universitas sumatera utara fakultas hukum hukum …

167
TINJAUAN HUKUM TERHADAP LARANGAN BERTEMU ANAK PASCA PERCERAIAN (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 365/PDT/2017/PT.MDN) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: ASTRIA INDRIYANTI MANURUNG 160200271 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM PERDATA MEDAN 2020 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

TINJAUAN HUKUM TERHADAP LARANGAN BERTEMU

ANAK PASCA PERCERAIAN

(Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan

Nomor 365/PDT/2017/PT.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ASTRIA INDRIYANTI MANURUNG

160200271

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

HUKUM PERDATA

MEDAN

2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih,

penyertaan dan berkat-Nya yang tiada berkesudahan dalam kehidupan saya.

Semua hanya karena anugerah-Nya sehingga saat ini saya dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Tinjaun Hukum Terhadap Larangan Bertemu Anak

Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:

365/PDT/2017/PT.MDN).

Keingintahuan saya mengenai larangan bertemu anak pasca perceraian

membuat saya ingin mendalami dan memahaminya sehingga lahirlah keinginan

untuk membahasnya dalam skripsi ini. Saya menyadari dalam penelitian ini masih

banyak terdapat ketidaksempurnaan akibat keterbatasan kemampuan saya. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi

perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Diharapkan pula skripsi ini dapat

bermanfaat dalam perkembangan Hukum Perdata pada umumnya khususnya

dalam bidang Hukum Perceraian.

Skripsi ini khusus saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, papa

yang saya banggakan Henri Parningotan Manurung, dimana beliau selalu menjadi

pahlawan yang akan selalu menjaga dan mengarahkan saya , akan semua kesulitan

yang mungkin saya alami sepanjang penulisan skripsi ini, serta mama yang saya

kasihi Intan Purnama Samosir, S.Pd., sebagai orang pertama yang selalu percaya

bahwa saya akan menyelesaikan penulisan skripsi ini, dan kelak akan menjadi

kebanggan keluarga. Semoga saya dapat selalu membanggakan orang tua saya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

ii

Saya juga ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta pelajaran berharga baik

dalam penelitian ini maupun selama perjalanan kehidupan saya:

1. Prof Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III FakultasHukum

Universitas Sumatera Utara;

6. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum.selaku Dosen Pembimbing Akademik;

7. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di

sela kesibukan dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini;

10. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di

sela kesibukan dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

iii

11. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum USU yang telah

banyak memberikan bantuan, arahan, dan ilmu yang berguna bagi saya

selama saya menjalani perkuliahan maupun selama proses penyelesaian

skripsi ini;

12. Terima kasih paling spesial kepada Orang tua saya yang terkasih, Henri

Parningotan Manurung dan Intan Purnama Samosir, S.Pd. atas doa, kasih

sayang, dan dukungan yang tiada hentinya kepada saya;

13. Terima kasih kepada saudara yang saya kasihi Andre Joshua Manurung

(my baymax), Audrey Angelica Manurung (cabsss) , Adinda Sarah

Manurung (kecilku) yang senantiasa menyayangi dan mendukung saya;

14. Terima kasih kepada yang saya kasihi, Ruth Eva Sihoming (Mak Jeje),

kakaya Rezsjyah, abangya adekya tante Juha dan Evan yang setiap

harinya selalu berada dirumah untuk menjadi penghibur penulis selama

penulisan skripsi ini;

15. Terima kasih kepada yang saya kasihi Kakak Novantika Samosir, Kakak

Nita Samosir, Adik Caroline Manurung, Adik Dina Harianja dan Adik Eva

Harianja, yang selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini, dengan harapan agar cepat menempuh hidup baru;

16. Keluarga besar Pomparan Ompung Angie dan Pomparan Ompung Yossie

atas dukungan dan semangat yang diberikan;

17. Keluarga besar Pemuda-pemudi Gereja GKPI Jemaat Khusus Cinta damai

dan Persatuan Guru Sekolah Minggu Gereja GKPI Jemaat Khusus Cinta

Damai yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

iv

18. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Dalton” team, Hana Sarah, Hanna Sara,

Jeremy Christian, Nathasia Omega, Saida Luki Ezra dan Sarah Florencia

yang selalu mendukung saya sejak masa SMP hingga saat ini;

19. Sahabat-sahabat terkasih saya, “2AM” team, Agnes Olivia Romauli

Siregar dan Maria Ervika Munte, yang menjadi titipan Tuhan kepada saya

sejak awal SMA hingga saat ini;

20. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Samaa” dan “Masih Kita” team , Lidya

Cristy Ndiloisa Ginting, Devy Christina Vebiola Nainggolan, Cici

Paranitha Sitorus dan Anggita Tridiani Sirait yang telah menemani saya

sejak awal perkuliahan dan tanpa henti memberikan dukungan kepada saya

dalam proses penyelesaian skripsi serta membantu saya menjadi pribadi

yang lebih baik;

21. Sahabat-sahabat terkasih saya, “Klinis” team, Rahmat Sihombing, Aldi

S.Purba, Arga Samuel, Yuan Dagama, Anggita Tridiani Sirait, Cici

Paranitha Sitorus, Lidya Cristy N Ginting, Vivy Julianty, Jihan Fahira,

Elisabeth A Matondang, yang telah menemani saya menyelesaikan

praktek peradilan Semu, dan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan

dan disertai dengan perjuangan keras.

22. Abang dan Kakak alumni “Panitia Natal Fakultas Hukum USU 2018

“Divisi Dana” yang saya kasihi Kak Ekinia, Kak Indri, Kak Kiki, Kak

Reyvany, Bang Ray, Bang Immanuel dan Bang Joshua yang tanpa henti

memberikan dukungan kepada saya dalam proses penyelesaian skripsi

serta membantu saya menjadi pribadi yang lebih baik;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

v

23. Keluarga besar GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU atas kebersamaan

dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;

24. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Perdata (IMP) Fakultas Hukum USU

atas kebersamaan dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;

25. Keluarga besar Panitia Natal 2019 Fakultas Hukum USU atas

kebersamaan dan segala hal yang telah diajarkan kepada saya;

26. Teman-teman Grup B Angkatan 2016 dan teman-teman Angkatan 2016

lainnya, yang karena kebersamaannya saya mampu menyelesaikan semua

kegiatan perkuliahan dengan baik;

27. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Medan, Januari 2020

Hormat Saya,

Astria Indriyanti Manurung

160200271

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi

ABSTRAK ......................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 9

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 10

D. Manfaat Penulisan ..................................................................................... 10

E. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 12

1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan ..................................................... 12

a. Pengertian Perkawinan .............................................................. 12

b. Tujuan Perkawinan..................................................................... 15

c. Syarat-syarat Perkawinan .......................................................... 16

d. Asas-Asas perkawinan .............................................................. 18

2. Tinjauan Umum tentang Anak ............................................................... 21

3. Tinjauan Umum tentang Perceraian ....................................................... 22

F. Metode Penelitian ....................................................................................... 25

G. Keaslian Penulisan ..................................................................................... 31

H. Sistematika Penulisan ................................................................................ 34

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

PASCA PERCERAIAN .......................................................................... 36

A. Kedudukan Anak dalam ikatan perkawinan ............................................. 36

1. Kedudukan anak dalam Perundangan-undangan ........................... 36

2. Kedudukan anak dalam hukum adat ............................................... 39

3. Kedudukan anak dalam hukum agama .......................................... 43

B. Hak dan kewajiban anak dalam ikatan perkawinan .................................... 50

C. Hak – hak anak pasca perceraian ............................................................... 56

D. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan ............................. 59

1. Kewajiban dalam perundang-undangan .......................................... 59

2. Kewajiban dalam hukum adat .......................................................... 61

3. Kewajiban dalam hukum agama ....................................................... 63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

vii

E. Kewajiban Orangtua terhadap anak pasca Perceraian................................66

1. Kewajiban dalam perundang-undangan ........................................... 68

2. Kewajiban dalam hukum adat ........................................................... 71

3. Kewajiban dalam hukum agama ....................................................... 74

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANGTUA YANG

BERCERAI MELARANG PASANGAN YANG LAIN

UNTUK BERTEMU DENGAN ANAKNYA .................................... 78

A. Faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian ........................ 78

1. Faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian ................. 79

2. Faktor- faktor lain yang menyebabkan terjadinya perceraian.................. 84 B. Faktor larangan bertemu anak pasca perceraian ....................................... 89

C. Faktor –faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan

lain untuk bertemu dengan anaknya Putusan Nomor:

365/PDT/2017/PT.MDN ............................................................................... 94

BAB IV ANALISA PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN NO 365/PDT/2017/PT.MDN

.............................................................................................................. .103

A. Kasus Posisi......................................................................................... 103

1. Kronologi Kasus ......................................................................... 103

2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 113

3. Putusan Hakim ............................................................................ 119

B. Analisa terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan

Tinggi Medan nomor 365/PDT/2017/PT.MDN .................................... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 145

A. Kesimpulan .............................................................................................. 145

B. Saran .......................................................................................................... 146

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

viii

ABSTRAK

Rabiatul Syariah*

Dedi Harianto**

Astria Indriyanti Manurung***

Larangan bertemu anak merupakan salah satu permasalahan khusus yang

sering terjadi dalam kasus perceraian. Ketidakharmonisan hubungan antara

pasangan setelah terjadinya perceraian, menjadi salah satu alasan pemicu

terjadinya pelarangan ini. Hal ini terlihat dari adanya pendaftaran gugatan di

tingkat banding di Pengadilan Tinggi Medan, oleh Tn. Susanto selaku

Pembanding dan Ny. Rita selaku Terbanding dengan Putusan No

365/PDT/2017/PT.MDN. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui hak dan kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian

menurut pandangan Hukum, faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang

pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya, serta analisa pertimbangan

hakim terhadap larangan bertemu anak pasca perceraian berdasarkan putusan

nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Yuridis Normatif, dengan

sumber menggunakan data sekunder yang terdiri dari putusan Pengadilan tingkat

pertama No: 32/Pdt.G/PN.MDN, putusan tingkat banding No:

365/PDT/2017/PT.MDN, pendapat ahli hukum, jurnal ilmiah, majalah dan berita

internet yang berkaitan dengan larangan bertemu anak pasca perceraian. Alat

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan pedoman

wawancara. Pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif,

serta penarikan kesimpulan yang dilakukan menggunakan metode deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa hak dan kewajiban orang

tua terhadap anak pasca perceraian adalah melaksanakan tanggungjawabnya

dalam hal pemberian nafkah, pemeliharaan, serta mendidik anak-anaknya. Faktor

penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan yang lain untuk bertemu

dengan anaknya adalah adanya rasa sakit hati diantara pasangan yang bercerai

serta intervensi dari orangtua ataupun keluarga dari salah satu pihak yang

bercerai. Hasil analisa pertimbangan hakim terhadap larangan bertemu anak pasca

perceraian berdasarkan putusan nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN adalah pihak

yang tidak mendapatkan hak asuh atas anak tetap diizinkan untuk bertemu dengan

sang anak.

Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian, Larangan Bertemu Anak

*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna

dibandingkan mahluk lainnya di bumi, bentuk kesempurnaan yang dimilikinya

adalah akal dan hati nurani. Salah satu sifat yang dikenal pada manusia adalah

Homo Socius, dalam arti sederhana disebut sebagai mahluk sosial. Manusia

sebagai mahluk sosial yang berarti tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa

memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitasnya karena ia merupakan anggota

masyarakat dan bagian dari masyarakat. 1

Dalam menjaga kehidupannya agar tetap harmonis maka manusia perlu

sekali untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dan bersosialisasi sehingga

mereka dapat hidup di masyarakat. Manusia tercipta bukan hanya bertugas untuk

sekedar hidup saja, tetapi aktif dalam melestarikan kehidupan mahluk ciptaan

lainnya dan berkembang.2

Tugas manusia dalam menata kehidupannya untuk berkembang selaras

dengan interaksinya yang menyatakan bahwa, manusia diciptakan berpasang-

pasangan. Manusia yang berlawanan jenis dapat membentuk suatu kehidupan baru

yang dikenal sebagai rumah tangga melalui suatu ikatan sah yang disebut sebagai

ikatan perkawinan.

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat

manusia. Dari sebuah perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-

1 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi

Komunikasi di Masyarakat, (Kencana : Jakarta, 2013) hal 25

2 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

2

isteri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum

antara orang tua dan anak-anak mereka. 3

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang – Undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Pasal 1 Undang – Undang No 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Perkawinan merupakan ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

untuk membentuk suatu keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”.5

Pengertian yang dimaksud, dengan hukum masing – masing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaannya yaitu sepanjang tidak bertentangan atau

tidak ditentukan lain dalam undang- undang ini. 6 Walaupun pada Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang No 1 Tahun 1974, tidak membicarakan sahnya perkawinan tetapi

memiliki fungsi yang menguatkan secara administratif. Memang suatu

perkawinan dikatakan sah bukan hanya ditentukan oleh faktor substantifnya dalam

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yaitu agama dan

kepercayaannya. Jadi ada pembedaannya namun tidak dapat dipisahkan.

Perkawinan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, memiliki aspek

3 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia ( PT Abadi: Jakarta,2001),

hal 1 4 Pasal 1 Undang- Undang No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan

5 Pasal 2 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 , Tentang Perkawinan

6 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati , Hukum Orang dan Keluarga ( USU Press:

Medan, 2001 ) hal. 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

3

perdata dan aspek administratif . Aspek perdata membicarakan fungsi substansi

dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi yang terakhir

adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum tentang adanya bukti Perkawinan

(bewijs van huwelijk) yang sudah dilakukan oleh suami istri bagi masyarakat dan

negara.7

Kehidupan perkawinan yang harmonis tentu diinginkan setiap orang. Pada

umumnya niat dalam melangsungkan pernikahan hanya sekali untuk seumur

hidup. Namun kenyataannya, dewasa ini tidak jarang ditemukan hubungan

Perkawinan tersebut berjalan kurang baik. Banyak persoalan – persoalan yang

terjadi dalam suatu ikatan perkawinan yang berujung kepada perceraian.

Pasal 38 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyebut putusnya

perkawinan karena:

1. Salah satu pihak meninggal dunia

2. Karena perceraian

3. Atas keputusan Pengadilan

Adapun mengenai salah satu pihak meninggal dunia,yaitu karena kematian

tidak menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian itu terjadi dihadapan dan

ditempat kediaman bersama tidak ada masalah yang perlu untuk diperbincangkan.

Oleh sebab itu yang khusus akan menjadi persoalan terutama yang menyangkut

perceraian dan putusnya perkawinan karena keputusan Pengadilan.8

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, memberi penjelasan

“ Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan , bahwa antar suami isteri

7 Ibid, hal. 53

8 M. Yahya Harahap , Hukum Perkawinan Nasional (CV Zahir Treding Co: Medan,1975)

hal 133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

4

itu tidak akan dapat hidup rukun”.9 Peraturan pelaksanaan tidak mengatur hal –

hal yang berhubungan dengan akibat suatu perceraian, karena itu pula disini

disebutkan apa yang telah ditentukan oleh Pasal 41 Undang-Undang No 1 Tahun

1974 sebagai berikut;

1. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anak- anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak; pengadilan memberi

keputusannya;

2. Ayah yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana ayah dalam kenyataan

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas istri10

.

Hal yang paling jelas menderita akibat dari putusnya perkawinan pada

umumnya adalah keturunan mereka . Disini harus digaris bawahi dengan

perkataan pada umumnya . Sebab dalam keadaan – keadaan tertentu malah demi

kepentingan pertumbuhan jiwa anak- anak lebih bagus cepat dilakukan perceraian.

Pertengkaran yang terus menerus, cara hidup isteri yang memberi kemerosotan

moral dan mental anak-anak disebabkan mengejar ambisi mengejar kemewahan,

atau sebaliknya tingkah laku suami yang tidak memikul kehormatan dan kesetiaan

dalam kehidupan rumah tangga. Pulang ke rumah jauh malam, dalam keaadan

mabuk dan sebagainya. Tentu kasus- kasus yang demikian akan lebih menjauhkan

psychological disorder dari kejiwaan anak-anak apabila perceraian cepat

dilakukan. Berdasarkan dengan asas tujuan perkawinan yang diatur dalam

Undang-undang ini untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera , spirituil

9 Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan

10 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia- cetakan ke empat, ( Ghalia

Indonesia, Jakarta; 1976) hal. 44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

5

dan material tidak mungkin lagi terwujud , adalah lebih baik memberi kebebasan

pada masing-masing pihak untuk mencoba lagi dengan pasangan-pasangan baru

yang mungkin menjumpai kedamaian dan kebahagiaan.11

Dalam hal keturunan dari suami-istri yaitu anak, pada saat perceraian

terjadi adalah letak dari pelimpahan hak asuh anak. Hukum hak asuh anak adalah

wajib. Hal ini dikarenakan apabila anak masih kecil tidak dirawat dan didik

dengan baik maka akan berdampak buruk bagi diri mereka, bahkan bisa menjurus

pada kehilangan nyawa. Oleh karena itu, anak wajib dididik, dipelihara, dan

dirawat dengan baik.

Ketentuan hak asuh anak dalam hukum keluarga di Indonesia terdapat

dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI

(Kompilasi Hukum Islam). Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menegaskan bahwa,“kedua orang tua sama-sama memiliki

kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku terus menerus

meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”. Penegasan hak asuh pasca

perceraian juga dicantumkan dalam Pasal 41 huruf (a) Undang-undang No 1

Tahun 1974 yang menegaskan bahwa, “akibat putusnya perkawinan karena

perceraian ialah baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak –anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak , bilamana

11

M. Yahya Harahap, Op.cit hal. 134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

6

ada perselisihan mengenai penguasaan anak maka pengadilan memberi

keputusannya”.12

Berdasarkan uraian di atas tersirat bahwa setelah terjadinya perceraian,

maka penetapan akan hak asuh anak secara langsung disahkan oleh pengadilan.

Putusnya suatu ikatan perkawinan tidak menjadi penyebab bagi anak untuk

merasakan kurangnya kasih sayang dari orang tua. Kepada orang tua yang tidak

mendapat hak asuh tersebut, tidak memiliki larangan untuk tetap berhubungan

dengan sang anak. Sebab bagi anak, tidak ada istilah bekas orang tua begitupun

sebaliknya.

Mengambil masalah larangan bertemu anak juga dapat terlihat pada

pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 26 Januari 2016

dalam register nomor 23/PDT.G/2016/PN.MDN, dengan nomor putusan

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, dimana Ny. Rita selaku istri berstatus sebagai Penggugat

dan Tn. Susanto selaku suami, berstatus sebagai pihak tergugat.

Dalam putusan ini dijelaskan bahwa penggugat dan tergugat adalah suami

istri yang sah dan telah melakukan perkawinan secara agama Budha, pada tanggal

14 Nopember 2013, dan telah terbukti secara hukum dicatatkan dalam catatan

sipil pada tanggal 19 Agustus 2014 di Kota Medan. Penggugat dengan tergugat

dinyatakan sejak menikah, telah tinggal serumah dan telah melakukan kodratnya

sebagai suami – istri, hal ini dinyatakan dari hasil perkawinan penggugat dan

tergugat telah dikaruniai 1(satu) orang anak laki-laki yang bernama Philbert

Vladilim, yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di Medan. Beberapa bulan

12

Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Di Indonesia

(Perspektif Keadilan Jender) , (UII Press Yogyakarta: Yogyakarta , 2015), hal 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

7

setelah kelahiran Philbert Vladilim, terdapat perubahan yang terjadi dalam diri

tergugat, dimana tergugat sering marah –marah tanpa adanya alasan yang jelas

dan menuduh penggugat tidak bisa mengurus anak. Percekcokan yang terus terjadi

menjadi salah satu alasan runtuhnya bahtera rumah tangga antara penggugat dan

tergugat.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan

putusan nomor:32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 dengan amar

menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh atas Philbert Vladilim.

Setelah diputuskannya hak asuh anak kepada Penggugat, Tn. Susanto

selaku tergugat merasa keberatan. Keberatan yang diajukan adalah penilaian

tergugat terhadap kemampuan dari penggugat untuk mengasuh anak, mengingat

bahwa selama ini tergugat merasa bahwa sang anak akan lebih aman jika bersama

dengannya. Alasan lain yang menjadi perihal keberatan pihak tergugat adalah,

setelah jatuhnya Hak Asuh kepada penggugat, pihak tergugat dilarang untuk

bertemu dengan anak kandungnya. Hal ini terlihat dari, adanya pendaftaran

memori banding oleh tergugat atas keberatannya tersebut pada nomor:

365/PDT/2017/PT.MDN.

Pada memori banding, dinyatakan bahwa tergugat sama sekali tidak

keberatan mengenai perceraian dalam perkara A-quo, akan tetapi mengenai hak

pengasuhan anak tersebut sudah sepatutnya diberikan kepada tergugat selaku ayah

kandung dari anak tersebut, karena selama ini yang mengurus dan merawat anak

tersebut adalah tergugat dan bukan sang ibu selaku penggugat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

8

Menurut tergugat, bahwa jika seandainya pengasuhan anak tersebut

diberikan kepada penggugat anak tersebut akan menderita, karena penggugat lebih

mencintai pekerjaannya dari pada anaknya sendiri. Sejak tergugat dan penggugat

pisah ranjang, anak hasil hubungan perkawinan tersebut hidup dan tinggal

bersama. Alasan lain yang diajukan oleh tergugat yang menguatkan dalilnya

dalam memori banding adalah,didalam posita gugatan penggugat yang didaftarkan

pada Pengadilan Negeri dengan Nomor Register :23/PDT/2016/PN.MDN, sama

sekali tidak ada menguraikan apa alasannya sehingga anak tersebut dibawah

perwalian penggugat.

Tergugat selaku pembanding, dalam memori bandingnya merasa, bahwa

Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan menghilangkan hak tergugat

untuk memelihara dan mendidik anak kandungnya (ic: Philbert Vladilim) , serta

tidak memberikan hak kepada tergugat untuk dapat bertemu dengan anaknya.

Berdasarkan hasil Putusan Banding,dengan nomor perkara

365/PDT/2017/PT.MDN, diputuskan bahwa:

1. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh kuasa hukum

Pembanding semula tergugat

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register :

32/Pdt.G/2016/PN-Mdn.

3. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya perkara

dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan

sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

9

Masalah larangan bertemu anak pasca perceraian seperti pemaparan diatas,

menaruh perhatian untuk dipelajari dan menelitinya. Sehubungan hal tersebut,

sesuai dengan ilmu yang dipelajari yang menjadi konsentrasi penelitian ini adalah

faktor – faktor penyebab larangan bertemu anak pasca perceraian, serta pandangan

hukum terhadap larangan tersebut, yang dirangkum dalam sebuah judul “Tinjauan

Hukum Terhadap Larangan Bertemu Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan

Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian latar belakang tersebut ,maka masalah yang akan

dibahas, yaitu:

1. Bagaimanakah hak dan kewajiban orang tua terhadap anak pasca

perceraian menurut pandangan Hukum?

2. Apakah faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan yang

lain untuk bertemu dengan anaknya ?

3. Bagaimanakah analisa pertimbangan hakim atas larangan bertemu anak

pasca perceraian berdasarkan putusan nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN?

Hal- hal lain yang terurai dalam penulisan ini semata-mata untuk

mempermudah pembahasan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam pembahasan skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum

Terhadap Larangan Bertemu Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan

Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN)” adalah sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

10

1. Untuk mengetahui dasar hukum terhadap hak dan kewajiban orang tua

terhadap anak pasca perceraian menurut pandangan hukum.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab dari orang tua yang bercerai melarang

pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim atas larangan bertemu anak pasca

perceraian berdasarkan Putusan Nomor : 365/PDT/2017/PT.MDN .

D. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah

dirumuskan dalam penelitian ini diharapakan dapat membawa manfaat

bagi para pihak sebagai berikut:

a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

hukum, kepustakaan di bidang Hukum Perkawinan pada umumnya,

dan kasus perceraian yang tidak memperbolehkan anak bertemu

orang tua pada khusunya

b. Selain itu penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan

informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah

dirumuskan dalam penelitian ini diharapakan dapat membawa manfaat

bagi para pihak sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

11

a. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ide, masukan dalam

penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perkawinan serta akibat yang ditimbulkannya.

b. Bagi Praktisi Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi praktisi hukum

dalam mengatasi kasus yang dihadapi, dan masyarakat umum mengenai

berbagai permasalahn praktis yang dihadapi dalam menegakkan

kepastian hukum atas hak orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh

anak untuk bertemu dengan anaknya.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat umum untuk mengetahui bagaimana pentingnya pemenuhan

hak dan kewajiban bagi anak maupun orang tua pasca perceraian, serta

akibat yang mungkin ditimbulkan dari perceraian bagi para pihak.

d. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan untuk menambah referensi

bagi kepustakaan pada Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang mungkin, akan mengadakan penelitian

lebih lanjut terhadap masalah yang terdapat dalam pembahasan

penelitian ini.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

12

mengenai judul skripsi ini, yaitu “Tinjauan Hukum Terhadap Larangan Bertemu

Anak Pasca Perceraian (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor :

365/PDT/2017/PT MDN)”. Hal ini dibuktikan dengan cek uji bersih yang

dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada hari

Rabu, 10 Juli 2019 dan tidak ada judul yang sama pada Arsip Perpustakaan

Universtas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi,

ditemukan beberapa judul yang berhubungan dengan topik pembahasan dalam

skripsi ini, antara lain:

1. Muhamad Rizki Saputra, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 59310087,

dengan judul skripsi, “ Dasar Pertimbangan Hakm Dalam Memutuskan

Hak Asuh Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Cirebon

Dengan No Perkara 732/pdt.6/2011/PA.cn di putus Verstek), dengan

rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pertimbangan hakim pengadilan Agama kota Cirebon

dalam menetapkan hadhanah (hak asuh anak) pada perkara no

732/pdt.G/PA.cn yang di verstrek?

b. Bagaimana analisi hukum pada pertimbangan hakim Pengadilan

Agama Kota Cirebon dalam penetapan hadhanah (hak asuh anak)

pada perkara perceraian nomor: 732/Pdt.G/2011/PA.cn yang

diputus verstek?

2. Sahtanta Eka Prananta Tarigan, Nomor Induk Mahasiswa (NIM):

0671110121, dengan judul skripsi, ”Akibat Hukum Pertimbangan Hakim

Dalam Menetapkan Perceraian Terhadap Hak Asuh Anak Yang Masih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

13

Minedrjarig (Studi Kasus Putusan di Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:

83/Pdt.G/2005/PN.Sda), dengan rumusan masalah , sebagai berikut:

a. Apa saja tanggung jawab dan sanksi hak asuh anak yang masih

minderjarig pada orang tua setelah penetapan putusan perceraian?

b. Bagaimana penerapan atau pelaksanaan peraturang perundang-

undangan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor:

83/Pdt.G/2005/PN.Sda terkait dari pertimbangan hakim dalam

penetapan Pengadilan pada pemberian hak asuh anak yang masih

minderjarig ?

3. Adiar Adrianto, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 050500701X, dengan

judul skripsi, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Atas Penetapan Pengadilan

Yang Berkekuatan Hukum Tetap di Indonesia (Studi Kasus Penetapan No

946/Pdt.P/1998/PN.Sby ), dengan rumusan masalah sebagai berikut;

a. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan di Indonesia

mengatur mengenai mekanisme penetapan hak asuh anak serta

upaya hukum apa yang dapat diajukan sebagai bentuk perlawanan

dari penetapan tersebut?

b. Bagaimana pelaksanaan eksekusi hak asuh anak dari suatu

penetapan hak asuh anak dari pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap (Penetapan No 946/Pdt.P/1998/Pn.Sby)

4. Harry Yudha, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 10321022450, dengan

judul skripsi “Hak Suami Terhadap Hadhanah Setelah Perceraian Ditinjau

Menurut Hukum Islam (Studi Adat: Marga Harahap Di Kecamatan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

14

Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru)”, dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana hak suami terhadap hadhanah setelah perceraian dalam

marga harahap di kecamatan Rumbai Pesisir kota Pekanbaru?

b. Bagaimana analisis Hukum Islam tentang hak hadhanah oleh suami

setelah perceraian dalam marga harahap di kecamatan Rumbai

pesisir kota Pekanbaru?

