdua selain Von Jett. Danuredjo akhirnya berdiri dengan kikuk.

Dia bergegas keluar ruangan memanggil salah seorang prajurit jaga dan

menyuruhnya memanggil Kapten Bouwensch, Komandan Garnisun

Karesidenan Yogyakarta. Setelah itu Danuredjo kembali masuk ke

ruangan.

―Residen…,‖ ujar Von Jett. Smissaert menatap lelaki jangkung tersebut.

Tatapan matanya masih saja angkuh, walau dia menyadari jika

pemberontakan Diponegoro yang membesar dengan cepat merupakan

kesalahannya. Von Jett tidak menghiraukan semua itu sama sekali.

Kemudian Von Jett melanjutkan, ―…tidak ada jalan lain bagi kita kecuali

menghentikan pemberontakan Diponegoro ini secepatnya. Dia orang harus

ditangkap segera. Menurut pasukan mata-mata kita, pemberontak itu

bersama yang lainnya sekarang ini berada di Selarong. Dan saya sudah

menyiapkan satu koloni pasukan untuk menyerbu markasnya di sana.‖

Smissaert hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Von Jett agaknya

tidak puas jika residen tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya

begitu saja.

―Bagaimana pandanganmu, Tuan Residen?‖ ujarnya dengan ketus.

Page 177: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 176

Masih menganggukkan kepalanya, Smissaert menjawab, ―Ya, tidak ada

jalan lain, memang. Dia orang secepatnya harus ditangkap.‖

―Itu sudah pasti. Sekarang saya minta agar Yogyakarta menyiapkan

dukungan logistik bagi pasukan yang akan ke Selarong. Kiriman dari

Magelang sudah direbut musuh, Yogya harus menanggungnya.‖

―Oke, oke… Chevallier yang akan menyiapkan…‖

Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang, ―Maaf, saya Kapten Bouwensch…‖

―Ya. Masuk,‖ jawab Kolonel Von Jett datar.

Bouwensch masuk dan memberi hormat secara militer. Von Jett hanya

menganggukkan kepalanya dan tidak menyuruhnya duduk, sehingga

orang nomor satu yang bertanggungjawab atas keamanan Karesidenan

Yogya ini terus saja berdiri dengan sikap sempurna.

―Kapten…‖

―Siap, Kolonel!‖

―Sekarang juga siapkan pasukanmu dengan perbekalan tempur garis

pertama. Besok pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, berangkatlah ke

Selarong untuk menangkap Diponegoro. Pimpin langsung pasukan itu.‖

―Siap, Kolonel. Berapa kekuatan yang akan kita kerahkan ke Selarong?‖

―Satu koloni, gabungan kavaleri dan invanteri, didukung artileri ringan.

Seluruh Legiun dari Mangkunegaran harus ikut.‖

―Keamanan di dalam Yogya?‖

―Serahkan pada prajurit Sultan dan beberapa regu pasukan reguler. Jika

serangan esok hari gagal, maka kita akan berada di dalam situasi yang

sangat sulit. Bisa-bisa kita akan bertahan di dalam benteng ini saja.‖

Kapten Bouwensch mengamini pandangan komandannya itu. Keadaan

dalam tiga hari terakhir ini memang bertambah buruk bagi mereka.

Pemberontak mendapat dukungan dari mana-mana. Inlanderbangkit di

hampir semua desa dan dusun. Dan semakin lama Karesidenan

Yogyakarta semakin terkepung oleh berbagai laskar yang muncul di mana-

Page 178: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 177

mana. Perjalanan ke Kedu, Magelang, dan Surakarta sudah tidak aman

lagi.

―Bagaimana perkembangan terakhir keamanan di sini?‖

―Semua pasukan reguler bertugas mengamankan dalam kota, bersama-

sama pasukan kraton dengan tambahan Legiun…‖

―Pasukan bantuan dari Tidore dan Sumenep?‖

―Dalam waktu tak lama lagi mereka akan tiba.‖

―Berapa hari lagi kita menunggu mereka?‖

―Jika tidak ada halangan, paling lama dua hari lagi.‖

―Apa rencanamu jika sewaktu-waktu pemberontak benar-benar

mengepung dan menyerang Yogya?‖

―Sultan dan semua pembesar kraton harus diamankan di dalam benteng

ini.‖

Von Jett mengangguk-anggukkan kepalanya, ―Bagus. Benteng ini adalah

tempat terakhir yang harus memberikan keamanan bagi Sultan dan yang

lainnya. Batavia terus memantau perkembangan di sini setiap waktu.

Mereka tidak segan mengambil tindakan yang tidak kita sukai jika itu

memang diperlukan. Terhadap semuanya…,‖ ujar Von Jett yang menatap

Smissaert dengan tajam ketika mengucapkan kalimat terakhir yang

terdengar bagaikan ancaman.[]

―Itu saja, Kapten. Kembalilah kepada pasukanmu dan siapkan mereka

dengan baik.‖

―Siap, Kolonel!‖

Bouwensch kembali memberikan hormat dan bergegas meninggalkan

ruangan. Sepeninggal kapten tersebut, Kolonel Von Jett bertanya kepada

Danuredjo.

―Patih, apa yang sudah kamu lakukan?‖ Von Jett kemudian duduk di atas

meja, menghadap Danuredjo yang masih duduk di kursi kayu dekat

jendela bersebarangan dengan Smissaert.

Page 179: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 178

―Saya sudah mempersiapkan semuanya, Tuan Kolonel. Pasukan kraton

sudah berada di posnya masing-masing bersama Legiun dan pasukan

Belanda. Selebaran sudah tertempel di mana-mana. Dan sekarang kita

tinggal menunggu datangnya pasukan bantuan dari luar Yogya. Mereka

semua sudah dalam perjalanan ke sini.‖

―Dan untuk pasukan bantuan, apakah hanya dari Tidore dan Madura

saja?‖

―Tidak juga, Tuan Kolonel. Jayeng Sekar66 juga sudah kita minta. Belum

lagi dari Mayor Raja Sulaiman dari Buton, laskar Alifuru Tidore, Ternate,

dan sejumlah korps para bupati di Jawa. Mereka semua sudah saya minta

untuk mengirimkan pasukannya ke sini, selain untuk memperkuat

keberadaan mereka di daerahnya masing-masing. Apakah kita juga mau

merekrut para relawan?‖

―Maksudmu?‖

Danuredjo terkekeh, ―Apakah Tuan lupa dengan sejarah perang salib?‖

Kolonel Von Jett belum memahami apa yang hendak dimaksudkan Patih

Danuredjo ini. Keningnya berkerut sambil menatap Danuredjo dalam-

dalam.

