untitled

Download Untitled

If you can't read please download the document

Upload: audrey-adyuta-putri

Post on 26-Jul-2015

604 views

Category:

Documents


32 download

TRANSCRIPT

TUGAS STUDI KASUS HUKUM INTERNASIONAL1. United States vs Iran ( TEHRAN CASE 1979) dan Bosnia vs Yugoslavia (GENO CIDE CASE 2001) Tehran Case a. Fakta Hukum Kasus hubungan diplomatik dan konsuler yang melibatkan Amerika Serikat d an Iran bermula pada tanggal 4 November 1979, yaitu saat telah terjadi pengambil -alihan gedung kedutaan Amerika Serikat di Teheran oleh ratusan orang warga Iran yang diikuti oleh penyanderaan para wakil diplomatik Ameika Serikat. Kejadian ini juga terjadi di kota Tabriz dan Shiraz dimana kantor konsul at Amerika Serikat juga mengalami hal serupa. Pada tanggal 22 November 1979, war ga Iran berhasil memaksa masuk ke dalam kedutaan Amerika Serikat. Akibatnya, sec ara fisik, para wakil diplomatik tidak dapat berkomunikasi, baik dengan pemerint ah Amerika Serikat maupun dengan kerabat mereka masing-masing. Keadaan merekan b enar-benar terancam. Pemerintah Iran tidak berbuat apa-apa dan bahkan terdengar kabar bahwa pemerintah Iran melegalkan aksi warganya tersebut. Pemerintah Iran beranggapan b ahwa kedutaan Amerika Serikat di Teheran merupakan pusat pengintaian dan meminta Amerika mengembalikan Shah dan segala propertinya kepada Iran dan melarang sega la bentuk diplomatik dengan Amerika Serikat. Pemerintahan baru Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini bahkan medesak 3000 warga Iran unt uk berdemonstrasi di depan kantor keduataan dan konsulat Amerika Serikat . Perin tah pengadilan telah ditolak di depan publik dan mengumumkan bahwa semua tawanan masih dalam penahanan dan nasib mereka akan ditentukan oleh keputusan parlemen Iran yang baru. b. Masalah hukum Apakah Iran melanggar kewajiban terhadap Amerika sebagaimana telah ditetapkan da lam hukum Internasional mengenai tanggung jawab negara? c. Putusan Mahkamah Intisari Putusan Hakim Mahkamah Internasional terhadap kasus Teheran Case: i. 13 suara berbanding 2 Memutuskan bahwa Iran telah melanggar beberapa hal dan sampai sekarang masih mel anggar kewajiban yang dimiliki terhadap Amerika di bawah kekuatan Perjanjian Int ernasional antara dua Negara sebagaimana juga terhadap aturan-aturan dalam hukum internasional. ii. 13 suara berbanding 2 Memutuskan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban tersebut mengakibatkan tanggung jawab dari Iran terhadap Amerika berdasarkan hukum internasional. iii. Secara mutlak Memutuskan bahwa pemerintah dari republic Iran harus dengan segera mengambil tin dakan untuk meredakan situasi yang dihasilkan peristiwa 4 November 1979 dan sega la sesuatu yang terkait dengan peristiwa tersebut, antara lain : Harus segera mengakhiri segala tindakan pemaksaan atau penawanan terhada p Charge d Affaires Amerika dan diplomat lainnya serta staff konsuler yang semua warga negara Amerika yang ditawan di Iran, dan harus segera membebaskan dan meny erahkan setiap dari mereka kepada pihak yang berwenang ( pasal 45 dari Konvensi Wina 1961 ) tentan hubungan diplomatik ) Harus memastikan bahwa semua pihak yang terkait memiliki sarana yang dip erlukan untuk meninggalkan wilayah Iran termasuk sarana transportasinya. Harus dengan segera menyerahkan ke pihak yang berwajib premis, property, arsip, dan dokumen dari kedutaan Amerika di Teheran dan konsulatnya di Iran. iv. Secara mutlak Memutuskan bahwa tidak ada satupun anggota dari diplomat Amerika atau staff kons ulernya dapat menjadi subyek dari segala bentuk proses pengadilan atau menjadika n mereka saksi. v. 12 berbanding 3 Memutuskan bahwa pemerintah Iran memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi terhadap pemerintah Amerika atas perbuatan yang dilakukannya terkait dengan peristiwa 4 November 1979 dan hal-hal yang terkait dengan perist iwa tersebut. vi. 14 berbanding 1 Memutuskan bahwa bentuk dan jumlah ganti rugi apabila gagal diputuskan oleh para pihak, maka akan diputuskan oleh pengadilan d. Analisis Selama dekade 1980-an telah tercatat 400 tindakan terorisme yang ditujukan kepad a perwakilan diplomatik dan konsuler yang meliputi 60 negara dan pada enam bulan pertama telah terjadi 191 aksi terorisme yang ditujukan kepada para perwakilan diplomatik dan misi asing. Bahkan aksi terosime juga didukung oleh kaum terpelaj ar walaupun sebagian adalah mahasiswa militan. Mahasiswa militan itu berpendapat bahwa aksi penyanderaan pada tanggal 4 November 1979 tersebut adalah bentuk pro tes terhadap diterima masuknya pemimpin Iran sebelumnya Shah Reza Pahlevi yang d iktator ke Amerika Serika dalam rangka menjalani perawatan kanker pada Otober 19 79. Tindakan penyanderaan tersebut, mereka sebut adalah sebagai lambang ketidaks etujuan Iran terhadap pemerintahan Shah Reza Pahlevi yang selalu mendapat dukung an penuh dari Amerika Serikat. Peristiwa 4 November 1979 merupakan akibat dari Revolusi Islam yang terjadi di I ran. Jauh sebelum terjadi revolusi Islam, hubungan Iran dengan Amerika Serikat m erupakan interdependensi yang dapat dibuktikan oleh adanya beberapa perjanjian a ntara Iran dengan Amerika Serikat, yaitu: Defense Agreement 1959, Treaty of Amit y and Economic Relations and Consular Rights, dan adanya kebijakan The Hallmark of Present Policy. Namun setelah Revolusi Islam terjadi, hubungan Iran dengan Am erika Serikat menjadi renggang. Kedua negara seperti tidak berusaha untuk menorm alkan kembali hubungan antara kedua negara. Pemerintahan baru Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini bahkan dengan tegas menyatakan pemerintahannya sangat anti-Amerika. Melalui pidato-pidatonya, Ayato llah juga menyebut Amerika Serikat sebagai The Great Satan dan Enemies of Islam. Presiden Amerika Serikat saat itu, Jimmy Reagan langsung melakukan tekanan dilo matik dan ekonomi terhadap Iran, yaitu dengan menghentikan impor minyak pada tan ggal 12 November 1979, mengusir warga negara Iran dari Amerika Serikat, dan seki tar 8 trilyun dollar asset Iran di Amerika dibekukan. Kemudian pemerintahan Iran menegaskan tuntutannya akan mengembalikan sandera apabila Amerika Serikat memen uhi tuntutannya untuk mengembalikan pulang Shah Reza ke Iran dan meminta maaf. T api tuntutan Iran tersebut tidak digubris. Pemerintahan Amerika Serikat bahkan b erusaha mencari jalan keluar untuk membebaskan warga negaranya yang akhirnya gag al karena kondisi alam Iran. Genoside Case a. Fakta Hukum Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah Bosnia Herzegovina dengan Yugoslavia. Yang mengajukan sengketa ini ke Mahkamah Internasional adalah Bosnia Her zegovina. Pada tanggal 20 Maret 1993, Pemerintah Republik Bosnia dan Herzegovina m engajukan pendaftaran permohonan untuk melakukan penuntutan