5. Ika Riani Pasaribu, Nomor Induk Mahasiswa (NIM) : 140200568, dengan

judul skripsi “Tinjauan Yuridis Tentang Hak Asuh Anak Dibawah Umur

Kepada Ayah Akibat Perceraian (Analisis Putusan Nomor:

1743/Pdt.G/2017/PA.Mdn)”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana hak asuh anak dibawah umur setelah perceraian

menurut perundang-undangan yang berlaku?

b. Bagaimana hak asuh anak dibawah umur (Hadhanah) setelah

perceraian menurut Hukum Islam?

c. Mengapa Majelis Hakim mengabulkan tuntutan hak asuh anak

yang diajukan oleh ayah berdasarkan putusan nomor :

1743/Pdt.G/2017/PA.Mdn)

F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antar seorang laki-laki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

15

dan seorang wanita. Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan

memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi bernama perkawinan . 13

Dari segi ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari

kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab “nikah”. Perkataan

nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan

arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata “nikah” berarti

“berkumpul” sedang dalam arti kiasan berarti “aqad” atau mengadakan perjanjian

kawin. Para ahli ilmu “fiqh” , yaitu para imam berbeda pendapat dengan arti

kiasan tersebut. Imam Asy-Syafi’i memberikan pengertian bahwa nikah itu adalah

mengadakan perjanjian perikatan, sedangkan Imam Abu Haanifah mengartikan

perkawinan adalah setubuh. 14

Aser, Scholten,Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan defenisi bahwa,

“perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita

yang diakui oleh negara untuk hidup bersama atau bersekutu kekal”. Esensi dari

pengertian yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan

sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada didalamnya, maupun karena

apa yang dapat didalamnya.15

Sementara menurut Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa,

“perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria yang dikukuhkan

secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius”.

Pendapat lain disampaikan oleh Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-

13

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional – cetakan

keempat, (Kencana Pranamedia Group : Jakarta, 2014) hal. 99 14

Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Alumni:

Bandung, 1982), hal 3 15

Titik Triwulan Tutik, Loc.cit hal. 99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

16

pokok Hukum Perdata yang mengatakan bahwa , “perkawinan ialah pertalian

yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

Begitupun dengan Kaelany H.D yang mengatakan bahwa, “perkawinan

adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang

diatur oleh syaria’ah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul

dengan suami isteri”.16

Menurut ajaran agama Islam, perkawinan merupakan suatu

ikatan batin maupun ikatan lahir batin selama hidup bersama suami istri untuk

hidup bersama menurut Syariat Islam dan memperoleh keturunan. Hal ini bukan

saja mengandung arti adanya suatu persetujuan antara suami dan isteri, yang

dimateraikan dengan hubungan perkawinan , melainkan mempunyai makna

religius. 17

Hukum perkawinan di Indonesia secara otentik diatur dalam Undang-

undang No 1 tahun 1974 lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 1

Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa, ”perkawinan

ialah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Pasal 1 Undang-undang No 1

Tahun 1974 ini dijelaskan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,

dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa , maka perkawinan

memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga

16

Ibid, hal. 100 17

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda , (Mandar

Maju: Bandung, 2002), hal.73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

17

perkwainan bukan saja unsur lahiriah atau jasmani , tetapi unsur batin atau rohani

yang memiliki peranan penting.18

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No 1 tahun 1974, masih terdapat

keanekaragaman hukum tentang sahnya suatu perkawinan. Berbeda halnya

dengan pendapat oleh Prof Subekti yang menyatakan bahwa, “barangsiapa yang

tunduk kepada Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek) dalam lapangan hukum

perkawinannya , maka perkawinan seseorang itu baru dianggap sah apabila

dilangsungkan sesuai syarat-syarat dan ketentuan agama dikesampingkan”.

Pernyataan tersebut dapat dilihat dari Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan pertalian

yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

Jadi, perkawin an adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang,

dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan

material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu

haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam

Pancasila.19

b. Tujuan Perkawinan

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 itu

tercantum tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang

18

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional – cetakan ketiga, (Rineka Cipta:Jakarta,2005) ,

hal.9 19

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga- Perspektif Hukum Perdata Barat /BW,

Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Sinar Grafika: Jakarta) hal. 6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

18

bahagia dan kekal.20

Setiap keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhinya dua

kebutuhan pokok yaitu, kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang

termasuk kebutuhan jasmaniah seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan

pendidikan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak

yang berasal dari darah daging mereka sendiri. 21

Kekal, memiliki arti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk

sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk

seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja.

Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk

sementara waktu saja seperti kawin kontrak.

Sebagai ikatan lahir batin, perkawinan juga merupakan pertalian jiwa yang

terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan

seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.Dalam tahap permulaan ,

ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetjuan dari calon

mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya hidup bersama ikatan

bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan.

Terjadinya ikatan lahir batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan

membina keluarga yang bahagia22

.

c. Syarat-syarat Perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi syarat-

syarat perkawinan. Syarat- syarat perkwawinan dibedakan menjadi dalam:

20

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Alumni: Bandung, 1992),

hal 67 21

Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) , (Sinar Grafika: Jakarta, 2002),

hal.62 22 Riduan Syahrani, Op.cit , hal 68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

19

Syarat Materiil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak

melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan , ijin dan

kewenangan untuk memberi ijin. Syarat materiil diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 11

Undang-undang No 1 Tahun 1974, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat

materiil absolut (mutlak) dan syarat materiil relatif (nisbi). 23

Syarat Materiil absolut (mutlak) merupakan syarat-syarat yang berlaku

dengan tidak membeda bedakan dengan siapapun dia akan melangsungkan

perkawinan yang meliputi:

1) Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun (Pasal

7 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974)

2) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara

kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun

1974)

3) Untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2

Undang-undang No 1 Tahun 1974).24

Syarat Materiil relatif (nisbi) , merupakan syarat yang melarang

perkawinan antara seorang dengan seorang tertentu , yaitu:

1) Larangan kawin antara orang-orang yang memiliki hubungan keluarga,

yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan , yang

ditentukan dalam Pasal 8 Undang-undang No 1 Tahun 1974:

2) Berhubungan darah dalam garis meturunan lurus ke bawah ataupun ke

atas

3) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara , antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

saudara dengan saudara neneknya

4) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah

tiri

5) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,

dan bibi atau paman susuan

6) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang

23

Komariah, Hukum Perdata – Edisi Revisi, (UMM Press: Malang, 2010) hal. 44 24 Ibid , hal 45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

20

7) Mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,

dilarang kawin

8) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat

kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk

poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat

ditentukan (Pasal 9 Undang-undang No 1 Tahun 1974)

9) Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu

dengan yang lain dan bercerai lagi untuk yang kedua kalinya, sepanjang

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang No 1

Tahun 1974). Larangan kawinseperti Pasal 10 tersebut sama dengan

larangan kawin yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 2 KUHPerdata yang

menentukan bahwa perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-

orang yang sama adalah terlarang25

10) Seorang wanita putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis

jangka tunggu (Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974)

Syarat-syarat formil, yakni syarat-syarat yang merupakan formalitas yang

berkaitan dengan upacara nikah.

1) Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai

baik secara lisan maupun tertulis akan dilangsungkan, dalam jangka waktu

sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan (Pasal 3 dan Pasal 4 PP No 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974)

2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada

tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud

pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang

yang mempunyai pertalian dengan calon suami atau isteri itu atau pihak-

pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk

menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan Undang-undang yang

dilanggar. Pengumuman terebut dilaksanakan setelah pegawai pencatat

meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi

oleh calon mempelai.26

d. Asas-asas Perkawinan

Kedudukan asas hukum perkawinan adalah jantung bagi Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974. Selain menciptakan keluwesan dan fleksibilitas hukum,

asas hukum perkawinan juga berfungsi dalam menghadapi faktor-faktor realita

25

Ibid 26 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

21

hukum perkawinan . Tanpa ada asas-asas hukum perkawinan, maka Undang-

undang No 1 Tahun 1974 menjadi kaku dalam pelaksanaannya. Pembentuk

undang-undang telah menetapkan 6 (enam) asas hukum perkawinan yaitu:27

1) Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2) Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap –tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,

misalnya kelahiran, kematian dan dinyatakan dalam surat –surat

keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam pencatatan.

3) Monogami Relatif maksudnya suami dapat beristri lebih dari satu orang

dengan mengindahkan persyaratan yangditentukan oleh undang-undang.

4) Kedua calon suami isteri harus siap jiwa dan raganya agar dapat

mewujudkan perkawinan secara baik, mendapat keturunan yang baik dan

sehat serta tidak berakhir dengan perceraian. Untuk itu dicegah

perkawinan dibawah umur dan memiliki hubungan dengan masalah

kependudukan. Undang-undang menetapkan batas usia kawin yaitu bagi

pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

5) Mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian

harus ada alasan-alasan tertentu dan di depan pengadilan. Ratio yuridis

asas mempersulit perceraian adalah sesuai dengan tujuan perkawinan itu

sendiri.

6) Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat sehingga segala

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama.

Perlu mendapat perhatian khusus adalah asas monogami relatif yang

dianut Undang-undang No 1 Tahun 1974. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 3,

sebagai berikut:

1) Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri. Sedang seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami

2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri dari

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

27 Tan Kamello dan Syarifah Andriati , Op.cit, hal 45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

22

Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari

satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif.28

Syarat fakuktatif adalah syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-

undang No 1 Tahun 1974 , yaitu:

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada pasa 5 ayat 1 Undang-undang

No 1 Tahun 1974 yang menyebutkan:

1) Adanya perjanjiandari istri atau istri-istri

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka

Jadi seorang suami yang akan beristri dari seorang harus memenuhi salah

satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh

udang-undang. Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas

monogami, tetapi monogami dalam hal ini adalah mutlak. Hal ini disimpulakan

dari Pasal 27 dan Pasal 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas perkawinan

adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan, kata sepakat diantara

para calon suami istri, melarang adanya poligami.29

Pada waktu yang sama

seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai

isterinya , seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.30

28

Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum

Benda ,(Graha Ilmu: Yogyakarta, 2009),hal.23 29

Ibid 30

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata , (Sinar Grafika:Jakarta,

2004) hal 8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

23

Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami

dan isteri. 31

Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), asas perkawinan itu

sebenarnya monogami tidak mutlak, hukum poligami seorang laki-laki boleh

mempunyai istri lebih dari seorang, asal dapat memenuhi syarat yang ditentukan.

Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap

istri-istri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama yang disebut dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) tidak terpenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.32

Dalam Al-quran menyatakan sebagai berikut:33

“Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi , dua,tiga atau empat, kemudian

jikakami takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang

raja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang sedemikian itu lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.”

Berlaku adil adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti

pakaian, tempat , giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam

memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang utama adalah harus berlaku

adil.34

2. Tinjauan umum tentang Perceraian

Menurut Subekti perceraian adalah “Penghapusan perkawinan dengan

putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.Jadi

pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan , baik

dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri. Dengan adanya perceraian,

31 Pasal 28 KUHPerdata

32 Pasal 55 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditambah Pasal 3 Kompilasi Hukum

Islam (KHI)

33 surat 4 An-Nisa ayat 3

34 Harumiati Natadimaja, Op.cit hal.25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

24

maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun , Subekti tidak

menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan

kematian atau lazim disebut dengan istilah “cerai mati”. 35

Perceraian menurut Pasal 38 Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah

putusnya perkawinan. Pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat

ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan ,

setelah pengadilan yang bersangkutan mendamaikan kedua belah pihak.

Pengertian perceraian dalam perspektif hukum antara lain:36

a. Perceraian menurut Hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38

dan Pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan

dalam PP No 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:

1) Perceraian dalam pengertian cerai talak , yaitu perceraian yang diajukan

permohonan cerainya oleh dan atas dasar inisiatif suami kepada

Pengadilan Agama , yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala

akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan atau diikrarkan di

depan sidang Pengadilan Agama.37

2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan

gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama

yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak

jatuh putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.38

b. Perceraian menurut hukum Islam , yang telah dipositifkan dalam

Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No 9 Tahun

1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas

inisiatif suami dan istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi

beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya

pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil. 39

35 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan AnnalisaYahanan, “Hukum Perceraian”

(Sinar Grafika:Jakarta ,2016) hal 18 36 Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata – cetakan ke 31” (Intermasa:Jakarta, 2003) hal

43

37 Pasal 14 - pasal 18 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan 38 Pasal 20 - Pasal 36 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan

39

Pasal 20 dan Pasal 34 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

25

Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan pemufakatan saja

antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada 4

macam:40

a. Zina (overspel)

b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating)

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan

kejahatan

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa

Undang-undang perkawinan menambahkan dua alasan :41

a. salah satu pihak mendapat cacat badan atau cacat fisik dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

b. antara suami –istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat

biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin kepada

Ketua pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan , hakim

harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak

(verzoeningscomparitie).Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri

dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan

izin pada istri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya,

memerintahkan agar suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada istrinya serta

anak-anakanya yang turut pada istrinya itu dan sebagainya.42

40 Pasal 209 KUHPerdata

41 Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

42

Ibid hal 45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

26

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41

Undang-undang No 1 Tahun 1974 , terdapat tiga akibat putusnya perceraian

yaitu;43

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya , semata mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan

keputusan

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataanya

tidak dapt memberikan kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk membiayai

penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

Bagi suami-istri yang putus karena perceraian, berhak untuk mendapatkan

harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.

Harta bersama dibagi antara bekas suami dengan bekas istri. Hak suami adalah

sebagian dari harta bersama , begitu juga istri mendapat bagian yang sama besar

dengan suami yaitu separuh harta bersama. Disamping itu, kewajiban lain dari

bekas suami adalah memberikan mut’ah kepada bekas istrinya. Mut’ah adalah

pemberian bekas suammi kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang

dan lainnya.

Syarat pemberian mut’ah ini adalah;44

a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul

b. Perceraian itu diatas kehendak suami

Pemberian mut’ah yang dilakukan oleh bekas suami kepada istrinya

diberikan tanpa syarat apapun.

43 Salim HS , Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika: Jakarta, 2019) hal

83 44

Ibid hal 84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

27

3. Tinjauan umum Tentang Anak

Pasal 1 Kovensi Hak Anak secara umum mendefenisikan anak sebagai

orang yang belum mencapai usia 18 tahun , namun dalam Pasal tersebut juga

mengakui keungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan batas usia

kedewasaan didalam peraturan perundang-undangan dari tiap tiap negara peserta.

Misalnya untuk bekerja, untuk ikut pemilihan umum, untuk mengkonsumsi

minuman berakohol, untuk bertanggung jawab secara pidana atau untuk bisa

dijatuhi hukuman mati dan sebagainya.45

Selain definisi anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak, dalam

Konteks hukum nasional yaitu Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, anak didefenisikan sebagai “seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun , termasuk anak-anak yang masih dalam kandungan”.

Sedangkan berdasarkan fungsi dan kedudukannya, menurut Undang-undang No

23 Tahun 2002 anak adalah:

“ amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa , yang senantiasa harus

kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat , martabat, dan hak-hak

sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan

bagian dari Hak Asasi Manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar

1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak.

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara , anak adalah masa depan

bangsa dan generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup , tumbuh dan berkembang , berpartisipasi serta berhak

atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil

dan kebebasan”46

Sedangkan menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, berdasarkan fungsi dan kedudukannya anak merupakan

potensi serta penerus cita-cita bangsa yang sadar-dasarnya telah diletakkan oleh

45

Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik, (Graha

Ilmu: Yogyakarta,2015 ), hal 3

46 Pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

28

generasi sebelumnya. Berdasarkan kedudukan tersebut, menurut Undang-undang

No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak didefenisikan sebagai berikut: 47

“Bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumberdaya manusia yang

merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa , yang

memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus ,

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik , mental dan sosial secara utuh,

selaras, serasi dan seimbang.”

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini agar

lebih terarah dan sistematis serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,

yaitu sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian48

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis metode penelitian, yaitu metode

penelitian yuridis empiris dan yuridis normatif. Jenis penelitian yuridis empiris

merupakan “upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari

permasalahan berdasarkan realita yang ada”.49

Jenis Penelitian Yuridis normatif

“merupakan penelitian yang ditujukan dan dilakukan dengan menggunakan kajian

terhadap perundang- undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya , yang

berkaitan dengan skripsi ini”.

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian

Yuridis Normatif, dimana terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum

perkawinan, perceraian dan perlindungan anak dengan tujuan menjamin

47 Ibid 48

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press; Jakarta 1986), Hal.20 49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, (Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2006), hal. 1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

29

kepastian hukum terhadap orang tua yang dilarang oleh pasangan lainnya untuk

bertemu sang anak pasca perceraian.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis,

maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara

rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisa dilakukan

berdasarkan gambaran dan fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara

cermat , bagaimana menjawab permasalahan dan menyimpulkan suatu solusi

sebagai jawaban dari permasalahan tersebut”.50

2. Sumber Data

Pada suatu penelitian ilmiah pengumpulan data merupakan jenjang

kegiatan penelitian yang paling menentukan keberhasilannya. Tidak cukup dan

tidak akurat data yang diperoleh jelas akan berakibat kepada penyimpulan

dilakukan. Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer dapat dicari dan diperoleh langsung dari responden ataupun

dari lapangan (kancah). Sementara data sekunder dapat dicari dan diperoleh dari

kepustakaan dengan mengguunakan instrumen studi dokumen.51

Berdasarkan jenis penelitian dalam penulisan skripsi yang digunakan

adalah penelitian hukum normatif, maka data yang dipergunakan adalah data

sekunder. Data sekunder dibidang hukum jika dipandang dari sudut kekuatan

50

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit hal. 30 51

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi, cetakan

kedua (Pustaka Bangsa Press: Medan, 2007), hal .73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

30

mengikatnya dibagi menjadi tiga bahan yaitu; Bahan – bahan hukum primer,

bahan-bahan hukum sekunder, dan bahan-bahan hukum tersier.52

Bahan yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan53

serta bahan yang

terdiri atas:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat, yaitu

terdiri dari perundang-undangan, catatan – catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim54

yang

masih berlaku.

Bahan hukum primer dalam penelitian ukum ini yaitu:

1) Undang –Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

3) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

5) Undang - Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6) Undang – Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

7) Putusan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN

52

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Ghalia Indonesia; Jakarta

Timur: 1983) hal.24 53

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana: Jakarta,2009)hal 141 54

Ibid, hal. 142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

31

b. Bahan hukum sekunder yaitu Rancangan undang-undang , hasil penelitian,

hasil karya dari kalangan hukum lain-lainnya yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian

ini berupa pendapat ahli hukum, jurnal ilmiah, majalah dan berita internet

yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.55

c. Bahan hukum tersier, yakni yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan Hukum

Sekunder dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), Kamus Hukum, Koran dan Ensiklopedia.56

3. Metode Pengumpulan Data

a. Metode Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian adalah

studi kepustakaan (Library Reasearch), yakni dengan cara meneliti bahan

pustaka atau disebut dengan data primer yang berupa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi

ini.57

b. Metode Penelitian Lapangan (field research), yaitu dengan mengumpulkan

data lapangan yang diperlukan sebagai penunjang yang diperoleh dari

informasi dan pendapat dari informan dengan melakukan wawancara

dengan keluarga yangmengalami kasus yang sama, yaitu adanya larangan

kepada pasangan yang lain untuk bertemu dengan anaknya.

4. Alat Pengumpulan Data

55 Tampil Anshari Siregar, Op.cit , hal. 76 56

Soekanto Soerjono, Op.cit, hal.52 57

Bambang Wahyu ,Penelitian Hukum Dalam Praktek, ( Sinar Grafika; Jakarta,1996) hal.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

32

Alat Pengumpulan Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah:

a. Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan salah satu alat yang digunakan dalam

penelitian untuk mendapatkan data –data yang valid dan relevan. Studi

dokumen yaitu menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik

dokumen tertulis, gambar, maupun dokumen elektronik.58

Tujuan dari

skripsi ini menggunakan studi dokumen sebagai alat pengumpulan data

adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai larangan oleh salah

satu pasangan untuk bertemu dengan anak pasca perceraian.

b. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara yakni panduan yang digunakan dalam melakukan

kegiatan wawancara yang terstruktur dan telah ditetapkan oleh

pewawancara dalam mengumpulkan data-data penelitian.59

Didalam

skripsi ini, pedoman wawancara digunakan sebagai alat yang dapat

membantu penulisan untuk menguatkan informasi tentang gambaran

umum mengenai larangan oleh salah satu pasangan untuk bertemu dengan

anak pasca perceraian.

4. Analisa Data

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk kedalam penelitian

hukum normatif. Pengelolaan data dalam penulisan ini menggunakan data

58

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan,(PT.Remaja

Rosdakarya:Bandung , 2008), hal. 221 59

Bambang Wahyu, Op.Cit hal. 57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

33

kualitatif yaitu dengan memahami manusia dari sudut pandang orang yang

bersangkutan itu senidiri, berguna untuk mengerti dan memahami gejala yang

diteliti. Penggunaan analisis data kualitatif, dimaksudkan agar lebih fokus kepada

analisis terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet

dan sebagainya , untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penulisan

skripsi ini.

5. Penarikan Kesimpulan

Data yang telah dikumpulkan berupa data primer, data sekunder dan data

tersier, akan diolah dan ditarik kesimpulan menggunakan Metode Deduktif.

Penarikan kesimpulan ditarik dengan cara mengumpulkan secara lengkap hal hal

yang telah diketahui, kemudian melalui data atau gejala umum ini dibandingkan

serta dianalisis dengan data data atau gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan

yang bersifat khusus60

. Penarikan kesimpulan ini akan menjadi penilaian tentang

kesesuaian data dokumen dengan gejala umum yang terdapat dalam praktek

lapangan.

H. Sistematika Penulisan

Dalam Penulisan skripsi ini terdapat masalah yang diangkat serta

pembahasan yang sesuai. Oleh karena itu, diperlukannya sistematika penulisan

yang teratur dan saling berkaitan satu dengan yang lain . Setiap bab terdiri dari

sub bab dengan harapan dapat mempermudah skripsi ini. Adapun Sistematika

penulisan skripsi ini adalah:

60

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Sinar Grafika:Jakarta, 2009) hal. 105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 45: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

34

BAB I Bab I adalah pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar yang

didalamnya memuat gambaran umum tentang penulisan skripsi

yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian

penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Bab II membahas mengenai tinjauan umum mengenai Perkawinan

dan perceraian, serta akan disertai sub bab antara lain lain:

peraturan mengenai perkawinan dan perceraian menurut Undang-

Undang No 1 tahun 1974, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

( KUHPer), Kompilasi Hukum Islam. Akibat Hukum yang timbul

pasca perceraian ; yaitu Hak dan kewajiban bagi orang tua maupun

anak.

BAB III Bab III membahas tentang analisa faktor –faktor penyebab

terjadinya perceraian serta alasan pasangan bercerai melarang

pasangan lainnya untuk bertemu anak , berdasarkan Putusan

Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN , serta

didukung oleh tinjauan – tinjauan umum tentang faktor penyebab

perceraian.

BAB IV Bab IV membahas tentang Tinjaun Hukum dalam mengatasi

permasalahan larangan bertemu anak pasca perceraian berdasarkan

Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 365/PDT/2017/PT

MDN. permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 46: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

35

membahas tentang gugatan, tuntutan, pertimbangan hukum, dan

analisa putusan.

BAB V Bab V merupakan penutup , yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Kesimpulan, merupakan jawaban dari masalah yang terdapat

didalam skripsi ini, sedangkan saran , mencakup usulan dan

gagasan terhadap permasalahan yang dibahas pada penelitian ini

berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

yang mungkin berguna bagi penerapan dan penegakan hukum atas

larangan bertemu anak pasca perceraian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 47: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

36

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK PASCA

PERCERAIAN

A. Kedudukan Anak dalam Ikatan Perkawinan

Status anak adalah kedudukan anak terhadap orang tuanya. Status anak

inilah yang akan menentukan hubungan-hubungan perdata mengenai hak dan

kewajiban antara anak dengan orang tuanya dan keluarganya,demi terpenuhinya

segala hak dan kewajiban tersebut dan mencegah terjadinya pelarian tanggung

jawab.61

1. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut peraturan

Perundang-undangan

Kedudukan anak di mata hukum, dikenal istilah anak sah dan anak tidak sah.

Dalam ketentuan Pasal 42 sampai Pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, memberikan defenisi tentang anak dari segi kedudukan

seorang anak dimata hukum sebagai berikut:62

a. Anak Sah

Dalam hukum perkawinan Indonesia, perkawinan dikatakan sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Hubungan nasab dari perkawinan sah tidak dititikberatkan pada garis

keturunan ayah atau ibunya, tetapi kepada keduanya.63

Perkawinan sah

61

Kudrat Abdillah, Pandangan Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama (Nu) Daerah Istimewa

Yogyakarta Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (Mk) No. 46/Puu-Viii/2010 Tentang Status

Anak Di Luar Nikah, Al-Ahwal, Vol. 6, No. 2, 2013, hal 199

62 Saadatul Maghfira, Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif di Indonesia, Jurnal

Ilmiah Syari’ah, Vol. 15 No 2, Juli-Desember 2016, hal 215

63

Afif Muamar, Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil Teknologi

Reproduksi Buatan Manusia: Antara UU Perkawinan Dan Fikih Konvensional, Al-Ahwa l, Vol. 6,

No. 1, 2013, hal 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 48: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

37

adalah apabila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan

pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan dan dalam hukum Islam

terdapat rukun dan syarat perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat

dinilai perkawinan tersebut sah dalam agama Islam.

Perkawinan merupakan perbuatan yang suci yaitu suatu perikatan antara

seorang laki laki dengan seorang perempuan untuk membentuk kehidupan rumah

tangga yang bahagia dan kekal didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,

dengan perkawinan tersebut maka lahirlah anak-anak yang sah, dengan kelahiran

anak anak tersebut menjadi harapan orang tuanya.64

Menurut KUHPerdata anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

akibat perkawinan yang sah.65

Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum

Islam ,dinyatakan bahwa anak sah adalah: 66

1) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah;

2) hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan

oleh istri tersebut.

b. Anak tidak sah

Anak tidak sah yang sering disebut dengan “anak kampang”, “anak haram

jadah”, “anak kowar”, “anak astra”,”anak luar kawin” dan sebagainya. 67

Anak

yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai

64 Mulyadi, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Yang Diakui, Cakrawala: Vol. XI, No.

1, Juni 2016, hal 93

65 Pasal 42 KUHPerdata

66 Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam

67 Ardian Arista Wardana, Pengakuan Anak Di Luar Nikah:Tinjauan Yuridis Tentang

Status Anak Di Luar Nikah, Jurisprudence, Vol. 6 No. 2 September 2016 , hal 160

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 49: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

38

ayahnya.68

Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh (6

bulan) dari perkawinan, dapat diingkari oleh suami.69

Anak diluar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan

darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka , bila

sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah

terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya

sendiri.70

Di dalam KUHPerdata anak luar nikah dibagi menjadi ada tiga macam,

yaitu:71

1) apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan

perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan

wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak,

maka anak tersebut dinamakan anak zina.

2) apabila orang tua anak diluar kawin itu masih sama sama bujang, mereka

mengadakan hubungan seksual, dan hamil serta melahirkan anak, maka

anak tersebut adalah anak di luar nikah (anak alami).

3) selain itu juga dikenal istilah anak sumbang dalam KUHPerdata yaitu anak

yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara seorang laki-laki dan

perempuan yang terlarang untuk melakukan perkawinan karena memiliki

hubungan darah adalah anak yang lahir akibat dari perbuatan orang tua

yang tidak menurut ketentuan hukum, semisal; anak dari kandungan ibu

sebelum terjadi perkawinan yang sah, anak dari kandungan ibu setelah

bercerai lama dari suaminya, anak dari kandungan ibu tanpa melakukan

perkawinan yang sah, anak dari kandungan ibu yang berbuat zina dengan

orang lain, atau anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa

ayahnya.

Mengenai anak tidak sah atau anak luar nikah dalam KUHPerdata hanya

disinggung mengenai hubungan keperdataannya, disebutkan anak yang dilahirkan

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

68 Pasal 250 KUHPerdata

69 Pasal 251 KUHPerdata

70 Pasal 272 KUHPerdata

71

Ahmad Farahi, Keadilan Bagi Anak Luar KawinDalam Putusan Mahkamah Konstitusi

46/PUU-VIII/2010, De Jure: Jurnal Hukum dan Syaria’ah, Vol. 8, No. 2, 2016, hal 78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 50: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

39

keluarga ibunya. Kedudukan anak luar kawin tersebut selanjutnya akan diatur

dalam Peraturan Pemerintah.72

.