―Maksudmu?‖ ujarnya dingin.

―Apa yang dilakukan Paus Urbanus II saat menggelorakan perang salib

untuk merebut Yerusalem di dalam Konsili di Clermont tahun 1095?‖

tanya Danuredjo sedikit bangga karena bisa dengan baik mengingat

sebagian isi buku kecil sejarah perang salib yang pernah dibacanya di

perpustakaan karesidenan.

Mendengar itu Kolonel Von Jett segera tersadar, ―Ya. Ya, aku ingat. Yang

kamu maksud merekrut para tahanan untuk dijadikan pasukan, bukan?‖

66 Jayeng Sekar merupakan pasukan yang dibentuk oleh Daendels yang direkrut

dari putera keluarga kaya di Jawa yang bekerja sebagai polisi. Anggota pasukan ini kebanyakan putera keluarga pengusaha, bangsawan, pejabat kraton, dan sebagainya. Mereka terlatih dengan baik dan digaji lumayan besar ketimbang pasukan reguler lainnya, dan ditugaskan di sejumlah karesidenan.

Page 180: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 179

Danuredjo tersenyum kembali. Kepalanya mengangguk-angguk bagaikan

boneka-bonekaan khas Yogyakarta yang terbuat dari tanah liat yang

dikeringkan dan diberi per di leher bagian dalamnya.

―Betul, Tuan. Ketika merekrut pasukan untuk mendukung penyerangan

ke Yerusalem, selain mengerahkan pasukan gereja dan pasukan reguler

utusan kerajaan-kerajaan Eropa, Paus juga menyerukan para kriminal

dan penjahat yang memenuhi berbagai penjara di Eropa agar bergabung

dengan pasukannya…‖

―Dan supaya para kriminal itu mau bergabung, Paus akan menghapus

semua dosa mereka dan menjanjikannya surga. Demikian bukan?‖

Danuredjo terkekeh, ―He..he..he.., ya, ya benar. Tuan Kolonel juga

membaca sejarah perang salib rupanya.‖

Residen Smissaert menggerutu dalam hati. Dia benar-benar tidak

menyukai gaya Danuredjo yang menurutnya terlalu lebay. Tertawa

Danuredjo yang dibuat-buat itu malah menimbulkan kekesalan di

hatinya. Namun Smissaert tertawa dalam hati. Kolonel Von Jett ternyata

tidak ikut tertawa sedikit pun. Tersenyum pun tidak. Sehingga semua itu

membuat Danuredjo tahu diri dan dengan teratur menghentikan tawanya

dan kembali memasang topeng wajah serius.

―Patih…‖

―Ya, Tuan Kolonel.‖

―Kowe sekarang rekrut para relawan. Kowe harus bisa kosongkan penjara-

penjara yang ada di wilayah ini, dan mengubah para tahanan yang kuat

secara fisik untuk dijadikan anggota pasukan yang tangguh yang dapat

menghancurkan pemberontak itu…‖

Danuredjo hendak menyela. Dia agaknya tidak begitu setuju jika

dirinyalah yang harus melaksanakan tugas ini. Namun Kolonel Von Jett

tidak memberikan kesempatan.

―Kowe harus bisa. Dan saya tidak mau mendengar alasan apa pun.

Laksanakan saja.‖

Page 181: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 180

Smissaert tersenyum dikulum. Beda dengan Danuredjo yang hanya bisa

menundukkan kepala menatap lantai lekat-lekat sambil menggerutu

dalam hati. Entah apa yang ada di dalam benaknya. []

Page 182: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 181

BAB 38

ntuk memperkuat pertahanan di sekitar Selarong, Pangeran

Ngabehi dan sesepuh yang lain telah memerintahkan agar semua

akses jalan menuju dan dari Selarong diberi berbagai jebakan dan

blokade. Di berbagai tempat strategis, namun tersembunyi sehingga tidak

diketahui banyak orang, didirikan pos pengintaian. Bahkan sejumlah

laskar diperintahkan agar berbaur dengan warga sekitar dan turut

membantu meringankan hidup keseharian mereka dimana pasokan

beberapa kebutuhan pokok mulai disabotase Belanda dan pihak

Danuredjo.

Hampir setiap jam, Pangeran Ngabehi dan Mangkubumi menerima

kedatangan pasukan telik-sandi yang melaporkan perkembangan terbaru

dari lapangan, dan juga para utusan laskar-laskar dari berbagai daerah

yang baru saja terbentuk untuk mendukung perjuangan Pangeran

Diponegoro. Ada yang dari Semarang, Kedu, Banyumas, Pacitan,

Magelang, Wonosari, dan sebagainya. Mereka semuanya melaporkan jika

di semua daerah, rakyat telah bangkit dan menyusun barisannya sendiri-

sendiri untuk ikut berjuang mengusir kaum penjajah kafir Belanda dari

Bumi Mataram dan mengembalikan kewibawaan Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat yang telah dicemari Danuredjo dan kawan-kawannya.

Kepada mereka, Pangeran Ngabehi dan Diponegoro hanya berpesan agar

kebangkitan perjuangan bersenjata melawan kafir Belanda semata-mata

diniatkan demi tegaknya agama Allah di Bumi Mataram. ―Islam itu agama

yang adil dan membebaskan. Janganlah berbuat zalim, bahkan terhadap

musuhmu sekali pun,‖ tulis Diponegoro di dalam setiap suratnya yang

disampaikan kepada para laskar yang bangkit di berbagai daerah.

