untitled

Download Untitled

If you can't read please download the document

Upload: non-rosliana

Post on 26-Jul-2015

529 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah kita ketahui bahwa pangan menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia di sa mping kebutuhan akan sandang dan papan. Manusia mengkonsumsi makanan dengan tuju an untuk mempertahankan kelangsungan hidup serta meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika makanan yang akan dikonsumsi, selain harus memiliki kandungan gizi yang lengkap, makanan itu pun hendaknya bersih, dengan k ata lain bebas dari segala sesuatu baik zat maupun mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun sayangnya, hampir semua bahan pangan yang ada tid ak dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama tanpa perlakuan khusus. Hal ini d ikarenakan, secara alamiah di dalam bahan pangan terdapat mikroorganisme yang be rkembang. Adanya mikroorganisme ini dapat mengurangi waktu simpan bahan pangan d an akhirnya bahan pangan menjadi rusak (busuk). Beberapa kerusakan dapat diserta i dengan terbentuknya senyawa beracun, kerusakan yang lain dapat menyebabkan keh ilangan nilai gizi. Tentu saja, sesuai dengan tujuan mengkonsumsi makanan, maka makanan yang telah rusak (busuk) tidak boleh lagi dikonsumsi. Untuk itulah, tekn ik pengolahan makanan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Teknik pengolahan makanan biasanya tidak terlepas dari teknik pengawetan, meskip un keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Namun pada dasarnya, saat kita mengola h bahan pangan menjadi suatu makanan, tanpa kita sadari mungkin kita juga telah berusaha untuk memperpanjang masa simpan makanan tersebut. Misalnya, pada saat k ita membuat dendeng dari daging atau ikan selain bertujuan untuk menghasilkan su atu produk baru, kita juga telah menjadikan daging atau ikan tersebut menjadi le bih awet. Begitu banyak cara yang dapat digunakan untuk mengawetkan makanan, di antaranya adalah dengan cara pemanasan suhu tinggi, penyimpanan pada suhu rendah, penggara man dan penggulaan serta pengalengan. Penyimpanan makanan pada suhu rendah dan p emanasan dengan suhu tinggi merupakan teknik pengawetan yang biasa digunakan pad a skala rumah tangga. Misalnya, ibu menyimpan sayuran, buah-buahan, daging serta susu di refrigerator agar bahan makanan tersebut tetap segar atau memanaskan sa yur agar sayur tidak berubah rasa, warna dan aroma. Namun, apa yang harus dilaku kan terhadap bahan makanan untuk skala industri, yang nantinya akan dijual kepad a konsumen luas? Apa bahan pangan tersebut cukup disimpan dalam refrigerator ata u cukup hanya dengan dipanaskan? Berapa suhu yang harus dicapai pada saat pemana san agar makanan tersebut dapat bertahan lebih lama? Bahan pangan apa saja yang dapat diawetkan dengan cara tersebut serta bagaimanakah teknik pengawetan yang t epat? Semuanya akan diuraikan pada makalah yang berjudul Teknik Pengawetan Bahan Pangan dengan Suhu Tinggi . 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah yang dimaksud dengan teknik pengawetan bahan pangan? b. Apakah tujuan dasar dari teknik pengawetan dengan menggunakan suhu tingg i? c. Bagaimanakah kriteria bahan pangan yang sesuai sehingga teknik pengaweta n menggunakan suhu tinggi dapat diterapkan? d. Apa sajakah teknik pengawetan bahan panggan yang tergolong menggunakan s uhu tinggi? e. Bagaimanakah aplikasi dari teknik pengawetan bahan pangan menggunakan su hu tinggi? 1.3 Tujuan Tujuan dari penyusunan makalah ini di antaranya adalah untuk : a. memberikan informasi mengenai teknik pengawetan bahan pangan, b. memberikan informasi mengenai tujuan dasar pengawetan bahan pangan denga n menggunakan suhu tinggi, c. memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk teknik pengawetan bahan pang an dengan menggunakan suhu tinggi, d. memberikan informasi mengenai dampak penggunaan suhu tinggi terhadap mak anan, e. memberikan informasi mengenai aplikasi pengawetan bahan pangan dengan me nggunakan suhu tinggi dalam pengalengan makanan.BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Tujuan Pengawetan Bahan Pangan Bahan pangan berkualitas tinggi yang dibutuhkan oleh manusia merupakan produk ya ng mudah sekali rusak setelah melalui masa panen, pengumpulan dan juga pemotonga n. Untunglah kebanyakan bahan pangan yang mudah rusak ini dapat diawetkan dengan akseptabilitas yang tinggi menggunakan aplikasi yang tepat dari teknologi masa sekarang. Dengan keberhasilan aplikasi teknologi pengawetan pangan secara komers ial, penyediaan bahan pangan yang mudah rusak dapat diperpanjang, sehingga membe rikan andil yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Pada dasarnya, tujuan dari pengawetan makanan adalah memperpanjang masa simpan b ahan pangan. Pengawetan tidak dapat meningkatkan mutu, artinya bahan yang sudah terlanjur busuk, tidak akan menjadi segar kembali. Hanya dari bahan bermutu ting gi pula (dengan tetap mengingat proses pengolahannya, bagus atau tidak). Masingmasing cara pengawetan hanya efektif selama mekanisme pengawetannya masih bekerj a. Ada banyak cara untuk mengawetkan makanan, yakni : 1. Menyimpan makanan pada suhu rendah (pada lemari es atau lemari beku) dap at mengurangi kerusakan makanan dan memperlambat proses pelayuan. Suhu dingin ju ga membatasi tumbuhnya bakteri yang merugikan. 