Anak tidak sah atau anak luar nikah tidak memiliki perlindungan hukum

sehingga tidak dapat menuntut hak-haknya selayaknya anak sah. Seperti contoh

hak untuk mendapat nafkah hidup yang seharusnya diberikan oleh ayahnya

sebagai kepala keluarga, hak untuk mendapatkan kasih sayang, dan hak untuk

mendapatkan warisan dari ayahnya.73

Pada dasarnya mempunyai anak di luar kawin tidaklah dianjurkan

karena akan berdampak pada status dari anak yang dilahirkan baik secara

mental maupun kondisi jasmani sang anak. Kiranya melakukan atau membangun

rumah tangga yang baik diatas suatu perkawinan yang sah demi terciptanya

tujuan dari perkawinan itu sendiri yang dimana berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. 74

2. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut Hukum Adat

Hubungan anak dan orang tua dalam hukum kekeluargaan adat adalah hal

yang terpenting, karena dalam hukum adat anak kandung memiliki kedudukan

yang sangat penting dalam setiap somah (gezin) dari suatu masyarakat adat. Oleh

karena itu, ketika anak masih dalam kandungan ibunya hingga ia dilahirkan,

bahkan dalam pertumbuhannya, pada masyarakat adat terdapat banyak upacara-

upacara adat sifatnya religio-magis (kepercayaan) dan penyelenggarannya

72 Pasal 43 ayat 1 dan 2 KUHPerdata

73 Ahmad Dedy Haryanto, Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah di Indonesia, Bilancia,

Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015 hal 125

74

Suryawati, Ni Kadek Wulan; Layang, I Wayan Bela Siki, Kedudukan Hukum Anak

Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Journal

Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 3, Agustus 2018, hal 8-9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 51: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

40

berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut dan semuanya bertujuan

untuk melindungi anak beserta ibunya yang sedang mengandung, dari segala

macam bahaya dan gangguan-gangguan yang mungkin timbul setelah anak

dilahirkan, agar anak dimaksud menjadi anak yang dapat memenuhi harapan

kedua orang tuanya. 75

Dalam hukum adat pada umumnnya tidak dikenal tenggang waktu sebagai

kelahiran anak yang dianggap sah. Seorang anak yang dilahirkan selama

perkawinan, maka wanita yang melahirkannya adalah ibunya dan pria yang

mengawini ibunya, yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya. Anak yang

dilahirkan dari seorang wanita tak kawin, di dalam berbagai lingkungan hukum,

wanita tersebut adalah ibunya, seperti halnya bilamana anak tersebut dilahirkan

dari suatu perkawinan. Akan tetapi tidaklah demikian terhadap ayah yang

membenihkannya, sepanjang ia tidak melakukan pengakuan.76

Keadaan seperti ini, dalam hukum adat dikenal sebagai anak yang lahir

dalam keadaan tidak normal . Anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal

tersebut adalah sebagai berikut77

:

a. Anak lahir di luar Perkawinan

Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang

melahirkannya maupun dan pria yang bersangkutan dengan anak

tersebut, tidak selalu sama ditiap daerah

b. Anak lahir karena zina

Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antar seseorang

wanita dan pria yang bukan suaminya

c. Anak lahir setelah perceraian

75 Ahmad Tahali, Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurisprudentie, Vol. 5 No 1, Juni

2018, hal 37 76

R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia, (Airlangga University Press; Surabaya, 2002), hal 104

77 Ahmad Tahali, Op.cit hal 38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 52: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

41

Anak yang dilahirkan setelah bercerai , menurut adat adalah anak dari

suami wanita yang melahirkan itu , apabila kelahirannya terjadi batas-

batas waktu mengandung.

Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht (1939)

menyatakan, “diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat bawah,

terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku

sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin”. Berdasarkan pendapat Ter

Haar tersebut, dapat dirumuskan masyarakat Hukum Adat yaitu: 78

a. kesatuan manusia yang terstruktur;

b. menetap disuatu daerah tertentu;

c. mempunyai atau memiliki penguasa, dan;

d. mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana

para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam

masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan para

anggota masyarakat hukum adat tidak mempunyai fikiran atau

kecenderungan untuk membubarkan ikatan atau melepaskan diri dari

ikatan itu untuk selama-lamanya.

Menurut dasar susunannya, struktur persekutuan-persekutuan masyarakat

hukum adat di Indonesia, persekutuan hukum memiliki sifat genealogi.79

Berdasarkan sifat tersebut, terdapat tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu:80

a. Pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial), seperti pada suku Batak,

Nias dan orangorang Sumba;

b. Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilinial), seperti di Minangkabau;

c. Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (parental) seperti pada suku

Jawa, Sunda, Aceh, Dayak. Di sini untuk menentukan hak-hak dan

kewajiban seseorang, maka famili dari pihak Bapak adalah sama artinya

dengan famili dari pihak Ibu.

78 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, (Pradnya Paramita: Jakarta, 1996) hal. 46. 79 Genealogi atau nasab (Yunani: γενεά, genea –"keturunan"dan λόγος, logos –

pengetahuan"; Arab: لم ساب ع ilm al-ansāb) adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran' ,الأن

jalur keturunan serta sejarahnya

80 Mochamad Adib Zain, Pengakuan Atas Kedudukan Dan Keberadaan Masyarakat

Hukum Adat (Mha) Pasca Dibentuknya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,

Jurnal Penelitian Hukum Vol 2, Nomor 2, Juli 2015 hal 66-67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 53: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

42

Di lingkungan masyarakat adat Patrilinial yang berpegang teguh pada

agama Islam, anak haram tidak berhak menjadi penerus keturunan bapaknya dan

tidak berhak menjadi ahli waris dari bapaknya. Anak haram dianggap bukan

keturunan bapaknya, oleh karena itu si anak tidak berhak mewaris dari bapaknya.

Secara a contrario81

, bila anak haram tidak dianggap keturunan bapaknya, maka

ia secara faktual adalah keturunan ibunya. Ini adalah fakta yang tidak dapat

disangkal karena ibulah yang melahirkan si anak tersebut. 82

Menurut hukum adat Lampung yang bersifat patrilineal, anak haram

dijadikan anak masyarakat adat. Oleh karena itu si anak dikeluarkan dari

kekerabatan adat bapaknya. Kerabat bapaknya harus membayar denda adat dan

meminta maaf atas kesalahan anaknya (bapak biologis si anak luar kawin) pada

majelis prowatin (para batin = tua-tua adat). 83

Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa menurut adat kebiasaan di

Lampung, anak haram dikeluarkan dari kekerabatan adat bapaknya, namun

masyarakat adat tidak membuang keluar di anak haram begitu saja. Masyarakat

adat masih melindungi si anak luar kawin dengan memberikan tempat, yakni

sebagai “anak masyarakat adat”. Perihal sanksi yang diterapkan oleh masyarakat

81 Argumentum a contrario (Latin: 'argumen dari yang sebaliknya') adalah dalil yang

dianggap benar karena tidak dibantah dalam perkara tertentu. Penalaran semacam ini merupakan

kebalikan dari analogi. Argumen a contrario sering digunakan dalam ilmu hukum untuk

menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan dalam sistem hukum tertentu. Argumen ini

didasarkan pada ungkapan Latin berikut: ‘‘ubicumque lex voluit dixit, ubi tacuit noluit’’, yang

berarti "Jika pembuat undang-undang ingin mengatakan sesuatu, ia akan menyatakannya secara

gamblang."

82 Bernadeta Resti Nurhayati, Status Anak Luar Kawin Dalam Hukum Adat Indonesia,

Vol 3, No 2, Agustus 2017, hal 96

83 Lucy Pradita Satriya Putra, Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat, dan

Yuriprudensi Mahkamah Agung, Jurnal Repertorium, Vol 3 , Juni 2015, hal. 137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 54: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

43

adat, berupa pembayaran denda adat dan meminta maaf atas kesalahan anaknya

kepada tua-tua adat. 84

Dalam Masyarakat ber-kekerabatan Matrilineal anak tidak sah di

Minangkabau, seperti juga di daerah lain yang kuat agama Islamnya, adalah anak

haram, anak hasil perbuatan “sumbang salah”. Sebagai akibat perbuatan zina

tersebut maka ayah dan ibu biologis si anak, beserta anak haramnya menurut

hukum adat dijatuhi hukuman buang. Pada masyarakat parental, konsep hubungan

antara anak luar kawin dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya,

sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. 85

Di Minahasa anak di dalam atau di luar perkawinan sama saja sebagai

anak yang sah. Untuk memperkuat pengakuan bapak terhadap anak yang lahir dari

ibunya di luar perkawinan, maka bapaknya memberi “lilikur”86

bagi perempuan

yang tidak dinikahinya jika bapak dan si-ibu hidup terpisah. Bila ada pembayaran

“lilikur”, maka ada kemungkinan si anak luar kawin ada kemungkinan

mendapatkan bagian harta warisan bukan saja dari ibunya tetapi juga dari

bapaknya.87

3. Kedudukan anak dalam ikatan perkawinan menurut Hukum Agama

Hukum Islam merupakan sistem hukum di Indonesia yang menjadi

rujukan sebagian besar umat Islam dalam mengatur hidup dan kehidupannya di

84 Bernadeta Resti Nurhayati , Op.cit hal. 98 85 Ibid hal. 93 86 Lilikur adalah hadiah adat, biasanya berupa tanah: Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa

Asas (Liberty : Yogyakarta), 2007, hal 92

87

Bushar Muhammad, “Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar”, (Jakarta : PT Pradnya

Paramita), 2006 hal 201

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 55: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

44

tengah-tengah masyarakat yang telah diakui untuk berlaku di wilayah negara

Republik Indonesia. 88 Islam memandang bahwa pernikahan harus membawa

maslahat, baik bagi suami istri, maupun masyarakat. Sedemikian bermanfaatnya

pernikahan sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya

lebih besar daripada keburukan-keburukan (madarat). Secara kolektif, manfaat

yang paling berarti adalah meneruskan keturunan, tetapi ini bukan hanya sekedar

pengabaian anak secara fisik saja. Lebih dari itu, lembaga pernikahan menjamin

agar manfaat penerusan keturunan tersebut akan dapat menjadi suci dan tertib.

Ditinjau dari segi agama khusus, memiliki anak itu berarti melakukan hal-hal

untuk merealisasikan kehendak Allah SWT, memenuhi panggilan Nabi SAW

untuk menikah dan menambah jumlah pengikut beliau, serta menuai buah

kebaikan dari doa anaknya nantinya.89

Hukum Agama Islam tidak memiliki ketentuan khusus yang mengatur

tentang kedudukan anak dalam perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam

Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah agar memperoleh keturunan yang

sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad

nikah yang sah. Islam meghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan

terang diketahui sanak kerabat dan tetangga. Islam juga melarang terjadinya

perkawinan secara diam- diam atau dikenal dengan kawin gelap, dan setiap anak

harus kenal dengan siapa ayah dan ibunya.90

88 Mardani, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum dan

Pembangunan Tahun ke-38 : No.2 ApriI-Juni 2008 hal 175

89 Ahmad Atabik Dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif

Hukum Islam, Yudisia: Vol. 5, No. 2, Desember 2014 hal 133 90 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 56: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

45

Hukum Islam mengenal dua status anak yang dilahirkan langsung oleh

ibunya, yaitu anak sah dan anak tidak sah atau anak hasil perbuatan zina. Anak

sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan sah sesuai dengan syarat dan

rukunnya. Anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Anak

yang dilahirkan sah oleh orang tuanya secara otomatis mempunyai hubungan

nasab dengan ayah dan ibu kandung. Sebaliknya, seorang anak tidak memiliki

hubungan nasab dengan ayahnya jika anak dilahirkan bukan melalui pernikahan

sah.91

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah”. Tidak seperti

KUHPerdata yang membagi beberapa macam anak luar nikah, Hukum Islam

hanya mengenal dua macam anak, yaitu anak sah dan anak luar nikah atau biasa

disebut dengan anak hasil zina. 92

Secara hukum anak yang tidak sah, tidak memiliki hubungan nasab

dengan ayahnya. Dia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu yang

melahirkannya. Anak tersebut dinamakan juga dengan anak zina dan anak li’an.

Dalam kitab-kitab fikih “anak zina” adalah anak hasil perbuatan zina. Para ulama

sepakat tentang hal ini. Tanggung jawab atas segala keperluan anak, baik materiil

maupun spirituil adalah tanggung jawab ibunya dan keluarga ibunya. 93

91

Q.S. al-Ahzab ayat 5

92

Ahmad Dedy Haryanto, Op.cit hal 127 93

Kudrat Abdillah ,Status Anak Di Luar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial, Petita,

Vol 1 No 1, April 2016 hal 50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 57: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

46

Aturan status anak yang ada dalam undang-undang ini tidak jauh berbeda

dengan aturan fikih Islam. Perbedaan hanya terlihat pada ranah istilah yang

digunakan. Dalam undang-undang ini, terdapat dua klasifikasi status anak, yaitu

anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Sedangkan fikih Islam

status anak menjadi anak yang sah dan anak zina atau anak li’an. Pada dasarnya

klasifikasi status anak antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan fikih

Islam tidak ada perbedaan. Kedua aturan ini mengacu pada dua klasifikasi status

anak, yaitu anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar nikah atau anak tidak

sah.94

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi‘i, anak yang lahir setelah enam

bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.

Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada

ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di

luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut

Abdul Manan, dalam hukum Islam seorang anak yang lahir dari hubungan

seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah memlilki

status yang sama dengan seorang anak yang lahir dari hubungan pernikahan yang

sah.95

Sebab anak tersebut lahir sesuai fitrahnya mempunyai kedudukan yang

sama dengan anak-anak yang lainnya sebagai hamba Allah swt, hanya dapat

mempertanggungjawabkan amal baik, maupun amal buruk pribadinya sendiri di

94Ibid

95

M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam

di Indonesia, (Jakarta: Raja wali Press, 1997), hal. 81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 58: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

47

sisi-Nya, bukan orang yang termasuk mempertanggung jawabkan perbuatan dosa

ibu dan dan dosa bapaknya. Padahal seharusnya yang hina dan berdosa di hadapan

Allah swt., bukan anak tersebut melainkan kedua ibu dan bapaknya yang telah

melakukan perbuatan zina. 96

Didalam Al-quran dikatakan:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-nya

dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,

karib kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan

tetangga yang jauh (termasuk yang bukan muslin), teman sejawat ibnu

sabil (orang yang dalam perjalanan, anak yang tidak diketahui ibu-

bapaknya) dan hamba sahayamu.Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya”.97

Dikalangan umat Kristen, memiliki pemahaman yang sejalan dengan

KUHPerdata bahwa setiap anak yang dilahirkan atau dibesarkan dalam ikatan

perkawinan, maka yang menjadi bapak si anak adalah suami dari ibunya. Pada

agama Kristen Protestan tidak memberikan pengertian mengenai kedudukan anak

di luar nikah, namun memberikan aturan mengenai zina adalah dosa yang amat

besar. Gereja tidak mengizinkan pembaptisan anak yang lahir di luar nikah.98

Seperti halnya aturan yang terdapat pada pandangan agama mengenai anak

di luar nikah, perkawinan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan tata cara hukum

yang berlaku maka akan berdampak pada keturunannya.99

Di daerah Ambon ini

96 Hamid Pongoliu, Kedudukan Anak Lahir Di Luar Nikah Dalam Perspektif Hukum

Islam Dan Hukum Positif , Al-Mizan : Vol 9 No 1 ,2013, hal 117

97 Surat An-nisa, Q.IV-36

98 Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Relevansi Kajian Hukum Adat: Kasus

Perkawinan Anak Dari Masa Ke Masa, Mimbar Hukum: Vol 30, No 3, Oktober 2018 , hal 521

99

Eddo Febriansyah, Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu–

Viii/2010 Tentang Kedudukan Anak Diluar Nikah Yang Diakui Dalam Pembagian Warisan, Unnes

Law Journal: Vol 4 No 1, 2015 hal 10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 59: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

48

disebut sebagai “Erken”. Pada masa itu, di Ambon berlaku Ordonansi perkawinan

orang-orang Kristen Jawa, Minahasa dan Amboina Staatsblad100

1933 Nomor 74.

Dapat diperkirakan bahwa Ordonansi perkawinan orang- orang Kristen ini kiranya

terpengaruh oleh konsep kelembagaan dan pengaturan anak luar kawin

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.101

Bagi umat Buddha Indonesia sebagaimana diatur dalam Hukum

Perkawinan Agama Budha (HPAB), kedudukan anak tidak jauh berbeda dengan

yang diatur dalam Undang – undang No 1 Tahun 1974. Anak yang sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang

dilahirkan diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya, setelah anak tadi lahir, dan di antara ayah dan ibunya

melakukan perkawinan secara sah, maka anak tersebut oleh ayahnya dapat

langsung diakui sebagai anaknya dan mendapatkan status perdata

ayahnya.102

Anak tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak-anak

yang kemudian lahir setelah ayah dan ibunya melaksanakan perkawinan yang

sah.103

Menurut Hukum Buddha di Indonesia dapat terjadi “anak hasil kebo”

menjadi anak yang sah, apabila pria dan wanita yang “hidup bersama” itu

kemudian melakukan perkawinan secara sah. Wanita yang sudah hamil dengan

pria lain jika wanita itu kawin dengan pria lain pula sebagai tutup malu, maka

100

Lembaran Negara Republik Indonesia atau LNRI (saat periode kolonial

disebut Het Staatsblad van Nederlandsch-Indie atau periode transisi disebut Het Staatsblad van

indonesie dengan penyebutan singkat Staatsblad) merupakan referensi pemuatan publikasi dari

segala bentuk pengumuman, https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara

101 Bernadeta Resti Nurhayati, Op.cit hal 97

102

Pasal 41 - Pasal 43 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 103 Pasal 44 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 60: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

49

anak yang lahir hidup itu menjadi anak yang sah dari ayah dan ibu yang

melakukan kumpul kebo. Anak tersebut langsung mendapatkan status perdata

ayahnya (suami kawin dengan ibunya) dan berkedudukan sama dengan anak-anak

lainnya dari perkawinan itu.104

Jika wanita yang melahirkan anak dan tidak melakukan kawinan sah, maka

anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Berarti si anak kelak hanya akan mendapat warisan dari ibu atau keluarga ibunya

saja. Jika terjadi dalam suatu perkawinan ayah menyangkal terhadap anaknya

yang dilahirkan oleh isterinya, maka perselisihan itu dapat diajukan ke muka

sidang Dewan Pandita Agama Buddha Indonesia (Depabudi) setempat .105

Menurut Hukum Hindu, perkawinan merupakan suatu ikatan antara

seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk mengatur hubungan

seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki yang akan

menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang langsungkan dengan

upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. 106

Jika perkawinan ini tidak dilangsungkan dengan upacara menurut hukum

Hindu maka perkawinan itu dianggap tidak sah. Secara garis besar semua agama

berpandangan bahwa istri harus berbakti pada suami, bisa menghornati dan juga

menghargai suami, begitu juga sebaliknya yang dilakukan suami terhadap istri. Di

104 Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Op.cit hal 523 105 Hilman Hadikusuma , Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-undangan,

Hukum Adat dan Hukum Agama, (Mandar Maju : Bandung, 2003) , hal. 136

106 G. Pudja, Pengantar tentang Perkawinan menurut Hukum Hindu (didasarkan

Manusmriti), Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag, 1974, hal, 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 61: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

50

dalam agama Hindu, kewajiban suami istri ini diuraikan dalam kitab Manu

Dharmasastra (Weda Smrti) bab IX. 107

Kedudukan anak dapat dilihat dari sudut apa yang menjadi tujuan

perkawinan Bahwa tujuan perkawinan dalam agama Hindu ialah untuk

memperoleh anak yang dapat menyelamatkan keluarganya dari penderitaan

Neraka Put. Sehingga yang disebut “Anak Ksetjara” yaitu anak yang dilahirkan

dari perkawinan yang sah, hasil pembenihan diatas dasar yang hak, dapat

dibedakan antara “Anak Aurasa” dan “Anak Birahi”. Anak Aurasa adalah anak

penyelamat keluarga Neraka Put, sedangkan Anak Birahi adalah anak yang lahir

karena adanya nafsu birahi, atau anak yang lahir setelah lahirnya anak pertama

yang tidak dibebani tugas dan kedudukan sebagai penyelamat.108

B. Hak dan Kewajiban Anak dalam ikatan perkawinan

Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak

dicantumkannya hak-hak seorang anak sebagai upaya untuk menjamin

terwujudnya kesejahteraan anak, yaitu “suatu tata kehidupan dan penghidupan

anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar,

baik secara rohani, jasmani maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan

pokok anak”. Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

membedakan hak-hak anak secara umum dan hak-hak anak secara khusus bagi

anak –anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, sosial dan memerlukan

pelayanan khusus.109

107 Ibid

108

Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 138

109 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 62: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

51

Secara umum anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan

bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Kesejahteraan yang

dimaksud bukan saja diberikan pada waktu anak dilahirkan, tetapi juga pada saat

dan semasa daam kandungan .

Semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas

pemeliharaan dan perlindungan. Demikian pula semasa dalam kandungan maupun

sesudah dilahirkan, anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan hidup dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan

kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.110

Bagi anak –anak yang tidak mempunyai orang tua, menurut ketentuan

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, berhak

memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan. Demikian halnya dengan

anak-anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhannya baik

secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar, berhak untuk memperoleh

bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang

dengan wajar.111

Khusus bagi anak-anak yang menunjukkan atau mengalami masalah

tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat,

berhak diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi

110 Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

111 Pasal 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 63: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

52

hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya112

.

Pelayanan dan asuhan yang sama juga diberikan kepada anak-anak yang telah

dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim

Pengadilan.113

Dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

disimpulkan bahwa hak-hak anak yang sudah diakui dan diberi jaminan

perlindungan hukum oleh Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia pada dasarnya:114

1. Hak untuk dapat perlindungan dari orang tua, masyarakat, dan negara;

2. Hak untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan

untuk diasuh dan dirawat oleh mereka;

3. Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristirahat, bergaul, dan

berintegrasi dengan lingkungannya;

4. Hak untuk menerima informasi dan mendapatkan perlindungan dari

kegiatan eksploitasi ekonomi yang bisa membahayakan dirinya;

5. Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan yang bisa mengancam

keselamatan dirinya;

6. Hak untuk memperoleh perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak

pidana dewasa.

Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

menentukan bahwa setiap anak berkewajiban untuk115

:

1. Menghormati orang tua, wali dan guru

2. Mencintai tanah air, bangsa dan negara

3. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya

4. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia

Pada prinsipnya ketentuan kewajiban anak yang diatur, baik dalam

Undang-undang Perkawinan maupun Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang

112 Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

113 Ibid

114

Pasal 52 - Pasal 66 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 115 Pasal 19 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 64: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

53

Perlindungan Anak, sudah sesuai dan sejalan dengan agama Islam yang

mengajarkan kepada umatnya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya

sekalipun mereka telah berbeda agama, bersikap sopan santun, saling mencintai,

saling menghormati, menaati segala perintahnya, kecuali hal itu bertentangan

dengan agama dan paling penting mendoakan mereka. Anak- anak diwajibkan

pula untuk memberikan nafkah kepada orang tua dan kaum kerabat, baik diminta

atau tidak. Dalam Hukum Islam, anak mempunyai hak –hak antara lain:

1. Hak Radha’, artinya hak untuk mendapatkan pelayan makanan pokoknya

dengan jalan menyusu pada ibusesuatu dalamnya.

2. Hak Hadhana, artinya meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti

menggendong atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.

3. Hak nafkah adalah hak anak yang berhubungan langsung dengan nasab

dimana begitu anak lahir maka hak nafkahnya sudah mulai dipenuhi. 116

Dalam undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yaitu:117

1. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi

secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

2. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan

3. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi

sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang

tua

4. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh

oeangtuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak

dapat menjamin tubuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar

maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai hak asuh anak

atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

5. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai

dengan kebutuhan fisik, mental dan spiritual dan sosial

6. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat

dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak

memperoleh pendidikan khusus

116 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia,(Refika Aditama : Bandung ), 2014,hal.49-50

117 Pasal 4- Pasal 11 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 65: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

54

7. Berhak menyatakandan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan

memberikakn informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya

demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai kesusilaan dan

kepatutan.

8. Berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan

anak sebaya , bermain, berekreasi dan berekreasi sesuai dengan minat

dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri

9. Berhak diasuh oranguanya sendiri , kecuali jika ada alasan dan atau aturan

hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi

kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir

Kewajiban anak terhadap orang tua diatur dalam Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan pada Pasal 46 ayat 1,

menyatakan:118

1. anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang

baik

2. jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya ,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas , bila mereka memerlukan

bantuannya.

Kewajiban anak untuk menghormati dan menaati kehendak orang tua yang

baik terhadap si anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1 Undang-

undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memang sudah sepantasnya

dilakukan anak. Setiap anak harus hormat kepada kedua ibu-bapaknya baik

ditinjau dari segi kemanusiaan dan keagamaan. Hal ini dikarenakan dengan

begitu susah payah orang tuanya membesarkan dan memelihara anak menjadi

manusia yang baik. Sudah sewajarnya anak-anak berterima kasih kepada orang

tua dengan jalan menghormatinya. Demikian jugua menaati maksud-maksud baik

dari kedua orang tua adalah hal yang sudah semestinya. 119

Pasal 326 KUHPerdata menyatakan:

118 Sudarsono, Op.cit. hal 299

119 Rachmadi Usman, Op.cit , hal 360

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 66: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

55

“apabila pihak yang berwajib memberi nafkah membuktikan

ketidakmampuanya menyediakan uang untuk keperluan itu, maka pengadilan

negeri adalah berkuasa, setelah menyelidiki duduk perkara, memerintahkan

kepadanya supaya menempatkan pihak yang membutuhkan nafkah dalam

rumahnya dan memberikan kepadanya barang seperlunya”.

KUHPerdata pada kalimat “memerintahkan kepadanya” dalam hal ini sang

anak supaya menempatkan pihak yang membutuhkan nafkah dalam hal ini orang

tua kedalam rumahnya sang anak dan memberikan barang seperlunya.120

Jika anak

telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan

keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Artinya anak wajib memelihara menjaga dan merawat orang tuanya sesuai dengan

kesanggupan, kecakapannya. Arti “memelihara” menurut bahasa yaitu menjaga

dan merawat baik-baik, contohnya memelihara kesehatan badan dan memelihara

anak istri. 121

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, memelihara termasuk

kedalam pemberian nafkah. Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, anak wajib

memelihara kedua orang tuanya tergantung dari kemampuan anak, oleh karena itu

isi Undang-Undang tersebut ada kelemahan dan karena ada pengecualian. Anak

yang telah dewasa menurut hukum diwajibkan untuk memelihara orang tuanya,

maka dia dilarang menelantarkan orang tuanya.122

120 Charisa Yasmine, Pelaksanaan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Studi Kasus

Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha (Pstw) Khusnul Khotimah Pekanbaru

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, JOM Fakultas Hukum

Universitas Riau Vol 4 No 2, Oktober 2017, hal 3

121 Ernawati, Kewajiban Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tua Menurut Hukum

Islam, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta, Forum Ilmiah Vol

XII No 1 Januari 2015, hal 3

122 Ibid hal 12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 67: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

56

Sanksi bagi orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah

tangganya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbunyi,“dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun atau denda paling banyak

Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”123

C. Hak-hak anak pasca Perceraian

Perceraian pada dasarnya tidak dilarang apabila alasan-alasan perceraian

tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang mengatur, yaitu berdasarkan

Undang-Undang Perkawinan. Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu

merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling pokok

dari putusnya hubungan perkawinan adalah masalah hubungan suami-isteri,

pembagian harta bersama, nafkah dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup

anak-anak mereka.124

Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam dijelaskan bahwa :125

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-

anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun

kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada

suatu akibat perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksanakan

123 Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

124

Nunung Rodliyah, Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif: Vol 5 , No 1 Maret 2014, hal 124

125 Pasal 77 Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 68: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

57

tanggung jawabnya seperti menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan

tempat tinggal yang layak, serta memberikan pendidikan bagi anak-anaknya

sehingga anak dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana mestinya, tidak

terhalangi oleh akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap kedua orang tua

mereka. 126

Dalam hukum Islam, timbulnya kewajiban memberikan nafkah oleh orang

tua laki-laki (ayah) terhadap anaknya setelah terjadi perceraian adalah karena

sebab turunan. Dalam hal ini, mengenai prinsip hukum tentang tanggung jawab

biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian dalam Instruksi Presiden RI

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dapat ditemukan

ketentuan-ketentuan dalam hal terjadi perceraian : 127

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz128

atau sudah berumur 12

tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau

ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan

penjelasan tentang akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan

perlindungan hak-hak anak ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai

kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan

kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,

maka Pengadilan yang memberikan keputusannya.129

126 Nunung Rodliyah, Op.cit hal 134 127

Ibid

128 Mumayyiz adalah siapa yang telah mencapai usia tujuh tahun hingga baligh. Dia

dinamakan mumayyiz karena dia bisa membedakan sehingga dia faham pembicaraan kemudian

merespon jawaban, Kamus al-Munawwir 1370

129 Pasal 41 huruf a Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 69: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

58

Peran kedua orang tua dalam menjaga anak-anak mereka dapat berupa

pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan

primer hingga jika memungkinkan pemenuhan kebutuhan tersier. Berbeda halnya

dengan hak untuk mendapatkan pendidikan, ini lebih mengacu kepada pembinaan

kejiwaan atau rohaniah si anak, pemenuhan kebutuhan ini dapat berupa

memberikan pendidikan atau pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat

dijenjang sekolah, pendidikan agama, pendidikan kepribadian dan berbagai

pendidikan lainnya yang berkaitan dengan pembinaan jiwa si anak .