Sore itu setelah Asar, Akhmad Prawiro-kurir khusus yang sering

mengantarkan surat-surat Diponegoro ke kraton-bergegas menaiki

ratusan anak tangga menuju Gua Kakung tempat Pangeran Diponegoro

dan para sesepuh lainnya berkumpul. Akhmad Prawiro tidak sendirian. Di

belakangnya, Ki Singalodra mengawal.[]

U

Page 183: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 182

Setibanya di pelataran atas, Akhmad Prawiro berdiri di depan gua dan

mengucapkan salam. Pangeran Diponegoro dan yang lainnya menjawab

salam pemuda keturunan Cina tersebut.

―Mari masuk, Kisanak,‖ ajak Diponegoro.

Dengan penuh hormat, Akhmad Prawiro melangkahkan kaki kanannya

terlebih dahulu-demikian yang diajarkan para guru ngaji sejak dia masih

kanak-kanak-untuk memasuki rumah atau bangunan lainnya. Dia

kemudian duduk bersila, mengikuti seluruh sesepuh yang ada di dalam

gua tersebut.

―Nah, anak muda, sekarang tolong ceritakan kepada kami, apa yang

membuatmu tergesa seperti itu?‖ tanya Pangeran Ngabehi.

―Maaf, Kanjeng Pangeran. Saya baru saja bertemu dengan beberapa orang

prajurit kraton yang bersimpati kepada jihad kita. Mereka mengatakan

bahwa beberapa jam lalu Kolonel Von Jett, Kapten Bouwensch, Smissaert,

serta Danuredjo bertemu di Vredeburg dan mereka merencanakan untuk

menyerang kita di Selarong secepatnya.‖

―Benarkah?‖

―Inggih, Kanjeng Pangeran. Bouwensch sendiri telah memerintahkan

pasukan Belanda untuk segera bersiap dengan membawa perlengkapan

tempur garis pertama.‖

Pangeran Bei terdiam sejenak. Demikian pula dengan Pangeran

Diponegoro dan yang lainnya. Semuanya tahu bahwa diperlukan waktu

sekitar satu-dua jam bagi pasukan Belanda di Vredeburg untuk bersiap

dan berangkat. Dan perjalanan dari Benteng Vredeburg ke Selarong lebih

singkat lagi. Ini berarti serangan itu bisa terjadi tengah malam nanti atau

besok pagi.

―Kisanak, ada lagi yang ingin kamu sampaikan?‖

Akhmad Prawiro menggelengkan kepalanya. ―Itu saja, Kanjeng

Pangeran…‖

―Kisanak, dan kau juga Ki Singalodra…‖

Page 184: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 183

―Inggih, Gusti Kanjeng Pangeran…,‖ jawab Akhmad Prawiro dan Ki

Singalodra bersamaan.

―…Katakan kepada seluruh kepala regu laskar yang berada di Selarong

agar secepatnya bersiap hijrah sementara ke arah selatan, tepatnya di

sekitar Sendangsari, di tepi Kali Progo. Siapa yang sudah siap, silakan

berangkat. Tidak perlu menunggu kita semua. Kita akan bersiap pula

secepatnya. Nah, sekarang turunlah dan temui para kepala regu di

bawah…‖

Setelah mengucapkan salam, keduanya kemudian langsung turun. Ki

Guntur Wisesa yang berada di tengah-tengah mereka berdiri, ―Kanjeng

Pangeran, saya akan ke bawah dahulu mengatur semuanya.‖

―Silakan, Ki,‖ jawab Diponegoro.

Sebagai orang yang bertanggungjawab atas keamanan wilayah Selarong,

Ki Guntur segera melompat ke bawah mendahulu Ki Singalodra dan

Akhmad Prawiro. Ki Guntur segera menemui sejumlah kepala pasukan

dan menginstruksikan agar tidak ada satu pun laskar yang melakukan

perlawanan terhadap kolone Belanda pimpinan Kapten Bouwensch yang

akan menyerang Selarong.

―Kita secepatnya menyingkir ke Sendangsari sekarang juga. Biarkan

mereka menemui Selarong yang kosong!‖ tegasnya.

Untunglah semua kepala laskar yang ada patuh tanpa banyak tanya.

Mereka segera bersiap untuk menggerakkan pasukannya ke Sendangsari

seperti yang diperintahkan. Ki Guntur Wisesa sendiri sebenarnya ingin

bertanya mengapa mereka harus menghindari serangan Belanda,

sedangkan pasukan mereka di Selarong ini sudah cukup kuat. Dia yakin,

semuanya bisa menghancurkan kolone Kapten Bouwensch.

Ah, nanti saja saya akan bertanya pada Kanjeng Pangeran Diponegoro!

Tiba-tiba pundak Ki Guntur Wisesa ditepuk seseorang. Ki Guntur segera

menoleh ke belakang. Pangeran Diponegoro telah berdiri di dekatnya,

disertai para sesepuh. Dengan senyum yang begitu tulus, Diponegoro

berkata, ―Ki Guntur saudaraku, kita kali ini sengaja menghindar dari

serangan pasukan kafir Belanda…‖

Page 185: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 184

Ki Guntur salah tingkah. Dia benar-benar tidak menduga Pangeran

Diponegoro mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam kepalanya.

―Eh, maafkan saya, Kanjeng Pangeran. Bukan maksud saya untuk

berburuk sangka…‖

―Tidak mengapa, Ki. Rasulullah saja sering didebat para sahabatnya.

Bahkan Umar radiyallahu anhupernah diacungkan pedang tepat di hari

pelantikannya sebagai khalifah oleh umatnya. Mengapa pula saya tidak.