terhadap Pemerintah Republik Federal Yugoslavia, dalam hal perselisihan tentang dugaan pelanggaran K onvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (selanjutnya disebut "Geno sida Konvensi "), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1948. Sengketa bermula ketika 1992 Penduduk Muslim dan Kroasia di Bosnia-Herze govina memilih untuk merdeka dan mendeklarasikan negara Bosnia-Herzegovina. Pend uduk Serbia Bosnia menolak hasil tersebut dan berusaha membentuk negara terpisah dengan bantuan Tentara Federal, yaituRepublik Serbia Bosnia dan Herzegovina. Tentara Nasional Yugoslavia (JNA) melakukan pembersihan etnis Bosnia, da lam rangka menghentikan pembentukan Republik Bosnia Herzegovina. Yugoslavia (Serbia dan Montenegro), melakukan perekrutan, pelatihan, mem persenjatai, melengkapi, pembiayaan, penyediaan dan sebaliknya mendorong, menduk ung, membantu, dan mengarahkan aksi militer dan paramiliter di dan melawan Bosni a dan Herzegovina.1995 Perjanjian Dayton mengakhiri perang di Bosnia-Herzegovina. Pada 11 Juli 1996 Mahkamah Internasional memutuskan untuk menerima penga juan yang diajukan oleh Bosnia dalam kasus mengenai aplikasi Konvensi tentang pe ncegahan dan hukuman atas kejahatan genosida. Pada 24 April 2001, Republik Federal Yugoslavia mengajukan revisi, yang mengacu pada artikel 61 dari Statuta Mahkamah Internasional, dimana mahkamah d iminta untuk merevisi putusan yang disampaikan pada 11 Juli 1996 dalam kasus me ngenai aplikasi Konvensi tentang pencegahan dan hukuman atas kejahatan genosida (Bosnia dan Herzegovina v. Yugoslavia). b. Masalah Hukum Apakah revisi Republik Federal Yugoslavia berdasarkan Pasal 61 dari Sta tuta Mahkamah Internasional, dari putusan yang diberikan oleh Pengadilan pada ta nggal 11 Juli 1996 dapat diterima? Apakah Yugoslavia bertanggung jawab terhadap kejahatan perang di Bosnia Herzegovina? c. Argumentasi Para Pihak Yugoslavia Dalam kasus ini Federasi Republik Yugoslavia (FRY) mengajukan peninjauan kembali atau revisi terhadap keputusan Mahkamah pada tanggal 11 Juli 1996 berdasarkan P asal 61 Statuta Mahkamah Internasional. Dalam argumennya Yugoslavia mengajukan p eninjauan kembali dikarenakan terdapat fakta baru yang sudah ada sejak tahun 199 6 namun pada saat itu belum diketahui, fakta tersebut adalah : Federasi Republik Yugoslavia adalah anggota baru PBB pada tanggal 1 November 200 0, hal ini merupakan fakta baru, karena keputusan Mahkamah sebelumnya ada pada t ahun 1996. Hal ini mengandung arti bahwa sebelum Tanggal 1 November 2000, Federasi Republik Yugoslavia bukan member dari PBB, bukan pula anggota dari Statuta Mahkamah, dan bukan negara anggota dari Konvensi Genosida. Hal-hal diatas yang merupakan dasar dari Federasi Republik Yugoslavia untuk meng ajukan peninjauan kembali yang memenuhi syarat Article 61 Statuta Mahkamah. Hal tersebut membuat Yugoslavia berargumen: Federasi Republik Yugoslavia bukan merupakan negara anggota Statuta saat keputus an dijatuhkan; Federasi Republik Yugoslavia tidak terikat dengan Article IX Konv ensi Genosida. Federasi Republik Yugoslavia dalam hal ini mengelak dari tanggung jawabnya berdasarkan keputusan Mahkamah tanggal 11 Juli 1996 karena Federasi Re publik Yugoslavia berpendapat bahwa pada saat keputusan itu dijatuhkan, Federasi Republik Yugoslavia tidak terikat atas jurisdiksi Mahkamah maupun konvensi ters ebut, sehingga melegalkan Federasi Republik Yugoslavia untuk tidak melaksanakan kewajiban atas keputusan yang dijatuhkan mahkamah. Bosnia Herzegovina Permohonan revisi yang diajukan Yugoslavia tidak dapat diterima dengan alasan ba hwa pasal 61 Statuta ICJ mengatur mengenai bukti baru yang merupakan bukti yang sudah ada sebelum diputuskan tetapi karena ketidaktahuan bukti tersebut tidak di beritahukan disaat proses pengadilan. Yugoslavia (Serbia dan Montenegro) telah melanggar beberapa Pasal dari Deklarasi Universal HAM terhadap warga Bosnia dan Herzegovina. Yugoslavia (Serbia dan Mon tenegro) telah melanggar secara serius kewajiban berdasarkan Pasal 1 (3), 55 dan 56 Piagam PBB. Dan dengan cara langsung dan tidak langsung untuk memaksa dan m engintimidasi Pemerintah Bosnia dan Herzegovina. Yugoslavia (Serbia dan Montenegro) telah melanggar Konvensi Pencegahan dan Pengh ukuman Kejahatan Genosida (selanjutnya disebut "Genosida Konvensi "), yang diado psi oleh Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1948. d. Putusan Mahkamah Bahwa aplikasi yang diajukan oleh Republik Federal Yugoslavia untuk revi si, berdasarkan Pasal 61 dari Statuta Mahkamah Internasional, dari putusan yangdiberikan oleh Pengadilan pada tanggal 11 Juli 1996, tidak dapat diterima. Serta menolak keberatan-keberatan dari Yugoslavia e. Pertimbangan Hakim Mahkamah memiliki Jurisdiksi, berdasarkan Article IX Konvensi Genosida yang men yatakan bahwa: Sengketa antara negara peserta mengenai interpretasi, aplikasi, pe menuhan dari Genocide Convention, termasuk hubungannya dengan tanggung jawab neg ara atas Genocide atau tindakan yang tercantum dalam Article III, diajukan kepad a ICJ berdasarkan permohonan salah satu pihak dalam sengketa. Melihat Pasal 1 Konvensi Genosida, kejahatan genosida baik yang dilakukan di wak tu damai atau pada saat perang, merupakan kejahatan menurut hukum internasional. f. Analisis Pada kasus ini sangat jelas dengan bentuk pertanggung jawaban negara atas pelang garan yang bersifat internasional seperti genosida. Pertanggung jawaban itu munc ul karena berdasarkan fakta sejarah dan ketentuan konvensi tentang genosida bahw a bentuk tindakan baik yang dilakukan oleh serbia bosnia dan federasi yugoslavia adalah suatu bentuk pelanggaran internasional yang harus ditindak meskipun haru s berlaku surut. 2. Case concerning the interpretation or application of the Montreal Conven tion 1971 for the suppresion on unlawful acts againts the safety of civil aviati on at Lockerbie, ICJ Reports 1998 dan kasus pembanding Gabcikovo- Nagymaros Proj ects 1997. a. Fakta Hukum Pada tanggal 16 September 1977, kedua negara sosialis, Hungaria dan C SSR (Czechoslovak Socialist Republic) menandatangani perjanjian bilateral meng enai pembangunan dan pengoperasian sistem pintu air Gabcikovo-Nagymaros The Cons truction And Operation Of The Gabcikovo - Nagymaros System of Locks (selanjutnya disebut Perjanjian 1977). Perjanjian 1977 ini mulai berlaku pada tanggal 30 Jun i 1978. Mereka sepakat untuk membangun sistem lintas batas bendungan antara Gabck ovo dan Nagymaros di sungai Danube dengan harapan bahwa pembangkit listrik tena ga air terpadu akan meningkatkan pasokan energi dari negara. Perjanjian 1977 menentukan prinsip-prinsip kerja yang digunakan dalam pe mbangunan proyek di sungai Danube. Perjanjian tersebut mengatur pembangunan dua seri pintu air, yaitu di