Baik pemeliharaan maupun pendidikan, keduanya harus mendapatkan

perhatian serius oleh kedua orang tua si anak, walaupun disaat putusan cerai

dibacakan oleh hakim sidang pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada salah satu

pihak, bukan berarti pihak yang lain tidak diberikan hak asuh tersebut dapat lepas

bebas tanpa tanggung jawab. Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka.130

Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang

tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang

bersangkutan maupun harta bendanya.131

Selanjutnya, wali dapat di tunjuk oleh

salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia

meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi.132

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain

yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Wali wajib

130 Hilman Hadikusuma, Op.cit,hal 374

131

Pasal 50 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 132 Pasal 51 ayat1 - ayat 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 70: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

59

mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya,

dengan menghormati agamanya dan kepercayaanya itu. Wali bertanggung jawab

tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang

ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.133

D. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan

1. Kewajiban Orangtua terhadap anak dalam Perkawinan menurut

Perundang-undangan

Orang tua juga mempunyai hak dan kewajiban untuk bisa lebih

memperhatikan dan menegakkan hak anak yang sering diabaikan oleh orang tua

dari anak itu sendiri. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan itu terdapat dalam beberapa Pasal. Dalam Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimana dikatakan berdasarkan Pasal 45

ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, orang tua dengan

sendirinya menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-

anak sampai mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang

mewakili kepentingan anakanak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun

di depan Pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari anak tersebut.134

Dalam halnya hak dan kewajiban orang tua telah diatur dalam Bab XIV

tentang Kekuasaan Orang Tua memiliki kaitan dengan Undang-undang No 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “setiap anak dalam

tingkat umur berapapun wajib hormat dan segan terhadap bapak ibunya”. Bapak

dan ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa.

133 Ibid

134

Stepani, Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus Di Sulawesi Utara),

Lex et Societatis, Vol. 3 No. 3, Apr 2015 hal 35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 71: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

60

Walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak untuk menjadi wali

hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang

seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan

pendidikan anaknya itu .135

Selama perkawinan bapak dan ibu semua anak berada di bawah kekuasaan

mereka sampai menjadi dewasa, kecuali bapak dan ibu dibebaskan atau dipecat

dari kekuasaan orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yang diatur oleh

KUHPerdata memiliki makna yang sama dengan Undang-undang No 1 Tahun

1974 Pasal 45 ayat 1 dan 2 tentang Perkawinan memiliki menyatakan bahwa: 136

“Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik- baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku sampai anak itu kawin

atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun

perkawinan antara kedua orang tua putus”

Kewajiban orang tua dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya

sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri . Hal mana juga berarti walaupun

anak sudah kawin jika kenyataanya belum dapat berdiri sendiri masih tetap

merupakan kewajiban orang tua untuk memelihara anak isteri dan cucunya.

Dengan demikian berbeda dari KUHPerdata, kewajiban itu bukan hanya sampai

pada anak dewasa berumur 21 tahun, tetapi sampai mereka mampu untuk berdiri

sendiri walaupun terjadi ikatan perkawinan orang tuanya putus.

135 Pasal 298 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

136 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal 140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 72: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

61

2. Kewajiban orang tua terhadap anak dalam Perkawinan menurut

Hukum Adat

Hukum adat tidak hanya mengatur kedua orang tua yang wajib

memelihara dan mendidik anak kemenakan mereka dengan sebaik-baiknya, tetapi

juga terutama para saudara ayah di masyarakat yang patrilineal, para saudara ibu

di masyarakat yang matrilineal dan para saudara ayah dan ibu pada masyarakat

parental walaupun sifatnya terbatas. Menurut Hukum adat kewajiban memelihara

dan mendidik anak tidak berakhir sampai anak kemenakan kawin dan dapat

berdiri sendiri, sepanjang anak kemenakan masih memerlukan dan sejauh

kemampuan anggota kerabat bersangkutan, hubungan kekeluargaan berjalan

terus.137

Walaupun anak sudah bersuami-istri, ataupun sudah bekerja tetapi belum

cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan tingginya, ataupun modal karya

usahanya para anggota kerabat yang mampu berkewajiban membantunya.

Dasarnya bukanlah karena hukum adat tetapi kewajiban moral, oleh karena itu

dikalangan masyarakat adat sering banyak digunakan istilah “anak kita” dari pada

istilah “anak kami” atau “anakku”.138

Bagi umat agama Hindu dikenal suatu istilah, “Kim jatair bahubhih

putraih soka santapakarakaih varamekah kulalambi yatra visramyate

kulam“ yang memiliki arti apa gunanya melahirkan anak terlalu banyak kalau

mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan selalu memberikan kedukaan.

137 Lucy Pradita Satriya Putra, Op.cit hal 135

138 Ibid hal 143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 73: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

62

Walaupun hanya seorang anak tetapi berkepribadian utama dan membantu

keluarga, satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik. 139

Berdasarkan petikan istilah tersebut, sangatlah utama keadaan seorang

anak suputra. Ia mampu membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi keluarganya.

Akan tetapi untuk menjadikan anak menjadi suputra bukanlah persoalan yang

mudah. Mendidik anak untuk menjadi seorang suputra sangatlah penting.

Memberikan pendidikan kepada anak bukan hanya sekadar menyekolahkan anak

sampai ke jenjang yang paling tinggi. Tidak jarang justru yang terjadi malah jauh

dari harapan. Banyak kasus terjadi dimana orang tua memberikan pendidikan

kepada anak sampai kepada jenjang yang begitu tinggi akan tetapi anak justru

memiliki tabiat yang menyimpang. 140

Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan dan idealisme

pendidikan itu sendiri. Pendidikan pada dasarnya menginginkan anak didik untuk

menjadi seorang yang memiliki nilai-nilai dan susila dalam setiap perilakunya

sehingga dapat menjadi insan yang mulia. Oleh karena demikian maka pendidikan

kepada anak guna menjadikannya seorang anak yang suputra sangatlah

dibutuhkan usaha yang komprehensif dan berkesinambungan. Dan sesungguhnya

itu merupakan dharma (kewajiban) bagi setiap orang tua terhadap anaknya.141

139 BAB III Sloka 17, śloka,bahasa Sanskerta: श्लोक, IPA: [ˈɕloːkə] adalah

sebuah bait yang aslinya terdapat dalam bahasa Sanskerta.

140 Putu Sanjaya, Mendidik Anak Menjadi Suputra Menurut Teks Canakya Nitisastra,

Pratama Widya, Vol. 3, No. 2, 2018 hal 48 141 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 74: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

63

3. Kewajiban orang tua terhadap anak dalam perkawinan menurut

Hukum Agama

Hukum Islam mengemukakan yang dibebani tugas dan kewajiban

memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu bersifat membantu.

Ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Sesungguhnya dalam

Hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari

segi material yaitu, memberi nafkah, menyusukan (irdla) dan mengasuh

(hadlanah), dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan

perlindungan serta pendidikan rohani dan lain-lain.142

Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas pada

kemampuannya, sebagaiman digariskan dalam Al-Quran yang menyatakan:

“Hendaklah orang (ayah) yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang (ayah) yang rezekinya sempit hendaklah

memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak

membebani seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q 65:7)”143

Dalam pandangan umat Kristiani dengan menerima sakramen baptis,

seseorang mengalami kelahiran kembali, menjadi ciptaan baru dan diangkat

menjadi anak-anak Allah. Oleh karena itulah, setiap orang yang telah dibaptis

berhak menerima atau mendapatkan pendidikan Kristiani. Tujuan dari pendidikan

Kristiani tersebut tidak hanya untuk mendewasakan kepribadian seseorang, tetapi

juga untuk mengajak mereka semakin mendalami misteri keselamatan dan

semakin menyadari kurnia iman yang telah diterimanya. Dengan demikian,

142 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempore, (Jakarta: Kencana,

2004) hal 166. 143 Surat At-Talaaq, QS 65:7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 75: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

64

mereka bisa semakin mampu memuji dan meluhurkan Allah dalam hidup mereka

seharihari.144

Orangtua telah menyampaikan hidup mereka kepada anak-anaknya, maka

para orangtua mengemban tugas adiluhung mendidik anak-anaknya. Oleh karena

itu, orangtua harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-

anaknya. Menjadi kewajiban orangtualah menciptakan suasana keluarga yang

sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang lain,

sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara

anak-anak.145

Bagi umat Kristen tentang kewajiban orang tua memelihara dan mendidik

anak sampai mereka dewasa tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diatur

dalam KUHPerdata.146

Orang tua berkewajiban disamping memelihara anak

memberikan pula pendidikan agama agar anak-anak tumbuh dan berkembang

dengan budi pekertinya yang baik. Tanggung jawab orang tua adalah memelihara

dan mendidik anak itu tidak akan berakhir walaupun orang tua kehilangan hak

sebagai walinya.147

Setiap anak mempunyai hak-hak asasi, terutama hak untuk hidup.

Orangtua bertanggung jawab untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi anak

dengan berpegang teguh pada prinsip non-diskriminatif. Tugas menyalurkan

144 Oktavianus Hery Setyawan, Pewarisan Dan Pendidikan Iman Anak Sebagai

Tanggung Jawab Orangtua Menurut Ecclesia Domestica - Studi Kasus Paroki Santo Yosep

Purwokerto Timur,Vol. 03, No. 02, November 2014, hal 111 145 Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Keluarga Kristiani

Dalam Dunia Modern: Amanat Apostolik Familiaris Consortio, (Kanisius: Yogyakarta, 1994),

hal .72

146

Pasal 298 KUHPerdata 147

Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang, Op.cit, hal 145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 76: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

65

hidup manusiawi serta mendidik anak-anak adalah perutusan khas suami istri

sebagai rekan kerja cinta kasih Allah Pencipta.148

Dengan anugerah kebapaan dan keibuan, suami-istri berkewajiban

memberi pendidikan, terutama di bidang keagamaan (iman). Dalam memberikan

pendidikan tersebut, mereka dituntut untuk memberikan teladan iman yang

konkret, supaya anak-anak terbantu dalam menemukan jalan keselamatan dan

kesucian. Martabat kebapaan dan keibuan pasangan suami istri adalah unsur

hakiki dalam pendidikan anak-anak yang terwujud melalui kehadiran aktif mereka.

Kehadiran orangtua adalah cerminan dan sekaligus tanda serta sarana kehadiran

Allah yang menuntun anak-anakNya agar mengenal dan mengimani Dia. Sebagai

orangtua, mereka dituntut untuk membangun hidup keluarga dengan penuh cinta

kasih dan nilai-nilai Kristiani sebagai sekolah kemanusiaan. Melalui pendidikan

itulah, orangtua membimbing anak-anaknya mencapai kedewasaan, sehingga

anak-anak mampu menanggapi panggilan hidup mereka.149

Menurut Hukum Perkawinan Agama Buddha (HPAB) kewajiban kedua

orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan cinta kasih

(Metta), kasih sayang (Karunia) dan rasa sepenanggungan (Mutida). Orang tua

terutama wajib memberi pendidikan rohani dengan ajaran agama Buddha

Indonesia, antara lain berusaha mencegah anak-anaknya berbuat jahat ,

menganjurkan supaya anak-anaknya berbuat baik. 150

148 Yayasan ODB Indonesia, “Renungan Pribadi dan Keluarga Kristen dan Santapan

Rohani”, Our Daily Bread, Volume 64, No 6,7 dan 8, September 2019, hal 24

149 Ibid

150 Oktavianus Hery Setyawan, Op.cit, hal 128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 77: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

66

Orang tua wajib melatih anak-anaknya sehingga cakap bekerja dan

memberikan nasihat-nasihat serta pandangan yang luas dalam membantu anak-

anaknya memilih pasangan hidupnya.151

Orang tua akan menyerahkan warisan

kepada anak-anaknya apabila dianggap waktunya telah sampai. Menurut HPAB

(Himatika Peduli Anak Bangsa) kewajiban orang tua tersebut tidak hanya sampai

dengan anak-anak sudah dewasa atau sudah kawin dan dapat berdiri sendiri, tetapi

kewajiban itu harus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tua putus. 152

Menurut Hukum Hindu dalam, selain kewajiban memelihara dan mendidik

anak, orang tua terutama bapak menjadi bersalah jika tidak mengawinkan

puterinya pada waktunya. Jika calon suami anak itu sewarna dan keadaanya

istimewa, maka bapaknya harus mengawinkan anaknya menurut ketentuan yang

berlaku walaupun puterinya belum mencapai umur yang layak. Tetapi walaupun

puterinya itu sudah cukup umur untuk kawin, jika calon suami anaknya tidak

memiliki sifat-sifat yang baik, biarkan puterinya ditahan saja di rumah orang tua

sampai mati tidak kawin.153

E. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian

Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah

tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan

yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak semua orang

dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan

adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talaq, maupun cerai atas putusan hakim.

Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan

151 Ibid

152 pasal 46 ayat 1 sampai 2 Hukum Perkawinan Agama Buddha

153 Kitab suci Agama Hindu:Veda, “MDHs (Manawa. Dharmasastera)” 4-89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 78: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

67

seorang wanita sebagai suami isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan,

yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan Pengadilan Agama bagi yang

beragama Islam. 154

Saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan

ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu

perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat hukum yang mengikutinya, salah

satunya adalah mengenai hak asuh atas anak. Menurut Bahder John Nasution dan

Sriwarjiyati bahwa: “bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik

ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya

semata-mata demi kepentingan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan

siapa yang akan menguasai anak tersebut”.155

Ketika suami istri bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua

yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Termasuk bapak yang

bertanggung jawab atas semua biaya dalam hal pembiayaan yang timbul dari

pemeliharaan dan pendidikan atas anak-anaknya tersebut, bilamana bapak dalam

kenyataannya tidak bisa memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan

memutuskan ibu juga ikut memikul biaya tersebut. 156

154 Fatimah, Rabiatul Adawiah, M. Rifqi, Pemenuhan Hak Istri Dan Anak Akibat

Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Banjarmasin),

Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Vol 4, No 7, mei 2014, hal 558 155 Bahder John dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, Komplikasi Pengadilan Agama

Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat Hibah, Wakaf, dan Shadaqah, (Madar Maju: Bandung, 1997),

hal. 35

156 Virianto Andrew Jofrans Mumu, Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab Orang

Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian Dalam Uu No 1 1974 Pasal 45 Ayat (1), Lex Privatum

Vol. VI, No. 8, Oktober 2018 hal 47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 79: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

68

1. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut

Perundang-undangan

Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada

suatu akibat perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksanakan

tanggung jawabnya seperti menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan

tempat tinggal yang layak, serta memberikan kiswah bagi anak-anaknya sehingga

Anak dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana mestinya, tidak terhalangi oleh

akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap kedua orang tua mereka.157

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “baik ibu atau bapak tetap

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan

kepentingan, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan

memberi keputusannya”. Mengenai sistem pertanggung jawaban ayah terhadap

anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislatif yang tertuang dalam undang-

undang perkawinan.158

Kewajiban antara orang tua dan anak yang dimaksud,

menyangkut beberapa hal.159

a. Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka

dengan sebaik – baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam

dalam Undang – Undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya

menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus

meskipun perkawinan diantara kedua orang tua putus.

b. Kedua, mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap

orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan menaati

kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib

157 Habibullah, Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Studi

Kasus : Di Pengadilan Agama Talu), Vol. 7 No. 4, April 2018 hal 58

158 Pasal 41 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

159

Rahmadi Indra Tektona, Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak Korban

Perceraian, Muwâzâh : Vol. 4, No.1, Juli 2012 hal 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 80: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

69

memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga garis lurus

ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya

c. Ketiga, mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam

segala perbuatan hukum ,dimana anak yang belum mencapai umur 18

tahun (delapan belas tahun). Atau belum pernah melangsungkan

perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak

dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai

segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

d. Keempat, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum

berumur 18 ( delapan belas tahun ) atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

e. Kelima, adanya kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang

atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak

atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,

keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah

dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam

hal – hal, Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan

berkelakuan buruk sekali

Bapak dan ibu wajib memelihara dan mendidik anak mereka yang belum

dewasa, walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak menjadi

wali hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang

seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan

pendidikan anaknya.160

Dalam arti sederhana, meskipun orang tua dicabut

kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya

pemeliharaan kepada anak tersebut.161

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap

anak setelah perceraian dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak

menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapatkan kedudukan

dan tempat yang istimewa di dalam nash-Al-Qur’an dan Al-Hadist, oleh karena

itu anak harus diperlakukan secara manusiawi, diberikan pendidikan, pengajaran,

160 Sudarsono, Op.cit hal 188

161 Rahmadi Indra Tektona, Op.cit hal 52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 81: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

70

keterampilan dan akhlakul karimah agar anak tersebut kelak dapat bertanggung

jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup dimasa

depan.162

Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa: “Bilamana

perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya

hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.” Pengertian

hadhanah menurut Pasal 1 Huruf g Kompilasi Hukum Islam adalah:

“Pemeliharaan anak, yaitu kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak

hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”.163

Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga di atur dalam Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:164

a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh,

memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan

anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan mencegah

tetrjadinya perkawinan pada usia dini

b. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau

karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung

jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud

dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksakan sesuai dengan ketentuan

peraturan undnag-undang yang berlaku.

Hak lain yang melekat pada anak, termasuk kewajiban orang tua bagi anak

juga termuat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, menyebutkan bahwa: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,

162 Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Mandar Maju: Bandung) , 2007,

hal 131

163

Habibullah, Op.cit, hal 60

164 Pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 82: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

71

berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.165

Mengenai tanggung jawab orang tua juga disebutkan dalam Pasal 9

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang

menyatakan bahwa “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas

terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.

Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban

memelihara dan mendidik anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang

menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti

luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta

berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.166

2. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut

Hukum Adat

Arti perkawinan bagi Hukum adat adalah penting karena tidak saja

menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut

hubungan antara kedua pihak mempelai seperti saudara-saudara mereka atau

keluarga mereka lainya. Bahkan dalam Hukum adat diyakini bahwa perkawinan

bukan saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tetapi juga

merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Arwah-arwah

leluhur kedua belah pihak diharapkan juga merestui kelangsungan rumah tangga

mereka akan lebih rukun dan bahagia.167

165 Pasal 4 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

166 Sudarsono, Loc.cit

167

SoerjonoWignjodiporo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Haji Masagung:

Jakarta)1983, hal.122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 83: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

72

Dalam Hukum Adat, jika terjadinya perceraian, maka timbullah hak dan

kewajiban suami istri yang berupa tanggung jawab terhadap anak. Menurut Ter

Haar, anak-anak yang masih menyusui, atau dibawah umur 2 sampai 3 tahun akan

selalu mengikuti ibunya. Akan tetapi pilihan anak juga penting, dan yang lebih

penting adalah siapa dari suami istri yang memberi nafkah pada anak-anaknya. 168

Mengenai pemberian nafkah ini yang wajib memberikan nafkah pada

anak-anak adalah si bapak. Dalam masyarakat Patrilineal yang mempertahankan

garis keturunan lelaki jika terjadi perceraian, ketika anak masih kecil dan dibawa

oleh ibunya maka, status anak adalah anak tertitip, karena anak tersebut adalah

anak bapaknya dan berkedudukan dalam kerabat bapaknya. 169

Dalam masyarakat Matrilineal yang mempertahankan garis keturunan

wanita, jika putusnya perkawinan kedudukan anak-anak tetap berada si pihak

ibunya sebagai ahli waris atau kerabat ibunya. Pemeliharaan dan pendidikan anak-

anak kekuasaan mengaturnya berada di tangan mamak, saudara pria dari ibunya.

Hal ini tidak berarti tanpa adanya perhatian dan bantuan dari ayah si anak dan

kerabat pihak ayahnya.170

Lebih-lebih di perantauan dimasa kekuasaan mamak sudah lemah,

tanggung jawab terhadap anak langsung jatuh pada orang tuanya, dan jika putus

perkawinan diurus oleh ayah ibunya walaupun sudah bercerai. Dilingkungan

masyarakat parental, yang dapat dikatakan tidak lagi mempertahankan garis

keturunan, dan pada umunya melaksanakan perkawinan bebas dan mandiri , maka

akibat putusnya perkawinan bagi pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi

168 Ibid hal. 384

169

Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns, Op.cit, hal 522 170 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 84: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

73

tanggung jawab bapak dan ibunya , terutama bapaknya, kecuali jika bapak tidak

mampu maka boleh di tangani oleh ibunya.171

Sebagai contoh masyarakat Adat Osing menganut sistem kekerabatan

parental atau bilateral yaitu menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang

tua, yaitu bisa ditarik dari garis keturunan bapak maupun ditarik dari garis

keturunan ibu. Dalam sistem kekerabatan parental atau bilateral, apabila terjadi

perceraian maka kedudukan seorang anak tergantung pada keadaan, biasanya anak

yang sudah dewasa di babaskan memilih ikut dengan bapak atau ibunya. Di Desa

Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, akibat hukum yang

ditimbulkan dari perceraian terhadap anak pada masyarakat Osing di desa Aliyan

adalah anak tetap berhak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang

bercerai.172

Perasaan orang tua terhadap anak dijelaskan dalam ungkapan, “welase

emak nang anak sengono watese”, artinya kasih sayang seorang ibu terhadap anak

tidak ada batasnya maksudnya meskipun terjadi perceraian seorang ibu akan

merawat anaknya dengan baik meskipun harus banting tulang untuk membiyai

pendidikan dan pemeliharan anak. Biasanya seorang bapak “mungkur sedot”

artinya tidak bertanggung jawab setelah terjadi perceraian. Seorang bapak tidak

ikut membiayai pemeliharaan dan pendidikan seorang anak.173

171 Hilman Hadikusuma, 2003, Op.cit, hal 192

172 Muhamad Jefri Ananta, Dominikus Rato, I Wayan Yasa, Perceraian dan Akibat

Hukumnya terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut Hukum Adat Osing di Desa Aliyan,

Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, e-Journal Lentera Hukum, Vol 4, No 3, 2017, hal

225

173 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 85: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

74

3. Kewajiban orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut

Hukum Agama

Agama Islam, mengajarkan bahwa anak adalah amanat Allah yang harus

dirawat, dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak adalah

kewajiban orang tua yang paling utama yang akan berpengaruh kuat dalam

perkembangan anak pada masa-masa selanjumya. Kewajiban itu meliputi

pendidikan jasmani dan rohani yang dimulai sedini mungkin. Sehingga harus

dipertanggung jawabkan oleh setiap orang tua dalam berbagai aspek

kehidupannya.174

Pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berterusan, berkembang,

dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak yang mempelajari apa

saja yang ada di lingkungannya. Dengan kemahiran yang diperolehnya anak akan

mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup

kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya dimasa

yang akan datang. Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses

mendidik, mengasuh dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan

orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai

baik dan terpuji bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. 175

Bahkan dalam Islam sistem pendidikan keluarga ini dipandang sebagai

penentu masa depan anak. Sampai-sampai di ibaratkan bahwa surga neraka anak

tergantung terhadap orang tuanya. Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang

174 Safuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, (Pustaka

Bangsa Press: Jakarta), 1998 hal. 84

175 Anjani Sipahutar, Tan Kamello, Runtung, Utary Maharany Barus, Tanggung Jawab

Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia

Yang Beragama Islam, USU Law Journal, Vol.4, No.1 Januari 2016 hal 157

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 86: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

75

menjadi generasi yang rabbani yang beriman, ber-taqwa, dan beramal shaleh

adalah tanggung jawab orangtua. Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri

menurut hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas dibebankannya

kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya yaitu:176

a. Memberi nafkah mut’ah yang pantas berupa uang atau barang

b. memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama bekas istri

dalam masa idah

c. memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi

sampai ia dewasa dan dapat mandiri.

d. melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lain ketika

perkawinan berlangsung dahulunya.

Bagi ajaran Kristen, ikatan perkawinan akan putus hanya disebabkan oleh

kematian salah satu pihak. Menurut ajaran gereja, apa yang telah disatukan oleh

Tuhan maka tidak dapat dipisahkan oleh manusia.177

Maksudnya, laki-laki dan

perempuan yang telah disatukan oleh Tuhan melalui pendeta dalam sebuah

perkawinan, maka ikatan perkawinan tersebut akan terus menyatukan laki-laki

perempuan yang statusnya menjadi suami isteri ke surga.

Perkawinan bagi gereja adalah keabadian sampai akhirat kelak di surga

rumah Tuhan. Perceraian tidak dikenal dalam hukum gereja. Apabila karena

sesuatu hal sehingga perkawinan harus diakhiri maka langkah yang ditempuh oleh

gereja adalah dengan cara membatalkan perkawinan tersebut.178

Ketentuan mengenai akibat perceraian dari ikatan perkawinan pada

dasarnya tidak ada, oleh karena agama Katolik menolak perceraian. Jika mereka

melakukan perceraian sipil maka apa yang diatur oleh KUHPerdata dapat menjadi

176 Hilman Hadikusuma, Op.cit hal 192

177

Matius 19:6

178 Ali Imron, Memahami Konsep Perceraian dalam Hukum Keluarga, Buana Gender:

Vol. 1, Nomor 1, Januari-Juni 2016, hal 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 87: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

76

pedoman sepanjang diatur dalam perundang-undangan nasional. Namun

dikarenakan sulitnya mendapatkan keputusan perceraian dari Gereja, mungkin

terjadi adalah “perceraian semu”, yaitu suatu perceraian yang tidak memutuskan

ikatan perkawinan, yang dikenal dalam KUHPerdata dengan sebutan perpisahan

dari meja dan tempat tidur. 179

Bagi umat Buddha Indonesia akibat putusnya perkawinan karena

perceraian, sebagai berikut:180

a. Baik ayah maupun ibu berkewajiban untuk memelihara dan mendidik

anak-anaknya, sebab dalam hal perceraian tidak dikenal adanya istilah

bekas ayah atau bekas ibu, ayah tetap menjadi ayah anak-anaknya, ibu

tetap menjadi ibu anak-anaknya, yang ada hanyalah istilah bekas suami

dan bekas istri

b. Semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya, ditanggung

sepenuhnya oleh ayah dari anak-anaknya

c. Dalam hal-hal tertentu, apabila ayah tidak dapat menanggung sepenuhnya

atau tidak dapat sama sekali menanggung biaya-biaya pemeliharaan dan

pendidikan anaknya maka oleh Dewan Pandita Agama Budha Indonesia

(Depabudi) setempat dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya-

biaya tersebut.

Perceraian merupakan suatu hal yang dihindari dari setiap pasangan,

karena perceraian tidak hanya memiliki dampak pada kedua belah pihak antara

suami dan isteri tetapi juga keluarga terutama anak dari hasil perkawinan tersebut,

sehingga perceraian sangat dihindari dan diharapkan tidak pernah terjadi.

Bagi umat Hindu tentang akibat perceraian, masalah yang paling pokok

menurut G.Pudja yang harus diperhatikan ialah “masalah tanggung jawab dan

tugas yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan

179 Kanon (Kitab Hukum Kanonik Gereja Khatolik) 1151 -1155 dan 1692 - 1696.

180 Pasal 40 HPAB ( Hukum Parisada Hindu Dharma)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 88: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

77

soal harta warisan”. Jika terjadi perceraian di Pengadilan Negara , sedangkan istri

bersangkutan tidak punya anak , atau karena hal lain akibat modernisasi, maka

yang perlu mendapat perhatian ialah Hakim akan memutuskan perihal yang

menyangkut harta bersama atau harta gono-gini atau guna kaya yang semacam

harta pencaharian yang seharusnya dibagi antara bekas suami atau bekas istri,

kemudian harta bawaan suami atau istri berupa warisan, harta tetadaan (barang

bawaan) yang tentunya harus kembali kepada pembawanya dan jiwadhana atau

stridhana (barang bawaan istri) yang seharusnya kembali kepada istri atau kerabat

istri.181

181

Hilman Hadikusuma, 2003, Op.cit hal 195

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 89: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

78

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANGTUA YANG BERCERAI

MELARANG PASANGAN YANG LAIN UNTUK BERTEMU DENGAN

ANAKNYA

A. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian

Setiap manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan pasti

mendambakan agar keluarga yang dibinanya dapat berjalan secara harmonis dan

selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mencapai keluarga yang

bahagia ditempuh upaya menurut kemampuan masing-masing keluarga. Namun

demikian, banyak juga keluarga yang gagal dalam mengupayakan

keharmonisannya, impian buruk akan terjadi yaitu timbulnya suatu benturan

perceraian yang tidak pernah mereka harapkan.182

Perkawinan ada kalanya tersandung oleh “kerikil-kerikil tajam”, ada

gelombang tak terduga yang siap menghantam bahtera rumah tangga, seperti

adanya perbedaan pendapat, ada suka dan duka, dan yang terpenting adalah

menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tak mungkin

dirubah yang cenderung menimbulkan pertengkaran-pertengkaran dalam

membina rumah tangga.183

Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan yang terus

menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang. Pertengkaran

menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka terhadap pasangan.