Saya hanyalah manusia biasa, tidak berbeda denganmu dan dengan yang

lainnya. Strategi menghindar kali ini memang sengaja kita gunakan agar

kafir Belanda mengira kita lemah, belum cukup kuat. Kemenangan telak

yang diraih laskar Mulyo Sentiko di Pisangan terhadap dua pasukan kafir

pimpinan Kapten Kumsius dan Letnan Delatree amat mengejutkan

Belanda. Dan mereka akan bertambah kaget manakala pasukan mereka

kembali hancur di Selarong. Mereka akan memanggil seluruh

kekuatannya dari Batavia dan dari luar Jawa. Mereka juga akan menekan

seluruh raja untuk mengerahkan pasukan bantuannya untuk menyerang

kita. Ini tentu kita tidak inginkan. Biarlah kali ini kita menghindar, agar

mereka lengah. Dan pada saatnya nanti, insya Allah tidak akan lama lagi,

kita akan melakukan serangan besar-besaran terhadap jantung kekuatan

mereka di Bumi Mataram. Kita akan kepung Yogya dan

membebaskannya!‖ papar Diponegoro panjang lebar.

―Serangan besar?‖

―Betul, Kisanak. Kita akan kepung Yogyakarta, memutuskannya dari

dunia luar, dan serang mereka di jantungnya! Insya Allah, kita akan bisa

menghancurkan mereka…‖

―Amien ya Rabb!‖

Ki Guntur Wisesa benar-benar kagum dengan rencana itu. Dia pun segera

pamit. Setelah menunaikan sholat maghrib berjamaah, semua laskar yang

ada di Selarong berangkat hijrah ke selatan melewati jalur khusus yang

telah diamankan oleh anggota laskar. Pangeran Diponegoro dan sesepuh

lainnya berada di tengah rombongan. Di depan barisan, Ki Guntur Wisesa

dan Pangeran Bei memimpin. Sedangkan di bagian paling belakang, laskar

elit Bulkiyo pimpinan Kiai Modjo mengawal. Di bawah siraman cahaya

rembulan, mereka semua meniti jalan setapak menuju daerah yang aman

di tepian Kali Progo. []

Page 186: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 185

BAB 39

ilai pendadakan dalam suatu serangan menempati posisi sangat

penting dalam sukses tidaknya suatu operasi pertempuran. Kapten

Bouwensch sangat mengetahui hal ini. Sebab itu, setelah keluar dari

ruang pertemuan, dimana Kolonel Von Jett memerintahkan persiapan

serangan ke markas pemberontak di Gua Selarong, dia segera

menghimpun beberapa komandan pasukan dan hanya mengatakan jika

mereka akan segera berangkat melakukan serangan ke suatu daerah.

Namun Bouwensch agaknya lupa, Benteng Vredeburg tidak hanya dihuni

oleh orang-orang Eropa. Di dalam benteng yang letaknya hanya

sepelemparan meriam di utara Kraton Yogyakarta itu, terdapat ratusan

orang pribumi. Mereka menempati strata terendah dalam kehidupan sosial

di dalam benteng, dipekerjakan sebagai budak yang antara lain bertugas

melayani kebutuhan prajurit dan perwira Belanda, tukang sapu, tukang

rumput, perawat kuda, tukang masak, dan sebagainya. Dan Pangeran

Diponegoro serta sesepuh yang lain memanfaatkan hal ini dengan

menyusupkan banyak orangnya ke dalam benteng sebagai pelayan.

Sebab itu, ketika Kapten Bouwensch mengumpulkan para komandan

pasukannya dan memerintahkan persiapan garis tempur pertama untuk

diberangkatkan ke Selarong, informasi ini didengar oleh seorang pelayan

dan segera membocorkannya.

Pangeran Diponegoro memiliki banyak telinga di Benteng Vredeburg dan

juga di dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri. Sebab itu, ketika

Diponegoro dan laskarnya sudah berangkat menuju wilayah aman di

selatan Selarong malam harinya, maka di dalam benteng, Kapten

Bouwensch dan pasukannya baru melaksanakan apel di lapangan luas

yang berada di tengah-tengah bangunan utama, lengkap dengan segala

perlengkapannya.

Satu jam sebelum memberangkatkan pasukannya, Bouwensch terlebih

dahulu mengirim satu regu perintis dengan kawalan pasukan bersenjata

yang bertugas mengamankan akses jalan menuju Selarong. Menurut

sejumlah mata-mata, pergerakan laskar dan simpatisan pemberontak

sangat luar biasa. Hanya dalam radius yang sangat sempit, semua akses

N

Page 187: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 186

jalan yang berdekatan dengan Vredeburg dan Kraton sudah banyak yang

dirusak atau dipasang jebakan dan blokade, berupa lubang-lubang atau

pengrusakan jalan yang disengaja, pohon-pohon besar yang

ditumbangkan dan batangnya dibiarkan melintang menutupi jalan,

pemampatan aliran air hingga air meluber ke jalan tanah membuat jalan

menjadi becek bahkan gembur, penimbunan jalan oleh batu-batu kali,

dan sebagainya. Pasukan perintis bertugas menyingkirkan semua itu agar

pergerakan pasukan penyerang yang di antaranya membawa kereta

meriam yang berat yang ditarik kuda bisa lebih lancar.

Tentu saja hal ini membuat lambat pergerakan pasukan Belanda. Laskar

Diponegoro yang hanya terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki-

kavaleri dan infanteri-jauh lebih cepat ketimbang pasukan Belanda. Sebab

itu, ketika pasukan Diponegoro telah tiba di Sendangsari dan membuat

perkemahan di tengah rerimbunan hutan di sepanjang tepian Kali Progo,

Kapten Bouwensch dan pasukannya baru beranjak beberapa kilometer

dari Vredeburg.

Wilayah Selarong sendiri sudah benar-benar bersih dari laskar dan juga

lelaki dewasa. Yang tinggal di desa itu cuma perempuan dan anak-anak.

Semua lelaki yang sudah dianggap besar sengaja diperintahkan

meninggalkan desa untuk sementara waktu. Ini dilakukan untuk

menghindarkan mereka dari sasaran kemarahan Belanda yang dipastikan

gagal menemukan Diponegoro dan laskarnya.

Tanpa diketahui siapa pun, sebagian anggota laskar perempuan di bawah

komando Raden Ayu Retnaningsih tetap tinggal di Selarong dan berpura-

pura menjadi warga sekitar. Mereka diperintahkan menggali informasi

tentang kekuatan pasukan Kapten Bouwensch, dan juga memberi rasa

aman kepada penduduk asli Selarong.