2. Penyimpanan dengan atmosfer terkendali (dengan kadar karbondioksida 1%-3 %) dapat memperlambat respirasi serta pembusukannya dengan mengurangi tingkat ok sigen dalam udara. 3. Mensterilkan dengan pemanasan akan menunda pembusukan. 4. Kemasan hampa udara atau penyimpanan dengan sejumlah karbondioksida dapa t mengurangi persentuhan bahan makanan dengan oksigen, mengurangi kecepatan pela yuan dan pertumbuhan bakteri. Biasanya memiliki rasa dan aroma yang tahan lama. 5. Pengeringan yang bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar kandungan air yang terkandung dalam bahan pangan. 6. Penggaraman dan penggulaan. Garam dan gula dapat digunakan untuk menyera p kandungan air dalam makanan. Semakin rendah kandungan air dalam makanan maka a kan semakin sulit bagi bakteri untuk hidup di dalamnya. 7. Pengalengan adalah upaya pensterilan pada suhu kira-kira 120 C, kemudian d ikemas hampa udara untuk menghindarkan pencemaran. Makanan relatif mudah dikalen gkan dan memudahkan pengangkutan dan penggunaannya menjadi populer. Hal-hal teknis yang perlu diperhatikan : 1. Sebelum diolah, bahan makanan harus disimpan pada lemari pendingin. Baha n-bahan yang mudah rusak harus didinginkan dan suhu lemari pendingin harus diper iksa secara teratur. Bahan-bahan makanan yang sudah dimasak sebaiknya dimakan se telah 1-2 jam pemasakan. Apabila akan disimpan harus dimasukkan ke dalam lemari es secepatnya, jangan dibiarkan diluar semalaman agar menjadi dingin sebelum dim asukkan ke dalam lemari pendingin. 2. Khusus untuk produk daging dan ayam yang telah dimasak, jika pemasakanny a kurang baik maka memungkinkan bakteri jenis Clostridium Perfringens masih hidu p. 3. Bahan-bahan pangan yang harus disimpan dalam keadaan panas (misalnya di restoran yang disajikan selalu panas), harus diperhatikan agar suhu penyimpanan di atas 60 C karena bakteri Clostridium dapat tumbuh pada suhu 55 C. Bahan-bahan yan g dibekukan harus segera dimasak setelah dicairkan (thawing) dan jangan dibiarka n dalam keadaan cair untuk jangka waktu yang lama. Penanganan pasca pengolahan/ pengawetan pangan antara lain: 1. Harus ditangani dengan baik dan tepat agar tujuan yang diharapkan tercap ai. 2. Contoh penanganan pasca pengolahan/ pengawetan: a. Pengemasan yang baik (hermetis dan inert, sesuai dengan karakteristik pr oduk). b. Penyimpanan pada suhu yang sesuai. 2.2 Teknik Pengawetan Makanan dengan Suhu Tinggi Penggunaan/pengawetan dengan suhu tinggi biasa disebut dengan proses termal, yai tu proses pengawetan pangan yang menggunakan panas untuk menonaktifkan bakteri.Contoh aplikasi dari proses termal adalah pengalengan. Konsep ini dapat juga dig unakan untuk mengevaluasi penurunan nilai gizi produk ketika dipanaskan. Proses termal merupakan salah satu metode terpenting yang digunakan dalam pengol ahan makanan karena : 1. memiliki efek yang diinginkan pada kualitas makanan (kebanyakan makanan dikonsumsi dalam bentuk yang dimasak), 2. memiliki efek pengawetan pada makanan melalui destruksi enzim dan aktivi tas mikroorganisme, serangga dan parasit, 3. destruksi atau penghancuran komponen-komponen anti nutrisi, sebagai cont oh tripsin inhibitor pada kacang-kacangan, 4. perbaikan ketersediaan beberapa zat gizi, contohnya daya cerna protein y ang semakin baik, gelatinisasi pati, dan pelepasan niasin yang terikat, 5. kontrol kondisi pengolahan yang relatif sederhana. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemanasan dengan temperatur yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama dapat menghasilkan destruksi mikroorganisme dan enzim yang lebih besar. Proses pemanasan pada temperatur tinggi waktu singkat (HTST = High Temperature Short Time) memiliki perpanjangan waktu simpan yang sama dengan proses pemanasan pada temperatur lebih rendah dan waktu yang lebih lama (LTLT = Low Temperature Long Time), tetapi memiliki retensi (penahanan) sifat-sifat sen sori (seperti rasa, warna, aroma, tekstur) dan nilai-nilai gizi yang lebih baik. Jadi, proses HTST lebih menguntungkan dibandingkan LTLT. 2.3 Bentuk-Bentuk Proses Termal Berdasarkan bentuk panas yang digunakan, proses termal ini secara garis besar di bedakan atas empat, yakni: 1. proses termal dengan menggunakan uap (steam) atau air sebagai media pemb awa panas yang dibutuhkan, meliputi blansir (blanching), pasteurisasi, sterilisa si, evaporasi, dan ekstrusi, 2. proses termal dengan menggunakan udara panas, yakni: dehidrasi (pengerin gan) dan pemanggangan, 3. proses termal dengan menggunakan minyak panas, yaitu penggorengan (fryin g), 4. proses termal dengan menggunakan energi iradiasi, yaitu pemanasan dengan gelombang mikro (microwave) dan radiasi inframerah. Blanching Blanching adalah pemanasan pendahuluan yang biasanya dilakukan sebelum proses pe mbekuan, pengeringan, dan pengalengan, serta ditujukan terutama untuk menonaktif kan enzim yang ada dalam makanan seperti buah-buahan dan sayuran. Tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan gas dari bahan pangan (jaringan buah/sayuran) yang a kan mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbent uknya head space yang baik, menaikkan suhu bahan pangan, membersihkan bahan pang an, melunakkan/melemaskan bahan pangan sehingga mudah dalam pengepakan di dalam kaleng, mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada permukaan bahan pa ngan, buah dan sayuran), mengeluarkan udara yang terperangkap Buah dan sayuran s egar mengandung enzim yang sering kali mengganggu selama penyimpanan produk. Sel ama penyimpanan produk buah/sayur, beberapa enzim, seperti lipoksigenase, polife nolase, poligalakturonase dan klorofilase, akan menurunkan mutu sensori dan gizi produk. Dengan adanya proses blanching yang dilanjutkan dengan proses pasteuris asi/sterilisasi makanan kaleng, maka enzim pun akan inaktif dan tidak mempengaru hi perubahan mutu produk selama penyimpanan. Di dalam proses blanching buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasa n yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain yang t ersebut di atas. Baik enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusa kan pada buah dan sayuran. Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, en zim katalase dan peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecuk upan proses blanching. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim la in yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik. Media panas yang digunakan untuk blanching adalah air panas, uap panas, atau uda ra panas pada suhu sekitar 90 C selama 35 menit. Untuk mendapatkan warna sayuran yang tetap segar sangat baik digunakan kombinasi panas dan pendingin yang sangat c epat. Pasteurisasi Pasteurisasi merupakan perlakuan panas di bawah titik didih air atau di bawah su hu sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen tetapi tidak membunuh mikroorganisme pembusuk dan nonpatogen. Walaupun proses ini hanya mamp u membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diapl ikasikan terutama jika: 1. Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu), 2. Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme pat ogen (penyebab penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang da pat merusak mutu (misalnya pada saribuah), 3. Diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah mikr oorganisme yang sensitif terhadap panas (misalnya khamir/ragi pada sari buah), 4. Akan digunakan cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan d engan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah p roses pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut (misalny a pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, pengemasan yang rapat tertutup , penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain). Secara umum tujuan utama pasteurisasi adalah untuk memusnahkan sel-sel vegetatif dari mikroba patogen, pembentuk toksin dan pembusuk. Beberapa mikroba yang dapa t dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah bakteri penyebab penyakit, se perti Mycobacterium tuberculosis (penyebab penyakit TBC), Salmonella (penyebab k olera dan tifus) serta Shigella dysenteriae (penyebab disentri). Di samping itu, pasteurisasi juga dapat memusnahkan bakteri pembusuk yang tidak berspora, seper ti Pseudomonas, Achromobater, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus d an Aerobacter serta kapang dan khamir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bawa proses pasteurisasi secara umum dapat me ngawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorgan isme yang sensitif terhadap panas (terutama khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan/penuruna n mutu gizi dan organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya aw et yang dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik b ahan pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa pr oduk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk. Pasteurisasi dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Low Temperature Long Time (LTLT) : suhu 63 C selama 30 menit. 2. High Temperature Short Tim (HTST) : suhu 72 C selama 15 detik. Pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain, misalnya setelah dip asteurisasi makanan disimpan pada suhu dingin. Dengan demikian daya simpan makan an tersebut akan lebih lama. Sebagai contoh, susu pasteurisasi yang disimpan dal am lemari es selama 1 minggu atau lebih tidak terjadi perubahan cita rasa yang n yata, tetapi jika susu tersebut disimpan pada suhu kamar maka akan menjadi busuk dalam 1 atau 2 hari. Sterilisasi Istilah sterilisasi berarti membebaskan bahan dari semua mikroba. Sterilisasi bi asanya dilakukan pada suhu yang tinggi misalnya 121 C selama 15 menit. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi tergantung dari besarnya kaleng yang digunakan dan kecepatan perambatan panas dari makanan tersebut. Selama proses sterilisasi dapa t terjadi beberapa perubahan terhadap makanan yang dapat menurunkan mutunya. Ole h sebab itu, jumlah panas yang diberikan harus dihitung sedemikian rupa sehingga tidak merusak mutu makanan. Untuk bahan makanan di dalam kaleng atau botol bias anya dilakukan sterilisasi komersial, yang ditujukan untuk membunuh mikroba pato gen, mikroba penghasil toksin, dan pembusuk, sedangkan mikroba nonpatogen atau s poranya masih mungkin ditemukan tetapi dalam fase dorman yang tidak dapat berkem bang setelah pemanasan. Panas yang diberikan sekitar 121 C selama 30-60 menit, ter gantung bahan yang akan disterilkan. Makanan-makanan kaleng yang steril secara k omersial biasanya tahan sampai setengah tahun lebih. Sterilisasi dikenal dengan istilah UHT (Ultra High Temperature) yaitu sterilisasi pada suhu 150 C selama bebe rapa detik. Berdasarkan prosesnya, sterilisasi dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut : 1. Proses pengalengan konvensional, di mana produk dimasukkan dalam kaleng, lalu ditutup secara hermetis, dan setelah itu produk dalam kaleng dipanaskan/di sterilisasikan dengan menggunakan retort. Setelah kecukupan panas yang diperluka n tercapai, produk dalam kaleng tersebut didinginkan. 