182

Armansyah Matondang, Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam

Perkawinan, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, Vol 2 ,No. 2, 2014 hal 142

183

Badruddin Nasir, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perceraian Di Kecamatan

Sungai Kunjang Kota Samarinda, Jurnal Psikostudia Universitas Mulawarman, Vol. 1, No. 1,Juni

2012, hal. 33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 90: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

79

Pertengkaran yang meluap-luap menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus

memicu perceraian.184

1. Faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian

Untuk melakukan perceraian harus disertai dengan alasan yang cukup

antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.185

Dalam

Kitab Undang undang Hukum Perdata disebutkan macam-macam alasan

perceraian. Faktor penyebab perceraian, diantaranya:186

a. Ketidak harmonisan dalam rumah tangga

Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan

oleh pasangan suami istri yang akan bercerai. Ketidak harmonisan bisa

disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak,

dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah

terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.

b. Krisis moral dan akhlak

Selain ketidak harmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering

memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat

dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami

yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku

lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk,

berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.

c. Perzinaan

Masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah

perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh

suami maupun istri.

d. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk

mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah

berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.Untuk mengatasi kesulitan

akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri

untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk

mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang

terbaik.

184 Armansyah Matondang, Loc.cit

185

Pasal 39 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

186 Dodi Ahmad Fauzi, Perceraian Siapa Takut!, (Restu Agung: Jakarta, 2006) hal 28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 91: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

80

e. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan

Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya

masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa,

tapi percekcokan yang berlarutlarut dan tidak dapat didamaikan lagi

secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya

perselingkuhan antara suami istri.

Dalam hubungan suami isteri, putusnya perkawinan dapat disebabkan

oleh beberapa latar belakang. Dalam hal ini ada 4 (empat) kemungkinan, yaitu:187

a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah

seorang suami isteri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir

pula hubungan perkawinan;

b. Putusnya perkawinan oleh kehendak si suami oleh alasan tertentu

dan dinyatakan kehendaknya dengan ucapan tertentu. Perceraian

dalam bentuk ini sisebut talak;

c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri melihat suatu

yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak

berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang

disampaikan si isteri dengan cara tertentu ini deterima oleh suami dan

dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu.

Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu;

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah

melihat adanya sesuatu antara suami dan/atau pada isteri yang

menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.

Putusnya perkawinan dalam bentuk itu disebut fasakh .

Undang - undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan

bahwa,“Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.188

Oleh karena itu perkawinan harus dipelihara dengan baik karena selain

merupakan kewajiban, perkawinan juga mempunyai hubungan yang erat sekali

dengan agama (kerohanian), sehingga perkawinan bukan, saja mempunyai unsur

187 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Prenada Media: Jakarta)

2006, hal.197

188 Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 92: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

81

lahir (jasmani), tetapi unsur bathin (rohani) yang juga mempunyai peranan penting.

Pada kenyataannya tujuan dari perkawinan itu sering kali berakhir di tengah jalan

yang mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami istri karena adanya

alasan-alasan189

seperti yang disebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu190

:

a. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

Berdasarkan Pandangan Agama, dalam hukum Islam alasan perceraian

hanya satu macam saja, yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan

membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana

firman Allah dalam yang berbunyi:191

“Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya (suami

dan isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan

seorang hakam dari keluarga isterinya. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan,

niscaya Allah memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui dan Maha Mengawasi”.

Bagi yang beragama Islam sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam ada

penambahan sebagai berikut:192

a. Suami melanggar taklik talak

189 Lina Kushidayati, Legal Reasoning Perempuan Dalam Perkara Gugat Cerai Di

Pengadilan Agama Kudus Tahun 2014, YUDISIA, Vol. 6, No. 1, Juni 2015 , hal. 144

190 Pasal 19 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

191

Qur’an Surat Al An-Nisa’ ayat 35

192

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 93: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

82

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-

rukunan dalam rumah tangga.

Ketika berbicara mengenai perceraian di dalam hukum gereja, maka warga

gereja akan mengalami kesulitan, karena gereja tidak mengatur mengenai

perceraian, meskipun pada kenyataannya banyak juga warga gereja yang bercerai

secara hukum, tapi bagi warga gereja yang benar-benar mengimani dan

melaksanakan ajaran Kristus yang diyakini sebagai Sang Raja Gereja, maka akan

sulit jika menempuh jalan perceraian untuk mengakhiri perkawinannya, sekalipun

terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, maupun telah terjadi pisah

ranjang dalam waktu yang cukup lama. Pasangan suami-isteri tidak ada yang

menginginkan perkawinannya gagal.193

Setiap orang mengharapkan perkawinannya senantiasa diwarnai cinta

kasih, kebahagiaan dan kesetiaan, serta langgeng, “sampai maut memisahkan.”

Apalagi, prinsip iman Kristen mengenai pernikahan adalah monogami (satu

pasangan), “fidelitas” (kesetiaan) dan “indisolubilitas” (tak terceraikan), sering

berhadapan dengan kenyataan yang berbeda, yakni ada alasan-alasan yang

membuat pasangan tersebut menghadapi perkawinan yang mereka perjuangkan

ternyata tidak berjalan sebagaimana yang mereka cita-citakan sebelumnya dan

sampai pada kenyataan untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian.194

Norma hukum dan norma agama yang ada di Indonesia ada dan tercipta

untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat supaya berjalan dengan

193 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta,2004,

hal.153.

194

Craig S. Keener And Marries Another, Divorce and Remarriage in the Teaching of the

New Testament (Peabody, MA: Hendrickson) , 1991 hal. 66.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 94: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

83

baik dan seimbang, terdapat pedoman-pedoman dan sanksi-sanksi yang berlaku

untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Apa yang tidak diatur pada norma yang satu, bisa dilengkapi oleh norma

yang lain. Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut maka kalangan Kristen

tidak pernah menganjurkan perceraian, karena juga perceraian dilarang dalam

Firman Tuhan yang terdapat dalam kitab Matius 19: 4–6 195

, dalam hal perceraian

sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri, Gereja Kristen memang tidak pernah

menganjurkan perceraian terjadi karena perceraian merupakan larangan, tetapi

ketika perceraian sudah terjadi dan diputuskan oleh pengadilan Gereja Kristen

dapat memahami bahwa perceraian dapat terjadi.

Dalam hal ini bukan berarti umat Kristen Protestan sejalan dengan alasan

alasan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, tetapi Gereja lebih memahami kepada pribadi atau pihak yang

bersangkutan, dimana kehidupannya dapat menjadi lebih baik.196

2. Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya perceraian

Permasalahan didalam rumah tangga sering kali terjadi, dan memang

sudah menjadi bagian dalam lika-liku kehidupan didalam rumah tangga, dan dari

sini dapat diketahui kasus perceraian yang kerap kali menjadi masalah dalam

rumah tangga. Pada dasarnya faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian

sangat unik dan kompleks dan masing-masing keluarga berbeda satu dengan

195 Matius 19 : 4-6, “19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang

menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 19:5 Dan

firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,

sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan

satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

196 Peniel C. D. Maiaweng, Perceraian Dan Pernikahan Kembali, Jurnal Jaffray: Vol. 15,

No. 1, April 2017, hal 99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 95: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

84

lainnya. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam rumah

tangga adalah:

a. Faktor Ekonomi.

Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua

pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga

seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan

berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan. Dengan

melihat kembali keadaan penduduk, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa

sebagian besar penduduk Indonesia umumnya berpenghasilan rendah bahkan

seringkali penghasilan yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidup,

sehingga dengan tidak tercukupinya kebutuhan hidup merupakan penyebab utama

terjadinya pertentangan dan ketidakbahagiaan dalam keluarga. 197

Demikian juga dengan cara penggunaan dan pengelolaan uang dan

susunan anggaran belanja merupakan tugas yang penting dalam keluarga. Dengan

penghasilan yang ada keluarga bertahan hidup dan berusaha menghadapi

pertengkaran-pertengkaran yang mungkin timbul jika uang tidak cukup sampai

akhir bulan. Oleh karena itu harus membuat keputusan yang tepat menangani

anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dan pengeluaran lainnya.

Dalam kehidupan keluarga peran suami istri sangat penting apalagi dalam

mengelola keuangan. masyarakat mempunyai paradigma bahwa nafkah suatu

kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi. Hukum membayar

nafkah untuk istri, dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban

197 Armansyah Matondang, Op.cit hal 143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 96: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

85

ini bukan disebabkan karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga,

tetapi kewajiban ini yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan

istri. Pengaturan nafkah dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dikatakan bahwa “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan

segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.

Dalam pengaturan Undang-Undang Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah

yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami. 198

Hal tersebut diperjelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPer) juga ada pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit yang

mengatakan bahwa suami wajib untuk melindungi isterinya dan memberikan

kepada isterinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan

kemampuan si suami.199

b. Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT)

Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau sering disingkat KDRT

adalah segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi atas dasar perbedaan jenis

kelamin yang mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terutama terhadap

perempuan termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi

dalam lingkup publik maupun domestik.200

Pengertian KDRT menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah “setiap perbuatan

terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan

198 Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

199 Pasal 107 ayat (2) KUHPerdata

200

Majelis Adat Aceh, Pedoman Peradilan Adat di Aceh, diterbitkan atas kerjasama

Bappenas, European Union, APPS dan UNDP tahun 2008, hal. 15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 97: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

86

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”201

UU PKDRT menyebutkan mengenai ruang lingkup rumah tangga yang

turut mengindikasikan pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam tindak KDRT

baik sebagai pelaku atau korban, meliputi; suami, isteri, dan anak termasuk yang

berstatus anak angkat atau tiri; orang-orang yang memiliki hubungan keluarga

yang menetap dalam rumah tangga seperti; mertua, menantu, ipar, besan; atau

orang yang bekerja dan menetap dalam rumah tangga.202

Menurut Mufidah beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT yang terjadi

di masyarakat, antara lain:203

1) Budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki

kekuasaan merasa lebih unggul. Pengunggulan laki-laki atas perempuan

ini menjadikan perempuan berada pada posisi rentan menjadi korban

KDRT.

2) Pandangan dan pelabelan negatif (stereotype) yang merugikan, misalnya

laki-laki kasar, maco, perkasa sedangkan perempuan lemah. Pandangan ini

digunakan sebagai alasan yang dianggap wajar jika perempuan menjadi

sasaran tindak KDRT.

3) Interpretasi agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal agama.

Ketika istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami

berhak memukul dan ancaman bagi istri adalah dilaknat oleh malaikat.

4) KDRT berlangsung justru mendapatkan legitimasi masyarakat dan

menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara, dan praktek di masyarakat

5) Antara suami dan istri tidak saling memahami.

201 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (UIN Press: Malang),

2008, hal. 268

202

Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Pelaku Kekerasan Dalam

Rumah Tangga 203 Mufidah Ch, Op.cit hal 273-274

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 98: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

87

c. Faktor pihak ketiga

Faktor pihak ketiga dimaksud adalah perselingkuhan. Selingkuh, secara

etimologi diartikan sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu

untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang. Sebab

perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh pria, tetapi juga wanita di

segala lapisan dan golongan, bahkan tidak memandang usia. Faktor-faktor

terjadinya perselingkuhan antara lain: 204

1) peluang dan kesempatan;

2) konflik dengan istri;

3) seks tidak terpuaskan

4) abnormalitas atau animalistis seks;

5) iman yang hampa;

6) karena hilangnya rasa malu.

Masalah perselingkuhan dalam Undang-undang Perkawinan tidak

disebutkan secara jelas, namun dampak dari perselingkuhan ini dapat

menyebabkan suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

berujung pada perceraian.205

Secara umum faktor yang menyebabkan pasangan

suami istri memiliki wanita idaman dan pria idaman lain dalam rumah tangganya,

antara lain disebabkan karena kondisi ekonomi yang kurang, dan rendahnya

pemahaman tentang hak dan kewajiban seorang suami istri. Hal ini membuat

mereka tidak memahami tujuan dari suatu perkawinan. Mereka hanya memandang

bahwa tujuan perkawinan sematamata untuk memenuhi kebutuhan biologis tanpa

memperhatikan tujuan yang bersifat ibadah. Perselingkuhan pada umumnya

banyak sekali terjadi pada anggota keluarga yang kurang memiliki kualitas

204 Harjianto, Roudhotul Jannah, Identifikasi Faktor Penyebab Perceraian Sebagai Dasar

Konsep Pendidikan Pranikah di Kabupaten Banyuwangi, Vol 19, No 1, Februari 2019, hal 38-39

205 Pasal 39 ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 99: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

88

keagamaan yang mantap, lemahnya dasar cinta, sikap egois dari masing-masing,

komunikasi kurang lancar dan harmonis, emosi kurang stabil, dan kurang mampu

membuat penyesuaian diri.206

Dengan terjadinya perselingkuhan yang dilakukan baik oleh pihak suami

atau istri, pihak yang dirugikan atau disakiti akibat perselingkuhan merasa marah,

kecewa, sakit hati, mengalami gangguan fisik, gangguan sosial, ataupun gangguan

psikologis, serta sikap tidak saling percaya antara satu dengan yang lain sehingga

dapat menimbulkan percekcokan, perselisihan, dan pertengkaran dalam rumah

tangganya secara terus menerus dan sulit untuk didamaikan.207

d. Faktor Tanggung Jawab

Secara umum masalah yang dialami subjek untuk memutuskan bercerai

yaitu merasa hak-haknya sudah tidak terpenuhi lagi.Hal ini terjadi karena tidak

ada tanggung jawab dari suami baik secara moral maupun material. Secara moral

mereka ditinggalkan dalam waktu yang lama dan suami tidak memberi kabar

berita, sedangkan secara materiil subjek tidak diberikan biaya hidup sehari-hari

sebagaimana mestinya. Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima

pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain. 208

Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung jawab itu sudah

menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan yang pasti masing-

206 M. Surya, Bina Keluarga, (Graya Ilmu: Bandung ,2009), hal 38

207

Ibid

208 Purwaningsih, Faktor-faktor yang mempengaruhi gugat cerai dipengadilan agama

Kota Bogor. Jurnal Yustisi : Vol 1 No 1, 2015, hal 11-16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 100: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

89

masing orang akan memikul suatu tanggungjawabnya sendirisendiri. Apabila

seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa

untuk tindakan tanggung jawab tersebut karena tanggung jawab merupakan

sebuah kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. 209

Kehidupan rumah tangga, mengharuskan masing-masing pihak, baik

suami maupun istri, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus

dilaksanakan. Kewajiban suami dalam perkawinan adalah memelihara istri dan

menyediakan kebutuhan hidup yang layak bagi istri dan anaknya. Sebaliknya

seorang istri juga mempunyai kewajiban untuk menjaga atau mengatur rumah

tangga, sehingga apapun yang menimpa keluarganya merupakan masalah yang

harus ditanggung dan diselesaikan bersama dalam sebuah keluarga. Semua

masalah yang timbul menjadi tanggung jawab suami dan istri.210

B. Faktor – faktor larangan bertemu anak pasca perceraian

Keluarga merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan

manusia yang setiap hari selalu berinteraksi dengan manusia. 211

Setiap manusia

pasti ingin memiliki keluarga yang harmonis dan ideal, namun pada kenyataannya

tidak semua anggota keluarga mampu menjalankan perannya dengan baik,

menyebabkan fungsi keluarga tidak dapat berjalan secara maksimal.

Hal tersebut ada kalanya menjadi penyebab perselisihan yang berujung

pada perceraian dalam keluarga sebagai akibat dari hilangnya keserasian untuk

209 A. Jamil dan Fakhruddin, Isu dan realitas dibalik tingginya cerai gugat di Indramayu.

Jurnal Multikultural & Multi Religius Harmoni, Vol 14, No 2, 2015 hal 138-159

210

Ibid

211 Silfana Amalia Nasri, Haiyun Nisa, Karjuniwati, Bagaimana Remaja Memaafkan

Perceraian Orang Tuanya: Sebuah Studi Fenomenologis, Vol 1, No. 2, Juli 2018, hal 103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 101: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

90

mempertahankan keutuhan keluarga. Putusnya suatu ikatan perkawinan tidak

menjadi penyebab bagi anak untuk merasakan kurangnya kasih sayang dari orang

tua. Bagi orangtua yang tidak mendapat hak asuh tersebut , tidak memiliki

larangan untuk tetap berhubungan dengan sang anak. Sebab bagi anak, tidak ada

istilah mantan orang tua begitupun sebaliknya.212

Walaupun ajaran agama melarang untuk bercerai, akan tetapi kenyataan

seringkali tak dapat dipungkiri bahwa perceraian selalu terjadi pada pasangan-

pasangan yang telah menikah secara resmi. Tidak peduli apakah sebelumnya

mereka menjalin hubungan percintaan cukup lama atau tidak, romantis atau tidak,

dan menikah secara megah atau tidak, perceraian dianggap menjadi jalan terbaik

bagi pasangan tertentu yang tidak mampu menghadapi masalah konflik rumah

tangga atau konflik perkawinan. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, perceraian

tidak dapat dihentikan dan terus terjadi, sehingga banyak orang merasa trauma,

sakit hati, kecewa, depresi dan mungkin mengalami gangguan jiwa akibat

perceraian tersebut.213

Adapun faktor –faktor yang mengakibatkan larangan bertemu anak pasca

perceraian, diantaranya:

1. Faktor sakit hati diantara pasangan yang bercerai

Pasangan yang sudah bercerai biasanya memiliki hubungan yang tidak

baik dengan mantan suami atau istri sebelumnya. Rasa sakit hati setelah

keputusan pengadilan yang mengetuk palu sah perceraian, seringkali membuat

keduabelah pihak tidak bisa memaafkan satu sama lainnya. Smedes menyatakan

212 Ibid

213

Agoes Dariyo, Memahami Psikologi Perceraian dalam Keluarga, Jurnal

Psikologi.Vol 2. No 2, 2004 hal 94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 102: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

91

“Rasa sakit hati dapat menciptakan krisis pemberian maaf”. Hal ini terjadi jika

rasa sakit hati tersebut selalu bersifat pribadi, tidak adil dan mendalam. 214

Menanggapi hal larangan bertemu anakstelah bercerai, Sekjend Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati menegaskan, bahwa jika

pihak pemegang hak asuh anak menghalang-halangi pasangan lain bertemu anak

berarti sudah melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Perlindungan

Anak.Tidak ada alasan apapun untuk melarang seorang ayah atau ibu untuk

bertemu anaknya, termasuk Pengadilan sekalipun. Orang tua boleh berpisah

karena perceraian, kemudian disebut sebagai mantan suami atau mantan istri,

namun tidak ada istilah mantan anak.215

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah mengeluarkan hasil

laporan yang dibacakan Ketuanya, Asrorun Niam Sholeh. Mereka mencatat 55 %

(lima puluh lima persen) pelanggaran hak anak terkait keluarga dan pengasuhan

alternatif malah dilakukan oleh ibu. Seperti dilansir dari situs resmi KPAI, faktor

penyebab pelanggaran hak anak dalam keluarga yang tertinggi adalah akses

bertemu orangtua, kemudian disusul perebutan hak asuh, nafkah, dan penculikan

anak. Sekretaris KPAI Rita Pranawati menambahkan bahwa “ada persoalan

mendasar dalam pengasuhan anak, terutama pada keluarga pecah (broken home)

akibat perceraian. Sebab, baik ayah maupun ibu, masih memiliki pengetahuan

214

L.B. Smedes, Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve, Harpersan :

San Francisco, 1984, hal 88

215

Keterangan Rita Pranawati selaku Sekjend KPAI kepada awak media, pada Kamis 16

Maret 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 103: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

92

yang lemah soal pengasuhan anak. Bahkan para orangtua muda ini masih

mencontoh dari cara pengasuhan sebelumnya.”216

Rita menjelaskan, “tingginya angka perceraian juga terkait dengan

pelanggaran hak anak yang berhubungan dengan keluarga”. Di Indonesia,

perceraian belum memiliki dampak norma hukum pada anak. Hak asuh sering

dimaknai hak mutlak, ucap dia. “Ini semua dampak dari problema di keluarga,"

kata Rita yang menambahkan KPAI berupaya melakukan mediasi yang sifatnya

masih sukarela. Jadi bila sudah begini, sesakit hati apapun pasangan yang bercerai,

jangan menghalangi hak anak untuk bertemu dengan ayahnya. Sebab, peran

seorang ayah juga sama pentingnya dengan kehadiran ibu dalam tumbuh kembang

jiwa raganya.217

2. Faktor Intervensi dari Orangtua ataupun keluarga218

Faktor lain yang menjadi penyebab larangan bertemu anak yang ditujukan

kepada pihak yang bukan pemegang hak asuh adalah intervensi dari orangtua

ataupun keluarga. Ikut campurnya orangtua dalam seluruh prahara rumah tangga

anak, dapat menimbulkan efek yang cenderung kearah lebih negatif. 219

Keikut sertaan orang tua dalam rumah tangga anak sebagai bentuk

tanggung jawab orang tua terhadap anak pasca menikah pada kasus larangan

bertemu anak pasca terjadinya perceraian, banyak terjadi pada rumah tangga anak

yang bertempat tinggal berdekatan atau masih dalam satu rumah dengan keluarga

216 https://www.kpai.go.id/ Larangan bertemu anak disebut sebagai pelanggaran

Undang-undang Perlindungan Anak, diakses pada Kamis, 16 Januari 2020, 09:18 WIB

217 Ibid 218 Hasil wawancara dengan Pdt. J Sinaga, Pendeta GKPI Jemaat Khusus Cinta Damai,

pada 23 November 2019

219 Hasil wawancara dengan Bu Intan Purnama Samosir, adik kandung dari Keluarga

yang memiliki perkara larangan bertemu anak setelah berceraii, pada 18 November 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 104: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

93

orang tua. Awal mula terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga, faktor utama

yang menjadi pemicu adalah peran orang tua yang telalu mencampuri urusan

rumah tangga sang anak.

Orangtua yang berperan sebagai mertua, menganggap bahwa menantu

tidak mampu memberikan kasih sayang kepada sang anak dan cucu. Menantu

seringkali diberi logo sebagai ayah yang tidak bertanggungjwab dengan

keluarganya. Ayah yang berperan sebagai kepala rumah tangga, dalam hal ini

memiliki pekerjaan yang menuntutnya harus berpergian keluar kota dan negeri.

Dalam prahara rumah tangga ini, mertua berspekulasi bahwa setiap adanya

penugasan menantu keluar kota ataupun negeri , tidak pernah mengikut sertakan

keluarga. Hal ini menimbulkan kecurigaan kepada mertua, dan menyatakan bahwa

sang menantu telah memiliki “perempuan” lain.

Setelah terjadinya percekcokan yang tidak dapat dihindari, kedua belah

pihak memutuskan untuk tidak melanjutkan ikatan perkawinan, dan berakhir

kepada perceraian yang dilakukan di depan Pengadilan Negeri. Pada saat setelah

terjadinya perceraian, hingga saat ini sang Ayah tidak diperbolehkan untuk

bertemu dengan anaknya. Intervensi dari orangtua (ibu) dari sang ibu, melarang

menantu lelakinya untuk menemui sang anak ataupun cucunya. Karena beliau

menganggap bahwa menantunya tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai

seorang ayah. 220

Berdasarkan keterangan responden, sang Ayah telah memberikan nafkah

yang patut dan sesuai dengan putusan yang telah ditetapkan kepadanya. Hasil

220 Hasil wawancara dengan Pak Yohanes Samosir, seorang ayah yang memiliki perkara

larangan bertemu anak setelah bercerai, pada 20 November 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 105: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

94

wawancara menjelaskan bahwa, pada saat perceraian dilakukan, umur sang anak

masih berumur kurang lebih 8 tahun dengan keterangan akta lahir yang

menunjukkan bahwa sang anak memiliki kelahiran tahun 1998. Jika terhitung

sampai tahun 2019, maka kurang lebih 13 (tiga belas) tahun sang ayah tidak dapat

menghubungi ataupun menemui sang anak.

Latar belakang keluarga dapat mempengaruhi kehidupan seseorang setelah

menikah, kehadiran keluarga dari pihak pasangan tentu akan berdampak pada

pernikahan. Rasa kasih sayang orang tua yang berlebihan terhadap anaknya

terkadang memunculkan suatu konflik dalam rumah tangga anaknya, perasaan

ingin menebus kekurangan atau ketidakmampuan orang tua terhadap pendidikan

anaknya yang kemudian sekarang direalisasikan dalam bentuk grandparenting

(pengasuhan cucu), memberikan sokohan nafkah dalam rumah tangga anak, dan

keikutsertaan orang tua dalam memberikan pemecahan permasalahan anaknya

(nasehat), yang dalam hal ini peneliti maksud sebagai bentuk tanggung jawab

orang tua terhadap anak pasca menikah yang tidak semestinya. 221

C. Faktor –faktor penyebab orang tua yang bercerai melarang pasangan

lain untuk bertemu dengan anaknya Putusan Nomor:

365/PDT/2017/PT.MDN

Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya,

mereka bisa meminta kepada pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian

terjadi pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda

masing-masing yang diperoleh selama pernikahan, seperti rumah, mobil, perabot

dan lain sebagainya, dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban

221 Eva Muslimah, “ Intervensii Orang Tau Sebagai Faktor Pemicu Perceraian (Studi

Analis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat”, (Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif

Hiayatullah: Jakarta), 2009, hal 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 106: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

95

merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak

perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri, tetapi juga anak-anak. Anak-

anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. 222

Masalah utama yang dihadapi oleh suami-istri sebagai dampak perceraian

adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta

hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship). Meskipun kehidupan

setelah perceraian merupakan suatu kehidupan baru, namun masih ada ikatan-

ikatan di antara pasangan yang bercerai.223

Ikatan yang paling penting adalah ikatan sebagai orang tua dari anak yang

dilahirkan selama perkawinan. Setelah bercerai, mantan pasangan suami-istri

harus mendefinisikan kembali hubungan dan peran mereka sebagai ayah dan ibu

yang sudah tidak lagi tinggal bersama dalam satu rumah. “Relational Styles” ini

bergerak dari mantan pasangan sebagai sahabat sampai dengan mantan pasangan

sebagai musuh yang paling dibenci.224

Beberapa perlakuan orang tua lainnya

setelah perceraian adalah berusaha menarik simpati anak untuk mencari informasi

melalui anak tentang mantan pasangan serta melibatkan anak dalam kondisi

permusuhan.225

Berdasarkan Putusan Nomor:32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, hal yang memicu

adanya tindakan larangan bertemu dengan anak adalah kehendak dari salah satu

222 Darmawati H, Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi, Sulesana: Vol 11 No 1, 2017,

hal 64

223 Ibid

224 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Toha Putra:Semarang), 2002, hal.

47.

225

Zuly Qodir, Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik Cetakan- II (Pustaka

Pelajar: Yogyakarta), 2011, hal. 86.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 107: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

96

orang tua yang melarang anak untuk bertemu dengan pasangannya. Hali ini

berdasar dari keterangan yang dijelaskan oleh saksi-saksi Penggugat, bahwa

Tergugat hanya mengizinkan Penggugat untuk melihat anaknya pada hari Sabtu

saja, namun seiiring waktu Penggugat tidak diperbolehkan sama sekali untuk

melihat anaknya. Saksi juga menambahkan bahwa pada dasarnya sejak awal

pernikahan Tergugat selaku suami tidak pernah menafkahi Penggugat. Mendengar

penjelasan dari beberapa pihak bahwa Tergugat yang sering menghalangi

Penggugat bertemu dengan sang anak dan tidak pernah menafkahi keluarga,

sehingga membuat Tergugat kehilangan hak asuh anaknya sebagai ibu.

Berbeda halnya dengan penjelasan yang diberikan oleh saksi-saksi dari

pihak tergugat. Saksi menyatakan bahwa, Tergugat adalah pihak yang merawat

anak, sedangkan Penggugat tidak tahu cara untuk merawat anak, dimana sejak

lahir anak Penggugat tidak tahu cara memandikannya dan pada waktu tengah

malam anak menangis dan yang memberi susunya adalah Tergugat.

Saksi menambahkan, Penggugat juga bekerja dan pulang kerja jam 7

malam dan setelah pulang kemudian mandi dan makan selanjutnya langsung tidur

dan tidak merawat anak. Penggugat jarang bersama dengan anak selama masa

liburan dan intesitas bertemu keluarga adalah jarang.

Berdasarkan keterangan saksi Tergugat tersebut, alasan Tergugat melarang

Penggugat bertemu dengan sang anak, adalah Tergugat merasa bahwa Penggugat

hanya memikirkan urusan kerja dan mencari tambahan nafkah di luar rumah.

