universitas islam negeri fakultas sains dan...
TRANSCRIPT
PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG
PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN
NON ELECTRICAL STUNNING
MAYA INA SHOLAIKAH
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG
PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN
NON ELECTRICAL STUNNING
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
MAYA INA SHOLAIKAH
1111096000058
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM POTONG
PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN
NON ELECTRICAL STUNNING
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
MAYA INA SHOLAIKAH
1111096000058
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul ” PROFIL PROTEIN JARINGAN OTOT DAGING AYAM
POTONG PRA-PENYEMBELIHAN ELECTRICAL STUNNING DAN NON
ELECTRICAL STUNNING” yang ditulis oleh Maya Ina Sholaikah, NIM
1111096000058 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 1 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, 1 Juli 2015
Maya Ina Sholaikah
NIM. 1111096000058
ABSTRAK
Maya Ina Sholaikah. Profil Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong Pra-
Penyembelihan Electrical Stunning Dan Non Electrical Stunning. Dibimbing oleh
SANDRA HERMANTO dan ANNA MUAWANAH.
Perlakuan pra-penyembelihan ayam potong dengan electrical stunning
dapat mempengaruhi aspek kehalalan daging ayam potong. Electrical stunning
dapat menyebabkan ayam potong mati sebelum dilakukan penyembelihan
mencapai sekitar 10–35%. Penelitian tentang identifikasi protein biomarker terkait
kehalalan ayam potong dengan perlakuan pra penyembelihan electrical stunning
dan non electrical stunning telah dilakukan. Masing-masing sampel (6 ekor ayam
potong usia 4 minggu bobot 1 kg dan 6 ekor usia 5 minggu bobot 1,7 kg)
dilakukan proses pra-penyembelihan dengan 3 perlakuan; yaitu sampel A
disembelih dengan cara electrical stunning halal (100 mA 25 Volt selama 10
detik); sampel B dengan electrical stunning haram (100 mA, 220 Volt selama 30
detik); dan sampel C sebagai non electrical stunning halal (kontrol, 0 V, 0 A).
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Proses ekstraksi jaringan
otot daging ayam potong menggunakan buffer Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dan
analisis kandungan protein ditentukan menggunakan metode Lowry. Pemisahan
profil protein menggunakan elektroforesis SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate
polyacrylamide gel electrophoresis) dan analisis densitogram untuk
mengidentifikasi karakteristik BM profil protein yang dihasilkan melalui software
Images J 1.46. Penelitian ini menghasilkan pita-pita protein yang tersebar pada
kisaran 10-140 kDa dan 9 pita protein dominan dengan intensitas yang relatif
berbeda. Hasil analisis densitogram menunjukkan 1 pita protein spesifik (BM
30,19952 kDa) dengan intensitas yang lebih tinggi pada electrical stunning
dibandingkan dengan non electrical stunning. Dengan demikian jenis protein ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai kandidat protein biomarker dalam mendeteksi
kehalalan produk pangan ayam potong yang disembelih dengan perlakuan
electrical stunning.
Kata Kunci: Protein biomarker, electrical stunning, otot ayam, SDS-PAGE,
densitometri.
ABSTRACT
Maya Ina Sholaikah. Protein Profile Of Muscle Tissue Broilers Chicken with
Pre-Slaughtering Electrical Stunning And Non Electrical Stunning. Supervised by
SANDRA HERMANTO and ANNA MUAWANAH.
Slaughter process broiler chicken with electrical stunning influence
associated of halal. Electrical stunning of broiler chicken die causes prior to the
slaughter of approximately 10 – 35%. Research on identification of protein
biomarkers associated halal chicken with different pre-slaughter electrical
stunning and non electrical stunning has been performed. Each sample (6 chickens
aged 4 weeks, weighs 1 kg and 6 chickens age 5 weeks, weighs 1,7 kg) was
prepared through the process of pre-slaughter with 3 conditions; that is a sample
of A slaughtered by electrical stunning as halal (100 mA 25 Volts for 10 seconds);
sample B with electrical stunning of haram (100 mA 220 volts for 30 seconds);
and sample C as non electrical stunning as halal (controls, 0 V, 0 A). Each
condition was repeated twice. Process extraction of muscle tissue meat chicken
using buffer Tris-HCl pH 8,8 M 0,05 and analysis of protein content was
determined using the method of Lowry. Separation of protein profile using
electrophoresis SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel
electrophoresis) and densitogram analysis to identify the characteristics of BM
profile protein produced through software Images J 1.46. This research resulted
profil protein scattered in the range of 10-140 kDa and 9 dominant with relative
intensity is different. Densitogram analysis results showed 1 profil protein specific
(BM 30,19952 kDa) with a higher intensity on the electrical stunning compared
with non electrical stunning. Thus the type of protein is expected to serve as a
candidate protein biomarkers in detecting the halal food products chicken that are
slaughtered with electrical stunning treatment.
Keywords: Protein biomarkers, electrical stunning, chicken muscle, SDS-PAGE,
densitometry.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, karena atas izin-Nya saya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam, beserta keluarganya, para
sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir. Skripsi yang berjudul ” Profil
Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong Pra-Penyembelihan Electrical
Stunning Dan Non Electrical Stunning” ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menempuh penelitian program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus
memberikan bimbingan dan dukungannya, sehingga ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Agus Salim, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Dede Sukandar, M.Si sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
3. Isalmi Aziz, M.T selaku Sekretaris Program Studi Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Sandra Hermanto, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing pemikiran, saran dan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Anna Muawanah, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan saran selama proses penulisan skripsi ini.
ii
6. Seluruh Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu yang telah diberikan.
7. Keluarga terkasih yang sangat dicintai: Bapak (Larto), Ibu (Partini) dan adik
(Aisyah Aji Furqonah) yang tidak pernah lelah dalam memberikan perhatian
dan dukungannya baik secara moril maupun materil.
8. Guru-guru, keluarga besar serta ulama yang telah membantu memberi
dukungan moril dan doa pada peneliti.
9. Seluruh peneliti, staf, dan karyawan Pusat Laboratiorium Terpadu (PLT) UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta yang banyak membantu dalam penelitian ini.
10. Ka Pipit, Ka Prita, Ka Nita, Ka Wahyu dan Ka Fuad selaku laboran kimia
yang telah sabar membantu dan mendukung dalam proses untuk jalannya
penelitian.
11. Teman satu tim penelitian Suci dan teman laboratorium yang telah membantu
dan saling memberi semangat selama proses penelitian.
12. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Kimia Angkatan 2011 yang
sudah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
13. Teman-teman KKN SIAP untuk semangat, dukungan, canda tawa dan
motivasinya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, maka saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan.
Jakarta, 1 Juli 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3 Hipotesa Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7
2.1 Sejarah dan Klasifikasi Ayam ......................................................................... 7
2.2 Komposisi Gizi Daging Ayam Potong ........................................................... 9
2.2.1 Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong ......................................... 11
2.2.2 Pengujian Kadar Protein Metode Lowry ............................................... 14
2.3 Penyembelihan Ayam Potong ......................................................................... 14
2.3.1 Penyembelihan dengan Pemingsanan (Stunning) .................................. 16
2.3.2 Penyembelihan Tanpa Pemingsanan (Non Stunning) atau Manual ...... 18
2.4 Biomarker ....................................................................................................... 19
2.5 Proteomik ........................................................................................................ 20
iv
2.6 Elektroforesis .................................................................................................. 21
2.6.1 Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-
PAGE) ............................................................................................................. 24
2.6.2 Analisis Densitometri ............................................................................. 26
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 29
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................ 29
3.2.1 Alat ......................................................................................................... 29
3.2.2 Bahan ..................................................................................................... 29
3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................................... 30
3.3.1 Proses Penyembelihan dan Isolasi Sampel ............................................ 30
3.3.2 Pengukuran Kadar Protein. ................................................................... 31
3.3.2.1 Penentuan Nilai λ (Panjang Gelombang) Maksimum ................ 31
3.3.2.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi ....................................................... 32
3.3.2.3 Pengukuran Sampel ................................................................... 32
3.3.3 Elektroforesis Dodecyl Sulphate Poliacrilmide Gel Electrophoresis
(SDS-PAGE) .......................................................................................... 33
3.3.3.1 Preparasi Sampel untuk Elekroforesis ....................................... 33
3.3.3.2 Preparasi Gel Elekroforesis ........................................................ 33
3.3.3.3 Loading Sampel ......................................................................... 34
3.3.3.4 Pewarnaan Gel ........................................................................... 34
3.3.3.5 Analisa Berat Molekul dan Tingkat Ekspresi Protein ................ 34
3.4 Desain Penelitian ............................................................................................ 36
v
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37
4.1 Karakteristik Ayam Potong Sebelum dan Sesudah Penyembelihan ............... 37
4.2 Isolasi Protein dari Jaringan Otot Daging Ayam Potong ............................... 40
4.3 Kadar Protein Ekstrak Jaringan Otot Daging Ayam Potong ......................... 42
4.4 Profil Protein Isolat Jaringan Otot Daging Ayam Potong hasil SDS-PAGE ......
......................................................................................................................... 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 57
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58
LAMPIRAN ......................................................................................................... 67
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Standar bobot badan ayam broiler berdasarkan jenis kelamin pada
umur 1 sampai 6 minggu ....................................................................... 8
Tabel 2. Gambaran nilai gizi daging ayam potong (Broiler) ............................... 10
Tabel 3. Protein dari otot rangka ayam ................................................................ 13
Tabel 4. Rekomendasi konsentrasi gel ................................................................. 25
Tabel 5. Kandungan protein jaringan otot daging ayam potong dengan metode
Lowry ..................................................................................................... 44
Tabel 6. Jenis pita protein spesifik yang muncul pada jaringan otot daging
Ayam potong berdasarkan berat molekulnya......................................... 50
Tabel 7. Data intensitas profil protein berat molekul kisaran 28-36 kDa
(Rf diantara 700-800) ............................................................................ 51
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pembentukan protein dari asam amino ............................................ 10
Gambar 2. Gambaran struktur sel otot .............................................................. 11
Gambar 3. Saluran darah, oeshopagus dan trakhea diantara leher dan kepala
ayam ................................................................................................ 15
Gambar 4. Diagram skema pemingsanan ayam dengan waterbath electrical
stunning ............................................................................................ 18
Gambar 5. Cara kerja elektroforesis .................................................................. 23
Gambar 6. Alat elektroforesis SDS-PAGE ....................................................... 26
Gambar 7. Ayam potong sebelum penyembelihan (a) Usia 4 minggu (1 kg)
(b) Usia 5 minggu (1,7 kg) .............................................................. 37
Gambar 8. Warna sampel daging ayam potong setelah proses penyembelihan ....
......................................................................................................... 38
Gambar 9. Ekstrak kasar protein jaringan otot daging ayam potong bagian
paha ................................................................................................ 40
Gambar 10. Reaksi pembentukan kompleks pewarnaan biru pada metode
Lowry ............................................................................................. 43
Gambar 11.Gel ke-1 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam
Potong 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A
(Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C
(Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M) ......................... 47
viii
Gambar 12.Gel ke-2 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam
Potong 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A
(Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C
(Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M) ......................... . 47
Gambar 13.Perbedaan intensitas pada densitogram masing-masing sanpel
jaringan otot daging ayam potong 1 (Ayam Potong 4 minggu (1
Kg)); 3 (Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan
Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan
Non Stunning Halal ........................................................................ . 52
Gambar 14. Alur elektroporasi ........................................................................... 54
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Gambar bahan dan alat penelitian ................................................... 66
Lampiran 2. Gambar metode penelitian ............................................................... 68
Lampiran 3. Komposisi reagen dan larutan ......................................................... 70
Lampiran 4. Pembuatan deret konsentrasi BSA pada uji kadar protein
sampel dengan metode Lowry ........................................................ 72
Lampiran 5. Nilai serapan pada metode Lowry ................................................... 73
Lampiran 6. Kandungan kadar protein pada sampel............................................ 74
Lampiran 7. Hasil persamaan garis kurva standar marker protein ...................... 76
Lampiran 8. Tampilan software ImageJ 1.46 ...................................................... 79
Lampiran 9. Data gel elektroforesis ..................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kualitas kehidupan masyarakat yang sehat memerlukan adanya kebutuhan
pangan yang sempurna. Salah satu pangan yang sempurna adalah terpenuhinya
komposisi gizi berupa protein sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh.
Sumber protein terbesar dalam tubuh adalah daging (Winarno, 2002). Diantara
sumber protein daging yang banyak dikonsumsi adalah daging ayam. Pusat
Informasi dan Pasar Unggas Nasional (Pinsar) menyebutkan bahwa produksi
ayam potong nasional tahun 2014 mencapai hingga 2,4 miliar ekor. Pemilihan
ayam potong sebagai sumber protein dikarenakan harganya yang relatif murah,
mudah diperoleh dan mudah dalam pengolahan (Winedar et al., 2006).
Pemenuhan daging ayam potong sebagai sumber protein dari hari kehari
semakin meningkat. Hal ini membuat Rumah Potong Hewan (RPH), harus
memenuhi kebutuhan daging ayam potong tersebut. Namun, sebagian besar RPH
di Indonesia belum memiliki sertifikat halal. Faktanya adalah dari 700 RPH di
seluruh Indonesia hanya 120 RPH yang disertifikasi halal oleh MUI (LPPOM
MUI, 2012).
Salah satu perhatian khusus terhadap aspek kehalalan produk pangan
hewan ternak adalah terkait dengan pra-penyembelihan, penyembelihan dan
pasca-penyembelihan (Farouk, 2013). Salah satu riwayat Hadist nabi menyatakan;
2
“Bahwasanya Allah memerintahkan berbuat baik atas segala sesuatu, jika
kalian membunuh, bunuhlah yang baik dan jika kamu menyembelih, sembelihlah
dengan baik, hendaklah diantara kamu menajamkan pisaunya dan mempercepat
mematikan sembelihannya” (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus ra.).
Berdasarkan Hadits tersebut, perlu adanya penanganan penyembelihan
dengan metode yang islami baik cara maupun penyiapan prasarananya. Saat ini
banyak dilakukan penyembelihan secara modern, yaitu banyaknya jumlah hewan
yang disembelih dalam satu waktu sehingga memerlukan waktu yang sangat cepat
dan dibutuhkan perlakuan khusus untuk penyembelihannya. Salah satu perlakuan
khusus tersebut adalah pemberian electrical stunning atau pemingsanan dengan
cara melemahkan hewan sebelum proses penyembelihan menggunakan arus
listrik. Banyak ulama yang melarang adanya proses tersebut, namun sebagian
ulama yang membolehkan harus sesuai dengan syarat bahwa hewan tidak mati
sebelum disembelih dan tidak membuat cidera permanen pada hewan (Prastowo,
2014).
Menurut Yenrina et al. (2010), penggunaan electrical stunning dapat
menyebabkan ayam potong mati sebelum dilakukan proses penyembelihan
mencapai sekitar 10–35% kematian. Hal ini dapat terjadi karena dari kekuatan
setiap hewan terhadap proses stunning sangat bervariasi, dipengaruhi oleh kondisi
tubuh hewan, usia dan lainnya. Misalnya pada ayam potong jenis betina memiliki
hambatan listrik lebih tinggi dibanding ayam potong jantan sehingga dibutuhkan
arus listrik yang sesuai dengan kondisi ayam potong masing-masing (Rawles et al,
1995).
3
Menurut Reilly (1994) electrical stunning dengan tegangan listrik sebesar
220 V selama 4 detik dapat menyebabkan kerusakan otak pada ayam broiler yang
parah hingga menyebabkan kematian, akibatnya cara ini termasuk cara yang
menyiksa hewan dan menjadikan kehalalannya diragukan. Berdasarkan syarat
penyembelihan dengan electrical stunning halal, tegangan listrik yang digunakan
harus sebesar 10-25 V selama 5-10 detik melalui waterbath (LPPOM MUI, 2012).
Perbedaan daging ayam potong yang diperoleh melalui pra-penyembelihan
yang sudah ataupun belum memperhatikan aspek kehalalan, dapat dilakukan
dengan pemeriksaan terhadap protein biomarker spesifik. Protein biomarker
adalah protein yang terekspresi secara spesifik dengan adanya perlakuan tertentu
sebagai akibat dari respon fisiologi dan neurologis yang terjadi baik di dalam
maupun di luar sel. Protein biomarker ini berkaitan dengan pengembangan
metode analisa kehalalan pangan khususnya bersumber dari ayam potong yang
dilakukan pra-penyembelihan berbeda (Bendixen , 2005).
Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Doherty et al., (2004) yang
menyatakan pertumbuhan ayam potong sejak usia 1 hari hingga 27 hari yang
disembelih dengan gas stunning CO2, menunjukkan tingkat ekspresi protein yang
berbeda setiap sampelnya. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Zaman et al.,
(2012) melalui perbedaan metode penyembelihan ayam potong dengan memutus
leher hingga terpisah dari badannya dan hanya memutus tiga saluran,
menunjukkan karakteristik protein yang terekspresi pada daerah bobot molekul
45-66 kDa. Selain itu metode pra-penyembelihan berbeda telah dilakukan oleh
Samah et al.,(2011) yang menunjukkan bahwa ayam potong akibat perlakuan
4
stunning dengan arus listrik 0,75 A dan 70 V menghasilkan spot protein yang
relatif berbeda jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak dilakukan stunning.
Melalui beberapa metode penyembelihan ayam potong tersebut, hingga
saat ini belum banyak informasi atau penelitian yang mengidentifikasi profil
protein biomarker yang diisolasi dari jaringan otot daging ayam potong dengan
pra-penyembelihan yang berbeda terutama dengan perlakuan electrical stunning
pada rentang berat tubuh atau usia yang berbeda. Jaringan otot merupakan salah
satu jenis sel yang paling banyak pada daging dan bersifat kontraktil serta
memiliki fungsi khusus dalam metabolisme yang sangat bergantung pada
sejumlah besar protein di dalam bagian jenis dan bagian dagingnya (Ohlendieck,
2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi protein-protein spesifik
yang terekspresi pada jaringan otot daging ayam potong yang dilakukan dengan
pra-penyembelihan berbeda yakni melalui electrical stunning dan non electrical
stunning. Hasil analisis proteomik ini diharapkan dapat diperoleh informasi
mengenai beberapa jenis protein berbeda yang terekspresikan di dalam jaringan
otot daging ayam potong. Selain itu, analisis proteomik juga diarahkan untuk
memetakan profil protein spesifik yang nantinya dapat digunakan sebagai
kandidat biomarker untuk analisa kehalalan produk pangan.
5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah profil protein jaringan otot daging ayam potong pada pra-
penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning
berdasarkan tingkat ekspresi dan berat molekul nya?
2. Apakah terdapat protein spesifik yang terekspresi dan dapat dijadikan
sebagai kandidat biomarker untuk mendeteksi kehalalan akibat perlakuan
pra-penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning?
1.3 Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan profil protein jaringan otot daging ayam potong pada
pra-penyembelihan electrical stunning dan non electrical stunning
berdasarkan tingkat ekspresi dan berat molekul nya.
2. Perlakuan Over Voltage pada electrical stunning akan menghasilkan
protein tertentu yang spesifik dan dapat dijadikan sebagai kandidat
biomarker pendeteksi kehalalan daging ayam potong.
6
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi perbedaan profil protein jaringan otot daging ayam
potong yang terekspresi pada pra-penyembelihan secara electrical
stunning dan non electrical stunning.
2. Mengidentifikasi protein spesifik yang diduga sebagai kandidat biomarker
dari jaringan otot daging ayam potong pada pra-penyembelihan secara
electrical stunning dan non electrical stunning berdasarkan tingkat
ekspresi dan berat molekul protein.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai profil protein spesifik sebagai kandidat biomarker yang dapat
digunakan dalam pendeteksian kehalalan produk pangan pada daging ayam
potong dengan pra-penyembelihan yang berbeda (secara electrical stunning dan
non electrical stunning). Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam pengembangan metode analisa kehalalan pangan
terutama untuk produk-produk pangan berbasis hewani.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah dan Klasifikasi Ayam
Menurut sejarahnya, ayam jinak yang dipelihara manusia sekarang adalah
berasal dari ayam liar. Keturunan ayam yang telah menjadi jinak kemudian
disilang-silangkan atau dikawin-kawinkan oleh manusia. Menurut teori terdahulu,
ayam liar ini adalah ayam hutan atau Gallus gallus. Hirarki klasifikasi ayam
menurut Sarwono et al.,(2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Divisi : Carinathae
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Family : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus gallus domestica sp
Ayam potong atau ayam broiler atau ayam ras merupakan hasil rekayasa
genetika yang dihasilkan dengan cara menyilangkan sesama spesies ayam.
Kebanyakan induknya diambil dari Amerika dan prosesnya diawali dengan
mengawinkan sekelompok ayam dalam satu keluarga, kemudian dipilihlah
turunannya yang tumbuh paling cepat. Diantaranya saling disilangkan kembali
dan keturunannya diseleksi lagi, hasil keturunan yang cepat tumbuh kemudian
dikawinkan dengan sesamanya. Demikian seterusnya hingga diperoleh ayam yang
paling cepat tumbuh maka disebut ayam broiler (Indro, 2004).
8
Ayam potong adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada
umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagi penghasil daging. Ayam potong berumur
dibawah delapan minggu dengan berat hidup 1,5–2,8 kg bahkan pemasaran ayam
potong dikelompokkan berdasarkan berat hidup, yaitu 0,8–1 kg; 1–1,2 kg; 1,2–1,4
kg; 1,4–1,6 kg; 1,6−1,8 kg dan lebih dari 1,8 kg dengan masa pemeliharaan
selama 25–40 hari (Suharti, 2008). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak
menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti
sampai mencapai dewasa (Kartasudjana et al., 2006). Standar bobot badan ayam
broiler dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar bobot badan ayam broiler berdasarkan jenis kelamin pada umur
1 sampai 6 minggu.
Umur
(minggu) Jantan (g) Betina (g)
1 152 144
2 376 344
3 686 617
4 1085 965
5 1576 1344
6 2088 1741
Sumber: NRC (1994)
Periode pertumbuhan ayam broiler dibagi menjadi 2 yaitu; periode starter
dan periode finisher. Periode starter pada ayam broiler dimulai sejak umur 1 hari
sampai umur 21 hari dan periode finisher dimulai sejak umur 21 hari sampai
panen (Rasyaf, 1996). Ayam broiler mengalami pertumbuhan yang berlangsung
cepat pada periode starter yang kemudian pertumbuhan akan berlangsung
melambat dan terjadi karena penimbunan lemak tubuh (Wahju, 1997).
9
2.2 Komposisi Gizi Daging Ayam Potong
Ditinjau dari segi mutu, daging ayam memiliki nilai gizi yang lebih tinggi
dibandingkan hewan ternak lainnya. Daging ayam mempunyai kandungan protein
yang lebih tinggi, komposisi protein ini sangat baik karena mengandung semua
asam amino esensial yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Akan tetapi
daging ayam juga mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi dibandingkan
hewan ternak lainnya (Surisdiarto et al., 1990). Kandungan gizi yang dimiliki
jenis daging ayam (100 gram) adalah kadar protein 23,6%, lemak 7%, kolesterol
62 mg dan kalori 135 Kkal (Anggorodi, 1995).
Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dalam daging. Nilai
nutrisi daging yang lebih tinggi disebabkan karena daging mengandung beberapa
asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Kandungan protein di dalam
otot yaitu 16% - 22%. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 75% air,
18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie,
2003).
Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan
menyusun lebih dari setengah berat kering hampir pada semua organisme
(Lehninger, 1998). Molekul protein terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-
55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan
sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi,
1979). Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam
amino esensial. Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino
tersebut secara biologis. Selain itu pengertian protein (Gambar 1) adalah
makromolekul yang terdiri atas asam-asam α-amino yang saling berikatan
10
dengan ikatan kovalen diantara gugus α-karboksil asam amino dengan gugus α-
amino dari asam amino yang lain. Ikatan di antara asam amino disebut ikatan
peptida. Beberapa unit asam amino yang berikatan dengan ikatan peptida
disebut polipeptida. Molekul protein dapat terdiri atas satu atau sejumlah rantai
polipeptida dan setiap rantai dapat terdiri atas ratusan hingga jutaan residu asam
amino (Girindra, 1986).
Gambar 1. Pembentukan protein dari asam amino (Puri, 2013).
Disebutkan presentase bagian dada ayam potong berdasarkan berat ayam
potong adalah 22,70%, bagian paha sebesar 19,01% (Triyantini et al., 1997).
Lebih rincinya gambaran nilai gizi daging ayam potong (broiler) dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Gambaran nilai gizi daging ayam potong (Broiler)
Sajian (100 g
tanpa kulit)
Protein Kalori Lemak Kolestrol Sodium Zat Besi
Broiler Utuh 23 g 134 4,1 g 76 mg 73 mg 1 mg
Daging Dada 24 g 116 1,5 g 72 mg 63 mg 0,9 mg
Sayap 23 g 147 5,6 g 72 mg 76 mg 1 mg
Paha Bawah 21 g 131 3,8 g 79 mg 81mg 1,1 mg
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemerintahan Lampung (2014).
11
2.2.1 Protein Jaringan Otot Daging Ayam Potong
Otot (Gambar 2) mengandung protein sekitar 19% dengan kisaran 16%-
22% (Forrest et al., 1975). Otot terbuat dari kumpulan sel yang disebut serabut
otot. Setiap sel penuh dengan filamen yang terbuat dari dua protein yaitu aktin dan
myosin. Ini termasuk kelompok protein sepanjang membran, yang mengelilingi
setiap serat dalam membantu sel untuk menjaga sel-sel otot bekerja dengan benar.
Protein yang terdapat dalam jaringan otot terdiri atas 70% protein struktural
berupa protein fibril serta 30% protein larut-air. Protein fibril mengandung sekitar
32-38% miosin, 13-17% aktin, 2-7% tropomiosin dan 6% protein stroma.
Gambar 2. Gambaran struktur sel otot (http://mda.org )
12
Protein larut-air terdiri atas mioglobin dan enzim yang berperan dalam
proses metabolisme sel otot. Protein ini mudah dipisahkan dengan cara ekstraksi
dengan larutan garam lemah (kekuatan ion < 0,1). Miosin merupakan protein otot
dengan jumlah yang paling besar dan merupakan molekul asimetrik dengan bobot
molekul sekitar 500 kDa, dengan kandungan -helik sebesar 60-70%. Miosin
dapat dipisahkan dengan ultrasentrifugasi menjadi dua sub unit, meromiosin berat
(220 kDa) dan meromiosin ringan (20 kDa). Protein fibril lainnya, aktin terdapat
dalam dua bentuk, yang pertama berupa monomer disebut aktin-G dengan bobot
molekul 47 kDa dan aktin-F (fibrous) dengan bobot molekul yang lebih tinggi.
Unit aktin bergabung membentuk heliks ganda dengan panjang yang tidak
tentu. Aktomiosin merupakan kompleks aktin-F dengan miosin dan
bertanggungjawab atas proses kontraksi dan relaksasi otot. Mikrofilamen yang
lain yang terdapat pada zona H yaitu tropomiosin dan troponin yang terdiri dari
tiga jenis molekul, troponin I, C dan T. Keberadaan tropomiosin dan troponin
dalam sel otot berperan dalam proses pengikatan miosin (Nazar, 2007). Peran
struktural mikrofilamen dalam sitoskeleton ialah untuk menahan tegangan (gaya
tarik). Bergabungnya dengan protein lain, mikrofilamen sering membentuk jalinan
tiga dimensi yang berada tepat di dalam membran plasma dan membantu
mendukung bentuk sel untuk gerakan molekul miosin yang menempel di
mikrofilamen.
13
Sebanyak 53 jenis protein telah ditemukan terdapat dalam otot rangka
ayam seperti yang tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Protein dari otot rangka ayam
Sumber : Doherty et al., (2004)
No Identifikasi Nilai
BM
% Ca-
kupan
Pasangan
Peptida
Massa
BM
pI Spesies No .
Acc
14
2.2.2 Pengujian Kadar Protein Metode Lowry
Metode yang dilakukan untuk penetapan kadar protein pada penelitian ini
adalah dengan metode Lowry. Metode Lowry merupakan salah satu metode untuk
menentukan konsentrasi protein. Metode ini merupakan pengembangan dan
penggabungan dari metode Biuret dan metode Folin yang dikembangan pada
tahun 1959 dengan menggunakan reagen pendeteksi Folin-Ciocalteu. Dalam
bentuk yang paling sederhana reagen Folin-Ciocalteu dapat mendeteksi residu
tirosin (dalam protein), karena kandungan fenolik dalam residu tersebut mampu
mereduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang merupakan konstituen utama
reagen Folin-Ciocalteu menjadi kompleks tungsten dan molybdenum yang
berwarna biru. Hasil reduksi ini menunjukkan puncak absorpsi yang lebar pada
daerah merah dari spektrum sinar tampak (600-800 nm).
Sensitifitas dari metode Folin-Ciocalteu ini mengalami perbaikan yang
cukup signifikan apabila digabung dengan ion-ion Cu (metode Biuret). Kompleks
Cu-protein yang dihasilkan oleh reagen biuret akan menyebabkan reduksi pula
pada fosfotungstat dan fosfomolibdat dalam reagen Folin-Ciocalteu. Sekitar 75%
dari reduksi yang terjadi diakibatkan oleh adanya kompleks Cu-protein tersebut,
sementara residu-residu tirosin dan triptofan mereduksi 25% sisanya.
2.3 Penyembelihan Ayam Potong
Penyembelihan dalam agama Islam disebut dzakah yang secara lutghoh
diartikan membaikkan (membaikkan dalam memakannya), secara syari'ah
(istilah) diartikan memotong bagian tertentu. Bagi negara yang mayoritas muslim
penyembelihan dengan metode Islam, yaitu dengan sistem dzabh dengan
15
memotong mari' (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah
leher (Nuhriawangsa, 1999).
Pada tempat penyembelihan ayam, ayam yang disembelih adalah melalui
bagian leher dekat kepala dengan memotong vena jugularis dan arteri karotid
(Gambar 3) menggunakan metode pemotongan yang religius (Parry, 1989).