2. Proses aseptis, yaitu suatu proses di mana produk dan kemasan disterilis asi secara terpisah, kemudian produk steril tersebut diisikan ke dalam wadah ste ril pada suatu ruangan yang steril. Hot-filling Hot-filling adalah teknik proses termal yang banyak diterapkan untuk produk pang an berbentuk cair, seperti saus, jam, dan sambal. Dari segi tujuan proses, hot-f illing banyak dilakukan untuk produk pangan yang memiliki pH rendah (pangan asam /diasamkan) untuk tujuan pasteurisasi. Pengertian hot-filling adalah melakukan p engemasan bahan dalam kondisi panas setelah proses pasteurisasi ke dalam kemasan steril (misalnya botol atau gelas jar), lalu ditutup rapat (hermetis) dan didin ginkan. Biasanya proses hot-filling dikombinasikan dengan teknik pengawetan lain , misalnya penambahan gula, garam, bahan pengawet atau pendinginan. Di antara pr oduk pangan yang dapat diproses dengan hot-filling adalah saus, sambal, jem, dan sebagainya. Pengasapan Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan asap yang diha silkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak te rpanggang atau terbakar. Sebelum diasapi, daging biasanya direndam di dalam air garam. Beberapa jenis ika n tidak perlu direndam lebih dulu di dalam air garam, Setelah dilap dan dikering kan, makanan digantung di tempat pengasapan yang biasanya memiliki cerobong asap . Sebagai kayu asap biasanya dipakai serpihan kayu yang bila dibakar memiliki ar oma harum seperti kayu pohon ek dan bukan kayu yang memiliki damar. Ke dalam kay u bakar bisa ditambahkan rempah-rempah seperti cengkeh dan akar manis. Sewaktu pengasapan berlangsung, makanan harus dijaga agar seluruh bagian makanan terkena asap. Waktu pengasapan bergantung ukuran potongan daging dan jenis ikan . Api perlu dijaga agar tidak boleh terlalu besar. Bila suhu tempat pengasapan t erlalu panas, asap tidak dapat masuk ke dalam makanan. Sewaktu pengasapan dimula i, api yang dipakai tidak boleh terlalu besar. Di peternakan negara-negara Barat sering terdapat bangunan kecil yang disebut sm oke house (rumah asap) untuk mengasapi dan menyimpan daging. Bangunan ini didiri kan terpisah dari bangunan lain untuk mencegah bahaya kebakaran. 2.4 Akibat dari Pemanasan terhadap Bahan Pangan Telah kita ketahui, tujuan dari pemanasan adalah untuk membebaskan makanan dari adanya parasit-parasit dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh adanya bakteri . Namun, di sisi lain, pemanasan yang berlebihan dapat mengurangi nilai gizi mak anan. Sebagai contoh, pemanasan berlebihan akan mengubah konfigurasi protein atau lebi h dikenal dengan denaturasi protein. Enzim adalah protein, karenanya aktivitasny a akan hilang bila dipanaskan hingga melewati suhu optimalnya. Jumlah gugus sulf hidril bebas di dalam protein akan meningkat. Protein yang dipanaskan ini akan m emiliki rasa yang berbeda. Mungkin akan terjadi suatu peningkatan kekentalan bil amana suatu larutan protein dipanaskan, yang kemudian kita kenal sebagai koagula si atau flokulasi protein. Koagulasi protein adalah suatu penggabungan molekul-m olekul protein yang berdampingan melalui ikatan-ikatan hodrogen rantai samping. Minyak-minyak makan yang berkualitas tinggi mempunyai cita rasa yang manis, guri h dan kenampakan dengan warna yang cerah. Lemak dan minyak yang telah rusak dapa t dideteksi dengan indra kita. Lemak dan minyak tersebut berubah menjadi tengik. Minyak yang tengik telah kehilangan sebagian nilai gizinya. Tanpa adanya oksige n, lemak dan minyak dapat dikatakan tahan terhadap pemanasan. Namun dengan adany a keberadaan oksigen, lemak dan minyak akan segera menjadi rusak dan memberikan rasa yang tajam. Pada suhu 400F, lemak dan minyak akan kehilangan banyak nilai gizinya. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E dan K) tanpa adanya udara relati f tahan terhadap pemanasan, akan tetapi dengan adanya oksigen akan kehilangan ba nyak nilai gizi. Pemanasan yang lama pada suhu tinggi dapat menghilangkan seluru h nilai gizinya. Daya tahan vitamin-vitamin yang larut dalam air merupakan masalah yang lebih kom pleks. Oleh karena zat-zat tersebut larut dengan mudah dalam air, maka air bekas masakan yang dibuang dapat mengurangi nilai gizi semula. Vitamin B1 sangat peka terhadap panas, sedangkan vitamin B2 tidak begitu peka terhadap panas akan teta pi sangat peka terhadap cahaya. Vitamin C juga tidak peka terhadap panas dan cah aya, tetapi dengan adanya udara mudah sekali untuk teroksidasi. Maka jika kita m emanaskan makanan dengan adanya udara, dapat kita pastikan kita akan kehilangan nilai gizi yang relatif besar. Demikian daripada itu, penentuan suhu pemanasan y ang tepat menjadi hal yang sangat penting dalam pengawetan makanan dengan cara p emanasan. 