Gabcikovo (di territorial Cekoslovakia) dan di Nagymaro s (di Teritorial Hungaria) untuk membentuk sebuah sistem operasi karya yang tung gal dan tidak dapat dibagi (see sketch map no.2) Karena kesulitan ekonomi, Hungaria ditekan untuk sementara meninggalkan proyek bendungan pada tahun 1981. Pada bulan Oktober 1983 di Praha, dua negara tersebut sepakat untuk memperlambat kerja pada proyek dan menunda peresmian pem bangkit listrik. Pada tahun 1984, Hungaria mendapatkan protes keras dari rakyatnya karena adanya anggapan bahwa proyek tersebut telah merusak lingkungan. Pada 13 mei 1989, Sebagai akibat kritik yang hebat terhadap proyek yang dijalankan di Hungaria, Pemerintah Hungaria memutuskan untuk menangguhkan pekerjaan di Nagymaros. Dimana menunda penyelesaiannya sampai otoritas y ang berkompeten menyelesaikan berbagai studi terhadap proyek itu yang harus sele sai sebelum 31 July 1989. Pada 21 Juli 1989, pemerintah Hungaria memperpanjang penangguhan proyek di Nagymaros sampai 31 Oktober 1989, dan sebagai tambahan menangguhkan juga peke rjaan di Dunakiliti sampai saat yang sama. Akhirnya pada 27 Oktober 1989, Hungar ia memutuskan untuk meningalkan pekerjaan di Nagimaros dan melaksanakan status q uo di Dunakiliti. Pada periode tersebut di atas para pihak melaksanakan negosiasi. Cekoslo vakia mengajukan solusi alternatif, salah satunya adalah solusi alternatif yang disebut Varian C, meminta sebuah pengalihan unilateral dari sungai Danube oleh Cekoslovakia pada wilayah teritorinya sekitar 10 km ke arah hulu Dunakiliti (lihat peta 3). Dalam tingkat akhir, Varian C memasukan juga pembangunan di Cunovo sebu ah DAM. Dimana adanya sebuah tanggul penghubung dam tersebut ke pinggiran sungai selatan dari canal bypass. Ketentuan dibuat sebagai pekerjaan tambahan. Pengatu ran baru yang diarahkan Danube ke dalam kanal baru terhadap Gabckovo ("Varian C") menyebabkan kadar air turun 2 meter. Pada 23 July 1991, pemerintah Cekoslovakia memutuskan untuk memulai kons truksi untuk menjalankan proyek Gabcikovo berdasarkan solusi sementara. Pekerjaa n berdasarkan Varian C dimulai November 1991. Diskusi berlanjut antara kedua bel ah pihak namun tidak berhasil. Pada 19 Mei 1992 pemerintah Hungaria mengirim Nota pembatalan Perjanjian 1977 dengan akibat yang ditimbulkannya sejak 25 Mei 1992 . pada 15 Oktober 1 992. 1 januari 1993 Slovakia merdeka sebagai salah satu suksesor (disamping C eko) dari Cekoslovakia. Pada 2 juli 1993 Perkara diajukan ka mahkamah dengan special agreement yang ditandatangani Slovakia dan Hungaria di Brusels 7 April 1993 b. Masalah Hukum Apakah Republik Hungaria berhak menunda dan memutuskan pengerjaan Proye k Nagymaros dan dalam bagian Proyek Gabcikovo pada tahun 1989 dimana Perjanjian Internasional melekatkan tanggung jawab pada Republik Hungaria? Apakah Ceko dan Slovakia berhak untuk beralih ke Provisional solution(solu si sementara) pada november 1991 dan melaksanakan sistem ini sejak oktober 1992? Apa saja efek hukum dari notifikasi pengakhiran perjanjian internasional oleh Hungaria pada 19 mei 1992? c. Putusan Pengadilan Mengenai masalah hukum yang diajukan pada Pasal 2, ayat (1) Special Agreement: 1. Hungaria tidak berhak untuk menunda dan kemudian meninggalkan pengerjaan Proyek Nagymaros yang merupakan bagian dari Proyek Gabcikovo dimana Perjanjian Internasional pada 16 September 1997 dan instrumen yang berhubungan dengan perja njian itu melekatkan tanggungjawab pada para pihak. 2. Cekoslovakia berhak untuk beralih ke solusi sementara provisional Solutio n sebagaimana dideskripsikan di dalam klausula klausula special agreement pada No vember 1991. 3. Cekoslovakia tidak berhak untuk melaksanakan solusi sementara provisional solution ini, sejak Oktober 1992. 4. Pemberitahuan pengakhiran Perjanjian 16 September 1997 dan instrumen yan g berhubungan dengannya oleh Hungaria, pada 19 Mei 1992 tidak memiliki akibat hu kum pengakhiran perjanjian tersebut. Mengenai masalah hukum yang diajukan pada Pasal 2, ayat (2) dan pasal 5 Special Agreement: 1. Menemukan bahwa Slovakia sebagai suksesor cekoslovakia, menjadi pihak da lam perjanjian 1977 sejak 1 januari 1993 2. Hungaria dan Slovakia harus menegosiasikan dalam itikad baik berdasarkan situasi yang muncul, dan harus mengambil segala tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin pencapaian tujuan Perjanjian 1977, sesuai dengan yang telah mereka sepa kati sebelumnya. 3. Kecuali jika para pihak setuju sebaliknya, rezim Join Operation harus di laksanakan sesuai dengan Perjanjian 1977. 4. Kecuali jika para pihak setuju sebaliknya, Hungaria harus mengkompensasi Slovakia untuk kerusakan yang diderita Cekoslovakia dan oleh Slovakia dalam hal penundaan dan penelantaran pekerjaan oleh Hungaria yang merupakan tanggungjawab nya; dan Slovakia harus membayar kompensasi kepada Hungaria untuk kerugian yan g dideritanya dalam hal menjalankan tindakan sementaraprovisional solution oleh Ce koslovakia dan pemeliharaan tindakan sementara tersebut oleh Slovakia.5. Penyelesaian dari tanggungan untuk konstruksi dan operasi perkerjaan har us dipengaruhi sesuai dengan ketentuan yang relevan dari perjanjian 1977 dan ins trumen terkaitnya, tangungan seharunya dari tindakan seperti itu karena akan di ambil oleh para pihak dalam aplikasi poin 2b dan c dari ketentuan operatif saat ini. d. Pertimbangan Hakim Republik Hungaria Tidak Dapat Menunda Dan Memutuskan Pengerjaan Proyek Gabcikov o-Nagymaros Pada Tahun 1989 Karena Perjanjian Internasional Telah Melekatkan Tan ggung jawab Pada Republik Hungaria VCLT juga berlaku bagi Protocol pada 6 February 1989, yang isinya dimana Hungari a dan Cekoslovaskia setuju untuk mempercepat jalannya proyek Gabcikovo-Nagymaro s. Alasan Hungaria adalah bahwa terdapat kritik yang kuat pada tahun 1989 terhad ap proyek ini dan menyebabkan penundaan dan penghentian proyek. Perbuatan Hungar ia memperlihatkan ketidakmauan Hungaria untuk tunduk pada ketetapan dalam Perjan jian 1977 dan Protocol pada 6 Februari 1989. Karena perbuatan Hungaria maka tida k dapat tercapainya Perjanjian 1977 sebagai kesatuan dan tidak dapat dibagi. Tahun 1989, Hungaria tidak berhak menghentikan dan akhirnya membatalkan proyek G abcikovo-Nagymaros berdasarkan perjanjian 1977 dan instrument lain yang terkait. Hungaria dan Cekoslovakia dapat terlebih dahulu melakukan negosiasi untuk melih at dan memikirkan kembali proyek tersebut, tanpa melakukan penghentian. Hungaria sadar akibat yang akan terjadi kemudian dengan adanya perjanjian 1977 terhadap lingkungannya. Hungaria tidak boleh bersandar pada kepentingan negara sebagai al asan untuk tidak tunduk kepada kewajiban dari suatu perjanjian. November 1991, Cekoslovaskia Berhak Untuk Melaksanakan Varian C. Akan tetapi dil ain pihak cekoslovaskia tidak