untitled

Download Untitled

If you can't read please download the document

Upload: i-nengah-aditya-pramana

Post on 05-Aug-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Tinitus didefinisikan sebagai bunyi yang di dengar oleh seseorang yang berasal d ari tubuhnya sendiri tanpa adanya rangsangan bunyi eksternal yang relevan. Istil ah tinitus berasal dari kata Latin tinnire yang mempunyai arti untuk membunyikan. Tini tus bukanlah suatu penyakit atau sindroma, tetapi merupakan gejala yang mungkin berasal dari satu atau lebih kelainan. Adapun keluhan yang dialami ini seperti b unyi mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi lainnya. Suara-suara yang terdengar oleh telinga belum tentu bersifat kelainan atau patol ogis. Jika orang sehat yang terbukti telinganya normal, berada dalam ruang kedap , maka ia akan dapat mendengar berbagai macam suara yang berasal dari berbagai o rgan tubuhnya sendiri yang memang bekerja setiap saat, contohnya: pernapasan, ko ntraksi jantung, dan aliran darah. Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-har i, suasana yang memungkinkan suara fisiologis atau normal tersebut terdengar ole h seseorang sangat jarang tercipta dan bahkan dalam kamar yang sunyi di malam ha ri sekalipun. Hal ini dikarenakan terdapat suara masking dari lingkungan dengan intensitas sekitar 25 30 dB. Tinitus baru terdengar jika intensitas suara organ t ubuh melebihi suara masking dari lingkungan. The American Tinnitus Association memperkirakan sekitar 50 juta orang masyaraka t di Amerika Serikat (AS) menderita tinitus kronis. Pada sebuah penelitian, prev alensi tinitus pada orang dewasa dilaporkan sekitar 10,1% dengan insiden yang se makin meningkat dengan bertambahnya usia. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak m engalami tinitus dibandingkan perempuan. Tinitus dapat mempengaruhi aktivitas se hari-hari dari penderitanya. Sekitar 25% pasien dengan tinitus dilaporkan mengal ami perburukan gejala yang progresif jika tidak mendapat penanganan dengan baik. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup dari pasien yang mengalami tinitus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tinitus Tinitus barasal dari bahasa Latin tinnire yang berarti menimbulkan suara atau de ring. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran berupa keluhan perasaan pada saa t mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun kel uhan yang dialami ini seperti bunyi mendengung, mendesis, menderu, atau berbagai variasi bunyi yang lain. 2.2. Etiologi dan Patofisiologi Tinitus Tinitus secara umum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu tinitus subjektif dan tinit us objektif. Tinitus subjektif adalah tinitus yang hanya dapat didengar oleh pen derita sendiri dan merupakan gejala dari kelainan pada sistem auditivus. Tinitus objektif adalah tinitus yang dapat di dengar oleh penderita dan orang lain (pem eriksa) dan sering merupakan gejala dari kelainan di luar telinga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan cermat dapat secara langsung menem ukan penyakit serius yang mendasari timbulnya tinitus. Pada umumnya, tinitus pul sasi, unilateral dan yang dihubungkan dengan gejala otologik unilateral lebih se ring disebabkan oleh penyakit lebih berat dibandingkan tinitus bilateral. Tabel 1 menunjukkan berbagai etiologi yang dapat menimbulkan terjadinya tinitus.Tabel 1. Etiologi dari Tinitus.a. Tinitus Subjektif Penyakit otologik merupakan penyebab tersering dari tinitus subjektif. Kebanyakan kasus tinitus disebabkan oleh penyakit yang secara bersamaan menyebabkan terja dinya kehilangan pendengaran atau ketulian. Terdapat dua tipe ketulian yaitu tul i konduktif dan sensorineural. Tuli konduktif disebabkan oleh adanya hambatan tr ansmisi suara ke telinga dalam. Hambatan ini dapat disebabkan oleh impaksi serum en, pembengkakan kanalis akustikus eksternal (KAE) karena otitis eksterna, perfo rasi membran timpani, cairan pada telinga