Seperti halnya Trisat Kenya atau Bregada Langen Kesuma, laskar puteri

Diponegoro juga memiliki kecakapan tempur terlatih dan olah kanuragan

yang tinggi, sehingga srikandi-srikandi ini, walau diluarnya tampak lemah

gemulai, namun menyimpan kekuatan dan keberanian yang dahsyat.

Lewat tengah malam, pasukan Kapten Bouwensch telah tiba di perbatasan

terluar Desa Selarong. Mereka tidak langsung masuk, namun mengirim

pasukan pelopor terlebih dahulu, yang terdiri dari tiga regu pasukan

Page 188: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 187

infanteri bersenjatakan senapan flintlock67 dan pedang, dan mengikuti

pasukan itu dari belakang. Pasukan pelopor terdiri dari gabungan

pasukan Eropa dan Legiun Mangkunegaran yang semuanya berkuda serta

dilengkapi pedang serta karaben Musketon.

Situasi di sekitar Gua Selarong sangat sepi. Pasukan Bouwensch dengan

amat leluasa masuk dan menyisir seluruh bagian tanpa menemukan

seorang laskar pun. Sadarlah Bouwensch jika pergerakan pasukannya

sudah tercium oleh pasukan Diponegoro. Walau geram, dia mengakui jika

pasukan mata-mata Diponegoro kali ini ternyata lebih lihai dibanding

Belanda.

Setelah setengah jam menyisir wilayah itu tanpa hasil, Kapten Bouwensch

memutuskan untuk kembali ke Vredeburg dan tidak mempertahankan

Selarong. Diajuga tidak memerintahkan pasukannya untuk menyisir di

luar wilayah Selarong, sesuatu yang amat berbahaya karena sikap

permusuhan rakyat pribumi terhadap Belanda semakin memuncak

disebabkan pemberontakan Diponegoro dan para pangeran lainnya ini.

Namun Bouwensch juga menilai, dengan menyingkirnya para

pemberontak dari pasukannya, maka itu berarti kekuatan pemberontak

masih lemah.

Kepergian pasukan Bouwensch dari Selarong diikuti oleh pandangan mata

ratusan perempuan pribumi dan anak-anak, yang di antaranya anggota

laskar puteri Diponegoro. Mereka lega, strategi menahan diri mereka

berhasil. Belanda akan mengira mereka masih lemah. Dengan begitu

mereka akan lebih leluasa untuk memperkuat pasukan dan mengepung

Yogyakarta nantinya. []

67 Senapan Flintlock merupakan senjata api laras panjang yang harus diisi

kembali dengan bubuk mesiu setiap melepas 12 kali tembakan. Kelemahan jenis senjata ini adalah bubuk mesiu yang dimasukkan harus benar-benar kering. Sebab itu, jika musim hujan, senapan ini sering tidak berfungsi karena bubuk mesiu menjadi lembab.

Page 189: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 188

BAB 40

ngin sekali sesungguhnya Ki Singalodra membunuh sebanyak-

banyaknya pasukan Belanda. Dia yakin, dia mampu melakukan itu.

Tapi karena Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya memilih

untuk menggunakan taktik menghindar sementara, dia mau tidak mau

harus patuh dan taat dengan keputusan syuro itu.

Lewat tengah malam, Ki Singalodra dikejutkan oleh suara derap kaki kuda

yang kian lama kian mendekat ke arah perkemahan mereka di tepian Kali

Progo dekat dengan wilayah Sendangsari. Lelaki yang tengah tertidur di

bawah pohon di luar arena perkemahan itu segera bangkit dan berdiri

untuk melihat siapa yang datang malam-malam begini. Penglihatannya

yang tajam menangkap tiga penunggang kuda perempuan yang tengah

memacu kudanya menuju perkemahan.

Pasukan telik sandi Laskar Puteri!

Ki Singalodra melompat keluar dari rerimbunan semak dan melambaikan

tangannya kepada tiga laskar puteri penunggang kuda tersebut.

―Tahan! Tahan! Aku Singalodra! Ada kabar penting rupanya.‖

Ketiga penunggang tersebut menarik tali kekang kudanya dan berhenti

hanya dalam jarak dua meter dari tempat Ki Singalodra berdiri. Mereka

memberi salam yang segera dijawab oleh Ki Singalodra.

―Ki Singalodra, kami utusan dari Raden Ayu Retnaningsih untuk

menyampaikan kabar terbaru dari Selarong…‖

―Ya. Saya tahu.‖

―Bisakah kami diantar menemui Kanjeng Pangeran Diponegoro?‖

Ki Singalodra menganggukkan kepalanya. ―Sebentar,‖ katanya. Kemudian

lelaki itu mengeluarkan suara burung gagak dan dari rerimbunan semak

keluar seekor kuda hitam yang berjalan perlahan menghampiri tuannya.

Ki Singalodra pun segera melompat ke punggung kudanya itu.

―Mari ikut saya!‖

I

Page 190: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 189

Ki Singalodra berjalan di depan, diikuti ketiga laskar perempuan yang

menyelipkan keris dan trisula di pinggangnya. Mereka berempat tidak

dapat memacu kudanya kencang-kencang karena jalan tanah yang sempit

dengan banyak suluran akar pohon di bawahnya. Beberapa kali mereka

bahkan harus menundukkan kepala dan merendahkan badannya agar

tidak terkena cabang dan batang pohon di hutan ini yang menjalar ke

mana-mana. Tidak sampai setengah jam kemudian, hamparan rumput

hijau yang tidak terlalu luas membentang di depan mereka. Di bawah

sorot cahaya rembulan yang agak redup, hamparan rumput itu tampak

sarat dengan misteri. Di ujung hamparan rumput tersebut, terlihat tenda-

tenda pasukan Diponegoro yang disamarkan vegetasi sekitarnya.

―Itu tenda Kanjeng Pangeran,‖ ujar Ki Singalodra dengan menunjukkan

tangan kirinya ke arah sebuah tenda yang tidak berbeda dengan tenda

yang lainnya, hanya saja terdapat pohon jati yang meranggas di dekatnya.