2.5 Menentukan Suhu Pemanasan Perambatan panas dapat berjalan secara konduksi, konveksi, atau radiasi. Dalam p engalengan makanan, perambatan panas biasanya berjalan secara konveksi dan kondu ksi. Sifat perambatan panas ini perlu diperhatikan untuk menentukan jumlah panas optimum yang harus diberikan pada makanan kaleng. Yang dimaksud dengan konduksi adalah perambatan panas dengan cara mengalirkan pa nas dari satu partikel ke partikel lainnya tanpa adanya pergerakan atau sirkulas i dari partikel itu. Sebagai contoh adalah pada makanan-makanan yang berbentuk p adat seperti corned beef. Konveksi adalah perambatan panas dengan cara mengalirk an panas dengan pergerakan atau sirkulasi. Perambatan panas jenis ini terjadi pa da makanan-makanan berbentuk cair, seperti sari buah-buahan. Kombinasi perambata n panas secara konduksi dan konveksi terjadi pada makanan yang mengandung bahan padat dan cair seperti manisan buah-buahan dalam kaleng yang diberi sirup. Di dalam makanan kaleng dikenal istilah cold point, yakni titik atau tempat yang p aling lambat menerima panas. Cold point untuk bahan-bahan yang merambatkan panas secara konduksi terdapat di tengah atau di pusat bahan tersebut. Adapun cold po int untuk bahan-bahan yang merambatkan panasnya secara konveksi terletak di bawa h atau di atas pusat yakni kira-kira seperempat bagian atas atau bawah sumbu (Ga mbar 2.1). Gambar 2.1 Cold Point Sri Rini Dwiari dkk (2008) Perambatan panas secara konveksi jauh lebih cepat dibandingkan perambatan panas secara konduksi. Jadi, semakin padat bahan pangan, maka perambatan panas akan se makin lambat. 2.6 Pengalengan Bahan Makanan Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan panas untuk pengalengan ba han makanan adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan bahan mentah (raw material). Faktor pertama yang sangat perlu mendapat perhatian khusus adalah bahan mentah. Bahan makanan yang akan diolah ha rus dipilih yang berkualitas baik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungk inan-kemungkinan penurunan mutu yang tidak diinginkan. 2. Persiapan sebelum pengolahan termasuk pencucian atau pembuangan bagian-b agian yang tidak diperlukan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian be sar mikroorganisme yang ada di permukaan/bagian yang berhubungan langsung dengan udara. Selain itu dilakukan pula penghilangan pada bagian-bagian yang tidak dip erlukan, misalnya pada sayur, bagian batang atau daun yang tua dibuang. Pada pro ses persiapan ini, terkadang dilakukan perendaman dengan bahan tertentu, sebagai contoh perendaman ikan dalam larutan garam encer atau pemblansiran sayur-sayura n. 3. Pengolahan dan pengemasan. Pada tahap ini perlu diperhatikan sifat dari bahan makanan yang akan diawetkan, apakah berasam rendah atau tinggi. 2.7 Klasifikasi Bahan Pangan Tingkat keasaman produk (pH) akan menentukan jenis mikroba apa yang berpotensi u ntuk tumbuh di dalamnya, sehingga akan menjadi faktor penentu proses termal apayang harus dilakukan (sterilisasi/pasteurisasi). Tingkat resiko terkontaminasi o leh mikroba yang berbahaya (patogen) terutama untuk produk-produk yang memiliki pH yang tinggi. Terutama dalam makanan kaleng, yang menjadi pH kritis adalah pH media dimana Clostridium botulinum mulai dapat tumbuh adalah 4.5. Berdasarkan re siko keamanan pangan, produk pangan sering dikelompokkan berdasarkan tingkat kea saman atau pHnya. Sebagai batas pengelompokkannya, digunakan batas resiko pertum buhan bakteri Clostridium botulinum, yaitu 4.5-4.6. Untuk pertimbangan keamanan, sebagai batas pengelompokkan biasanya digunakan pH 4.5. Berdasarkan tingkat keasaman tersebut, produk pangan sering dikelompokkan menjad i pangan asam atau acid food (pH < 4.) dan pH berasam rendah atau low acid food (pH 4.5). Di samping kedua jenis bahan pangan tersebut, ada yang disebut dengan bahan pangan asam yang diasamkan (acidified food), yaitu produk pangan berasam r endah yang diturunkan pHnya sehingga berada pada kisaran pH untuk produk pangan asam. Gambar 2.2 memperlihatkan jenis-jenis makanan berasam tinggi (asam/diasamk an) dan berasam rendah serta masing-masing resiko keamanan pangannya. Gambar 2.2 Pengelompokan produk pangan berdasarkan tingkat keasamannya Dalam proses pengawetan dengan suhu tinggi, faktor keasaman menjadi sangat penti ng, karena berkaitan dengan target mikroba yang harus dibunuh antara pangan yang asam/diasamkan dan yang berasam rendah berbeda. Secara umum, bahan pangan asam/ diasamkan yang akan diawetkan dalam kemasan tertutup (hermetis) dapat dilakukan proses pasteurisasi, sedangkan bahan pangan berasam rendah harus dilakukan prose s sterilisasi komersial. Namun demikian, aktivitas air (Aw) pun harus dipertimba ngkan, karena berpengaruh pada peluang pertumbuhan C. botulinum. Untuk produk pa ngan yang berasam rendah yang memiliki Aw yang rendah (0.85), karena C. Botulinum dapat tumbuh baik pada Aw yang tinggi. Tabel 2.1 memperlihatkan pengelompokkan bahan pangan, resiko mikroorgani sme yang dapat tumbuh dan proses termal yang harus dilakukan, sedangkan Tabel 2. 2 memperlihatkan tingkat resiko bahan pangan berdasarkan pH dan aktivitas air.Tabel 2.1 Pengelompokan Bahan Pangan, Resiko Mikroorganisme yang dapat Tumbuh da n Proses Termal yang Harus Dilakukan Tabel 2.2 Penggolongan Bahan Pangan Berdasarkan Tingkat Resikonya Pangan Berasam Rendah Berdasarkan definisi dari US Food and Drug Administration (US-FDA), produk panga n dikelompokkan berasam rendah apabila mempunyai pH>4.5 dan Aw>0.85. Di antara p roduk pangan yang termasuk berasam rendah adalah susu, daging, telur, dan ikan. Dalam hal ini Aw dimasukkan sebagai kriteria, karena nilai Aw akan membatasi per tumbuhan mikroba, dimana walaupun pH-nya tinggi tetapi apabila Aw-nya rendah, re siko pertumbuhan mikroba patogen lebih rendah. Produk pangan berasam rendah merupakan produk pangan yang mempu-nyai resiko ting gi bagi kesehatan publik mengingat bahwa pada produk pangan berasam rendah terda pat kemungkinan: 1. Pertumbuhan mikroba patogen Pada kondisi pH pangan sangat rendah (berasam tinggi; pH < 4.5), pertumbuhan mik roba relatif rendah dan umumnya bukan berasal dari golongan mikroba yang berbaha ya. Sedangkan pada produk pangan berasam rendah (pH >4.5) resiko yang dimiliki l ebih besar karena mikroba patogen bisa tumbuh. Hal ini karena pada umumnya mikro ba patogen menginginkan kondisi pH pertumbuhan yang berada pada kisaran netral. 