tengah atau abnormalitas tulang osikul ar seperti otosklerosis. Tuli sensorineural mengindikasi penyakit atau abnormalitas dari telinga dalam at au bagian koklear dari nervus kranialis delapan (N.VIII). Faktor etiologi terser ing adalah noise-induced hearing loss (NIHL) dan penurunan tajam pendengaran yan g progresif dengan peningkatan usia (prebycusis). NIHL merupakan tipe tersering dari tuli yang didapat (acquired). Kelainan ini be rsifat ireversibel tetapi dapat dicegah. Skrining terhadap paparan dengan suara gaduh berlebih atau keras dapat dilakukan pada saat pemeriksaan kesehatan rutin. Pemberian informasi mengenai resiko ketulian harus selalu diberikan jika pasien terpapar dengan suara-suara berbahaya. Pasien seharusnya disarankan menghindari paparan jangka panjang terhadap suara-suara gaduh berbahaya atau menggunakan al at pelindung pendengaran padasaat diperlukan. Para orang tua disarankan untuk me mberikan alat pelindung pendengaran seperti penyumbat telinga dari silikon untuk anak-anaknya. Prebycusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya mu lai terjadi pada usia 65 tahun dan bersifat simetris kanan dan kiri. Prebycusis dapat mulai dari frekuensi 1000 Hz. Prebycusis disebabkan oleh perubahan dari st ruktur telinga dalam meliputi bagian sensorik, saraf, pembuluh darah, jaringan i kat maupun sinaps saraf akibat proses degenerasi. Organ corti merupakan bagian k oklea yang paling rentan terhadap degenerasi. Sel-sel rambut luar di bagian basa l koklea juga dapat mengalami proses degenerasi sehingga menurunkan ambang pende ngaran. Penyakit Meniere yang disebabkan oleh akumulasi berlebihan dari endolimfe di lab irin membraneus merupakan diagnosis ekslusi yang dikarakteristikan dengan satu a tau lebih gejala-gejala yang meliputi vertigo episodik berulang, rasa penuh dite linga unilateral, tinitus dan ketulian. Tinitus pada pasien dengan penyakit Meni ere dikarakteristikan terjadi dalam 2 tahap yaitu diantara serangan tinitus terd engar sebagai suara gaduh mendenging dan padasaat serangan terdengar sebagai sua ra gaduh mendengung. Ketulian dan tinitus pada penyakit Meniere dapat menetap at au berkurang. Neuroma akustikus merupakan sebuah tumor jinak jarang, yang berasal dari sel Sch wann pembungkus cabang vestibuler dari nervus kranialis delapan (N.VII). Nervus vestibuler mengalami degradasi secara perlahan-lahan akibat terbentuknya neuroma akustikus. Pada keadaan ini gejala-gejala vestibuler seperti pusing atau vertig o dapat bersifat minimal atau sementara. Gejala awal umumnya adalah tinitus. Pas ien biasanya mengeluh mengalami tinitus dalam beberapa bulan atau tahun sebelum mengeluh mengalami ketulian atau vertigo. Tinitus bersifat unilateral pada 95% k asus dan terus berlangsung serta kurang mengganggu dibandingkan pada penyakit Me niere. Obat-obat atau bahan-bahan ototoksik merupakan penyebab tersering lainnya dari t initus bilateral. Sekarang ini, pada setiap kelompok obat-obatan utama terdapat satu atau lebih obat-obat memiliki sifat ototoksik (Tabel 2). Ototoksisitas dapa t mempengaruhi hair cell, N. VIII, atau penghubung ke saraf pusat. Kerusakan dap at menimbulkan gejala tuli, vertigo atau tinitus. Terjadinya tinitus sering menu njukkan adanya tuli koklear. Obat-obat ototoksik sebaiknya dipergunakan dengan p emberian peringatan khusus pada pasien dengan beberapa faktor resiko yang mempre disposisikannya mengalami ototoksisitas. Faktor-faktor resiko tersebut meliputi usia terlalu muda atau terlalu tua, gangguan fungsi ginjal dan hati, wanita hami l, atau riwayat mengalami ketulian atau paparan terhadap suara gaduh berlebihan atau keras. Pemberian secara simultan beberapa obat-obat yang bersifat ototoksik atau terapi jangka lama dengan obat-obat ototoksik dosis tinggi sebaiknya dihindari jika me mungkinkan. Jika sebuah obat ototoksik diindikasikan pada pasien, perhatian khus us pada dosis dan interval pemberian dapat mencegah tercapainya level serum toksik dari obat