Penggugat melupakan peran utamanya sebagai istri dan ibu bagi sang anak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 108: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

97

Seorang perempuan yang bekerja di luar rumah pada dasarnya memiliki

banyak manfaat selain pada diri sendiri juga terhadap keluarganya. Namun

seringkali masih timbul dilema atau konflik di antara mereka sendiri.226

Dampak

keterlibatan perempuan dalam melakukan pekerjaan di berbagai bidang ekonomi

membawa dampak positif dalam membantu meringankan beban dan

tanggungjawab yang dipikul oleh seorang suami, yaitu menambah penghasilan

untuk meningkatkan taraf hidup serta menjamin pendidikan dan kesehatan

keluarganya. Namun di sisi lain, bahwa istri-istri yang bekerja untuk memperoleh

penghasilan bagi keluarganya memiliki akses dan kontrol yang penuh terhadap

sumberdaya keluarga. Perempuan mempunyai kekuasaan yang nyata dalam

keluarga serta mendominasi keputusan-keputusan keluarga.227

Seorang Ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana dalam mengatur

waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia,

namun tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang Ibu adalah mengatur

rumahtangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore

hari, tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dan bercanda dengan

suami dan anak-anaknya serta memeriksa tugas-tugas sekolah anaknya, meskipun

Ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Pengorbanan tersebut

226 H.Bahar dan H. Haris, “Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Forum

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Studi di Desa Panciro Kecamatan Bajeng Kabupaten

Gowa)”, Jurnal Tomalebbi No 2, 2016,hal 26. 227 A.Ismail , A.H Salir, H. Akib, & R.Salam, “Snapshot of Society Social-Economic

Welfare based on Human Development Index in Polewali Mandar Regency, Indonesia. In

International Conference on Public Organization VI (ICONPO VI)”, Journal Thammsat

University, Tha Prachan Campus, 2016, hal 847

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 109: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

98

akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh dan

berkembang menjadi pribadi yang kuat dan stabil.228

Dampak lain atas keterlibatan perempuan dalam melakukan pekerjaan

adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang yang dapat dicurahkan oleh seorang

perempuan kepada anak-anak dan suami karena waktu untuk keluarga banyak

yang tersita oleh pekerjaan di luar rumah, artinya proses pembagian waktu antara

keluarga dan pekerjaan tidak dapat dioptimalkan dengan baik. Dalam kehidupan

berkeluarga, antara suami dan istri dituntut adanya hubungan yang baik dalam arti

diperlukan suasana yang harmonis.229

Wanita karir jelas akan memiliki kelelahan fisik yang kuantitasnya tinggi,

sehingga cenderung membuat emosi tidak stabil. Akhirnya ketika berjumpa

dengan anak usai bekerja, kualitas perjumpaannya tidak maksimal diakibatkan

lelah karena telah mencurahkan tenaga dan pikiran pada pekerjaan. Seorang anak

yang tidak mendapat perhatian penuh dari orangtua, secara tidak langsung akan

mencari figure diluar rumah yakni teman sebayanya dan masyarakat

disekelilingnya. Bahkan juga TV dan internet juga turut besar peranannya dalam

memberikan kontribusi pembentukan kepribadiannya. 230

Peran orangtua sangat penting dalam memberi batasan konsep positif pada

anaknya. Sekalipun teman sebaya membantu tugas perkembangan remaja, namun

sang anak perlu ditanamkan konsep filter terhadap informasi eksternal. Konsep

itu relatif sempurna ketika orangtua yang mendidikkannya.

228 Ibid

229 H.Bahar dan H. Haris , Op.cit hal 38

230

Eva Meizara Puspita Dewi, Basti, “Pengasuhan Ibu Berkarir Dan Internalisasi Nilai

Karir Pada Remaja”, Vol. 03, No.01 Januari 2015, hal 167

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 110: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

99

Pada tahun 2017, Tergugat melayangkan memori banding atas

ketidakpuasaanya dengan amar putusan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari memori

banding yang diajukan oleh tergugat pada Putusan Nomor :

365/PDT/2017/PT.MDN, Pembanding selaku tergugat bernama, Susanto dalam

memori banding yang diajukannya menyatakan:

1. Bahwa sejak anak Pembanding dan Terbanding (ic. Philbert Vladilim)

lahir, Pembanding yang merawat dan mengurus seluruh kebutuhan sehari-

hari anak Pembanding dan Terbanding termasuk memandikan, memberi

makan, serta keperluan lainnya yang seharusnya menjadi kewajiban

Terbanding selaku ibu dari anak Pembanding dan Terbanding.

2. Pembanding menilai bahwa Judex Factie telah salah dan keliru

mengabulkan petitum dalam gugatan, dengan nomor perkara

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn. yang menyatakan “Menetapkan Penggugat

sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat dengan Tergugat yang

bernama Anak, laki-laki yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di

Medan” .

3. Bahwa selain itu, Judex Factie juga dalam amar putusannya tidak

memberikan kesempatan dan hak kepada Pembanding untuk dapat

bertemu anak Pembanding dan Terbanding setiap hari dan hak untuk

membawa anak Pembanding dan Terbanding tinggal bersama Pembanding

pada setiap hari libur yang ditentukan oleh Pemerintah, sehingga hal ini

telah mencederai peradilan yang berkeadilan bagi setiap para pihak yang

berperkara .

4. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka baik ibu atau bapak

berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata

berdasarkan kepentingan anak, dengan demikian Pembanding juga

memiliki hak untuk mengasuh anak Pembanding dan Terbanding. Judex

Factie telah salah menerapkan hukum dengan menghilangkan hak

Pembanding untuk dapat memelihara dan mendidik anak kandungnya serta

tidak memberikan hak kepada Pembanding untuk dapat bertemu dengan

anaknya.

Berdasarkan memori banding yang diajukan dalam Putusan Nomor

365/PDT/2017/PT.MDN, Pembanding menilai faktor penyebab larangan bertemu

anak, terletak pada kekeliruan Judex Factie. Hal ini dikuatkan oleh Pembanding

dalam memori bandingnya yang menyatakan bahwa, “judex factie juga telah

mengabaikan dalil jawaban Pembanding dalam perkara a quo dan fakta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 111: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

100

persidangan dari saksi-saksi yang dihadirkan oleh Pembanding, dimana akibat

pertengkaran dan perselisihan antara Pembanding dan Terbanding adalah

dikarenakan sikap Terbanding yang lebih sibuk bekerja daripada mengurus anak

Pembanding dan terbanding.

Berdasarkan fakta persidangan telah membuktikan Terbanding setiap hari

pergi bekerja dari pukul 06.30 Wib dan pulang kerja pada pukul 7 malam dan

setelah pulang kemudian mandi dan makan, selanjutnya langsung tidur dan tidak

merawat anak”.231

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang

diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data

yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi,

persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan.

Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung

jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.232

Dalam

memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang

terungkap dipersidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.233

Menurut pendapat Ibu Riana Pohan Hakim Pengadilan Negeri Medan

tanggal 13 November 2019, bahwa perbuatan yang dilakukan diluar dari Putusan

yang sudah dijatuhkan dalam Persidangan, adalah tanggung jawab dari pihak-

231 Ibid

232

Pasal 164 HIR

233 Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 112: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

101

pihak yang bersengketa. Majelis Hakim akan mengambil keputusan dengan

seadil-adilnya.

Jika dalam perkara dalam putusan ini, Tergugat merasa bahwa putusan

telah melarang beliau bertemu dengan sang anak, hal tersebut adalah diluar dari

penguasaan Majelis Hakim. Putusan dalam Perceraian yang termuat dalam

Pengadilan tingkat pertama, yaitu putusan Nomor 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,

Majelis hanya menentukan bahwa sang ibu selaku Penggugat adalah pihak yang

memegang hak asuh dari anak Penggugat dan Tergugat.

Ibu Riana Pohan juga menambahkan, selama tidak terjadinya kekerasan

fisik terhadap anak dan tidak mengganggu psikologi sang anak, hal tersebut belum

dikategorikan kepada perbuatan yang dapat dibawa ke ruang lingkup Pengadilan.

Beliau berpendapat bahwa hal yang lumrah, setelah terjadinya perceraian, antar

pasangan akan sering terjadi percekcokan untuk bertemu dengan sang anak,

dikarenakan timbulnya rasa egois untuk menghindari bertemu dengan mantan

pasangannya.

Faktor-faktor lain yang menyebabkan adanya larangan untuk bertemu

dengan anak setelah perceraian juga dapat dipicu dari tindakan atau sikap buruk

yang pernah dilakukan oleh orang tua. Hal ini dapat dilihat pada Putusan No.

047/Pdt.G/2018/PTA Bdg. pada memori banding yang diajukan oleh Pembanding

pada 26 Desember 2017. Pada point memori banding disebutkan sikap Penggugat

yang selalu memarahi anak, dan Tergugat yang meminta Penggugat menghentikan

sikapnya yang kasar terhadap anak, Penggugat diduga menjalani hubungan atau

setidak-tidaknya dekat dengan pria lain, serta Penggugat tidak pernah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 113: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

102

menunjukkan sikap hormat dan rasa sayang serta kepedulian terhadap mertua.

Penggugat/Terbanding maupun orang tuanya seringkali bersikap kasar kepada

anak, perlakuan/sikap tersebut beberapa kesempatan diceritakan langsung oleh

anak.

Perlakuan yang buruk yang dicantumkan pada memori banding yang

diajukan dalam putusan No 047/Pdt.G/2018/PTA Bdg, dimaksudkan adalah sikap

dari istri yang dinilai oleh Tergugat dapat menggangu perkembangan sang anak.

Secara kodrat orang tua berperan dan berfungsi juga berfungsi sebagai pendidik,

di mana selain memberikan perlindungan dan pemeliharaan kepada anaknya,

orang tua juga berkewajiban memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anak-

anaknya, karena melalui pendidikan ini anak akan memperoleh pengalaman dan

dapat mengembangkan diri secara aktif dan optimal. Sebagai pendidik orang tua

mewariskan nili-nilai kepada anak melalui latihan-latihan atau pembiasaan.234

234 Syafi’ ah, Peran Kedua Orang Tua Dan Keluarga (Tinjuan Psikologi Perkembangan

Islam Dalam Membentuk Kepribadian Anak),Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 1 Januari-Juli 2012

hal 113.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 114: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

103

BAB IV

ANALISA TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR 365/PDT/2017/PT.MDN

A. Kasus Posisi

1. Kronologi kasus

Peristiwa ini diawali dengan adanya gugatan cerai yang diajukan oleh Rita

(Penggugat/Terbanding) terhadap Susanto (Tergugat/Pembanding) pada

pengadilan tingkat pertama dengan pendaftran nomor perkara

23/DT.G/2016/PN/MDN. Penggugat dengan surat gugatannya tanggal 26 Januari

2016 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan

pada tanggal 26 Januari 2016 dalam Register Nomor 23/PDT.G/2016/PN.MDN,

telah mengajukan gugatan didasari oleh beberapa dalil sebagai berikut :

a. Bahwa, Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah yang telah

melakukan perkawinan secara agama Budha di Medan pada tanggal 14

Nopember 2013 di Vihara Buddhayana Cetya Paramita Jl. Binjai KM. 8,5

Psr.V Medan dihadapan Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra

sebagaimana terbukti dari Catatan Pernikahan Buddhis dan telah dicatatkan

pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

sebagaimana terbukti dari Kutipan Akta Perkawinan No.

2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus 2014

b. Sejak menikah, Penggugat dengan Tergugat tinggal serumah ditempat

alamat Tergugat sekarang ini, dan pada mulanya kehidupan rumah tangga

Penggugat dengan Tergugat berjalan rukun dan damai sebagaimana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 115: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

104

layaknya kehidupan rumah tangga yang diidam-idamkan oleh sebuah

keluarga

c. Penggugat sebagai isteri telah melakukan fungsinya dan kodratnya sebagai

seorang isteri yang baik bagi Tergugat sebagai suami, hal ini terbukti dari

hasil perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai 1 (satu) orang

anak laki-laki tampan yang bernama Philbert Vladilim yang lahir pada

tanggal 05 September 2014 di Medan

d. Beberapa bulan sejak kelahiran anak Penggugat dengan Tergugat, sikap

Tergugat telah mulai berubah dimana Tergugat sering memarahi Penggugat

tanpa alasan yang jelas dan selalu menuduh Penggugat tidak bisa dan tidak

becus mengurus anak

e. Bahwa, puncak kemarahan Tergugat terjadi pada sekitar jam 9 malam

tanggal 4 September 2015, dimana Tergugat bertindak demikian sadistic,

dengan menyeret tubuh Penggugat keluar dari rumah tempat kediaman

bersama tersebut di atas (tempat tinggal Tergugat sekarang ini) dengan

menyuruh pergi dari rumah sambil mengeluarkan seluruh pakaian

Penggugat dari rumah dimaksud, suatu sikap yang semestinya tidak boleh

dimiliki oleh seorang manusia yang beradab terlebih oleh seorang suami

terhadap isterinya

f. Bahwa, akibat perbuatan Tergugat tersebut di atas telah mengakibatkan luka

gores dan memar disebagian tubuh Penggugat sebagaimana terbukti dari

hasil visum dari Klinik Ganesha tertanggal 05-09-2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 116: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

105

g. Bahwa, sejak peristiwa penyeretan dan pengusiran yang dilakukan Tergugat

kepada Penggugat, sejak itupula Penggugat telah tidak tinggal serumah lagi

hingga saat sekarang ini dan segala nafkah baik lahir maupun bathin juga

terhenti sejak saat itu pula dan bahkan tidak ada sedikitpun rasa simpati

Tergugat sebagai suami yang seharusnya bertanggung jawab terhadap

keberadaan Penggugat

h. Bahwa, pihak keluarga masing-masing telah mencoba secara maksimal

untuk mendamaikan guna menyelamatkan bahtera rumah tangga Penggugat

dengan Tergugat, akan tetapi selalu berujung dengan ketidak berhasilan

disebabkan sikap Tergugat yang tidak berkenan untuk menyelamatkan

keutuhan rumah tangga

i. Bahwa, kesemuanya kelakuan Tergugat tersebut di atas telah sungguh-

sungguh menimbulkan kehancuran ketenteraman batin sanubari (destroy

peace in mind) bagi Penggugat yang tidak tertahankan lagi (unbearable) dan

hal demikian benar-benar tidak bisa ditoleransi

j. Bahwa, berdasarkan uraian di atas apa yang telah digariskan oleh ketentuan

Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “Suami

isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi

bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain” sudah tidak terpenuhi lagi

k. Bahwa, tidak sampai disitu saja tindakan Tergugat telah melanggar

ketentuan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang

berbunyi “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 117: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

106

l. Bahwa, melihat kenyataan di atas telah terbuktilah tidak ada lagi alasan

yang kuat dan patut bagi Penggugat untuk mempertahankan rumah tangga

karena apa yang menjadi tujuan sebuah bangunan rumah tangga telah

demikian tidak tercapai dan bahkan rumah tangga Penggugat dengan

Tergugat telah terkoyak dan pecah akibat percekcokan yang demikian tajam

dan terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi dan tidak dapat rukun

kembali (onheel baar twespalt)

m. Bahwa, berdasarkan seluruh uraian di atas salah satu alasan perceraian yang

telah ditentukan oleh PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf f telah terbukti

dan terpenuhi, sehingga untuk mencegah terjadinya kehancuran yang lebih

besar lagi dan juga untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tercela dan

dilarang oleh pandangan agama, budaya dan social bagi Penggugat dan

Tergugat, maka jalan yang terbaik adalah memutuskan perkawinan

Penggugat dengan Tergugat karena perceraian (vide Pasal 38 Jo Pasal 39

ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

n. Bahwa, berdasarkan Yurisprudensi MARI No. 534 K/ Sip/ 1996 tanggal 18

Juni 1996 ditegaskan “Bahwa dalam perceraian tidak perlu dilihat dari

siapa penyebab percekcokan atau salah satu pihak telah meninggalkan

pihak yang lain, tetapi yang perlu dilihat adalah apakah perkawinan itu

sendiri masih dapat dipertahankan atau tidak”, dan sesuai dengan

keteguhan hati Penggugat yang sudah tidak ingin lagi mempertahankan

kehidupan rumah tangganya dengan Tergugat, maka gugatan ini patut untuk

dikabulkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 118: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

107

o. Bahwa, demi kepentingan anak yang terlahir dari hasil perkawinan

Penggugat dengan Tergugat masih balita ( + 1.5 Tahun) karenanya

berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 102 K/ Sip/ 1973

tanggal 24-4-1975 yang menyatakan “Berdasarkan yurisprudensi mengenai

perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan,

khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang

menjadi kriterium”, maka sangat layaklah dan beralasan secara hukum hak

asuh diberikan kepada Penggugat

p. Bahwa, berdasarkan Pasal 24 ayat 2 huruf (b) PP No. 9 Tahun 1975 dan

berdasarkan kepatutan dan keadilan maka Penggugat berhak menuntut biaya

untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak kepada Tergugat untuk

anaknya sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah setiap

bulannya sampai anak Penggugat dan Tergugat mencapai umur dewasa,

pembayaran mana harus terlaksana paling lambat tanggal 03 dari bulan

berjalan

q. Bahwa, sesuai ketentuan undang-undang, seorang suami wajib menafkahi

isterinya, maka patut dan berdasarkan hukum dan keadilan jika Penggugat

menuntut biaya kehidupan sehari-hari Penggugat sejak Penggugat diusir

yaitu bulan September 2015 hingga perceraian ini berkekuatan hukum tetap

yang Penggugat taksir sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) untuk setiap

bulannya pembayaran mana harus dilaksanakan secara sekaligus dan tunai

Berdasarkan gugatan Penggugat tersebut , pihak Tergugat menyampaikan

jawaban yang pada pokoknya adalah tidak setuju hak asuh anak tersebut jatuh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 119: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

108

kepada Penggugat. Tergugat sama sekali tidak keberatan, akan tetapi mengenai

Hak Pengasuhan anak tersebut sudah sepatutnya diberikan kepada Tergugat

selaku ayah kandung dari anak tersebut, karena selama ini yang mengurus dan

merawat anak tersebut adalah Tergugat dan bukan Penggugat, Tergugat sangat

menyayangi anak tersebut, walaupun Tegugat lelah bekerja, namun Tergugat tetap

dengan sabar mengurus dan merawat anak tersebut dengan sebaik-baiknya.

a. Menurut Tergugat, Penggugat dalam kehidupan rumah tangga dengan

Tergugat, sama sekali tidak memperdulikan anaknya (Philbert Vladilim),

dimana semenjak anak tersebut masih berusssia 6 (enam) bulan, Penggugat

tidak bersedia mengurus anak tersebut sebagaimana mestinya, sedangkan

yang mengurus anak tersebut adalah Tergugat sendiri dan jika Tergugat

mempunyai kesibukan dalam bekerja, yang mengurus dan merawat anak

tersebut adalah adik Tergugat atau pengasuh anak-anak dari adik Tergugat.

b. Wajar bila Tergugat memarahi Penggugat yang tidak mau mengurus dan

merawat pada waktu anak tersebut menderita sakit dan malahan Penggugat

sering memarahi anak tersebut bila sedang menangis karena sakit, karena

Penggugat tidak mau terganggu tidurnya karena alasan lelah bekerja.

Suami telah berulang kali meminta kepada Penggugat agar berhenti

bekerja demi untuk dapat mengurus anak mereka, namun Penggugat lebih

menyayangi pekerjaannya dari pada anaknya sendiri. Jika seandainya Hak

Pengasuhan anak tersebut diberikan kepada Penggugat, anak tersebut akan

menderita dan nasibnya tidak akan menentu,karena Penggugat lebih

mencintai pekerjaannya dari pada anaknya sendiri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 120: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

109

c. Sejak Tergugat dan Penggugat pisah ranjang, anak hasil hubungan

perkawinan tersebut hidup dan tinggal bersama Tergugat, sedangkan

Penggugat tidak sekalipun bersedia melihat anaknya tersebut

d. Didalam posita gugatan Penggugat sama sekali tidak ada menguraikan apa

alasannya sehingga anak tersebut harus berada dibawah Perwalian

Penggugat, sedangkan yang diuraikan Penggugat hanyalah Kutipan dari

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, sedangkan seharusnya dalam posita

gugatannya Penggugat menguraikan tentang kedudukannya selaku ibu

yang sangat menyayangi anaknya dan yang lebih difokuskan Penggugat

hanyalah mengenai Pemutusan Hubungan Perkawinan (Perceraian) belaka.

Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri mengabulkan atas gugatan

tersebut Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan putusan Nomor:

32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 perceraian Penggugat dan Tergugat,

dan tentang hak asuh anak menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak

Penggugat dan Tergugat berada di pihak Penggugat atau ibu kandung anak (Rita).

Tergugat juga dihukum untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

sebesar Rp.2.500.000,00 ( dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya kepada

Penggugat sampai mencapai umur dewasa.

Berdasarkan keputusan tersebut, Tergugat merasa keberatan dan

mengajukan banding. Hal ini terbukti dari terdaftaranya akte banding pada tanggal

24 Agustus 2016, serta penyerahan memori banding pada tanggal 29 Agustus

2017. Pada pengadilan tingkat pertama, sengketa hak asuh anak dalam jawaban

Tergugat dintakan ditolak. Pembanding dengan tegas tetap menolak dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 121: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

110

membantah seluruh dalilgugatan Terbanding a quo terkecuali apa yang diakui

secara tegas oleh Pembanding .Bahwa merujuk pada Yurisprudensi Putusan

Mahkamah Agung tanggal 9 Oktober 1975 No. 951 K/SIP/1973, yang

menyatakan, “Pemeriksaan Tingkat Banding yang seolah-olah seperti di Tingkat

Kasasi yang hanya memperhatikan apa yang diajukan oleh Pembanding adalah

salah, seharusnya pemeriksaan Banding mengulangi pemeriksaan

keseluruhannya,baik mengenai fakta maupun penerapan hukum”.

Oleh karenanya peradilan tingkat banding, khususnya Pengadilan Tinggi

Medan mempunyai kewenangan untuk memeriksa kembali fakta-fakta dan

penerapan hukumnya. Tergugat selaku Pembanding dalam memori bandingnya

pada Putusan No:365/PDT/2017/PT.MDN menguatkan dalil-dalilnya dengan

fakta sebagai berikut:

a. Pembanding sangat merasa keberatan dan menolak pertimbangan Judex

Factie pada halam 17 paragraf 3 yang menyatakan, bahwa Penggugat sebagai

ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk memelihara dan mendidik

anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat (sekarang

Terbanding) diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut.

b. Berdasarkan Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berbuyi:

“Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”

c. Fakta persidangan telah membuktikan dimana selama masa perkawinan,

Terbanding telah melupakan kewajibannya sebagai isteri dan seorang ibu

yang bertugas merawat dan mengurus anak Pembanding dan Terbanding yang

masih kecil, namun hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Terbanding,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 122: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

111

karena setiap hari Terbanding lebih memilih sibuk bekerja dari pagi hingga

malam hari tanpa meluangkan waktu untuk bersama anak Pembanding dan

Terbanding, sehingga hal ini telah bersesuian dengan ketentuan hukum Pasal

34 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : “Isteri

wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.”

d. Bahwa judex factie juga telah mengabaikan dalil jawaban Pembanding dalam

perkara a quo dan fakta persidangan dari saksi-saksi yang dihadirkan oleh

Pembanding, dimana akibat pertengkaran dan perselisihan antara Pembanding

dan Terbanding adalah dikarenakan sikap Terbanding yang lebih sibuk

bekerja daripada mengurus anak Pembanding dan Terbanding ;

e. Berdasarkan fakta persidangan telah membuktikan Terbanding setiap hari

pergi bekerja dari pukul 06.30 Wib dan pulang kerja pada pukul 7 malam dan

setelah pulang kemudian mandi dan makan, selanjutnya langsung tidur dan

tidak merawat anak

f. Sejak anak Pembanding dan Terbanding (ic. Philbert Vladilim) lahir,

Pembanding yang merawat dan mengurus seluruh kebutuhan sehari-hari anak

Pembanding dan Terbanding termasuk memandikan, memberi makan, serta

keperluan lainnya yang seharusnya menjadi kewajiban Terbanding selaku ibu

dari anak Pembanding dan Terbanding

g. Bahwa dengan demikian, Judex Factie telah salah dan keliru mengabulkan

petitum gugatan Terbanding yang menyatakan “Menetapkan Penggugat

sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat dengan Tergugat yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 123: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

112

bernama Anak, laki-laki yang lahir pada tanggal 05 September 2014 di

Medan”

h. Judex Factie dalam amar putusannya tidak memberikan kesempatan dan hak

kepada Pembanding untuk dapat bertemu anak Pembanding dan Terbanding

setiap hari dan hak untuk membawa anak Pembanding dan Terbanding

tinggal bersama Pembanding pada setiap hari libur yang ditentukan oleh

Pemerintah, sehingga hal ini telah mencederai peradilan yang berkeadilan

bagi setiap para pihak yang berperkara

i. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka baik ibu (ic.Terbanding)

atau bapak (ic. Pembanding) berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dengan demikian

Pembanding juga memiliki hak untuk mengasuh anak Pembanding dan

Terbanding, hal ini telah sesuai dengan ketentuan hukum Pasal 41 huruf a

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : “Baik ibu atau bapak

tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata

berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.”

j. Demikian, Judex Factie telah salah menerapkan hukum dengan

menghilangkan hak Pembanding untuk dapat memelihara dan mendidik anak

kandungnya serta tidak memberikan hak kepada Pembanding untuk dapat

bertemu dengan anaknya

k. Oleh karena Judex Factie telah salah dan keliru dalam memberikan putusan,

maka sudah sepatutnya dan beralasan menurut hukum, Ketua Pengadilan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 124: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

113

Tinggi Medan dan/atau Majelis Hakim Tinggi yang Mulia untuk

memperbaiki isi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn., tanggal 31 Mei 2016 ;

l. Sebagai bahan pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi Medan/Majelis Hakim

Tinggi yang Mulia yang memeriksa dan memutus perkara a quo,dengan ini

Pembanding juga turut melampirkan bukti berupa pernyataan saksi-saksi

yang belum dihadirkan pada persidangan Tingkat I (Pertama)antara lain:

1) saksi I selaku tetangga Pembanding dan Terbanding

2) saksi II selaku tetangga Pembanding dan Terbanding

3) saksi III selaku Ibu kandung Pembanding ;

m. Bahwa oleh karena Pembanding yang selama ini mengurus dan merawat anak

Pembanding dan Terbanding, maka telah patut dan pantas menurut hukum,

Pembanding juga diberikan hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik

anak Pembanding dan Terbanding, serta memberikan hak kepada

Pembanding untuk dapat bertemu dengan anak Pembanding dan Terbanding

setiap harinya dan berhak membawa anak Pembanding dan Terbanding untuk

tinggal bersama Pembanding setiap hari Sabtu dan Minggu serta setiap hari

Libur yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2. Pertimbangan Hakim

Pada putusan tingkat pertama No: 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn dalam

pertimbangan hukumnya, menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan

penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas adalah sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 125: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

114

Menimbang bahwa gugatan penggugat telah disangkal oleh tergugat maka

karena itu merupakan kewajiban bagi penggugat unutk membuktikan dalil

gugatannya

Menimbang bahwa yang menjadi permasalahan dengan gugatan

Penggugat antara lain adalah;

Menimbang bahwa berdasarkan bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat 2

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “untuk melakukan

perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat

hidup rukun sebagai suami istri”, hal ini sesuai pula dengan Pasal 19 huruf f

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975.

Menimbang bahwa dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang

terus menerus antara Penggugat dan Tergugat yang diakui atau setidaknya untuk

disangkal oleh tergugat yang diakui atau setidak tidaknya tidak disangkal oleh

Tergugat dalam dalil dalil jawabannya terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat

telah pisah ranjang dan tempat tinggal sejak 4 September 2015 sampai dengan

diajukannya gugatan perceraian, pihak keluarga dari kedua belah pihak tidak

berhasil mendamaikan, oleh karena dalam perkawinan mereka sering terjadi

percekcokan dan pertengkaran sehingga tidak terdapat kedamaian dan

keharmonisan lagi dalam keluarga.

Menimbang bahwa majelis hakim telah pula berupaya agar Penggugat

rukun kembali, tetapi tidak berhasil sehingga majelis gakim berpendapat bahwa

antara penggugat dan tergugat tidak mungkin disatukan kembali untuk mencapai

tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-undang No 1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 126: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

115

Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa antara

Penggugat dengan Tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran. Bahwa

antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu tempat tinggal lagi sejak 4

September 2015 atau hampir satu tahun, oleh karena itu perkawinan antara

Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat

hukumnya, sehingga Petitium ke-2 gugatan adalah berdasar dan beralasan

menurut hukum, maka Tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.

Menimbang bahwa agar putusan perkawinan antara Penggugat dan

Tergugat mempunyai kepastian hukum maka perceraian ini haruslah didaftarkan

pada daftar pencatatan oleh pegawai pencatat sebagaimana diatur dalam Pasal 34

ayat 2 dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan mewajibkan Panitera

Pengadilan Negeri Medan atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu agar mengirimkan

satu helai salinan putusan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil kota Medan untuk melakukan pendaftaran putusan ini, agar selanjutnya

dapat mengeluarkan akta perceraian atas nama Penggugat dan Tergugat, sehingga

Petitum ke 3 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut hukum, maka

tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.

