universitas indonesia independensi otoritas jasa keuangan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM
PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS
FIRMAN KUSBIANTO
1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI
JAKARTA
JANUARI 2013
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM
PENGAWASAN KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
FIRMAN KUSBIANTO
1106030864
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA HUKUM EKONOMI
JAKARTA
JANUARI 2013
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iii
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
iv
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
v
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
vi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Firman Kusbianto
Program Studi : Hukum Ekonomi
Judul : Independensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam
Pengawasan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan
Tesis ini membahas secara komprehensif aspek yang bersifat esensial yaitu
independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang penuh atas pengaturan
dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, yaitu Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Alasan pentingnya independensi tersebut adalah agar OJK dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan di sektor jasa
keuangan secara optimal dan efektif. Independensi diperlukan agar OJK dapat
melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa keuangan yang diawasinya
maupun dari campur tangan politik. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi
dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa
dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah potensi benturan
kepentingan antara para pelaku yang saling berinteraksi di sektor jasa finansial.
Sifat independen tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama
pembentukan OJK sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah
menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial dan pencapaian tujuan
stabilitas keuangan
Kata kunci:
Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan, Sektor Jasa Keuangan, Independensi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
vii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Firman Kusbianto
Study Program : Economic Law
Title : The Independence of ―Otoritas Jasa Keuangan‖ in
Supervision Activities of The Financial Services Sector
This thesis addresses comprehensively an essential aspect, independence, of a
fully competent authority overseeing the regulation and supervision of the
financial sector in Indonesia, namely the Financial Services Authority (otoritas
jasa keuangan / OJK). The underlying reason of the importance of OJK‘s
independence is for OJK to perform their duties and functions in supervising the
financial services sector in Indonesia in the best possible and most effective
manner. This element of independence is imperative for OJK to shield itself from
third party intervention operating in the financial services industry to which it
supervises, as well as from political interference. It is intended that every
regulation issued and supervision carried out by OJK are truly objective,
independent of intervention from any third party, and to prevent potential conflicts
of interest between the actors that interact in the financial services sector. Such
element of independence must be maintained to address the main concern and
objective of OJK‘s establishment, as the regulatory and supervisory authority,
which revolves around the public confidence in the financial sector and the
achievement of financial stability.
Keywords : independence, Supervision, Financial Sector, Financial Service
Authority
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
viii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
Jurusan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M. selaku dosen pembimbing
tesis yang telah memberikan masukkan, sehingga penulisan tesis ini
selesai;
2) Ibu Prof. Dr.Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Dr. Tri Hayati SH, MH selaku
dosen penguji dalam sidang akhir penulis;
3) Seluruh dosen pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis;
4) Seluruh Staf Sekretariat Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah memberikan bantuannya kepada penulis
baik selama masa kuliah maupun dalam penulisan tesis ini;
5) Orangtua tercinta, Bapak Didit Kusherman, S.H., M.M. dan Ibu Jetty
Likur, S.E. yang tiada lelah selalu menginspirasi dan memberi semangat
kepada penulis;
6) Saudara kandung dari penulis, Aditya Ikhsan dan Irfandi Budiman yang
menemani penulis setiap saat dalam suka dan duka;
7) Rekan kerja penulis dari Kantor Hukum Irianto Subiakto & Partners, dan
kepada Pak Irianto Subiakto, S.H., LL.M. yang telah memberikan izin
dalam hari-hari kerja dan mendukung penulis menyelesaikan tesis;
8) Teman-teman dari Angkatan 2011 Hukum Ekonomi Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas yang menemani hari-hari penulis berkuliah di
kampus salemba;
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
ix
Universitas Indonesia
9) Sahabat-sahabat penulis dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Program Sarjana Angkatan 2006, yang tiada henti membuat penulis tetap
riang dan gembira dengan segala canda dan tawa dalam momen-momen
persahabatan;
10) Alexis (ale), sahabat yang selalu menemani penulis berolahraga setiap hari
dan membantu penulis menjaga kesehatannya;
11) Sara Bareilles dan Ingrid Michaelson, melalui karya lagu-lagunya yang
indah telah membantu penulis untuk lebih fokus mengerjakan tesis;
12) Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan dalam penyelesaian studi pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu hukum.
Jakarta, 1 Januari 2013
Penulis
Firman Kusbianto
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................... . iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ….. v
ABSTRAK .…………………………………… …………….......... vi
KATA PENGANTAR…………………………………................... viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………..... x
Bab I. Pendahuluan....................................................................... 1
A. Latar Belakang…………………..……………………… 1
B. Pokok Permasalahan......................................................... 13
C. Tujuan Penulisan.............................................................. 14
1. Tujuan Umum............................................................ 14
2. Tujuan Khusus........................................................... 14
3. Kerangka Teori........................................................... 15
D. Metode Penelitian............................................................ 21
1. Tipologi Penelitian..................................................... 21
2. Jenis Data................................................................... 22
3. Metode Analisis Data................................................. 22
E. Sistematika Penulisan...................................................... 23
Bab II. Independensi Otoritas Pengawas Jasa Keuangan............. 24
A. Otoritas Independen…………………………………….. 24
B. Otoritas Independen dalam Pengawasan Kegiatan
di Sektor Jasa Keuangan................................................... 31
C. Indikator dan Ukuran Independensi Otoritas
Pengawas Jasa Keuangan ……………………………....... 37
1. Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence………… 37
2. Fungsi Pengawasan/Supervisory Independence………. 40
3. Aspek Kelembagaan/Institutional Independence……... 42
4. Aspek Anggaran/Budgetary Independence………….... 43
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
xi
Universitas Indonesia
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik
dan Industri Jasa Keuangan………………………………. 48
1. Independensi Otoritas Jasa Keuangan
dari Intervensi Politik………………………………… 49
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan
dari Intervensi Industri Jasa Keuangan………………. 50
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi
Otoritas Independen dalam Pengawasan
Kegiatan Sektor Jasa Keuangan…….................................. 55
1. Akuntabilitas…………………………………………. 55
2. Transparansi……………………………….…………. 63
Bab III. Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan
Otoritas Jasa Keuangan…………………………………… 66
A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan… 66
B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan…………... 69
C. Struktur Kelembagaan dan Anggaran…………………….. 70
1. Dewan Komisioner……………………………………. 70
2. Anggaran…………………………………………….... 76
D. Tujuan…………………………………………………….. 77
E. Fungsi, Tugas dan Kewenangan………………………….. 79
F. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan
dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan……… 81
G. Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Jasa Keuangan…. 84
Bab IV. Independensi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Pengawas
Sektor Jasa Keuangan ………………................................ 87
A. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence……. 87
1. Independensi OJK Terkait Fungsi Pengaturan
Pengawasan di bidang Perbankan............................... 91
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
xii
Universitas Indonesia
2. Independensi OJK Terkait Tugas Menetapkan
Dan Melaksanakan Kebijakan Kestabilan
Sistem Keuangan…………………………………….. 92
B. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Fungsi Pengawasan/Supervisory Independenc..... 96
1. Independensi OJK Terkait Koordinasi
Fungsi Pengawasan
dengan Lembaga Lain........................................................ 100
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
Aspek Kelembagaan/InstitutionalIndependence……….. 105
1. Independensi OJK terkait Keanggotaan
Dewan Komisioner Ex-Officio dari
Bank Sentral dan Pemerintah....................................... 109
2. Independensi OJK Terkait Fungsi Penyidikan
di Sektor Jasa Keuangan ............................................... 112
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari
AspekAnggaran/Budgetary Independence…………….... 114
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi OJK…………… 118
Bab V. Penutup...................................................................................... 124
A. Kesimpulan.......................................................................….. 124
B. Saran.................................................................................….. 126
Daftar Pustaka....................................................................................... 128
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas sebagai pengatur dan
pengawas sektor jasa finansial tentunya harus memiliki independensi didalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan otoritas tersebut mempunyai fungsi
mengawasi suatu sistem yang terdiri dari kegiatan dan transaksi jasa keuangan
oleh entitas-entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan
serta berpotensi mempengaruhi ataupun dipengaruhi kepentingan pihak-pihak
tertentu, termasuk juga dalam hal ini pihak pemerintah. Untuk itu, dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga pengatur dan pengawas sektor
jasa keuangan harus independen atau bebas dari intervensi pihak-pihak
berkepentingan, yang tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa
independensi tersebut dapat dimintakan pertanggung-jawabannya. Penelitian ini
akan mencoba melakukan pembahasan secara komprehensif terhadap aspek yang
bersifat esensial yaitu independensi, yang dimiliki suatu otoritas yang berwenang
penuh atas pengaturan dan pengawasan sektor finansial di Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan OJK.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan suatu otoritas
independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem
pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan
fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri dari intervensi pasar
keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik, yang mana hal ini
diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya,
mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabilitas keuangan.1 Namun
perlu juga diperhatikan, berkaitan dengan hal independensi ini, terdapat
pertanyaan yang cukup menarik untuk diperdebatkan dan dikaji, yaitu apakah
konsep suatu otoritas yang independen adalah selalu baik dan akan selalu efektif.
Lebih lanjut, apakah sudah merupakan suatu keharusan bahwa otoritas finansial
1 Steven Seelig and Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and
Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monetary and Capital Markets Department
WP/09/135, July 2009, page 10.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
tersebut mendapatkan independensi secara absolut/mutlak. Kenneth Kaoma
Mwenda, dalam kajiannya menjelaskan bahwa di negara yang sedang berkembang
dari ―command economy‖, dimana pasar keuangan beserta instrumennya masih
terbilang lemah, adalah terkadang masih diperlukan campur tangan pemerintah
dalam hal-hal yang bersifat strategis, misalnya pada saat munculnya ancaman
yang berpotensi meruntuhkan suatu perusahaan yang cukup vital posisinya.2
Sebaliknya, di negara yang sudah cukup maju dan modern pasar beserta
instrumennya, sektor finansial justru akan mendapatkan manfaat dari absennya
intervensi pemerintah. Keberadaan infrastruktur yang kuat dan jaminan kerangka
regulasi hukum, termasuk kultur bisnis yang sehat di mana hak-hak kontrakual
pelaku usaha dapat ditegakkan dengan efektif, mengindikasikan intervensi negara
melalui pemerintah tidaklah diperlukan agar pasar keuangan berfungsi secara
efisien. Namun pada akhirnya diakui bahwa semakin banyak perkembangan bukti
dan fakta yang menunjukkan bahwa otoritas yang independen di sektor keuangan,
akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang lebih efektif, membuat operasi di
dalam pasar menjadi lebih efisien dan yang paling penting, menciptakan sistem
dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibanpdingkan pada saat berada di bawah
lembaga pemerintahan/kementerian.3
Selanjutnya, terdapat dua alasan utama yang membuat kajian terkait
independensi otoritas pengaturan dan pengawasan finansial menjadi penting.