tersebut. Beberapa bahan mulai diketahui dapat melindungi telinga d ari toksisitas terhadap obat, tetapi bahan tersebut baru dalam tahap penelitian. Penilaian audiologi untuk kemungkinan ototoksisitas dapat membantu pada penggun aan obat ototoksik jangka panjang. Deteksi dini gejala ototoksisitas dan pemutus an penggunaan obat dapat mengembalikan secara sempurna atau parsial dari kerusak an yang sudah terjadi. Tabel 2. Obat-obat dan bahan-bahan yang dapat menyebabkan tinitus. Kelainan neurologis atau cedera kepala mempunyai implikasi 5-10% pada pasien den gan keluhan tinitus. Keadaan-keadaan ini meliputi faktur tulang tengkorak, ceder a kepala tertutup, cedera whiplash dan multipel sclerosis. Kelainan sendi tempor omandibula juga kadang dihubungkan dengan terjadinya vertigo dan tinitus, walaup un mekanisme yang mendasari belum diketahui. Berbagai kelainan metabolik juga dihubungkan dengan terjadinya tinitus. Kelainan ini meliputi hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperlipidemia, anemia dan defisi ensi vitamin B12 dan zinc. Banyak pasien dengan keluhan tinitus memperlihatkan t anda-tanda kelainan psikologis. Tinitus juga dapat menjadi faktor yang berkontri busi dalam terjadinya depresi pada pasien. b. Tinitus Objektif Tinitus objektif jarang terjadi. Pasien dengan tinitus objektif secara tipikal m empunyai kelainan vaskuler, kelainan neurologis atau disfungsi tuba eustachius. Pasien dengan kelainan vaskuler mengeluh mengalami tinitus pulsasi. Bruit arteri dapat diteruskan ke telinga melalui pembuluh darah arteri dekat tulang temporal . Sistem karotis petrosus merupakan sumber utama. Pasien mengeluh gejalanya memb erat di malam hari dan biasanya tidak mengalami keluhan otologis lainnya. Dengun gan vena dapat didengar pada pasien dengan hipertensi atau abrnormalitas jugular bulb. Tinitus tipe ini adalah dengungan vena bernada rendah, lembut, yang dapat berubah karena perubahan posisi kepala, aktivitas atau tekanan di sepanjang ven a jugularis. Arteriovenous shunt kongenital biasanya asimptomatik, dimana tipe yang di dapat sering dihubungkan dengan tinitus pulsasi. Penyebab tersering adalah cedera kepa la atau pembedahan. Tumor Glomus adalah neoplasma pembuluh darah yang berasal da ri paraganglia di sekitar bifurkasio karotis, jugular bulb, atau arteri timpani. Tumor ini biasanya menyebabkan tinitus pulsasi bernada tinggi. Kelainan neurologis yang menyebabkan tinitus objektif meliputi palatomyoclonus ( kontraksi cepat berulang dari otot palatum mole) dan spasme otot stapedial idiop atik. Spasme otot ini sering dihubungkan dengan kelainan neurologis lainnya sepe rti tumor batang otak, infark, atau multipel sclerosis. Patulous Eustachian Tube dapat menyebabkan tinitus. Pasien biasanya mendengar su ara tiupan di dalam telinga pada saat bernapas. Penyakit ini biasanya terjadi se sudah penurunan berat badan secara signifikan. Pasien juga mengeluh kesadaran ab normal pada suaranya (autophony). Gejala-gejala ini dapat menghilang dengan Vals alva s maneuver atau padasaat pasien tidur terlentang dengan kepala dalam posisi ter gantung. 2.3. Pendekatan Diagnostik Tinitus a. Anamnesis Pendekatan diagnosis pada pasien dengan tinitus dimulai dari menanyakan riwayatriawayat keluhan yang dialaminya. Tabel 3 memperlihatkan hal-hal yang ditanyakan pada pasien untuk menentukan penyebab dari tinitus.Tabel 3.Anamnesis pasien dengan keluhan tinitus. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan otologik yang baik dan cermat mutlak diperlukan untuk mengevaluasi pasien dengan keluhan tinitus. KAE dan membran timpani harus diinspeksi untuk mel ihat adanya impaksi serumen, perforasi atau infeksi. Nervus kranialis juga harus diperiksa untuk membuktikan adanya kerusakan batang otak atau ketulian. Auskult asi pada leher, daerah periaurikular, orbita dan mastoid sebaiknya diperiksa. Ti nitus yang berasal dari vena dapat dikurangi dengan menekan vena jugularis ipsil ateral. Pemeriksaan khusus untuk tuli sensorineural atau konduktif merupakan pemeriksaan berikutnya. Pemeriksaan menggunakan garpu tala 512 Hz atau 1024 Hz. Uji Weber, Rinne, dan Schwabach merupakan pemeriksaan garpu tala yang paling sering dikerj akan. Uji Weber adalah pemeriksaan untuk membandingkan hantaran suara melalui tu lang pada telinga kanan dan kiri. Pada pemeriksaan uji Weber, garpu tala digetar kan dan kemudian diletakkan pada garis tengah dahi, nasal bridge atau dagu (Gamb ar 2). Pasien diminta untuk menunjukkan pada telinga mana suara didengar lebih k eras. Lateralisasi suara ke arah telinga yang sehat terjadi pada pasien dengan t uli sensorineural, sedangkan lateralisasi ke telinga yang sakit terjadi pada pas ien dengan tuli konduktif. Pasien dengan pendengaran normal atau mengalami ketul ian di kedua telinga akan mendengar suara pada level yang sama di kedua telinga. Gambar 1. Uji Weber. Uji Rinne adalah pemeriksaan untuk membandingkan hantaran suara melalui udara de ngan tulang pada telinga yang diperiksa. Pada pemeriksaan uji Rinne, garpu tala digetarkan dan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus untuk mengukur hanta ran suara melalui tulang. Pada saat suara sudah tidak dapat didengar, garpu tala kemudian diletakkan di depan KAE untuk menilai hantaran suara melalui udara. Ji ka hantaran udara lebih besar daripada hantaran tulang, pendengaran dalam batas normal atau mengalami tuli sensorineural. Jika hantaran tulang lebih besar darip ada hantaran udara menandakan adanya tuli konduktif.Gambar 2. Uji Rinne. Uji Schwabach adalah pemeriksaan untuk membandingkan hantaran suara melalui tula ng telinga orang yang diperiksa dengan telinga pemeriksa yang normal. Pada pemer iksaan uji Schwabach garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus mast oidues telinga orang yang diperiksa sampai tidak mendengar suara lagi kemudian d ipindahkan ke prosesus mastoidues telinga pemeriksa yang normal. Jika pemeriksa masih dapat mendengar suara dari garputala disebut Schwabach memendek. Jika peme riksa juga tidak mendengar suara dari garputala pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya. Jika orang yang diperiksa masih dapat mendengar suara dari garputala disebut Schwabach memanjang. Jika orang yang diperiksa dan pemeriksa sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa. c. Pemeriksaan Penunjang Semua pasien dengan tinitus sebaiknya diperiksa menggunakan audiometri. Hal ini dikarenakan keluhan subjektif biasanya berkorelasi buruk dengan sifat akustik ya ng sebenarnya. Pemeriksaan meliputi audiografi, uji diskriminasi berbicara dan t impanometri. Sebuah pemeriksaan audiogram merupakan dasar untuk melakukan pemeri ksaan penunjang lebih lanjut. Pemeriksaan nada murni berguna untuk menilai fungs i dari aparatus pendengaran bagian perifer. Suara harus diinterpretasikan di dal am sistem saraf pusat (SSP) sebelum dapat berguna untuk pasien. Hasil pemeriksaa n diskriminasi bicara yang buruk biasanya menandakan keadaan patologis pada SSP. Pemeriksaan timpanometri membantu untuk mengidentifikasi efusi telinga tengah y ang tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik telinga, perubahan dalam kekakuan me mbran timpani oleh karena patulous Eustachian tube atau mioklonus pada otot stap edial atau otot palatum. Pemeriksaan audiologi lainnya pada pasien dengan tinitus meliputi pitch masking yaitu menyamakan frekuensi tinitus dengan berbagai rangsangan, loudness matching yaitu memperkirakan kerasnya tinitus dengan nada murni atau suara gaduh, minimu m masking level yaitu pemeriksaan untuk mengetahui jumlah suara yang diperlukan untuk menutupi tinitus dan residual inhibition yaitu mencapai penurunan atau hilangnya tinitus sesudah paparan pada nada masking pada frekuensi dan intensitas t initus. Pemeriksaan ini memberikan informasi apakah tinitus dapat dikurangi atau dihilangkan dengan suara ekternal pada terapi masking. Pemeriksaan fungsi tiroid, hematokrit, kimia darah dan