Ki Singalodra kemudian menuntun kuda hitamnya menyusuri jalan

setapak di antara hamparan rumput tersebut menuju tenda tersebut.

―Assalamu‟alaikum, Ki…‖

Tiba-tiba Pangeran Mangkubumi sudah muncul di depan mereka,

bagaikan muncul begitu saja dari dalam bumi.

Dengan sedikit terkejut, Ki Singalodra menjawab salam itu, ―…eh Kanjeng

Pangeran Mangkubumi…Wa‟alaikumusalam…―

―Siapa yang mengikutimu itu, Ki?‖

Ki Singalodra turun dari kudanya dan menjelaskan jika ketiga

penunggang kuda dibelakangnya adalah laskar puteri utusan isteri

Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnanningsih, yang hendak

menyampaikan kabar terbaru dari Selarong.

―Mereka akan menyampaikan pesan terbaru dari Selarong kepada Kanjeng

Pangeran Diponegoro…‖

Mangkubumi berjalan mendekati ketiga penunggang kuda perempuan

tersebut dan berhenti dua meter dihadapan mereka. Paman dari

Diponegoro tersebut kemudian berdiam diri sejenak. Entah apa yang

tengah dilakukannya. Setelah itu dia menganggukkan kepalanya dan

mempersilakan Ki Singalodra dan ketiga penunggang perempuan tersebut

Page 191: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 190

berjalan kembali. Mangkubumi bahkan mengiringi tamu-tamunya itu

berjalan menuju tenda Pangeran Diponegoro, yang ternyata bukan seperti

yang ditunjukkan Ki Singalodra, namun lebih ke dalam, hanya berjarak

sepuluh meter dari tepi Kali Progo.

Pangeran Diponegoro sendiri ternyata tidak berada di dalam tendanya.

Ketika para tamunya sudah tiba di depan tenda, Sang Pangeran ternyata

muncul dari balik pepohonan yang rapat dari arah kali. Mangkubumi dan

yang lainnya mengucapkan salam yang segera dijawab dengan hangat oleh

Diponegoro.

―Wahai laskar puteri, apa yang hendak kalian sampaikan padaku?‖

Seorang dari ketiga laskar itu menjawab, ―Kami ingin menyampaikan jika

saat ini seluruh rakyat Mataram di Selarong dalam keadaan sehat wal-

afiat…‖

―Alhamdulillah ya Rabb…,‖ ujar Diponegoro.

―Kapten Bouwensch dan pasukannya memang datang dan melakukan

penyisiran. Selain di sekitar wilayah gua juga di beberapa rumah

penduduk secara acak. Setelah tidak menemukan apa yang dicari, mereka

kemudian mengancam penduduk agar tidak ikut-ikutan mendukung

perjuangan kita. Setelah itu mereka pergi kembali ke Vredeburg…‖

Pangeran Diponegoro mendengarkan dengan penuh seksama. Wajahnya

menunduk menekuri lantai rumput yang dilapisi dedaunan kering dan

kain lebar yang terlihat sudah lusuh. Dia kemudian berkata dengan pelan,

―Bagaimana dengan rakyat di sana. Apakah mereka disakiti atau

rumahnya dibakar?‖

―Tidak Kanjeng Pangeran. Belanda tidak melakukan pembakaran. Mereka

hanya datang dan mengancam kami semua. Mereka juga sempat berusaha

mempengaruhi kami jika pemberontakan ini hanyalah alat Kanjeng

Pangeran agar bisa menguasai Kraton Ngayogyarakarta Hadiningrat…‖

Diponegoro mengucap istighfar. Dia sudah mendengar hal itu sebelumnya.

Belanda memang menggunakan segala cara untuk menghancurkan

perjuangannya. Diponegoro sama sekali tidak marah. Dia menyadari jika

apa yang diperjuangkannya adalah apa yang juga diperjuangkan para nabi

Allah dan Rasul-Nya, dari Adam, Musa, Nuh, Ibrahim, Isa, hingga

Page 192: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 191

Muhammad Shalallahu wa‟allaihi salam. Perjuangan menegakkan

ketauhidan merupakan jalan sepi dan sunyi, sangat jauh dari hingar-

bingar duniawi.

―Apakah pasukan kafir itu sudah pergi seluruhnya dari Selarong?‖

―Betul Kanjeng Pangeran. Mereka tidak lama di Selarong dan kembali

secepatnya ke benteng mereka. Laskar kami sudah mengikuti mereka

sampai beberapa paal dari batas terluar desa.‖

―Paman…,‖ ujar Diponegoro kepada Mangkubumi.

―Ya, Pangeran.‖

―Insya Allah, selarong malam ini sudah aman kembali. Apakah sekarang

juga kita kembali atau bagaimana menurut Paman?‖

Mangkubumi terdiam sesaat. Kemudian dia menjawab, ―Sebaiknya kita

mengadakan musyawarah terlebih dahulu, Pangeran.‖

Diponegoro menganggukkan kepalanya. ―Baiklah jika demikian, Paman.

Tolong panggil Kiai Modjo, paman Ngabehi, Ki Guntur Wisesa, Ustadz

Taftayani, dan yang lainnya ke sini.‖

―Baik, Pangeran.‖

Mangkubumi segera meninggalkan tenda dan memanggil sejumlah

sesepuh yang biasanya menggelar syuro terlebih dahulu sebelum

memutuskan pergerakan pasukan. Pangeran Diponegoro kemudian

kembali bertanya pada salah seorang laskar puteri yang masih duduk

bersimpuh di hadapannya.

―Siapa nama kalian dan darimana asal kalian?‖

Masing-masing dari ketiga laskar puteri tersebut menyebutkan namanya,

yaitu Arum, Asih, dan Retnowati. Mereka dari Wonosari, Krapyak, dan

Kedu.