Menimbang, bahwa sesuai bukti surat yang diberi berupa akte kelahiran

a.n Philbert Vladilim lahir pada tanggal 05 September 2014 dan juga berdasarkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 127: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

116

keterangan saksi-saksi dan dari perkawinan Penggugat dan Tergugat telah

dilahirkan seorang anak

Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat tersebut ternyata seorang anak

tersebut masih berada dibawah umur, sedangkan perkawinan orangtua mereka

telah dinyatakan bercerai maka harus ditetapkan siapa yang menjadi wali-wali

tersebut.

Menimbang penggugat sebagai ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk

memelihara dan mendidik anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat

diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut yaitu, Philbert Cladilim hingga

dewasa, sehingga Petitum ke 4 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut

hukum, maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan.

Menimbang bahwa sejak pisah tempat tinggal antara Penggugat dengan

Tergugat, berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa anak Penggugat dengan

Tergugat yaitu, Philbert Vladilim yang lahir pada tanggal 05 September 2014,

diasuh dan dipelihara oleh Penggugat, maka oleh karena itu Tergugat sebagai

seorang bapak yang bertanggungjawab kepada anaknya, kiranya masih mengirim

uang nafkah kepada anaknya tersebut melalui Penggugat sebesar Rp 2.500.000,00

(dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa

sehingga Petitum ke 5 gugatan adalah berdasar dan beralasan menurut hukum,

maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan

Menimbang bahwa tuntutan mengenai hukuman pembayaran biaya nafkah

dan perumahan kepada Penggugat sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 128: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

117

perbulan sampai putusan ini berkekuatan hukum tetap, Majelis

mempertimbangkan :

Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 496

K/Sip/1971 tanggal 01 September 1971 menyebutkan bahwa: “Apabila hukuman

itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa pihak

yang dikalahkan dapat dihukum untuk membayar sejumlah uang selama ia tidak

memenuhi isi putusan, pembayaran uang ini hanya mungkin terhadap perbuatan

yang harus dilakukan oleh Tergugat yang tidak terdiri dari pembayaran suatu

jumlah uang, sehingga tuntutan uang dalam petitum no 6, tersebut tidak berdasar

menurut hukum, maka Tuntutan Penggugat tersebut haruslah ditolak

Menimbang, bahwa tentang tuntutan Penggugat yang memohon agar

menghukum Tergugat membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini,

menurut Majelis karena Tergugat berada dipihak yang kalah maka sudah

sepantasnya dibebankan membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini

sehingga dengan demikian petitum gugatan Penggugat ke 7 adalah berdasar dan

beralasan menurut hukum, maka tuntutan Penggugat tersebut haruslah dikabulkan

dapat di kabulkan.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan

perkara ini khususnya Undang-undang No 1 Tahun 1974, Pasal 19 huruf f dan d,

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1974 serta Pasal-Pasal lain yang berkaitan

dengan perkara ini. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Medan dalam pertimbangan

hukumnya dalam putusan No: 365/PDT.G/2017/MDN sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 129: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

118

Majelis Hakim Tingkat Banding setelah mempelajari memori banding

yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pembanding semula Tergugat diatas, Majelis

Hakim Tingkat Banding menilai bahwa pada dasarnya alasan-alasan/keberatan

keberatan tersebut telah dipertimbangkan oleh MajeIis Hakim Tingkat Pertama

secara cermat dan benar dan ternyata pula bahwa materi-materi dalam memori

banding tidak memuat hal-hal yang dapat membatalkan putusan MajeIis

HakimTingkat Pertama, oleh karenanya memori banding tersebut tidak relevan

untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi setelah membaca, meneliti dan

mempelajari dengan seksama berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan

dengan perkara ini, turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Medan No:

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2016 MajeIis Hakim Tingkat Banding

berpendapat alasan dan pertimbangan hukum yang telah diambil oleh Majelis

Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya berkenaan dengan hal-hal yang

diperkarakan oleh para pihak, telah tepat dan benar menurut hukum, mengingat

majelis hakim tingkat pertama telah mempertimbangkan bahwa

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan

Tingkat Banding berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan No:

32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 sehingga harus dipertahankan dan

dikuatkan.

Menimbang, bahwa oleh karena Pembanding semula Tergugat berada

dipihak yang kalah maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam

dua tingkat banding.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 130: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

119

3. Putusan Hakim

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan

perkara ini, khususnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

pada Pasal 19 huruf f dan d Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Uundang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta

Pasal-Pasal yang berkaitan dengan perkara ini maka Pengadilan Negeri Medan

telah menjatuhkan putusan dengan Nomor 32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31

Mei 2016 dalam amar sebagai berikut :

a. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian

b. Menyatakan perkawinan Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan

secara agama Budha di Medan pada tanggal 14 Nopember 2013 di Vihara

Buddhayana Cetya Taramita Jl. Binjai KM. 8,5 Psr. V Medan dihadapan

Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra sebagaimana terbukti

dari Kutipan Akta Perkawinan No. 2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus

2014 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil

Kota Medan, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya

c. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Medan atau pejabat lain

yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap kepada Kantor Dinas

Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan guna dicatatkan tentang

perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu .

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 131: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

120

d. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh atas anak Penggugat

dengan Tergugat yang bernama Philbert Vladilim, laki-laki yang lahir pada

tanggal 05 September 2014 di Medan

e. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan

anak sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap

bulannya kepada Penggugat sampai mencapai umur dewasa

f. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara

sejumlah Rp.589.000,- (lima ratus delapan puluh Sembilan ribu rupiah) ;

Selanjutnya Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya memperhatikan

ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perkara ini, khususnya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada Pasal 19 huruf f

dan d Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal-Pasal yang

berkaitan dengan perkara ini maka Pengadilan Tinggi Medan telah menjatuhkan

putusan dengan No: 365/PDT.G/2017/MDN yang amarnya sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh Kuasa Hukum

Pembanding semula Tergugat tersebut.

b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

32/Pdt.G/2016/PNMdn tanggal 31 Mei 2016 yang dimohonkan banding.

c. Menghukum Pembanding semula Tergugat untuk membayar biaya perkara

dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan

sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 132: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

121

B. Analisa terhadap pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan tinggi

medan nomor 365/PDT/2017/PT.MDN

Hakim dalam merumuskan dan menyusun pertimbangan hukum harus

cermat, sistimatik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik.

Pertimbangan disusun dengan cermat artinya pertimbangan hukum tersebut harus

lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan

norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, Yurisprodensi serta

teori-teori hukum dan lain-lain, yang dipergunakan sebagai argumentasi (alasan)

atau dasar hukum dalam putusan hakim tersebut.235

Pada putusan Pengadilan Negeri Medan tingkat pertama No:

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, Gugatan cerai yang diajukan oleh Rita yang selanjutnya

disebut Penggugat terhadap Susanto yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat ini

telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan pada hari Selasa tanggal 31 Mei

2016.

Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah yang telah

melakukan perkawinan secara agama Budha di Medan pada tanggal 14 Nopember

2013 di Vihara Buddhayana Cetya Paramita Jl. Binjai KM. 8,5 Psr.V Medan

dihadapan Pemuka Agama Budha yang bernama Madya Putra sebagaimana

terbukti dari Catatan Pernikahan Buddhis dan telah dicatatkan pada Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan sebagaimana terbukti dari Kutipan

Akta Perkawinan No. 2694/T/MDN/2014 tanggal 19 Agustus 2014.

235 Eva Meizara Puspita Dewi, Basti, Op.cit , hal 52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 133: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

122

Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa,

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Pencatatan perkawinan itu berfungsi sangat penting sebagai alat bukti

tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di

Pengadilan.

Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula

pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu

peristiwa hukum. Akta nikah/ buku nikah dan pencatatan perkawinan bukan

merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan

perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat

bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan, karena yang menentukan

keabsahannya suatu perkawinan adalah menurut agama. 236

Dalam petitum gugatan yang dikabulkan oleh Majelis Hakim dengan

kewenangannya, seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak

atau dikabulkan. Dari pertimbangan hukum yang ada, selanjutnya hakim akan

menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain itu juga

berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan terhadap kondisi

rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin hidup rukun lagi sehingga

rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Penilaian hakim berdasarkan pada

236 Martiman Prodjhohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Indonesia Legal Center

Publishing: Jakarta),2002, hal. 28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 134: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

123

kenyataan dalam rumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan

parah sehingga perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan lagi.237

Berdasarkan perkara yang terjadi antara Penggugat (Rita) dengan Tergugat

(Susanto) dalam putusan Pengadilan Negeri Medan tingkat pertama dengan No:

32/Pdt.G/2016/PN.Mdn adalah perceraian yang didasari sering terjadinya

percekcokan dan pertengkaran. Berdasarkan poin putusan yang di tetapkan oleh

Majelis Hakim, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian berdasarkan

putusan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak satu tempat tinggal

lagi sejak 4 September 2015 atau hampir satu tahun.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, diketahui bahwa hakim

berpendapat bahwa dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah terjadi

konflik, tidak harmonis dan benar-benar sudah pecah berantakan. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa diantara Pemohon dan Termohon tidak lagi ada rasa cinta

dan kasih. Penggugat sebagai ibu menunjukkan sikap yang mampu untuk

memelihara dan mendidik anaknya maka adalah lebih tepat jika kepada Penggugat

diberikan hak pengasuhan terhadap anak tersebut yaitu, Philbert Vladilim hingga

dewasa. 238

Putusan yang diberikan oleh hakim dalam melaksanakan tugas

yustisialnya di Pengadilan memiliki konsekuensi hukum atas setiap putusan yang

diputuskannya. Untuk menjamin perlindungan terbaik bagi anak dalam setiap

putusan hakim tentunya harus mempertimbangkan berbagai aspek yang

237 Wawancara, Riana Pohan, Hakim, Pengadilan Negeri Medan, 13 November 2019

238

Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor 1

Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, (Pustaka Ilmu: Jakarta) 1986, hal. 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 135: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

124

mempengaruhi masa depan anak. Terutama sekali terkait dengan syarat-syarat

yang harus dipenuhi oleh seorang pengasuh.239

Hak asuh anak setelah perceraian ini tidak diatur di dalam Undang-

Undang No. 1 tahun 1974. Tidak ada kata yang spesifik dalam ketentuan tersebut

yang mengatakan hak asuh anak. Undang- Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan

“orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya”.

Kewajiban itu berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri meskipun

orang tua sudah bercerai. Hak asuh terhadap anak setelah perceraian tetaplah

tanggung jawab kedua orang tua apapun yang terjadi. sepatutnya kedua orang tua

diberikan hak di dalam mengasuh.240

Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

yang mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 tahun berada dibawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Oleh karena itu

sepanjang orang tua tidak dicabut kekuasaannya, mereka mempunyai hak yang

sama dimuka pengadilan untuk mengasuh dan mendidik anaknya tanpa dipisah-

pisahkan hak asuhnya. 241

Dalam pertimbangan hakim pada putusan No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn

mengenai hak asuh anak dibawah umur yang jatuh ke ibu, dengan alasan yaitu

dimana bisa aja ibu tersebut lebih hubungan lebih erat dan dekat dengan anaknya

yang masih dibawah umur. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk

mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuh

239

Mansari, Iman Jauhari, Iman Jauhari, Azhari Yahya & Muhammad Irvan Hidayana,

Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya Perceraian Orangtua Dalam Putusan Hakim Mahkamah

Sya’iyah Banda Aceh, Vol. 4, No. 2, September 2018, hal 105

240 Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

241 Pasal 47 ayat (1) dan pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 136: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

125

kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan bakat

dan minatnya. 242

Ketentuan Pasal tersebut ternyata masih memberikan kewajiban kepada

orang tua yang telah diputus kuasa hak asuhnya. Adapun yang dapat dinyatakan

tidak berhak untuk dapat mengasuh anaknya sebagai berikut:243

1. Orang tua pemabuk dan tidak bertanggung jawab

2. Orang tua yang hilang ingatan

3. Menelantarkan anak-anaknya

4. Akibat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

mengikat

Berdasarkan dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat pada

putusan No 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, memuat beberapa alasan yang menyebabkan

sang ayah tidak memperoleh hak untuk mengasuh anak, yakni menurut Undang-

undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa :244

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap

seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang

tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung

yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan

Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. la berkelakuan buruk sekali.

2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menjelaskan, “bila Hakim

menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dari orang tua,

sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari kekuasaan orang

242 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak

243 Meita Djohan OE, Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Perkara Nomor

0679/Pdt.G/2014/Pa Tnk), PRANATA HUKUM: Volume 11 Nomor 1 Januari 2016, hal 64-65 244

Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 137: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

126

tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas

permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau

semenda dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan keempat, atau

dewan perwalian, atau kejaksaan” atas dasar alasan-alasan tersebut dijabarkan

lebih luas lagi. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:245

1. Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih

2. Berkelakuan buruk 3. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut

serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah

umur yang ada dalam kekuasaannya 4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan

kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan

XX. Buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap

seorang anak di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya 5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua

tahun atau lebih

Perbedaan antara “menyalahgunakan kekuasaan orang tua” dan

“melalaikan kewajiban” adalah bahwa menyalahgunakan kekuasaan orang tua itu

terdiri atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh si pemangku kekuasaan

terhadap si anak, sedangkan melalaikan kewajiban terdiri atas tidak melakukan

(melalaikan) suatu perbuatan yang harus dilakukan untuk menunaikan kewajiban

dalam pemeliharaan dan pendidikan anak.246

Alasan tersebut hanya dapat digunakan untuk memutuskan pencabutan

jika apa yang diperbuat atau dilalaikan itu dapat dipersalahkan kepada si ayah atau

ibu yang bersangkutan. Apabila sesuatu telah diperbuat atau dilalaikan karena

245 Pasal 319 KUHPerdata

246

Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Seksi Perdata Barat Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro: Semarang, 1981, hlm. 470-471

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 138: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

127

keadaan yang memaksa, maka pada pihak ayah atau ibu tidak ada kesalahan, dan

dengan demikian mereka tidak dapat dicabut dari kekuasaan orang tua.247

Kelakuan buruk orang tua yang bersangkutan tidak perlu diketahui oleh

umum. Tetapi untuk dapat digunakan sebagai alasan untuk permohonan

pencabutan kepada Hakim, setidaknya kelakuan itu harus diketahui oleh

Penggugat. Kelakuan buruk tersebut akan dinilai, dengan anggapan mempunyai

pengaruh yang buruk terhadap anak atau tidak. Hal tersebut akan diserahkan

kepada pertimbangan Hakim, yang harus mempertimbangkan lingkungan

kehidupan atau pergaulan dari orang tua dan anak.248

Jika dilihat berdasarkan petitum gugatan ke-4 dan ke-5 yang diajukan oleh

Penggugat (Ny.Rita) pada putusan tingkat pertama No.32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,

dinyatakan bahwa beberapa bulan sejak kelahiran anak Penggugat dengan

Tergugat sikap Tergugat telah mulai berubah dimana Tergugat sering memarahi

Penggugat tanpa alasan yang jelas dan selalu menuduh Penggugat tidak becus

mengurus anak. Tergugat bertindak sadistic dengan menyeret tubuh Penggugat

keluar dari rumah dengan menyuruh pergi dari rumah, serta mengeluarkan

seluruh isi pakaian Penggugat dari rumah yang dimaksud. Hal tersebut

mengakibatkan luka gores dan memar disebagian tubuh Penggugat.

Wawancara dengan Ibu Riana Pohan Hakim Pengadilan Negeri Medan

berpendapat, Hakim mempertimbangkan karena dengan alasan khawatir anak

tersebut akan meniru perilaku ayahnya sedangkan sang anak yang masih dibawah

247 Ibid

248 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 139: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

128

umur masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Ibu Riana Pohan

menambahkan kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada ibu, adalah psikologi

sang anak selama proses persidangan. Dalam persidangan biasanya Hakim akan

menilai psikologi sang anak dengan beberapa pertanyaan. Sebagai salah satu

contoh, adalah anak diharuskan untuk memilih pihak mana ia rasa lebih aman.

Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejaheraan Anak dijelaskan

bahwa, “anak belum mencapai kematangan mental sebelum menginjak usia 21

tahun oleh karena itu bimbingan orang tua merupakan hal yang sangat perlu

diperhatikan agar anak tidak mengalami kesalahan pembinaan. Apabila anak terus

menerus menerima asupan yang tidak baik hal ini akan berdampak pada

psikologis anak bahkan anak pun dapat meniru apa yang mereka lihat.”

Ibu Riana Pohan menjelaskan bahwa, “Majelis Hakim dalam

pertimbangannya juga akan menilai dari keterangan oleh saksi-saksi yang

dihadirkan dalam persidangan”. Berdasarkan Putusan No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn,

keterangan yang dijelaskan oleh saksi-saksi Penggugat, bahwa Tergugat hanya

mengizinkan Penggugat untuk melihat anaknya pada hari Sabtu saja, namun

seiiring waktu Penggugat tidak diperbolehkan sama sekali untuk melihat anaknya.

Saksi juga menambahkan bahwa pada dasarnya sejak awal pernikahan Tergugat

selaku suami tidak pernah menafkahi Penggugat. Mendengar penjelasan dari

beberapa pihak bahwa Tergugat yang sering menghalangi Penggugat bertemu

dengan sang anak dan tidak pernah menafkahi keluarga, sehingga membuat

Tergugat kehilangan hak asuh anaknya sebagai ayah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 140: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

129

Jika ditinjau berdasarkan keterangan saksi, tentang perlakuan Tergugat

yang tidak memperbolehkan Penggugat untuk bertemu dengan sang anak selama

dalam masa ikatan perkawinan, dengan demikian perlakuan dari pihak Tergugat,

ini telah melanggar, Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dinyatakan bahwa, “Setiap anak berhak untuk mengetahui

orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”

Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya,

dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari

terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua

kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,

dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.249

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga

menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk anaknya.

kewajiban ini dijabarkan dengan mengasuh, memelihara, mendidik, dan

melindungi anak. Jadi masing-masing orang tua pada prinsipnya memang berhak

sepanjang kekuasaan mereka tidak dicabut, dan bila terjadi perselisihan di dalam

penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang memutuskan.250

Pada dasarnya kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama dalam

memelihara dan mendidik anak-anak mereka juga mempunyai hak untuk

dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Mengenai hal ini ada

pengecualian, yaitu jika ada alasan bahwa orang tuanya tidak dapat menjamin

tumbuh kembang si anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut

249 https://bankdata.kpai.go.id/regulasi/undang-undang/penjelasan-atas-uu-ri-no-23-tahun-

2002, diakses pada Minggu, 20 Januari 2020, pukul 00:34 WIB 250 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 141: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

130

berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau atau anak angkat oleh orang

lain.251

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika

ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Namun perlu dipahami bahwa pemisahan ini antara lain pemisahan akibat

perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak

dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar

negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.252

Pada putusan tingkat pertama No. 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn, Majelis

didalam pertimbangannya, tidak memuat hak dari Tergugat untuk mengunjungi

sang anak. Hal inilah, yang menjadi gugatan Tergugat pada memori banding

dengan putusan No. 365/PDT/2017/PT.MDN dalam petitumnya menyatakan,

Judex Factie dalam amar putusannya telah salah dan keliru, tidak memberikan

kesempatan dan hak kepada Pembanding untuk dapat bertemu anak Pembanding

dan Terbanding setiap hari dan hak untuk membawa anak Pembanding dan

Terbanding tinggal bersama Pembanding pada setiap hari libur yang ditentukan

oleh Pemerintah.

Banding merupakan upaya hukum untuk memperoleh perbaikan putusan

yang lebih menguntungkan, dan bahwa banding tidak selayaknya diadakan bagi

251 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 252

Pasal 14 ayat (1) Undang-undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 142: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

131

pihak yang menang melainkan banding hanya diperuntukkan bagi pihak yang

kalah atau para pihak yang merasa dirugikan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan

keputusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975, yang menyatakan bahwa

“permohonan banding itu terbatas pada Pengadilan Negeri yang merugikan pihak

yang menyatakan banding. Jadi pada hakikatnya bahwa keputusan Pengadilan

Negeri tidak menguntungkan bagi pihak yang mengajukan banding”.253

Dalam hukum Indonesia, Judex factie dan judex jurist adalah dua

tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan.

Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan

Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex factie,

yaitu berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex factie

memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara

tersebut karena Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu

perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.254

Putusan di Tingkat banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN Majelis Hakim

dalam pertimbangannya, menilai bahwa pada dasarnya alasan-alasan/keberatan-

keberatan tersebut telah dipertimbangkan oleh MajeIis Hakim Tingkat Pertama

secara cermat dan benar dan ternyata pula bahwa materi-materi dalam memori

253

Wirda Latiki, Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam Mempertimbangkan

Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari Aspek Hukum Acara Perdata, Lex Privatum,

Vol. 3 No. 4, Otober 2015, hal 25

254 https://id.wikipedia.org/wiki/Judex_facti_dan_judex_juris, diakses pada Selasa, 21

Januari 2020, pukul 21:59 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 143: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

132

banding tidak memuat hal-hal yang dapat membatalkan putusan Majelis Hakim

tingkat pertama.255

Berdasarkan analisa perihal mengenai keberatan Tergugat/Pembanding

dalam Memori Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN sebagaimana telah

diuraikan dalam duduk perkara, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat

bahwa keberatan-keberatan tersebut substansinya sama dengan atau merupakan

pengulangan atas jawaban-jawaban Tergugat/Pembanding dalam persidangan

tingkat pertama yang telah Majelis Hakim Tingkat Banding pertimbangkan

sebagaimana tersebut di atas, oleh karena itu tidak perlu dipertimbangkan kembali.

Undang-undang No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan

menyatakan bahwa, ”kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan

dan bukti kepada Panitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan

Tinggi yang akan memutuskan, asal saja turunan dari surat-surat itu diberikan

kepada pihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang ditunjuk

oleh Ketua Pengadilan Negeri itu".256

Dalam praktiknya, pemeriksaan perkara pada peradilan tingkat banding,

disamakan dengan konsep pemeriksaan ulang berkas perkara. Pemeriksaan

perkara perdata pada Peradilan tingkat banding menggunakan Pasal 357

Reglement op de Burgerlijke Rechtsvorderin (RV)257

yang menyatakan, bahwa

255 Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Perkawinan jo Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam 256 Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan 257 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) atau Reglemen Hukum Acara

Perdata untuk Golongan Eropa, Stb. 1847 No. 52, jo Stb. 1849 No. 63, merupakan hukum acara

yang berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan untuk berperkara

di Raad van Justitie dan Hooggerechtshof. Dengan dihapusnya Raad van Justitie dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 144: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

133

“perkara kemudian oleh hakim banding yang bersangkutan tanpa banyak proses

diputus berdasarkan surat-surat saja, tetapi ia berwenang sebelum menjatuhkan

putusan akhir untuk memberi putusan persiapan atau putusan sela”.258

Salah satu buktinya, pemeriksaan perkara berdasarkan surat-surat, adalah

putusan Mahkamah Agung RI No. 879 K/Sip/1974, yang menegaskan bahwa:

“Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara pada tingkat banding

berdasarkan berkas perkara yang dikirimkan Pengadilan Negeri kepada

Pengadilan Tinggi”.259

Pertimbangan yang kedua dalam Putusan No.365/Pdt.G/2017/PT.MDN,

yaitu, setelah membaca, meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara

dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini, turunan resmi putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor: 32/Pdt.G/2016/PN.Mdn tanggal 31 Mei 2016

Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat alasan dan pertimbangan hukum

yang telah diambil oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya

berkenaan dengan hal-hal yang diperkarakan oleh para pihak, telah tepat dan

benar menurut hukum. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut Majelis Hakim

Pengadilan Tingkat Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN berpendapat bahwa

putusan Pengadilan Negeri Medan No: 32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei

2016 sehingga harus dipertahankan dan dikuatkan.

Hooggerechtshof maka Rv tidak berlaku. Dalam praktik peradilan dewasa ini, eksistensi ketentuan

dalam Rv tetap dipergunakan dan dipertahankan sebagaimana tertuang dalam Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I dan II, Mahkamah Agung RI, Tahun

2003/2004, hal 60

258 M. Yahya Harahap, 2008, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan

Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 112

259 Mahkamah Agung RI, Himpunan Yurisprudensi Hukum Dagang di Indonesia,

Pradnya Paramita: Jakarta, 1982, hal 73.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 145: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

134

Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang

Pengadilan Peradilan Ulangan, Pasal 201 ayat (1) RBG atau Pasal 355 RV, bahwa

Putusan Pengadilan Negeri yang dapat dibanding adalah Putusan akhir

(eindvonnis).

Bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi sebagai

pengadilan tingkat banding yakni setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan tersebut dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi

memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan

pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri. Berpedoman

pada ketentuan Pasal 241 ayat (1) KUHAP, bentuk putusan yang dapat dijatuhkan

Pengadilan Tinggi terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding:260

Amar putusan banding dapat berupa tiga hal sebagaimana diuraikan

berikut:261

1) Menguatkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa

dan diputus pengadilan negeri dianggap benar dan tepat menurut keadilan.

2) Memperbaiki putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa

dan diputus oleh pengadilan negeri kurang tepat menurut rasa keadilan

karenanya perlu diperbaiki.

3) Membatalkan putusan pengadilan negeri, artinya apa yang telah diperiksa

dan diputus pengadilan negeri dipandang tidak benar dan tidak adil

karenanya harus dibatalkan. Dalam hal ini pengadilan tinggi memberikan

putusan sendiri.

Perihal Pengadilan Tingkat Banding No. 365/PDT/2017/PT.MDN

berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

32/Pdt.G/2016/PN-Mdn tanggal 31 Mei 2016 sehingga harus dipertahankan dan

260

Pasal 241 ayat 1 KUHAP

261 Lilik Muliyadi, Op.cit hal 331

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 146: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

135

dikuatkan pengadilan tinggi menilai bahwa, putusan tersebut sudah tepat dan

benar, baik mengenai hukum acara maupun hukum materilnya.262

Sebagai pembanding, terhadap Putusan No 365/PDT/2017/PT.MDN,

terdapat putusan lain yang memiliki kaitan yang sama perihal pertimbangan

Hakim ditingkat Banding, yakni pada putusan mengutip uraian sebagaimana

termuat dalam Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:

1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 04 Oktober 2017 Miladiyah yang bertepatan

dengan tanggal 14 Muharram 1439 Hijriyyah yang amarnya berbunyi sebagai

berikut :

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2) Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat;

3) Menetapkan hak asuh anak Penggugat dan Tergugat yanglahir tanggal 23

September 2011 pada Penggugat;

4) Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat nafkah

seorang anak yang lahir tanggal 23 September 2011 setiap bulan minimal

Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) di luar biaya kesehatan

dan pendidikan;

5) Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Bekasi untuk

mengirim salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Pondok Gede,

Kota Bekasi dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Mamajang, Kota Makassar dan Pegawai Pencatat Nikah

262 Ibid

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 147: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

136

Kantor Urusan Agama Kecamatan Kuningan, Jakarta Selatan serta

Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Makassar,

Jakarta Timur untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;

Terhadap putusan tersebut, Tergugat Konpensi/Penggugat Rekonpensi

menyatakan keberatan dan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan

Tinggi Agama Bandung melalui Pengadilan Agama Bekasi sesuai Akta

Permohonan Banding Nomor 1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 30 Oktober 2017.

Menimbang, bahwa pada pokoknya gugatan Penggugat/Terbanding meliputi hal-

hal sebagai berikut:

1) Gugatan Cerai;

2) Gugatan hak asuh anak yang bernama anak dari pembanding dan

terbanding perempuan, lahir di Jakarta tanggal 23 September 2011;

3) Gugatan Nafkah untuk anak perbulan sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta

lima ratus ribu rupiah)

Berdasarkan pertimbangan Hukum pada putusan 047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg,

termuat sebagai berikut :

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding dalam perkara ini

telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan tata cara sebagaimana ketentuan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan

Ulangan di Jawa Madura, maka permohonan banding Pembanding secara formal

dapat diterima.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 148: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

137

Menimbang, bahwa berkenaan dengan gugatan Penggugat/Terbanding

agar pengadilan menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat/Pembanding (Reza

Sesareza Prakarsa) atas diri Penggugat/Terbanding (Meidy Mayadani binti H. R.