profil lemak seharusnya d ikerjakan pada pasien yang dicurigai menderita kelainan medis yang berhubungan d engan tinitus. Pemeriksaan lainnya diindikasi pada pasien dengan kecurigaan mend erita penyakit tertentu melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan audiometri. Pas ien dengan keluhan tinitus unilateral atau pulsasi lebih mungkin menderita penya kit serius. Tinitus non-pulsasi lebih sering dihubungkan dengan kerusakan fungsional akibat paparan terhadap bising lingkungan atau toksisitas dari obat-obatan tertentu. Ke banyakan pasien dengan tinitus non-pulsasi tidak memperlihatkan adanya kelainan pada pemeriksaan radiologi. Pada pasien ini biasanya dikerjakan pemeriksaan Magn etic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras menggunakan gadolinium untuk melihat adanya neuroma akustikus yang merupakan pemeriksaan gold standar untuk lesi ini . Pasien dengan tinitus pulsasi sekitar 57-100% memperlihatkan adanya kelainan pad a pemeriksaan radiologi. Terdapat sebuah konsensus bahwa pemeriksaan Computed To mography (CT) tulang temporal dengan kontras dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien dengan tinitus pulsasi. Jika pada pemeriksaan CT tidak nampak adany a kelainan, pemeriksaan lebih lanjut dapat menemukan adanya kelainan antara 30-4 0% pasien. Pemeriksaan tersebut meliputi sonografi karotis untuk menyingkirkan s tenosis, CT angiografi leher dengan kontras untuk menyingkirkan stenosis karotis , diseksi, massa atau lesi kompresi pada leher atau mediastinum superior dan ang iografi konvensional untuk menyingkirkan arteriovenous malformation (AVM), arter iovenous fistula (AVF) dan kelainan vaskuler lainnya dari arteri karotis ekstrak ranial. Protokol MR angiografi meliputi pencitraan time-resolved dengan kontras, suatu teknik yang dapat memperlihatkan banyak lesi vaskular tanpa resiko angiografi ko nvensional dapat juga dikerjakan pada pasien dengan tinitus pulsasi. Gambar 4 memperlihatkan skema pendekatan diagnostik pada pasien dengan tinnitus. Gambar 3. Skema pendekatan diagnostik pasien dengan tinitus. 2.4. Penatalaksanaan Tinitus Pemberian terapi pada pasien dengan tinitus diberikan sesudah keadaan-keadaan me dis yang berbahaya disingkirkan. Sekitar 10% pasien dengan tinitus mengalami gej ala berat yang mengganggu kualitas hidupnya. Pada pasien dengan tinitus kronis, pemberian terapi bertujuan untuk mengurangi intensitas tinitus dan dampaknya pad a kualitas hidup. a. Terapi Farmakologis Pemberian terapi farmakologis membantu mengurangi keluhan tinitus pada 80% pasie n yang berhubungan dengan depresi. Pemberian nortriptyline dengan dosis 50 mg se belum tidur merupakan terapi yang paling baik untuk pasien-pasien ini. Nortripty line dapat menyebabkan mulut kering sehingga pasien sering menghentikan terapi s ebelum efek terapeutik tercapai. Pemberian terapi biasanya memerlukan waktu 3-4 minggu. Antidepresan lainnya juga membantu mengurangi keluhan tinitus. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) diketahui memiliki tingkat keamanan lebih baik dibandingkan tricyclic antidepressant (TCA). Pemberian paroxetine dalam dos is rendah yaitu 10 mg sebelum tidur membantu mengurangi keluhan tinitus. Sertral ine pada dosis tetap 50 mg/hari memperlihatkan penurunan yang signifikan dari ke luhan tinitus, kecemasan dan depresi. Pemberian lidokain intravena memperlihatkan perbaikan gejala dalam jangka pendek pada pasien dengan tinitus bernada rendah. Oleh karena itu, pemberian lidokain intravena saat ini sudah jarang dikerjakan. Pemberian injeksi dexamethasone intr atimpani menunjukkan hasil yang baik pada beberapa pasien dengan tinitus idiopat ik seperti tuli sensorineural mendadak atau penyakit autoimun telinga dalam. Pemberian ekstrak ginkgo biloba pada pasien dengan tinitus dapat menurunkan kelu han pada kebanyakan kasus. Ekstrak ginkgo biloba mengandung bioflavonoid dan ter pene lactone sebagai zat aktif. Ekstrak ginkgo biloba dapat meningkatkan