Arteri karotid (ka)
Arteri karotid (ki)
Vena jugularis (ka)
Vena jugularis (ki)
Oeshopagus
Trakhea
Gambar 3. Saluran darah, oeshopagus dan trakhea diantara leher dan kepala ayam
(Gregory, 1989)
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan secara
Islam yang digolongkan menjadi empat persoalan. Syarat pertama berhubungan
dengan hewan sembelihan: hewan masih dalam keadaan hidup dan termasuk yang
dihalalkan. Syarat kedua berhubungan dengan alat untuk menyembelih: alat harus
benar-benar tajam dan terbuat dari logam, batu dan kayu. Syarat yang ketiga
berhubungan dengan orang yang menyembelih meliputi: (1) orang yang telah
disepakati boleh melakukan penyembelihan yaitu Islam, lelaki dewasa, berakal
dan tidak melalaikan sholat, (2) orang yang dilarang untuk melakukan
16
penyembelihan yaitu orang-orang musyrik penyembah berhala, (3) orang yang
masih diperselisihkan dalam menyembelih yaitu ahli kitab, Majusi dan Shabi'in,
wanita dan anak-anak, orang gila, orang mabuk, orang yang melalaikan sholat,
pencuri dan perampas harta orang lain. Syarat keempat berhubungan dengan saat
penyembelihan: menyebut nama Allah, menghadapkan hewan sembelihan ke
kiblat dan niat saat menyembelih (Nuhriawangsa, 1999).
2.3.1 Penyembelihan dengan Pemingsanan (Stunning)
Rumah pemotongan ayam biasa dilakukan proses pemingsanan sebelum
penyembelihan dengan alat pemingsan elektronik atau electrical stunning
(Mountney, 1976). Pemingsanan biasa dilakukan dengan menggunakan aliran
listrik pada suatu water bath yang berjalan dengan memasang electrode (Gambar
4). Dengan metode model electric stunning via water bath, ayam kurang berisiko
banyak menyebabkan kematian yang berarti. Dengan pengaturan arus listrik yang
tepat, untuk stunning ayam potong berkisar: 15-25 volt, 0,1-0,3 ampere, 5-10
detik dan <200 Hz: 100mA diperlukan untuk rata-rata berat ayam tidak lebih dari
1,5 kg/ekor. Untuk ukuran arus listrik <200 Hz: diatas 100mA, maka ayam dapat
sadar kembali dalam waktu 45 detik. Kelemahan metode ini seringkali proses
pemingsanan sering kurang sempurna dan dilaksanakan berulang. Oleh karenanya
spesifikasi pemanfaatan alat harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan berat
ayam yang disembelih dan ayam tidak sedang dalam kondisi stres ataupun sakit
(Prastowo, 2013).
17
Cara-cara penyembelihan hewan dengan sistem mekanisasi stunning yang
digambarkan oleh Komisi Fatwa MUI :
1. Bahwa penggunaan mesin untuk pemingsanan dimaksudkan mempermudah
roboh dan jatuhnya hewan yang akan disembelih di tempat pemotongan dan
untuk meringankan rasa sakit hewan.
2. Bahwa hewan yang roboh dipingsankan di tempat penyembelihan apabila
tidak disembelih akan bangun sendiri lagi segar seperti semula keadaanya.
3. Bahwa penyembelihan dengan sistem ini tidak mengurangi keluarnya darah
mengalir, bahkan akan lebih banyak dan lebih lancar sehingga dagingnya
lebih bersih (LPPOM MUI, 1976).
Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam penyembelihan ayam dengan
stunning adalah sebagai berikut:
1. Pemingsanan ayam harus dilakukan segera mungkin untuk menghilangkan
rasa sakit, namun demikian dihindarkan ayam mati karena arus listrik.
2. Ayam yang telah pingsan segera disembelih dan ditunggu hingga pengeluaran
darah sempurna untuk diproses lebih lanjut.
3. Apabila ayam belum juga pingsan, maka ayam harus dilepas dari penggantung
kaki dan dipisah. Selanjutnya diistirahatkan sementara untuk diulang proses
pemingsanan dari mulai sejak awal.
4. Petugas yang melayani proses pemingsanan ayam harus paham tugasnya,
termasuk cara penyembelihan yang benar dan baik sesuai syarat Islam.
5. Hanya petugas yang berkompetensi penguasaan operasional alat stunning
ayam yang berhak menangani peralatan tersebut.
18
6. Ayam harus segera disembelih dalam waktu 10 detik setelah pingsan dengan
pisau tajam.
7. Ayam harus dipastikan telah mati karena disembelih dan baru dapat
dimasukkan ke dalam air panas (scalding tank) untuk proses pencabutan bulu
(Prastowo, 2014).
Gambar 4. Diagram skema pemingsanan ayam dengan waterbath electrical stunning
(Kettlewell, 1990)
2.3.2 Penyembelihan Tanpa Pemingsanan (Non Stunning) atau Manual
Tata cara menyembelih binatang secara tradisional atau manual atau tanpa
pemingsanan yaitu dengan tanpa pemotongan menggunakan mesin, diantaranya :
1. Menyiapkan terlebih dahulu lubang penampung darah.
2. Peralatan yang akan digunakan untuk menyembelih disiapkan terlebih dahulu.
3. Binatang yang akan disembelih dibaringkan menghadap kiblat, lambung kiri
bawah.
4. Leher binatang yang akan disembelih diletakkan di atas lubang penampung
darah yang sudah disiapkan.
19
5. Kaki binatang yang akan disembelih dipegang kuat-kuat atau diikat.
6. Mengucap basmalah, kemudian alat penyembelihan digoreskan pada leher
binatang yang disembelih sehingga memutuskan jalan makan, minum, nafas,
serta urat nadi kanan dan kiri pada leher binatang (Nugroho, 2013).
2.4 Biomarker
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini,
memungkinkan saling menunjangnya perkembangan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Beberapa kemajuan tersebut antara lain adalah perkembangan ilmu
biologi molekuler yang memungkinkan diperolehnya suatu marker (penanda) gen
(Widodo, 2003).
Marker dalam teknik uji hayati, dapat mengetahui metabolit atau
perangkat metabolit yang dapat dipakai untuk menguji ketidaknormalan dalam
suatu sistem biologis. Marker (penanda) secara kimiawi dapat mengetahui banyak
senyawa yang akan ditentukan. Marker ini dapat pula disebut sebagai senyawa
penciri yang bersifat aktif. Senyawa penciri dapat bersifat aktif dan tidak aktif,
tapi bersifat stabil selama proses. Pencirian ini dapat dimasukkan pada suatu
metode identifikasi senyawa murni dan juga metode untuk menentukkan golongan
apa yang terdapat dalam campuran kasar (Robinson, 1995).
Biomarker adalah protein, lemak atau makromolekul lain yang dapat
diukur secara objektif dan berhubungan dengan proses biologis, mekanisme
regulasi atau respons terhadap suatu intervensi terapeutik (Mueller, 2008).
Biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses
fisiologik maupun patologik (Capelastegui et al, 2006). Secara lebih spesifik,
20
sebuah biomarker menunjukkan perubahan dalam ekspresi atau keadaan protein
yang berkorelasi dengan perlakuan yang diberikan (Michels et al., 2003).
2.5 Proteomik
Semua sifat dan mekanisme biologis yang terkait dengan aktifitas makhluk
hidup dikendalikan oleh serangkaian gen dan tingkat ekspresi protein pada
makhluk hidup tersebut. Sifat-sifat biologis telah banyak dipelajari oleh para ahli
genetika, fisiologi, biologi sel dan biokimia yang melakukan berbagai eksperimen
selama puluhan tahun untuk mencirikan mekanisme biologis di balik variabilitas
sifat-sifat makhluk hidup. Semua aspek yang berkaitan dengan variabilitas
makhluk hidup dapat ditelusuri melalui pendekatan genomik dan proteomik.
Dalam ilmu pertanian serta dalam semua ilmu kehidupan lainnya, pendekatan
genomik dan proteomik merupakan langkah penting dalam menunjang
peningkatan kualitas produk dan pengembangan metode produksi ternak yang
lebih berkelanjutan (Bendixen, 2005).
Menurut definisi klasik, proteomik merupakan kumpulan protein dari
suatu genom (Wilkins et al., 1996). Proteomik mengacu pada kajian ilmiah
mengenai karakteristik seluruh protein komplemen yang diekspresikan dalam sel
atau suatu jaringan. Tujuan dari pendekatan proteomik adalah untuk memperoleh
informasi tentang ekspresi protein seluler, dengan demikian juga mengungkapkan
fungsi gen, untuk menjelaskan bagaimana faktor keturunan dan lingkungan
berinteraksi dalam mengontrol fungsi seluler dan membentuk ciri-ciri fisiologis
suatu organisme hidup.
21
Proteomik adalah studi skala besar protein, khususnya struktur dan fungsi.
Proteome adalah komplemen seluruh protein dan proteomik menegaskan
kehadiran protein serta menyediakan ukuran langsung dari jumlah ini. Para
ilmuwan sangat tertarik pada proteomik karena memberikan pemahaman yang
lebih baik dari suatu organisme dari genomik.
Tujuan dari ekspresi proteomik adalah untuk menemukan penanda
molekuler, atau sering disebut biomarker. Eksplorasi biomarker saat ini telah
mendapatkan banyak perhatian dalam semua ilmu biologi, yang dapat digunakan
untuk meningkatkan berbagai aplikasi, termasuk metode yang digunakan dalam
produksi dan pengolahan daging (Pan et al., 2005).
2.6 Elektroforesis
Elektroforesis adalah teknik pemisahan komponen atau molekul
bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah medan listrik
(Westermeier, 2004). Ada juga yang menyebutkan bahwa elektroforesis
merupakan teknik untuk memisahkan molekul-molekul seperti protein atau
fragmen asam nukleat pada basa berdasarkan kecepatan migrasi melewati gel
elektroforesis. Teknik elektroforesis digunakan untuk memisahkan dan
mempurifikasi makromolekul. Makromolekul yang dijadikan objek elektroforesis
adalah protein dan asam nukleat yang memiliki perbedaan ukuran, kadar ion, dan
molekul-molekul penyusunnya. Molekul-molekul tersebut diletakkan di dalam
medan listrik sehingga akan bermigrasi karena adanya perbedaan muatan.
Molekul protein dan asam nukleat yang bermuatan negative akan bergerak dari
kutub negatif menuju kutub positif dari gel elektroforesis (Lawrence, 1989).
22
Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada
muatan, bentuk dan ukuran. Dengan demikian elektroforesis dapat di gunakan
untuk separasi makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Posisi molekul
yang terseparasi pada gel dapat di deteksi dengan pewarnaan atau autoradiografi,
atau pun dilakukan kuantifikasi dengan densitometer (Yuwono, 2005). Alasan
elektroforesis sering digunakan dalam penelitian, karena memiliki peran sangat
penting dalam proses pemisahan molekul-molekul biologi khususnya protein.
Karena disamping metode tersebut tidak mempengaruhi struktur biopolimer,
tetapi juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang
cukup kecil. Protein yang dialirkan dalam medium yang mengandung medan
listrik maka senyawa-senyawa yang bermuatan akan bergerak dalam larutan
sebagai akibat dari sifat polaritas yang berlawanan, maka mobilitas suatu molekul
merupakan fungsi dari bentuk, ukuran molekul dan besar tipe muatan (Bachrudin,
2000).
Elektroforesis (Gambar 5) untuk makromolekul memerlukan matriks
penyangga untuk mencegah terjadinya difusi karena timbulnya panas dari arus
listrik yang digunakan. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan matriks
penyangga yang banyak dipakai untuk separasi protein dan asam nukleat.
Elektroforesis yang sering digunakan adalah matriks bahan polyacrylamide gel
electrophoresis (PAGE) (Hames, 1990; Matsudaira, 1993).
23
Gambar 5. Cara kerja elektroforesis (Schagger, 1987)
Pergerakan protein pada elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
1. Ukuran molekul
Molekul kecil akan melintasi gel lebih cepat karena ruang gerak yang
tersedia untuk melintasi gel lebih banyak.
2. Konsentrasi gel.
Konsentrasi gel yang semakin tinggi menyebabkan molekul-molekul
protein sukar melewati gel. Konsentrasi gel tinggi mempermudah protein
berukuran kecil melewati gel, sedangkan konsentrasi gel rendah mempermudah
molekul protein berukuran besar untuk melintasi gel.
3. Bentuk Molekul
Molekul yang berbentuk supercoil atau elips akan bergerak lebih cepat
melewati gel.
24
4. Pori-pori gel.
Pori-pori yang lebih besar akan mempermudah pergerakan protein
melewati gel.
5. Voltase.
Voltase tinggi akan menyebabkan cepatnya pergerakan molekul. Hal
tersebut dikarenakan oleh tingginya muatan positif yang ditimbulkan.
6. Larutan buffer.
Buffer dengan kadar ion tinggi akan menaikkan konduktansi listrik
sehingga migrasi molekul akan lebih cepat.
2.6.1 Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-
PAGE)
SDS-PAGE merupakan suatu teknik elektroforesis yang menggunakan
polyacrylamide sebagai bahan pemisah. SDS-PAGE banyak digunakan dalam
praktikum biologi molekuler, genetik, biokimia, dan biomedik. SDS-PAGE
biasanya digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan sifat electrophoretic
mobility (pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan
tingkat migrasi dan berat molekulnya (BM) dalam sebuah medan listrik). Protein
yang dipisahkan dengan SDS-PAGE dapat dikarakterisasi berdasarkan berat
molekulnya dengan satuan Kilo Dalton (KDa). Satu dalton sama dengan satu
hidrogen molekul (Bachrudin, 1999).
Penggunaan SDS‐PAGE bertujuan untuk memberikan muatan negatif pada
protein yang akan dianalisa. Protein yang terdenaturasi sempurna akan mengikat
SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut (Dunn et
al,1989). Denaturasi protein dilakukan dengan merebus sampel dalam buffer yang
25
mengandung β‐merkaptoetanol (berfungsi untuk mereduksi ikatan disulfide),
gliserol dan SDS (Walker, 1988). Muatan asli protein akan digantikan oleh
muatan negatif dari anion yang terikat sehingga kompleks protein‐SDS memiliki
rasio muatan per berat molekul yang konstan (Hames, 1989).
Prinsip penggunaan metode ini adalah migrasi komponen akrilamida
dengan N.N` bisakrilamida. Kisi–kisi tersebut berfungsi sebagai saringan molekul
sehingga konsentrasi atau rasio akrilamid dengan bisakrilamid dapat diatur untuk
mengoptimalkan kondisi migrasi komponen protein. Metode ini sering digunakan
untuk menentukan berat molekul suatu protein disamping untuk memonitor
pemurnian protein (Walker, 1988). Tabel 4 di bawah memberikan komposisi yang
disarankan dari gradien linier, yang berkaitan dengan berbagai konsentrasi
akrilamida pada rentang molekul protein yang tepat.
Tabel 4. Rekomendasi konsentrasi gel
Sumber: Thermo Scientific (2014)
Sampel‐sampel ekstrak protein yang diinjeksikan ke dalam sumur gel
(Gambar 6) diberi warna dengan bromphenol biru yang dapat terionisasi. Fungsi
pewarna adalah untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis. Berat
molekul protein dapat diketahui dengan membandingkan Rf protein dengan
protein standar yang berat molekulnya telah diketahui (Walker, 1988).