―Jika kalian lelah, kalian bisa istirahat terlebih dahulu di tenda keputerian

tidak jauh dari sini. Ki Singalodra bisa mengantarkan kalian.‖

Page 193: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 192

―Terima kasih Kanjeng Pangeran. Alhamdulillah, kami tidak lelah. Kami

akan segera kembali ke Selarong. Adakah pesan atau perintah Kanjeng

Pangeran kepada kami semua di sana?‖

―Ya. Tolong sampaikan kepada rakyat Mataram yang ada di Selarong, agar

mereka tidak perlu takut. Takutlah hanya kepada Allah subhana wa

ta‟ala, bukan kepada mahluk-Nya. Kita semua akan segera kembali ke

sana dan akan terus berjuang hingga agama Allah ini tegak. Sampaikan

juga rasa terima kasihku karena kesetiaan mereka dengan perjuangan ini.

Mungkin itu saja.‖

Ketiga laskar puteri tersebut kemudian pamit dan keluar dari tendanya.

Pangeran Diponegoro memerintahkan agar Ki Singalodra mengawal ketiga

tamu itu hingga ke batas Sendangsari.

Bersamaan dengan pulangnya ketiga tamu itu, para sesepuh seperti Kiai

Modjo, Pangeran Bei, dan yang lainnya terlihat berjalan mendekati tenda

Diponegoro. Mereka segera menggelar musyawarah kecil dan akhirnya

sepakat jika malam itu juga seluruh pasukan akan kembali ke Selarong.

―Insya Allah, kita akan sampai jauh sebelum ayam jantan berkokok,‖ ujar

Pangeran Diponegoro. Yang lain mengaminkan. []

Page 194: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 193

BAB 41

olone Kapten Bouwensch tiba kembali di Benteng Vredeburg saat

hari masih gelap. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, Bouwensch

langsung melaporkan semuanya kepada Kolonel Von Jett yang

masih saja berada di ruangan kerjanya. Dengan wajah mengantuk,

Kolonel Von Jett mendengarkan semua laporan kapten yang

bertanggungjawab atas keamanan di seluruh wilayah Karesidenan

Ngayogyakarta Hadiningrat itu.

―Kami sengaja tidak menduduki Selarong karena tidak ada urgensinya.

Dan dengan kejadian ini, kami berkesimpulan jika pasukan pemberontak

belumlah cukup kuat untuk melakukan ancaman langsung ke Yogya.

Mereka masih dalam tahap menghimpun kekuatan dan belum mencapai

situasi yang cukup untuk berhadapan dengan kita di sini.‖

―Ya, ya, bisa jadi itu memang benar,‖ ujar Kolonel Von Jett. ―Namun kamu

juga tidak boleh lengah dengan keberadaan mereka. Ingat, mereka sudah

berani menghadang kita di Pisangan dan merebut semua senjata kita di

sana…‖

―Saya kira mereka itu nekat saja. Dan keberuntungan saat itu kebetulan

berada di pihak mereka, Kolonel.‖

―Mungkin saja demikian…‖

―Bagaimana dengan perjalananmu, pergi dan pulang?‖

―Aman, Kolonel. Pasukan perintis kita sudah menyingkirkan semua

blokade dan rintangan yang mereka buat untuk menghalangi jalan kita.

Jalur dari sini ke Selarong sudah aman.‖

―Apakah kamu menempatkan pasukanmu di sepanjang jalan itu?‖

―Tidak.‖

Tiba-tiba Kolonel Von Jett tertawa. Sebentar. Kemudian terdiam dengan

tatapan mata yang tajam ke arah Bouwensch. Kapten Bouwensch yang

berdiri di hadapannya bingung.

K

Page 195: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 194

―Kapten! Sudah berapa lama Anda mengamankan karesidenan ini!‖

―Siap, Kolonel! Sudah…‖

Belum selesai Bouwensch menjawab, Von Jett menukas, ―…Anda tidak

menempatkan pasukan Anda di sepanjang jalur ke Selarong. Hanya

menyingkirkan semua rintangan yang ada. Bagaimana Anda bisa

meyakinkanku jika jalur itu sudah aman sekarang! Pemberontak itu bisa

saja setiap waktu kembali memblokade dan membuat rintangan-rintangan

di jalan itu dengan bebas. Kapten, Anda benar-benar memalukan dengan

jawaban itu!‖

Bouwensch menyadari kesilapannya. Dia benar-benar tidak bermaksud

meyakinkan keamanan jalur itu selamanya. Namun nasi sudah menjadi

bubur. Dia sudah salah omong. Dan Kolonel Von Jett sudah menelannya

mentah-menatah. Tapi bagaimana pun dia harus membela diri.

―Siap, Kolonel! Saya memang salah dengan kalimat itu. Saya hanya ingin

menegaskan jika selama perjalanan, pergi dan pulang, jalur itu sudah

kami bersihkan. Itu saja…‖

Von Jett duduk dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

―Anda memang salah Kapten. Tapi sudahlah. Pemberontak memang sudah

ada di mana-mana. Sekarang kamu istirahatkan pasukan dan bekerjalah

kembali seperti biasa. Dan untuk kamu, jangan jauh-jauh dari benteng

ini.‖

―Siap, Kolonel! Terimakasih!‖

Bouwensch pun menghormat dan balik badan, langsung keluar dari

ruangan Kolonel Von Jett.

Page 196: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 195

BAB 42

ugaan Kapten Bouwensch ternyata salah total. Sekembalinya dari

Selarong ke Benteng Vredeburg, hampir di segala penjuru Yogya,

para penduduk keluar rumah dengan membawa berbagai macam

senjata. Mereka berkumpul di alun-alun kampung dan desa untuk

mendengarkan instruksi dari para kepala dan berangkat berbondong-

bondong ke Selarong. Mereka semua mendengar jika Belanda baru saja

menyerang Selarong. Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam dada

rakyat banyak dan mereka segera angkat senjata dan pergi ke Selarong

untuk membantu Pangeran Diponegoro dan yang lainnya.

Selain ada yang berangkat ke Selarong, para penduduk sekitar Yogya juga

banyak yang memilih untuk mengepung pusat karesidenan ini sehingga

jantung pemerintahan Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat tertutup

dari dunia luar. Kraton dan Benteng Vredeburg terkepung. Kolonel Von

Jett tidak bisa melakukan koordinasi dengan markas induk pasukannya

di Semarang. Smissaert tidak bisa berkomunikasi dengan residen-residen

tetangga, dan Danuredjo pun untuk sementara waktu tidak bisa lagi

mengimpor perempuan-perempaun muda yang cantik seperti yang biasa

dilakukannya hampir setiap malam.