alirandarah ke otak dan pembuluh darah kecil melalui penghambatan agregasi trombosit d an mengatur elastisitas pembuluh darah. Ginkgo biloba juga merupakan antioksidan kuat. Terapi yang tepat merupakan kombinasi sekitar 25% bioflavonoid dan 6% ter pene lactone yang setara dengan dosis ekstrak ginkgo biloba 80 mg 3 kali sehari. Efek dari ekstrak ginkgo biloba ini tidak dapat diamati sebelum 12 minggu. Ekst rak ginkgo biloba dapat mempengaruhi agregasi trombosit, waktu perdarahan sebaik nya diperiksa jika menggunakan ginkgo biloba lebih dari 4 minggu berturut-turut. Niacin juga sudah digunakan sebagai terapi pasien dengan tinitus sejak beberapa tahun dengan keberhasilan yang bervariasi. Niacin diketahui dapat merelaksasi ot ot polos dan meningkatkan aliran darah padapembuluh darah kecil telinga dalam. P asien sering mengalami kemerahan padasaat menggunakan niacin dengan dosis efekti f. Pasien sebaiknya diberi informasi tentang efek ini karena beberapa diantarany a dapat merasa takut dan menghentikan pengobatannya. Sekitar setengah kasus pasi en dengan tinitus berhasil diterapi dengan niacin. Pasien sering mengatakan bahw a niacin dapat menurunkan intensitas atau keparahan dari tinitus. Kombinasi berbagai vitamin atau suplemen sudah banyak diperdagangkan untuk terap i pasien dengan tinitus. Kebanyakan kombinasi ini terdiri dari vitamin antioksid an atau suplemen yang terbukti menurunkan keparahan ketulian yang berhubungan de ngan bertambahnya usia. b. Terapi Non-Farmakologis Tinnitus masking Tinnitus masking menjadi perhatian utama sebagai terapi tinitus lebih dari 50 ta hun. Sudut pandang psychoacoustic, masking merupakan alat penting dalam klinik armamentarium karena dapat menghilangkan persepsi dari tinitus dengan singkat pa dasaat terdapat suara bising masking. Sudut pandang neurophysiology, masking nam paknya bekerja dengan menghilangkan hiperaktivitas di korteks auditori dan jalur -jalur penghubungnya. Tinnitus masker menyerupai ABD dan dapat digunakan di belakang atau di dalam tel inga. Alat ini membentuk dan mengirimkan suara bising intensitas rendah secara k onstan ke telinga pasien. Penggunaan alat ini direkomendasikan untuk pasien deng an pendengaran normal atau mendekati normal yang terganggu oleh tinitus. Pasien dinasehati untuk menggunakan alat ini saat bangun tidur tetapi pasien-pasien yan g mengalami perbaikan gejala cenderung menggunakannya saat tidur. Alat bantu dengar (ABD) Pasien sering merasa tidak mengalami ketulian dan berpikir bahwa tinitus yang di alami tersebut mempengaruhi pendengarannya. Keberhasilan terapi tinitus dengan A BD sekitar 50%. Pada sebuah penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan ABD dan g enerator suara secara bersamaan dapat meningkatkan perbaikan gejala tinitus pada pasien. Tinnitus retraining therapy (TRT) Baru-baru ini, tipe terapi lain mulai dikembangkan. Suara bising atau suara tini tus pasien padasaat pemeriksaan deprogram menjadi ABD khusus dan digunakan pada telinga. Terapi ini disertai sesi konseling dan usaha terus-menerus untuk memba ntu pasien merekam suara tinitusnya. Setiap sesi berakhir selama 1 jam sekali d alam seminggu atau sekali dalam sebulan berdasarkan keparahan dari tinitus yang dialami pasien. Pasien biasanya memerlukan terapi ini sampai 1-2 tahun. Keberhas ilan terapi ini bervariasi bergantung keparahan tinitus dan keluhan pasien lainn ya. c. Terapi Otopsikiatri Electrical stimulation (ES) Menekan tinitus dengan ES pada telinga dalam menunjukkan adanya perbaikan keluha n. Berbagai variasi ES sudah pernah digunakan meliputi cutaneous stimulation, br ain stimulation, promontory stimulation dan stimulating headset. Beberapa peneli tian melaporkan perbaikan keluhan tinitus terjadi pada sekitar 80% pasien, namun efek ini sering bersifat sementara sehingga diperlukan rangsangan terus-menerus . Sejak tersedianya implant koklea, ES secara kontinyu dapat diberikan namun has il yang dicapai bervariasi. Penelitian