Hedianto) beserta alasan-alasannya, Majelis Hakim Tingkat Pertama telah

mempertimbangkan dan selanjutnya menyimpulkan bahwa telah terbukti rumah

tangga Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding sering diwarnai

dengan perselisihan dan pertengkaran terus menerus, terlepas dari siapa yang

menjadi penyebabnya, yang akhirnya antara keduanya berpisah rumah sejak tahun

2012 dan sulit untuk disatukan lagi, sehingga gugatan Penggugat/Terbanding

dinyatakan telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam Pasal

19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf f

Kompilasi Hukum Islam dan sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menimbang, bahwa atas apa yang telah dipertimbangkan dan disimpulkan

oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama sebagaimana tersebut di atas, dapat disetujui

dan dipertahankan oleh Majelis Hakim Tingkat Banding dan selanjutnya diambil

alih untuk dijadikan sebagai pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat

Banding dalam memutus perkara a quo, karena pertimbangan hukum Majelis

Hakim Tingkat Pertama tersebut telah didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap

di dalam persidangan, baik fakta yang bersumber dari jawaban

Tergugat/Pembanding yang secara tegas mengakui terjadinya perselisihan dan

pertengkaran terus menerus dan terjadinya pisah rumah sejak tahun 2012 serta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 149: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

138

tidak adanya keberatan dari Tergugat/Pembanding untuk bercerai dengan

Penggugat/Terbanding maupun fakta yang bersumber dari keterangan saksi-saksi;

Menimbang, bahwa Tergugat/Pembanding di dalam memori bandingnya

sama sekali tidak menyampaikan pula keberatan-keberatan atas perceraian

Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding, kecuali hanya keberatan

mengenai penetapan hak asuh atas anak. Menimbang, bahwa berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka sudah seharusnya

Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang mengabulkan gugatan

Penggugat/Terbanding pada petitum angka 2 (dua) dengan menjatuhkan talak satu

ba’in shughra Tergugat/Pembanding terhadap Penggugat/Terbanding dapat

dipertahankan.

Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan hal-hal yang masih

diperselisihkan kebenarannya oleh kedua belah pihak dan harus dibuktikan,

Majelis Hakim Tingkat Banding perlu mempertimbangkan terlebih dahulu,

apakah hak asuh atas anak (hak hadhanah) semata-mata merupakan hak orang tua,

ataukah sebaliknya merupakan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari

orang tuanya;

Menimbang, bahwa oleh karena dalam menetapkan hak asuh atas anak

yang lebih diutamakan adalah untuk kepentingan anak, bukan hak mutlak orang

tua, maka Majelis Hakim Tingkat Banding akan mempertimbangkan, apakah

Penggugat/Terbanding ataukah Tergugat/Pembanding yang patut diduga lebih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 150: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

139

dapat menjamin untuk memenuhi kepentingan anak atau hak-hak anak dan masa

depannya.

Menimbang, bahwa mengenai keberatan Tergugat/Pembanding dalam

Memori Bandingnya sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkara, Majelis

Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa keberatan-keberatan tersebut

substansinya sama dengan atau merupakan pengulangan atas jawaban-jawaban

Tergugat/Pembanding dalam persidangan tingkat pertama yang telah Majelis

Hakim Tingkat Banding pertimbangkan sebagaimana tersebut di atas, oleh karena

itu tidak perlu dipertimbangkan kembali.

Menimbang, bahwa meskipun telah ditetapkan Penggugat/Terbanding

sebagai pemegang hak asuh atas anak yang bernama Aimee Tsuraya Prakarsa,

namun demikian hubungan anak dengan Tergugat/Pembanding sebagai ayahnya

tidak dapat diputuskan, sehingga demikian harus diperintahkan kepada

Penggugat/Terbanding untuk memberikan akses kepada Tergugat/Pembanding

untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya tersebut dalam waktu-waktu yang

disepakati. Dan apabila dikemudian hari ternyata Penggugat/Terbanding sebagai

pemegang hak hadhanah atas anak tidak memberikan akses kepada

Tergugat/Pembanding untuk bertemu dan berkumpul dengan anak tersebut, maka

hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi Tergugat/Pembanding untuk mengajukan

gugatan pencabutan hak hadhanah (SEMA Nomor 1 Tahun 2017).

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana

tersebut di atas maka Majelis Hakim Tingkat Banding berkesimpulan bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 151: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

140

sudah seharusnya putusan pengadilan tingkat pertama yang berkaitan dengan

gugatan konpensi dapat dikuatkan dengan perbaikan.

Hakim dalam amar putusannya perkara dalam tingkat banding dengan

Penetapan No. 047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg., tanggal 08 Februari 2018, menguatkan

Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 1058/Pdt.G/2017/PA.Bks., tanggal 04

Oktober 2017 Masehi, yang bertepatan dengan tanggal 14 Muharram 1439

Hijriyah dengan perbaikan sehingga selengkapnya sebagai berikut:

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2) Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat;

3) Menetapkan hak asuh anak Penggugat dan Tergugat, yang lahir tanggal 23

September 2011 pada Penggugat;

4) Menghukum Tergugat untuk memberikan kepada Penggugat nafkah

seorang anak dari pembanding dan terbanding lahir tanggal 23 September

2011, minimal sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)

setiap bulan dengan kenaikan sebesar 10% setiap tahun sampai anak

tersebut berusia dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

5) Memerintahkan kepada Penggugat untuk memberikan akses kepada

Tergugat untuk bertemu dan berkumpul dengan anaknya yang namanya

sebagaimana tersebut pada diktum 3 (tiga) tersebut di atas dalam waktu-

waktu tertentu yang disepakati Penggugat dan Tergugat.

Perihal tentang larangan untuk bertemu anak pada putusan No

047/Pdt.G/PTA/Bdg, pertimbangan hakim yang menyatakan apabila dikemudian

hari ternyata Penggugat/Terbanding sebagai pemegang hak hadhanah atas anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 152: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

141

tidak memberikan akses kepada Tergugat/Pembanding untuk bertemu dan

berkumpul dengan anak tersebut, maka hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi

Tergugat/Pembanding untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah.

Berdasarkan analisa point pertimbangan hakim diatas, jika terjadinya hal

larangan bertemu dengan anak pasca perceraian, maka bagi pihak pemegang hak

asuh anak yang ditetapkan oleh Hakim Pengadilan, telah melanggar hak anak dan

hak bukan pemegang hak asuh anak itu sendiri.

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian tentang

sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat

sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan

yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.263

Bagi pihak pemegang hak asuh anak pada putusan No 047/Pdt.G/PTA/Bdg,

Penggugat tidak dapat melarang anak untuk bertemu dengan Tergugat (ayah

kandung). Jika Penggugat melakukan tindakan menghalangi pihak Tergugat untuk

bertemu dengan anak nya, maka hal ini membuktikan bahwa, Penggugat selaku

pemegang hak asuh anak telah melanggar hak anak untuk bertemu, mengetahui

siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya.264

Salah satu dari hak anak telah dirumuskan bahwa anak berhak untuk

mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, dalam

arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari

terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua

263 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesiacet-2; (Balai Pustaka:Jakarta),

1988, hal.654

264 Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 153: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

142

kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,

dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.265

Pada dasarnya kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban orang tua

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus

meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus.266

Perihal tidak terpenuhinya hak untuk bertemu dengan anak bagi pihak

yang bukan pemegang hak asuh adalah pelanggaran terhadap hak kekuasaan

orangtua terhadap anak menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan tentang kekuasaan orang tua terhadap anak, dinyatakan bahwa, “Anak

yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsukan perkawinan

ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan:267

1) Kekuasaan orang tua tidak hanya berada di tangan ayah anak yang

bersangkutan, akan tetapi berada di tangan kedua orang tuanya.

2) Kekuasaan orang tua berlangsung sampai anaknya telah dewas

(mencapai usia 18 tahun)atau telah kawin.

3) Kekuasan orang tua berlangsung selama orang tuanya tidak lalai

melaksanakan kewajiban terhadap anaknya, jika hal yang demikian terjadi,

maka kekuasaan orang tua akan icabut. yang belum dewasa, tiap-tiap tiga

bulam, menyampaikan tunjangan mereka kepadaDewan Perwalian

sedemikian banyak sebagaimana atau tuntutan Dewan, Pengadilan Negeri

berkenan menentukannya.

Pencabutan kekuasaan orang tua juga akan dicabut terbukti melalaikan

tanggungjawabnya atas terwujudnya kesejahteraan anak sehingga mengakibatkan

265 Penjelasan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

266 Pasal 45 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

267 Pasal 47-Pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 154: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

143

timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut

kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya.268

Demikian dalam hal orang

tua melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan

atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut melalui penetapan pengadilan.269

Putusan No 047/Pdt.G/PTA/Bdg pada point ke-5, memerintahkan kepada

Penggugat untuk memberikan akses kepada Tergugat untuk bertemu dan

berkumpul dengan anaknya dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati

Penggugat dan Tergugat.

Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang

tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan atau aturan hukum yang sah menunjukan

bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan

pertimbangan terakhir”.

Hakim menilai bahwa, setelah ditetapkannya hak asuh anak kepada salah

satu orang tua, maka tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang bukan

pemegang hak asuh untuk bertemu dengan sang anak. Bagi pemegang hak asuh

anak, biasanya akan memilih membawa anak untuk hidup bersamanya, sehingga

dalam arti yang sederhana intensitas bertemu dengan anak lebih sering

dibandingkan dengan pihak yang bukan pemegang hak asuh.270

268 Pasal 10 Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

269 Bismar Siregar, Hukum dan Hak-hak Anak, CV. (Rajawali:Jakarta), 1986 , hal 40

270

Hasil wawancara dengan Bapak Bambang H. Samosir, seorang Pengacara, pada 06

Februari 2020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 155: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

144

Jika dianalisa, alasan hakim memuat waktu-waktu tertentu bagi pihak yang

bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya adalah menjamin

kepastian bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan sang

anak, hal ini juga berkaitan sebagai upaya perlindungan bagi pihak yang bukan

pemegang hak asuh, jika pada suatu keadaan terjadi tindakan oleh pihak

pemegang hak asuh yang melarang untuk bertemu dengan sang anak yang

mungkin dipicu oleh faktor-faktor tertentu.271

Hakim dalam pertimbangannya, hanya menentukan waktu-waktu khusus

bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya. Diluar

waktu yang sudah ditentukan oleh Hakim, bagi pasangan suami dan istri yang

sudah bercerai, diberi akses yang bebas menentukan waktu-waktu tertentu untuk

berkumpul dengan sang anak, mengingat bahwa anak juga memiliki hak untuk

merasa dipelihara, dididik, diperhatikan dan tumbuh bersama dengan kedua

orangtuanya.272

271 Ibid 272

Muthmainnah, Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Pribadi Anak yang

Androgynius Melalui Kegiatan Bermain, Jurnal Pendidikan Anak, Volume 1, Edisi 1, Juni 2012

hal 103-104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 156: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

145

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab

sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebgai berikut:

1. Ketentuan hukum mengenai hak dan kewajiban terhadap anak pasca

perceraian diatur dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yakni baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara

dan mendidik anak-anaknya, semata-mata hanya untuk kepentingan sang

anak. Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyatakan bahwa

pemeliharaan anak merupakan kewajiban dari orangtua sampai sang anak

dapat berdiri sendiri. Pasal 26 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, kewajiban orangtua adalah memelihara tumbuh kembang

anak sesuai dengan bakat dan minta dari sang anak. Undang-undang No 4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan kewajiban orangtua

adalah bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan Anak baik secara

rohani, jasmani, maupun sosial.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya larangan bertemu anak pasca perceraian

adalah adanya kekuasaan dari orang tua yang melarang anak untuk bertemu

dengan pasangannya, hal ini biasanya dipicu dari rasa sakit hati antara kedua

belah pihak yang bercerai dan intervensi dari keluarga. Pemicu rasa sakit hati

dari kedua belah pihak, timbul dikarenakan adanya faktor internal yang

dijadikan alasan perceraian. Penyebab larangan bertemu anak yang ditujukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 157: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

146

kepada pihak yang bukan pemegang hak asuh juga dapat dipengaruhi oleh

perilaku atau sikap buruk dari orang tua yang dapat menimbulkan pengaruh

buruk bagi perkembangan dan psikologi anak. Faktor lain yang menyebabkan

pihak pemegang hak asuh melarang pasangannya untuk bertemu dengan sang

anak adalah kesibukan pekerjaan, dimana hal tersebut dapat mengakibatkan

terabaikannya pengasuhan dan pendidikan sang anak.

3. Berkenaan dengan upaya hukum banding dalam perkara No.

365/PDT/2017/PT.MDN terkait gugatan cerai dalam perkara No.

32/Pdt.G/PN.MDN. Hakim Pengadilan Tinggi Medan tidak

mempertimbangkan permohonan pembanding, berkenaan dengan hak unuk

bertemu dengan anak dikarenakan sifat pemeriksaan perkara di tingkat

banding yang hanya memeriksa ulang berkas perkara pada putusan tingkat

pertama, apabila ada kesalahan penerapan Hukum atau terdapatnya bukti-

bukti baru, sehingga terkait dengan adanya larangan untuk bertemu dengan

anak Hakim Pengadilan Tinggi tidak memberikan Putusan. Pada Putusan No.

047/Pdt.G/2018/PTA.Bdg sebagai pembanding, dimana Majelis Hakim dalam

pertimbangannya, menetapkan waktu-waktu tertentu untuk bertemu dengan

anak sehingga adanya kepastian hukum bagi pihak yang bukan pemegang hak

asuh untuk bertemu dengan sang anak.

B.Saran

A. Bagi lembaga legislatif perlu untuk memperbaiki peraturan perundang-

undangan tentang Perkawinan, terkait dengan perlindungan kepada pihak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 158: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

147

yang tidak mendapatkan hak asuh anak pasca perceraian, apabila terjadi

larangan untuk bertemu dengan anak.

B. Bagi penegak hukum, perlu untuk memperhatikan kembali perlindungan

hukum terhadap pihak yang dilarang untuk bertemu dengan sang anak

serta akibat yang akan dialami oleh anak atas larangan tersebut. Terkhusus

bagi Majelis Hakim dalam pertimbangannya untuk menetapkan waktu-

waktu tertentu bagi pihak yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu

dengan anaknya.

C. Bagi masyarakat, perlu untuk mengetahui bahwa tindakan melarang pihak

yang bukan pemegang hak asuh untuk bertemu dengan anak, dapat

dikenakan sanksi hukum karena merupakan pelanggaran hak bagi anak

dan bagi pihak yang dilarang untuk bertemu sang anak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 159: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

148

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

B Wiranata, I Gde Arya dan Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep

dan Implikasinya dalam Pespektif Hukum dan Masyarakat, Bandung :PT.

Refika Aditama

Basyir, Ahmad Azhar. 1980. Hukum Perkawinan Islam-Cetakan ke-3. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Bungin Burhan. 2013. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Ch, Mufidah. 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang:

UINPress.

Departemen Agama RI. 2002. Alquran dan Terjemahnya .Semarang: Toha Putra.

Effendi, Satria. 2004.Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempore. Jakarta:

Kencana,

Fauzi, Dodi Ahmad . 2006. Perceraian Siapa Takut!, Jakarta :Restu Agung.

Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalamSistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama .

H.S, Salim.2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:Sinar Grafika.

________. 2019. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta:Sinar Grafika.

Hadikusuma , Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-

undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung :Mandar Maju

_____________, Hukum Perkawinan Indonesia. 2007. Bandung: Mandar Maju

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2015. Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran

Publik. Yogyakarta :Graha Ilmu.

Harahap, M. Yahya. 1975 Hukum Perkawinan Nasional .Medan: CV Zahir

Treding Co.

__________________. 2005. Hukum acara perdata. Jakarta: Sinar Grafika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 160: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

149

__________________, 2008, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses

Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Jakarta : Sinar

Grafika

Hasan, M. Ali. 1997 Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukun Islam di Indonesia. Jakarta: Raja wali Press

Hutabarat, Regina. 1986. Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-

undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan. Jakarta :

Pustaka Ilmu

J.Goode, Willian. 2009.Sosiologi Keluarga Cetakan I. Bandung: Bumi Aksara

John, Bahder dan Sri Warjiyati. 1997. Hukum Perdata Islam, Komplikasi

Pengadilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat Hibah, Wakaf,

dan Shadaqah. Bandung:Madar Maju.

Joni Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999 Aspek Hukum Perlindungan

Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, :Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti

Kamello,Tan dan Syarifah Lisa Andriati.2001. Hukum Orang dan Keluarga.

Medan: USU Press

Keener, Craig S And Marries Another. 1991. Divorce and Remarriage in the

Teaching of the New Testament. Peabody, MA: Hendrickson.

Komariah. 2010. Hukum Perdata – Edisi Revisi. Malang:UMM Press

Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang. 1994. Keluarga

Kristiani Dalam Dunia Modern: Amanat Apostolik Familiaris Consortio.

Yogyakarta:Kanisius.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2004. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Mahkamah Agung RI, 1982, Himpunan Yurisprudensi Hukum Dagang di

Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita

Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam Indonesia. Jakarta:Prenamedia Group

Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana

Mertokusumo, Soedikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Liberty.

Muchtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan

Bintang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 161: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

150

Muhammad, Bushar. 2006. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta :

PT Pradnya Paramita

Mujtaba, Safuddin dan Imam Jauhari. 1998. Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam.

Jakarta ; Pustaka Bangsa Press

Muslimah, Eva. 2009. Intervensii Orang Tau Sebagai Faktor Pemicu Perceraian

(Studi Analis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat).Jakarta: Fakultas

Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hiayatullah, 2009

Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan

Hukum Benda .Yogyakarta:Graha Ilmu.

Prawirohamidjojo, R.Soetojo. 2002. Pluralisme dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press

Prodjohamidjojo,Martiman. 2001. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT

Abadi.

________________________. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:

Indonesia Legal Center Publishing

Pudja, G. 1974. Pengantar tentang Perkawinan menurut Hukum Hindu

(didasarkan Manusmriti), Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag

Pitoyo, RPH Wimbo. 2012. Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata Dalam

Praktik Peradilan. Jakarta Selatan: Visimedia

Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik Cetakan-

II Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rasyidi, Lili. 1982. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan

Indonesia,Bandung:Alumni

Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia- cetakan ke empat.

Jakarta:Ghalia Indonesia

Silfana Amalia Nasri, Haiyun Nisa, Karjuniwati. 2018. Bagaimana Remaja

Memaafkan Perceraian Orang Tuanya: Sebuah Studi Fenomenologis

Edisi 1(2): 103

Siregar, Bismar, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, Jakarta: Rajawali CV

Siregar,Tampil Anshari. 2007. Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi,

cetakan kedua.Medan:Pustaka Bangsa Press.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 162: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

151

Smedes, L.B. 1984. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve.

San Francisco: Harpersan

Soekanto,Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soekanto,Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat .Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soemitro,Ronny Hanitijo. 1983.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta Timur:

Ghalia Indonesia

Soepomo. 1996. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramita

Soimin,Soedharyo. 2004. Hukum Orang dan Keluarga- Perspektif Hukum

Perdata Barat /BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta:Sinar Grafika.

_______________. 2004. Kitab Undang-undang Hukum Perdata . Jakarta:Sinar

Grafika

Subekti. 2003 Pokok-pokok Hukum Perdata – cetakan ke 31. Jakarta: Intermasa.

__________, 2006, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya

Paramita

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional – cetakan ketiga. Jakarta: Rineka

Cipta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008.Metode Penelitian Pendidikan.Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Supriadi, Wila Chandrawila. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda.

Bandung:Mandar Maju

Surya, M. 2009. Bina Keluarga. Bandung: Graya Ilmu.

Syahrani, Riduan. 1992. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung:

Alumni.

Syaifuddin,Muhammad, Sri Turatmiyah dan AnnalisaYahanan. 2016. Hukum

Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Jakarta:

Prenada Media

Tutik, Titik Triwulan. 2014.Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional –

cetakan keempat, Jakarta: Kencana Pranamedia Group.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 163: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

152

Wignjodiporo,Soerjono. 1983. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:

Haji Masagung.

Zaenal Fanani,Ahmad. 2015. Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak Di

Indonesia(Perspektif Keadilan Jender). Yogyakarta: UII Press Yogyakarta

B. JURNAL dan MAKALAH

A.Ismail , A.H Salir, H. Akib, & R.Salam. 2016. Snapshot of Society Social-

Economic Welfare based on Human Development Index in Polewali

Mandar Regency, Indonesia. In International Conference on Public

Organization VI (ICONPO VI)”, Journal Thammsat University, Tha

Prachan Campus. 847

A. Jamil dan Fakhruddin. 2015. Isu dan realitas dibalik tingginya cerai gugat di

Indramayu. Jurnal Multikultural & Multi Religius Harmoni 14(2) 138-159

Afif Muamar.2013. Ketentuan Nasab Anak Sah, Tidak Sah, Dan Anak Hasil

Teknologi Reproduksi Buatan Manusia: Antara UU Perkawinan Dan

Fikih Konvensional. Al-Ahwa l 6(1): 46

Agoes Dariyo. 2004. Memahami Psikologi Perceraian dalam Keluarga, Jurnal

Psikologi.2(2):94

Ahmad Atabik Dan Khoridatul Mudhiiah. 2014.Pernikahan Dan Hikmahnya

Perspektif Hukum Islam.Yudisia Edisi Desember 5(2) : 133

Ahmad Dedy Haryanto. 2015. Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah di

Indonesia, Bilancia Edisi Juli-Desember 9(2): 125

Ahmad Farahi. 2016. Keadilan Bagi Anak Luar KawinDalam Putusan Mahkamah

Konstitusi 46/PUU-VIII/2010.De Jure: Jurnal Hukum dan Syaria’ah. 8(2):

78

Ahmad Tahali. 2018. Hukum Adat di Nusantara Indonesia, Jurisprudentie Edisi

Juni 5(1):37

Ali Imron. 2016 Memahami Konsep Perceraian dalam Hukum Keluarga, Buana

Gender Edisi Januari-Juni. 1(1):19

Anjani Sipahutar Tan Kamello, Runtung, Utary Maharany Barus. 2016. Tanggung

Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi

Warga Negara Indonesia Yang Beragama Islam.USU Law Journal Edisi

Januari.4(1): 157

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 164: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

153

Ardian Arista Wardana. 2016. Pengakuan Anak Di Luar Nikah:Tinjauan Yuridis

Tentang Status Anak Di Luar Nikah. Jurisprudence Edisi September 6(2):

160

Armansyah Matondang. 2014. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian

dalam Perkawinan, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik. 2(2):

142

Badruddin Nasir. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perceraian Di

Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda, Jurnal Psikostudia

Universitas Mulawarman. 1(1):33

Bernadeta Resti Nurhayati.2017. Status Anak Luar Kawin Dalam Hukum Adat

Indonesia Edisi Agustus 3(2): 96

Charisa Yasmine. 2017. Pelaksanaan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Studi

Kasus Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha (Pstw)

Khusnul Khotimah Pekanbaru Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau

Edisi Oktober 4(2): 3

Darmawati H. 2017. Perceraian Dalam Perspektif Sosiologi. Sulesana 11(1): 64

Eddo Febriansyah. 2015. Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/Puu–Viii/2010 Tentang Kedudukan Anak Diluar Nikah Yang Diakui

Dalam Pembagian Warisan, Unnes Law Journal 4(1): 10

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2010, Arti Pentingnya Pembuktian Dalam Proses

Penemuan Hukum Di Peradilan Perdata, MIMBAR HUKUM, Edisi Juni

22(2): 347

Ernawati. 2015. Kewajiban Anak Memberi Nafkah Kepada Orang Tua Menurut

Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Esa

Unggul, Jakarta, Forum Ilmiah Edisi Januari 12(1): 3

Eva Meizara Puspita Dewi, Basti. 2015. Pengasuhan Ibu Berkarir Dan

Internalisasi Nilai Karir Pada Remaja Edisi Januari 3(1): 167

Fatimah, Rabiatul Adawiah, M. Rifqi. 2014. Pemenuhan Hak Istri Dan Anak

Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Kasus Di

Pengadilan Agama Banjarmasin), Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan

Edisi Mei. 4(7):558

H.Bahar dan H. Haris. 2016. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Forum

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Studi di Desa Panciro Kecamatan

Bajeng Kabupaten Gowa). Jurnal Tomalebbi (2): 26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 165: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

154

Habibullah. 2018. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah

Perceraian (Studi Kasus : Di Pengadilan Agama Talu). 7(4):58

Harjianto Roudhotul Jannah. 2019. Identifikasi Faktor Penyebab Perceraian

Sebagai Dasar Konsep Pendidikan Pranikah di Kabupaten Banyuwangi,

Edisi Februari. 19(1):38-39

Hamid Pongoliu.2013. Kedudukan Anak Lahir Di Luar Nikah Dalam Perspektif

Hukum Islam Dan Hukum Positif , Al-Mizan 9(1): 117

Kudrat Abdillah. 2013. Pandangan Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama (Nu) Daerah

Istimewa Yogyakarta Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (Mk) No.

46/Puu-Viii/2010 Tentang Status Anak Di Luar Nikah, Al-Ahwal. 6(2):

199

_____________. 2016.Status Anak Di Luar Nikah Dalam Perspektif Sejarah

Sosial, Petita Edisi April 1(1): 50

Lucy Pradita Satriya Putra.2015. Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum

Adat, dan Yuriprudensi Mahkamah Agung, Jurnal Repertorium Edisi Juni

(3): 137

Majelis Adat Aceh. 2008. Pedoman Peradilan Adat di Aceh, diterbitkan atas

kerjasama Bappenas, European Union, APPS dan UNDP

Mansari, Iman Jauhari, Iman Jauhari, Azhari Yahya & Muhammad Irvan

Hidayana. 2018. Hak Asuh Anak Pasca Terjadinya Perceraian Orangtua

Dalam Putusan Hakim Mahkamah Sya’iyah Banda Aceh Edisi September

4(2): 105.

Mardani. 2008. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal

Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 Edisi April-Juni (2):175

Meita Djohan OE, 2016, Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Perkara

Nomor 0679/Pdt.G/2014/Pa Tnk), PRANATA HUKUM Edisi Januari

11(1):64-65

Mochamad Adib Zain. 2015.Pengakuan Atas Kedudukan Dan Keberadaan

Masyarakat Hukum Adat (Mha) Pasca Dibentuknya Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Jurnal Penelitian Hukum Edisi

Juli 2(2): 66-67

Muhamad Jefri Ananta, Dominikus Rato, I Wayan Yasa. 2017. Perceraian dan

Akibat Hukumnya terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut Hukum

Adat Osing di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten

Banyuwangi. e-Journal Lentera Hukum. 4(3): 225

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 166: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

155

Mulyadi.2016. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Yang Diakui. Cakrawala:

9(1). Juni : 93

Nunung Rodliyah. 2014. Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan

Progresif Edisi Maret 5(1): 124

Oktavianus Hery Setyawan. 2014. Pewarisan Dan Pendidikan Iman Anak

Sebagai Tanggung Jawab Orangtua Menurut Ecclesia Domestica -

Studi Kasus Paroki Santo Yosep Purwokerto Timur,Edisi November.

3(2): 111

Peniel C. D. Maiaweng. 2017. Perceraian Dan Pernikahan Kembali, Jurnal

Jaffray Edisi April. 15(1):99

Purwaningsih. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi gugat cerai dipengadilan

agama Kota Bogor. Jurnal Yustisi 1(1): 11-16

Putu Sanjaya. 2018. Mendidik Anak Menjadi Suputra Menurut Teks Canakya

Nitisastra, Pratama Widya 3(2): 48

Rahmadi Indra Tektona. 2012. Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak

Anak Korban Perceraian, Muwâzâh Edisi Juli 4(1): 51

Saadatul Maghfira. 2016. Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif di Indonesia,

Jurnal Ilmiah Syari’ah Edisi Juli-Desember. 15(2): 215

Sita Thamar Van Bemmelen Dan Mies Grijns. 2018. Relevansi Kajian Hukum

Adat: Kasus Perkawinan Anak Dari Masa Ke Masa, Mimbar Hukum

Edisi Oktober 30(3): 521

Stepani. 2015. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus Di Sulawesi

Utara), Lex et Societatis, Edisi April 3(3) :35

Suryawati, Ni Kadek Wulan; Layang, I Wayan Bela Siki. 2018.Kedudukan

Hukum Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, Journal Ilmu Hukum, Edisi Agustus 3(4): 8-9

Virianto Andrew Jofrans Mumu.2018. Tinjauan Yuridis Tentang Tanggung Jawab

Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian Dalam Uu No 1 1974

Pasal 45 Ayat (1), Lex Privatum Edisi Oktober. 6(8): 47

Wirda Latiki. 2015. Kewajiban Hakim Pengadilan Tinggi Dalam

Mempertimbangkan Memori Banding Dan Kontra Memori Banding Dari

Aspek Hukum Acara Perdata, Lex Privatum, Edisi Oktober. 3(4): 25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 167: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM HUKUM …

156

Yayasan ODB Indonesia. 2019. Renungan Pribadi dan Keluarga Kristen dan

Santapan Rohani, Our Daily Bread, Edisi September , 64(6,7,dan 8):24

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN

PENGADILAN

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

Kompilasi Hukum Islam

Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pelaku Kekerasan Dalam Rumah

Tangga

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Putusan Pengadilan Nomor : 365/PDT/2017/PT MDN

D. INTERNET

http://www.beritaekspres.com/ diakses pada Senin, 18 November 2019, pukul

09:35 WIB,

www.fimela.com diakses pada Senin,18 November 2019, pukul 13:29 WIB

www.wikipedia.com diakses pada Sabtu, 16 November 2019 puku 12.00 WIB

https://bankdata.kpai.go.id/regulasi/undang-undang/penjelasan-atas-uu-ri-no-23-

tahun-2002//, diakses pada Minggu, 20 Januari 2020, pukul 00:34 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA