universitas indonesia waralaba di indonesia studi...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
WARALABA DI INDONESIA STUDI MENGENAI FRANCHISE AGREEMENT
ANTARA PERUSAHAAN ASING DAN INDONESIA
TESIS MAGISTER
ANDI WINDO WAHIDIN NPM: 6501020173
Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) pada
Program Kekhususan Hukum Ekonomi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta, 2003
Pembimbing Ketua Program Pascasarjana Prof. Erman Rajaguguk, SH, LL.M.,Ph.D
Prof. Erman Rajaguguk, SH, LL.M.,Ph.D
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
UNIVERSITAS INDONESIA
Tesis ini Diajukan oleh : Nama : ANDI WINDO WAHIDIN NPM : 6501020173 Kekhususan : Hukum Ekonomi Judul : “Waralaba di Indonesia Studi Mengenai Franchise Agreement Antara Perusahaan Asing dan Indonesia”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar :
Magister Hukum (MH) Pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal
16 Januari 2003
DEWAN PENGUJI
Prof. Erman Rajaguguk, SH.,LL.M.,Ph.D Ketua Sidang/Pembimbing
…………………………………
Dr. Aloysius Uwiyono, S.H.,M.H Penguji
…………………………………
Inosentius Samsul, S.H.,M.H Penguji
…………………………………
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan segala puji syukur kepada Allali SWT yang dengan izin
dan rahmatnya penulis berhasil menyeiesaikan tesis ini.
Adapun maksud penulisan tesis yang berjudul “Waralaba di Indonesia Studi
Mengenai Agreement Antara Perusahaan Asing dan Indonesia” adalah untuk
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, guna memenuhi ujian memperoleh
gelar Magister Hukum di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Untuk menyelesaikan penulisan tesis ini diperlukan dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Maka dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar - besaraya atas segala bimbingan, semangat, doa dan bantuan baik materil
maupun moril yang diberikan dengan tulus kepada penulis, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Erman Rajagukguk,Sh.,LL.M.,PhD, selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pembimbing
yang telah tulus menyediakan waktunya untuk memeriksa, membimbing
dan memberi semangat kepada penulis.
2. Bapak Dr. Aloysius Uwiyono,S.H., M.H, selaku penguji dalam sidang
mempertahankan tesis yang dibuat penulis.
3. Bapak Inosentius Samsul,S.H.,MH, selaku penguji dalam sidang
mempertahankan tesis yang dibuat penulis.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
4. Seluruh dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Indonesia yang
telah mendidik dan mengajar dengan segenap hati dan jiwa dan pikiran.
5. Bapak Edward Dome, selaku Manager HRD & Legal PT. Pioneerindo
Gourmet International Tbk, yang telah sangat membantu penuiis dalam
pengumpulan data-data dan memberikan bantuan-bantuan lainnya.
6. Mama, Uwo dan Arie (istri) tercinta, Si Kecil Jova, Inang dan Te'Pia serta
Om Eddy yang tidak dapat dibalas jasa-jasanya sehingga penuiis seperti
sekarang ini.
7. Pihak - pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga rejeki dan berkah Allah SWT selalu menyertai kita semua selama -
lamanya.
Jakarta, 20 Februari 2003
Penulis
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
ABSTRAK Perkembangan bisnis dengan sistem franchise semakin marak, Franchise
merupakan suatu sistem pemasaran, dimana pemilik franchise (Franchisor) memberikan hak kepada pemegang franchise (franchisee) untuk memasarkan barang dan jasa franchisor dengan menggunakan merek dagang dan/atau jasa, metode, cara dan format bisnis (standar operasional prosedur) yang ditentukan oleh franchisor untuk jangka waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu. Untuk itu franchisee harus membayar biaya franchise, biaya royalty dan biaya-biaya lainnya kepada franchisor.
Sistem bisnis franchise mulai tumbuh pada tahun 1850 di Amerika Serikat dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Seiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia sistem bisnis franchise mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dalam bentuk restoran siap saji, binatu, fotocopy, cuci cetak foto, dll.
Hubungan dalam sistem franchise dibangun atas dasar hubungan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian franchise. Hubungan - hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Apabila terjadi sengketa para piliak akan mengupayakan jalur musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai, maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan.
Munculnya franchise telah menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Untuk itu pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/1997 tentang Ketentuan Pendaftaran dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Kedua peraturan tersebut dibuat agar kedudukan franchisor dan franchisee diatur untuk meminimalisir perselisihan yang mungkin terjadi. Sampai kini di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah perdagangan dengan sistem franchise. Selama ini praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk franchisee didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada pasal 1338 KUHPerdata.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……………………………………………………………….... i
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. Viii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….
A. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah …………………………………………... 7
C. Kerangka Teori dan Konsepsi ………………………………… 7
D. Metodologi Penelitian ………………………………………… 10
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….. 11
F. Sistematika Penulisan ………………………………………… 11
BAB II HUBUNGAN ANTARA FRANCHISOR DAN FRANCHISEE 14
A. Karakteristik Perjanjian Waralaba ……………………………. 14
A.1.1. Pengertian Franchise …………………………………. 14
A.1.2. Para Pihak …………………………………………….. 22
A.1.3. Macam – macam Franchise …………………………… 22
A.1.4. Perjanjian Franchise …………………………………… 24
A.1.5. Unsur-unsur Perjanjian Franchise …………………….. 26
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
A.1.6. Asas-asas Dalam Perjanjian Franchise ………………… 28
B. Hak dan Kewajiban Franchisor ………………………………… 31
B.1. Hak-hak Franchisor ………………………………………. 31
B.1.1. Hak-hak Franchisor ………………………………. 33
B.1.2. Kewajiban Franchisor ……………………………. 33
B.2.1. Hak-hak Franchise ……………………………….. 33
B.2.2. Kewajiban Franchisee ……………………………. 34
C. Aspek-aspek Hukum Ketentuan Hukum Yang Terkait Waralaba
Di Indonesia …………………………………………………… 38
C.1. Lisensi ……………………………………………… 38
C.1.1. Pengertian ………………………………………… 38
C.1.2. Alasan-alasan Untuk Memberikan Lisensi ………. 39
C.1.3. Faktor-faktor Pertimbangan Dalam Pembayaran
Imbalan Lisensi …………………………………. 40
C.1.4. Patokan Penerima Lisensi ……………………….. 41
C.1.5. Cara-cara Pembayaran …………………………… 41
C.1.6. Penggunaan Lisensi Dalam Franchise …………... 42
C.2 Royalty …………………………………………………… 44
C.2.1. Pengertian ……………………………………….. 44
C.2.2. Keuntungan Perjanjian Royalty Bagi Penerima … 44
C.2.3. Keuntungan Perjanjian Royalty Bagi Pembayar … 44
C.2.4. Anstisipasi Agar Pemberi Lisensi Tidak Merugi .. 45
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
C.2.5. Penetapan Royalty ………………………………… 45
C.2.6. Klausula Hard-ship ……………………………….. 46
C.3. Hak Paten, Cipta, Merek …………………………………. 47
C.4. Aspek Rahasia Dagang …………………………………… 50
C.5. Aspek Hukum Kemitraan ………………………………… 52
C.6. Aspek Hukum Ketenagakerjaan ………………………….. 54
C.7. Aspek Hukum Perpajakan ………………………………... 55
D. Isi Perjanjian Franchise Pada Umumnya ………………………. 57
BAB III PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA ………………… 62
A. California Fried Chicken ……………………………………….. 62
B. Franchisee ………………………………………………………. 66
C. Proses Perjanjian Franchise …………………………………….. 67
C.1. Proses Perjanjian Franchise ……………………………… 67
C.2. Proses Pembuatan Perjanjian …………………………….. 69
C.2.1. Proses Pembuatan MOU …………………………. 69
C.2.2. Pembuatan Perjanjian Franchise …………………. 70
C.2.3. Isi Perjanjian Franchise CFC …………………….. 70
BAB IV HUKUM NORMATIF PENYELESAIAN SENGKETA ……… 70
A. Penyelesaian Sengketa dan Pilihan Hukum ……………………. 70
A.1.1. Penyelesaian Sengketa …………………………………. 70
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
A.2. Pilihan Hukum ……………………………………………. 77
A.2.1. Memilih Lebih dari Satu Sistem Hukum ……………….. 78
A.2.2. Pilihan Hukum Setelah Perkara Terjadi ………………… 78
A.2.3. Apakah Pilihan Hukum Harus Selalu Diadakan ……….. 79
A.2.4. Hukum Yang Berlaku Jika Tidak Ada Pilihan Hukum … 80
B.3. Abritase …………………………………………………… 80
B.3.1. Pengertian ………………………………………… 81
B.3.2. Keuntungan – keuntungan Memilih Abritase ……. 81
B.3.3. Hal-hal Yang Diatur Dalam Abritase ……………. 82
BAB V PENUTUP ………………………………………………………… 86
A. Kesimpulan …………………………………………………….. 86
B. Saran …………………………………………………………… 91
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada saat ini pengembangan usalia melalui sistem franchise mulai banyak
dilakukan oleh perusahaan - perusahaan di Indonesia. Sebagai suatu cara pemasaran
dan distribusi, franchise merupakan suatu altenatif untuk mengembangkan saluran
eceran yang berhasil.
Dalam suatu hubungan franchise, pemilik franchise (franchisor) memberikan
lisensi atas merek dagang dan/atau merek jasa beserta metode, cara dan format bisnis,
penyajian yang telah dikembangkan oleh franchisor kepada pihak lain, yaitu calon
pemegang franchise (franchisee) untuk menjual barang atau jasa pemilik franchise di
suatu lokasi tertentu dan untuk jangka waktu tertentu pula.
Pemerintah mendukung sistem franchise karena merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk mengembangkan usaha. Ini berarti kesempatan untuk pemerataan di bidang
perekonomian termasuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk banyak orang.
Pada bulan Februari sampai dengan April 1991, di Jakarta, Institut Pendidikan
dan Pembinaan (IPPM) mengadakan penelitian mengenai kebijakan yang perlu
diambil untuk membina, mengembangkan dan melindungi usaha franchise di
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
2
Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk menghimpun dan menganalisa informasi
yang dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan dan memasyarakatkan usaha
franchise di Indonesia dan menciptakan peluang untuk menjalankan usaha mandiri
serta dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Hasil penelitian
ini jika dilihat dari aspek hukum dapat bermanfaat bagi usaha penciptaan perangkat
hukum dalam usaha perlindungan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu sistem
usaha frachise.
Dengan terus berkembangnya usaha franchise, dan akan masih banyak lagi
yang masuk ke Indonesia serta perkembangan franchise lokal, tergantung pada situasi
dan kondisi perekonomian Indonesia yang cukup kondusif untuk terciptanya usaha,
maka sistem franchise merupakan prospek usaha yang cerah di masa mendatang.
Lembaga bisnis franchise mulai tumbuh pada tahun 1850 dan berkembang
pesat pada tahun 1950-an dan 1960-an, terutama di negara asalnya, yaitu di Amerika
Serikat. Perusahaan besar yang menjadi franchisor pada waktu itu, diantaranya : Mc
Donald's, Burger King, Holiday Inns, Baskin Robins, dsb.
Sejalan dengan berkembangnya perekonomian Indonesia di tahun 1970-an
mulai dikenal adanya usaha-usaha yang berasal dari Iuar negeri tidak hanya berupa
lisensi saja, tetapi mencakup juga sistem pemasarannya. Maka, pada dekade 1980-an
mulai masuk ke Indonesia jenis franchisee yang merupakan paket usaha yang
bergerak di bidang makanan siap saji (fast food), binatu (laundry and dry clean}, cuci
cetak foto, salon, fotocopy, persewaan vcd dll.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
3
Bentuk franchise yang ada sekarang ini pada dasamya merupakan bentuk
penyempurnaan dan / atau pengembangan dari bentuk franchise terdahulu. Mcnurut
Stuart D. Brown1, terdapat dua bentuk franchise. Franchise generasi pertama adalah
lisensi merek dagang dan perjanjian distribusi, dimana franchisee memperoleh hak
untuk mendistribusikan atau menjual produk dari produsen atau pemasok. Hal ini
muncul pada abad ke-18. Saat ini, bidang yang menggunakan franchise jenis pertama
ini adalah pompa bensin, dimana pemegang franchise berkonsentrasi pada satu jalur
produk.
Franchise generasi kedua adalah franchise yang ada pada saat ini, yaitu format
bisnis franchise. Dalam bentuk ini terdapat hubungan berlanjut, yaitu hubungan
kontrak antara pemilik {franchisor) dan pemegang franchise (franchisee). Ini
merupakan suatu metode baku dalam melakukan bisnis dengan citra (image) yang
melekat pada barang dan jasa. Dalam hal ini, franchisor menyediakan paket yang
mencakup pengetahuan (know-how) dari usahanya, prosedur operasional, penyediaan
produk, manajemen, cara promosi dan jaringan penjualan. Franchisee pada umumnya
membayar sejumlah uang kepada franchisor, yang berupa penyediaan dana untuk
menyiapkan outlet beserta desain interior, membeii bahan baku produksi, membeli
peralatan yang diperlukan dan membayar royalty.
Franchisor yang sudah mengembangkan produk atau format bisnis yang
berhasil dengan memfranchisekan, memperoleh cara untuk melipatgandakan konsep
bisnisnya dihanyak lokasi geografis tanpa menginvestasikan modal, waktu dan usaha 1 Alan West, Perdagangan Eceran, (Jakarta : PT Pustakaan Binaman Pressindo, 1992), hal.75.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
4
untuk mendirikan outlet milik perusahaannya sendiri. Franchiseelah yang
mempertaruhkan uangnya. Meskipun pada awalnya franchisor menerima biaya awal
yang kecil dari franchisee, namun pada akhimya ia mendapatkan hasil yang cukup
dari royalty yang berlanjut ditambah lagi hasil dari pembelian pasokan atau produk
yang dilakukan franchisee secara terus menerus.
Sebagai pranata sosial dalam kehidupan ekonomi, munculnya franchise telah
menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Hal ini sebagai akibat dari adanya
hubungan-hubungan dalam sistem franchise yang dibangun atas dasar hubungan
perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian franchise. Oleh karena itu, hubungan-
hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Setiap franchisor pada umumnya mempunyai suatu standar perjanjian yang
ditawarkan kepada para calon franchisee untuk dapat disepakati, dimana bentuk
perjanjian yang telah dibuat oleh franchisor ini disusun oleh para ahli hukumnya
sehingga substansinya sebagian besar menguntungkan franchisor atau setidaknya
tidak merugikannya serta dapat melindungi franchisor. Di sini diperlukan adanya asas
keadilan dan keseimbangan hukum dalam upaya memberikan jaminan perlindungan
kepada masing-tnasing pihak.
Di negara asalnya, yaitu Amerika Serikat telah mendapat pengaturan
tersendiri (franchise law). Ledakan atau Booming perdagangan dengan sistem
franchise yang terjadi pada dekade 1950-an dan 1960-an merupakan faktor penggerak
bagi usaha penciptaan peraturan perundang-undangan. Namun sampai pada tahun
1970, di Amerika Serikat secara faktual belum terdapat pengaturan yang secara
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
5
khusus mengatur masalah franchise ini. Selama belum terdapat pengaturan khusus
tersebut, hukum yang digunakan pada saat itu diadopsi dari ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam "Anti trust law" dan "the lanham Trademark Act".
Baru kemudian pada tahun 1971 terdapat suatu peraturan yang secara khusus
mengatur mengenai masalah franchise, namun hanyalah peraturan yang dibentuk oleh
negara bagian California. Peraturan tersebut adalah "the California Franchise
Registration and Disclosure Act". Ketentuan hukum yang dibentuk oleh negara
bagian California ini selanjutnya diadopsi oleh beberapa negara bagian Amerika
Serikat lainnya.
Kemudian pada bulan Oktober 1979, pemerintah federal mengundangkan
suatu ketentuan hukum yang mengatur masalah franchise yang disebut "the Federal
Trade Cammision's Franchise Rule (FTC. Rule)". Ketentuan ini mengatur tentang
“Disclosure Requirements and Prohibitions Concerning Franchising and Business
Opportunity Ventures”.
Sampai kini, di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai masalah perdagangan denan sistem franchise. Selama ini
praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk kontrak
kerjasama. Kontrak kerjasama yang diadakan oleh franchisor maupun franchisee
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada pasal 1338
KUHPerdata, yang berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
6
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-
persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Walaupun di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang mengatur
tentang franchise, akan tetapi pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri
Penndustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang
ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
Penulis tertarik untuk menulis thesis yang berjudul Waralaba Di Indonesia:
Studi Mengenai “Franchise Agreement” antara Perusahaan Asing dan Indonesia
karena dewasa ini bentuk usaha dengan sistem franchise semakin marak dan oleh
karena itu penulis ingin menuliskan hal-hal yang tercakup dalam perjanjian franchise
dan pelaksanaannya, termasuk juga di dalamnya mengenai permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan perjanjian franchise antara franchisee dan franchisor dan
penyelesaian yang diambil oleh kedua belah pihak.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
7
B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan thesis ini, penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik perjanjian waralaba/franchise?
2. Bagaimana proses pembentukan perjanjian franchise dalam praktek?
3. Ketentuan - ketentuan hukum yang berkaitan dengan waralaba/franchise?
4. Apa saja hak dan kewajiban bagi franchisor maupun hak dan kewajiban
bagi franchisee?
5. Apa saja larangan yang diberlakukan oleh franchisor bagi franchisee dan
apa saja keuntungan dan kerugian dari perjanjian franchise yang dapat
diperoleh baik bagi franchisor maupun franchisee serta masalah-masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian dan bagaimana proses
penyelesaian sengketa dalam peijanjian franchise?
C. KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI
Dalam pelaksanaan franchise/waralaba perlu terlebih dahulu mengetahui
pengertian dari franchise/waralaba. Pengertian franchisee/waralaba yang disebutkan
dalam Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 16 Tahun
1997 Tentang Waralaba, menyebutkan Waralaba adalah perikatan dimana salah satu
piliak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiiiki pihak lain dengan suatu
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
8
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang disebut dengan Pemberi Waralaba, sedangkan badan usaha
atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi
Waralaba disebut dengan Penerima Waralaba.
Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat diuraikan konsep hal-hal sebagai
berikut2 :
1. Waralaba merupakan suatu perikatan
rumusan tersebut menyatakan bahwa sebagai suatu perikatan, waralaba
tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha.
Yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual meliputi antara lain
merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten.
Dan yang dimaksud dengan penemuan atau ciri khas usaha misalnya
sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang
merupakan karakteristik khusus dan pemiliknya. 2 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, (Jakarta, Rajawali Press, 2001), hal. 107
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
9
Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu,
waralaba tidak berbeda dengan lisensi (Hak atas Kekayaan Intelektual),
khususnya yang berhubungan dengan waralaba nama dagang dan merek
dagang baik untuk produk berupa barang dan atau jasa tertentu. Ini berarti
secara tidak langsung Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 juga
mengakui adanya dua bentuk waralaba, yaitu :
a. Waralaba dalam bentuk lisensi merek dagang atau produk;
b. Waralaba sebagai suatu format bisnis.
3. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan
atau penjualan barang dan atau jasa.
Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba
tidaklah diberikan secara Cuma-Cuma, Pemberian waralaba senantiasa
dikaitkan dengan suatu bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal
adanya dua macam atau dua jenis kompensasi yang dapat diminta oleh
pemberi waralaba / franchisor.
Yang pertama adalah kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter,
seperti lump sum payment/ franchise fee dapat dibayar lunas atau diangsur
dan royalty fee, yang besar atau jumlah pembayarannya dikaitkan dengan
suatu persentase tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan / atau
penjualan barang dan / atau jasa berdasarkan perjanjian waralaba. Yang
kedua adalah indirect and non monetary compensation, yang meliputi
keuntungan dan pembayaran dalam bentuk deviden, namun dalam bentuk
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
10
indirect ini belum diizinkan di Indonesia hal ini dapat dilihat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tidak diatur.
D. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penulisan thesis mengenai franchise ini, penulis mengadakan
penelitian dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian ini dilakukan dengan cara mencari data-data yang dapat
diperoleh dari kepustakaan, buku-buku, peraturan perundang-undangan,
catatan dan diktat perkuliahan, majalah, koran, serta bahan-bahan lain
yang berkaitan dengan thesis ini.
2. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian ini dilakukan dengan cara rnengamati secara langsung pada
objek yang akan diteliti serta diwawancara langsung dengan pejabat yang
bersangkutan.
3. Metode analisis
Setelah mengadakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan,
penulis akan menganalisi data yang didapat dengan wujud nyata dalam
praktek.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
11
E. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITf AN
Adapun dengan mengadakan penelitian dan penulisan thesis ini,
penulis mempunyai tujuan dengan kegunaan dengan teori praktis sebagai berikut:
1. Agar pembaca dapat memahami pengeitian dan franchise, macam-macam
franchise, substansi yang terkandung dalam perjanjian franchise, serta
peraturan-peraturan yang berlaku dalam franchise.
2. Memberikan masukan bagi para praktisi hukum yang berkecimpung
dalam bidang franchise untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari
perjanjian franchise.
Manfaat penelitian:
Agar pembaca dapat memahami secara jelas mengenai sistem bisnis Franchise
dengan segala keuntungan dan kerugiannya, permasalahan yang dapat terjadi dan cara
penyelesaiannya.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan thesis ini, penulis menguraikan materi - materi yang
terkandung dalam 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pada bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang
permasalahan, identifikasi masalah, metode penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
12
Bab II : Dalam Bab II dittraikan mengenai hubungan antara franchisor dan
franchisee, karakteristik perjanjian franchise/waralaba, pengertian franchise,
macam-macam franchise, unsur-unsur franchise, azas-azas perjanjian
franchise, kemudian juga dibahas aspek-aspek hukun yang terkait dengan
waralaba di Indonesia diantaranya aspek rahasia dagang, aspek hubungan
kemitraan, aspek hukum ketenagakerjaan. Juga diuraikan mengenai
perjanjian franchise pada umumnya.
Bab III : Pada bab ini, penulis menguraikan peijanjian waralaba di Indonesia, penulis
mengambil contoh perjanjian franhise California Fried Chicken, pemberian
lisensi dan royalty, dalam bab ini juga dibalias mengenai proses pembuatan
perjanjian franchise dengan analisis isi perjanjian tersebut.
Bab IV : Pada bab ini, penulis menguraikan hal - hal yang menyangkut perjanjian
waralaba di Indonesia. Didalamnya dibalias mengenai hak dan kewajiban
franchisor, hak dan kewajiban franchisee, pilihan hukum (termasuk domisili
hukum) dan penyelesaian sengketa.
Bab V : Bab ini merupakan penutup. Pada bab ini, penuhs membuat suatu
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
13
kesimpulan mengenai hal-hal yang telah diuraikan dalam bab – bab
sebelumnya dan saran - saran yang diberikan agar bemanfaat bagi
kepentingan umum.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
14
BAB II
HUBUNGAN ANTARA
FRANCHISOR DAN FRANCHISEE
A. KARAKTERISTIK PERJANJIAN WARALABA
A.1.1 Pengertian Franchise
Menurut Stephen Fox3, definisi franchise adalah sebagai berikut:
Memfranchisekan menunjukkan siiatu metode melakukan bisnis di mana satu
pihak dikenal sebagai pemegang franchise diberi hak oleh piliak lain yang dikenal
sebagai pemilik franchise, untiik menawarkan, menjual, mendistribusikan barang
dan jasa kepunyaan pemilik franchise.
Menurut Martin mandelsohn4, franchise yang dimaksud adalah franchise
format bisnis, yaitu:
Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain
(franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha
dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang franchisor dan untuk
menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang
diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis
dan untuk mejalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar - dasar
yang telah ditentukan sebelumnya.
3 Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis dan Franchise, diterjemahkan oleh PT. Elex Media Komputindo, (Jakarta : 1993), hal. 217 4 Martin Mandelsohn, Franchising, Cet 2, (Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi, 1997), hal 3.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
15
Douglas J. Queen5 memberikan pengertian franchise sebagat berikut:
Memfranchisekan adalah suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distiibusi produk serta pelayanannya dengan membagi bersama standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise yang membeli suatu bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise.
Queen juga mengemukakan bahwa pemilik franchise memperkenankan
pemegang franchise menggunakan nama dagang, produk, telmik dan proses
franchise, sementara mengharuskan diikutinya standar melalui suatu persetujuan
lisensi. Kekuatan sistem dan kemauan baik yang disosialisasikan dengan nama,
sebagian besar tergantimg pada taatnya pemegang franchise mengikuti sistem secara
konsisten dan mutu produk yang sudah diketahui umum dimiliki oleh organisasi
tersebut.
Sementara dalam website International Franchise Asosiation (ERA)6
pengertian franchise adalah:
Franchising is a method of distributing product or services. At least two levels of people are involved in the franchise system;(l) the franchisor, who lends his trademarks or trade name and a business system; and (2) the franchisee, who pays a royalty and often an initial fee for the right to do bussiness under the franchisor's name and system. Technically, the contract binding the two parties in the"franchise", but that term is often used tu mean me actual business mat franchise operates.
Dalam konferensi pers, mengenai konsep perdagangan baru : waralaba, sistem
pemasaran vertikal franchising, yang diselenggarakan di Jakarta oleh IPPM pada
5 Douglas. J Queen, Pedoman Membeli dan Menjual Franchise, diterjemahkan oleh PT. Elex Media Komputindo, (Jakarta, 1993), hal 4-5 6 Website Resmi International Franchise Asosiation, Http : /www.ifa.com
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
16
tanggal 25 Juni 1991, dikemukakan beberapa defmisi franchise, yang disimpulkan
sebagai berikut:
Franchise adalah sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah, hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu, dengan menggunakan nama dagang, format/prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor, dengan cara tertentu, waktu tertentu dan di suatu tempat tertentu, serta franchisor berkewajiban memberikan perhatian secara terus menerus kepada bisnis franchisee.
Rooseno Harjowidigdo7, dalam pertemuan Ilmiah tentang usaha franchise
dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, mengemukakan mengenai definisi
franchise sebagai berikut:
Kerjasama dibidang perdagangan barang atau jasa dengan bentuk franchise ini dipandang sebagai salah satu cara untuk mengembangkan sistem usaha di lain tempat, franchisor secara ekonomi sangat untuk karena ia mendapat “management fee” dari franchisee, barang produknya bisa tersebar ke tempat lain dimana franchisee mengusahakan franchise-nya, dan bagi konsumen yang memerlukan barang hasil produksi franchisee cepat didapat serta dalam keadaan “fresh” dan belum atau tidak rusak.
Rooseno8 juga mengungkapkan defrnisi franchise sebagai berikut:
Franchise adalah suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek, bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional.
Berdasarkan pengertian franchise tersebut, Setiawan9 mengemukakan bahwa
dari segi hukum franchise melibatkan bidang-bidang hukum perjanjian, khususnya
perjanjian tentang pemberian lisensi, hukum tentang nama perniagaan, merek, paten,
7 Hardjowidigdo, “Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise”, Makalah Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : BPHN, 14-16 Desember 1993), hal 1. 8 Ibid, hal 5. 9 Ibid, hal 5
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
17
model dan desain. Bidang - bidang hukum tersebut dapat dikelompokkan dalam
bidang hukum perjanjian dan bidang hukum tentang hak miiik intelektual (HMI).
Dari banyak pengertian tentang franchise seperti telah dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa franchise merupakan suatu sistem bisnis yang
melibatkan dua pihak. Pihak pertama adalah “franchisor”, yaitu wirausaha sukses
pemilik produk, jasa, atau sistem operasi yang khas dengan merek tertentu, yang pada
umumnya telah dipatenkan. Pihak kedua adalah “franchisee”, yaitu individu dan/atau
pengusaha lain yang dipilih oleh franchisor atau yang disetujui permohonannya untuk
menjadi franchisee oleh pihak franchisor, untuk menjalankan usahanya dengan
menggunakan nama dagang, merek, atau sistem usaha miliknya itu, dengan syarat
memberi imbalan kepada franchisor berupa uang dalam jumlah tertentu pada awal
kerjasama (uang muka) dan atau pada selang waktu tertentu selama jangka waktu
kerjasama (royalty).
Dasar hukum franchise ini dibagi menjadi dua, yaitu dasar hukum menurut
sejarah hukum franchise pertama dan dasar hukum franchise menurut hukum
Indonesia. Kedua dasar hukum tersebut akan diuratkan sebagai berikut: (a) Menurut
Sejarah Hukum Franchise Pertama.
Sejauh ini belum terdapat peraturan yang secara khusus mengatur tentang
franchise. Maka, hukum yang digunakan pada waktu itu diadopsi dari ketentuan -
keientuan yang terkandung dalam undang - undang antitrust dan anti kecurangan,
yaitu Antitrust Law dan the Lanham Trademark Act.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
18
Usaha pertama untuk mencapai suatu tingkat keadilan dalam hubungan
pemilik atau pemegang franchise adalah diterimanya The Automobile Dealer
Franchise Act10 pada tahun 1956. Tujuannya adalah untuk memelihara keseimbangan
kekuasaan antara pembuat mobil dan dealer franchise.
UU Federal tersebut hanya melindungi dealer mobil. Pada tahun 1964 di
Puerto Rico menjadi yurisdiksi Amerika Serikat pertama yang mengesahkan UU
yang melindungi dealer lokal tanpa memperhatikan industrinya, Kemudian, negara
bagian lain yang menanggapi penyalahgunaan yang dilakukan oleh beberapa
franchisor.
Kemudian pada tahun 1971 barulah terdapat peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur masalah franchise, namun hanyalah peraturan yang
dibentuk oleh negara bagian California. Peraturan tersebut adalah ”The California
Franchise Registratio dan Disclosur Act”, kemudian hukum tersebut diadopsi oleh
beberapa negara bagian Amerika Serikat lainnya11, yairu Hawaii, Illinois, Maryland,
Michigan, Minnesota, New York, Nort Dakota, Oregon, Rhode Island, South Dakota,
Washington dan Wisconsin.
Selanjutnya, ada sembilan belas negara bagian (termasuk beberapa negara
bagian yang telah tersebut di atas) membentuk ketentuan hukum yang bertujuan
untuk melindungi para pemegang franchise dari penghentian yang sewenang-wenang,
10 Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis dan Franchise, diterjemahkan oleh PT Elex Media Komputindo, (Jakarta, 1993), hal. 219-220. 11 Kaufmann, Franchising : Business Strategis and Legal Compliance.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
19
tidak diperbarui lagi hubungan dari pihak pemilik franchise (franchisor). Kesembilan
belas negara bagian tersebut adalah Arkansas, California, Connecticut, Delaware,
Hawaii, Illinois, Indiana, Kentuky, Lousiana, Michigan, Minnesota, Missisipi,
Missouri. Nebraska, New Jersey, South Dakota, Virginia, Washington dan
Wisconsin.
Pada bulan Oktober 1979, pemerintah federal mengundangkan suatu
ketentuan hukum yang mengatur masalah franchise yang disebut “the Federal Trade
Commision '& Franchise Rule” atau disebut FTC Rule. Ketentuan ini mengatur
tentang “Disclosure Requirements and Prohibitions Concerning Franchising and
Business Opportunities Ventures”12.
Di dalam FTC Rule tersebut terdapat ketentuan yang menentukan bahwa
franchisor harus membuat suatu prospektus yang berisi informasi mengenai
perusahaannya secara jujur dan terbuka sehingga dapat diketahui oleh pihak
franchisee, dimana bentuk dan persyaratan metode yang harus diikuti oleh pihak
franchisor dalam membuat prospektus tersebut ditentukan oleh komisi perdagangan
federal (Federal Trade Commision's) di mana ketentuan tersebut dilengkapi oleh
suatu petunjuk khusus dalam pembuatan prospektus.
FTC Rule di tahun 1979 berlaku di 50 negara, sehingga beberapa pemilik
franchise terkena liputan dua kali, sementara yang lain hanya diliput oleh FTC Rule.
(b) Menurut Hukum Indonesia
12 Kaufmann, Ibid, hal 32-33
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
20
Di Indonesia hingga saat ini belum terdapat undang-undang yang mengatur
secara khusus mengenai franchise. Akan tetapi, pada tahun 1997 pemerintah
Indonesia mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 tentang
Waralaba. Peitimbangan yang mendasari pengaturan mengenai waralaba tersebut
adalah untuk menciptakan tertib usaha dengan cara waralaba dan dalam rangka
perlindungan kepentingan konsumen.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
Selama ini, masalah yang berkaitan dengan perjanjian diatur pada buku ketiga
KUHPerdata, yang menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Inipun
merupakan landasan hukum tentang franchise di Indonesia.
Di dalam KUHPerdata terdapat rumusan mengenai perjanjian yang tercantum
pada Pasal 1313, yang menegaskan bahwa perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih.
Pada Pasal 1319 KUHPerdata ditegaskan bahwa “semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan - peraturan umum, yang tennuat dalam bab yang lain” Jadi,
perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata disebut perjanjian bernama, sedangkan
perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata disebut perjanjian tidak bernama.
Perjanjian yang secara khusus diatur dalam KUHPerdata adalah jual beli
(dalam Bab V), tukar menukar (dalam Bab VI), sewa menyewa (dalam Bab VII),
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
21
persekutuan (dalam Bab VIII), perkumpulan (dalam Bab IX), hibah (dalam Bab X),
penitipan barang (dalam Bab XI), pinjam pakai (dalam Bab XII), pinjam meminjam
(dalam Bab XIII), bimga tetap atau bunga abadi (dalam Bab XIV), persetujuan
untung - untungan (dalam Bab XV), tentang pemberian kuasa (dalam Bab XVI),
tentang penanggungan hutang (dalam Bab XVII), dan tentang perdamaian (dalam
BabXVHI).
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur di dalam pasal 1320
KUHPerdata, yaitu terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :
(1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
(2) kecakapan untuk niembuat siiatu perikatan.
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal
Jika syarat - syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut di dalam pasal
1320 KUHPerdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan kekuatan suatu undang - undang. Ketentuan pasal 1338 KUHperdata
menegaskan:
”Semua persetujuan yang dibuat secara sah beriaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
22
Pada pasal 1338 KUHPerdata tersebut, terdapat asas kebebasan berkontrak,
asas kekuatan mengikat, dan asas itikad baik.
Jadi, perjanjian franchise merupakan perjanjian yang tak bernama yang oleh
Pasal 1338 KUHPerdata diperbolehkan dengan adanya asas kebebasan berkontrak.
A.1.3 Para Pihak
Yang menjadi pihak - pihak dalam franchise adalah :
(1) Franchisor
Franchisor adalah pemilik metode pendistribusian barang dan jasa yang akan
dijual kepada franchisee. Selanjutnya franchisor disebut pihak pemilik franchise.
(2) Franchisee
Franchisee adalah pihak yang membeli metode pendistribusian barang dan
jasa dari franchisor, yang beroperasi dengan menggunakan nama dagang, format atau
prosedur yang dipunyai atau dikendalikan oleh franchisor. Selanjutnya, franchisee
disebut pihak pemegang franchise.
B.1.3 Macam - Macam Franchise
Ada dua macam bentuk franchise13 yang dikenal, yaitu franchise format bisnis
dan franchise distribusi produk. Perbedaan kedua macam bentuk franchise itu adalah
sebagai berikut:
13 Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 23-34
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
23
(1) Franchise Format Bisnis
Dalam bentuk ini, seorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak
untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau
lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran di
bawah sistem yang dirancang oleh pemilik franchise (franchisor).
Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu:
(a) Franchise Pekerjaan
Dalam bentuk ini, franchisee yang menjalankan usaha franchise pekerjaan
sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Bentuk franchise
seperti ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal kecil
karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.
(b) Franchise Usaha
Pada saat ini franchise usaha adalah bentuk franchise yang berkembang pesat.
Bentuknya dapat berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau
restoran fast food. Biaya yang dibutuhkan dalam franchise jenis ini lebih besar
daripada franchise pekerjaan, karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan
khusus.
(c) Franchise Investasi
Ciri utama yang membedakan jenis franchise ini dari kedua bentuk franchise
di atas adalah besarnya usaha, khususnya besamya investasi yang dibutuhkan.
Franchise investasi adalah perusahaan yang sudah mapan, dan investasi awal
yang dibutuhkan dapat rnencapai milyaran rupiah.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
24
(2) Franchise Distribusi Produk
Dalam bentuk ini, seorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh
lisensi eksklusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam
lokasi yang spesifik. Bisnis franchise ini mengidentifikasikan diri dengan produk atau
nama dagang pemilik franchise.
Dalam bentuk ini, franchisor dapat memberikan franchise wilayah, di mana
pemegang franchise wilayah atau sub-pemilik franchise membeli hak untuk
mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik
franchise itu bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise,
melatih dan membantu franchisee baru. dan melakukan pengendalian, dukungan.
operasi, serta program penagihan royalty.
Ciri bersama dari persetujuan yang difauat oleh seriap piliak dalam sub-
franchise adalah pembagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya franchise,
royalty, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleh pemegang
franchise tunggal kepada sub-pemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan
kepada pemegang franchise induk.
A.1.4 Perjanjian Franchise
Menurut Martin Mendelsohn14, perjanjian franchise merupakan dokumen
yang di dalamnya seluruh transaksi dijabarkan secara bersama. Perjanjian franchise
harus secara tepat menggambarkan janji-janji yang dibuat dan harus adil, serta pada
14 Martin Mendelsohn, Franchising, Cet 2, (Jakarta : PT. Ikrar Mandiriabadi, 1997), hal 55
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
25
saat yang bersamaan menjamin ada kontrol yang cukup untuk melinduiigi integritas
sistem.
Oleh karena itu, suatu perjanjian franchise haruslah :
(1) Dibuat secara benar,sesuai dengan persyaratan hukum
(2) Memberikan detil-detil operasional dan kontrol
(3) Memberikan franchise jaminan dalam beroperasi dan pada
kemampuannya untuk mengembangkan dan menjual assemya.
Menurut Juajir Sumardi15, perjanjian franchise adalah suatu perjanjian yang
diadakan antara franchisor dan franchisee di mana pihak franchisor memberikan hak
kepada pihak franchisee untuk memproduksi atau memasarkan barang (produk)
dan/atau jasa (pelayanan) dalam waktu dan tempat tertentu yang disepakati di bawah
pengawasan franchisor, sementara franchisee membayar sejumlah uang tertentu atas
hak yang drperolehnya.
Pada umumnya, sebelum perjanjian franchise dibuat dan ditandatangani, para
pfliak membuat:
(a) Letter of Intent
Letter of Intent merupakan pemyataan kehendak. Jadi, belum terikat pada
suatu kontrak, Pada umumnya, LoI dilakukan untuk proyek besar
termasuk bisnis franchise. Setelah LoI dilakukan dapat meningkat menjadi
Memorandum of Understanding.
15 Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 44
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
26
(b) Memorandum of Understanding (MOU)
MOU adalah dasar untuk membuat kontrak. Dalam MOU sudah dibuat
persyaratan-persyaratan, kesepakatan-kesepakatan para pihak yang akan
dituangkan dalam kontrak. Dalam MOU ini diperlukan keterlibatan
konsultan hukum, akuntan dan para ahli lainnya yang diperlukan dalam
pembuatan kontrak. MOU belum mengikat, baru merupakan kesepakatan.
Setelah itu baru dibuat kontrak.
(c) Kontrak
Kontrak Intemasional, termasuk juga kontrak franchise tidak selalu
didahului oleh Lol dan MOU, melainkan dapat dari LoI langsung ke
kontrak, atau dari MOU lansung ke kontrak, atau dapat juga langsung
membuat kontrak. Jadi, urutannya tidak harus dari LoI, MOU dan kontrak,
melainkan tergantung kehendak para pihak. Pada umumnya kontrak
franchise didahului dengan pembuatan MOU. Kemudian kesepakatan-
kesepakatan dalam MOU tersebut dituangkan ke dalam kontrak franchise.
A.1.5 Unsur - unsur Dalam Perjanjian Franchise16
Maka, dapat disimpulkan adanya beberapa unsur dalam suatu perjanjian
franchise:
16 Ibid, hal 45-47
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
27
(a) Adanya suatu perjanjian yang disepakati
Perjanjian franchise yang dibuat oleh para pihak, yaitu franchisor dan
franchisee, yang kediianya berkualifikasi sebagai subjek hukum, baik ia sebagai
badan hukum maupun sebagai perorangan.
Perjanjian franchise di Indonesia hingga tulisan ini dibuat belum diatur secara
khusus dalam suatu perundang - undangan. Namun demikian tidak berarti bahwa di
Indonesia tidak diperbolehkan melakukan atau membuat suatu perjanjian franchise
ini, sebab herdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata para pihak dimungkinkan membuat
perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang - undang, kesusilaan, dan
kctertiban umum.
Pada umumnya, perjanjian franchise dibuat di bawah tangan, karena
melibatkan pihak asing, yang menganut sistem hukum yang berbeda. Di sini,
konsultan hukum sangat berperan penting.
(b) Adanya pemberian hak dari franchisor kepada franchisee untuk
memproduksi dan memasarkan produk dan/atau jasa.
Dalam hal ini, franchisee berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo milik
franchisor yang sudah lebih dahulu dikenal daiam dunia perdagangan.
(c) Pemberian hak yang terbatas pada waktu dan tempat tertentu
Dalam hal ini franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menggunakan
nama, merek dangang, dan logo dari usalianya kepada franchisee terbatas pada
tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian franchise yang telah
mereka buat bersama.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
28
(d) Adanya pembayaran sejiimlah iiang tertentu dari franchisee kepada
franchisor.
Pembayaran-pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran awal, pembayaran
selama berlangsungnya franchise, pembayaran atas pengoperan hak franchisee
kepada pihak ketiga, penyediaan bahan baku, dan masalah-masalah lain yang
tercantum dalam suatu perjanjian.
A. Asas - asas dalam Perjanjian Franchise
Adapun asas-asas yang terkandung dalam perjanjian franchise17 :
(1) Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, substansi perjanjian tersebut harus tidak melanggar
ketentuan undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak
melanggar ketertiban umum.
(2) Asas konsensualitas
Dalam hal ini, jika terdapat kesepakatan antara calon franchisor dengan calon
franchisee mengenai suatu hal yang akan diperjanjikan, maka pada dasarnya
perjanjian itu sudah dianggap ada. Asas ini harus diperhatikan dengan sebaik-
17 Rooseno Harjowidigdo, “Beberapa Aspek Hukum Franchising”, Makalah disampaikan dalam Seminar Aspek-aspek Hukum tentang Franchising, (Surabaya : IKADIN Cabang Surabaya, 23 Oktober 1993).
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
29
baiknya, khususnya jika akan memperbaharui perjanjian franchise. Maka hal-
hal yang lama menjadi sumber sengketa antara kedua belah pihak.
(3) Asas itikad baik
Persetujuan tersebut harus dilakukan dengan itikad baik, dimana diketahui
bahwa perjanjian franchise merupakan rangkaian dari suatu proses kerjasama
di bidang perdagangan barang dan/atau jasa, sehingga untuk dapat
menimbulkan keuntungan kedua belah pihak, maka itikad baik kedua belah
pihak tentunya akan sangat menentukan besamya keuntungan yang akan
diperoleh. Dengan demikian, dengan asas itikad baik ini, maka para pihak
akan senantiasa melaksanakan hak dan kewajibannya yang timbul dari suatu
perjanjian franchise ini.
(4) Asas keadiian
Asas ini dimaksudkan agar perjanjian franchise yang dibuat tersebut
menempatkan posisi kesederajatan hukum kedua belah pihak secara adil,
sehingga terdapat suatu hubungan yang seimbang yang bermuara pada posisi
yang saling menguntungkan.
(5) Asas kesamarataan dalam hukum
Dengan asas ini, perjanjian franchise yang dibuat harus memberikan hak yang
seimbang. Misalnya, apabila salah satu pihak diberi hak memutuskan
hubungan franchise, maka pihak lainnya harus diberi hak yang sama, yaitu
misalnya ganti rugi dan hak-hak lain yang diperkenankan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
30
(6) Asas pikul bareng
Asas ini sangat penting dalam perjanjian franchise, karena kerugian dalam
bisnis ini kemungkinan besar akan ada. Oleh sebab itu, maka perlu
diperjanjikan hal-hal yang menyangkut tanggung jawab masing-masing pihak
jika terjadi kerugian dikemudian hari. Dengan demikian, kerugian yang
mungkin timbul menjadi tanggung jawab bersama dengan suatu perbandingan
yang disepakati bersama.
(7) Asas kerahasiaan
Dalam bisnis franchise, hendaknya pihak franchisor wajib memberitahukan
rahasia dagang secukupnya kepada pihak franchisee serta prospektus usaha
franchisenya sehingga pihak franchisee dapat dengan mudah menentukan
keputusannya untuk memilih franchisor yang representatif untuk usahanya
kelak.
(8) Asas konfidensialitas
Asas ini pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak (franchisor maupun
franchisee) untuk menjaga kerahasiaan data - data ataupun ketentuan -
ketentuan yang dianggap rahasia, misalnya masalah trade secret, know how
atau resep makanan / minuman, dan tidak dibenarkan untuk memberitahukan
kepada pihak ketiga, kecuali undang-undang menghendakinya.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
31
B. HAK DAN KEWAJIBAN FRANCHISOR
B.1.1 Hak-Hak Franchisor
(1) Franchisor berhak menerima biaya franchise (franchise fee), biaya
royalty (royalty fee) sebesar 7 % (tujuh persen) dari hasil penjualan
kotor, dan uang jaminan sebesar 20 % (dua puluh persen) dari biaya
franchise yang dibayarkan oleh franchisee.
(2) Franchisor berhak membebankan denda sebesar 1 0/00 (satu permil)
untuk setiap hari keterlambatan terhitung dari jumlah biaya royalty
yang harus dibayarkan oleh franchisee.
(3) Franchisor berhak untuk menolak perpanjangan perjanjian yang
diajukan oleh franchises, apabila franchisee tersebut sering mendapat
protes dari pelanggan, karena hal itu dapat mencemarkan nama baik
(goodwill) franchisor.
(4) Franchisor berhak menghentikan pengiriman bahan baku, bumbu-
bumbu dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh franchisee apabila
keterlambatan dalam membayar royalty tersebut mencapai 30 hari.
(5) Berhak mengakhiri perjanjian secara sepihak setelah memberitahukan
hal tersebut secara tertulis kepada franchisee, apabila keterlambatan
franchisee dalam membayar royalty mencapai 60 hari.
(6) Mengangkat karyawan bagi franchisee dan menghentikan karyawan
franchisee apabila karyawan tersefaut melakukan penyimpangan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
32
(7) Melakukan pemeriksaan dan pengawasan atas seluruh ruangan
restoran, kualitas dan kuantitas peralatan, persediaan, standar
karyawan, pembukaan, dokumen dan melakukan reset register milik
franchisee.
(8) Menjamin franchisee dalam menyelenggarakan usaha restoran tidak
akan mendapat gangguan, gugatan maupun tuntutan apapun dari pihak
manapun berkaitan dengan penggunaan merek dan logo franchisor.
(9) Menerima kembali hak franchise dari francllisee apabila jangka waktu
perjanjian telah berakhir dan tidak diperpanjang oleh franchisee.
(10) Mengakhiri atau membatalkan secara sepihak dan menuntut ganti rugi
apabila franchisee melakukan ingkar janji atau melanggar ketentuan
dalam perjanjian dan untuk itu sudah diberi peringatan sekurang -
kurangnya satu kali.
(11) Membebankan denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu) perhari
untuk setiap pelanggaran yang dilakukan oleh franchisee.
(12) Franchisor mempunyai hak untuk dibebaskan dari tanggung jawab
terhadap kentgian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan
perjanjian yang dialami oleh franchisee, Ini dikenal dengan klausula
eksonerasi.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
33
B.1.2 Kewajiban Franchisor
(1) Memasok bahan baku, bumbu-bumbu dan alat-alat perlengkapan yang
dibutuhkan oleh franchisee.
(2) Memberi latihan/traning kepada karyawan-karyawan franchisee selama 2
(dua) bulan sebelum pembukaan restoran untuk pertama kalinya.
(3) Menyediakan dan mempekerjakan 2 (dua) orang manager untuk membantu
franchisee dalam pelaksanaan restoran sehari-hari.
(4) Menyampaikan dan memberi petunjuk kepada franchisee tentang Standar
Operation Procedures (SOP).
(5) Memberi petunjuk kepada franchisee tentang perijinan serta prosedur
pengurusan perijinan yang diperlukan dalam rangka penyelanggaraan restoran
sesuai dengan Peraturan Pemerintah dan Undang-undang yang berlaku.
(6) Mengadakan kunjungan ke lokasi restoran franchisee untuk memeriksa dan
mengawasi sekmih ruangan, peralatan, persediaan, dokumen, pembukuan,
standar karyawan, meiakukan reset cash register milik franchisee dan
mengawasi jalannya kegiatan restoran tersebut.
(7) Mengirim tenaga manager untuk membantu franchisee dalam pelaksanaan
operasional restoran sehari-hari.
(8) Melatih tenaga kerja agar mampu bekerja di restoran.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
34
B.2.1 Hak-hak Franchisee
(1) Memperoleh hak franchise selama jangka waktu 5 (lima) tahun.
(2) Mendapat bantuan dari franchisor daiam mengoperasikan restorannya, yaitu
dengan bantuan 2 (dua) orang manager yang ditempatkan oleh franchisor.
(3) Mendapat pengiriman bahan baku, bumbu-bumbu dan perlengkapan yang
dibutuhkan dari franchisor.
(4) Karyawan-karyawan dari franchisee mendapat latihan/training dari franchisor
daiam waktu 2 (dua) bulan sebelum pembukaan restoran untuk pertama
kalinya.
(5) Mendapat petunjuk dan saran untuk kemajuan beroperasinya restoran milik
franchisee.
(6) Mendapat kembali uang jaminan franchise tanpa bunga selambat-lambatnya
90 (sembilan puluh) hari setelah perjanjian berakhir, dengan franchisee sudah
melunasi seluruh kewajiban membayar biaya.
B.2.2 Kewajiban-kewajiban Franchisee
(1) membayar biaya franchise {franchise fee] dengan ditambah PPN sebesar 10
% (sepuluh persen), biaya royalty (royalty fee) sebesar 7 % (tujuh persen) dari
hasil penjualan kotor (gross sales) yang dibayarkan pada tanggal 10 pada
setiap bulannya, serta membayar jaminan franchise sebesar 20% (dua puluh
persen) dari biaya franchise dengan tepat waktu.
(2) Membayar biaya perijinan dan pungutan-pungutan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan usaha restoran, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
35
dan Bangunan (PBB), serta biaya renovasi yang diperlukan untuk perbaikan
dan/atau pembangunan restoran.
(3) Membayar asuransi sekaligus selama jangka waktu dengan nilai
pertanggungan yang memadai dan menanggung serta membayar premi
asuransi atas restoran dan seluruh isi serta perlengkapan terhadap berbagai
bencana seperti bencana kebarakan.
(4) Harus mendapat persetujuan dari franchisor apabila akan memperbaiki
dan/atau merubah ruangan restoran dan harus sesuai dengan standar
franchisor, serta menyelesaikan peiaksanaan perbaikan dan/atau perubahan
tersebut sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh franchisor.
(5) Merenovasi/memperbaiki ruangan restoran dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
mendapat pemberitahuan dari franchisor bahwa restoran tersebut harus
direnovasi.
(6) Menggaji karyawan-karyawannya sesuai dengan standar prosedur dari
franchisor.
(7) Mengadakan jadwal dan disiplin kerja yang baku sesuai dengan Standard
Operation Procedures (SOP) yang ditetapkan oleh franchisor.
(8) Mencurahkan perhatian dan usahanya dengan semaksimal mungkin pada
pelaksanaan perjanjian sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan franchisor.
(9) Menjaga mutu dan nama baik merek yang digunakan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
36
(10) Membuka restoran pada pukul 09.00 sampai dengan 22.00 waktu setempat,
dan melakukan kegiatan usaha restoran selama 365 hari dalam setahun,
kecuali pada hari-hari yang ditetapkan pemerintah bahwa restoran harus tutup.
(11) Menjual seluruh produk yang ditentukan dan berasal dari franchisor dengan
harga jual mengikuti harga yang ditetapkan oleh franchisor.
(12) Menggunakan balian baku, bumbu-bumbu, peralatan dan perlengkapan
lainnya sesuai dengan standar yang ditentukan oleh franchisor.
(13) Membeli bahan baku, bumbu-bumbu, minuman, pembungkus dan
perlengkapan lainnya dari franchisor dengan pembayaran dimuka.
(14) Mengikuti setiap perubahan peraturan mengenai menu dan/atau promosi yang
dikeluarkan oleh franchisor.
(15) Menaati selunih ketentuan dalam Standar Operational Procedure (SOP)
(16) Memasang papan nama berupa signage, shopsign, wallsign yang bertuliskan
California Fried Chicken serta logo CFC pada tempat-tempat yang ditentukan
oleh franchisor dan seluruh perlengkapan untuk itu harus dibeli dari
franchisor. Untuk itu franchisee wajib membayar biaya dan pajak reklame
tersebut.
(17) Mengikuti kegiatan pemasaran dan promosi di area restoran.
(18) Menyediakan dana minimal 2% (dua persen) dan hasil gross sales untuk
menyelenggarakan promosi yang haras disetujui secara tertulis oleh
franchisor.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
37
(19) Membuat dan mengirimkan laporan penjualan berupa struk reset harian, Price
Look Up (PLU), laporan kas kasir, dan struk reset bulanan kepada franchisor
tepat pada waktunya.
(20) Melaporkan kepada franchisor apabila cash register mengalami kerusakan.
(21) Tidak boleh menjuai makanan dan minuman dengan merek dagang dan logo
CFC di luar lokasi yang telah diperjanjikan.
(22) Tidak boleh membehkan rahasia-rahasia dagang milik franchisor kepada
pihak lain dengan alasan apapun.
(23) Tidak boleh mengganti/merubah perlengkapan dan design standar yang
ditentukan oleh franchisor serta dilarang merubah modal dasar, modal disetor,
susnnan dan nama pemegang saham serta pengurus.
(24) Tidak boleh memperbanyak Standar Operation Procedures (SOP) untuk
keperluan apapun bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
38
C. ASPEK - ASPEK HUKUM KETENTUAN HUKUM YANG TERKAIT
UNTUK WARALABA DI INDONESIA
Aspek hukum yang paling pokok dalam bisnis franchise adalah aspek hukum
perjanjian. Selain itu ada aspek-aspek hukum lain yang terkait dengan sistem bisnis
tersebut, yaitu hak cipta, paten dan merek, rahasia dagang, aspek kemitraan, aspek
hukum ketenagakerjaan, dan aspek hukum perpajakan.
Adapun aspek - aspek hukum tersebut akan dibahas sebagai berikut:
C.1. Lisensi
C.1.1. Pengertian
Lisensi berasal dari kata latin “licentia”18. Jika kita memberikan kepada
seseorang lisensi terhadap suatu merek, maka kita memberikan kebebasan atau izin
kepada orang itu untuk menggunakan penemuan yang dilindungi oleh oktroi atau
menggunakan merek ang dilindungi oleh hukum merek. Tanpa lisensi, orang lain itu
tidak bebas dalam menggunakan penemuan atau merek tersebut.
Dalam sistem bisnis franchise, ada lisensi yang digunakan dalam know-how.
Perbedaan antara lisensi terhadap oktroi (merek) dan lisensi know-how adalah
sebagai berikut;
Dalam lisensi suatu oktroi, kita menghadapi suatu pemberian izin dengan suatu
imbalan untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya itu tidak boleh digunakan.
Sedangkan dalam hal Itsensi atas know-how, kita melihat adanya pemberian izin
(juga dengan suatu imbalan) untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya orang itu 18 Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktek Lisensi, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 1991), hal 11
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
39
tidak boleh mengetahui bagaimana cara menggunakannya, dan yang karena alasan-
alasan praktis ia tidak bermaksud untuk mengembangkan sendiri know-how tersebut.
Dalam sistem bisnis franchise, adanya lisensi oktroi atau lisensi merek diadakan
bersamaan dengan lisensi know-how, karena dalam suatu oktroi kerapkali yang
dilindungi hanya satu bagian dan obyek yang diinginkan oleh pihak lawan dalam
lisensi itu, sedangkan yang lainnya termasuk sebagai know-how.
C.1.2. Alasan - Alasan Untuk Memberikan Lisensi
Alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan untuk memberikan lisensi adalah
sebagai berikut:
(a) Dengan memberikan lisensi dihasilkan uang.
(b) Lisensi mempunyai pengaruh memperluas pasar (Jarak, hambatan-hambatan
pemerintah, sifat dari produk).
(c) Dilihat dari segi teknis, pemberian lisensi mempunyai daya memperluas
cakrawala.
(d) Melalui lisensi dapat diadakan tukar-menukar paket pengetahuan.
(e) Dengan lisensi dapat berakibat olehnya sendiri diproduksi barang
bersangkutan.
(f) Dengan lisensi dapat diperluas kepentingan dengan jalan mendapatkan paket
bagian dalam perusahaan penerima lisensi, tentunya melalui tukar-menukar
lisensi itu.
(g) Pemberian lisensi dapat digunakan untuk menyelesaikan kemungkinan
sengketa oktroi.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
40
C.1.3. Faktor-faktor Pertimbangan Dalam Pembayaran Imbalan
Lisensi19
Lisensi diadakan dengan suatu pembayaran. Maka, yang menjadi persoalan
berapa besarnya imbalan itu. Untuk itu dapat memperhitungkan hal itu, perlu
diketahui faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menghitung imbalan
untuk lisensi itu. Misalnya : Apakah ini merupakan obyek lisensi yang telah terbukti
sifat komersilnya ? Apakah obyek lisensi dilindungi oleh oktroi atau merek yang
terkenal ? Apakah ada perlindungan di negara orang yang akan menerima lisensi ?
Selain faktor - faktor tersebut, terdapat faktor - faktor lain yang harus
dipertimbangkan, yaitu:
(a) Apakah ada kemungkinan ancaman persaingan oleh penerima lisensi dengan
hasil produksinya yang dikaitkan dengan lisensi itu?
(b) Jaminan - jaminan apakah yang diminta oleh penerima lisensi?
(c) Apakah penerima lisensi bersedia untuk memikul resiko-resiko tertentu?
(d) Jasa-jasa apakah yang diminta oleh penerima lisensi dalam masa
pembangunan atau produksi obyek lisensi dan kemungkinan pula setelah itu?
(e) Dalam jangka berapa lamakah harus telah ada realisasi untuk mewujudkan
obyek lisensi itu?
(f) Siapa yang akan membayar pajak berkaitan dengan imbalan lisensi tersebut?
(g) Seberapa tinggikah tingkat teknis penerima lisensi?
19 Ibid, hal 23-25
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
41
(h) Berapakah taksiran ongkos untuk makelar lisensi yang digunakan,
nasihat-nasihat hukum fiskal dan keuangan-keuangan?
(i) Berapakah kira-kira keuntungan yang didapat oleh penerima lisensi?
(j) Seberapa luaskah terkenalnya pemberi lisensi itu dengan barang yang
dilisensikan dalam pasar?
(k) Bagaimanakah cara-cara pembayaran imbalan lisensi?
C.1.4. Patokan Penerima Lisensi20
Bagi penerima lisensi, biasanya yang dijadikan patokan adalah perhitungan
tentang berapa lamakah waktu yang diperiukan untuk sampai kepada perkembangan
yang kini telah tercapai oleh pemberi lisensi, dan berapakah ongkos yang harus
dikeluarkan seandainya dia sendiri berusaha mengembangkan hal tersebut.
Perhitungan ini digabungkan dengan kemungkinan harga pasaran yang bisa didapat
dengan obyek lisensi, dikaitkan dengan berapakah dari ongkos lisensi yang dapat
dipikul olehnya. Dengan demikian, maka dapat diperkirakan seberapa jauhkan dia
akan mendapat keuntungan dari produksinya berdasarkan lisensi itu.
C.1.5. Cara-cara Pembayaran21
Mengenai cara pembayaran imbalan lisensi, ada 4 kemungkinan
cara pembayaran, yaitu:
20 Ibid, hal 26-27 21 Ibid, hal 27
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
42
(a) Pembayaran suatu jumiaii sekaligus
(b) Pembayaran persentase dari harga jual atau ongkos produksi yang dibuat
atas dasar lisensi itu.
(c) Pembayaran dengan menetapkan jumlah tertentu dari kesatuan yang
dibuat dengan lisensi.
(d) Pembayaran persentase dari keuntungan.
C.1.6. Penggunaan Lisensi Dalam Franchise
Franchise dalam menggunakan suatu merek dan know-how harus
mendapatkan lisensi dari franchisor. Biasanya lisensi merek diadakan bersamaan
dengan lisensi know-how.
Sebelum menerima lisensi, franchisee hams mempertimbangkan baik-baik
mengenai obyek yang ditawarkan dengan hsensi itu. Franchisee harus
memperhitungkan kemungkinan tekrtis dan finansialnya.
Dengan menerima lisensi, segi-segj positif yang diterima franchisee adalah :
(1) akan terjadi diversifikasi atau perbaikan produksi baik kuantitanf maupun
kualitatif.
(2) franchise dapat mempengaruhi pasar yang ada dengan lebih cepat.
Dengan mempergimakan lisensi, franchisee hams membayar imbalan kepada
franchisor. Besarrrya imbalan itu disesuaikan dengan faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan, seperti: apakah obyek lisensi dilindungi oleh merek terkenal?
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
43
Dalam menerima lisensi, franchisee berhak menggunakan know-how dengan
bebas sesuai dengan perjanjian lisensi yang dibuat diantara franchisee dan franchisor.
Sistem pembayaran yang disukai oleh franchisor adalah sistem pembayaran
sekaligus, karena:
(1) Franchisor tahu dengan pasti berapa yang didapat, dan tidak
bergantung pada persentase omzet penerima lisensi yang belum pasti.
(2) Jelas dengan telah adanya pembayaran. Sebab jika telah ada hal-hal
yang tidak menyenangkan dikemudian hari diantara mereka telah
menerima bayaran.
Sistem pembayaran sekaligus juga menguntungkan franchisee, sebab :
(1) Sudah sejak sernula dia mengtahui apa yang harus dilakukannya dan
dengan demikian jumlah tersebut dapat diperhitungkannya dengan
iuvestasinya.
(2) Franchisee tidak perlu mempertanggungjawabkan mengenai
omzetnya.
Dalam perjanjian lisensi yang terdapat dalam perjanjian franchise, terdapat
kewajiban untuk merahasiakan oleh franchisee. Ada dua bentuk, yaitu bersifat timbal
balik atau bersifat sepihak. Dalam dokumen mi terdapat klausula bahwa franchisee
berjanji akan memegang rahasia selama sekian tahun atau waktu tertentu sebagai
kewajiban menyimpan rahasia yang setiap kali akan disebutkan dalam kontrak lisensi.
Jangka waktu menyimpan rahasi ini harus ditentukan dalam perjanjian lisensi.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
44
Mengenai isi lisensi harus jelas. Apakah yang dapat dan atau boleh dilakukan
oleh penerima lisensi tersebut ? Penerima lisensi mendapat hak untuk membuat obyek
lisensi dan memasarkannya kemanapun.
C.2. Royalty
C.2.1. Pengertian22
Yang dimaksud dengan royalty adalah suatu persentase dari harga jual
atau harga ongkos obyek yang diberi lisensi itu, atau produksi-produksi yang
dihasilkan obyek lisensi itu.
C.2.2. Keuntungan Perjanjian Royalty Bagi Penerima Royalty23
Dibandingkan dengan pembayaran suatu jumlah sekaligus dapat dikatakan
bahwa royalty lebih menguntungkan apabila lisensi itu mendapat sukses dan orang
yang berkewajiban membayar royalty tersebut bersedia untuk mengadakan perjanjian
yang cukup lama, sehingga jumlah yang akan diterima dari royalty keseluruhannya
akan lebih besar daripada jumlah pembayaran sekaligus, Selain itu, penerima royalty
dalam rangka persaingan yang ditimbulkan oleh lisensi-lisensi akan mengetahui
dengan baik omzet pembayar royalty.
C.2.4. Keuntungan Perjanjian Royalty Bagi Pembayar Royalty24
Perjanjian royalty dengan penerima lisensi, ia tidak perlu membayar
sebelum bisa mendapat sesuatu dari obyek lisensi, dan sebelum lisensi itu
22 Ibid, hal 30 23 Ibid, hal 30 24 Ibid, hal 31
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
45
membuktikan manfaatnya. Tetapi jika segala sesuatu berjalan dengan baik, maka
dapatlah persentase dari royalty itu dibebankan pada harga jual.
D.2.4. Antisipasi Agar Pemberi Lisensi Tidak Merugi25
Dalam praktek banyak perjanjian royalty yang mengecewakan,
disebabkan karena penerima lisensi tidak berusaha dengan cukup baik supaya
usahanya berjalan dengan baik pula, atau ia kehilangan semangat disebabkan karena
keadaan pasar menjadi berubah.
Sebenamya, pemberi lisensi dapat menjagaa kemungkinan ini dengan
meminta pembayaran - pembayaran sekaligus untuk suatu jumlah tertentu, yang akan
diperhitungkan dengan royalty - royalty yang seharusnya dia terima di hari yang akan
datang. Juga dapat diperjanjikan adanya suatu jumlah minimum tertentu sebagai
pembayaran tahunan yang diperhitungkan sebagai royalty.
C.2.5. Penetapan Royalty
Mengenai penetapan royalty26 ada riga macam, yaitu :
(1) Royalty biasanya ditetapkan dengan suatu prosentase tetap.
(2) Royalty yang ditetapkan dengan prosentase royalty yang semakin
lama jumlahnya semakin ditingkatkan.
(3) Royalty yang ditetapkan dengan prosentase royalty yang semakin
lama jumlahnya diturunkan.
25 Ibid, hal 32 26 Ibid, hal 33
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
46
Dalam hal prosentase royalty yang semakin lama semakin ditingkatkan, dasar
pertimbangannya adalah bahwa penerima lisensi terlebih dahulu harus berusaha untuk
merebut pasar dan oleh karenanya jangan sampai terlalu besar dibebani dengan
royalty yang akan mempengaruhi harganya.
Dalam hal prosentase royalty semakin lama semakin diturunkan, dasar
pertimbangannya adalah pengetahuan yang dilisensikan itu semakin lama semakin
kurang nilainya dan oleh karenanya pula sepantasnya kalau kurang pula
pembayarannya
C.2.6. Klausula Hard-ship
Dalam kontrak, adakalanya disebutkan klausula Hard-ship27. Yang
dimaksud dengan klausula Hard-ship adalah ketentuan dalam perjanjian lisensi, yang
menyebutkan bahwa pada suatu waktu tertentu mungkin diadakan peninjauan
kembali terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan mengenai prosentase atau jumlah
tetap yang harus dibayar.
Pihak-pihak yang dapat memperjanjikan bahwa setelah dua atau tiga tahun
sejak dimulainya produksi komersial, yang tanggahiya dapat disebutkan dalam
sertifikat, akan dirundingkan kembali mengenai berapa sebaiknya royalty atau jumlah
pembayaran menurut waktu itu. Perundingan-perundingan kembali ini dapat
dilakukan dua atau tiga tahun sekali.
27 Ibid, hal 34
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
47
C.3. Hak Paten, Cipta dan Merek28
Pada dasarnya, sistem bisnis franchise adalah sistem yang mengandalkan
kesuksesan franchisor dalam menjalankan usahanya yang ditandai dengan merek dan
logo yang terkenal sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Dalam hubungan
kerjasama ini, franchise berhak mempergunakan logo dan merek yang terkenal
tersebut.
Adanya merek dan logo yang telah dikenal konsumen memerlukan
perlindungan hukum. Di Indonesia, mengenai logo dan merek diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta sebagaimana telah diubah UU Nomor 7 Tahun 1987,dan UU Nomor 15 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 14 Tahun 1997, serta UU Nomor 14
Tahun 2001 tentang Perabahan atas UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 tahun 1997. Undang - undang
tersebut dijadikan dasar bagi usaha bisnis franchise dalam rangka memberikan
perlindungan hukum dari pihak ketiga yang dapat merugikan pemilik bisnis franchise
ini.
Perlindungan hak cipta dalam sistem bisnis franchise diatur dalam pasal 11
ayat (1) butir (a) dan (i) UU No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, yang
28 Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Trasnasional, (Bandung ; PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 59-68
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
48
menyebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya :
(a) buku, program komputer, pamilet, susunan perwajahan karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
(b) ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara
diucapkan;
(c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
(d) ciptaan lagu, dan rekaman suara;
(e) drama, tari, (koreografi), pewayangan, pantomim;
(f) karya pertunjukan;
(g) karya siaran;
(h) seni rupa dalam bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan
tangan;
(i) arsitektur,
(j) seni batik;
(k) fotografi;
(l) sinematografi;
(m) terjemahan, tafeir, saduran,bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil
pengalihwujudan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
49
Perlindungan hak cipta dalam sistem bisnis franchise diatur dalam Pasal II
ayat (1) tersebut pada butir (a) dan (i). Butir (a), karena menyangkul buku petunjuk
pengoperasian bisnis franchise, atau brosur dan pamflet yang dibuat oleh franchisor
dengan berisikan rahasia kesuksesan usahanya. Dan butir (i), karena arsitektur
tertentu yang memiliki ciri khas dari usahanya.
Perlindungan hukum kepada pemegang atau peinilik merek yang terkandung
dalam UU No. 15 Tahun 200 i adalah sebagai berikut:
(a) UU No. 15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif.
(b) UU No. 15 Tahun 2001 menetapkan bahwa pemeriksaan atas permohonan
pendaftaran merek tidak hanya didasarkan atas kelengkapan persyaratan formal
tetapi juga dilakukan pemeriksaan subtantif. Juga diperkenalkan sistem
pengumuman atas permohonan suatu pendaftaran merek,
(c) Merek terdaftar mendapat perhndttngan hukum selama 10 tahun, berlaku sejak
tanggal penerimaan pendaftaran merek yang bersangkutan.
(d) UU No. 15 Tahun 2001 memberikan kemungkinan kepada pihak yang
berkepentingan untuk mengajukan keberatan dan sanggahan secara tertulis
kepada Direktoran Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual selama jangka waktu
pengumuman.
Dengan asas konstitutif dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, berarti
UU ini menganut sistem pendaftaran, yaitu hak atas merek timbul setelah adanya
pendaftaran teriebth dahulu. Jadi, barangsiapa yang pertama kali mendaftarkan dialah
yang berhak atas merek, dan secara ekslusif dia dapat memakai merek tersebut.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
50
Dalam sistem bisnis franchise yang dapat dilindungi dengan UU Paten, dalam
jenis Product Distribution Franchise yaitu franchisor berfungsi sebagai pengendali
dan pemegang dalam pemberian know how dan formula usaha dalam proses produksi.
Disini franchisee hanya diberikan keleluasaan dalam memproduksi dan
mendistribusikan produk sesuai dengan cara yang dikehendaki oleh franchisor.
Dalam jenis franchise ini, apabila franchisor menciptakan suatu alat atau sarana
produksi bukan untuk tujuan memproduksi makanan dan minuman maka penemuan
tersebut diberikan perlindungan paten.
Dalam jenis Business Format Franchise, yang pada prinsipnya jenis franchise
ini tidak menyangkut penemuan teknologi, tetapi hanya suatu cara dalam menyajikan
produk dalam suatu paket, maka perlindungan paten tidak mungkin diberikan di
dalamnya.
C.4. Aspek Rahasia Dagang
Dalam sistem bisnis franchise, terdapat perlindungan terhadap rahasia dagang
yang harus dijaga ketat. Mengenai perlindungan terhadap rahasia dagang ini diatur
dalam UU Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, yang disahkan pada
tanggal 20 Desember 2000.
Yang dimaksud dengan rahasia dagang pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30
Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang adalah :
Rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usalia dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
51
Oleh karena itu, setiap franchise berkewajiban untuk menjaga rahasia dagang
yang dipercayakan oleh franchisor kepadanya. Rahasia dagang tersebut tidak boleh
luaskan kepada pihak lain oleh franchisee, karena hal itu akan merugikan franchisor.
Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode
lahan, metode penjualan, atau informasi lain dibidang teknologi dan/atau bisnis yang
memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
Dalam Pasal 4 UU nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, dikatakan
bahwa pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk ;
a. menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya.
b. memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan
Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak
ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersif.
Dalam butir (a), yaitu pemilik Rahasia Dagang berhak menggunakan sendiri Raliasia
Dagang yang dimilikinya, dalam sistem bisnis franchise tampak dari franchisor yang
tnendirikan outlet/store baginya sendiri. Dan pemberian lisensi kepada pihak lain
yang tercakup dalam butir (b), dalam sistem bisnis franchise merupakap pemberian
hak untuk menggunakan raliasia dagang dari franchisor kepada franchisee.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
52
C.5. Aspek Hubungan Kemitraan
Hubungan antara franchisor dengan franchisee dalam sistem bisnis franchise
merupakan hubungan kemitraan. Kemitraan tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997. Dalam hubungan kemitraan ini terdapat
pengaturan mengenai kewajiban Usaha Besar dan atau Usaha Menengah, yang dalam
bisnis franchise disebut sebagai franchisor, yang melaksanakan kemitraan dengan
Usaha Kecil, dalam hal ini franchisee, antara lain:
a. memberikan informasi kepada peluang kemitraan.
b. memberikan informasi kepada Pemerintah mengenai perkembangan
pelaksanaan kemitraan;
c. menunjuk penanggungjawab kemitraan;
d. mentaati dan melaksanakan ketentuan - ketentuan yang telah diatur
dalam perjanjian kemitraan; dan
e. melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam satu atau lebih
banyak aspek:
a). Pemasaran
b). Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia
c). Permodalan
d). Manajemen
e). Teknologi
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
53
Hal ini diatur selengkapnya dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Noinor 44 Tahun
1997.
Sedangkan kewajiban Usaha Kecil yang bermitra, dalam hal ini franchisee
diatur dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan, yaitu:
a. meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara
berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan
usaha Besar atau Usaha Menengah;dan
b. memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan
bantuan yang diberikan oleh Usaha Besar dan atau Menengah.
Menurut pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang
Kemitraan, Usaha Besar, Usaha Menengah dan atau Usaha Kecil, dalam hal ini
franchisor dan franchisee, metnpunyai kewajiban untuk :
a. mencegah gagalnya kemitraan;
b. memberikan informasi tentang pelaksanaan kemitraan kepada Menteri
teknis dan Menteri; dan
c. meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
54
C.6. Aspek Hukum Ketenagakerjaan29
Pembukaan bisnis franchise pada umumnya mempekerjakan tenaga kerja.
Maka, dalam haf ini timbul aspek-aspek hukum ketenagakerjaan dalam sistem bisnis
franchise tersebut.
Hubungan antara franchisee dengan tenaga kerjanya merupakan hubungan
kerja antara pekerja dengan pengusaha yang diatur dalam perjanjian kerja sesuai
ketentuan syarat-syarat kerja yang berlaku. Hubungan ketenagakerjaan yang timbul
dalam sistem franchise tentunya terbatas pada sejauh mana jangka waktu perjanjian
franchise antara pihak franchisee dengan pihak franchisor. Maka, hubungan kerja
yang timbul tersebut pada dasarnya merupakan hubungan kerja waktu tertentu,
dimana hubungan kerja ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
Per-02/MEN/1993 Tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu.
Kesepakatan kerja ini dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia sebanyak tiga rangkap, masing - masing untuk pekerja, pengusaha, dan
Kantor DEPNAKER setempat untuk didaftarkan. Dalam kesepakatan ini, tidak boleh
dipersyaratkan adanya masa percobaan.
Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang ada selama
ini yang dapat dijadikan dasar bagi hubungan ketenagakerjaan dalam suatu
perusahaan franchise, antara lain: masalah pembinaan keahlian, kejuruan dan
pelatihan kerja (Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok mengenai
Tenaga Kerja, PP No. 71 Tahun 1971 Tentang Latihan Kerja, Pasai 119 UU Nomor 29 Ibid, hal 68-71
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
55
25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan), masalah pembinaan perlindungan kerja
(Pasal 9 dan 10 UU No.14 Tahun 1969, Pasal 108 UU Nomor 25 Tahun 1997
Tentang Ketenagakerjaan), masalah hubungan ketenagakerjaan (Pasal 11 s/d 15 UU
No. 14 Tahun 1969, Kepmen No.382/1992, UU No. 21 Tahun 1954, UU No 7 Tahun
1963, Pasal 6 UU No. 22 Tahun 1957, UU No. 3 Tahun 1992, PP No. 14 Tahun 1993,
Pasal 158 s/d 160 UU Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan), dan masalah
pengawasan ketenagakerjaan (UU No. 3 Tahun 1951,dan Pasal 16 UU No. 14 Tahun
1969, Pasal 166 dan 167 UU Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan).
C.7. Aspek Hukum Perpajakan
Hubungan bisnis franchise merupakan hubungan hukum yang mempunyai
potensi fiskal dan karenanya, maka hubungan hukum ini menjadi objek kena pajak.
Mengenai tata cara perpajakan diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984), yang disahkan pada tanggal 2 Agustus 2000.
Dalam kaitannya dengan sistem bisnis franchise ini,ada beberapa jenis pajak,
antara lain:
(a) Pajak penghasilan
(b) Pajak pertambahan nilai
(c) Pajak “withholding” atas royalty
(d) kemungkinan pajak penghasilan dari tenaga kerja asing
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
56
Mengenai pajak penghasilan, terkandung dalam UU Nomor 17 Tahun 2000
Tentang Perabahan Ketiga Atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985) yang
disahkan pada tanggal 2 Desember 2000. Dalam hal ini, yang menjadi obyek
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk didalamnya gaji, laba bruto usaha dan
royalty.
Untuk pajak pertambahan nilai, terkandung dalam UU Nomor 18 Tahun 2000
Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986), yang disahkan pada tanggal
2 Desember 2000, dan peraturan pelaksanaanya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 75
Tahim 1991 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Penyerahan Barang
Kena Pajak yang dilakukan oleh Pedangang Eeeran Besar, serta Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 1289/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pedangan Eeeran Besar.
Mengenai pajak atas royalty dalam sistem bisnis franchise, pihak franchisee
mendapat hak berdasar perjanjian dengan kewajiban memberikan royalty atau
franchisee kepada franchisor. Maka, atas hal pembayaran royalty dikenakan pajak.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
57
Berkaitan dengan bisnis franchise, permasalahan dalam hal pajak royalty
adalah tentang siapa yang harus membayar pajak atas royalty tersebut. Apakah
franchisee ataukah franchisor. Kalau tidak ada ketentuan yang mewajibkan salah satu
pihak saja yang menanggung beban pajak ini, maka dapat diperjaujikan bahwa beban
pajak royalty ditanggung bersama.
D. ISI PERJANJIAN FRANCHISE PADA UMUMNYA
Isi perjanjian franchise pada umumnya adalah mengenai syarat-syarat yang
berupa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, yang diuraiakan
secara terperinci. Akan tetapi dalam perjanjian franchise pada umumnya hanya
kewajiban dari franchisee saja yang diuraikan secara terperinci sedangkan kewajiban
franchisor pada umumnya tidak diuraikan secara terperinci.
Dalam perjanjian franchise pada umumnya, dicantumkan klausula yang
membebaskan franchisor dari tanggung jawab, yang disebut klausula eksonerasi.
Klausulan ini menguntungkan pihak franchisor karena francliisor dibebaskan dari
tanggungjawabnya terhadap kerugian yang diderita oleh franchisee.
Pada umumnya, isi perjanjian franchise adalah:
(a) Penggunaan merek dagang, nama dagang dan logo ;
Merek dagang adalali nama yang tertera pada suatu produk atau jasa yang
menjelaskan identitas usaha franchisor. Franchisee dalam menjalankan
usahanya berhak unruk nama dagang, logo serta nama baik yang dimiliki
oleh franchisor;
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
58
(b) Kedudukan franchise:
Franchisee berhak penuh untuk mengeluti/menjalankan usahanya secara
independen. Franchisee bertanggimgjawab penuh atas segara hutang-
hutang yang dibuatnya serta kewajiban-kewajiban pada pihak lain.
Franchisor tidak bertanggungjawab terhadap kerugian dan kewajiban
tersebut;
(c) Dana/modal
Franchisee harus mempunyai sumber dananya sendiri dan/atau dukungan
sumber dana lainnya yang mungkin diperoleh dari kredit perbankan.
Namun, tidak ada investasi langsung dari franchisor;
(d) Fee
Kewajiban franchisee untuk membayar fee kepada franchisor, mengenai
bentuk dan jumlahnya ditetapkan oleh franchisor, yang harus dibayar
secara berkala atas hak yang didapat franchisee dan atas bantuan yang
terus menerus yang diberikan oleh franchisor. Fee ini termasuk juga
pembayaran untuk program operasional dan konsultasi;
(e) Wilayah/Premis lokasi
Franchisee diberikan wilayah untuk melaksanakan usahanya dan didalam
perjanjian harus secara tegas dicantumkan bahwa franchisor tidak akan
menjual kembali hak franchiseenya atau membuka usaha di wilayah yang
telah diberikan kepada franchisee;
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
59
(f) Periklanan
Franchisee diizinkan untuk menggunakan materi promosi yang dilakukan
oleh franchisor, temiasuk isi iklan. Akan tetapi, seluruh biaya periklanan
menjadi tanggung j awab franchisee;
(g) Bantuan operasional
Franchisor memberikan pelatihan untuk franchisee daiam segala bentuk
aspek yang menyangkut usaha franchise yang meliputi pemberian
saran, materi promosi, perkembangan pemasaran, produk serta tehnik
operasional yang dapat diberikan sebelum diiaksanakan perjanjian atau
dilakukan secara terus-menerus tergantung dan kesepakatan para pihak.
(h) Jangka waktu dan perpanjangan
Perjanjian franchise mempunyai jangka waktu yang ditentukan oleh para
pihak. Pada umumnya, jangka waktu perjanjian franchise adalah 10 tahun.
Jika jangka waktu itu berakhir dapat diperpanjang, akan tetapi dalam
perjanjian tersebut harus dicantumkan syarat-syarat perpanjangannya ;
(i) Desain lokasi dan penampilan
Franchisor dapat memaksakan desain lokasi yang seragam dengan
usaha franchisor yang dikerjakan oleh franchisor atas biaya franchisee ;
(j) Informasi yang harus dirahasiakan
Franchisee harus merahasiakan semua sistem operasi perdagangan yang
dimiliki oleh franchisor;
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
60
(k) Pembukuan dan akuntansi
Franchisee harus membuat pembukuan yang lengkap yang dapat diperiksa
oleh franchisor setiap saat. Pembukuan tersebut meliputi pembayaran
fee/royalty, dan juga ditetapkan jangka waktu laporan pembukuan ;
(l) Modifikasi
Modifikasi merupakan hak mutlak dari franchisor. Oleh karena itu, untuk
melakukan modifikasi harus diperoleh ijin tertulis dari franchisor;
(m) Pembelian
Franchisor dapat memaksa franchisee untuk membeli bahan baku
dari franchisor atau ditempat lain yang ditunjuk oleh franchisor ;
(n) Pajak dan perijinan
Franchisee harus membayar segala pajak yang ditetapkan oleh pemerintah
dan franchisor dibebaskan dari tanggung jawab tersebut;
(o) Asuransi
Tujuan dan klausula ini adalah untuk perlindungan baik bagi franchisee
maupun untuk kepentingan franchisor dan biaya pertanggungan menjadi
beban dan harus dibayar oleh franchisee;
(p) Berakhirnya perjanjian
Dapat terjadi karena jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang
inaupun berakhirnya karena diputuskan secara sepihak oleh franchisor
apabila franchisee tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam perjanjian ;
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
61
(q) Meninggalnya franchisee
Apabila franchisee meninggal, maka franchisor dapat membeli seluruh
aset franchisee. Bagi pihak ahli waris yang ingin meneruskan harus
mengajukan permohonan kepada franchisor;
(r) Hak dan kewajiban para pihak setelah berakhirnya perjanjian;
Dalam klausula ini dicantumkan untuk melunasi semua kewajiban yang
harus dipenuhi oleh franchisee dan franchisee harus dihentikan pemakaian
merek, nama dagang, dan logo miiik franchisor,
(s) Pilihan hukum
Pada umunmya franchisor yang menentukan hukum mana yang
akan digunakan, termasuk domisili penyelesaian sengketa, serta biaya-
biaya yang dikeluarkannya itu;
(t) Pembebasan tanggungjawab
Franchisor dibebaskan dari tanggung jawab terhadap bentuk
gugatan/klaim dan resiko kegagalan yang diiakukan oleh franchisee;
(u) Arbitrase
Memuat klausula untuk memilih upaya hukum melalui arbitrase apabila
terjadi perselisihan diantara para pihak serta mengakui keputusan
arbitrase.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
62
BAB III
PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA
A. California Fried Chicken (PT. Pioneerindo Gourmet International, Tbk)
Califonia Fried Chicken (CFC) merupakan salah satu franchise yang ada di
Indonesia, pemegang hak franchise CFC adalah PT. Pioneerindo Gourmet
International Tbk, yang memiliki merek dagang California Fried Chicken dengan
logo gerobak. CFC merupakan merek dagang dan jasa yang bergerak di bidang
makanan siap saji (fast food).
Dalam sejarahnya, PT. Pioneerindo Gourmet International Tbk, merupakan
perubahan nama dan PT. Putra Sejahtera Pioneerindo (PT. PSP), yang didirikan di
Jakarta pada tahun 1983. PT Putra Sejahtera Pioneerindo merupakan PT yang
bergerak dalam bidang pengelolaan restoran dengan sistem franchise. Pada tahun
1984, PT ini membeli hak franchise dari Pioneer Take Out USA dengan merek
dagang dan logo California Pioneer Chicken, yang didaftarkan pada Direktorat
Jenderal HAKI dengan agenda nomor HC.01.01.7039 pada tanggal 16 Febraari 1983.
Namun, pada tahun 1988 PT. Putra Sejahtera Pioneerindo membatalkan perjanjian
franchise dengan Pioneer Take Out USA. Kemudian PT PSP ini mengembangkan
resep sendiri dan menjadi franchisor dengan merek dagang CFC dan logo gerobak.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
63
PT Putra Sejahtera Pioneerindo go public dengan masuk bursa saham di BEJ
(Bursa Elek Jakarta.) pada lahun 1994. Dengan perkembangan dunia usaha dan bisnis
yang .semakin menajam. nama perusahaan ini berubah menjadi PT Pioneerindo
Gourmet International Tbk, pada tanggal 29 Juli 2001. Untuk selanjutnya dalam
thesis ini, pihak yang berkedudukan sebagai francliisor akan disebut sebagai PT
Pioneerindo.
Produk andalan yang dihasilkan oleh PT Pioneerindo Gounnet International
Tbk kini terdiri dan : California Pried Chicken (CFC), Cal donat, Suki Zuki(restoran
Jepang), dan Sapo Oriental (restoraii Mandaii/Qriental).
Merek dagang CFC dengan logo gerobak terdaftar di Direktorat Jenderal
HAKI pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Repuhlik Indonesia
pada tanggal 29 September 1993 dengan agenda nomor H4.HC.01.01 (10.965),
kemudian diajukan pendaftaran kembali secara terus menenis, yaitu pada tanggal 1
Juli 1996 dengan agenda nomor J.95.3088/95, pada tanggal 1 Juli 1996 dengan
agenda nomor D.95.3088/95, pada tanggal 20 Agustus 1996 dengan agenda nomor
J.95.14860/95, pada tanggal 20 Agustus 1996 dengan agenda nomor J.95.14861/95,
pada tanggal 20 Agustus 1996 dengan agenda nomor j 95.14862/92, pada tanggal 28
Maret 2001 dengan agenda nomor J.00-919.
Untuk merek dagang Cal Donat telah didaftarkan di Direktorat Jenderal HAKI
pada Departemen Keliakiman dan HAM Republik Indonesia pada tanggal 18
September 1993 dengan agenda nomor H4.HC.OI.Of (9861), kemudian diajukan
pendaftaran kembali pada tanggal 21 Mei 1996. Dan untuk restoraii Jepang Suki Zuki
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
64
yang baru dibuka pada tahun 2001, telah didaftarkan pada Direktorat Jenderal HAKI
pada Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dengan agenda nomor
J.00.2001.00302.302.
Sedangkan merek dagang Sapo Oriental telah didaftarkan di Direktorat
Jenderal HAK1 pada Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia pada
tanggal 15 Agustus 1997 dengan agenda nomor J.95.22137, yang kemudian
didaftarkan kembali pada tanggal 1 September 1997 dengan agenda nomor
D.95.22.139.
PT Pioneerindo merupakan franchisor yang berhasil mengembangkan
bisnisnya. Hingga tahun 2002 ini, jumlah outlet/store yang dimilikinya telah
mencapai 158 outlet/store, dengan perincian sebagai berikut : 119 outlet dimiliki PT
Pioneerindo sendiri, 32 outlet dimiliki oleh perusahaan yang sudah go public
mempakan franchisee induk PT Pioneerindo, dan 7 outlet Iainnya dimiliki oleh
orang-perorangan/pribadi, Ke-119 outlet yang dimiliki oleh PT Pioneerindo didirikan
di kota-kota besar di wilayah Indonesia, dengan perincian sebagai berikut :44 outlet
didirikan di Jabosuci (Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur), 11 outlet berada di
Sumatera Utara, 9 outlet di Sumatera Barat, 11 outlet di Sumatera Selatan, 21 outlet
di Jawa Barat, 17 outlet di Jawa Timur dan Jawa Tengah, 3 outlet di Kalimantan dan
3 outlet iainnya berada di Sulawesi. Sedangkan untuk ke-32 outlet yang dimiliki oleh
perusahaaa dengan sistem franchise induk, perinciannya sebagai berikut : 20 outlet
dimiliki oleh PT Putra Asia Perdana Indah, 8 outlet dimiliki oleh Mitra Hero
Pioneerindo, dan 4 outlet Iainnya dimiliki oleh PT Pangan Selera Pratama.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
65
PT Pioneerindo juga pernah mengembangkan bisnis franchisenya sampai ke
Cina, Malaysia, Singapura dan Hongkong. Peijanjian franchise antara PT Pioneerindo
dengan franchise di RRC telah berakhir pada tahun 1990 dan tidak diperpanjang lagi.
Ada 2 (dua) macam paket franchise yang ditawarkan oleh PT Pioneerindo
kepada calon franchisee, yaitu franchise induk dan franchise paket. Franchise induk
merupakan hak franchise yang diberikan oleh PT Pioneerindo kepada franchisee
untuk memfranchisekan kembali franchise tersebut kepada franchisee lainnya. Untuk
kemudian franchisee yang memfranchisekan kembali tersebut disebut sebagai
franchise induk. Franchise paket tersebut terdiri dan 2 (dua) macam paket. Penentuan
paket franchise tersebut ditentukan berdasarkan luas outlet/store yang akan dibuka.
Adapun 2 (dua) macam paket franchise tersebut:
a. Kurang dari 150 m2
(1) Jangka waktu yang diberikan adalah selama 5 (lima) tahun.
(2) Biaya franchise (Franchise fee) yang akan diterima oleh franchisor
sebesar Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)
(3) Biaya royalty (Royalty fee) sebesar 7 % dari gross sales, dan belum
termasuk PPN.
b. Lebih dari 150 m2.
(1) Jangka waktu yang diberikan adalah selama 5 (lima) tahun.
(2) Biaya franchise (Franchiscfee) yang akan diterima oleh
franchisor sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
66
(3) Biaya royalty (Royalty fee) sebesar 7 % dari gross sales dan belum
termasuk PPN
B. FRANCHISEE
Dalam thesis ini, yang berkedudukan sebagai franchisee dalam penelitian ini
adalah PT. Mitra Pendawa Lestari, yang beralamat di jalan Ngagei Jaya Indah Selatan
Kompleks Manyar Mega hidah Plaza Blok B 23-24, Surabaya. PT. Mitra Pendawa
Lestari ini membeli paket franchise dari PT Pioneerindo untuk luas outlet lebih dari
150 meter2. Outlet tersebut didirikan di Jl. Baratajaya Pertokoan Manyai Megah
Indah Blok B 23-24, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya, Jawa Timor. Jangka waktu
yang diberikan adalah 5 (lima) tahun, dimulai pada tanggal 4 Desember 1996 sampai
dengan 3 Desember 2001. Biaya franchise (franchise fee) yang diterima oleh CFC
sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan biaya royalty (royalty fee)
sebesar 7 % (tujuh persen) dari gross sales, dan ditambah lagi dengan PPN.
Perjanjian Franchise antara PT Pioneerindo Gourmet International Tbk dengan PT
Mitra Pendawa Lestari bertanggal 8 Nopember 1996.
C. PROSES PERJANJIAN FRANCHISE
Dalam proses dan/atau tahapan pembuatan perjanjian franchise, ada beberapa
proses yang harus dilalui oleh para pihak yang akan mengadakanperjanjian franchise,
yaitu :
1. Proses sebelum perjanjian franchise.
2. Proses pembuatan perjanjian franchise
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
67
3. Pelaksanaan perjanjian franchise antara PT. Pioneerindo dengan
franchisee.
4. Berakhirnya perjanjian franchise antara PT. Pioneerindo dengan
franchisee tersebut dapat disebabkan oleh:
a. karena pelaksanaan
b. karena dibatalkan
c. karena keadaan kahar/overmach/force majeur
C.1 Proses Sebeium Perjanjian Franchise
Yang dimaksud dengan proses sebelum perjanjian franchise adalah proses
terjadinya kontrak awal antara PT Pioneerindo dengan calon franchisee. Kontak awal
tersebut dapat terjadi dengan cara-cara sebagai berikut:
(a) Calon franchisee merasa tertarik pada ajakan atau tawaran seseorang
teman atau orang lain yang telali menjadi franchisee dari PT Pioneerindo.
(b) Calon franchisee membaca dan tertarik pada sesuatu iklan mengenai
franchise CFC di media masa dan memberikan tanggapan terhadap iklan
tersebut dengan menghubungi PT Pioneerindo.
(c) Calon franchisee menghubungi pihak pemasaran bisnis (business
development) PT Pioneerindo dan meminta untuk menjadi seorang
franchisee dari PT Pioneerindo. Kontak awal ini dapat dilakukan dengan
mengirimkan surat atau melaui telepon.
Setelah kontak awal terjadi, maka PT Pioneerindo akan memberikan
tanggapan dengan mengirimkan paket informasi yang menjelaskan tentang bisnis
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
68
franchise dengan merek dagang dan logo CFC dan keberhasiiannya. Dalam paket
informasi tersebut, PT Pioneerindo menyertakan sejumlah daitar pertanyaan tentang
kemampuan finansial calon franchisee maupun data pribadi lainnya yang dibutuhkan
oleh PT Pioneerindo yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan apakah calon
franchisee tersebut dapat dipercaya sebagai franchisee atau tidak.
Dalam paket informasi tersebut, terdapat penjelasan tentang kewajiban PT'
Pioneerindo terhadap calon franchisee, antara lain membantu mendirikan outlet,
memberi jasa terus-menerus dan memberikan kebutuhan-kebutuhan lain yang
diperlukan oleh calon franchisee. Apabila calon franchisee belum memahami dengan
jelas akan paket informasi tersebut, maka calon franchisee harus meminta perincian
yang tebih detail, termasuk dalam hal kewajiban financial yang harus dipenuhi oleh
calon franchisee.
Setelah itu calon franchisee mengembalikan daftar pertanyaan dan data-data
yang telah diisi dengan lengkap, dengan disertai lampiran-lampiran mengenai
kemampuan financial yang dibutuhkan oleh PT Pioneerindo untuk menentukan
diterima atau tidaknya calon franchisee.
Setelah PT Pioneerindo mempelajari data-data yang diterima dari calon
franchisee dan PT Pioneerindo menyetujuinya, maka PT Pioneerindo akan
mengkonfirmasikan persetujuannya tersebut kepada calon franchisee yang
bersangkutan. Dan sebagai tanda jadi (clown payment), maka calon franchisee harus
membayar sejumlah uang kepada PT Pioneerindo, yaitu sejumlah 20 % (dua puluh
persen) dari biaya paket franchise yang diinginkan. Uang tersebut akan
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
69
diperhitungkan sebagai biaya awal paket franchise. Dan apabila calon frachisee
menarik diri atau membatalkan perjanjian franchise tersebut, maka uang yang telah
dibayarkan tidak dapat ditarik kembali atau “hangus” dengan sendirinya.
C.2. Proses Pembuatan Perjanjian Franchise
Dalam proses pembuatan perjanjian franchise terdapat tahap-tahap yang harus
dilalui. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
C.2.1. Proses Pembuatan MOU
Proses pembuatan perjanjian franchise dimulai dengan MOU
(Memorandum of Understanding / kesepakatan bersama) untuk membicarakan hal-
hal yang perlu diatur. Piliak franchisor adalah PT Pioneerindo, yang diwakili oleh
Dwiyanto Gondokusumo yang bertindak selaku Direktur Utama PT Pioneerindo dan
Pihak Franchisee adalah PT Mitra Pendawa Lestari, yang diwakili oleh X yang
bertindak selaku Direktur Utama PT Mitra Pendawa Lestari.
Hal-hal yang diperhatikan adalah :
(a) Pernyataan keinginan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan
perikatan.
(b) Pernyataan kewenangan hak untuk memberikan lisensi (hak franchise)
kepada pihak lain.
(c) Lokasi yang akan dijadikan tempat sebagai outlet/store.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
70
(d) Pernyataan untuk menggunakan dan membeli bahan-bahan baku, tenaga
kerja, pelatihan, alat-alat kerja, manajemen dari pihak franchisor oleh
franchisee.
(e) Syarat-syarat hak franchise dari franchisor.
C.2.2. Pembuatan Perjanjian Franchise
MOU berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Akan tetapi,
biasanya MOU terjadi untuk jangka waktu 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) bulan.
Setelah MOU disepakati diikuti dengan perjanjian franchise, MOU tidak mempunyai
kekuatan apapun untuk mengikat. Yang mewakili PT Pioneerindo dan PT Mitra
Pendawa Lestari harus sesuai dengan kewenangan sebagaimana terdapat dalam
Anggaran Dasar perusahaan. Yang mewakili PT Pioneerindo sebagai franchisor
adalah Direktur Utama atau 2 (dua) orang dii'ektur. Isi yang terdapat dalam MOU
dimasukkan ke dalam perjanjian/kontrak.
C.2.3. Isi Perjanjian Franchise CFC
Perjanjian Franchise CFC memuat klausula/syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh para pihak yang dituangkan dalam 21 (dua puluh satu) pasal. Adapun klausula-
klausula yang diatur dalam perjanjian franchise tersebut mencakup:
(a) Isi perjanjian pada umumnya
Persetujuan franchisor memberikan hak atas franchise kepada franchisee
selama jangka waktu tertentu dan franchisee menerima hak atas franchise
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
71
tersebut dan akan menyelenggarakan restoran fastfood di lokasi tertentu
dengan merek dan logo California Fned Chicken milik franchisor.
(b) Jangka Waktu
Franchise diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, terhitung mulai
tanggal 4 Desember 1996 sampai dengan 3 Desember 2001. Apabila
jangka waktunya berakhir, dapat diperpanjang dengan persetujuan para
pihak, dengan syarat bahwa franchisee harus diberitahukan secara tertulis
maksud tersebut kepada franchisor selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
sebelum jangka waktu berakhir. Apabila dalam tenggang waktu tersebut
franchisee tidak memberitahukan kehendaknya untuk memperpanjang
perjanjian pada franchisor, maka hak franchise kembali pada pihak
franchisor. Dan logo, merek dagang dan jasa, serta segala hal yang
berkaitan dengan franchise ini tidak boleh digunakan oleh franchisee
untuk keperluan apapun.
Franchisor berhak menolak perpanjangan waktu, apabila seringkali terjadi
protes yang diajukan oleh pelanggan yang disampaikan melalui kotak
saran, sebab hal ini dapat mencemarkan nama baik (goodwilty franchisor.
(c) Biaya franchise dan biaya royalty
Untuk penggunaan hak franchise, franchisee harus membayar kepada
franchisor sejumlah uang sebagai berikut:
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
72
(I) Biaya franchise atau sering disebut dengan franchise fee sebesar
Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) yang akan dibayar oleh
franchisee pada franchisor pada saat penandatanganan perjanjian.
(II) Biaya royalty (royalty fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari
penjualan kotor (gross sales) dan ditambah PPN yang harus
dibayarkan oleh franchisee selambat-lambatnya setiap tanggal 10
pada setiap bulan.
(III) Uang jaminan franchise yang hams dibayarkan oleh franchisee
pada saat penandatanganan perjanjian ini adalah sejumlah 20%
(dua puluh persen) dari biaya franchise, yaitu sebesar Rp.
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pembayaran dilakukan oleh francliisee melalui transfer pada rekening
franchisor. Apabila franchisee terlambat untuk melaksanakan kewajiban
membayar royalty kepada franchisor maka franchisee dikenakan denda
sebesar 1 0/00 (satu permil) dari jumlah biaya royalty untuk setiap hari
keterlambatan. Denda tersebut harus dibayarkan oleh franchisee kepada
franchisor dengan seketika dan sekaligus lunas.
Apabila keterlambatan tersebut mencapai 30 hari sejak ditetapkannya
untuk membayar, maka franchisor akan menghentikan pengiriman bahan
baku, bumbu-bumbu dan peralatan yang diperlukan franchisee. Dan
apabila keterlambatan mencapai 60 hari, franchisor berhak untuk
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
73
mengakhiri perjanjian secara sepihak. Dan hal ini diberitahukan kepada
franchisee secara tertulis.
(d) Biaya-biaya
Franchisee dibebankan kewajiban untuk membayar biaya-biaya lain,
antara lain : biaya-biaya yang menyangkut perijinan dan pungutan-
pungutan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan usaha restoran,
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
pajak-pajak lain yang ditetapkan oleh pemerintah serta biaya renovasi
yang timbul karena perbaikan dan/atau pembangunan restoran franchisee.
(e) Asuransi
Franchisee harus menutup asuransi dengan nilai pertanggungan yang
memadai selama jangka waktu yang ditetapkan dan menanggung serta
membayar premi asuransi atas restoran dan semua isi serta
perlengkapannya terhadap berbagai bencana, seperti bencana kebakaran.
Kemudian polis asuransi mi dikirim kepada franchisor.
(f) Lokasi restoran dan penambanan bangunan
Franchisee hanya diperkenankan melaksanakan kegiatan usahanya pada
lokasi yang telah ditentukan dalam perjanjian. Franchisee tidak diijinkan
untuk memindahkan restorannya ke lokasi lain, maupun kepada pihak lain
tanpa persetujuan tertulis dari franchisor. Jika hal pemindahan tersebut
disetujui oleh franchisor, maka franchisee harus membayar biaya relokasi
sebesar 20% (dua puluh persen) dari biaya franchise, yang dibayarkan
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
74
secara tunai dan sekaligus pada saat surat persetujuan ditandatangani oleh
franchisor. Segala perbaikan dan/atau penambahan niangan pada restoran
franchisee harus mendapat persetujuan dari franchisor. Perbaikan dan/atau
penambahan ruangan tersebut harus sesuai dengan standar yang
ditentukan oleh franchisor. Apabila menurut franchisor restoran milik
franchisee harus direnovasi, maka franchisee hams merenovasi restoran
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima pemberitahuan tersebut
dari franchisor.
(g) Pelatihan dan tenaga kerja
Franchisor akan memberikan pelatihan/training pada karyawan dari
franchisee selama 2 (dua) bulan sebelum pembukaan restoran untuk
pertama kalinya. Pelatihan tersebut dilakukan di tempat yang ditentukan
oleh franchisor dan segala biaya yang diperiukan untuk itu ditanggung
oleh franchisee. Dalam upaya untuk membantu franchisee dalam
mengoperasikan restoran, maka franchisor menempatkan dua orang
manager,dan biaya yang diperlukan untuk itu ditanggung oleh franchisee.
Pemberian gaji bagi karyawan-karyawan franchisee diberikan menurut
standar prosedur franchisor. Selain itu franchisee harus mengadakan
jadwal dan disiplin kerja yang baku sesuai dengan Standar Operation
Prosechtres (SOP) yang ditentukan oleh franchisor.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
75
(h) Penyelenggaraan restoran
Penyelenggaraan restoran franchisee dapat dilaksanakan apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu bahwa perjanjian serta
ketentuan-ketentuan lain yang diisyaratkan dalam perjanjian telah
ditandatangani dan dilengkapi dan semua pembayaran yang harus
dibayarkan oleh franchisee telah dibayarkan kepada franchisor.
Pembukaan restoran untuk pertama kalinya dapat dilaksanakan setelah
franchisor berpendapat bahwa seluruh perlengkapan siap siap untuk
dipakai dan tenaga kerja telah diberi latihan yang cukup baik oleh
franchisor.
Restoran akan buka pada pukul 09.00 sampai dengan 22.00 waktu
setempat. Kegiatan usaha yang dilakukan selama 365 hari dalam satu
tahun, kecuali pada hari-hari yang ditentukan oleh pemerintah bahwa
restoran haras tutup.
(i) Pemasaran dan promosi
Untuk menunjang kegiatan pemasaran dan promosi, franchisee diharuskan
memasang papan nama berupa signage, shopsign dan wallsign yang
bertuliskan California Fried Chicken dan logo pada tempat-tempat yang
ditentukan oleh franchisor, serta franchisee harus mengikuti kegiatan
pemasaran dan promosi yang ditentukan oleh franchisor di lokasi restoran.
Semua biaya untuk reklame, pajak reklami dan kegiatan pemasaran serta
promosi menjadi tanggimgan franchisee.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
76
(j) Laporan penjualan
Dalam pelaksanaan perjanjian ini, franchisee harus membuat dan
mengirimkan berbagai laporan penjualan, struk reset harian, Price Look
Up (PLU), laporan kas kasir, struk reset bulanan dan laporan-laoran lain
yang ditentukan oleh franchisor. Laporan mingguan tersebut harus
diserahkan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah akhir periode transaksi
(periode transaksi beriangsung pada hari Selasa sampai dengan Senin).
Sedangkan laporan bulanan harus dikirimkan kepada franchisor paling
lambat 5 (lima) bulan berikutnya.
Mengenai administrasi keuangan, franchisor menentukan agar franchisee
menggunakan jenis, merek dan jumlali cash register yang ditentukan oleh
franchisor. Program dan password pada setiap cash register diatur oleh
franchisor. Apabila cash register milik franchisee rusak maka harus
dilapcrkan pada franchisor untuk diperbaiki.
(k) Pemeriksaan dan pengawasan
Pemeriksaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan restoran dapat
sewaktu-waktu dilakukan oleh franchisor atau pihak yang diberikan
kewenangan oleh franchisor untuk melakukannya, tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu. Pemeriksaan tersebut mencakup pemeriksaan seluruh
ruangan restoran, kualitas dan kuantitas peralatan, persediaan, pembukuan,
dokumen, standar karyawan dan melakukan reset cash register milik
franchisee.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
77
BAB IV
HUKUM NORMATIF
PENYELESAIAN SENGKETA DAN PILIHAN HUKUM
A. PENYELESAIAN SENGKETA DAN PILIHAN HUKUM
A.1.1. Penyelesaian Sengketa
Apabila terjadi sengketa sebagai akibat dan pelaksanaan perjanjian, maka para
pihak akan mengupayakan jalur musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi, apabila
jalur musyawarah tidak dapat ditempuh, maka kedua belah pihak akan mengajukan
sengketa ke Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri sebagai domisili tetap. Hal ini
jelas-jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Republic Indonesia Nomor 16 Tahun
1997 Tentang Waralaba, Pasal 2 butir (2) menyebutkan30:
Perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.
A.2. Pilihan Hukum
Dalam kontrak-kontrak yang dibuat antara pihak Indonesia dan pihak asing
seringkali terdapat klausula-klausula tentang hukum yang harus berlaku31 untuk
kontrak yang bersangkutan. Apabila kontrak-kontrak itu dibuat draftnya oleh seorang
penasehat hukum dari perusahaan - perusahaan bersangkutan, maka tidak terkecuali
selalu akan terdapat pasal yang mengatur hukum yang berlaku ini. Dalam kontrak - 30 Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, Pada pasal 2 butir (2) 31 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang International, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983), hal 8
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
78
kontrak yang bersangkutan dinyatakan bahwa kontrak itu akan diatur dan akan
ditafsirkan menurut hukum dari negara tertentu.
Pilihan hukum tidak boleh melanggar ketertiban umum32. Ketertiban umum
merupakan suatu pembatasan terhadap hukum yang dipilih ini, Hukum yang dipilih
tidak boleh melanggar ketertiban umum daripada sistem hukum sang hakim yang
mengadili perkara bersangkutan,
A.2.1. Memilih Lebih dari Satu Sistem Hukum
Para pihak yang terikat pada suatu kontrak dapat memilih lebih dari satu
sistem hukum. Hal ini diperbolehkan asalkan cukup jelas tentang hukum yang
berlaku itu.
A.2.2. Pilihan Hukum Setelah Perkara Terjadi33
Persoalan lain adalah apakah para pihak mendapat kebebasan untuk memilih
hukum lain setelah terjadi suatu sengketa, atau apakah mereka berwenang untuk
menentukan bahwa mereka memilih hukum dari negara tertentu untuk menyelesaikan
sengketa itu.
32 Ibid, hal 16 33 Ibid, hal 22
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
79
A.2.3. Apakah Pilihan Hukum Harus Selalu Diadakan34
Mengenai persoalan apakah ada manfaatnya untuk selalu didalam kontrak-
kontrak menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak bersangkutan, orang dapat
berbeda pendapat. Jika draft kontrak dipersiapkan oleh para ahli hukum, oleh
penasehat-penasehat hukum atau lawyers dan pemsahaan-perusahaan bersangkutan,
maka umumnya para lawyers ini condong untuk selalu mencantumkan pasal yang
menentukan hukum yang berlaku dalam draft agreement mereka itu. Hal ini
disebabkan karena para lawyers sudah melihat kesulitan-kesulitan yang dapat timbul
para pihak tidak menentukan secara khusus hukum yang berlaku. Karena dalam
bidang hukum perjanjian internasional diterima asas bahwa hukum yang berlaku
untuk suatu kontrak adalah pertama-tama hukum yang telah ditentukan oleh para
pihak sendiri. Maka para lawyers ini umumnya menasehatkan klien mereka itu
supaya selalu dalam kontrak-kontrak intemasional jangan lupa melakukan pilihan
hukum agar supaya menghindarkan banyak kesulitan-kesulitan antara lain kehilangan
waktu dan biaya-biaya yang tidak kecil khusus untuk menentukan hukum yang
beriaku ini. Karena memang tidak dapat disangkal bahwa ada perbedaan paham
mengenai interpretasi hukum yang berlaku.
34 Ibid, hal 22-23
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
80
A.2.4. Hukum yang Berlaku Jika Tidak Ada Pilihan Hukum35
Ada macam-macam teori yang dinyatakan berlaku untuk perjanjian
Internasional. Teori-teori tersebut:
(1) Hukum dan Tempat Dibuatnya Kontrak.
Diwaktu dahulu hukum dari tempat dimana kontrak itu dibuat (Lex Loci
Contractus). Jadi, hukum dari tempat dimana telah ditandatanganinya kontrak ini
adalah yang berlaku. Tetapi teori Lex Loci Contractus ini dapat dikatakan tidak
umum lagi dipakai pada waktu sekarang.
(2) The Proper Law Teory
Yang dimaksud the proper law teory adalah teori tentang hukum titik taut
yang paling kuat, yang mempunyai daya berat. Contoh dari the proper law teory ini
dapat diketemukan dalam bidang hukum antar golongan Indonesia, dimana kontrak-
kontrak diutamakan mencari titik taut yang paling berat, yang paling banyak, yaitu
teori titik taut sekunder.
A.3. Arbitrase
Seringkali dalam kontrak-kontrak penting antara pengusaha-pengusaha Indonesia dan
pengusaha luar negari dicantumkan klausula arbitrase. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan sistem hukum. Oleh karena itu, untuk mengatasi sengketa yang terjadi
dalam kontrak Internasional harus dimuat klausula arbitrase.
35 Ibid, hal 23
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
81
A.3.1. Pengertian
Menurut Juajir Sumadi36, arbitrase adalah proses peradilan privat dengan
seorang arbiter yang dipilih oleh para pihak.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penydesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
A.3.2. Keuntungan-keuntungan Memilih Arbitrase37
Para pihak yang bersengketa dalam kontrak dengan luar negeri memilih
arbitrase dalam menyelesaikan sengketanya, sebab banyak keuntungan yang didapat
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Keuntungan-keuntungan tersebut
antara lain:
(1) Jangka Waktu Lebih Cepat daripada Peradilan Biasa
Keuntungan pertama, yaitu cepatnya jalan perkara arbitrase jika dibandingkan
dengan prosedur melalui jalur hukum (pengadilan). Keputusan arbitrase ini
dianggap tidak dapat diganggu gugat lagi. Berarti, sifatnya adalah final dan harus
mengikat kedua belah pihak. Tidak bisa dibanding, dimintakan kasasi atau
dibantah (verzet) atau diadakan upaya hukum lain seperti dalam perkara biasa.
Dengan demikian, maka suatu perkara dihadapan Dewan Arbitrase dianggap
sudah cukup dan para pihak harus taat kepada keputusan ini.
36 Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 44-45. 37 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang International, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983), hal 35
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
82
(2) Pembiayaan-pembiayaan Ringan
Keuntungan lain dari arbitrase adalah pembiayaan yang relatif jauh lebih ringan
daripada berpekara di muka pengadilan. Hal ini disebabkan karena tidak
diperlukan demikian banyak intansi-intansi seperti perkara di hadapan pengadilan
biasa, dimana tidak kurang dari tiga instansi (PN, FT, MA RI) yang harus dilalui,
yang tentunya memakan lebih banyak biaya di samping waktuyang berharga.
(3) Menghindarkan Publisitas
Keuntungan lain dari arbitrase adalah menghindarkan segala macam publisitas
karena sengketa-sengketa yang diadili melalui arbitrase ini tidak demikian umum
seperti perkara-perkara di muka pengadilan.
(4) Para Ahli Sebagai Arbitrator
Salah satu keuntungan dari arbitrase adalah bahwa arbitrase ini mengadili dengan
para ahli yang mengenal bidang perdagangan yang khusus ini dengan detail-detail
secara teknisnya yang sebenarnya tidak akan dapat diperoleh dari suatu
pengadilan biasa.
(5) Menghindarkan Perkara di Muka Hakim yang Dikhawatirkan Berpihak
Suatu keutungan lain dari arbitrase adalah bahwa pihak asing tidak diharuskan
untuk membawa persoalan mereka di hadapan badan peradilan dari pihak lawan
yang umumnya tentu bersifat terlampau condong ke arah memberi perlindungan
kepada warganegaranya sendiri.
A.3.3. Hal-hal yang Diatur dalam Arbitrase
Adapun hal-hal yang dtatur dalam arbitrase adalah sebagai berikut:
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
83
(1) Perjanjian Untuk Melakukan Arbitrase38
Sebelum suatu persoalan dapat diseiesaikan menurut arbitrase dan ICC, maka
para pihak harus terlebih dahulu mencantumkan di daiam kontrak mereka bahwa
apabila nanti timbul suatu sengketa, sengketa ini akan diputuskan oleh arbitrase
menurut kaedah-kaedah tentang arbitrase dan konsiliasi dan ICC. Sebagai klausula
standard yang diajukan oleh ICC supaya dipakai oleh para pihak dalam kontrak
mereka ialah kalimat scbagai berikut : All disputes arising in connection and
Arbitration of the International Chamber Commerce by one or more arbitrators
appointed in accordance with the Rules”. Kalau sudah terdapat klausula demikian,
maka jika timbul suatu sengketa dikemudian hari, persoalannya akan diselesaikan
menurut arbitrase oleh International Chamber of Commerce.
(2) Arbitrase Menurut ICC39
Arbitrase menurut ICC merupakan suatu lembaga. Artinya, terdapat suatu
pusat arbitrase yang bukan saja mempunyai kaidah-kaidah tertulis yang mengatur
arbitrase ini, tetapi disamping itu mempunyai badan-badan tetap yang dapat
melaksanakan kaidah-kaidah ini. Badan-badan tetap dari ICC berkenaan dengan
arbitrase ini disebut Court of Arbitration (Dewan Arbitrase), kemudian sekretariatnya
dan komite-komite nasional.
(3) Tentang Jumlah Arbitrator40
38 Ibid, hal 39 39 Ibid, hal 40 40 Ibid, hal 41
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
84
Menurut ketentuan ICC, arbitrators dalam prinsipnya harus dalam jumlah
ganjil. Mengenai cara memilih para arbitrator, disini dihormati kebebasan para pihak.
Mereka ini dapat memilih seorang atau tiga orang arbitrator. Kalau tiga orang
arbitrator diperlukan, mereka para pihak masing-masing harus memilih satu dan yang
ketiga dipilih oleh Dewan Arbitrase.
Pada umumnya, Dewan akan memilih sebagai arbitrator tunggal, atau
arbitrator yang ketiga, seorang yang kewarganegaraannya adalah lain daripada
kewarganegaraan para pihak yang sedang bersengketa. Dengan demikian diharapkan
bahwa sikap netral dan arbitrator yang bersangkutan terjamin.
(4) Tentang Tempat Arbitrase41
Menurut ketentuan ICC, tempat dan arbitrase ini pada prinsipnya ditentukan
oleh Dewan Arbitrase, kecuali apabila para pihak telah menyetujui terlebih dahulu
dalam kontrak mereka ini akan tempat arbitrase yang bersangkutan.
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa Dewan Arbitrase dari ICC akan
memilih tempat tinggal sehari-hari dari arbitrator. Tempat inilah yang dijadikan
tempat arbitrase. Dengan kata lain, arbitrase ini pada umumnya akan berlangsung di
negara lain darptpada negara para pihak.
(5) Tentang Hukum Materiil yang Dipakai42
41 Ibid, hal 42 42 Ibid, hal 43
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
85
Hukum yang dikehendaki oleh para pihak adalah hukum yang dipakai. Jadi,
pilihan hukum para pihak dihormati. Apabila para pihak tidak melakukan pilihan
hukum, tentang hukum yang berlaku ini, maka pilihan ini tidak mempunyai akibat
atas penentuan dari hukum yang berlaku. Tetapi sebaliknya, jika tempat
berlangsungnya arbritase ini telah dipilih oleh para pihak tersendiri dalam perjanjian
mereka, maka pilihan dari tempat arbitrase dianggap mencakup pula hukum dari
negara bersangkutan juga dipakai untuk arbitrase bersangkutan.
(6) Tentang Jangka Waktu Membenkan Keputusan43
Pada umumnya ditentukan bahwa para arbitrator hams memberikan keputusan
arbitrasenya dalam waktu 60 hari sejak tanggal ditanda tanganinya oleh para pihak
apa yang dinamakan "term of reference" sebagai dasar dari sengketa yang harus
diadili menurut arbitrase ini.
(7) Tentang Peiaksanaan Keputusan Arbitrase44
Menurut sifat sifat arbitrase ini, maka pada umumnya keputusan arbitrase
bersifat final dan mengikat para pihak dan dapat dilaksanakan. Para pihak telah
berjanji untuk melaksanakan keputusan dari para arbiter dalam perkara yang
bersangkutan. Pada umumnya, keputusan dilsksanakan secara sukarela oleh pihak
yang kalah. Tetapi kalau pihak yang kalah lalai untuk melaksanakan kewajibannya
secara sukarela, maka para pihak yang menang dapat minta pelaksanaannya dari
keputusan tersebut.
43 Ibid, hal 43 44 Ibid, hal 43
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian penulis yang telah diuraikan pada bab - bab
sebelumnya, maka pada bab ini penulis menarik beberapa kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan yang ditulis penulis dalam penelitian ini,
sebagai berikut:
1. Proses pembentukan perjanjian franchise dalam prakteknya pada PT.
Pioneerindo Gounnet International, Tbk sebagai pemegang franchise dari
Restoran Cepat Saji California Fried Chicken (CFC) adalah sebagai berikut:
a. Proses sebelum perjanjian franhise
Sebelum perjanjian franchise dibentuk, calon franchise akan
menghubungi pihak PT. Pioneerindo baik melalui telepon atau surat.
Kemudian PT. Pioneerindo akan mengirimkan paket informasi yang
menjelaskan tentang bisnis franchise dengan merek dagang dan logo
CFC, serta menyertakan daftar pertanyaan tentang kemampuan finansial
calon franchise, serta data - data pribadi calon franchise. Setelah itu
calon franchise mengembalikan daftar pertanyaan dan data - data pribadi
yang diisi lengkap. Kemudian PT. Pioneerindo akan mempelajari data -
data dari calon franchisee dan jika PT. Pioneerindo menyetujuinya,
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
87
maka PT Pioneerindo akan mengkonfirmasikan mengenai
persetujuannya tersebut. Dan sebagai tanda jadi, maka calon franchisee
harus membayar sejumlah uang sebesar 20% (dua puluh persen) dan
biaya paket franchise.
b. Proses pembuatan perjanjian franchise
Pembuatan perjanjian franchise dimulai dengan pembuatan
Memorandum Of Understanding (MOU). Setelah MOU disepakati
maka diikuti dengan pembuatan perjanjian franchise. Kemudian
perjanjian franchise tersebut ditandatangani oleh masing-masing pihak
yang berkedudukan sebagai wakil.
c. Pelaksanaan perjanjian franchise
Dalam pelaksanaannya, masing - masing pihak harus melaksanakan
kewajiban - kewajibannya. Kewajiban pihak pertama merupakan hak
bagi pihak kedua dan kewajiban pihak kedua merupakan hak bagi pihak
pertama
2. PT. Pioneerindo mempunyai kewajiban - kewajiban sebagai berikut : membantu
franhise dalam mengoperasikan bisnis franchise dengan merek dan logo CFC,
termasuk memasok bahan baku, bumbu - bumbu dan peralatan yang diperhikan
oleh franchise, menempatkan 2 (dua) orang manager untuk membantu franchisee,
memberi petunjuk yang diperlukan oleh franchisee dan mengadakan kunjungan
untuk pemeriksaan restoran.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
88
Sedangkan franchisee mempunyai kewajiban - kewajiban, antara lain :
membeli dan menggunakan bahan baku, bumbu - bumbu, dan peralatan yang
diperlukan dan PT. Pioneerindo, membuat dan memberikan laporan keuangan
mingguan dan laporan laba rugi bulanan, mengirimkan struk bulanan pada
waktunya, membayar seluruh biaya yang harus ditanggungnya, dll.
3. Larangan - larangan yang diberlakukan oleh PT. Pioneerindo terhadap PT.
Mitra Pendawa adalah bahwa franchisee sama sekali tidak boleh mengalihkan
hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga atau pihak lain, tidak boleh menjadi
pihak dalam perjanjian lain dengan pihak ketiga yang dapat bertentangan dengan
kepentingan pelaksanaan perjanjian, tidak boleh menjual makanan dan minuman
dengan merek dagang dan logo CFC dfluar wilayah restoran, tidak boleh menjual
makanan dan minuman atau barang lainnya selain yang ditetapkan dalam
perjanjian, dan tidak boleh merubah modal dasar, modal disetor, pemegang saham
dan susunan pengurus.
4. Dalam perjanjian franchise terdapat keuntungan - keuntungan maupun kerugian -
kerugian bagi kedua pihak.
a. Keuntungan dan kerugian bagi PT. Pioneerindo
(1) Keuntungan - keuntungan bagi PT Pioneerindo
• PT. Pioneerindo tidak terlibat dalam permasalahan staf dari tiap -
tiap outlet karena permasalahan staf menjadi tanggung jawab bagi
masing - masaing outlet.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
89
• PT. Pioneerindo dapat memperluas jaringan secara lebih cepat dengan
menggunakan modal franchisee, dalam hal ini PT. Mitra Pendawa
Lestari.
(2) Kerugian - kerugian bagi PT. Pioneerindo, antara lain:
• Franchisee dalam menggunakan lisensinya cenderung tidak
memahami aspek - aspek hukumnya, sehingga seringkali franchisee
melakukan wanprestasi berupa penggunaan merek dagang dan logo
CFC setelah jangka waktu perjanjian sudah berakhir.
• Jika franchisee tidak jujur dalam menunjukkan penghasilan kotornya,
maka royalty yang dtbayarkan pada PT. Pioneerindo akan lebih kecil
dan yang seharusnya dibayarkan.
b. Keuntungan dan kerugian bagi franchisee.
(1) Keuntungan - keuntungan bagi franchisee, antara lain :
• Franchisee tidak harus mempunyai keahlian dalam berbisnis
karena dalam pelaksanaannya PT. Pioneerindo akan memberikan
bantuan secara terus menerus.
• Franchisee mendapat keuntungan dengan menggunakan merek
dagang dan logo CFC yang telah dikenal oleh masyarakat luas
sejaktahun 1984.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
90
(2) Kerugian - kerugian bagi franchisee, antara lain :
• Franchisee dalam menjalankan bisnis franchise harus membayar biaya
franchise dan biaya royalty secara terus menerus pada PT.
Pioneerindo. Ini berarti franchisee tidak sepenuhnya menikmati
seluruh penghasilan yang didapatnya.
• Franchisee selalu tergantung pada PT. Pioneerindo sehingga
franchisee harus tunduk pada petunjuk dan kebijakan PT. Pioneerindo
walaupun petunjuk dan kebijakan tersebut mungkin saja salah.
5. Permasalahan yang terjadi antara PT. Pioneerindo dengan PT. Mitra Pendawa
Lestari dalam perjanjian franchise ini adalah bahwa PT. Mitra Pendawa Lestari
melakukan pelanggaran, yakni tetap menggunakan merek degang dan logo CFC
miik PT. Pioneerindo setelah jangka waktu perjanjian berakhir dan tidak
diperpanjang lagi. Hal itu terjadi selama 12 (dua belas) bulan sejak jangka waktu
perjanjian berakhir. PT. Mitra Pendawa Lestari membayar royalty kepada PT.
Pioneerindo pada setiap bulannya, akan tetapi seharusnya bukan biaya royalty
saja yang harus dibayarkannya mdainkan juga biaya franchise (karena
perjanjiannya seharusnya diperpanjang), biaya royalty 7% (tujuh persen), dan
biaya - biaya yang harus dibayarkan pada setiap bulannya, termasuk biaya karena
penghentian bahan baku dan bumbu - bumbu serta peralatan yang dibutuhkan dari
PT. Pioneerindo.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
91
PT. Pioneerindo dalain nienyelesaikan setiap permasalahan mengupayakan jalur
musyawarah. Demikian juga dalam menyelesaikan sengketa dengan PT. Mitra
Pendawa Lestari, PT. Pioneerindo mengupayakan jalur musyawarah, yaitu
dengan mengirimkan surat peringatan lebih dan 3 (tiga) kali. Akan tetapi, pihak
PT. Mitra Pendawa Lestari tetap melakukan pelanggaran, sehingga PT.
Pioneerindo mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Setatan.
Pada akhimya, tuntutan PT. Pioneerindo dikabulkan untuk sebagian dan ditolak
untuk selebihnya oleh Pengadilan, sedangkan gugatan PT. Mitra Pendawa Lestari
ditolak dalam gugat konpensi maupun rekonpensi. Untuk itu, kedua pihak harus
membayar biaya perkara masing - masing separohnya. Pihak PT. Mitra Pendawa
Lestari tidak melakukan upaya hukum lainnya, baik banding meliputi kasasi.
B. SARAN
Adapun saran - saran yang dapat penulis kemukakan sebagai bahan masukan
bagi para pengusaha, khususnya pengusaha yang menggunakan sistem hukum
franchise, pemerintah dan Asosiasi Franchise Indonesia (API) adalah sebagai berikut:
1. Sistem bisnis franhcise lokal dapat lebih banyak lagi dikembangkan di
Indonesia. Dengan demikian, membantu pemerintah dalam menciptakan
lapangan kerja untuk mencapai pemerataan di bidang ekonomi.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003
92
2. Bagi para pemilik franchise (franhcisor) diharapkan dalam mengembangkan
sistem bisnis franchise lebih terbuka (transparan) dalam hal memaparkan hak -
hak dan kewajiban - kewajiban para pihak sehingga franchisee tidak akan merasa
terjebak dalam memilih sistem usaha ini. Dengan demikian, sistem bisnis
franchise mempunyai citra yang baik sehingga mengundang minat pengusaha
lainnya untuk memilih sistem bisnis ini.
3. Pemerintah diharapkan memberikan perlindungan hukum dengan menetapkan
peraturan perundang-undangan mengenai franchise sehingga franchisee mendapat
perlindungan hukum, dalam arti kedudukan franchisee dan franchisor seimbang.
4. Asosiasi Franchise Indonesia (API) yang merupakan lembaga dalam tingkat
nasional, yang juga merupakan mitra pemerintah maupun swasta lainnya,
diharapkan memberikan bimbmgan dan pengarahan bagi franchisor dalam
menjalankan sistem bisnis franchise dan memberikan nasihat maupun
perlindungan bagi franchisee dalam membeli sistem bisnis franchise.
Waralaba di Indonesia..., Andi Windo Wahidin, FH UI, 2003