baru-baru ini fokus pada penggunaan repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS). Tinitus dapat ditimbulkan melalui eksitabilitas korteks sere bri dan lebih spesifik korteks auditori primer. rTMS terbukti efektif mengurangikeluhan tinitus dengan memodulasi eksitabilitas serebri. rTMS menggunakan pandu an neuronavigation menunjukkan penurunan keparahan tinitus sesudah 6 bulan. Biofeedback Teknik biofeedback sudah 25 tahun dipergunakan untuk terapi nyeri dan penyakit-p enyakit lain yang berhubungan dengan stres. Tujuan pemberian terapi biofeedback pada pasien tinitus adalah untuk mengurangi tingkat stres dan kecemasan yang dap at berkontribusi terhadap tinitus yang dialaminya. Terapi biofeedback dapat berh asil jika pasien kooperatif dan mau melakukannya. Pasien dibuat santai dan diduk ung untuk menghubungkan keadaan relaksasinya pada stres kehidupannya dan secara gradual mengurangi tinitus. Terapi dapat memerlukan sesi berminggu-minggu atau b eberapa bulan untuk mendapatkan perbaikan gejala. Sekitar 80% pasien mengalami p erbaikan gejala parsial dan 20% mengalami perbaikan total dengan pemberian terap i ini. d. Pembedahan Tinitus bukan merupakan penyakit di bidang bedah, namun dapat disebabkan oleh su atu lesi yang dapat dihilangkan melalui pembedahan. Lesi tipikal yang menimbulk an tinitus dan dapat dibedah meliputi tumor glomus, divertikulum sinus sigmoid, AVM dan tuli konduktif. Pemeriksa harus mencurigai adanya tumor glomus pada setiap kasus tinitus pulsasi yang sesuai dengan denyut jantung. Tinitus pulsasi ini dapat dihilangkan dengan pengangkatan tumor. Pasien kadang-kadang masih mendengar adanya dengungan atau mengalami gejala-gejala vaskuler akibat pembedahan. Banyak pasien dengan tumor a kustikus juga mengalami tinitus. Padasaat tumor sudah diangkat, 50% pasien menga lami perbaikan gejala tinitus dan 50% pasien lainnya tidak mengalami perbaikan. AVF pada dura dapat diembolisasi dan aneurisma dapat dijepit. Ligasi dari malfor masi vena atau AVM dapat mengurangi keluhan tinitus, namun sering mengalami keka mbuhan sesudah beberapa tahun. Tinitus merupakan salah satu gejala dari penyakit Meniere. Pada kebanyakan kasus berat, tinitus masih tetap ada walaupun dengan u saha terapi terbaik. Intervensi pembedahan dengan endolymphatic shunt, nerve sec tion, atau labyrinthectomy dapat mengurangi 40-80% keluhan tinitus pada masing-m asing pasien.BAB III KESIMPULAN Tinitus didefinisikan sebagai bunyi yang di dengar oleh seseorang yang berasal d ari tubuhnya sendiri tanpa adanya rangsangan bunyi eksternal yang relevan. The A merican Tinnitus Association memperkirakan sekitar 50 juta orang masyarakat di A merika Serikat (AS) menderita tinitus kronis Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan cermat dapat secara langsu ng menemukan penyakit serius yang mendasari timbulnya tinitus. Semua pasien deng an tinitus sebaiknya diperiksa menggunakan audiometri. Hal ini dikarenakan keluhan subjektif biasanya berkorelasi buruk dengan sifat akustik yang sebenarnya. Pe meriksaan meliputi audiografi, uji diskriminasi berbicara dan timpanometri. Pemberian terapi pada pasien dengan tinitus diberikan sesudah keadaan-ke adaan medis yang berbahaya disingkirkan. Terapi dapat berupa farmakologis maupun farmakologis, otopsikiatri, dan pembedahan.DAFTAR PUSTAKA Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jak arta. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2005. Pedoman Diagnosis dan Te rapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorok Edisi III. Surabaya: RSU Dr . Soetomo Surabaya. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedo kteran EGC : Jakarta. Adam, George L, Lawrence R. Boeis Jr, Peter A. H. 1997. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. Diktat Kuliah Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Su rabaya Angkatan 2007 www.ata.org/sound of tinitus www.emedicenet.com www.nlm.nih.gov/medlineplus/tinitus.html www.emedicinehealth.com