Kisaran BM protein (kDa) Rekomendasi gel ( %)
~5-50 18
~10-80 14
~20-150 12
~30-200 10
~40-250 8
~60-300 6
~100-400 4
26
Gambar 6. Alat elektroforesis SDS-PAGE (http://lh3.ggpht.com)
2.6.2 Analisis Densitometri
Densitas merupakan kemampuan sebuah material untuk menyerap atau
memantulkan sinar. Densitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu densitas
transmisi yang merupakan kemampuan lapisan material untuk menyerap sinar
yang datang dan yang kedua adalah densitas refleksi yaitu kemampuan lapian
material untuk memantulkan sinar yang datang. Pengukuran densitas dapat
menggunakan sebuah alat ukur yang disebut densitometer. Densitometer
merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur besarnya densitas atau dengan
kata lain merupakan alat yang digunakan untuk mengukur derajat kehitaman atau
kepekatan (densitas optis) suatu model atau bahan semi-transparan (Siregar M.L,
2009).
27
Analisis densitometri merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi
hasil elektroforesis. Hasil analisis densitometri terhadap pita-pita gel hasil
elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan pita dan untuk
kuantifikasi proporsi penyusun protein yang dielektroforesis (Aulanni’am, 2004).
Suatu pita menandakan adanya akumulasi protein pada gel hasil elektroforesis
yang diidentifikasi oleh suatu puncak (peak). Masing-masing puncak memiliki
karakteristik ketinggian (height) sebagai intensitas densitograf dan luas daerah di
bawah kurva (area) sebagai gambaran kuantitas protein pada pita tersebut.
Ketebalan pita pada gel hasil SDS-PAGE dikuantifikasi dalam bentuk luas daerah
dibawah kurva pada kurva densitograf (Mustofa et al.,2006).
Kuantifikasi intensitas pita dapat dilakukan dengan sistem digitalisasi
automotik menggunakan software ImageJ 1.46. Software ini merupakan domain
publik Java untuk pengolahan gambar dan program analisis yang terinspirasi dari
NIH Image untuk Macintosh. Software ini didapat baik sebagai applet online atau
sebagai aplikasi gratis yang dapat diunduh, pada setiap komputer dengan mesin
virtual Java 1,5 atau yang lebih baru. Software ini dapat menampilkan, mengedit,
menganalisa, memproses, menyimpan dan mencetak gambar 8-bit, 16-bit dan 32-
bit. Software ini dapat membaca banyak format gambar termasuk TIFF, GIF,
JPEG, BMP, DICOM, FITS dan data 'mentah'. Hal ini banyak sekali keuntungan,
sehingga operasi tidak memakan waktu seperti membaca file gambar yang bisa
dilakukan secara paralel dengan operations1 lainnya. Melalui software ini dapat
menghitung luas dan nilai pixel statistik pilihan yang ditetapkan pengguna dan
dapat mengukur jarak dan sudut. Selain itu, dapat membuat histogram dan plot
profil garis. Pengukuran pita dalam penelitian ini, dilakukan pemindaian sebagai
28
JPEG dalam format 8 bit grayscale pada 600 dpi dan intensitas pixel. Derajat
kehitaman pada gel SDS-PAGE digunakan software ini untuk menganalisa pita
dan diukur dalam bentuk pixel. Pixel adalah unsur gambar atau representasi
sebuah titik terkecil dalam suatu gambar grafis yang dihitung per inci (Rezvani et
al., 2009).
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pangan Pusat Laboratorium
Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilaksanakan pada bulan
November 2014-April 2015.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, pisau,
timbangan analitik, mikropipet 10-1000 μL dan tip, vortex, stopwatch, shaker,
homogenizer (Tokebi), tabung Eppendorf, tabung microtube, vial 10 mL, kuvet,
High centrifuge Sorvall SC35, Microsentrifuge Sorvall, Spektrophotometer
UV/Vis (Lambda 25 Perkin Elmer Precisely), Mini Protean II Cell
Electrophoresis (Bio-Rad), lemari pendingin, penangas air, seperangkat alat
electrical stunner, analisa BM dilakukan dengan menggunakan software Images J
1.46.
3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
yaitu 12 ekor ayam potong jenis ras strain Hubbard jantan yang dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu 6 ekor ayam potong dengan berat tubuh 1 kg (usia 4 minggu) dan
6 ekor ayam potong dengan berat tubuh 1,7 kg (usia 5 minggu). Sampel diperoleh
dari peternakan ayam potong lokal di kawasan Bekasi-Jawa Barat. Bahan-bahan
30
lainnya terdiri dari Aquabidest, BSA (Bovine Serum Albumin), reagen Lowry 1
dan reagen Lowry 2, SDS (resodium dodecyl sulfat) 10%, Tris-HCl 0,05 M pH
8,8, triton X-100 0,1%, PMSF (Phenil Methane Sulfonyl Fluoride),Buffer
sample,β-mercaptoetanol, Gel Acrylamide solution (30%T; 2,67oC) Bio-Rad,
Resolving Buffer dan Stacking Buffer Bio-Rad, Ammonium peroksida disulfate
(APS) 10%, N,N,N’N’-Tetramethylethylenediamine (TEMED), Running buffer 1
kali Sigma, Staining solution coomasie blue R-250 Bio-Rad, Destaining solution,
standar protein catalog #161-0318 (Bio-Rad) (Lampiran 3).
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Proses Penyembelihan dan Isolasi Sampel (Zaman et al., 2012)
Sampel (daging ayam potong) masing-masing usia dibagi menjadi 3
kelompok perlakuan: (i) Sampel ayam pertama adalah ayam potong yang
disembelih dengan cara konvensional (non electrical stunning/ 0A, 0Volt)
menggunakan pisau tajam dan diperlakukan sesuai dengan syariat islam
(membaca basmalah dan hewan dibiarkan mati tanpa diikat) yang dijadikan
sebagai kontrol; (ii) Sampel kedua, dilakukan penyembelihan dengan kaki ayam
diikat menggunakan tali serta disembelih dengan cara electrical stunning dan
sesuai dengan syariat islam (halal electrical stunning dengan pemberian arus
listrik sebesar 100 mA, 25 Volt selama 10 detik); (iii) Sampel ketiga, dilakukan
penyembelihan dengan kaki ayam diikat menggunakan tali serta disembelih
dengan cara haram electrical stunning yang tidak sesuai dengan syariat islam
(dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 220 Volt selama 30 detik).
Jumlah arus dan voltase yang digunakan dipantau melalui amperometer. Masing-
31
masing perlakuan diulang sebanyak dua kali ulangan untuk masing-masing
sampel. Fasilitas electrical stunner dirancang melalui power supply dengan arus
dan tegangan yang bisa diatur secara manual. Elektroda positif dari electrical
stunner dan terminal negatif amperometer direndam dalam wadah 35x25x10 cm3
yang berisi air (Lampiran 2a). Sampel yang sudah disembelih dibiarkan hingga
benar-benar mati dan dicabuti bulunya serta dibersihkan dari jeroan dan darah
yang masih menempel dengan air hangat (45oC). Selanjutnya daging ayam
tersebut diambil bagian pahanya kemudian dipotong dengan pisau hingga ukuran
lebih kecil.
Masing-masing jaringan otot daging ayam potong pada bagian paha
dicacah sebanyak 20 g sampel dan dihomogenisasi di dalam es menggunakan 50
ml Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dengan penambahan 50 μL 0,1% triton X-100 dan
250 μL PMSF selama 5 menit. Larutan kemudian dimasukkan kedalam microtube
dan disentrifugasi pada 6000 rpm selama 20 menit pada suhu 4°C dan supernatan
dikumpulkan (Lampiran 2d). Selanjutnya disimpan dalam vial 10 mL pada -80oC
hingga digunakan untuk pengujian kadar protein dan SDS-PAGE.
3.3.2 Pengukuran Kadar Protein (Lowry, 1959)
3.3.2.1 Penentuan Nilai λ (Panjang Gelombang) Maksimum
Larutan blanko dimasukkan kedalam kuvet pertama dan kuvet kedua diisi
dengan larutan standar konsentrasi 80 ppm. Absorbans larutan dibaca pada
kisaran panjang gelombang 600-800 nm dengan interval 5 mm menggunakan
spektrofotometer uv-vis. Setiap interval panjang gelombang diukur dengan larutan
standar dan blanko. Kemudian dibuat kurva hubungan panjang gelombang dengan
32
absorbans standar tersebut. Panjang gelombang yang tepat, selanjutnya ditentukan
dan digunakan untuk pengukuran protein lainnya.
3.3.2.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi
Larutan stok BSA dengan konsentrasi 1000 ppm dibuat dengan
menimbang serbuk BSA sebanyak 3 mg kemudian dilarutkan dengan aquabides
sebanyak 3 ml. Kemudian dilakukan pengenceran dengan seri konsentrasi 0, 40,
80, 120, 160, dan 200 ppm (Lampiran 4).
Larutan standar dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi
sebanyak 1 ml, lalu ditambahkan dengan 5 ml reagen Lowry I, selanjutnya
campuran divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit.
Kemudian campuran tersebut ditambahkan 0,5 ml reagen Lowry II, divortex 5
detik dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Absorbansi larutan standar
dibaca pada panjang gelombang maksimum dan dibuat kurva kalibrasi.
3.3.2.3 Pengukuran Sampel
Pengukuran kadar protein pada masing-masing sampel dilakukan dengan
cara menambahkan 5 μl larutan sampel (supernatan) dan 995 μl Tris-HCl 0,05 M
pH 8,8 dengan 5 ml reagen Lowry I, selanjutnya campuran divortex 5 detik dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian campuran tersebut
ditambahkan 0,5 ml reagen Lowry II, divortex 5 detik dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 30 menit. Absorbansi larutan sampel protein dibaca pada panjang
gelombang 600-800 nm. Kadar protein ditentukan melalui persamaan regresi
linier dari kurva standar protein dengan bovine serum albumin (BSA) sebagai
standarnya (Lampiran 5).
33
3.3.3 Elektroforesis Dodecyl Sulphate Poliacrilmide Gel Electrophoresis
(SDS-PAGE) (Laemli, 1970)
Elektroforesis sodium dodecyl sulphate poliacrilamide gel electrophoresis
(SDS-PAGE) dilakukan dengan menggunakan metode standar menggunakan alat
Mini-Protean II Slab Cell Electrophoresis (Bio Rad).
3.3.3.1 Preparasi Sampel untuk Elekroforesis
Sampel protein (ekstrak jaringan otot daging ayam potong) didenaturasi
dengan buffer sample (Buffer Laemli) dengan perbandingan protein dan buffer
1:4. Sebanyak 20 μl sampel protein dicampurkan dengan 80 μl buffer sample lalu
dididihkan selama 5 menit, setelah dingin disentrifugasi pada 12000 rpm selama
10 menit dan siap untuk dielektroforesis.
3.3.3.2 Preparasi Gel Elekroforesis
Gel poliakrilamid dibuat dari larutan stok akrilamid dan bisakrilamid
(30%T, 2,67C), stacking buffer (Tris-HCl 0,5M pH 6,8), resolving buffer (Tris-
HCl 1,5M pH 8,8), 10% SDS, APS10% dan TEMED. Formulasi gel untuk
resolving gel adalah 14% (DDI H2O 2,7 ml, Acrilamid 4,7 ml, Resolving Gel
Buffer 2,5 ml, SDS 10% 0,1 ml, APS 10% 0,2 ml dan TEMED 10 μl). Sedangkan
untuk stacking gel adalah 6% (DDI H2O 2,7 ml, Acrilamid 1 ml, Resolving Gel
Buffer 1,25 ml, SDS 10% 50 μl , APS 10% 100 μl dan TEMED 10 μL).
Gel poliakrilamid dicetak diantara dua buah lempengan kaca dengan
ketebalan 0,75 mm. Terlebih dulu campuran resolving gel dimasukkan dalam
gelas plate melalui dindingnya agar tidak terbentuk gelembung, hingga kira-kira
satu cm dari batas atas. Setelah gel mengering, larutan stacking gel yang telah
dibuat dimasukkan ke dalam cetakan di atas resolving gel dan permukaan gel
34
dipasang sisir berlubang untuk membuat cetakan sumuran hingga mengeras.
Setelah gel mengeras, cetakan gel dipindahkan ke perangkat elektroforesis dan
siap untuk ditempatkan protein sampel.
3.3.3.3 Loading Sampel
Elektroforesis dimulai dengan memasang gelas plate dan dirangkai
dengan frame dari Bio-Rad. Masing-masing sampel protein dengan kadar protein
yang sama (Lampiran 5) dan 5 μl marker yang telah dipreparasi dimasukkan ke
dalam sumuran. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 150 volt. Proses ini
dihentikan setelah warna biru turun (Buffer Laemmli turun) hingga 0,5 cm dari
batas bawah plate.
3.3.3.4 Pewarnaan Gel
Pewarnaan gel hasil elektroforesis, dilakukan perendaman gel dalam
larutan staining Coomasie briliant blue 0.1% (w/v) dengan shaker selama 30
menit. Hasil staining dicuci dalam larutan destaining menggunakan campuran
metanol:asam asetat (40%:7,5%). Protein yang telah didestaining discan untuk
analisa lebih lanjut.
3.3.3.5 Analisa Berat Molekul dan Tingkat Ekspresi Protein
Setelah didapatkan gambar elektroforegram profil protein dalam bentuk
soft copy, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan software ImageJ
1.46 (http://imagej.nih.gov/ij), dimana ketebalan (intensitas) pita masing-masing
protein dianalisis berdasarkan jarak migrasi atau nilai Rf (retention factor). Hasil
analisis Rf dibandingkan untuk setiap pita protein marker yang sudah diketahui
berat molekulnya melalui persamaan regresi linier Y = a + bX (Lampiran 7). Nilai
Rf dijadikan sebagai sumbu x dan log berat molekul sebagai sumbu y, untuk
35
mendapat nilai berat molekul maka dibuat antilog berat molekul tersebut.
Selanjutnya profil protein masing-masing sampel dianalisis intensitasnya dengan
membandingkan puncak-puncak yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan
dengan software ImageJ 1.46.
36
3.4 Desain Penelitian
Sampling Peternakan
6 Ekor Ayam Potong 1 kg
(usia 4 minggu)
6 Ekor Ayam Potong 1,7
kg (usia 5 minggu)
Electrical Stunning Halal
(100mA 25 Volt selama 10
detik)
Electrical Stunning
Haram (100mA, 220
Volt selama 30 detik)
Non Electrical Stunning
halal (kontrol, 0 V, 0 A)
Penyembelihan
Manual
Isolasi Protein
Uji Kadar Protein
(Metode Lowry)
Pemisahan Protein
(SDS-PAGE)
Analisis Densitometri
(BM protein
elektroforesis)
Kandidat Protein
Biomarker
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Ayam Potong Sebelum dan Sesudah Penyembelihan
Sampel ayam potong jenis strain Hubbard yang dijadikan bahan penelitian
diambil dari satu sumber peternakan dikawasan Bekasi-Jawa Barat. Ayam jenis
strain Hubbard memiliki ciri-ciri yaitu bulu berwarna putih, bentuk badan padat,
warna badan yang putih kemerahan, jengger dan pial berwarna merah. Berikut
adalah gambar ayam potong jenis Hubbard yang digunakan dalam penelitian,
yaitu usia ayam potong 4 minggu dan 5 minggu (Gambar 7).
(a) (b)
Gambar 7. Ayam potong sebelum penyembelihan
(a) Usia 4 minggu (1 kg) (b) Usia 5 minggu (1,7 kg)
Seluruh sampel yang diujikan dalam penelitian ini, memilki karakteristik
dan ciri-ciri yang sama. Pengambilan ayam potong usia 4 minggu dilakukan,
karena sebagian besar dari peternakan mulai melakukan penen dan penyebaran ke
pengumpul ayam pada usia tersebut. Selanjutnya proses pengiriman ayam dari
pengumpul hingga kepada konsumen biasanya ayam potong telah mencapai usia 5
minggu (Winedar et al., 2006).
Selanjutnya ayam potong dengan usia 4 minggu mulai dilakukan
penyembelihan karena berat tubuhnya telah mencapai 1 kg, dalam kondisi ini
sampel diambil pada masa periode starter (usia 1 hari sampai 21 hari) dan pada
38
periode finisher (usia 22 hari sampai 42 hari) untuk sampel ayam potong lain
dengan usia 5 minggu berat 1,7 kg (Rasyaf, 1996). Pemilihan sampel dengan usia
ayam potong yang berbeda bertujuan pula untuk melihat keterkaitan antara
pengaruh adanya perlakuan pra-penyembelihan dengan electrical stunning dan
usia ayam potong. Menurut Doherty et al., (2004) melalui elekroforesis 2D
menyatakan bahwa profil protein pada ayam potong akan semakin beragam dan
lebih spesifik seiring bertambahnya usia ayam. Hal tersebut yang dikhawatirkan
menjadi pengaruh pada hasil perlakuan electrical stunning dalam penelitian ini.
Proses penyembelihan dilakukan secara manual oleh orang yang sudah
berkompeten dibidangnya dan sesuai dengan peraturan dan syarat penyembelihan
(Hukum syar’i). Setelah proses penyembelihan pada masing-masing perlakuan
(electrical stunning dan kontrol) ayam potong tersebut, terlihat perbedaan pada
warna dagingnya (Gambar 8).
Gambar 8. Warna sampel daging ayam potong setelah proses penyembelihan
(i) non electrical stunning (ii) halal electrical stunning (iii) haram electrical stunning
Sampel daging ayam potong dengan perlakuan (i) cara konvensional (non
electrical stunning 0 mA, 0 Volt) dan (ii) halal electrical stunning dengan
pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 25 Volt selama 10 detik, daging ayam
potong terlihat segar berwarna putih kemerahan, sedangkan (iii) haram electrical
(i) (ii) (iii)
39
stunning dengan pemberian arus listrik sebesar 100 mA, 220 Volt selama 30 detik
daging ayam potong berwarna merah gelap (Gambar 8).
Menurut Asmara et al., (2006) daging ayam yang disembelih dengan cara
yang benar dapat mengeluarkan darah dengan sempurna seperti pada sampel (i)
dan (ii). Sesuai dengan pernyataan Cross (1988) bahwa warna merah pada daging
ayam, disebabkan provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen
oksimioglobin. Hal ini didukung pula oleh penelitian Lawrie (2003) bahwa
pigmen oksimioglobin adalah pigmen penting pada daging segar ayam potong.
Berbeda dengan warna gelap pada daging ayam, yaitu diakibatkan pengeluaran
darah berupa pigmen haemoglobin yang tidak sempurna (Lawrie, 2003). Daging
ayam sampel (iii) pada penelitian ini berasal dari ayam sehat tetapi mengalami
kerusakan fisik akibat electrical stunning yang over voltage dan sengaja dibiarkan
mati tanpa proses penyembelihan. Perlakuan tersebut menyebabkan tidak
terjadinya proses pengeluaran darah hingga ayam mengalami kematian. Pigmen
haemoglobin yang masih terdapat di dalam daging ayam inilah yang
menyebabkan perubahan warna daging menjadi gelap.
4.2 Isolasi Protein dari Jaringan Otot Daging Ayam Potong
Isolasi protein yang diperoleh dari jaringan otot daging ayam potong
dilakukan pada bagian paha daging ayam. Menurut Soeparno (2005), otot paha
adalah daging bagian tubuh ayam yang secara kuantitatif paling berat selain dada.
Daging paha dapat digunakan sebagai pedoman penilaian kualitas daging atau
produk ayam, dengan tingkat ketepatan sekitar 65% (Soeparno,1998). Daging
ayam bagian paha termasuk kedalam jenis otot merah. Otot merah mengandung
40
mioglobin yang berfungsi sebagai pengikat besi dan pembawa komponen oksigen.
Mioglobin sama seperti hemoglobin pada manusia, yaitu sebagai pigmen warna
merah pembawa oksigen pada darah menuju otot (Nesheim et al., 1979). Aktivitas
dari otot paha lebih banyak mempunyai cekaman untuk berdiri dan menyangga
tubuh, sehingga warnanya pun menjadi lebih gelap. Begitu pula dengan hasil
ekstraksi berupa supernatan yang bewarna kemerahan (Gambar 9).
Gambar 9. Ekstrak kasar protein jaringan otot daging ayam potong bagian paha
Proses Isolasi yang dilakukan terhadap jaringan otot daging ayam potong
menggunakan buffer Tris-HCl 0,05 M pH 8,8 dan disentrifugasi pada 6000 rpm
selama 20 menit dalam es. Menurut Janson et al., (1998) masalah utama dalam
ekstraksi protein adalah dapat mengeluarkan protein dari dalam sel tanpa
terdegradasi atau terdenaturasi dan kontaminasi sehingga hal tersebut dapat diatasi
dengan pemilihan medium ekstraksi yang tepat, waktu persiapan cepat dan pada
kondisi temperatur yang rendah.
Tahap pertama dalam isolasi protein adalah proses perusakan atau
penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan
dari awal isolasi protein yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme et al.,
1998). Menurut Wahniyathi et al. (2005), penghancuran jaringan otot daging
ayam bertujuan untuk memecah membran sel serabut otot sehingga protein
41
jaringan otot dapat terekstraksi dengan larutan buffer. Pemilihan larutan buffer
Tris-HCl 0,05 M dengan pH 8,8 dikarenakan buffer Tris–HCl (Thromethamine
HCl) berfungsi untuk mereduksi ikatan disulfida dari protein. Selain itu
pengunaan buffer untuk mengekstraks protein target, idealnya berada pada pH 7,0
sampai dengan pH 8,8. Pemilihan pH tersebut bertujuan untuk membantu
kestabilan protein target sehingga dapat menghalangi aktivitas protein yang tidak
dikehendaki (Bonner, 2007). Selain itu penambahan PMSF dilakukan untuk
menjamin agar sel protein yang diperoleh tidak dihidrolisis oleh enzim proteolitik,
karena PMSF berfungsi sebagai inhibitor protease (Amiruddin et al., 2010).
Tahap penghancuran sel atau jaringan otot daging ayam potong dalam
penelitian ini menggunakan homogenizer. Penggunaan homogenizer termasuk
cara fisik untuk membuat sel terekstrak, namun gesekan dengan alat penghalus
tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein dan menyebabkan
koagulasi protein (Giacomazzi et al., 2005). Untuk itu proses lisis sel sebaiknya
dilakukan dalam kondisi suhu yang rendah. Cara lain dalam tahap penghancuran
sel adalah menggunakan bahan kimiawi berupa detergen triton X-100 sebagai
senyawa yang dapat merusak struktur tiga dimensi protein. Menurut Rehm (2006),
larutan deterjen triton X-100 dapat mendenaturasi protein serta dapat mencegah
terjadinya interaksi antara protein dengan protein (pada struktur kuartener).
Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga dapat
berperan dalam menghilangkan aktivitas enzim nuklease yang merupakan enzim
pendegradasi DNA (Switzer, 1999).
42
Protein yang telah terekstraksi dari dalam sel selanjutnya dipisahkan dari
komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan lipid melalui sentrifugasi
(Karp, 2008). Bettelheim dan Landesberg (2007), menyebutkan bahwa
sentrifugasi akan menghasilkan 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada
lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas. Protein akan berada pada
fase aqueous dan berada pada interfase setelah sentrifugasi, sedangkan lipid
berada pada fase organik. Supernatan hasil ekstraksi ditampung dalam botol vial
dan disimpan hingga pemakaian lebih lanjut.
4.3 Kadar Protein Ekstrak Jaringan Otot Daging Ayam Potong
Supernatan hasil isolasi protein dari jaringan otot daging ayam potong
diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible melalui
metode Lowry et al., (1959). Pengukuran kadar protein dengan metode Lowry,
akan menghasilkan bentuk senyawa kompleks yang bewarna biru (Coligan et al.,
2007). Metode Lowry Folin-Ciocalteu dapat menentukan protein rantai pendek
(oligopeptida) dan asam amino. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+
dari CuSO4 (Reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan dan sistein yang
terdapat dalam protein. Selanjutnya ion Cu+ bersama dengan fosfomolibdat dan
fosfotungstat yang terkandung dalam reagen Folin-Ciocalteu, akan bereaksi pada
senyawa fenol lainnya yang ada pada sampel dan membentuk kompleks
pewarnaan biru. Reaksi yang terjadi dituliskan melalui tahapan sebagai berikut:
43
Gambar 10. Reaksi pembentukan kompleks pewarnaan biru pada metode Lowry
Warna yang diperoleh diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 776,36 nm. Pembanding
yang digunakan adalah BSA (bovine serume albumin) dengan seri konsentrasi 0,
40, 80, 120, 160 dan 200 ppm yang diukur pula nilai serapan absorbansinya.
Tujuan dari pembuatan larutan standar dengan berbagai seri konsentrasi adalah
untuk menentukan kadar protein dalam sampel dengan menggunakan persamaan
regresi linier garis lurus yang diperoleh dari grafik larutan standar (Lampiran 5).
Rantai polipeptida Ikatan polipeptida
Ikatan kompleks bewarna ungu
Pereaksi Folin-Ciocalteu Senyawa Fenol
Kuinon
Kompleks molybdenum-blue
44
Kadar protein setiap sampel yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5
berikut:
Tabel 5. Kandungan protein jaringan otot daging ayam potong dengan metode Lowry
Sampel
Absorbansi
(Y)
Kandungan Protein
(μg/mL) dalam 100 g
daging
Rata-rata Kandungan
Protein (μg/mL) dalam
100 g daging
(Mean ± SD)
A1
A2
0,027
0,038
28000
39000
33500 ± 7778,17
B1 0,028 29000 29500 ± 707,10
B2
C1
0,029
0,03
30000
31000
38000 ± 9899,49
C2
A3
0,044
0,104
45000
105000
92000 ± 18384,77
A4
B3
B4
C3
0,078
0,085
0,087
0,066
79000
86000
88000
87000 ± 1414,21
67000 75000 ± 11313,71
C4 0,082 83000 Keterangan: Pengujian dilakukan secara duplo.
FP = 200 kali
1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 kg)); A
(Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Merujuk pada hasil kadar protein daging ayam potong sebelumnya yang
dilakukan oleh Moutney (1976), menyatakan bahwa kadar protein pada bagian
paha daging ayam potong dalam 100 gram daging berkisar antara 21-24 gram
protein. Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pada hasil penelitian yang
kadar proteinnya lebih rendah dibanding literatur tersebut. Hal ini didasari pada
pengukuran kadar protein dengan metode Lowry adalah protein terlarutnya,
sehingga kadar protein yang dihasilkan lebih rendah dari berat dagingnya.
Hasil pada Tabel 5 menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia ayam
potong maka kadar proteinnya akan semakin meningkat seiring bertambahnya
umur ternak, akibatnya akan meningkatkan jumlah jaringan ikat pada hewan
ternak tersebut (Lawrie, 2003). Hal ini disebabkan pula dari adanya pengaruh
45
pemberian pakan pada fase tumbuh ayam. Pakan dengan kandungan protein
rendah akan menyebabkan kandungan protein daging yang rendah pula
(Kartikasari et al., 2001). Ayam potong usia 4 minggu (fase starter)
membutuhkan tingkat protein pakan sebesar 23%, karena menurut Scott et al.,
(1982) ayam potong usia muda yang sedang tumbuh mempergunakan protein
yang tersedia untuk pertumbuhan jaringan sehingga terukur lebih rendah. Berbeda
dengan Rasyaf (2004), ayam potong usia 5 minggu (fase finisher) dibutuhkan
ransum pada tingkat protein 17,5–21% dan lebih banyak mengonsumsi jumlah
bahan pakan tersebut. Kandungan protein dalam pakan serta banyaknya pakan
yang dikonsumsi akan mempengaruhi jumlah protein dalam tubuh (Ramia, 2000).
Sampel dengan penyembelihan electrical stunning halal maupun haram,
rata-rata kadar proteinnya memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
non electrical stunning. Hal ini disebabkan dari adanya prosedur pra-
penyembelihan dengan perlakuan electrical stuning yang diduga mampu
meningkatkan ekpresi protein tertentu di dalam sel akibat stress atau perlakuan
arus listrik yang diberikan, sehingga proses tersebut dapat menyebabkan adanya
aktifitas tertentu di dalam sel. Hasil ini didukung pula pada penelitian Zaman et
al. (2012) yang menyatakan bahwa kadar protein daging ayam potong yang
disembelih secara tidak halal melalui penyembelihan dengan memutus leher ayam
potong hingga terpisah dari badannya serta tubuhnya diikat hingga ayam tersebut
mati akan lebih tinggi dibanding sampel daging ayam potong yang disembelih
secara konvensional dan halal.
46
4.4 Profil Protein Isolat Jaringan Otot Daging Ayam Potong hasil SDS-
PAGE
Pemisahan dan karakterisasi protein jaringan otot daging ayam potong
dilakukan dengan teknik SDS-PAGE menggunakan separating gel 14% dan
stacking gel 6% melalui pewarnaan gel menggunakan coomassie brilliant blue.
Prinsip analisis SDS-PAGE yaitu pemisahan protein berdasarkan ukuran molekul
akibat adanya arus listrik yang diberikan. Penggunaan separating gel 14% ini,
diharapkan protein akan terpisah pada kisaran berat molekul 10–200 kDa.
Merujuk pada penelitian Doherty et al. (2004), pita protein pada ekstrak jaringan
otot daging ayam potong segar menggunakan separating gel 12,5% dapat
menghasilkan profil protein dengan berat molekul pada kisaran 6-200 kDa.
Proses elektroforesis pada penelitian ini menggunakan tegangan listrik 150
V dengan arus sebesar 40 mA, pengaturan ini dapat dimodifikasi oleh
penggunanya sesuai dengan keperluan dan pengalaman percobaan. Oleh karena
itu, pengaturan pada penelitian ini dipilih karena telah memberikan hasil yang
paling baik diantara beberapa percobaan yang telah dilakukan.
Hasil elektroforesis (SDS-PAGE) jaringan otot daging ayam potong
dengan perlakuan electrical stunning dan non electrical stunning, dapat dilihat
pada Gambar 11 dan Gambar 12.
47
Gambar 11. Gel ke-1 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 1,
2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan
Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M).
Gambar 12. Gel ke-2 Pemisahan Elektroforesis Jaringan Otot Daging Ayam Potong 3, 4
(Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan
Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal) dan Marker (M).
211,475
118,579
78,995
53,054
36,881
28,643
17,809
8,4
kDa M A1 B1 C1 A2 B2 C2
kDa M A3 B3 C3 A4 B4 C4
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
211,475
118,579
78,995
53,054
36,881
28,643
17,809
8,4
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
48
Penentuan berat molekul tiap-tiap pita protein dilakukan dengan
menggunakan persamaan garis lurus yang diperoleh dari kurva standar protein
pembanding (marker) dari Bio-Rad. Kurva standar dibuat berdasarkan hubungan
antara mobilitas relatif (Rf) dengan logaritma berat molekul (Log BM) (Lampiran
7). Pita protein masing-masing sampel yang diperoleh dari hasil SDS-PAGE
dihitung nilai Rf nya. Perhitungan Rf protein dilakukan dengan mengukur jarak
pergerakan sampel kemudian dibandingkan dengan jarak tracking dye.
Pengukuran nilai RF dilakukan dengan menggunakan software ImageJ 1.46
sebagai nilai x yang kemudian dimasukkan pada persamaan regresi linear.
Berdasarkan hasil perhitungan Rf dan log BM pada marker protein
diperoleh persamaan regresi linear pada gel ke-1 dan gel ke-2 berturut turut yaitu
Y = -0,001x + 2,222 dengan r= 0,943 dan Y = -0,001x + 2,212 dengan r=0,939.
Gel hasil SDS-PAGE memperlihatkan adanya 25 pita (band) protein. Diantara 25
pita protein yang terbentuk, terdapat 9 pita protein yang terlihat dengan intensitas
ketebalan yang lebih tebal dibandingkan dengan pita protein sejenis yang terlihat
lebih tipis (Gambar 11 dan Gambar 12). Tebal tipisnya pita protein yang terlihat
merupakan gambaran banyaknya jumlah protein yang terkandung pada berat
molekul tertentu. Semakin tinggi konsentrasi sampel semakin tebal pita yang
terbentuk (Pasila, 2008). Oleh sebab itu, pada penelitian ini setiap sampel yang
dimasukkan kedalam sumur gel elektroforesis dibuat sama dalam jumlah volume
dan konsentrasi dari jumlah kadar protein yang dimiliki sampel.
Selain itu dilakukan analisis lebih lanjut seperti melalui blotting dengan
software ImageJ 1.46 untuk mengetahui intensitas tebal tipisnya pita protein yang
terbentuk. Berdasarkan hasil gambar elektroforegram SDS-PAGE, terlihat bahwa
49
profil protein jaringan otot daging ayam potong secara keseluruhan menghasilkan
pita-pita protein yang beragam dan terletak pada kisaran bobot molekul 10-140
kDa sesuai dengan perhitungan data gel (Lampiran 9). Masing-masing lajur gel
pada perlakuan electrical stunning dan non electrical stunning menunjukkan
adanya sekitar 25 pita protein yang muncul berdasarkan puncak intensitasnya.
Namun bila dikelompokkan pada pita protein yang terlihat lebih tebal (Gambar 11
dan Gambar 12), masing-masing isolat protein baik pada perlakuan electrical
stunning maupun non electrical stunning menunjukkan adanya 9 pita protein yang
muncul dengan intensitas BM sekitar 80 kDa (a), 53-60 kDa (b), 53 kDa (c), 50
kDa (d), 48 kDa (e), 30 kDa (f), 29 kDa (g) dan satu pita di daerah 17 kDa (h)
serta 8 kDa (i). Hasil kedua gel dari isolat protein jaringan otot daging ayam
potong yang disembelih dengan perlakuan non electrical stunning, diperoleh pita-
pita yang terlihat sama dengan penyembelihan electrical stunning tetapi dengan
intensitas yang berbeda.
Beberapa protein spesifik yang muncul pada kisaran berat molekul
tersebut diduga merupakan protein spesifik yang diekspresikan dalam jaringan
otot daging ayam potong. Protein spesifik tersebut, selanjutnya dilakukan
penentuan jenis protein yang dihasilkan dengan membandingkan literatur yang
dimiliki oleh Doherty et al., (2004). Berdasarkan data protein Tabel 3 (Tinjauan
Pustaka) dengan protein berat molekul yang didapatkan, hasil datanya dapat
dilihat pada tabel dibawah.
50
Tabel 6. Jenis pita protein spesifik yang muncul pada jaringan otot daging ayam potong
berdasarkan berat molekulnya.
Kisaran BM pada gel Prediksi nama protein(a) BM(a)
(a) 80 kDa Ovotransterrin 79,5 kDa
(b) 53-60 kDa Piruvat Kinase 58 kDa
Aldehid Dehidrogenase 56 kDa
Protein vitamin D 55 kDa
(c) 53 kDa PIT 54 53 kDa
(d) 50 kDa Tubulin β-7 50 kDa
(e) 48 kDa α-enolase 47,5 kDa
Sitrat sintase 47,5 kDa
β-enolase 47 kDa
(f) 30 kDa Tropomiosin α-chain
VDAC2(b)
32,8 kDa
30,2 kDa
(g) 29 kDa Triosepospat isomerase 26,7 kDa
(h) 17 kDa Nukleosida dipospat kinase 17,5 kDa
(i) 8 kDa Asam lemak-ikatan protein 7,97 kDa
Keterangan: (a) Doherty et al., (2004)
(b) Samah et al., (2011)
Hasil ekspresi gel pada penelitian ini sesuai pula dengan pola ekspresi dan
intensitas protein yang ditemukan oleh Zaman et al. (2012) yaitu memiliki
kemiripan jika membandingkan dengan resolusi pita diantara kedua gel tersebut,
namun dengan level ekspresi yang relatif berbeda. Berat molekul 36-53 kDa
terdapat adanya empat pita protein. Protein tersebut kemungkinan besar
dinyatakan sebagai albumin, piruvat kinase, beta-enolase dan kreatine kinase.
Protein ini juga telah dilaporkan sebagai bagian yang dominan dalam level
ekspresi jaringan otot rangka ayam (Zaman et al., 2012).
Selanjutnya untuk mengidentifikasi pita-pita protein yang dihasilkan
secara kuantitatif maka dilakukan analisis dengan densitometri menggunakan
software ImageJ 1.46. Berdasarkan data intensitas pita protein dengan
densitometri, pada berat molekul dengan kisaran 10-211,47 kDa disajikan dalam
bentuk Lampiran 9.
51
Merujuk pada penelitian Samah et al. (2011) terdapat dua pita protein pada
kisaran 28-36 kDa (Rf diantara 700-800) yang terekspresi relatif sama dengan pita
protein sampel lainnya, namun dengan intensitas berbeda. Data intensitas pita
protein pada kisaran berat molekul dan nilai RF tersebut disajikan pada tabel di
bawah.
Tabel 7. Data intensitas profil protein berat molekul kisaran 28-36 kDa (Rf
diantara 700-800).
Sampel Rf Intensitas BM Sampel Rf Intensitas BM
A1 713 134,40 32,28494 A3 806 155,14 26,91535
742 219,76 30,19952 814 153,48 25,00345
A2 713 123,00 32,28492 A4 806 145,31 26,91535
742 126,00 30,19952 814 145,33 25,00345
B1 713 200,67 32,28494 B3 806 136,77 26,91535
742 210,00 30,19952 814 136,01 25,00345
B2 713 141,67 32,28494 B4 806 145 26,91535
742 151,01 30,19952 814 144,7 25,00345
C1 713 171,33 32,28494 C3 806 153,371 26,91535
742 144,35 30,19952 814 144,667 25,00345
C2 713 180,33 32,28494 C4 806 158,17 26,91535
742 144,67 30,19952 814 154,37 25,00345 Keterangan: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7
Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning
Halal).
Hasil data tabel di atas menunjukkan intensitas pola profil protein pada
perlakuan electrical stunning halal dan electrical stunning non halal dengan
kontrol cenderung berbeda. Sampel ayam potong usia 4 minggu yaitu A1, A2, B1,
B2 memiliki intensitas pita protein yang semakin tinggi seiring menurunnya berat
molekul dari 32,2849 kDa menjadi 30,19952 kDa, sedangkan pada sampel C1 dan
C2 intensitasnya semakin menurun. Hasil ini tidak jauh berbeda pada usia ayam
potong 5 minggu yang juga pada sampel C3 dan C4 intensitas profil proteinnya
semakin menurun. Namun, berbeda pada sampel yang diberi perlakuan electrical
stunning A3, A4, B3, B4 dimana intensitasnya cenderung memiliki nilai yang
52
sama dan tidak jauh berbeda seperti pada intensitas kontrol. Hal tersebut
diakibatkan pada perlakuan electrical stunning yang diberi arus listrik. Perlakuan
inilah yang diduga mampu memicu lepasnya protein ke dalam sistem metabolisme
sebagai akibat dari respon stress yang diberikan dari luar.
Gambar 13. Perbedaan intensitas pada densitogram masing-masing sanpel jaringan otot
daging ayam potong 1 (Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3 (Ayam Potong 5 minggu (1,7
Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non
Stunning Halal
53
Berdasarkan gambar densitogram pada masing-masing sampel usia ayam
potong 4 minggu dan 5 minggu tersebut, terlihat bahwa masing-masing intensitas
pita protein relatif berbeda satu sama lainnya. Perbedaan intensitas tersebut
diduga akibat dari adanya level ekspresi protein yang berbeda pula pada masing-
masing perlakuan pra-penyembelihan. Perbedaan tersebut terlihat pada perlakuan
electrical stunning halal dan haram yang menghasilkan intensitas pita protein
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan non electrical stunning halal sebagai
kontrol. Hasil yang sama juga didapat dari gel ke-2 elektroforesis SDS-PAGE
sebagai variabel pembeda usia ayam potong. Perbedaan intensitas tersebut tetap
terjadi pada sampel ayam potong beda usia, dengan begitu kemungkinan hasil
data penelitian mengenai adanya perbedaan profil protein akibat electrical
stunning ini bukan dipengaruhi oleh perbedaan usia ayam potong.
Mekanisme penting kerusakan jaringan otot akibat sengatan arus listrik
disebabkan oleh adanya elektroporasi. Elektroporasi adalah pembentukan kanal-
kanal hidrofilik pada membran sel akibat paparan arus listrik sehingga
mengakibatkan hilangnya permeabilitas membran sel terhadap ion-ion dan
molekul-molekul yang larut dalam air. Lubang-lubang pada membran sel tersebut
mengakibatkan materi intraseluler ke luar sel dan mengganggu fungsi sel.
Karakteristik lapisan lipid membran sel yang mudah dipengaruhi oleh energi listrik
adalah karena lipid memiliki kutub bermuatan listrik dan mempunyai permeabilitas
terhadap ion-ion serta molekul hidrofilik. Permeabilitas ion-ion lebih mudah terjadi
pada tempat kerusakan membran sel. Kerusakan tersebut ditandai dengan longgarnya
ikatan antar molekul lipid, sehingga mempermudah penetrasi ion-ion dan molekul
54
hidrofobik. Selanjutnya terjadi proses pembentukan formasi lipid kembali ke
keadaan normal melalui proses rotasi dan gerakan flip-flop molekul lipid (Gambar 14)
(Song, 1991).
Gambar 14. Alur elektroporasi (Eka, 2013)
Arus listrik yang melewati membran sel-sel akan tertahan oleh adanya
lapisan lipid yang berada di membran sel. Energi listrik tersebut akan diubah
menjadi panas yang membakar sel-sel, sehingga mengakibatkan kerusakan ikatan
kimia molekul protein (denaturasi) dan koagulasi protein baik protein yang
membentuk membran sel maupun protein intraseluler lainnya. Sel tersebut juga
kehilangan kemampuan permeabilitasnya, sehingga materi-materi intraseluler
keluar melewati membran sel, akhirnya sel otot akan mengalami kematian
(nekrosis). Materi intraseluler tersebut adalah enzim-enzim sel, elektrolit-
elektrolit (kalium, klorida) (Price et al., 1995).
Listrik akan menyebabkan stimulus yang terus menerus pada voltage-gate
channels membran sel sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel. Otot merupakan
salah satu jaringan tubuh yang mempunyai kelistrikan yang diperankan oleh ion-ion
intrasel dan ekstrasel. Rangsangan listrik mengakibatkan perubahan potensial
membran istirahat yang ditandai dengan ion natrium masuk ke intrasel otot
(depolarisasi). Proses depolarisasi akan diikuti oleh proses repolarisasi yang ditandai
Sebelum terpapar arus
listrik
Membran sel
Saat terpapar arus
listrik
Setelah terpapar arus
listrik
55
dengan keluarnya ion kalium ke ekstrasel otot. Akibatnya terjadi hiperkontraksi otot
yang ditandai oleh adanya serabut otot yang tampak bergelombang, serabut otot
terputus dan keluarnya eritrosit dari pembuluh darah (hiperemi). Arus listrik
mengakibatkan kontraksi otot yang sangat kuat sehingga menimbulkan perdarahan
serabut otot (Puschel et al., 1979).
Selanjutnya paparan listrik menyebabkan materi-materi intraseluler ke luar
sel seperti mioglobin, enzim dan jenis protein lainnya. Membran sel yang
mengalami cedera menyebabkan membran sel tidak mampu memompa ion
natrium yang cukup, sehingga kenaikan konsentrasi natrium dalam sel menarik air
masuk ke dalam sel. Sel membengkak dan sitoplasma menjadi pucat yang
menyebabkan sel tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme. Kematian sel atau
jaringan pada organisme hidup disebut nekrosis (Janssen,1984). Kerusakan sel
menyebabkan molekul-molekul intrasel termasuk enzim dan protein dapat keluar
sel. Peningkatan kadar suatu enzim atau kadar protein yang sangat berlebihan
dalam serum atau plasma inilah yang menjadi petanda adanya kerusakan sel yang
mengandung enzim akibat pemberian arus listrik (Viterbo, 1965).
Hasil penelitian Samah et al., (2011) menjelaskan hubungan antara proses
electrical stunning dengan ekpresi protein tertentu pada jaringan otot daging ayam
potong. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ayam potong yang diberi perlakuan
electrical stunning 0,75 A dan 70 Volt menghasilkan satu spot protein yang
terekspresi dalam jumlah relatif besar dan hasil tersebut tidak ditemukan pada
ayam potong yang tidak diberi perlakuan electrical stunning (kontrol). Hasil
pemeriksaan spot protein tersebut, teridentifikasi sebagai Voltage Dependent
Anion Chanel 2 (VDAC2) dengan berat molekul 30,293 kDa. Berdasarkan
penelitian tersebut, protein VDAC2 disarankan sebagai kandidat biomarker untuk
56
mengidentifikasi perbedaan daging ayam potong yang diberi perlakuan electrical
stunning. Berat molekul 30,293 kDa yang dijadikan kandidat biomarker tersebut
mendekati dengan hasil penelitian yang dilakukan yaitu menunjukkan berat
molekul 30,19952 kDa pada sampel ayam potong usia 4 minggu.
Perbedaan usia atau bobot ayam potong tersebut berpengaruh pada profil
protein masing-masing sampel ayam potong. Perbedaan tersebut sangat terlihat
pada pita protein paling tebal yaitu antara bobot molekul 40-60 kDa. Terlihat pada
Gambar 12, yaitu usia ayam potong yang lebih dewasa (usia 5 minggu) memiliki
pemisahan pita protein yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pita profil
protein pada usia ayam 4 minggu. Hal ini dibandingkan dengan penelitian dari
Doherty et al., (2004), yang menyatakan usia ayam yang semakin dewasa
memiliki pita profil protein yang lebih spesifik dan lebih banyak.
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Perlakuan pra-penyembelihan dengan electrical stunning memberikan
pengaruh berbeda terhadap tingkat ekspresi profil protein jika
dibandingkan dengan non electrical stunning.
2. Terdapat 9 pita protein yang terekspresi dengan intensitas tertentu dan
relatif berbeda serta terdapat 1 pita protein yang terekspresi lebih
dominan pada perlakuan electrical stunning dengan berat molekul
30,19952 kDa.
3. Protein dengan berat molekul 30,19952 kDa diduga merupakan
kandidat biomarker yang dijadikan untuk mendeteksi kehalalan produk
pangan pada daging ayam potong yang disembelih dengan perlakuan
electrical stunning dan non electrical stunning.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pemisahan profil protein lebih lanjut dengan SDS-
PAGE atau dengan elektroforesis 2D agar kandidat protein biomarker
lebih valid dan pita yang terlihat sama dapat terpisahkan dengan baik.
2. Perlu dilakukan Isolasi dan analisis kandidat protein biomarker dengan
kromatografi gel filtrasi dan metode LCMS-MS untuk mengetahui
jenis protein sebenarnya.
58
DAFTAR PUSTAKA
Amid, A., Norshahida, A., Samah, Faridah, Y. 2012. Identification of troponin I
and actin, alpha cardiac muscle 1 as potential biomarkers for hearts of
electrically stimulated chickens. Proteome Science. 10: 1.
Amiruddin, Tongku, N. S., Amalia, S., Dwinna, A., Armansyah, T. 2010.
Karakterisasi Protein Inhibin Dari Sel Granulosa Hasil Kultur Dan Non
Kultur Sebagai Dasar Produksi Antibodi Monoklonal Inhibin. Jurnal
Kedokteran Hewan. 4(1).
Anggorodi, H. R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Anggorodi, H. R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Annekov, B. N. 1974. Mineral Feeding of Sheep in Mineral Nutrition of Animal
Studies in the Agricultural and Food Science. Butterworths. London -
Toronto. 321-354.
Asmara, A. S., Zuki, A. B. Z., Mohd, B., Hair, Awang, A.I. H. 2006. Gross and
histological evaluation of fresh chicken carcass: comparison between
slaughtered and cervical dislocated methods. Journal of Animal and
Veterinary Advances. 5(11): 1039-1042.
Aulanni’am. 2004. Prinsip dan Tekhnik Analisis biomollekul. Fakultas pertanian
Universitas Brawijaya.
Bachrudin, Z., Astuti, Dewi, Y. S. 2000. Isolasi dan Seleksi Mikroba Penghasil
Laktat dan Aplikasinya pada Fermentasi Limbah Industri Tahu. Pros. Sem.
Nas. Industri Enzim dan Bioteknologi. Mikrobiologi Enzim dan
Bioteknologi
Bendixen, E. 2005. The use of proteomics in meat science. Meat Science. 71: 138–
149.
Bettelheim, F. A., Landesberg, J. 2007. Laboratory Experiments for General,
Organic, and Biochemistry. 4th
Edition. New Jersey: John Wiley and Sons
Inc
59
Bouley, J., Meunier, B., Chambon, C., De Smet, S., Hocquette, J. H., Picard, B.
2005. Proteomic analysis of bovine skeletal muscle hypertrophy.
Proteomics. 5(2): 450–490.
Bonner, Philip, L. R. 2007. Protein Purification The Basics. Nottingham Trent
University. Taylor and Francis Group. 31.
BPS. 2000. Statistik Indonesia 2000. BPS. Jakarta.
Bradford, M. M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microorganisms quantities of protein in utilizing the principle of protein‐dye
binding. Anal. Biochem. 72: 248‐254.
Cahyono, B. 1998. Ayam Kampung Pedaging. Trubus Agriwidya. Ungaran.
Cahyono, B. 2002. Ayam Buras Pedaging. Penebar Swadaya.
Calnek, B. W. 1997. Disease of Poultry . Edisi ke-10 USA. Jakarta.
Capelastegui, A., Espana, P. P., Quintana, J. M. 2004. Improvement of process-of-
care and outcomes after implementing a guideline for management of
communityacquired pneumonia: a controlled before-and-after study.
ClinInfect Dis. 39: 955–963.
Cavalli, S. V., Silva, C. Cimino, F. X., Malcata, N., Priolo. 2006. Hydrolysis of
caprine and ovine milk proteins, brought about by aspartic peptidases from
Silybum marianum flowers. Argentina. Portugal. 1-7.
Coligan, J. E., Dunn, B. M., Speicher, D. W., Wingfield, P. T., Ploegh, H. L. 2007.
Current protocols in protein science. John Wiley and Sons, New York.
Cross, H. R. 1988. Carcass Science, Milk Science and Technology. Elsevier
Science Publisher. New York.
Darwana, W. 2003. Ayam lignan: Ayam Kampung Unggul Cina. Cetakan Ke-1.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemerintahan Lampung. Teknik
Pengolahan Daging Ayam.
www.disnakkeswan.lampungprov.go.id/Pengolahan_Ayam.pdf. Diakses
pada 20 Oktober 2014 pukul 16.00 WIB
Doherty, M. K., McLean, L., Hayter, J. R., Pratt, J. M., Robertson, D. H., El Shafei,
A. 2004. The proteome of chicken skeletal muscle: changes in soluble
protein expression during growth in a layer strain. Proteomics. 4(7): 2082–
2093.
60
Dunn, J. A., Patrick, J. S, Thorpe, S. R., Baynes, J. W. 1989. Oxidation of glycated
proteins: age-dependent accumulation of N epsilon-(carboxymethyl) lysine
in lens proteins. Biochemistry. 28(24): 9464-8.
Eka. 2013. Metode Transformasi DNA pada Tanaman.
http://www.whatisthebiotechnology.com/blog/wpcontent/uploads/2013/10/
A.png. Diakses pada 1 Juli 2015 pukul 20.20 WIB
Farouk, M. M. 2013. Advances in the industrial production of Halal and Kosher red
meat. Meat Science. 95: 805-820.
Forrest, J. C., Aberle, E. D., Hedrick, H. B., Judge, M. D., Merkel, R. A. 1975.
Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.
Girindra, A. 1986. Biokimia I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Giacomazzi, L, Umari, P., Alfredo, P. 2005. Medium-Range Structural Properties
of Vitreous Germania Obtained through First Principles Analysis of
Vibrational Spectra. Phys. Rev. 95: 075505.
Gorg, A., Boguth, G., Kopf, A., Reil, G., Parlar, H., Weiss, W. 2002. Sample
prefractionation with Sephadex isoelectric focusing prior to narrow pH
range two-dimensional gels. Proteomics. 2(12): 1652–165.
Gregory, N. G., Wilkins, L. J. 1989. Effect of stunning current on carcass quality in
chickens. 124: 530–532
Hames, B. D., Rickwood, D. 1990. Gel electrophoresis of proteins: a practical
approach. Oxford University. London.
Hermansyah. 2012. Penuntun Praktikum Biokimia. Inderalaya: MIPA UNSRI
Holmes, A. L., Raper, R. N., Heilig, J. S. 1998. Genetic analysis of Drosophila
larval optic nerve development. Genetics. 148(3): 1189-1201.
Indro. 2004. Serba-serbi Ayam Broiler. www.Republikon Line. Diakses pada 20
Oktober 2014 pukul 15.00
Janssen. B. H. 1984. A simple method for calculating decomposision and
accumulasion of young soil organic matter. Plant soil. 76: 297-304.
Janson, J. C., Ryden, L. 1998. Protein Purification; Principlles High Resolution
method and Application 2nd
edition. A John Willey and Sons Inc. 464-484.
61
Karp, A. 2008. Bioenergy from plants and the sustainable yield challenge.179(1):
15-32.
Kartasujana, R., Suprijatna, E. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Kartikasari, L. R., Soeparno, Setiyono. 2001. Komposisi kimia dan studi asam
lemak daging dada ayam broler yang mendapat suplementasi metionin
pada pakan berkadar protein rendah. Buletin Peternakan. 25(1): 33-39.
Kettlewelt, P. J., Turner, M. J. B. 1985. A review of broiler catching and transport
systems. Journal of Agricultural Engineering Research. 31: 93-114.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the
head of bacteriophage T4. Nature. 227(5259): 680–685.
Lametsch, R., Karlsson, A., Rosenvold, K., Andersen, H. J., Roepstorff, P.,
Bendixen, E. 2003. Postmortem proteome changes of porcine muscle related
to tenderness. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 51(24): 6992–
6997.
Lawrie. R. A. 2003. Ilmu Daging Edisi kelima penerjemah Prof Dr.Aminuddin
Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Lehninger, A. L. 1998. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan, M. Thenawidjaja.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Lowry, O. H., Rosebrough, N. J., Farr, A. L., Randall, R. J. 1959. Protein
Measurement with the Folin Phenol Reagent J. Biologi of Chemistry. 193:
265–275
LPPOM MUI. Urgensi Meneliti Bahan Pangan Alternatif Yang Halal. 2012.
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/1498.
Diakses pada 1 November 2014 pukul 21.00 WIB
LPPOM MUI. Penyembelihan Hewan Secara Mekanis. 1976.
http://halalmui.org/images/stories/Fatwa/fatwa%20penyembelihan%20hewa
n%20secara%20mekanis.pdf. Diakses pada 1 November 2014 pukul 21.00
WIB
Matsudaira, P. 1993. A practical guide to protein and peptide purification for
microsequencing. 2nd
ed. Academic Press. San Fransisco, CA.
Michels, Heidi, B. 2003. Laboratory Issues: Use of Nutritional Biomarkers. New
York: North America's Technical Committee on Food Components for
Health Promotion.
62
Morzel, C., Chambon, M., Hamelin, V., Santé-Lhoutellier, T., Sayd, G., Monin.
2004. Proteome changes during pork meat ageing following use of two
different pre-slaughter handling procedures. Meat Science. 67: 689–696.
Mountney, G. J. 1976. Poultry Product Technology. 2nd ed. The Avi Publishing
Westport. Connecticut.
Mueller, C., Muller, B., Perruchoud, A. P. 2008. Bio2. markers: Past, present, and
future. Swiss Med Weekly. 138: 225–9.
Mustofa, L., Mahaputra, L., Dachlan, Y. P., Rantam, F. A., Hinting, A. 2006.
Analisis densitometrik protein reseptor fertilisasi pada zona pelusida
kambing sebagai kandidat bahan imunokontrasespsi. Media Kedokteran
Hewan. 22(2).
Nazar, D. S. 2007. Keragaman Molekuler Dan Karakterisasi Miosin Otot Skeletal
Sapi, Kambing Dan Babi. Tesis. Universitas Airlangga. Surabaya.
Nesheim, M. C., Austich, R. E., Card, L.E. 1979. Poultry Production Lea and
Febiger.
Philadelphia, N. R. C. 1994. Nutrient Requirements Of Poultry. Ninth Revised
Edition 1994. National Academy. Washington D.C.
Nugroho, A. 2013. Cara Penyembelihan Binatang.
http://www.tintaguru.com/2013/08/cara-penyembelihan binatang.html
Diakses pada 2 November 2014 pukul 19.00
Nuhriawangsa, A. M. P. 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam:
Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Nurmawan, S. T. 2003. Respon Ayam Kampung Terhadap Pemberian Pakan
Mengandung 25% Bungkil Inti Sawai (Bis) Dan Enzim. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ohlendieck, Kay. 2011. Skeletal Muscle Proteomics: Current Approaches,
Technical Challenges And Emerging Techniques. Skeletal Muscle. 1:6.
O’Farrell, P. H. 1975. High resolution two-dimensional electrophoresis of proteins.
Journal of Biological Chemistry. 250(10): 4007–4021.
Pan, S., Zhang, H., Rush, J., Eng, J., Zhang, N., Patterson, D. 2005. High-
throughput proteome-screening for biomarker detection. Molecular and
Cellular Proteomics. 4(2): 182–190.
63
Parry, R. T. 1989. Technological Development in Preslaughter Handling and
Processing. Dalam: Processing of Poultry. G. C. Mead, Ed.Elsevier Science
Publisher Ltd.. England. 65-102.
Pasila, Felix. 2008. Multivariate inputs for electrical load forecasting on hybrid
neuro-fuzzy and fuzzy c-means forecaster. 2307-2312
Pedersen, S. K., Harry, J. L., Sebastian, L., Baker, J., Traini, M. D., McCarthy, J.
T.,. 2003. Unseen proteome: mining below the tip of the iceberg to find low
abundance and membrane proteins. Journal of Proteome Research. 2(3):
303–311.
Prastowo, Y. 2014. Pedoman Pelaksanaan Kesejahteraan Hewan Pada
Pemotongan Ayam/ Unggas.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&v
ed=0CC8QFjAD&url=http%3A%2F%2Fkesmavet.ditjennak.pertanian.go.i
d%2Findex.php%2Fregulasi-penerapan-kesejahteraan-hewan-
padapemotonganunggas Diakses pada 2 Novemberr 2014 pukul 21.22 WIB
Price, S. A., Wilson, L. M. 1995. Fisiologi proses-proses penyakit. Edisi 4. Alih
Bahasa : Anugerah P. Jakarta.
Puri, M. 2013. Contoh Makromolekul : Polimer, Karbohidrat, Lemak, Protein,
Plastik, Minyak.
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/01/contoh-
makromolekul-polimer-karbohidrat-lemak-protein.html. Diakses pada
2 Novemberr 2014 pukul 20.20 WIB
Püschel, A.W., Balling, R., Gruss, P. Rabilloud, T. 1979. Silver staining of 2-D
electrophoresis gels. Methods of Molecular Biology. 112: 297–305.
Rabilloud, T. 2000. Detecting proteins separated by 2-D gel electrophoresis.
Analytical Chemistry. 72(1): 48A–55A.
Rabilloud, T., Strub, J. M., Luche, S., Dorsselaer, A., Lunardi, J. 2001. A
comparison between Sypro Ruby and ruthenium II tris (bathophenanthroline
disulfonate) as fluorescent stains for protein detection in gels. Proteomics.
1(5), 699–704
Ramia, I. K. 2000. Suplementasi Probiotik Dalam Ransum Berprotein Rendah
Terhadap Penampilan Itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 3(2); 49-54.
Rasyaf. M . 2004. Beternak Ayam Kampung. Cetakan Ke-28 Penebar Swadaya.
Jakarta.
Rasyaf, M. 1996. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
64
Rawles, D., Marcy, J. Hulet, M. 1995. Constant current stunning of market weight
broilers. Journal of Applied Poultry Research. 4: 109-116.
Reilly, J. P., 1994. Scales of reaction to electric shock: thresholds and biophysiscal
mechanisms. Ann. NY Acad. Sci. 720: 21 - 37.
Rehm, J. 2006. The Costs of Substance Abuse in Canada 2002 Ottawa, ON:
Canadian Centre on Substance Abuse.
Rezvani, K., Tong Y. Pan, Y., Dani, J. A., Lindstrom, Gras, E. A. G., Melnthosl, J.
M., Biasi M.D. 2009. UBXD4 a UBX-containing protein regulates the cell
surface trimber and stability of 3=containing nicotinic acetyilcoline
receptore. The Journal of Neuroscience. 29(21) 6883-6896.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung.
