untitled

Download Untitled

If you can't read please download the document

Upload: anna-andany-lestari

Post on 07-Aug-2015

48 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberculosisa atau penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang bisa bersifat akut maupun kronis dengan ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas se cara lokal. Hingga kini, TBC menjadi salah satu problem utama kesehatan dunia, t erutama di negara berkembang. Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehata n masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiova skuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan infeksi. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja prod uktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Indonesia menurut laporan WHO tahun 1999 merupakan penyumbang kasus TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan China, dan dari perkiraan jumlah kasus baru pe nderita TB yang 583.000 sekitar 262.000 diantaranya adalah sumber penularan kare na BTA positif. Sebanyak 1.023 dari 7.641 orang suspek di Jawa Barat, dideteksi positif menderit a penyakit Tuberkolosis (TBC), demikian catatan Dinas Kesehatan setempat pada da ta Evaluasi Program TB Paru 2010. Di 2010 Dinkes menargetkan untuk mendata 10.16 6 orang suspect TBC dan 1.021 positif TBC. Observasi dan pendataan dilakukan sel ama satu tahun pertriwulan. TBC termasuk penyakit menular berbahaya nomor tiga p enyebab kematian. Untuk wilayah Jawa Barat, Kota Bogor masuk 10 besar jumlah penderita TBC. Tapi u ntuk tingkat kontribusi penderita, Kota Bogor masih rendah karena cakupan luas d aerah Kota Bogor tidak begitu luas. Penyakit TBC saat ini kebanyakan menyerang u sia produktif yakni dari usia 14 hingga 54 tahun. Sedangkan TBC di Depok dari data berdasarkan hasil survei Depkes untuk wilayah K ota Depok tahun 2009 ditemukan 107 orang penderita TBC dari 100.000 penduduk. De ngan pertumbuhan penduduk Depok yang berjumlah 1,7 juta jiwa, maka diperkirakan terdapat sekitar 1.500 orang penderita TBC di Kota Depok. Lebih lanjut, sejak tahun 1995 pemerintah telah bekerja sama dengan Badan Keseha tan Dunia (WHO) dalam upaya mencegah meluasnya penyakit TBC. Kesepakatan kerjasa ma tersebut telah menghasilkan sebuah program yang bernama Directly Observed Treat ment Shortcource (DOTS). Untuk kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan simposium pemberantasan TB Paru di Cilito pada tahu n 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang mengg embirakan. (Depkes, RI, 2002). Namun diakui bahwa terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaan program sejak 1969 ini, antara lain terbatasnya jangkauan program, tingginya angka drop aut dalam pengobatan karena digunakan obat-obatan jangka panjang. Kebanyakan penderita ada lah mereka dari kalangan pendidikan dan sosio-ekonomi rendah. (Soenggoro Erwin P , 1999). Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkai an kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keada an di mana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup se hat dengan cara memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluha n TB perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahu an dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta m asyarakat dalam penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menya mpaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan lang sung bisa dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster, ata u spanduk, juga media massa yang dapat berupa media cetak seperti koran, majalah maupun media elektronik seperti radio dan televisi. Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini dituju kan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengoba tan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga , melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB . Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapa t menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tent ang TB dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suat u penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif. Penyuluhan langsung dilaksana kan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sektor, termasuk kalangan media massa. 1.2. Tujuan Kegiatan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh masyarakat me ngetahui tentang penyakit TBC ini dalam menangani dan mencegahnya guna meningkat kan kesehatan lingkungan dan keluarga serta kami mampu menjelaskan keterkaitan a ntara tujuan pembelajaran field study dengan upaya pengembangan karakternya seba gai calon professional dalam praktik kedokteran yang mampu menerapkan program ke sehatan lingkungan dan keluarga.BAB II LANDASAN TEORI Landasan Teori Tuberkulosis 2.1.1.1 Deifinis Tuberkulosis Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Myc obakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma padajaringan y ang terinfeksi. Kuman Tuberkulosis Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakt erium tuberkulosa.Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya b akteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kad ang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP). Bakteri Mycobakterium tuberkulosis Tanda dan Gejala Tanda Penurunan berat badan Anoreksia/ tidak nafsu makana Dispneu Sputum atau dahak purulen/hijau, mukoid/kuning Gejala Gejala sistemik/umum Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bers ifat hilang timbul Penurunan nafsu makan dan berat badan Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) Perasaan tidak enak (malaise), lemahGejala khusus Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian br onkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan k eluhan sakit dada Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muar a ini akan keluar cairan nanah Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurun an kesadaran dan kejang-kejang Penentuan diagnosa Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluargany. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak) Pemeriksaan patologi anatomi (PA) Rontgen dada (thorax photo) Uji tuberkulin Uji Tuberkulin dan Klasifikasi TBC. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux l ebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas l engan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaia n uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm,uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mikobakterium tuberkulosa. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 39mm,uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mikobakterium atipik atau setelah vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : 10mm,uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa. Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi prim er terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Ditemukan nya kuman Mikobakterium tuberkulosa dari kultur merupakan diagnostik TBC yang po sitif, namun tidak mudah untuk menemukannya. Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981) Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBCKlasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC t idak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif). Klasifikasi III Sedang menderita TBC Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif Klasifikasi V Dicurigai TBC Penularan TBCPenyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobak terium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anakanak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banya k (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demik ian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungka n dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah pendud uk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disa mping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupa kan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. Pencegahan Penularan TBC Pencegahan : Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air sabun) Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan Menghindari udara dingin Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tid ur Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein Penyuluhan Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkai an kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keada an di mana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup se hat dengan cara memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluha n TB perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahu an dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta m asyarakat dalam penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menya mpaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan lang sung bisa dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster, ata u spanduk, juga media massa yang dapat berupa media cetak seperti koran, majalahmaupun media elektronik seperti radio dan televisi. Penatalaksanaan TBC Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari) Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari) Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg) Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg) Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g) Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evalu ation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam prog ram ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resist ensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan. Penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Atau dengan kata lain DOTS adalah pengobatan TB jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petug as kesehatan atau keluarga penderita. Dengan menggunakan strategi DOTS maka pro ses penyembuhan TB dapat secara cepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan ter hadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan, sampai dinyatakan sembuh. Starategi DOTS telah dibuktikan dengan berbagai uji coba lapa ngan dengan memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank dunia menyatakan strat egi DOTS merupakan strategi kesehatan yang relatif paling murah pembiayaannya (A ditama, 2002). DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu : (1). Komitmen politis, berupa dukungan dana jajaran pemerintah/pengambilan keput usan terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional. (2). Penemuan penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. Pem eriksaan penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.(3). Pengadaan dan distribusi obat yang cukup dan tidak terputus. Tersedianya ob at antituberculosis (OAT) yang cukup dan tidak terputus bagi penderita. (4). Pengawasan menelan obat. Untuk memastikan keteraturan penderita minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat (PMO), khususnya pada dua bulan pertama d imana penderita minum obat setiap hari. (5). Sistim pencatatan dan pelaporan data-data perkembangan penyakit TB Paru yan g baku (Aditama, 2002). Melalui sistem pencatatan dan pelaporan yang sama diselu ruh unit pelayanan kesehatan, akan memudahkan evaluasi. Dengan keseragaman pengg unaan defenisi kasus berdasarkan kategori penyakitnya, maka pencatatan penderita yang diikuti secara konkrit akan dapat di evaluasi secara berkala. Dalam jangka panjang tujuan program pengobatan pemberatasan TB di Indonesia adalah memutuska n mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehat an masyarakat Indonesia. Dalam jangka pendek, program ini bertujuan untuk memper luas sarana kesehatan secara bertahap hingga mencapai minimal 70% dari total pen derita TB yang ada dapat di catat dan menyembuhkan minimal 80% dari total pender ita yang ditemukan. Prinsif DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhada p penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan me lakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditentukan (Aditama, 2002). Program DOTS DOTS atau kependekan dari Directly Observed Treatment, Short-course adalah strat egi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan meng gunakan startegi DOTS, maka proses penyembuhan TBC dapat secara cepat. DOTS mene kankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TBC agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan angk a kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangiTBC. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : 1. Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulang i TBC. 2. Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 3. Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi secara lang sung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat). 4. Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara konsisten. 5. Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai standar. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cos t effective. Bangladesh : Dengan strategi DOTS, angka kesembuhan mampu mencapai sekitar 80 %. Maldives : Angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 % berkat strategi DOTS. Nepal : Setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan mencapai 85 % (sebelumnya han ya mencapai 50 %). RRC : Tingkat kesembuhan mencapai 90 % dengan DOTS. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenal kan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelay anan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pen gawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap har i. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat peman tau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wila yah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari ka sus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak beker ja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki r isiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan m enyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). U ntuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sang at disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan) . Pengawasan Menelan Obat (PMO). Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan d an mencegah drop out (lalai) dilakukan pengawasan dan DOTS melalui pengawasan la ngsung menelan obat oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Bagi penderita TB yang rum ahnya dekat dengan puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya maka PMOnya ad alah petugas puskesmas, sedangkan bagi penderita yang rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan masyarakat, LSM, PPTI (Perkumpulan Pembantasan TB Indonesia) da n PKK. Obat harus ditelan setiap hari yang disaksikan oleh PMO, jika tidak mungk in bagi penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas maka petugas puskesmas h arus merundingkannya dengan penderita bagaimana caranya agar terjamin obat di te lan setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan, penderita dan PMO harus di beri penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat di sembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana pengobatan penderita p ada tahap awal dan tahap intensif, pentingnya berobat secara teratur, Karena itu pengobatan perlu di awasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah penularan (A ditama, 2002). a) Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maup un penderita. Selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita Bersedia membantu penderita dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. b) Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa , Perawat , Pekar ya Sanitarian , juru imunisasi dll . Bila tidak ada petugas kesehatan yang memun gkinkan, PMO dapat berasal dari kader Kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau to koh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. c) Tugas Sorang PMO Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobat an. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur. Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada waktu waktu yang telah d itentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gej ala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke unit Pelayanan kesehatan. Catatan Tugas seorang PMO bukanlah untukmengganti kewajiban penderita mengambil obat dar i unit pelayanan kesehatan d) Informasi penting yang perlu difahami PMO untuk disampaikan TBC bukan penyakit keturunan atau kutukan. TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur. Tata laksana pengobatan penderita pada Tahap intensif dan lanjutan. Pentingnya berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu diawasi. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping te rsebut. Cara penularan dan mencegah penularan Seorang PMO akan bertugas untuk mengawasi penderita agar menelan obat secara te ratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau bero bat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu y ang telah ditentukandan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB ya ng mempunyai gejala-gejala tersangka penderita TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).Pengobatan TB paru Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT (obat anti tuberculosis) yang telah diprogramkan pada tahun 1993/1994. Untuk pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan paduan OAT dikemas dalam bentuk bl ister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II un tuk pase awal dan kombipak III untuk pase lanjutan, oleh karena itu sekali seora ng penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya dengan lengkap dan hin gga sembuh (Depkes RI, 2002). Obat anti tuberculosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendek adalah : Isoniazid (H), Rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin (S) dan et hambutol (E). Oleh karena itu penggunaan rifampisin dan streptomisin untuk penya kit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobat an penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis melalui pemeriksaan labora torium terhadap adanya BTA pada sample sputum penderita dan pemeriksaan radiolog i (Depkes RI, 2002).Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita , rata-rata berat badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33-50 kg sehingga kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III d an kombipak IV sangat sesuai ; bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 k g perlu penambahan dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif da n praktis (Depkes RI, 2002).Obat yang dipakai dalam program pembertasan TB sesua i dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3 ka tegori, setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase l anjutan/ intermitten yaitu, pada : Kategori I (2HRZE/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA positif dan pender ita baru BTA negatif tetapi rontgen positif dengan sakit berat dan penderita ekstr a paru berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan fase lan jutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil (Depkes RI, 2005). Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3), diberikan kepada penderita dengan BTA (+) ya ng telah pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya selama lebih dari sebulan, dengan kr iteria : penderita kambuh (relaps) BTA (+) dan gagal pengobatan (failure) BTA (+ ) dan lain-lain dengan kasus BTA masih (+). Diberikan 156 dosis , fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 66 kombip ak IV, disertai streptomisin (Depkes RI, 2005). Kategori III (2HRZ/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA (-)/ roentgen (+) dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali. Pada pase aw al 60 kombipak 1 dan pase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan (HRZE), diberika n pada pengobatan kategori I dan II yang pada pase awal masih BTA (+), untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari (Depkes RI, 2005). Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan : (1) Kasus baru : penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Ant i Tuberculosis (OAT), atau pernah akan tetapi kurang dari 1 bulan. (2) Kambuh/ relaps : pernah dilaporkan sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA (+) . (3). Pindahan/transfer in : telah terdapat dan mendapat pengobatan ditempat peng obatan lain, kini datang berobat serta mendaftarkan diri untuk lanjutan pengobat an. (4). Pengobatan setelah default/lalai : penderita yang datang berobat setelah be rhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih, dan (5). Gagal : penderita BTA (+) yang tetap memberikan hasil BTA (+), walaupun set elah pengobatan fase awal (Depkes RI, 2005). Pemakaian obat anti tuberculosis (O AT) jangka pendek sesuai rekomendasi WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifi kasi penyakit sangat penting. Obat anti TB yang digunakan sesuai dengan program pemerintah guna mencegah kegagalan pengobatan (Depkes RI, 2005). Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut. Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai : sembuh, pengobatan len gkap, meninggal, pindah (transfer out) defaulted (lalai)/ DO dan gagal (Depkes R I, 2005). Kategori pertama, penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah men yelesaikan pengobatannya secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 (kali) berturut- turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan atau sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya). Contoh p enderita yang dinyatakan sembuh, bila hasil pengobatan ulang dahak negatif pada akhir pengobatan (AP), pada sebulan sebelum AP, dan pada akhir intensif. Pende rita dengan hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada akhir intensif (pad a penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelu m AP tidak diketahui hasilnya. Selanjutnya, bila hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan), meskip un pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. ha sil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada akhir inten sif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tid ak diketahui hasilnya. Contoh berikutnya, bila hasil pemeriksaan ulang dahak neg atif pada sebulan sebelum AP dan pada stelah sisipan (pada penderita yang mendap at sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Tindak lanjut : Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri deng an mengikuti prosedur tetap (Depkes RI, 2002). Kategori hasil pengobatan yang ke dua, pengobatan lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak dua kali berturut-tu rut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap (Depkes RI, 2002). Kat egori selanjutnya penderita yang pada masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun (Depkes RI, 2002). Kategori keempat adalah penderita yang pindah b erobat ke kabupaten/kota lain. Tindak lanjut : penderita yang ingin pindah dibua tkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke unit pelayanan yang baru (Dep kes RI, 2002).Kategori hasil pengobatan kelima, penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai. Tindak l anjut: Lacak penderita tersebut dan berikan penyuluhan pentingnya berobat secar a teratur. Apabila penderita melanjutkan pengobatan lakukan pemeriksaan dahak. B ila positif lakukan pengobatan dengankategori 2, bila negatif sisa pengobatan k ategori 1 dilanjutkan (Depkes RI, 2002). Terakhir, penderita BTA positif yang ha sil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan se belum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Tindak lanjut : penderita BT A positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal, penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif. Tindak lanjut : berikan pengobatan kat egori 2 mulai dari awal (Depkes RI, 2002). Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangka ian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk menc apai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehata n (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998). Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena mas alah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat . Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan d engan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Peny uluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tida k langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio d an televisi. Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung peroranga n sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Pen yuluhan ini ditujukan kepada penderita dan keluarganya, supaya penderita menjala ni pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dap at menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari pe nularan TB Paru. Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama terlebi h dahulu dijelaskan tentang penyakit TBC, bagaimana riwayat pengobatan sebelumny a, bagaimana cara pengobatannya, juga perlu dijelaskan pentingnya pengawasan lan gsung menelan obat dan bagaimana penularan penyakit TBC (Depkes RI, 2002). Selan jutnya pada kunjungan berikutnya, hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai cara menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan OAT, penting juga dijelaskan mengen ai efek samping OAT juga perlu dijelaskan jadwal pemeriksaan ulang dahak dan ar ti hasil pemeriksaan tersebut, dan tak kalah pentingnya penjelasan mengenai apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.Petugas kese hatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor yang dapat menghambat tercip tanya komunikasi yang baik. Faktor yang menghambat tersebut, antara lain ketidak tahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya, rasa takut yang berlebihan terhadap TBC yang menyebabkab timbulnya reaksi penolakan, juga adanya stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima keluarga dan temannya serta hambatan yang berupa menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketah uan bahwa ia tidak tahu tentang TBC (Depkes, 2002).Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang le bih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penya kit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berb ahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan pe nemuan penderita secara pasif.Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga keseh atan, para kader dan PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan m edia massa selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari ber bagai sector termasuk kalangan media massa (Depkes RI, 2002). Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru yang meliputi hambatan medik dan nonm edik yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan program pemberantasan TB p aru.Menurut Yunus,dkk, (1992) pada umumnya hambatan dalam pelaksanaan program pe mberantasan TB paru dapat di golongkan dam masalah medik dan masalah nonmedik. Hambatan medik Ada dua hal yang menyangkut masalah medik yaitu pertama berasal dari penyakit d an penyebab penyakit.