2. Germinasi spora, khususnya spora mikroba patogen Clostridium botulinum Clostridium botulinum adalah bakteri pembentuk spora yang menyukai kondisi panga n berasam rendah, dapat hidup pada kondisi anaerobik (kedap udara) seperti di da lam pangan kaleng, dan mampu menghasilkan racun yang sangat berbahaya dan bersifat mematikan bagi manusia, yaitu toksin botulin. Pangan Asam Produk pangan dikelompokkan pangan asam apabila secara alami memiliki pH < 4.5. Di antara produk pangan yang memiliki pH rendah di antaranya adalah buah-buahan (jeruk, tomat, kedondong, dsb). Dalam kondisi asam, produk pangan relatif lebih awet dan resiko ditumbuhi oleh mikroba patogen, seperti C. botulinum rendah. Dem ikian juga, mikroba yang tumbuh pada produk pangan asam relatif tidak tahan pana s, sehingga pemanasan pasteurisasi dapat dilakukan untuk pengawetannya. Pangan yang Diasamkan Makanan yang diasamkan atau acidified food didefinisikan oleh FDA sebagai bahan pa ngan berasam rendah yang ditambahkan asam atau diasamkan sehingga menghasilkan p roduk yang memiliki pH kesetimbangan akhir sekitar 4,5 atau lebih kecil. Contoh produk pangan yang diasamkan adalah pickle. Bahan pangan seperti sayuran, kacang polong, lada, cabai, beet dan jamur adalah bahan pangan berasam rendah yang bia sa diasamkan. Jenis-jenis bahan pangan yang tidak termasuk produk pangan yang di asamkan menurut aturan FDA di antaranya adalah minuman berkarbonat, jam, jeli da n preserve, dressing dan bumbu saus, bahan pangan asam alami seperti peaches. Se lain itu bahan pangan yang diawetkan dengan fermentasi mikrobial juga tidak term asuk dalam makanan yang diasamkan (FDA). Definisi acidified menurut USDA hampir sama dengan definisi dari FDA. Akan tetap i USDA menyertakan pula persyaratan tambahan, yaitu setiap komponen dari produk harus memiliki pH 4,5 atau lebih rendah dalam waktu 24 jam setelah pengolahan, d an meliputi produk-produk pengalengan daging atau unggas yang melalui proses ter mal baik sebelum maupun sesudah proses pengemasan secara hermetis. Produk fermen tasi tidak termasuk dalam katagori ini. Keasaman yang tepat dibutuhkan untuk mencegah pertumbuhan C. botulinum. Proses p embuatan makanan yang diasamkan sangat tergantung pada pH bahan pangan untuk men cegah pertumbuhan organisme tersebut. Nilai pH kesetimbangan akhir dari makanan yang diasamkan harus mencapai 4,5 atau lebih rendah untuk mencegah pertumbuhan C . botulinum. Faktor yang paling penting dalam produksi makanan yang diasamkan ada-lah waktu u ntuk mencapai dan mempertahankan tingkat pH yang diperlukan untuk menghambat per tumbuhan spora C. botulinum. Selain itu juga harus dipastikan bahwa tidak terjad i proses pembusukan akibat aktivitas mikrobiologi selama proses pencapaian tingk at pH yang diinginkan (4,5 atau lebih kecil). Untuk makanan yang diasamkan dapat digunakan suatu proses yang disebut hot-fillhold process atau proses pengisian panas. Proses ini mencakup pengisian produk k e dalam wadah dalam keadaan panas dan membiarkan produk ini dalam keadaan panas beberapa saat sebelum didinginkan. Jenis proses ini didasarkan pada keterkaitan antara pH yang diberikan dan suhu pengisian yang diperoleh dari lembaga pengolah an yang berwenang. Tidak ada data suhu dan waktu yang khusus yang dibutuhkan unt uk menetapkan hot-fill-hold process ini. Produk-produk makanan yang diasamkan dapat juga diproses dalam suatu alat pasteu risasi, ketel pemasak bertekanan atmosfer atau dalam retort untuk selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa proses didasarkan pada kecepatan pemanasan dari produk. Alat pasteurisasi atau ketel pemasak bertekanan atmosfer biasanya alirannya kontinyu, dan dalam hal ini proses termal didasarka n pada suhu akhir produk pada tahap akhir dari bagian pemanasan. Pembacaan suhu maksimum dari termometer dapat digunakan untuk menetapkan proses bagi produk-pro duk asam atau diasamkan. Untuk menghasilkan produk pangan dengan pH 4,5 atau lebih kecil, pengasaman meru pakan suatu keharusan. Yang harus diingat adalah bahwa semua ingridient yang mud ah rusak harus dilindungi dari kebusukan mikrobiologi mulai sebelum proses penga saman dilakukan sampai tercapai pH kesetimbangan pada 4,5 atau lebih kecil. Beberapa metode yang biasa dilakukan untuk proses pengasaman bahan pangan adalah : a. Blansir (blanching) di dalam larutan asam. Untuk melakukan pengasaman pa rtikel bahan pangan yang besar, harus dilakukan blansir dalam larutan asam panas . Kemampuan untuk memperoleh produk yang asam tergantung dari waktu dan suhu blansir, demikian juga tipe dan konsentrasi asam. b. Pencelupan bahan pangan yang sudah diblansir dalam larutan asam. Dalam h al ini adalah produk yang diblansir secara normal dengan uap atau air. Selanjutn ya, direndam dalam larutan asam, ditiriskan dan ditempatkan dalam kontainer. Kea saman ditentukan oleh kesempurnaan proses blansir, konsentrasi asam dan waktu ko ntak. c. Pengasaman secara langsung (direct batch acidification). Cara ini pada u mumnya adalah cara yang paling bagus untuk bahan pangan cair. Ingredien dicampur dalam suatu bejana, dan asam ditambahkan secara langsung ke dalam bejana (adany a peningkatan suhu dapat meningkatkan kecepatan penetrasi asam ke dalam partikel solid). Nilai pH dalam batch diperiksa sebelum bahan proses pengisian. d. Penambahan bahan pangan asam ke dalam bahan pangan berasam rendah secara terkontrol. Bahan pangan asam dicampur dengan bahan pangan berasam rendah untuk mendapat produk pangan terasamkan. e. Penambahan secara langsung sejumlah asam yang sudah diketahui sebelumnya (predeteminant acid) ke dalam individual wadah/kemasan selama proses produksi. Cara ini melibatkan penambahan pelet asam yang diketahui volume/konsentrasinya s ecara langsung ke dalam wadah. Cara ini merupakan cara yang paling tidak akurat dalam proses pengasaman, karena penambahan asam ke dalam kontainer mungkin tidak terkontrol. Sangat sulit untuk mengawasi rasio solid-liquid, pencampuran yang c ukup dari asam terhadap produk atau penetrasi asam kedalam padatan. Walaupun car a ini diperbolehkan untuk melakukan pengasaman, tetapi tidak direkomendasikan. Proses pengasaman tersebut memerlukan kontrol tertentu untuk menghasilkan produk yang diasamkan. Satu perusahaan mungkin menggunakan lebih dari satu prosedur te rgantung dari jenis produk dan prosedur proses standar yang telah ditetapkan. Dalam penggunaan panas ada dua faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Jumlah panas yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroorganisme p embusuk dan patogen. 2. Jumlah panas yang digunakan sedapat mungkin akan menyebabkan penurunan z at gizi dan cita rasa yang minimal.Gambar 2.3 Ilustrasi Proses Pengalengan Buah Sri Rini Dwiari dkk (2008) Gambar 2.4 Ilustrasi Proses Pengalengan Ikan Sri Rini Dwiari dkk (2008) Tujuan utama proses termal (proses panas) pada pengalengan adalah untuk merancan g kondisi pemanasan sehingga menghasilkan makanan kaleng yang steril komersial. Be rbeda dengan sterilisasi total, dalam sterilisasi komersial masih terdapat beber apa mikroorganisme yang masih dapat hidup setelah pemberian panas (sterilisasi). Namun, karena kondisi dalam kaleng selama penyimpanan yang terjadi dalam prakte k komersial sehari-hari, maka mikroorganisme tersebut tidak mampu tumbuh dan ber kembang biak, sehingga tidak dapat membusukkan produk yang terdapat di dalam kal eng. Pada saat ini ilmu dan teknologi pangan telah berkembang pesat sehingga dapat d ilakukan perhitungan yang rumit dan teliti untuk menghasilkan sterilisasi komersi al yang memungkinkan produk tetap awet tanpa harus banyak mengorbankan nilai gizi , cita rasa, dan tekstur. Prinsip dasar proses termal tersebut diambil dari ilmu termobakteriologi, dengan memanfaatkan kaidah perambatan dan penetrasi panas se rta sifat daya tahan panas mikroorganisme khususnya yang berbentuk spora. Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rap at (hermetis) dan disterilkan dengan panas. Secara garis besar proses pengalenga n bahan makanan dilakukan melalui tahap-tahap persiapan bahan mentah, blansir, p engisian bahan ke dalam kemasan, pengisian larutan media, penghampaan udara (exh austing), proses sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan. Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pe ncucian, pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu dan persiapan bahan untuk pen golahan selanjutnya. Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari benda asingyang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya, serta un tuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi. Blansir dilakukan sebelum dilakukan pengisian bahan ke dalam kaleng, bertujuan u ntuk menghilangkan udara dalam jaringan buah atau sayur, mengurangi jumlah mikro organisme, memudahkan pengisian ke dalam kaleng karena terjadinya pelunakan baha n dan mengnonaktifkan enzim. Pengisian bahan ke dalam kemasan harus seragam deng an tujuan untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten dan menjaga berat bahan secara tetap. Penghampaan udara i alah pengeluaran udara yang terdapat dalam kemasan untuk mengurangi tekanan di d alam kaleng selama proses pemanasan. Proses sterilisasi merupakan metode yang banyak digunakan dalam proses pengaweta n bahan pangan yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang ada di dalamnya , sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan selama penyimpanan dan bahan pan gan tersebut tidak membahayakan kesehatan konsumen. Seperti telah diuraikan sebelumnya, proses sterilisasi yang dilakukan dalam peng alengan adalah sterilisasi komersial yang bertujuan untuk membunuh mikroorganism e pembusuk/patogen dan sporanya. Bahan pangan yang diproses dengan sterilisasi k omersial kebanyakan dikemas pada kondisi anaerobik, sebab spora mikroorganisme a naerobik biasanya mempunyai ketahanan panas lebih rendah dibandingkan spora aero bik sehingga suhu dan waktu proses sterilisasi dapat lebih rendah. Selain itu, p encegahan rekontaminasi mikroorganisme anaerobik lebih mudah dan pada kondisi te rsebut dapat dicegah terjadinya reaksi oksidasi yang dapat timbul selama proses pemanasan. Bakteri yang paling tahan panas dan berbahaya bagi kesehatan manusia serta dapat ditemukan dalam makanan kaleng dalam kondisi anaerobik adalah Clostridium botul inum. Bakteri tersebut