Pertama, di hampir semua krisis sistemik yang terjadi pada sektor finansial pada
tahun 1990an, penyebabnya adalah dikarenakan kurangnya independensi otoritas
pengawasan dari pengaruh politik yang mana telah dibuktikan menjadi faktor
utama yang memperparah krisis ekonomi suatu negara. Korea saat krisis tahun
1997, merupakan salah satu contoh akibat dari tidak independennya pengawasan
sektor finansial di negara tersebut, yang mana pengawasan bank khusus dan
lembaga keuangan nonbank berada di bawah kewenangan langsung dari
2 Kenneth Kaoma Mwenda, Legal Aspects Of Financial Services Regulation And The
Concept Of A Unified Regulator, The World Bank-Law, Justice, And development Series, 2006,
page 31
3 Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Should Financial Sector Regulators Be
Independent?, IMF Economic issues no. 32, International Monetary Fund March 8, 2004, page 6
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Kementrian Keuangan dan Ekonomi.4 Salah satu contoh lainnya, yaitu di Jepang,
lemahnya independensi dalam fungsi pengawasan sektor finansial yang dilakukan
oleh Kementerian Keuangan, diyakini telah berkontribusi terhadap rapuhnya
sektor finansial.5 Kekuasaan Kementerian Keuangan di Jepang saat itu (pada
tahun 1995) sangat luas, yaitu terkait perencanaan keuangan, kekuasaan legislatif,
inspeksi keuangan dan pemeriksaan/pengawasan lembaga keuangan, sehingga
menyebabkan kerentanan terjadinya korupsi oleh pejabat kementerian dan untuk
mengatasi masalah tersebut pada bulan Juni 1998, pemerintah Jepang
mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari Kementerian dan
dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen
yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan
seperti perbankan, pasar modal dan asuransi.6 Ruth De Krivoy dalam kajiannya
mengenai krisis di Venezuela 1994, menjelaskan bahwa peraturan yang tidak
efektif dan lemahnya pengawasan serta campur tangan politik sebagai faktor
utama yang menyebabkan melemahnya bank dalam krisis. Dalam penelitiannya di
masa krisis tersebut, ia berpendapat bahwa pembuat undang-undang harus
memberikan pengaturan terhadap otoritas pengawas agar independen, dan
memberinya dukungan politik yang cukup untuk memungkinkan mereka untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka.7
Alasan kedua, adalah terkait semakin populernya diskusi-diskusi tentang
model ataupun tipe yang paling sesuai pada otoritas pengaturan dan pengawasan
4 Perlu diketahui, pengawasan nonbank yang dilakukan oleh suatu kementerian umumnya
diakui lemah dan, selain itu, berpotensi menciptakan kondisi arbitrasi peraturan dan manajemen
risiko yang lemah, khususnya terkait trust bisnis di bank komersial dan merchant bank, yang mana
merupakan faktor yang berkontribusi pada krisis Asia di tahun 1997. Selain itu, lembaga pengawas
juga memiliki kewenangan untuk memberi kemudahan-kemudahan dalam suatu aturan/regulasi,
yang mengakibatkan semakin tidak efektifnya penegakan hukum. Lihat Lindgren, Carl-Johan,
Tomas J.T. Balino, Charles Enoch, Anne-Marie Gulde, Marc Quintyn, and Leslie Teo, 1999,
"Financial Sector Crisis and Restructuring: Lessons From Asia," International Monetary Fund
Occasional Paper No. 188.
5 Peter Hatcher, The Ministry: How Japan's Most Powerful Institution Endangers World
Markets (Boston: Harvard Business School Press), 1998.
6 Takeo Hoshi and Takatoshi Ito, Financial Regulation in Japan: A Fifth Year Review of
the Financial Services Agency, 2002 Revised 2003, hal.1-2.
7 Ruth de Krivoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, (Washington, DC:
Group of Thirty, 2000), p. 207
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
sektor finansial, termasuk juga struktur organisasinya. Hal ini juga tentunya
merupakan sebagai reaksi atas meningkatnya tren dalam
mengintegrasikan/menyatukan sistem pengawasan di sektor finansial atau terpisah
dari bank sentral.8 Lebih lanjut, diskusi ini akan menimbulkan perdebatan
seberapa besarkah tingkatan independensi yang dibutuhkan untuk lembaga
pengawasan baru yang terpisah dari bank sentral tersebut. Hal ini sebagai respon
dari argumen bahwa jika pengawasan perbankan masih berada dalam kewenangan
bank sentral, tentunya sudah mendapatkan legitimasi dan kredibilitas dari
berbagai pihak terkait independensinya.9
Kemudian secara khusus ada dua perdebatan utama mengenai kajian
independensi dari pengatur dan pengawas. Pertama, adalah perdebatan terkait
seberapa jauh tingkat substansial/otonomi independensi yang dibutuhkan oleh
otoritas pengatur dan pengawas untuk memenuhi mandat mereka dan membantu
untuk mencapai dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Independensi dalam hal
ini misalnya independensi sebagai regulator/Regulatory Independence, adalah
mengacu pada seberapa jauh tingkat kewenangan suatu otoritas untuk men‖set-
up‖ suatu regulasi/aturan terhadap sektor yang diawasainya, secara
otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hokum yang berlaku.
Kedua, adalah perdebatan terkait fungsi utama otoritas pengawas yang merupakan
8 Selama bertahun-tahun, di banyak negara, kewenangan pengaturan dan pengawasan
lembaga-lembaga keuangan berada pada lembaga-lembaga khusus yang memiliki tanggung jawab
yang berbeda dan terpisah pada sektor perbankan, sekuritas, dan/atau asuransi. Akan tetapi, ada
kecenderungan dari beberapa negara untuk merestrukturisasi fungsi pengawasan keuangan dalam
beberapa tahun terakhir, dan khususnya lembaga pengawasan terpadu yaitu, satu lembaga yang
mengawasi dua atau lebih bidang sektor keuangan. Setelah terjadi krisis moneter sekitar tahun
1990-an, sejumlah negara telah mengintegrasikan fungsi pengawasan menjadi pengawas tunggal.
Lihat, Kenneth K Mwenda, and Alex Fleming, International developments in the organizational
structure of financial services supervision. A paper presented at a seminar hosted by the World
Bank Financial Sector Vice-Presidency on September 20th, 2001 (World Bank: Washington DC).
Diunduh dari situs www.worldbank.org
9 Di bidang kebijakan moneter, pendelegasian dalam pelaksanaan dan implementasi untuk
mengatur instrumen moneter kepada independensi bank sentral secara luas telah menjadi
kesepahaman berbagai pihak. Lihat Phoebus Athanassiou, Financial Sector Supervisors‘
Accountability: A European Perspective, Legal Working Paper Series European Central Bank, No
12 / August 2011 page 5. Adapun perlu diketahui bahwa konsep formal indepedensi, pada
awalnya dikembangkan dalam kajian literatur terhadap bank sentral, yang mana secara esensial
independensi bank sentral terdiri dari 2 element, yaitu political independence dan economic
independence. Lihat Fabrizio Gilardi and Martino Maggetti, ―The independence of regulatory
authorities‖, published in Levi-Faur, David (ed.) (2010), Handbook of Regulation, Cheltenham,
Edward Elgar.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
pelengkap untuk independensi bank sentral dalam rangka mencapai dan
mempertahankan tujuan stabilitas moneter dan keuangan. Fungsi independensi
otoritas pengawas finansial juga bisa dianalogikan atau dipersamakan dengan
pentingnya independensi dari bank sentral dalam mencapai tujuannya yaitu
kestabilan sistem moneter. Marc Quintin dan M Taylor dalam kajiannya
mengatakan bahwa independensi dari kedua lembaga (otoritas jasa keuangan dan
bank sentral) akan saling memperkuat satu sama lain dalam mencapai keseluruhan
tujuan stabilitas keuangan.10
Adapun institusi yang independen memiliki dua aspek, yaitu—independen
dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu
sendiri. Dalam mengkaji independensi otoritas pengatur dan pengawas yang bebas
dari campur tangan politik, perlu dibedakan makna antara independensi tujuan
(yang mengacu pada tujuan dibentuknya institusi pengawas oleh legislator) dan
independensi instrumen (yang mengacu pada perumusan aktual dan pelaksanaan
praktek pengawasan dan peraturan yang diserahkan kepada kebijaksanaan pejabat
pelaksana otoritas pengawas).11
Peran yang tepat bagi para politisi/legislator
dalam hal ini adalah untuk mengatur dan menentukan tujuan peraturan dan
pengawasan, namun otoritas regulator harus diberikan otonomi untuk menentukan
bagaimana mereka harus mencapai tujuannya. Sedangkan dalam aspek
independensi dari industri finansial, seperti halnya tekanan yang bersifat politis,
suatu kelompok industri juga dapat memainkan peran dalam melemahkan
keefektifan suatu regulasi. Stigler (1971), melalui suatu artikel yang memberikan
analogi tentang ―principal-agent‖12
, menjelaskan bahwa birokrasi lebih sering
mementingkan kepentingan dari suatu kelompok industri yang teroganisir
dibandingkan delegasi politik ataupun kepentingan masyarakat. Sehingga pada
akhirnya otoritas pengawas sering membuat suatu peraturan yang diformulasikan
dengan tujuan meminimalisi beban industri, yang pada akhirnya akan
10
Marc Quintyn and Michael W. Taylor, Regulatory and Supervisory Independence and
Financial Stability, IMF Working Paper WP/02/46.
11 Stanley Fischer, 1995, Central Bank Independence Revisited, American Economic
Review, Papers and Proocedings, May Vol 85, page 201-205,.
12 George J.Stigler, 1971. The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of
Economics and Management Science, Vol 6 No.2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
mengorbankan kepentingan masyarakat/konsumen. Mencapai kedua tipe
independensi tersebut, baik dari aspek politik maupun industri adalah suatu hal
yang bersifat esensial.
Selanjutnya beralih ke pembahasan dalam tataran global, aspek
independensi dari lembaga pengatur dan pengawasan sector jasa keuangan telah
menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi internasional
yang bertugas membuat standar internasional di masing-masing industri jasa
keuangan, seperti Basel Core Principle13
di bidang perbankan dan International
Organization of Securities Commissions(IOSCO) Objective and Principle14
untuk
bidang pasar modal. Pada umumnya organisasi pembuat standar internasional
(standar setter) tersebut menyatakan perlunya secara operasional lembaga
pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan memiliki independensi. Oleh karena
itu, independensi harus dijadikan salah satu asas pokok di dalam pembentukan
otoritas pelaksana fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan
sehingga tujuan untuk menciptakan suatu kegiatan dan transaksi ekonomi dalam
sistem keuangan yang efisien, transparan dan akuntabel dapat dicapai.
Dalam penelitian ini, pengkajian pengaturan dan pengawasan
penyelenggaraan jasa keuangan tentu juga tidak akan lepas dari
hubungan/keterkaitan antara stabilitas sistem keuangan dengan sistem
perekonomian secara luas15
. Sistem keuangan pada hakekatnya merupakan suatu
13
Basel Committeeon Banking Supervision, Consultative Document Core Principles for
Effective Banking Supervision Issued, Bank for International Settlements 2011. The Core
Principles No. 2 is Independence, accountability, resourcing and legal protection forsupervisors:
The supervisor possesses operational independence, transparent processes, sound governance and
adequate resources, and is accountable for the discharge of its duties.The legal framework for
banking supervision includes legal protection for the supervisor.
14 Objective and Principle of International Organization of Securities Commissions
(IOSCO), Financial Regulation and Supervision, June 2010, mensyaratkan dengan tegas perlunya
independensi lembaga pengawas Pasar Modal. Dalam teks aslinya di point Principles Relating to
the Regulator menyatakan bahwa,―The Regulator should be operationally independent and
accountable in the exercise of its functions and powers‖. Diunduh dari
http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf
15 Crockett, A, dalam ―Why Financial Stability a Goal of Public Policy‖ (1997)
menyatakan sejak beberapa tahun terakhir, istilah financial stability mengacu kepada kestabilan
institusi keuangan dan kestabilan pasar-pasar yang tergabung dalam pasar keuangan. Bandingkan
dengan Marcflame, Gubernur Reserve Bank Australia dalam ―Financial Stability‖. (1990) yang
mengemukakan bahwa ―financial stability is avoidance of crisis‖, artinya stabilitas keuangan
adalah upaya untuk menghindari terjadinya krisis. Jadi secara umum, stabilitas sistem keuangan
adalah ketahanan sistem keuangan terhadap guncangan perekonomian, sehingga fungsi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
sub-sistem dari sektor perekonomian di suatu negara yang bersifat sangat vital
seiring dengan perannya dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan di
masyarakat. Peranan penting sistem keuangan dapat dijelaskan terkait fungsi
intermediasi lembaga-lembaga keuangan dalam menghimpun dana dari pihak
yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan
dana agar terjadi keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda
perekonomian tetap berputar. Di satu sisi walaupun peranan lembaga keuangan
sangat besar mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, tetapi di sisi lain
justru keberadaan lembaga keuangan tersebut dapat menjadi ancaman yang sangat
serius terhadap perekonomian. Kegagalan atau kecurangan yang dilakukan satu
lembaga keuangan saja, misalnya satu perusahaan perbankan, satu perusahaan
sekuritas atau satu perusahaan asuransi yang mengalami masalah akan dapat
berdampak sistimik terhadap lembaga keuangan lainnya. Hal ini tidak lain karena
dewasa ini sistem keuangan telah berkembang secara struktural, kompleks,
terintegrasi dan terkait erat satu sama lain dari segi dimensi industri maupun
secara geographis.16
Pada era globalisasi sekarang ini, tingginya tingkat persaingan antar
lembaga keuangan dan kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi
mendorong institusi keuangan untuk terus melakukan inovasi-inovasi produk.17
intermediasi, sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap berjalan dengan semestinya. Lihat
Prof. DR. Anwar Nasution, ―Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan
Agenda Kedepan‖, Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli 2003 di Denpasar.
16 Hal ini sangat erat kaitannya dengan isu transformasi di sector jasa keuangan modern.
H. Onno Ruding menangkap gejala terjadinya transformasi pada industri jasa keuangan modern
yang dimulai pada tahun 1990-an. Salah satu aspek yang beliau anggap penting dalam mendorong
terjadinya transformasi tersebut, yaitu Trend Konsolidasi di bidang jasa keuangan. Setidaknya ada
5 motif yang menyebabkan para pemain industri jasa keuangan melakukan konsolidasi yaitu:
Kebutuhan modal dasar yang besar, Pertumbuhan pengguna jasa keuangan, Pengembangan
infrastruktur perusahaan, Peningkatan kualitas, dan faktor efektifitas. Adapun motif khusunsya
yaitu akan semakin variatif produk dan jasa keuangan yang dapat ditawarkan ke konsumen, serta
alasan diversifikasi usaha agar tidak terjadi penumpukan resiko. Lihat H Onno Ruding, ―The
transformation of the financial services industry‖, Occasional Paper No 2, Financial Stability
Institute, March 2002.
17 Produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan saat ini sudah sedemikian
menyatunya sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu dihasilkan oleh
industri perbankan atau produk perusahaan sekuritas atau industry asuransi. Hal ini sering dikenal
dengan istilah Produk hybrid yaitu produk yang merupakan perpaduan antara produk perbankan,
asuransi atau pasar modal. Contoh produk hybrid yang baru dikenal di Indonesia yaitu
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Namun di lain sisi hal ini terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku
dikarenakan desakan kompetisi bisnis yang semakin ketat. Pelanggaran potensial
yang sering terjadi dalam hal ini seperti misalnya laporan yang tidak transparan,
insider trading, dan pencucian uang. Di samping itu, masih banyak permasalahan
lain sebagai akibat dari aktifitas yang bersifat lintas sektoral di sektor jasa
keuangan, yang antara lain meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya
perlindungan konsumen jasa keuangan, perkembangan jaringan konglomerasi
dalam kepemilikan industri jasa keuangan, serta makin maraknya praktik-praktik
arbitrase peraturan (regulatory arbitrage) oleh entitas bisnis jasa keuangan.18
Belajar dari pengalaman Indonesia sebelumnya, khususnya pada saat stabilitas
keuangan terguncang, tentunya permasalahan-permasalahan tersebut haruslah
mendapat perhatian yang lebih serius dalam menghadapinya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
haruslah juga diikuti dengan suatu sistem pengaturan dan pengawasan19
yang baik
dan taat hukum. Di Indonesia, setelah disahkan dan diundangkan pada tanggal 22
November 2011, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (UU OJK), akan terjadi transformasi yang menyeluruh dan
sistematis dalam sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu
pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan tersebut kepada Otoritas Jasa
Keuangan (selanjutnya akan disingkat dengan OJK), sebuah lembaga independen
bancassurance yang memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, a bank that can offer banking,
insurance lending and investmen produk to customer. Kedua, a French term referring to the
selling of insurance throught a bank's established distribution channel. Lihat Prof. Dr. Bismar
Nasution, SH, LLM, ―Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada
Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas
Keuangan‖, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September
2010, hal. 14.
18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, Penjelasan Umum Paragraf 3 dan 4.
19 Secara teoritis, sasaran pokok dari pengaturan dan pengawasan sektor finansial adalah
untuk mendorong keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan
pemantauan yang berkesinambungan termasuk penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi
keuangan dan kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi. Lihat Sukarela Batunangar, Jaring
Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Buletin Hukum
Perbankan dan Kesentralan Volume 4 Nomor 3, Desember 2006), hal. 2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap industri jasa keuangan di
Indonesia. Dengan demikian seluruh kegiatan jasa keuangan sektor perbankan,
pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa
keuangan lainnya ada dalam kewenangan OJK.20
Banyak yang menilai bahwa, secara kelembagaan, institusi OJK
merupakan suatu lembaga ―superbody‖. Selain karena tugas dan wewenangnya
yang sangat luas, sifat ―superbody‖ OJK tercermin pada jumlah lembaga jasa
keuangan yang bakal diawasinya, yakni sekitar 2.608 lembaga jasa keuangan dan
642 mutual funds. Selain itu, OJK nantinya akan mengelola dana yang terbilang
besar yakni sekitar Rp 7.500 triliun atau setara dengan produk domestik bruto
(PDB) Indonesia.21
Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan apalagi
untuk sebuah lembaga yang masih ―hijau‖ dan secara empiris konsep lembaga
sejenis OJK masih belum terbukti keberhasilannya di Negara-negara maju
sekalipun.22
Sejalan dari fungsi dan kewenangannya yang bersifat ―superbody‖
tersebut, penulis menilai OJK sebagai lembaga pengawas baru yang akan
mempunyai tugas dan beban strategis kelembagaan yang berat, jelas perlu
memiliki sifat independensi yang tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap
regulasi dan pengawasan yang dilakukan OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa
dipengaruhi intervensi dari pihak manapun dan untuk mencegah benturan
kepentingan antara berbagai faktor yang berinteraksi di pasar. Sifat independen
tersebut harus diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK
sebagai lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan
masyarakat bagi sektor finansial.23
20
Pasal 1 UU OJK
21 Guntur Subagja, Berharap pada Lembaga ‗Super‘,
http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318, Rabu, 30 November 2011
22 Bank Indonesia, Era Baru Transformasi Bank Sentral, (Jakarta: Media Indonesia
Publishing), 2010, hal 199.
23 Peran pengaturan dan Pengawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk
menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta mekanisme pasar
yang sehat. Untuk itu, pengaturan dan pengawasan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan
dan tranparansi yang harus diterapkan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu aktifitas dan
transaksi ekonomi yang teratur, efisien dan produktif, dan menjamin adanya perlindungan nasabah
dan masyarakat. Lihat Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Adapun aspek independensi OJK dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia yaitu dalam UU OJK tercantum dengan jelas dan tegas, yaitu OJK
dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi
independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran
(fairness)24
. Kemudian, secara kelembagaan OJK berada di luar Pemerintah, yang
dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah25
. Di Pasal
2 ayat (2) UU OJK juga menegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK.
Asas independensi secara lebih tegas dituangkan dalam Penjelasan Umum UU
OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya
berlandaskan antara lain asas independensi yaitu independen dalam pengambilan
keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.26
Dalam kenyataanya, walaupun telah dinyatakan secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan, independensi OJK sendiri masih diragukan dan
diperdebatkan oleh para pengamat ekonomi.27
Isu utama independensi OJK
tersebut adalah misalnya terkait dengan pimpinan/dewan komisioner ojk baik dari
segi komposisi maupun proses pemilihannya. Dari segi proses pemilihan, seleksi
tersebut dilakukan oleh panitia seleksi yang berasal antara lain dari unsur
Pemerintah maupun unsur Bank Indonesia28
, sehingga menimbulkan
Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2010,
hal 5.
24 PenjelasanUmum Paragraf 9 UU OJK
25 Penjelasan Umum Paragraf 10 UU OJK
26 Penjelasan Umum Paragraf 14 UU OJK
27 Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy dan Umar Juoro (Center Indonesia for
Development and Studies) berpendapat, poin krusial dari terpilihnya para Dewan Komisioner OJK
adalah independensi dari institusi pengawasan keuangan itu sendiri. Pasalnya, mayoritas orang
yang terpilih di OJK berasal dari BI dan Kementerian Keuangan. Kondisi ini membuat OJK
independensinya kurang, dan apalagi nantinya sifat keputusannya bersifat kolegial. Lihat Latief
―Independensi OJK Dipertanyakan‖, Kompas.com, Kamis, 26 Juli 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK.Dipertanyakan,
28 Panitia Seleksi dibentuk dengan Keputusan Presiden, beranggotakan 9 (sembilan)
orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat. Lihat Pasal 11 ayat (2)
dan (3) UU OJK.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
kekhawatiran bahwa anggota dewan komisioner OJK yang terpilih nantinya
merupakan hasil negosiasi politik yang akan membawa kepentingan tertentu.
Selain itu, terkait dengan komposisi Dewan Komisioner OJK tersebut menjadi
dipertanyakan karena terdapat unsur ex-officio29
yang berasal dari Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan dalam susunan Dewan Komisioner OJK30
, sehingga
hal ini tentu akan mengakibatkan OJK tidak terbebas sepenuhnya dari pengaruh
maupun intervensi lembaga lain, khususnya dalam hal ini Bank Indonesia maupun
Pemerintah.31
Kemudian isu yang menarik selanjutnya untuk dikaji yang masih dalam
koridor pembahasan terkait aspek independensi OJK adalah masalah anggaran
operasional OJK. Hal ini dikarenakan masih banyak kalangan khususnya dari
industri perbankan itu sendiri, menilai anggaran OJK yang dipungut dari lembaga-
lembaga keuangan diawasainya adalah tidak sesuai dan akan membebani
masyarakat.32
Sebelumnya, Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)
juga menolak pembayaran iuran untuk kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
dengan alasan pungutan itu bisa mengganggu independensi dan objektivitas OJK
dalam mengaudit lembaga perbankan, dan oleh sebab itu sebaiknya anggaran OJK
diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).33
Memang dalam
UU OJK sendiri diatur bahwa, anggaran OJK dapat bersumber dari APBN
29
Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain (Pasal 1 angka 20 UU OJK). Di dalam struktur Dewan
Komisioner OJK, pejabat ex officionya adalah Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati sebagai
ex officio dari pemerintah dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah sebagai ex officio dari BI.
30 Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner
yang terdiri atas 9 (sembilan) anggota Komisioner yang terdiri atas 7 (tujuh) anggota yang dipilih
oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, dan 2 (dua) anggota ex-officio
dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat
setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Lihat Pasal 10 UU OJK
31 Dalam penjelasan umum UU OJK, dijelaskan bahwa keberadaan ex-officio
dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal,
moneter, dan sektor jasa keuangan.
32 Fitri Novia Heriani, Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK, Hukum Online.com,
29 Mei 2012 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-masih-
keberatan-soal-iuran-ojk
33 Ester Meryana, Himbara Keberatan Pungutan OJK, Kompas.com, 29 Mei 2012,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.Keberatan.Pungutan.OJK
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.34
Namun di sisi lain perlu dicermati bahwa, apabila anggaran OJK sepenuhnya
dibebankan dari APBN, maka dapat dikatakan pula bahwa OJK merupakan
bagian dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara.35
Atas hal tersebut, OJK dikhawatirkan juga
akan rentan terhadap tekanan politik dari Pemerintah mengingat kegiatan OJK
dibiayai oleh APBN tersebut.36
Dengan demikian, dikhawatirkan OJK akan
kehilangan kemandiriannya sebagai suatu insitusi dan tentu akan menggangu
pelaksanaan Independensi dari OJK.
Dalam penelitian ini, terdapat empat dimensi/instrumen untuk mengukur
independensi suatu otoritas pengatur dan pengatur kegiatan dalam penyelengaraan
jasa keuangan, yaitu aspek fungsi pengaturan, aspek fungsi pengawasan, aspek
kelembagaan, dan aspek keuangan atau anggaran. Aspek fungsi pengaturan,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah aspek yang menjelaskan
level/tingkatan otonomi dari institusi regulator dalam membuat ―aturan main‖ di
sektor jasa keuangan. Aspek fungsi pengawasan, yaitu terkait fungsi pengawasan
suatu otoritas dalam penyelenggaraan sektor finansial, yang dapat dikatakan
sebagai elemen yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sektor
finansial merupakan sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas,
yang mana merupakan hakikat dan prinsip dari lembaga finansial sebagai
intermediasi. Aspek kelembagaan, pembahasan terkait status dari otoritas
34
Pasal 34 ayat (2) UU OJK
35 Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh
DPR. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Lihat Pasal 12 UU tentang
Keuangan Negara
36 Hal ini senada dengan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK
Ahmad Fuad Rachmany yang menyatakan ―Ada dua alasan lembaga itu tak menggunakan
anggaran negara.‖ Pertama, menjaga independensi OJK, belajar dari pengalaman beberapa
lembaga negara yang mengalami ancaman pengurangan anggaran operasional karena bertindak
tidak sesuai harapan pemegang otoritas anggaran. Kedua, menghilangkan beban pajak masyarakat
yang sama sekali tidak menikmati hasil industri keuangan. Fuad Rahmany,Operasional OJK Tidak
Gunakan APBN, Hukum Online.com, 05 July 2010,
http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4c31b77d51cac/operasional-ojk-tidak-gunakan-apbn
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
pengawasan yang berada di luar cabang eksekutif maupun legislatif dari
pemerintahan. Dan terakhir, aspek anggaran, yang menjelaskan bahwa otoritas
pengawas seharusnya tidak boleh mendapat tekanan politis dalam hal
penganggaran. Analisis pengukuran independensi inilah yang menarik perhatian
penulis untuk diajukan sebagai materi utama penelitian tesis ini, agar selanjutnya
didapatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap OJK khususnya aspek
independensinya dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan.
B. Pokok Permasalahan
Penelitian selalu dimulai dengan problem atau seperangkat isu yang
disebut sebagai ―forshadowed problems‖, dimana problem ini menggelitik
keingintahuan peneliti dan ―mengganggunya‖ dengan berbagai pertanyaan.37
Selain itu tujuan dibuatnya pertanyaan penelitian adalah untuk menjelaskan,
memahami, mendalami suatu proses dan menggambarkan pengalaman.38
Adapun
rumusan permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah status, kedudukan dan struktur kelembagaan Otoritas
Jasa Keuangan?
2. Mengapa Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki independensi dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengawas sektor jasa keuangan?
3. Bagaimanakah penilaian independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan di indonesia?
37
Hammersley, Martyn & Paul Atkinson. 1997.Ethnography. Principle in Practice. 2nd
edition. New York: Routledge dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 301.
38 John W Creswell, Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches, London:
Sage Publication, 1994 dalam Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, hal 303.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan penelitian secara umum dan tujuan
khusus, adapun tujuan tersebut yaitu:
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan
pemahaman secara umum tentang prinsip-prinsip dan teori indenpendensial suatu
otoritas yang berwenang penuh dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan, khususnya dalam hal ini adalah terkait aspek
hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui status, kedudukan dan struktur kelembagaan otoritas
jasa keuangan otoritas sebagai pengatur dan pengawas kegiatan di
sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
di indonesia.
2. Mengetahui prinsip dan teori independensi dari otoritas pengatur
dan pengawas sektor jasa keuangan
3. Mengetahui analisa pengukuran aspek independensi dari otoritas
jasa keuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan
pengawas kegiatan di sektor jasa keuangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan di indonesia
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
D. Kerangka Teori
Berbicara mengenai otoritas regulator (ataupun supervisor) independen,
adalah bukanlah yang mudah dalam hal memberikan definisi secara umum, hal ini
dikarenakan terkait desain institusi, fungsi, status, kewenangan yang
didelegasikan serta juga aspek pengawasan institusi, yang bervariasi di beberapa
negara, bahkan di satu negara dalam ranah/domain yang berbeda. Namun
demikian, otoritas regulator yang independen dapat diklasifikasi menjadi dua
kelompok utama, yaitu institusi yang meregulasi penyelenggaraan suatu pasar
ekonomi dengan berprinsip utama pada teori pasar, dan institusi pembuat regulasi
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik).39
Pada institusi
yang pertama, kewenagan untuk meregulasi timbul dalam suatu kepentingan
untuk mencegah ―unfair competition‖, mengontrol harga, dan terkadang institusi
ini pun mengatur aspek ―sosial‖ atau aspek distributif dari suatu pasar ekonomi.
Contoh institusi ini adalah Lembaga Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga
Pengatur Finansial dan sebagainya. Di sisi lain, institusi yang kedua, mempunyai
tanggung jawab untuk mengedepankan tujuan ―kepentingan publik‖ di luar
kompetisi pasar. Tugas institusi ini antara lain seperti, membuat suatu standar,
mencegah peredaran barang yang tidak resmi, masalah keselamatan (seperti isu
pekerjaan atau makanan), dan aspek keadilan rasial-gender. Contohnya adalah
Lembaga Pengawas Makanan dan Obat-Obatan. Menurut penelitian oleh
Thacther, institusi yang bertipe market regulation agencies lebih berkembang
secara luas dibandingkan institusi public interest regulators, dan menikmati
kewenangan dan independensi yang lebih tegas dan kuat dari pemerintah.
Di dalam penelitian ini, Insitusi Regulator Independen secara khusus
didefinisikan sebagai institusi yang memiliki tugas dan kewenangannya yang
mandiri di ranah hukum publik, yang mana juga mempunyai struktur organisasi
yang terpisah dari kementrian atau pemerintah. Dan oleh sebab itu, institusi yang
merupakan suatu unit organisasi dari kementerian, organ langsung dari
pemerintahan ataupun suatu unit birokrasi kepemerintahan, tidaklah
39
Mark Thatcher, 2002. ―Delegation to Independent Regulatory Agencies:
Pressures,Functions and Contextual Mediation.‖ West European Politics, vol. 25(1), page 125-
147.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
diperhitungkan sebagai Institusi Regulator Independen dalam penelitan ini,
dikarenakan institusi tersebut pada hakekatnya menjalankan kekuasaan
pemerintah/eksekutif.
Secara teoritis, tesis ini menggunakan pendekatan kerangka konsep hukum
yang dikembangkan oleh Montesquiue, yaitu teori pemisahan
kekuasaan/separation of powers. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi
dalam tiga kekuasaan. Tiap-tiap kekuasaan mempunyai kewenangan sendiri,
kekuasaan yang satu terpisah dengan yang lainnya dan kekuasaan tersebut tidak
berada dalam satu tangan yang sama.40
Ajaran pemisahan kekuasaan
(Montequieu), menurut Bagir Manan, berintikan pada independensi masing-
masing alat kelengkapan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Montequieu
berpendapat, setiap percampuran kekuasaan (di satu tangan) antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif (seluruh atau dua diantaranya), dipastikan akan
menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang dan untuk
mencegahnya, badan (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu
sama lain.41
Teori separation of powers Montesquieu kemudian mengalami
perkembangan dan kritikan. Menurut Mac Iver dan H.J. Laski pemisahan
kekuasaan secara mutlak dari kekuasaan negara seperti yang digambarkan oleh
Montesquieu tidak mungkin dilakukan.42
Pemisahan kegiatan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dengan yang lainnya.
Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat ditempatkan di bawah
40
Sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu berikut, When the legislative and executive
powers are united in the same person, or in the same magistrate, there can be no liberty; because
apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute
them in tyranical manner. (Apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam
satu tangan, maka tidak ada kebebasan; karena timbul keprihatinan, kalau raja atau majelis
mengundangkan hukum-hukum zalim, untuk dilaksanakan dengan cara yang zalim). Lihat
Montesquieu, De L`Esprit Des Lois, (Paris: G.Truc ed. 1949), hlm. 162.
41 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII
Press, 2005), hlm. 120-121
42 ―The absolute separation of powers prescribed by Motesquieu is obviously impossible‖
dalam Robert M. Maclver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 371;
Harold J Laski, A Grammar of Politics, (London: George Allen and Unwir LTD, 1960), hlm. 2.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
pengawasan suatu badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini
mengakibatkan terbukanya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui
batas kekuasaannya.43
Menurut Miriam Budiardjo, hal itu terjadi karena pada abad
ke-20 negara mengalami perkembangan sehingga kehidupan ekonomi dan sosial
menjadi sangat kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir seluruh
kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan teori trias politica tidak dapat
dipertahankan lagi.44
Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan
untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara
kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut
menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga
negara yang ada. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi oleh negara semakin
kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan
diselesaikan secara otonom oleh lembaga negara tertentu saja, melainkan perlu
adanya kerja sama antar lembaga negara yang ada. Oleh karena itu, pemisahan
kekuasaan secara mutlak ke dalam tiga cabang kekuasaan sudah tidak relevan lagi
dalam perkembangan teori hukum tata negara.45
Dalam pada itu, menurut Jimly
Asshiddiqie perkembangan kelembagaan negara secara teori dan pemikiran
berkembang sangat pesat. Jimly Asshiddiqie berpendapat keadaan dan kebutuhan
yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di
tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin
komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-
institusi kenegaraan semakin berkembang.46
Selain pemikiran tersebut perkembangan fungsi-fungsi kekuasaan negara
juga dipengaruhi oleh terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan
43
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4., (1960), hlm 17-
24.
44 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001),
hlm. 155
45 Pemisahan kekuasaan secara tajam tidak begitu diperlukan lagi, karena yang
memerintah dalam negara bukan lagi raja-raja yang absolut seperti dulu. Lihat Andi Mustari Pide,
Pengantar Hukum Tata Negara, cet. 1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 54
46 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 1.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan
sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi
memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentation) yang memiliki tujuan untuk menerapkan prinsip efesiensi
sebanyak mungkin sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar
terjamin efektif. Sebagai tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan
rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis dan
terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Salah satu akibatnya ialah fungsi-
fungsi kekuasaan yang biasanya melekat pada fungsi lembaga eksekutif, legislatif
dan bahkan yudisial, dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat
independen.47
Sehingga, dimungkinkan adanya suatu organ negara yang
mempunyai fungsi campuran, masing-masing bersifat independen (independent
bodies) atau quasi independen.
Beberapa ahli yang mengelompokkan lembaga independen ini dalam
domain atau ranah kekuasaan eksekutif atau mengelompokkannya secara
tersendiri sebagai the fourth branch of the government atau oleh para ahli
ketatanegaraan di Belanda disebut dengan De Vierde Macht.48
Tidak hanya di
Belanda, di Amerika Serikat juga muncul kekuasaan lain disamping kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan tersebut adalah independent
agencies. Kekusaan independen ini muncul dilatarbelakangi oleh pertumbuhan
yang luar biasa pada lembaga-lembaga pemerintahan dengan kekuasaan regulasi
47
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturan kelembagaan pemerintah yang bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi
tentara dan kejaksaan. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk
menjamin demokrasi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 156
48 Dengan meneliti hukum tatanegara negara Belanda, Crince le Roy menyimpulkan
terdapat kekuasaan lain di samping tiga kekuasaan menurut Montesquieu. Kekuasaan tersebut
diberi istilah De Vierde Macht. Akan tetapi, kekuasaan ke-empat tersebut bukan hanya pegawai
negeri, dalam suatu negara munculnya kekuaaan lainnya berkaitan dengan kenyataan dalam
masyaratakat suatu negera. Crince le Roy menyebutkan kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi
Independen, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan-kekuasaan pengawasan, komisi- komisi
pelayaan masyarakat, rakyat yang memiliki hak pilih, kelompok- kelompok penekan dan partai-
partai politik. Lihat Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, (Semarang: 1981), hlm. 21
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
yang luas di AS terjadi pada abad ke-20.49
Pertumbuhan ini telah menimbulkan
banyak masalah kebijakan dan koordinasi di pemerintahan. Perkembangan ini
pada akhirnya mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen yang juga
dikenal sebagai ―The Fourth Branch of The Government‖, bertindak tanpa
tanggung-jawab dan tidak dikoordinir oleh Presiden. Keberadaan dan status dari
lembaga-lembaga independen dengan kekuasaan regulasi yang luas akan sangat
dapat digabungkan dengan prinsip-prinsip pemisahan cabang-cabang kekuasaan
negara. Selain itu, dalam hal lembaga-lembaga independen, dibentuk setiap
kekuasaan harus mampu melaksanakan sistem checks and balances dari
kekuasaan lainnya dalam mengontrol tindakan lembaga. Dan oleh sebab itu
kekuasaan lembaga independen memainkan satu peranan penting dalam sistem
checks and balances antara tiga cabang kekuasaan asli.
Selain itu juga dalam tesis ini, teori hukum yang dipergunakan untuk
menganalisis aspek independensi dari otoritas regulator adalah principal-Agent
Theory50
. Menurut teori ini, alasan dasar pendelegasian kewenangan dari suatu
principal kepada agent adalah bersifat fungsional, seperti misalnya pendelegasian
dari pemegang saham kepada manajemen, negara kepada organisasi internasional,
atau legislatif kepada institusi regulator. Hal ini dilakukan karena diyakini
pendelegasian tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka
49
Keberadaan independent agencies di AS sebenarnya telah ada di AS lebih dari seratus
tahun. Misalnya, Komisi Perdagangan Internasional (ICC), yang mempunyai tugas untuk
meregulasi perkereta-apian, didirikan tahun 1887. Komisi Perdagangan Federal (FTC) dibentuk
tahun 1914 dan mengikuti model ICC karena kekuasaan dan kewenangan yang independent seperti
ICC. Akan tetapi, pada awal abad ke-duapuluh perkebangannya semakin meningkat. Lihat Saskia
Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US Independent Agemcies, (1
Januari 2008), terdapat di situs <http://www.
tilburguniversity.nl/tilec/publications/discussionpapers/2004-001.pdf
50 Kajian awal dari pendekatan teori principal-agent dapat ditemukan dalam tulisan Berle
and Means (1932), yang meneliti proses pendelegasian dalam level sebuah perusahaan. Mereka
mengkaji bagaimana pemegang saham suatu perusahaan memberikan delegasi kepada pihak di
luar manajemen perusahaan dan bagaimana pemisahan kepemilikan dalam kontrol perusahaan
menghasilkan pengaruh dari pendelegasian tersebut. Selain itu, mereka menemukan terkait bahwa
perbedaan dalam pembentukan institusi dapat memberikan hasil yang efisien. Lihat A. Berle and
G. Means, 1932. The Modern Corporation and Private Property. New York: Macmillan. Setelah
Berle dan Means, Stephen Ross merupakan pemikir pertama dalam memberikan kajian tentang
urgensi principal-agent theory, karena ia menjelaskan hubungan antara principal dan agents
sebagai hubungan di antara dua pihak atau lebih, satu sebagai agents bertindak dan sebagai
perwakilan pihak yang lain, yang mana disebut sebagai principal, di dalam suatu domain/ranah
khusus dari situasi pemecahan masalah. Lihat Stephen Ross, 1973. ―The Economic Theory of
Agency: The Principal‘s Problem.‖American Economic Review, vol. 63(2), pp.134.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
panjang.51
Pendekatan teori principal-agent mengasumsikan bahwa pejabat
terpilih (legislator) mendelegasikan beberapa kekuasaan mereka kepada suatu
institusi regulator untuk membuat kebijakan publik, hal ini didasarkan dari
anggapan bahwa akan didapat benefit yang lebih besar daripada cost yang
dikeluarkan untuk pendelegasian tersebut.52
Delegasi ini dilakukan karena juga
diyakini bahwa institusi tersebut dapat menjalankan fungsi yang berguna bagi
pejabat terpilih (legislator) dalam berurusan dengan berbagai tekanan dan
masalah.53
Maka oleh sebab itu, pembentukan dan desain institusi regulator
dipandang hanya terkait masalah institusional, yaitu pejabat terpilih (principal)
mendelegasikan wewenang kepada institusi regulator (agent) dan mereka memilih
institusi dalam bentuk formal (secara khusus terdapat unsur didelegasikannya
kekuasaan dan juga kontrol pengawasan dari pemberi pihak delegasi) yang
meminimalkan institusi itu mengalami kerugian yang timbul dari suatu kelalaian.
Dapat disimpulkan bahwa secara umum, model principal-agents memberikan
analisis terhadap hubungan antara principal (pemberi delegasi) dan agents
(penerima delegasi), alasan dan tujuan dari delegasi, mengkaji jumlah diskresi
yang harus diberikan kepada agent dan juga sama halnya terhadap mekanisme
kontrol pengawasan yang dibatasi kepada agent oleh principal yang bertujuan
untuk mendapatkan manfaat yang diharapkan pendelegasian.
51
Mark A. Pollack, 1997, ―Delegation, Agency, and Agenda Setting in the
EuropeanCommunity‖, International Organization, vol. 51(1), pp. 99-134.
52 Penting untuk dicatat bahwa suatu pendelegasian mengakibatkan manfaat dan juga
biaya bagi pihak yang memberikan delegasi. Kerugian yang timbul dari hal ini sering disebut
dengan istilah ‗agency costs‘ or ‗agency losses‘ yang mana disebabkan oleh pengaturan agents
yang bertindak atas pihak principal, dan oleh sebab itu mekanisme control terhadap agents
dimaksudkan untuk menimilasir hal tersebut. Lihat Jonas Tallberg, 2002. ―Delegation to
Supranational Institutions: Why, How, and with What Consequences?‖ West European Politics,
vol. 25(1), pp. 23-46
53 G. Majone, 1999. ―The Regulatory State and Its Legitimacy Problems‖ West European
Politics, vol. 22(1), pp. 1-24.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha pencarian jawaban yang benar, sebuah kata
istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai sebagai kata terjemahan apa yang di
dalam Inggris disebut Research.54
Bermakna sebagai pencarian, penelitian adalah
suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula berprosedur alias bermetode.55
Metode Penelitian pada hakikatnya memberikan pedoman, cara-cara mempelajari,
menganalisa dan memahami kejadian-kejadian dalam penelitian.56
Penelitian yang
dilakukan oleh penulis merupakan penelitian hukum karena didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.57
Lebih
lanjut, penelitian hukum dalam tesis ini merupakan penelitian hukum yang
bertipe non doktrinal, yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses
bekerjanya hukum di dalam masyarakat.58
Dan kajian ilmu hukum yang
digunakan penulis adalah kajian ilmu hukum normatif59
, dikarenakan bahan
penelitian yang digunakan penulis adalah bahan-bahan kepustakaan ilmu hukum.
1) Tipologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu memberikan
gambaran secara umum yang dapat ditangkap oleh panca indera atau
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.60
54
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum ―konstelasi dan Refleksi‖,
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 96
55 Ibid.
56 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit UI-Pres,
1986), hal.6.
57
Ibid, hal. 43
58 Sutandyo Wignjosoebroto, tth,‖, Apakah Sesungguhnya Penelitian itu?‖, Kertas Kerja,
(Surabaya : Univ. Airlangga, 1986), hlm. 2
59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal. 15
60 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Kaitannya dengan penelitian ini, gambaran secara umum adalah mengenai
bagaimana aspek hukum independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam
penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di
sektor jasa keuangan. Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian
murni yaitu penelitian ini bertujuan mengembangkan pengetahuan.61
2) Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai
berikut.62
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan
Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara
lain adalah teori para sarjana, buku, penelusuran internet, artikel
ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan makalah.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya kamus.
3) Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif yaitu mendalami
makna dibalik realitas atau tindakan atau data yang diperoleh dan yang diteliti
atau dipelajari sebagai objek penelitian yang utuh.63
Dalam penelitian ini apa yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dipelajari secara lebih
mendalam khususnya mengenai aspek hukum independensi otoritas jasa keuangan
61
Ibid., hal. 5.
62 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 32.
63 Sri Mamudji et.al., Op. Cit., hal. 67.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
dalam penyelenggaraan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di
sektor jasa keuangan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam Bab I, yaitu Bab Pendahuluan penelitian, akan dipaparkan
mengenai latar belakang dipilihnya topik penelitian tesis ini. Lebih lanjut, yaitu
aspek-aspek dari Independensi Lembaga Pengatur dan Pengawas Jasa Keuangan
atau Otoritas Jasa Keuangan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Selain
itu dalam bab ini juga akan dijelaskan terkait teori hukum yang digunakan penulis
dalam melakukan penelitian ini, juga metode penelitiannya.
Kemudian di dalam Bab II, yaitu Bab Teori Penelitian, penulis akan
menjabarkan Teori dan Prinsip Independensial Otoritas Pengatur dan Pengawas
Jasa Keuangan dari referensi-referensi yang telah penulis kaji. Dari referensi dan
literatur ilmiah ini, penulis kemudian mendapatkan dimensi dan prinsip
independensial suatu lembaga/otoritas pengatur dan pengawas jasa keuangan.
Kemudian juga, tentu aspek Independensi tidak akan lengkap dengan isu yang
cukup menjadi perdebatan di kalangan akademis maupun praktisi yaitu aspek
Independensi dari Intervensi Politik dan Industri Jasa Keuangan.
Dalam Bab III, akan dibahas mengenai bagian isi dari penelitian, yaitu
Status, Kedudukan dan Struktur Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan. Penting
untuk dibahas secara mendetil khususnya dari peraturan perundang-undangan
berlaku terkait Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. Status
dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam struktur ketatanegaraan dan juga
tidak kalah pentingnya adalah Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan
dengan Lembaga Terkait di Bidang Jasa Keuangan.
Dalam Bab IV, yaitu Bab Analisa Penelitian, penulis akan memberikan
analisa dari fakta-fakta dan teori yang telah penulis paparkan di bab-bab
sebelumnya. Maka dalam bab ini dapat dikatakan merupakan inti dari pemikiran
penulis atas AspekIndependesi Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyelenggaraan
Sistem Pengaturan Dan Pengawasan Terhadap Kegiatan di Sektor Jasa Keuangan
Indonesia
Dalam Bab V, yaitu Bab Penutup, akan berisi kesimpulan dan saran dari
penulisan tesis ini.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
BAB II
INDEPENDENSI OTORITAS PENGATUR DAN PENGAWAS
KEGIATAN DI SEKTOR JASA KEUANGAN
A. Otoritas Independen
Untuk memulai bab ini, perlu terlebih dahulu dipahami berbagai definisi
Independen dari sumber-sumber referensi yang penulis teliti. Istilah Independen
dalam bahasa inggris ditulis dengan kata independent yang mempunyai pengertian
yaitu not governed by another, not requiring or relying on something or
somebody else, not easily influenced.64
Kemudian independen dalam Black‘s Law
Dictionary diartikan sebagai suatu kondisi yang terbebas dari ketergantungan,
terbebas dari kontrol modifikasi atau pembatasan dari pihak lain.65
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Independen adalah mandiri yang mempunyai pengertian
bebas dari ketergantungan pada orang lain.66
Jadi secara umum, independensi
dapat didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh instruksi/pengarahan, atau
kontrol dari pihak/pihak-pihak lain.
Menurut literatur-literatur hukum yang berkembang dewasa ini, secara
umum dalam mendefinisikan Otoritas Independen, dapat menggunakan salah satu
ciri yang penting, yaitu suatu lembaga yang dipimpin oleh seseorang yang tidak
dapat diberhentikan langsung (bahkan oleh Presiden sekalipun) dan hanya dapat
diberhentikan oleh suatu alasan yang valid dan substansial/good cause67
. Senada
64
Webster‘s Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publisher Springfield,
Massachussets, USA, 1989.
65 ―Independent : not dependent, not subject to control, restriction, modification or
limitation from a given outside source‖. Henry Campbell Black, M.A, Black‘s Law Dictionary,
Sixth Edition, (St. Paul Minn, West Publishing Co, USA), 1997, hlm. 472.
66 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, dikutip darihttp://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
67 Jacob E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On PublicChoice And
Public Law, (Daniel A. Farber & Joseph O‘Connell eds.), 2010, page 333, 347 (―Independence is
a legal term of art in public law, referring to agencies headed by officials that thePresident may
not remove without cause‖). Lihat juga Marshall J. Breger & Gary J. Edles,Established
byPractice: The Theory and Operation of Independent Federal Agencies, 52 Administrative Law
Review, 2000, page 1111,1138 (―The critical element of independence is the protection—
conferred explicitly by statute or reasonably implied—against removal except ‗for cause.‘‖). Lihat
juga Lisa Schultz Bressman & Robert B. Thompson, The Future of Agency Independence, 63
Vanderbilt Law Review, 2010, page 599, 610 (―What gives agencies their independence or what
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
dengan definisi tersebut, William F. Fox Jr., juga menyatakan bahwa suatu
otoritas adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam
undang-undang otoritas yang bersangkutan atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak
secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan
otoritas.68
Pakar ketatanegaraan Indonesia, Jimly Asshiddiqie memberikan
pengertian Otoritas Independen atau -dalam bahasanya- yaitu ―Komisi Negara
Independen‖ sebagai suatu organ negara (state organs) yang diidealkan
independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.69
William F. Funk dan Richard H. Seamon menambahkan bahwa sifat independen
dari otoritas tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang
pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik
tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara
bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).70
Dalam kajian para ahli dan akademis di Amerika (khususnya di bidang
hukumadministrasi negara), sering mendefinisikan otoritas independen dengan
pengertian, yaitu suatu lembaga pemerintahan yang -tidak dibentuk oleh rakyat
dan tidak juga dijalankan oleh pejabat yang terpilih-, yang mana lembaga ini
menjalankan otoritas sebagai regulator kebijakan-kebijakan di bidang-bidang
khusus71
. Di luar Amerika, kriteria untuk menentukan suatu lembaga independen
adalah semakin bervariasi, misalnya di negara-negara Eropa yang mempunyai
karakter otoritas independen sebagai suatu lembaga yang mempunyai posisi di
otherwise distinguishes them from their executive-branch counterparts [is that] the President
lacks authority to remove their heads from office except for cause.‖).