Himbauan dan ancaman dari para kaki tangan Patih Danuredjo IV tidak

dipedulikan rakyat. Mereka lebih mematuhi perintah Pangeran Diponegoro

untuk bersama-sama mulai berjuang angkat senjata mengusir kaum kafir

dari Bumi Mataram dan menghancurkan kaki tangannya.

Berkali-kali usaha menembus blokade ini menemui kegagalan, dari cara-

cara halus dengan bujuk rayu dan sebagainya hingga menggunakan

ancaman dan juga kekerasan. Hingga setelah tiga hari terkepung, maka

para pembesar Karesidenan Yogya boleh merasa sedikit lega

ketika Ritmeester Raden Mas Soewongso berinisiatif untuk menjebol

pengepungan dan mengontak Solo untuk memberitahukan tentang

pengepungan itu. Ritmeester Raden Mas Soewongso adalah komandan

Legiun Mangkunegaran yang sedang diperbantukan di Karesidenan

Ngayogyakarta Hadiningrat sejak penyerangan ke Puri Tegalredjo beberapa

hari lalu. Ketika mendengar usulannya, Danuredjo kontan tersenyum

D

Page 197: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 196

lebar. Sedangkan Smissaert dan yang lainnya hanya memberinya

dukungan.

Danuredjo berharap, pengepungan Yogya oleh laskar-laskar pendukung

Diponegoro bisa segera berakhir atau dipatahkan, agar dia bisa kembali

kepada hobinya: mencari perempuan-perempuan cantik untuk

diboyongnya ke tempat tidur. Sebab itu, dia sangat mendukung inisiatif

yang diambil oleh Raden Mas Soewongso yang akan menjebol

pengepungan itu dengan pasukan Legiun Mangkunegaran yang tersisa.

Keesokan harinya, hanya beberapa menit sebelum adzan subuh bergema,

diam-diam Raden Mas Soewongso memimpin pasukannya yang terdiri dari

25 pasukan infanteri dan 12 dragonder68 keluar dari Kraton. Dengan

penuh keberanian, bahkan nekat, mereka mencoba menerobos garis

pengepungan yang dilakukan para laskar Diponegoro. Pertempuran jarak

dekat pun tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua belah pihak di

hari yang masih terasa dingin itu.

Pasukan Legiun Mangkunegaran sendiri tinggal sisa dua dragonder. Raden

Mas Soewongso segera memacu kudanya diiringi dua orang dragonder

yang masih tersisa dari seluruh pasukannya. Sejumlah laskar berkuda

mengejarnya di belakang.

Kejar-kejaran terjadi di pagi-pagi buta itu. Nyaris mencapai Kalasan, dari

kudanya yang berlari kencang, seorang laskar Diponegoro menembakkan

batu dari ketapelnya dan tepat mengenai kepala bagian belakang dari

Raden Mas Soewongso. Pimpinan Legiun Mangkunegaran itu pun pingsan

dan terjatuh dari kudanya. Setelah sempat terseret beberapa puluh meter

dari kudanya, lelaki itu menggeletak di jalan. Dua orang Dragonder yang

tersisa akhirnya menyerah. Mereka kemudian dibawa oleh laskar

Diponegoro ke Selarong untuk dihadapkan kepada Pangeran Diponegoro.

Setibanya di Selarong, Raden Mas Soewongso yang sudah siuman diberi

pengobatan pada kepala bagian belakangnya. Pangeran Diponegoro

bersama sejumlah sesepuh menengoknya di dalam sebuah rumah yang

dijadikan tempat pengobatan. Dengan sikap bersahabat, Diponegoro

memberi salam dan menyapa putera mahkota Kraton Mangkunegaran ini.

68 Kesatuan kavaleri ringan atau infanteri berkuda.

Page 198: Untotd Story of Pangeran Diponegoro (Sebuah Novel)

Untold Story of Pangeran Diponegoro 197

―Bagaimana kepalamu?‖

―Alhamdulillah, sudah agak baikan.‖

―Saya kesini dalam rangka mengajak saudaraku untuk bergabung dalam

kafilah jihad ini, mengusir kaum kafir Belanda dari Bumi Mataram yang

sama-sama kita cintai ini. Apakah saudaraku mau bergabung dengan

kafilah kami?‖

Raden Mas Soewongso menggelengkan kepalanya. Namun Pangeran

Diponegoro tidak marah. Dengan senyum yang tulus dia berkata,

―Pertimbangkanlah kembali tawaranku ini saudaraku. Ini adalah tugas

suci dari Allah subhana wa ta‟ala. Al-Jannah adalah jaminannya. Saya

beri waktu dua hari untukmu berpikir. Kami tidak akan menyiksamu dan

tidak akan menyakitimu. Jika kamu memerlukan apa pun, bilang saja

pada kami, insya Allah kami penuhi…‖

Akhirnya Diponegoro bersama para sesepuh lainnya minta diri. Dan

benar, seperti yang Diponegoro katakan, dua hari kemudian dia datang

kembali dan menanyakan hal yang sama. Namun sikap Raden Mas

Soewongso tidak berubah.

―Maaf, saya tetap pada jalanku ini. Lebih baik mati di sini ketimbang

mengkhianati mertuaku. Terserah apa yang hendak engkau lakukan

padaku ini,‖ jawab Raden Mas Soewongso ketus.

Diponegoro dan sesepuh yang lainnya tidak berkata apa-apa lagi. Setelah

mengucapkan salam, mereka semua pergi meninggalkan Raden Mas

Soewongso yang masih dijaga oleh sejumlah laskar.

―Lepaskan dia dan dua pengawalnya dengan baik. Kawal sampai

Delanggu,‖ bisik Pangeran Diponegoro kepada dua orang penjaga yang

berdiri di depan rumah yang dijadikan tempat menginap Raden Mas

Soewongso dan dua orang pengawalnya. (Bersambung…)

Sumber: http://www.eramuslim.com/novel/