termasuk bakteri pembentuk spora yang dapat menghasilkan racun botulin yang mematikan. Bakteri lain yang juga menghasilkan spora serta da pat menyebabkan kebusukan bahan tetapi bersifat nonpatogen adalah PA 3679 (Putre factive Anaerob) dan Bacillus stearothermophilus (FS 1518). Kedua bakteri ini me miliki daya panas lebih tinggi dibandingkan C. Botulinum sehingga jika panas yan g diberikan cukup untuk membunuh kedua bakteri tersebut, diharapkan C. botulinum dan bakteri bakteri patogen lainnya akan mati. Jumlah bakteri yang mati oleh panas dapat digambarkan sebagai kurva yang bersifa t logaritmik (Gambar 2.5). Harga DT adalah waktu dalam menit yang dibutuhkan unt uk membunuh 90 % mikroba yang ada pada suhu tertentu (T F). Nilai DT menunjukkan jumlah mikroba yang mati sebanyak 1 satuan log (1 log cycle). Nilai DT juga menu njukkan daya tahan mikroba terhadap panas pada suhu tertentu (T F). Jadi, makin t inggi harga D, maka mikroba tersebut makin tahan panas. Arti dari kurva tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pada waktu t1 jumlah mikroba misalnya 102, maka pada waktu t2 jumlah mikroba yang masih hidup sebanya k 101. Jadi, jumlah mikroba yang mati adalah 90 atau sama dengan 90 % dari jumla h mikroba pada t1. Gambar 2.5 Kurva Kematian Bakteri secara Logaritmik pada Suhu T F Sri Rini Dwiari dkk (2008) Untuk menentukan kurva kematian mikroba dapat juga digunakan harga z, yakni juml ah kenaikan suhu ( F) yang dibutuhkan oleh mikroba untuk melalui harga D satu satu an log. Kurva tersebut adalah Thermal Death Time Curve (kurva TDT) seperti ditunju kkan pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Kurva TDT Sri Rini Dwiari dkk (2008) Untuk sterilisasi bahan pangan berasam rendah (pH diatas 4,5) biasanya digunakan pemanasan selama 12 D (12 D concept) yang ditujukan terhadap spora C.botulinum. Hal ini berarti kemungkinan terjadinya kebusukan karena C. botulinum diperkecil sampai 1/1012, yakni setiap 1012 kaleng hanya 1 yang kemungkinan akan busuk ole h C. botulinum. Adapun sterilisasi bahan pangan yang sangat asam (pH di bawah 4, 0) biasanya digunakan pemanasan selama 5 D (suhu 250F) atau kadang-kadang cukup dengan pemanasan pada suhu 212F (100C) atau kurang selama beberapa menit.BAB III KESIMPULAN 1. Proses termal bertujuan memperpanjang keawetan produk pangan dengan cara membunuh mikroorganisme pembusuk dan patogen. Proses termal berperan juga dalam memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga mudah dikonsumsi, meningka tkan daya cerna protein dan karbohidrat, dan menghancurkan komponen-komponen yan g tidak diperlukan. Proses termal yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan ko mponen gizi (vitamin, protein) dan penurunan mutu sensori (rasa, warna, dan teks tur). 2. Proses pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu di bawah 100C) deng an tujuan mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan ters ebut akan mempunyai daya awet beberapa hari, terutama untuk memusnahkan sel-sel vegetatif dari mikroba patogen, pembentuk toksin dan pembusuk. Pasteurisasi seri ng diaplikasikan untuk produk yang mudah rusak oleh panas, atau bila akan dilaku kan kombinasi dengan metode pengawetan lain, seperti pendinginan, pengemasan yan g rapat tertutup, penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain. 3. Sterilisasi komersial adalah suatu kondisi yang diperoleh dari pengolaha n pangan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga ti dak ada lagi mikroorganisme hidup. Produk yang telah mengalami sterilisasi komer sial mungkin saja masih mengandung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keber adaannya tidak membahayakan kalau produk tersebut disimpan pada kondisi penyimpa nan normal. Produk pangan yang telah disterilisasi komersial akan mempunyai daya awet yang tinggi. 4. Produksi bahan pangan steril komersial mencakup dua operasi yang esensia l; yaitu: (a) produk pangan harus dipanaskan secara cukup (pada suhu yang cukup tinggi dan waktu yang cukup lama) untuk memastikan bahwa kondisi steril komersia l telah tercapai; dan (b) produk pangan harus dikemas dan ditutup dengan menggun akan wadah yang hermetik atau kedap udara (seperti kaleng, gelas, aluminium foil , retort pouch, dll), sehingga mampu mencegah timbulnya rekontaminasi setelah pr oduk tersebut disterilkan. 5. Suatu produk pangan dikatakan sudah steril komersial apabila: (a) produk telah mengalami proses pemanasan >100C; (b) bebas dari mikroba patogen dan pembe ntuk racun; (c) bebas mikroba dalam kondisi penyimpanan dan penanganan normal da pat menyebabkan kebusukan; (d) awet (dapat disimpan pada kondisi normal tanpa re frigerasi) 6. Proses sterilisasi komersial dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: ( a) proses pengalengan konvensional, dan (b) proses aseptis dalam sistem kontinyu . 7. Hot-filling adalah teknik proses termal untuk produk pangan cair yang di lakukan dengan cara memasukkan bahan ke dalam kemasan dalam kondisi panas (setel ah proses pasteurisasi), lalu ditutup rapat. Hot-filling umumnya menerapkan komb inasi dengan pengawetan lain, seperti penambahan gula, garam, bahan pengawet atau pendinginan. 8. Berdasarkan tingkat keasamannya, produk pangan dikelompokkan menjadi pan gan asam rendah (pH>4.5) dan pangan asam/diasamkan (pH0.85 adalah sterilisasi komersial. Sedangkan untuk produk pangan asam/diasamkan dan produk berasam renda h yang memiliki Aw