berhak untuk melaksanakan solusi sementara provisi onal solution pada oktober 1992. Cekoslovakia ketika melaksanakan operasi varian C dinyatakan tidak menimbulkan p elanggaran terhadap hukum internasional. Cekoslovakia berpendapat, keputusan Hun garia untuk menghentikan dan akhirnya membatalkan konstruksi pekerjaan di Dunaki liti membuat ketidakmungkinan untuk Cekoslovakia menyelesaikan pekerjaan yang se suai dengan perjanjian 1977 dan berhak untuk mengajukan pemecahan masalah. Penga dilan mengambil kesimpulan bahwa Cekoslovakia dalam melaksanakan varian C tidak mempergunakan Perjanjian 1977 tetapi sebaliknya melanggar ketetapan yang telah d itentukan dan menimbulkan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pemberitahuan pengakhiran perjanjian 16 September 1997 dan instrumen yang berhub ungan denganya oleh Hungaria, pada 19 Mei 1992 tidak memiliki akibat hukum pen gakhiran perjanjian tersebut Pemberitahuan tersebut tidak memiliki akibat hukum dikarenakan, antara lain: AlasanKebutuhan Negara yang dinyatakan Hungaria Pengadilan berpendapat bahwa walaupun adanya suatu kebutuhan negara, tetapi tida k dapat dijadikan alasan untuk penghentian suatu perjanjian. - Ketidakmampuan Hungaria untuk Melaksanakan Perjanjian Ketidakmampuan Hungaria tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan terlebih dahulu mengadakan negoisasi diantara para pihak untuk proses pelaksanaan mengenai pers yaratan penyesuaian kepentingan ekonomi dan ekologi. - Alasan bahwa adanya perubahan keadaan yang mendasar untuk meminta pengaturan kembali Menurut pengadilan kondisi politik tidak dapat dijadikan suatu alasan para pihak untuk mengakhiri suatu perjanjian. Jika terjadi perubahan secara radikal, kewaj iban tetap harus dijalankan. Menurut Pengadilan perubahan yang terjadi pada Hung aria, bukan disebabkan oleh alam, tetapi oleh individual atau kelompok, sehingga Hungaria tetap berkewajiban untuk memenuhi proyek perjanjian tersebut. Hungaria menyatakan terdapat pelanggaran terhadap isi dari perjanjian dalam pemb uatan dan pelaksanaan dari varian C. Pengadilan menemukan adanya pelanggaran per janjian oleh Cekoslovakia yaitu pembelokan air dari Danube ke bypass canal pada bulan oktober 1992. Pekerjaan Cekoslovakia berdasarkan varian C tidak menimbulka n terjadinya pelanggaran, sehingga Hungaria tidak berhak untuk meminta pengehent ian perjanjian.e. Analisis Kasus proyek Gabcikovo-Nagymaros merupakan suatu contoh kasus dalam hal perjanji an internasional. Ketika suatu negara telah mengikatkan dirinya pada suatu perja njian internasional maka negara tersebut telah terikat untuk tunduk dalam perjan jian tersebut. Negara tersebut tidak hanya terikat untuk memenuhi kewajiban sepe rti tertera dalam perjanjian tetapi juga memiliki hak berdasarkan perjanjian int ernasional tersebut. Suatu pelanggaran terhadap perjanjian internasional menimbu lkan tanggung jawab negara. Penerapan The Vienna Convention on the Law of Treaties terbatas dalam kasus seng keta Gabckovo-Nagymaros. Kedua belah pihak hanya mengakuiketetapan yang sudah ter kodifikasi sebelum adanya hukum kebiasaan internasional yang dapat diterapkan ke dalam perjanjian 1977, dimana ada sebelum VCLT berlaku diantara kedua negara. Pe ngadilan mengidentifikasi pasal 60, 61, dan 62, berkaitan dengan penangguhan dan penghentian perjanjian, sebagai kodifikasi dari norma kebiasaan internasional. Dasar Untuk Penghentian Suatu Perjanjian Pada 19 mei 1992, Hungaria menghentikan perjanjian 1977 sebagai konsekuensi peno lakan Cekoslovakia untuk penangguhan pekerjaan varian C selama proses mediasi, a kan tetapi dalam perjanjian itu sendiri tidak mencantumkan klausa penghentian. B erkaitan dengan hal itu Hungaria mengajukan lima pendapat untuk membenarkan tind akannya, yaitu : kepentingan negara state of necessity, ketidakmungkinan pelaksana an perjanjian imposibility of performance of the treaty, munculnya perubahan keada an yang sangat mendasar fundamental changes of circumstances, pelanggaran material perjanjian oleh Cekoslovakia, dan perkembangan norma baru dalam hukum lingkunga n internasional. Pengadilan tidak menerima pendapat Hungaria yang pertama, hal ini dikarenakan ke pentingan bukan merupakan dasar untuk pengakhiran perjanjan. Walaupun kepentinga n negara dapat dibuktikan, itu tidak dapat dilaksanakan karena adanya kewajiban dibawah perjanjian yang secara otomatis timbul. Pasal 61 pada VCLT 1969 mencantumkan doktrin ketidakmungkinan/ketidakmampuan unt uk melaksanakan perjanjian, pasal ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengh entikan atau menarik diri dari suatu perjanjian dengan syarat objek yang diperja njikan haruslah hilang atau rusak secara permanen. Dalam kasus ini rezim legal y ang memerintah proyek the Gabckovo-Nagymaros tidaklah hilang. Pasal 15,19, dan 20 pada perjanjian 1977 memberikan klausula dimana dapat diatur kembali berdasarka n atas kepentingan ekonomi dan lingkungan. Selanjutnya, pasal 61 ayat 2 VCLT 196 9 menghalangi pelaksanaan dari doktrin dimana keluhan mengenai ketidakmampuan me rupakan hasil dari pelanggaran oleh penghentian suatu perjanjian oleh pihak dala m perjanjian. Jika kerjasama investasi menghambat untuk hal dimana pelaksanaanny a adalah mustahil, itu merupakan akibat dari penghentian pekerjaan oleh hungaria . Pasal 62 VCLT 1969 merupakan kodifikasi hukum internasional berkenaan dengan per ubahan keadaan yang sangat mendasar dan hubungan perjanjian. Hungaria menyampaik an bahwa perjanjian 1977 adalah tujuan awal untuk penggabungan negara sosialis. Perubahan mendasar yang diambil dari pemindahan kesatuan dan sistem operasi yang tidak dapat dibagi dengan skema unilateral. Munculnya kedua belah pihak dalam pas ar ekonomi; mutasi kerangka kerja perjanjian kedalam norma yang tetap dan transf ormasi perjanjian yang sesuai dengan perlindungan lingkungan kedalam resep bencan a lingkungan. Pengadilan menilai walaupun adanya perubahan politik dan berkurangn ya kelangsungan ekonomi adalah relevan untuk pembuatan perjanjian, mereka tidak dekat dengan objek dan tujuan pada perjanjian 1977 yang berdasarkan dasar yang p enting dalam terikatnya suatu negara. Perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan b erkaitan dengan lingkungan tidak dapat dijadikan dasar perubahan yang mendasar(f undamental changes of circumstances). Pengadilan tidak mempertimbangkan apakah t imbulnya suatu norma baru dalam lingkungan dapat megkatalisasi pelaksanaan dari pasal 62 dalam situasi dimana istilah perjanjian tidak berdiri untuk norma baru. Tuntutan hungaria terhadap material varian C yang telah melanggar pasal 15, 19 d an 20 pada perjanjian 1977, berkaitan dengan perlindungan terhadap kualitas air, pemeliharaan ekosistem dan menjaga kepentingan perikanan. Pasal 60 