Samah, Norshahida, A., Azura, A., Faridah, Y. 2011. Over Expression Of Voltage
Dependent Anion Channel 2 (Vdac2) In Muscles Of Electrically Stunned
Chickens. Iium Engineering Journal. 12(4).
Santoso, Piliang, W. 2004. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk sebagai Feed Additive
untuk Memproduksi Meat Designer. Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Sarwono, W., Slamet, S. 2003. Pengkajian Status Gizi. Jakarta.
Schägger, H., Jagow, G. 1987. Tricine-sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel
electrophoresis for the separation of proteins in the range from 1 to 100
kDa. Anal. Biochem.166: 368-379.
Scott, M. L, Neishem, M.C., Young, R. J. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd edition.
New York: M.L Scott and Assosiates.
Siregar, M. L. 2009. Peningkatan mutu standar kualitas hasil cetakan
menggunakkan kombinasi pengaturan. Tesis. Fakultas Universitas
Indonesia Press-Jakarta
Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging. cetakan keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Song, T. Y.1991. Electroporation of cell membranes. Biophys Journal. 60:
297-306.
Siregar, A. P., Sabrani, M., Suroprawiro. 2009. Tehnik Beternak Ayam Pedaging di
Indonesia. Margie Group. Jakarta.
65
Suharti, S., A. Banowati, W., Hermana, K. G., Wiryawan. 2008. Komposisi dan
Kandungan Kolesterol Karkas Ayam Broiler Diare yang Diberi Tepung
Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) dalam Ransum. Med. Pet. 31(2):
138–145.
Surisdiarto, Koentjoko. 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Ternak Unggas.
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Thermo Scientific. 2014. General Recommendations for SDS-PAGE.
http://www.thermoscientificbio.com/uploadedFiles/Resources/general-
recommendations-for-sds-page.pdf. Diakses pada 5 Novemberr 2014 pukul
5.20 WIB
Triyantini, A., Bakar, I. A. K., Bintang, T., Antawidjaja. 1997. Studi komparatif
preferensi, mutu dan gizi beberapa jenis daging unggas. J. Ilmu Ternak dan
Veteriner. 2(3): 157-163.
Tyers, M., Mann, M. 2003. From genomics to proteomics. Nature. 422(6928): 193–
197
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
Wahniyathi, H., Ali, H. M. 2005. Karakteristik protein daging dengan penambahan
NaCl pada berbagai waktu aging post mortem dan hubungannya dengan
mutu sensori sosis. Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin.
Makasar.
Walker, J. M., Gingold, E. B. 1988. Molecular Biology and Biotechnology 2nd.
The Royal Socienty of Chemistry. London: Burlington House. 303-304.
Westermeier. 2004. Electrophoresis in Practice: A Guide to Theory and Practice.
New Jersey: John Wiley and Sons inc.
Widodo, I., 2003. Penggunaan Marka Molekuler Pada Seleksi Tanaman. Dikutip
dari: http://tumoutou.net/imam_widodo.htm. Diakses pada 21 Oktober 2014
pukul 20.00 WIB
Wilkins, M. R., Pasquali, C., Appel, R. D., Ou, K., Golaz, O., Sanchez, J. C. 1996.
From proteins to proteomes: large scale protein identification by two-
dimensional electrophoresis and amino acid analysis. Biotechnology. 14(1):
61–65.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
66
Winedar, H., Listyawati S., Sutarno. 2006. Daya Cerna Protein Pakan, Kandungan
Protein Daging, dan Pertambahan Berat Badan Ayam Broiler setelah
Pemberian Pakan yang Difermentasi dengan Effective Microorganisms-4
(EM-4). Universitas Sebelas Maret (UNS). Surakarta.
3(1): 14-19.
Yenrina, R., Mislaini., R., Mardiah. 2010 Penyuluhan Dan Peragaan: Potensi
Teknologi Pengolahan Pangan Terhadap Ketidakhalalan Pangan.
Yuwono, Triwibowo. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta
Zaman, R., Hamzah, M., Nassir, Abdurrazq, N. B., Hamzah, M. S., Mohammad, T.
R. 2012. Effects Of Different Methods Of Slaughtering On Protein
Expression In Chicken Meat. Iium Engineering Journal. 13(1).
http://mda.org/disease/emery-dreifuss-muscular-dystrophy/causes-inheritance
http://lh3.ggpht.com/_qqJSuiVmpI/Sht24QmqihI/AAAAAAAABwI/BCE11IRaeQ
g/PAGE.jpg?imgmax=640
http://imagej.nih.gov/ij
67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar bahan dan alat penelitian
a. Bahan Penelitian
Gambar 1. Ayam
Potong Ras Strain
Hubbard
Gambar 2.
Aquabidest
Gambar 3
.BSA
Gambar 4. Tris-
HCl 0,05 M Ph
8,8
Gambar 5.
Triton X-100
0,1%
Gambar 6. PMSF
Gambar 7. Gel
Acrylamide
Solution
(30%T; 2,67oC)
Gambar 8.
Resolving Buffer
Gambar 9.
Stacking Buffer
Gambar 10.
APS 10%
Gambar 11. TEMED
Gambar 12.
Running Buffer
1 Kali
Gambar 13.
Staining Solution
Coomasie Blue
Gambar 14. Standar Protein
Catalog #161-0318
68
b. Alat Penelitian
Gambar 1. Alat Gelas
Gambar 2. Pisau
Gambar 3.
Timbangan
Analitik
Gambar 4.
Mikropipet dan Tip
Gambar 5. Vortex
Gambar 6. Shaker
Gambar 7.
Himogenizer
Gambar 8. Kuvet
Gambar 9. High
centrifuge Sorvall SC35
Gambar 10.
Spektrophotometer
UV/Vis
Gambar 11.
Electrical Stunner
a. Cetakan Separating
dan Stacking Gel
b.Power sply
c.Wadah elektroforesis
dan Tutupnya
d. Elektroforesis Gel
69
Lampiran 2. Gambar metode penelitian
a. Perlakuan Pra-Penyembelihan
b. Perlakuan Penyembelihan
Gambar 1. Penyembelihan
Ayam Potong (Non Electrical
Stunning Halal)
Gambar 2. Penyembelihan
Ayam Potong (Electrical
Stunning Halal)
Gambar 3. Penyembelihan
Ayam Potong (Electrical
Stunning Haram)
c. Perlakuan Paska-Penyembelihan
Gambar 1. Perendaman Ayam
Potong dengan Air Hangat
Gambar 2. Hasil Pencabutan
Bulu Ayam Potong
Gambar 3. Pengelompokan
Daging Paha Ayam Potong
Gambar 1. Proses Pemingsanan
Ayam Potong
Gambar 2. Ayam Potong Mati
Karena Electrical Stunning
70
d. Proses Isolasi Protein
Gambar 1. Proses
Penimbangan 20 g Sampel
Gambar 2. Proses
Pencacahan Sampel
Gambar 3. Hasil
Homegenasi Sampel
Gambar 4. Proses
Sentrifugasi
Gambar 5. Supernatan
Sampel
71
Lampiran 3. Komposisi reagen dan larutan
a. Komposisi reagen Lowry 1 dan reagen Lowry 2
1.Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N ......................................................... 250 mL
2.CuSO4 0,5% dalam Na-K Tartarat 1% ............................................... 10 mL
3.Folin .................................................................................................... 15 mL
b. SDS (resodium dodecyl sulfat) 10%
1.SDS ..................................................................................................... 1 g
2. Aquabidest ......................................................................................... 10 mL
c. Buffer sample
1.Aquabides ............................................................................................ 3,55 mL
2.Stacking Buffer ................................................................................... 1,25 mL
3.Gliserol ................................................................................................ 2,5 mL
4.SDS 10% ............................................................................................. 2 mL
5.Bromopenol blue 0,5% ........................................................................ 0,2 ml
6.β-merkaptoetanol ................................................................................ 0,5 mL
d. Gel Acrylamide solution (30%T; 2,67oC)
1.Akrilamid ............................................................................................ 29,2 g
2.N’N’-bis-metilen-akrilamid ................................................................ 0,8 g
3.Aquabides ............................................................................................ 100 mL
e. Resolving Buffer (Tris-HCl 1,5 M pH 8,8)
1.Tris-HCl .............................................................................................. 18,15 g
2.Aquabides ............................................................................................ 75 mL
3.HCl 6N ................................................................................................ sesuai pH
72
f. Stacking Buffe (Tris-HCl 0,5 M pH 6,8)
1.Tris-HCl .............................................................................................. 6 g
2.Aquabides ............................................................................................ 60 mL
3.HCl 6N ................................................................................................ sesuai pH
g. Ammonium peroksida disulfate (APS) 10%
1.APS ..................................................................................................... 100 mg
2.Aquabides ............................................................................................ 1 mL
h. Running buffer 10 kali
1.Tris ...................................................................................................... 3,03 g
2.Glisin ................................................................................................... 14,4 g
3.SDS ..................................................................................................... 1 g
4.Aquabides hingga ................................................................................ 100 mL
i. Staining solution coomasie blue R-250 Bio-Rad,
1.Coomasie brilian blue R-250 .............................................................. 1 g
2.Metanol ............................................................................................... 300 mL
3.Asam Asetat ........................................................................................ 100 mL
4.Aquabidest .......................................................................................... 600 mL
j. Larutan Destaining
1.Metanol ............................................................................................... 400 mL
2.Asam Asetat glasial ............................................................................. 75 mL
3.Aquadest hingga .................................................................................. 100 mL
73
Lampiran 4. Pembuatan deret konsentrasi BSA pada uji kadar protein sampel
dengan metode Lowry.
a. Pembuatan Larutan Induk 200 ppm
- 3 mg BSA kemudian dilarutkan dalam 3 ml aquabidest (1000ppm)
- M1 x V1 = M2 x V2
1000ppm x V1 = 200ppm x 1000 μl
V1 = 200 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
b. Pembuatan Deret Konsentrasi Larutan BSA
0 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 0ppm x 1000 μl
V1 = 0 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
20 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 40ppm x 1000 μl
V1 = 200 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
80 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 80ppm x 1000 μl
V1 = 400 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
120 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 120ppm x 1000 μl
V1 = 600 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
160 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 160ppm x 1000 μl
V1 = 800 ml ditera hingga 1000 μl dengan aquabidest
200 ppm
M1 x V1 = M2 x V2
200ppm x V1 = 200ppm x 1000 μl
V1 = 1000 ml
c. Gambar Deret Konsentrasi Larutan BSA
Gambar 1. Larutan BSA a).0ppm b).40ppm c).80ppm d).120ppm e).160ppm f).200ppm
74
Lampiran 5. Nilai serapan pada metode Lowry
Tabel 1. Nilai Serapan Standar Larutan BSA
Konsentrasi BSA (μg/mL) Absorbansi (λ=776,4)
0 ppm -0,002
40 ppm 0,047
80 ppm 0,126
120 ppm. 0,172
160 ppm 0,224
200 ppm 0,286
std BSA.Sample
Name
80 ppm
Description
500 850550 600 650 700 750 800
0.128
0.0570.060
0.065
0.070
0.075
0.080
0.085
0.090
0.095
0.100
0.105
0.110
0.115
0.120
nm
A
776.36nm, 0.13A
Gambar 1. Spektrum Panjang Gelombang Maksimum Serapan dengan Metode Lowry
Gambar 2. Kurva dan persamaan kalibrasi konsentrasi terhadap serapan larutan
BSA
75
Lampiran 6. Kandungan kadar protein pada sampel.
Tabel 1. Kandungan Protein Sampel Daging Ayam Potong setiap Gel SDS-PAGE
Sampel
Kandungan Protein
(μg/mL) (X) x FP
dalam 20 g daging
Kandungan Protein (μg/mL)
dalam 1 g daging
A1 5600 280
B1 5800 290
C1 6200 310
A2 7800 390
B2 6000 300
C2 9000 450
A3 21000 1050
B3 17200 860
C3 13400 670
A4 15800 790
B4 17600 880
C4 16600 830 Keterangan: Pengujian dilakukan secara duplo.
FP = 200 kali
1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A
(Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Tabel 2. Banyaknya volume yang dimasukkan kedalam comb setiap Gel SDS-PAGE(1)
Keterangan: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B
(Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
FP 200 kali
Sampel
Kandungan
Protein
(μg/mL) (X)
Kandungan
Protein (μg/mL)
(X) x FP
dalam 20 g daging
Kandungan
Protein setiap 10
μL untuk
loading (μg)
Volume yang
dimasukkan
untuk loading
setiap
11,2 μg (μl)
A1 28 5600 11,2 10 B1 29 5800 11,6 9,66 C1 31 6200 12,4 9,03 A2 39 7800 15,6 7,18 B2 30 6000 12 9,33 C2 45 9000 18 6,22
76
Tabel 3. Banyaknya volume yang dimasukkan kedalam comb setiap Gel SDS-PAGE (2)
Keterangan: 3, 4 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B
(Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal).
Fp 200 kali
Sampel
Kandungan
Protein
(μg/mL) (X)
Kandungan
Protein (μg/mL)
(X) x FP
dalam 20 g daging
Kandungan
Protein setiap 10
μL untuk loading
(μg)
Volume yang
dimasukkan
untuk loading
setiap
26,8 μg (μl)
A3 92 18400 36,8 7,28
B3 86 17200 34,4 7,79
C3 67 13400 26,8 10
A4 79 15800 31,6 8,48
B4 88 17600 35,2 7,61
C4 83 16600 33,2 8,07
77
Lampiran 7. Hasil persamaan garis kurva standar Marker protein
a. Standar marker protein catalog #161-0318 Bio-Rad
b. Marker protein pada gel ke-1
Gambar 1. Intensitas pita protein marker protein pada gel SDS-PAGE ke-1
211,475
118,579
78,995
53,054
36,881
28,643
17,809
8,4
78
Tabel 1. Nilai RF dan BM marker protein
Rf Bm Log bm
54 211,475 2,325259034
139 118,579 2,074007784
211 78,995 1,897599603
430 53,045 1,724644454
626 36,881 1,566802688
772 28,643 1,457018503
1031 17,809 1,250639534
Gambar 2. Persamaan Garis Kurva Standar Marker Protein gel SDS_PAGE ke-1
c. Marker protein pada gel ke-2
Gambar 1. Intensitas pita protein marker protein pada gel SDS_PAGE ke-2
79
Tabel 1. Nilai RF dan BM marker protein
Rf Bm Log bm
61 211,475 2,325259
152 118,579 2,074008
232 78,995 1,8976
464 53,045 1,724644
692 36,881 1,566803
865 28,643 1,457019
1152 17,809 1,25064
Gambar 2. Persamaan Garis Kurva Standar Marker Protein gel SDS_PAGE ke-2
80
Lampiran 8. Tampilan software ImageJ 1.46
81
Lampiran 9. Data gel elektroforesis
Tabel 1. Data Gel ke-1 Sampel ayam potong usia 4 minggu
Ket: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 4 minggu (1 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal)
82
Tabel 2. Data Gel ke-2 Sampel ayam potong usia 5 minggu
Ket: 1, 2 (Duplo Ayam Potong 5 minggu (1,7 Kg)); A (Perlakuan Stunning Halal); B (Perlakuan Stunning Haram); C (Perlakuan Non Stunning Halal)