ayat 3 padaVCLT menerima bahwa pelanggaran material dalam perjanjian dapat digunakan sebaga i dasar untuk menghentikan perjanjian bagi negara yang menjadi korban. Memperpan jang untuk memberi alasan dalam the principle of approximate application, pengad ilan menilai bahwa pelanggaran hanya terjadi apabila adanya pengalihan pada sung ai Danube. Seperti apa yang telah dilakukan Cekoslovakia dengan membendung Danub e setelah 19 mei 1992, penghentian perjanjian oleh hungaria adalah premature dan tidak sah. Sebagai dasar akhir untuk pembenaran penghentian oleh Hungaria, berdasarkan kepa da prinsip pencegahan dalam hukum lingkungan adanya kewajiban untuk tidak mengak ibatkan kerugian yang nyata terhadap negara lain. Pada saat ini berkembang prins ip erga omnes yaitu sic utere tuo ut alienum non laedas, bahwa segala aktivitas yang terjadi dalam suatu Negara tidak boleh menimbulkan kerugian pada negara la in. Cekoslovakia menjawab dengan menegaskan bahwa tidak adanya campur tangan per kembangan dalam norma hukum lingkungan internasional yang menimbulkan prinsip hu kum umum yang dapat mengesampingkan ketetapan dalam perjanjian 1977. Pengadilan menghindari pertimbangan dari usul, mengakhiri bahwa adanya perhatian terhadap pa sal 15, 19 dan 20.pada perjanjian 1977. Memberikan hukum lingkungan internasional sebagai sesuatu yang terus berjalan dan berkembang. Itu merupakan suatu ketidak beruntungan bahwa ICJ tidak mengambil kesempatan untuk mendiskusikan peran pemer intah dalam hubungan antar negara. Kesimpulannya, pengadilan harus dapat memperj elas pelaksanaan putusan kontroversial berkenaan dengan prinsip sic utere untuk membatasi gagasan tidak tertutupnya wilayah kedaulatan dalam kasus Trail Smelter arbitration. 3. Australia vs France & New Zealand vs France ( NUCLEAR TEST CASE) dan Ger many vs USA ( La Grand CASE) Nuclear Test Case a. Fakta Hukum Pada tahun 1963, Perjanjian pelarangan uji coba nuklir ditandatangani da n mulai berlaku. Perjanjian ini berisi larangan untuk melakukan uji coba senjata nuklir d i laut lepas. Perancis yang bukan merupakan negara pihak dari perjanjian tersebut mela kukan uji coba di wilayah Pasific Selatan sampai tahun 1973 dimana Perancis meny elesaikan serangkaian uji cobanya di atmosphere. Uji coba yang dilakukan oleh Perancis pada tahun 1972 dan tahun 1973 men dapat protes dari beberapa negara, termasuk Australia dan New Zealand yang memba wa masalah ini kepada Mahkamah Internasional. 8 Juni 1974, kantor kepresidenan Perancis mengeluarkan pernyataan yang t ercantum dalam communique yang dikirimkan kepada departemen luar negeri Australi a tertanggal 11 Juni 1974 bahwa yang pada intinya berbunyi kalau uji coba nuklir perancis akan dilanjutkan segera setelah percobaan pada musim panas tahun itu s elesai. 25 July 1974, Presiden Perancis dalam konferensi persnya menyatakan bahw a percobaan nuklir tersebut merupakan yang terakhir. 25 September 1974, Menteri luar negeri Perancis kepada UN General Assemb ly mengatakan bahwa akan melanjutkan program percobaan nuklirnya pada awal tahun depan (1975). Tahun 1974 Perancis mengumumkan penghentian uji coba nuklirnya yang meng akibatkan mahkamah berpendapat bahwa tidak ada objek sengketa lagi yang disengke takan sehingga mahkamah menghentikan kasus ini tanpa putusan. b. Permasalahan Hukum Apakah deklarasi unilateral yang di keluarkan oleh Perancis mengenai uji coba se lanjutnya di Pasifik Selatan telah sesuai dengan hukum internasional? c. Putusan Hakim Berdasarkan perbandingan suara 9 : 6 Mahkamah memutuskan bahwa gugatan Australi a tidak lagi memiliki dasar oleh karena itu Mahkamah tidak lagi memutuskan hal t ersebut.Kasus yang sama yang diajukan oleh New Zealand terhadap Perancis, mahkamah memut uskan berdasarkan pertimbangan yang sama. d. Dasar Pertimbangan Putusan Telah dikenal secara jelas bahwa suatu Deklarasi yang dibuat berdasarkan suatu tindakan unilateral (unilateral act) berkaitan dengan suatu keadaan hukum atau faktual memiliki akibat yang menimbulkan kewajiban hukum. Ketika Deklarasi tersebut merupakan kehendak dari negara deklarasi tersebut harus mengikat, kehen dak yang tertuang dalam Deklarasi, karakter perbuatan hukum, sejak saat itu nega ra secara hukum berkewajiban untuk mengikuti cara-cara yang diatur dalam deklara si tersebut. Perbuatan semacam itu (deklarasi unilateral) walaupun tidak dibuat dalam konteks negosiasi internasional tetap mengikat. Tidak semua tindakan unilateral (sepihak) menimbulkan suatu kewajiban; Salah satu prinsip dalam pembentukan dan pelaksanaan suatu kewajiban huku m adalah prinsip good faith. Sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda dalam huk um perjanjian internasional, maka suatu perjanjian harus didasarkan pada itikad baik, karakter mengikat suatu kewajiban internasional juga dianut oleh deklarasi unilateral. Pernyataan terbuka dari Presiden Perancis, lisan atau tertulis, sebagai kepala negara, adalah dalam rangka melakukan hubungan internasional negara Peran cis. Dengan demikian, dalam bentuk apapun pernyataan itu dilakukan, harus diadak an untuk membentuk suatu perjanjian dari negara tersebut, berkaitan dengan maksu d mereka dan keadaan yang mereka buat. Dalam pengumumannya bahwa rangkaian uji coba atmosphere 1974 akan menjad i yang terakhir, pemerintah Perancis telah menyatakan pada dunia, termasuk pada penggugat (Australia dan New Zealand) keinginannya untuk menghentikan uji coba i ni. Keabsahan dari pernyataan tersebut dan konsekwensi-konskwensi hukum harus di pertimbangkan didalam kerangka umum dari keamanan atas hubungan internasional da n kepercayaan yang sangat penting dalam hubungan diantara negara-negara. Berdasarkan substansi yang benar dari pernyataan ini, dan keadaan-keadaa n yang muncul karenanya, bahwa dampak hukum dari perbuatan unilateral harus dapa t disimpulkan. ..dalam surat tertanggal 7 februari 1973 dari kedutaan Perancis k epada perdana menteri dan menteri luar negeri Australia bahwa Perancis meyakinka n bahwa percobaan nuklirnya tidak melanggar hukum internasional, tidak pula Pera ncis menganggap bahwa Perancis terikat oleh hukum internasional untuk menghentik an uji cobanya.mahkamah melihat bahwa tindakan unilateral yang diakibatkan dari p ernyataan tersebut tidak dapat diinterpretasikan telah dibuat dalam keterkaitan yang mutlak dalam kuasa yang sewenang-wenang e. Analisis Deklarasi unilateral merupakan pernyataan sepihak yang berisi ketentuan-ketentua n umum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Walaupun perbuatan dalam nu clear test cases tidak hanya dapat dilihat hanya unilateral saja, tetapi kasus i ni lebih terkait dengan hukum perjanjian. Suatu perjanjian harus dibuat oleh ora ng yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu perjanjian (traty-making power) dalam hal ini perjanjian yang dimaksud mencakup perjanjian internasional karena menyangkut pada perbuatan hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban intern asional. Sebuah pernyataan sepihak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian kalau dibuat oleh pihak yang berkuasa atas suatu negara tersebut terhadap keadaan huku m atau fakta yang ada misalnya unilateral act yang dilakukan oleh Perancis diman a di lakukan di muka publik mengenai program uji coba nuklirnya oleh Presiden a tau menteri luar negeri atau otorita yang berwenang. Sehingga pernyataan yang di lakukan oleh orang-orang tersebut telah menimbulkan suatu kewajiban hukum (legal obligation) untuk melakukan apa yang telah dideklarasikan oleh nya.suatu perjan jian harus dibuat berdasarkan prinsip good faith (itikad baik) sebagaimana terca ntum dalam par.3 preambule dalam Vienna Convention on the Law of Treaty 1969 (VC LT 1969) dan pacta sunt servanda pasal 28 VCLT 1969 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat harus ditaati.LaGrand Case a. Fakta Hukum Walter La Grand dan Karl La Grand lahir di Jerman pada tahun 1962 dan 19 63, dan berkebangsaan Jerman. Pada Tahun 1967, ketika masih anak anak, mereka pi ndah dan menetap permanen di Amerika Serikat bersama dengan ibunya. Mereka kemba li ke Jerman terhitung hanya sekali dalam 6 bulan dalam tahun 1974. Walaupun mer eka telah menjadi anak angkat Amerika Serikat, tetapi mereka tidak pernah memper oleh kewarganegaraan Amerika Serikat. 7 Januari 1982 sore hari, Karl dan Walter Grand ditangkap atas dugaan me lakukan kejahatan pada pagi hari di hari yang sama yaitu perampokan menggunakan senjata di sebuah bank Valley National di daerah Marana, Arizona. 17 Februari 1984 keduanya ditahan dan dibawa ke pengadilan sebelum penju rian di Superior Court of Pima County, Arizona. 14 Desember 1984 kedua bersaudara itu dijatuhkan hukuman mati ditambah m asa tahanan karena terbukti melakukan pembunuhan. Di pengadilan, kedua bersaudara itu didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan karena mereka tidak mampu membayar seorang penasihat h ukum. Dimana penasihat hukum itu tidak mengangkat isu tentang tidak terpenuhinya hak dalam Article 36 Vienna Convention dan mereka sendiri tidak menghubungi pih ak konsuler Jerman. Tuntutan yang dinyatakan oleh Superior Court of Pima Country, Arizona di lawan oleh La Grand bersaudara melalui 3 proses hukum. Proses pertama pada tanggal 30 Januari 1987,melakukan upaya banding ke M ahkamah Agung Arizona. Namun ditolak. 5 Oktober 1987, La Grand bersaudara kembali memohon untuk dilakukan peni njauan atas keputusan kepada Mahkamah Agung, namun ditolak juga. Proses kedua melibatkan petisi La Grand tentang post-conviction relief y ang ditolak juga oleh Arizona State Court pada tahun 1989. Peninjauan atas keput usan ini ditolak Supreme Court of Arizona pada tahun 1990 dan oleh US Supreme Co urt pada tahun 1991. Dalam proses pengajuan kedua upaya hukum ini, La Grand bersaudara tetap tidak diberitahu oleh pihak Amerika Serikat tentang hak mereka di bawah Article 36 Vienna Convention dan begitu juga dengan consular Jerman tidak diberitahu men genai penangkapan dan penahanan terhadap kedua bersaudara ini. Juni 1992, Jerman mengetahui kasus ini dari La Grand sendiri yang menget ahuinya dari sumber lain dan bukan dari Pengadilan Arizona. Dan pada Februari 19 99, Jerman mengirimkan utusannya untuk mengunjungi La Grand di penjara dan menya takan bahwa pengacara akan menyelidiki kehidupan sewaktu kecil La Grand di Jerma n berkaitan dengan hal hak pendampingan konsuler selama di pengadilan. La Grand memulai proses hukum yang ketiga dengan mengajukan 2 klaim yang berbeda dan ditolak pada tanggal 24 Januari 1995 dan 16 Februari 1995 oleh US D istrict Court for the District of Arizona, Penolakan ini ditegaskan oleh Pengadi lan Amerika Serikat pada tanggal 16 Januari 1998 berdasarkan procedural default ya ng menyatakan "is a federal rule that, before a state criminal defendant can obta in relief in federal court, the claim must be presented to a state court. If a s tate defendant attempts to raise a new issue in a federal habeas corpus proceedi ng, the defendant can only do so by showing cause and prejudice. Cause is an ext ernal impediment that prevents a defendant from raising a claim and prejudice mu st be obvious on its face. One important purpose of this rule is to ensure that the state courts have an opportunity to address issues going to the validity of state convictions before the federal courts intervene." 2 November 1998, US Supreme Court menolak peninjauan kembali atas putusa n ini. 21 Desember 1998, Amerika Serikat secara resmi memberitahu La Grand bers audara mengenai hak konsuler mereka. 15 Januari 1999, Mahkamah Agung Arizona memutuskan pelaksanaan eksekusi pada tanggal 24 Februari 1999 untuk Karl La Grand dan 3 Maret 1999 untuk Walter La Grand. Dan pihak Jerman menyatakan mereka menerima ini pada tanggal 19 Januar i 1999. Di Januari dan awal Februari 1999, Jerman melakukan berbagai intervensiberusaha untuk mencegah eksekusi La Grand. Menteri Luar Negeri Jerman dan Menter i Kehakiman Jerman mengirim kepada US counterparts pada 27 Januari 1999. Pada ha ri yang sama Kementerian Luar Negeri mengirim kepada Gubernur Arizona. Kanselir Jerman mengirim kepada Presiden Amerika Serikat dan Gubernur Arizona pada tangga l 2 Februari 1999. Dan Presiden Jerman mengirim kepada Presiden Amerika Serikat pada tangga 5 Februari 1999 23 Februari 1999, The Arizona Board of Executive Clemency menolak bandin g yang diajukan Karl La Grand.Ini artinya Gubernur Arizona menolak memberi grasi . Di hari yang sama, The Arizona Superior Court in Pima Country menolak pe tisi lebih lanjut dari Walter La Grand. 2 Maret 1999, sehari sebelum tanggal yang dijadwalkan pelaksanaan ekseku si Walter La Grand, Jerman mengajukan pendaftaran permohonan kepada ICJ untuk me lawan Amerika Serikat mengenai kasus ini dengan permohonan agar Amerika Serikat melakukan penundaan terhadap pengeksekusian Walter La Grand sampai terdapat put usan atas permohonan ini. Selian itu, Jerman juga memohonkan agar Amerika Serika t memberitahukan hal tersebut ke Pengadilan Arizona. Dengan surat yang sama, Men teri Luar Negeri Jerman meminta Sekretaris Negara Amerika menyatakan untuk mende sak Gubernur Arizona agar menunda eksekusi Walter sampai menunggu putusan Mahkam ah Internasional. Di waktu yang sama, Arizona Board of Executive Clemency, memutuskan untu k mempertimbangkan kasus Walter LaGrand. Dan memberi rekomendasi kepada Gubernur Arizona untuk memberikan grasi 60 hari penangguhan hukuman mati terkait dengan laporan kepada ICJ yang diisi oleh Jerman. Namun demikian, Gubernur Arizona meny atakan demi keadilan hukum dan kepentingan korban, pengeksekusian terhadap Walte r tetap jalan seperti jadwal. 3 Maret 1999, ICJ menyatakan bahwa berdasarkan keadaan yang mendesak dan tanpa proses proses hukum, Amerika Serikat harus mengambil langkah langkah seme ntara sesuai dengan Article 41 dari statute ini dan Article 75 paragraf 1 dari p eraturan ini (I.C.J. Reports I Y Y Y (1), p.15, para 26). Langkah langkah sement ara itu adalah : Amerika harus mengambil langkah langkah untuk menunda eksekusi Walter La Grand selama proses dalam ICJ sedang berlangsung. Pemerintah Amerika Serikat harus memberitahu hal ini kepada Gubernur Ari zona. Di hari yang sama, proses proses hukum yang dibawa Jerman ke US Supreme Court melawan Amerika Serikat dan Gubernur Arizona berusaha antara lain untuk me negakkan permintaan dari ICJ untuk melaksanakan langkah langkah sementara terkai t dengan eksekusi La Grand. Dalam proses peradilan, penasihat hukum Amerika Seri kat mengambil posisi antara lain menyatakan bahwa permintaan dari ICJ untuk mela kukan langkah langkah sementara tidak mengikat dan tidak memenuhi dasar hukum. D i tanggal yang sama, US Supreme Court menolak mosi yang diajukan oleh Jerman, at as dasar keterlambatan dan berlawanan dengan hukum nasional Amerika Serikat. Di hari yang sama, putusan proses proses yang diajukan ke US Supreme Cou rt oleh Walter La Grand, melawan La Grand itu sendiri. Hari setelah itu, Walter La Grand dieksekusi. b. Permasalahan Hukum Apakah AS telah melanggar kewajiban internasionalnya kepada Jerman dalam hal hak negara Jerman dan hak perlindungan diplomatik kepada warga negara Jerma n sesuai pasal 5 dan 36 ayat 1 Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler? Apakah AS telah melanggar kewajibannya untuk menaati perintah Mahkamah d engan kegagalannya melakukan tindakan-tindakan tertentu yang diperlukan untuk me mastikan penundaan eksekusi Karl LaGrand? c. Putusan Mahkamah Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan tidak mem beritahukan kepada Walter dan Karl LaGrand seketika saat penangkapan mereka meng enai hak mereka dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina tentang Hubungan Konsule r, dan karena itu menyebabkan Jerman tidak dapat memberikan bantuan kepada mereka sesuai Konvensi, AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand ber saudara dalam Konvensi Wina pasal 36 ayat 1. Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa dengan menolak p eninjauan dan pertimbangan kembali, berdasarkan hak dalam Konvensi, terhadap tu ntutan dan putusan yang dijatuhkan kepada LaGrand bersaudara AS telah melanggar kewajibannya kepada Jerman dan LaGrand bersaudara dalam pasal 36 ayat 2 Konvensi Wina. Dengan suara 13 berbanding 2, Mahkamah menyatakan bahwa dengan kegagalan nya mengambil tindakan untuk memastikan Walter LaGrand tidak dieksekusi hingga d idapatkan putusan final dari Mahkamah mengenai kasus ini, AS telah melanggar kew ajibannya untuk menaati perintah Mahkamah (court order). Dengan suara bulat, Mahkamah menyatakan bahwa komitmen AS untuk menjamin implementasi tindakan-tindakan yang spesifik dalam rangka menaati kewajibannya dalam pasal 36 ayat 1 (b) Konvensi Wina, telah memenuhi permintaan Jerman untuk suatu jaminan tidak terulangnya kejadian ini. Dengan suara 14 berbanding 1, Mahkamah menyatakan bahwa apabila warga ne gara Jerman dijatuhi hukuman berat, tanpa ada pemberitahuan kepada warga negara tersebut mengenai haknya dalam Konvensi Wina, maka AS dengan cara yang dipilihny a harus mengizinkan dilakukannya peninjauan dan pertimbangan kembali atas tuntut an dan putusan yang dijatuhkan secara melanggar hak yang tercantum dalam Konvens i Wina. d. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran terhadap ayat 1 (b) dari pasal 36 Konvensi Wina tidak harus selalu menyebabkan pelanggaran terhadap ketentuan lai nnya dalam pasal ini. Akan tetapi dalam kasus ini, pelanggaran AS terhadap keten tuan ayat 1 (b) ternyata berakibat pada pelanggaran terhadap ketentuan ayat 1 (a ) dan (c). Ayat 1 pasal 36 tersebut memuat ketentuan yang menjadi dasar implemen tasi sistem perlindungan konsuler. Apabila suatu negara tidak mengetahui ada war ga negaranya yang menjalani proses hukum karena tidak diberitahukan oleh negara penerima maka negara pengirim tidak dapat melaksanakan haknya sesuai pasal 36. Kemudian Mahkamah memeriksa argumen para pihak mengenai hak yang timbul dari ketentuan pasal 36. Jerman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan pelanggaran terhadap hak invividu LaGrand bersaudara. Sem entara AS menyatakan bahwa hak pemberitahuan dan akses kepada pejabat konsuler a dalah hak negara dan bukan hak individu. Berdasarkan teks pasal 36 ayat 1 Mahkam ah berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut menciptakan suatu hak individu yan g dapat diterapkan oleh negara asal warga negara yang ditahan. Hak-hak ini telah dilanggar dalam kasus ini. Mahkamah mengutip pasal 36 ayat 2 yang menyatakan bahwa hak yang tercant um dalam ayat 1 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum nasional dari n egara penerima. Mahkamah tidak dapat menerima argumen AS bahwa ketentuan ayat 2 tersebut hanya berlaku untuk hak negara dan tidak untuk hak individu (warga nega ra pengirim yang ditahan). Sebagaimana telah disebutkan bahwa ketentuan ayat 1 m enciptakan pula suatu hak individu maka ketentuan dalam ayat 2 tidak hanya berla ku untuk hak negara tetapi juga hak individu. Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan procedural default yang diterapkan d i AS itu sendiri tidak bertentangan dengan pasal 36 Konvensi Wina. Akan tetapi m asalah muncul ketika ketentuan tersebut menghalangi warga negara yang ditahan un tuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut atas dasar pelanggaran hakn ya dalam Konvensi Wina. Mahkamah menyimpulkan bahwa dengan keadaan-keadaan yang mengiringi terjadinya kasus ini menyebabkan doktrin procedural default memberika n efek yang menghalangi pelaksanaan hak-hak yang terkandung dalam pasal 36. Oleh karena itu maka ketentuan ayat 2 dari pasal 36 telah dilanggar. Mahkamah kemudian memeriksa masalah lainnya dalam kasus ini mengenai per intah yang dikeluarkan oleh Mahkamah pada 3 Maret 1999 yang memerintahkan kepada AS untuk menunda pelaksanaan eksekusi Karl LaGrand hingga Mahkamah mengeluarkan putusan akhir. Untuk mengetahui apakah AS memang telah melanggar perintah Mahka mah, maka perlu diketahui terlebih dahulu apakah perintah Mahkamah tersebut mema ng memiliki kekuatan mengikat? Dalam hal ini Mahkamah melihat persoalan utamanyaadalah mengenai interpretasi terhadap pasal 41 Statuta Mahkamah Internasional. Inti dari pasal tersebut adalah Mahkamah memiliki kewenangan untuk menet apkan tindakan-tindakan tertentu yang harus diambil suatu pihak untuk melindungi hak dari pihak lainnya yang berperkara. Tindakan tertentu tersebut ditetapkan m elalui suatu perintah Mahkamah. Menurut AS bahasa yang digunakan dalam pasal ter sebut tidak menandakan adanya suatu kewajiban yang terkandung di dalamnya. Artin ya, court order yang dikeluarkan oleh Mahkamah, menurut AS tidak memiliki kekuat an mengikat. Mahkamah kemudian meninjau bahasa yang digunakan dalam pasal tersebut, b aik versi bahasa Inggris maupun Prancisnya. Mahkamah menemukan bahwa istilah yan g digunakan dalam kedua versi bahasa tersebut memiliki konotasi yang berbeda dal am masing-masing bahasa. Versi bahasa Inggris tidak menunjukkan adanya suatu keh arusan sedangkan versi bahasa Prancis menunjukkan adanya suatu keharusan. Karena kedua versi bahasa ini tidak mengandung keselarasan makna, maka Mahkamah meruju k pada pasal 92 Statuta Mahkamah Internasional dan pasal 111 Piagam PBB. Dalam pasal 92 Statuta disebutkan bahwa Statuta merupakan bagian kesatua n dari Piagam PBB. Kemudian dalam Piagam disebutkan bahwa naskah versi bahasa In ggris dan Prancis adalah sama dan memiliki kekuatan yang setara (equally authent ic). Hal ini berlaku pula untuk naskah Statuta. oleh karena kedua versi bahasa m emiliki kekuatan yang sama namun tidak menunjukkan kesamaan makna, maka kemudian Mahkamah merujuk pada pasal 33 ayat 4 Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian I nternasional. Berdasarkan ketentuan pasal ini apabila perbandingan naskah otenti k menunjukkan adanya perbedaan makna padahal naskah otentik tersebut memiliki ke kuatan yang sama, maka untuk menafsirkan maknanya perlu dilihat tujuan dan keper luan dari perjanjian yang bersangkutan. Fungsi dari Statuta adalah memungkinkan Mahkamah menjalankan fungsinya d alam melakukan penyelesaian sengketa internasional secara hukum. Oleh karena itu putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah haruslah memiliki suatu kekuatan mengikat . Mahkamah melihat bahwa pengertian putusan tidak hanya mencakup putusan akhir t etapi juga perintah-perintah yang dikeluarkan Mahkamah mengenai tindakan tertent u yang harus diambil para pihak. Sehingga perintah Mahkamah tersebut memiliki ke kuatan mengikat. Kemudian setelah melihat tindakan-tindakan yang telah dilakukan pejabat berwenang AS, Mahkamah menilai pejabat AS telah gagal menjalankan perin tah Mahkamah pada 3 Maret 1999. Akan tetapi Mahkamah juga tidak mengesampingkan fakta bahwa AS hanya memiliki waktu yang sangat singkat antara dikeluarkannya pe rintah penundaan eksekusi dengan jadwal pelaksanaan eksekusi yang telah ditetapk an. Mahkamah melihat bahwa AS telah mengakui adanya pelanggaran terhadap kew ajiban internasionalnya. Oleh karena itu AS meminta maaf dan menyatakan komitmen nya melakukan tindakan dan program tertentu untuk mencegah terulangnya pelanggar an yang sama. Akan tetapi Mahkamah berpendapat bahwa dalam kasus ini, di mana wa rga negara yang bersangkutan telah menjalani masa penahanan yang cukup lama dan menghadapi hukuman yang berat, maka permintaan maaf saja tidak cukup. Dalam kead aan seperti itu maka adalah kewajiban AS untuk mengizinkan dilakukannya peninjau an dan pertimbangan kembali terhadap tuntutan dan putusan tersebut dengan memper hatikan ketentuan dalam Konvensi Wina. Kewajiban ini dapat dilakukan dengan berb agai cara, yang ditentukan sendiri oleh AS. e. Analisis Dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler dikenal istilah negara pengirim (S ending State) dan negara penerima (Receiving State). Negara pengirim adalah nega ra asal pejabat konsuler. Dalam kasus ini negara pengirim adalah Jerman. Sedangk an negara penerima adalah negara tempat kedudukan pejabat konsuler tersebut. Dal am kasus ini sebagai negara penerima adalah AS. Terkait hal ini, maka dapat dilihat dahulu fungsi dari konsuler itu sendiri. per wakilan konsuler hanya menjalankan hubungan dengan instansi-instansi pemerintah lain yang menyangkut bidang perdagangan, perindustrian, perkapalan, instansi pen gadilan, dan administratif yang mengurus kepentingan negara dan warga negaranya di negara penerima. Fungsi konsuler yang ditegaskan dalam pasal 5 Konvensi WIna 1963 :a. Melindungi di dalam negara penerima, kepentingan-kepentingan negara peng irim b. Memanjukan pembangunan hubungan dagang, ekonomi, kebudayaan, dan ilmiah. c. Mengetahui keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan kehidupan dagan g, ekonomi, kebudayan, dan ilmiah, d. Mengeluarkan paspor dan dokumen perjalanan kepada warga negara pengirim. e. Memberikan pertolongan dan bantuan kepada warga negara. f. Bertindak sebagai notaris dan panitera sipil g. Menjaga kepentingan-kepentingan warga negaranya. h. Mejaga kepentingan-kepentingan anak kecil dna orang-orang di bawah penga mpuan. i. Mewakili atau mengatur perwakilan yang layak bagi warga negara pengirim j. Meneruskan dokumen-dokumen yudisial dan ekstrayudisial atau membuat sura t-surat permohonan atau melaksanakan perbuatan untuk mengambil bukti bagi pengad ilan negara penerima. k. Melaksanakan hak-hak oengawasan dan pemeriksaan yang disyaratkan di dala m hukum dan peraturan negara penerima terhadap kapal-kapal berkebangsaan pengiri m. l. Mengulurkan bantuan kepada kapal-kapal dan pesawa udara tersebut dalam s ubayat m. Melakukan fungsi-fungsi lain yang dipercayakan kepada kantor konsuler ol eh negara pengirim. Dalam kasus ini, La Grand seharusnya diberitahu oleh pihak Amerika Serikat menge nai hak-hak pembelaan di hadapan pengadilan yang dapat ia peroleh dari konsuler. Perwakilan konsuler diberi kebebasan melakukan komunikasi dengan berbagai piha k. Komunikasi warga negara pengirim yang ditahan diberi kebebasan, tertuang dala m Pasal 35 ayat 3 Konvensi Wina 1963 yang isinya sebagai berikut : Memberikan hak kepada pegawai/pejabat konsuler untuk mengunjungi sesama warga ne garanya yang ditahan/dipenjara untuk mencari bahan guna pembelaan di hadapan pen gadilan. Dasar kebebasan ini adalah karena karena perwakilan konsuler itu langsu ng berada di bawah yurisdiksi penerima atau perwakilan diplomatiknya. Sesungguhnya tidak ada yang salah dalam procedural default yang dilakuka n oleh Amerika Serikat karena tidak bertentangan dengan pasal 36 Konvensi Wina. Namun hal ini menjadi masalah ketika ketentuan tersebut menghalangi warga negara yang ditahan ( La Grand bersaudara) untuk mengajukan upaya hukum sebagai pembel aannya di hadapan pengadilan sesuai dengan haknya yang tertuang pada Konvensi Wi na. Akibat adanya keadaan-keadaan yang mengiringi terjadinya kasus ini menyebabk an doktrin procedural default memberikan efek yang menghalangi pelaksanaan hak-h ak yang terkandung dalam pasal 36. Oleh karena itulah maka ketentuan ayat 2 dari pasal 36 telah dilanggar.