68 William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (Danvers: Lexis Publishing),
2000, hal. 56.
69 Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUd 1945, makalah dalam seminar pembangunan hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli
2003.
70 William F. Funk dan Richard H.Seamon, Administrative Law: Examples &
Explanations, (New York, Aspen. Publishers, Inc) 2001, page 23-34.
71 Mark Thatcher & Alec Stone Sweet,Theory and Practice of Delegation to Non-
Majoritarian Institutions, 25 West European Politic, 2002, page 1, 2 (―an independent agency is a
government body ―neither directly elected by the people, nor directly managed by elected
officials.‖)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
luar struktur hieraki dari kekuasaan eksekutif. 72
Atas dasar bebarapa alasan-
alasan tersebut, kajian dan studi akademis telah mengalami pergeseran dari single
criteria dalam menentukan independensi, menjadi analisis-analisis yang lebih
komprehensif dan mendalam pada kondisi-kondisi kelembagaan suatu otoritas
independen tersebut.73
Namun dalam tingkatan yang paling minim, suatu otoritas
dapat dikatakan independen secara formal, ketika otoritas tersebut dapat
menjalankan kewenangannya tanpa kontrol/pengarahan dari pejabat pemerintah
terpilih seperti presiden, kementerian atau perdana menteri.74
Dengan demikian,
dapat juga disimpulkan bahwa otoritas independen adalah suatu entitas
administratif yang beroperasi di luar hierarki dari badan kepemerintahan pusat.
Telah dijelaskan bahwa sifat dan karakteristik dari otoritas independen
akan berbeda-beda di setiap negara atau dapat juga dikatakan bahwa setiap negara
mempunyai legal definition dan doktrin sendiri atas otoritas independen dan
penyebutan istilah otoritas independen sangat bervariasi seperti misalnya,
‗autonomous regulatory agencies‘, ‗semi-independentregulators‘, ‗independent
regulatory agencies‘, ‗impartial regulatory agencies‘‗independent regulatory
commission‘dan sebagainya.75
Namun demikian, secara umum dapat ditemukan
persamaaan ciri yang signifikan diantara otoritas independens tersebut. Pertama,
mereka memiliki fungsi dan kewenangan sebagai regulator di bidang-bidang
72
Martin Shapiro, A Comparison Of U.S. And European Independent Agencies,
Comparative Administrative Law, (Susan Rose-‐Ackerman And Peter L. Lindseth, eds), 2010,
page 293, 279 (―To operationalize Agency independence, Jurisdictions around the world have
followed different approaches. While U.S. Law has Focused on the Appointment and removal
process for agency heads, European countries have emphasized the position of these agencies
outside the traditional executive body hierarchy―).
73 Fabrizio Gilardi,The Formal Independence of Regulators: A Comparison of 17
Countries and 7 Sectors, 11 Swiss Political Science Review, 2005, page 140 (―[I]t can be
considered that formal independence depends on the status of the head of the regulator and of its
management board, on the relationship with government and parliament, on financial autonomy,
andon the extent of regulatory powers.‖).
74 Aalt Willem Heringa & Luc Verhey, Independent Agencies and PoliticalControl,
Agencies In European And Comparative Perspective, (Tom Zwart &Luc Verhey eds.), 2003, page
156, (―Agencies are independent if they are not subordinate to the responsible minister.‖).
75 Ümit Sönmez, Independent Regulatory Agencies: The World Experience And The
Turkish Case, A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social Sciences Of Middle East
Technical University, 2004, Page 8.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
khusus perekomian atau bidang sosial.76
Selain itu, kewenangan adjudikatif, yang
memungkinkan mereka untuk menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan
keputusan melalui proses hearing atau proses yang setipe dengan persidangan.77
Sebagian besar otoritas independen juga memiliki fungsi dan kewenangan atas
kebijakan publik atau regulasi-regulasi yang secara hukum mengikat masyarakat
dan sektor privat, yang mana implementasi dan kekuatan hukumnya tidaklah
berbeda daripada sistem peraturan perundang-undangan umum (UU, PP, atau
Permen).78
Kemudian, otoritas independen di di negara-negara maju pada
umumnya telah memiliki kewenangan dalam hal menyelidiki dan mengadili
terhadap pelanggaran aturan dan regulasi mereka.79
Berbicara tentang independensi dalam perspektif operasional, intitusi ini
mempunyai kelebihan-kelebihan yang cukup penting yaitu, dalam hal
pengembangan skill dan keahlian, dikarenakan mereka dapat memfokuskan waktu
dan tenaga mereka untuk memahami bidang yang ditanganinya dan berusaha
untuk tetap menjaga kepentingan publik terhadap semakin meningkatnya
76
Stéphane Jacobzone, Designing Independent And Accountable Regulatory Authorities
For High Quality Regulation, Proceedings of an Expert Meeting in London, Prepared By
Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD), United Kingdom, 10-11
January 2005, page 72 (―Independent Regulators have been established when setting up new
marketoriented regulatory arrangements for utility sectors with network characteristics, such as
telecommunications, financial services, or for the social and environmental arena‖.
77 Kirti Datla and Richard L. Revesz, Deconstructing Independent Agencies (And
Executive Agencies), New York University Public Law and Legal Theory Working Papers. Paper
350, page 39. (The fact that Indpendent agencies are authorized to proceed through adjudication
has beennoted for decades. Yet, scholars persist in associating the authority to adjudicate with
independent agency status. Agencies engage in around 500,000 informal adjudications, of which
at least at least several hundred formal adjudications per year.)
78 Martino Maggetti, The Role of Independent Regulatory Agencies in Policy-Making: a
Comparative Analysis of Six Decision-Making Processes in the Netherlands, Sweden and
Switzerland, Paper prepared for: The Fourth ECPR General Conference, Pisa, Italy, 6-8th
September 2007, page 3. (The term of Independent Regulatory Agency ―decision-making process‖
illustrates the whole process of adopting/revising a new law (in the domain of the related RA),
from the agenda setting to the policy implementation).
79 Otoritas Independen di sektor finansial di negara-negara maju pada umumnya telah
memiliki fungsi dan kewenangan investigasi dan kewenangan untuk mengenakan sanksi
administratif, Lihat Julia Black and Stéphane Jacobzone, Tools For Regulatory Quality And
Financial Sector Regulation: A Cross-Country Perspective, OECD Working Papers on Public
Governance No. 16, 2009, page 24. Table 3: Comparison of formal function of independent
Financial Sector Regulator in USA, Canada, United, Kingdom, Australia& France
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
permasalahan kompleks di kehidupan yang semakin mengglobal.80
Dalam hal
keahlian/experitise ini, diyakini merupakan alasan klasik yang mendasari
dibutuhkan otoritas independen.81
Hal ini sejalan dengan pemikiran akademis di
bidang hukum administrasi James Landis yang menyatakan dalam kajiannya,
―With the rise of regulation, the need for expertness became dominant‖.82
Dengan
hadirnya otoritas independen ini diharapkan dalam menjalankan fungsinya yang
dipengaruhi oleh informasi-informasi ekonomi yang valid dan bukan oleh unsur-
unsur yang bersifat politis. Sudah tentu, adalah hal yang mustahil menghapus
unsur politis dan political judgement dalam operasional otoritas ini, apalagi ketika
otoritas independen telah dilengkapi dengan kewenangan diskresional. Namun
yang menjadi penting adalah bagaimana membuat unsur politis lebih diminimkan
dan mengedepankan keahlian dalam hal pembuatan keputusan otoritas.83
Lebih lanjut, dalam konteks birokrasi, birokrat/pejabat otoritas independen
pada umumnya cenderung tidak dapat dipengaruhi dengan mudah oleh politik
dibandingkan pejabat/politisi terpilih, yang mana harus sering mencari dukungan
politik untuk mendapatkan suara/vote agar terpilih kembali.84
Terbebas dari
kendala tersebut membuat birokrat independen dapat memprioritaskan kebijakan-
kebijakan jangka panjang dibandingkan tujuan-tujuan jangka pendek yang sering
80
StavrosGadinis, From Independence to Politics in Financial Regulation (August 27,
2012). California Law Review, Forthcoming; UC Berkeley Public Law Research Paper No.
2137215, page 1. (‖independent bureaucrats develop expertise by investing the time and energy to
build up know-how and by striving to identify and promote the public interest in an increasingly
complicated world‖)
81 Bressman & Thompson, Op.Cit.,, at 612 (―Independence was traditionally justified,
particularlyduring the New Deal era, as promoting expertise.‖); Lihat juga Neal Devins & David
E. Lewis, Not-So Independent Agencies: Party Polarization and the Limits of Institutional Design,
88 Boston University Law Review, 2008, at page 463(―Commission expertise is the traditional,
‗good government‘ justification for Congress‘s choice to create independent agencies.‖).
82 Charles H. Koch Jr., James Landis: The Administrative Process, Faculty Publications
College of William & Mary Law School, 48 Administrative Law Review, 1996, at page 427.
83 David E. Lewis, The Adverse Consequences of thePolitics of Agency Design for
Presidential Management in the United States: The RelativeDurability of Insulated Agencies,
British Journal of Political Science 34, 2004, page 377.(―finding that agencies insulated from
presidential control are more durable than other agencies‖).
84 Bressman & Thompson, Op.Cit., at page 599, 612 (―Proponents of agency
independence believe in the need to build an administration staffed by expert career bureaucrats,
rather than opportunistic political appointees. The see value in nurturing civil servants with deep
knowledge of their policy fields.‖).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
dilakukan oleh pejabat politik. Birokrat independen tersebut dapat dengan leluasa
merencanakan dan menjalankan parameter-parameter yang dibutuhkan dalam hal
mencapai kestabilan kebijakan, yang bertujuan pada kemajuan dunia bisnis dan
pertumbuhan ekonomi. Para politisi, sebaliknya, tidak mempunyai pemahaman
yang mendalam terkait bidang-bidang khusus ini, dan tentunya akan menemui
kesulitan untuk menjalankan disiplin ilmu yang sangat beragam ini.85
Sejalan dengan pendapat para ahli dan akademisi yang menyatakan
pentingnya presentasi dari lembaga/otoritas Independen dalam tata
kepemerintahan negara modern, namun juga tak kalah pentingnya bahwa secara
rasional pembentukan suatu lembaga independen tersebut adalah untuk menjamin
pembangunan sektor ekonomi akan terlindungi dari kepentingan politis jangka
pendek dan juga kepentingan-kepentingan tertentu dari sektor privat.86
Dari
perspektif kepemerintahan publik, regulator adalah ―suatu agency‖, yang
dipercayakan dengan kekuasaan/kewenangan yang signifikan sebagai otoritas
pengatur, dan diberikan independensi dalam tingkatan tertentu untuk proses
pengambilan keputusan mereka. Agencies dalam hal ini merupakan representasi
dari suatu bentuk desentralisasi dalam kepemerintahan, dengan model organisasi
modern, yang juga sering dikaitkan dengan konsep organisasi ―The New Public
Management‖ (NPM).87
Oleh sebab itu, sementara otoritas/agencies yang masih
bersifat konvensional tetap diharuskan bertanggung jawab kepada eksekutif
(bahkan walaupun mereka telah diberi otonomi dalam beroperasional dan
merancang anggaran), namun tetap saja otoritas independenlah yang sering
dirancang untuk dijamin kemandiriannya secara signifikan.
85
Jeffrey S. Banks & Barry R. Weingast, The Political Control of Bureaucracies under
Asymmetric Information, 36 American Journal of Political Science,1992, page 509.
86 Stéphane Jacobzone, Op Cit., Designing Independent And Accountable Regulatory
Authorities For High Quality Regulation, page 72.
87 Kempe Ronald Hope, ―The New Public Management: Context and Practice in Africa.‖
International Public Management Journal, vol. 4, 2001, page 122-126. (Hope has made a study on
NPM reforms used for the transformation of public sector management.Interestingly, he defined
delegation is the transfer of specific authority and decision-making powers to organizations that
are outside the regular bureaucratic structure and that are only indirectly controlled by a
government, such as regional development corporations, and semiautonomous agencies.
Delegation is seen as a way of offering public goods and services through a more business-like
organizational structure that makes use of managerial accounting techniques normally associated
with the private enterprise.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terkait teori ―agent-principal‖,
otoritas independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya berasal dari
pendelegasian kekuasaan oleh legislator melalui perundang-undangan, atau dapat
dikatakan bahwa otoritas independen bertindak sebagai "agent", bertindak untuk
dan atas nama dari legislator yang dalam hal ini disebut dengan―principal‖.
Diskusi dan kajian terkait isu pendelegasi kekuasan ini telah menjadi pembahasan
yang terfokus dalam bidang ilmu ekonomi dan sama halnya dengan di bidang
ilmu politik88
. Konsep pendelegasian kewenangan kepada suatu otoritas untuk
melakukan regulasi/pengaturan, telah menjadi praktik umum di beberapa negara
selama beberapa dekade.89
Alasan utamanya adalah jumlah aktifitas yang terlibat
dalam pengaturan dan pengawasan kegiatan di sektor ekonomi, dan ditambah
dengan semakin kompleksitas dari aktifitas tersebut. Delegasi tersebut terdiri dari
dua bentuk. Pendekatan tipe pertama, delegasi untuk Lembaga Kepemerintahan,
Kementerian khusus, Otoritas Lokal, atau lembaga resmi lain, yang mana telah
menjadi praktik umum di kebanyakan negara selama beberapa dekade.
Pendekatan tipe kedua, yaitu mendelegasikan kekuasaan pengaturan kepada suatu
lembaga independen adalah tipe yang populer belakang ini, walaupun diakui
belum dapat dikatakan telah menyebar luas dan diterima seluruhnya. Tipe ini
secara teoritis menawarkan kelebihan yaitu dari terlindung dari potensi intervensi
pasar dan campur tangan politik. Selain itu juga meningkatkan transparansi,
stabilitas dan keahlian dalam proses pengaturan dan pengawasan, terutama untuk
penanganan yang diperlukan untuk situasi yang kompleks seperti masa krisis.
88
David Sappington, "Incentives in Principal-Agent Relationships", Journal of Economic
Perspectives, 5(2), 1991, page 45-66.
89 Marc Quintyn & Michael W. Taylor, Regulatory and SupervisoryIndependence and
Financial Stability (Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 02/46,2002,, page 9.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
B. Otoritas Independen dalam Penyelenggaraan Kegiatan di Sektor Jasa
Keuangan
Diskusi tentang independensi, khususnya terkait otoritas penyelenggara
kegiatan sektor jasa keuangan, dapat dikatakan terhitung masih relatif baru.
Diskusi terkait independensi lembaga pengawas sektor finansial tersebut dimulai
dan terinspirasi oleh literatur dan referensi-referensi terkait Independensi dalam
lembaga Bank Sentral.90
Selain itu, semakin populernya diskusi-diskusi terkait
model yang paling sesuai pada otoritas pengaturan dan pengawasan, termasuk
juga struktur organisasinya, dikarenakan juga meningkatnya kajian terkait
pengintegrasian/penyatuan sistem pengawasan di sektor finansial atau terpisah
dari bank sentral.91
Lebih lanjut, diskusi ini akan menimbulkan perdebatan
seberapa besarkah tingkatan independensi yang dibutuhkan untuk lembaga
pengawasan baru yang terpisah dari bank sentral tersebut. Hal ini sebagai respon
dari argumen bahwa dalam fungsi pengawasan perbankan yang masih kurang
mendapat perhatian yang lebih dalam hal tingkat independesialitas, dibandingkan
fungsi menjaga kestabilan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral.92
Di sekitar awal 1990-an, hampir semua negara-negara barat yang
diprakarsai oleh Amerika Serikat, telah memperkuat independensi dari otoritas
90
Lastra (1996) dan Goodhart (1998) melalui kajiannya terhadap independensi di
kelembagaan Bank Sentral, dapat dikatakan merupakan akademisi pertama yang menekankan
diperlukannya prinsip Independensi di dalam pengaturan dan pengawasan di sektor finansial (non
monetary task).Lihat Rosa Maria Lastra, Central Banking and Banking Regulation, (London: LSE,
Financial Markets Group), 1996.; Lihat juga Charles Goodhart (ed) ‗The Emerging Framework of
Financial Regulation‘, a collection of compiled by the Financial Markets Group of the London
School of Economics (London: Central Banking Publications), 1998.
91 Donato Masciandaro, Marc Quintyn, andMichael Taylor,Financial Supervisory
Independence andAccountability – Exploring theDeterminants, IMF Working Paper WP/08/147,
2008, page 3 (―The public discussions regarding the establishment of the Financial Services
Authority (FSA) in the United Kingdom and the Australian Prudential Regulations Authority
(APRA) in Australia in the second half of the 1990s were the first ones that made explicit mention
of independence and accountability issues‖)
92 Eva Hüpkes, Marc Quintyn, and Michael W. Taylor,―The Accountability of Financial
SectorSupervisors: Principles and Practice‘, IMF Working Papers, No 05/51, March 2005, page
9. (―Referring to Lastra‘s observation that several central banks (e.g., Banque de France, Bank of
Spain) were granted a higher degree of independence for attaining their monetary policy
objectives than for their banking supervisory tasks‖).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
regulator khususnya di sektor financial.93
Negara-negara eropa dengan tekanan
dari regulasi di wilayah Uni Eropa kemudian juga mengenalkan konsep otoritas
independen regulator ini di reformasi sektor finansial dari sekitar pertengahan
tahun 1980an.94
Di Jepang, walaupun Pemerintah Pusat tetap mempertahankan
kewenangannya untuk mengintervensi pengawasan di sekor finansial namun
jarang bahkan tidak pernah menggunakan kewenangan tersebut.95
Kemudian
negara-negara yang pernah mengalami krisis financial yang cukup akut pada
tahun 1990an, seperti Indonesia, Mexico dan Korea, merespon hal ini dengan
juga memperkuat independensi dari lembaga regulator mereka.96
Dan pada tahun
sekitar 2008, sebagian besar negara di dunia telah mengadopsi suatu bentuk
lembaga independen ke dalam otoritas pengawasan sektor keuangan mereka.97
Selain dari pengaturan dalam hukum domestik di atas, dalam tataran
global organisasi-organisasi internasional yang aktif dalam kajian dan diskusi
tentang reformasi di bidang sektor finansial terus memberikan rekomendasi-
rekomendasi terkait otoritas independen. Sebagai contoh, misalnya IMF terus
aktif dalam menyampaikan pentingnya independensi dalam pengawasan sektor
93
Stavros Gadinis, Op.Cit., page 9 (―Independent agencies are The foundational element
of U.S. financial regulation. The Federal Reserve System, The FDIC, The SEC, and The CFTC
were inforced with strong guarantees of independence from the executive‖).
94 Fabrizio Gilardi, The Institutional Foundations of Regulatory Capitalism: The
Diffusion ofIndependent Regulatory Agencies in Western Europe, Annals of the American
Academy of Political and Social Science 598, 2005, page 84, 85. (―[Independent Regulatory
Agencies] have a longtradition in the United States, but in Europe they are a relatively recent
institutionalinnovation. . . . The number of IRAs has sharply increased since the mid-1980s.‖).
95 Stavros Gadinis & Howell Jackson, Markets as Regulators: A Survey, 80 Southern
California Law Review,2007, page 1307. (―Japan Financial Services Agency (JFSA) position in
the Japanese government structure is under the Prime Minister's Cabinet, some of its rules take
the form of an Ordinance of the Cabinet Office, which requires the Prime Minister's approval. In
practice, the Prime Minister has very rarely, if ever, exercised any powers to intervene in the
regulation of the securities markets. The availability of a direct channel for government
intervention at the highest level, however, may prove influential in its own right under certain
circumstances.‖)
96 Marc Quintyn, Silvia Ramirez & Michael W. Taylor, The Fear of Freedom: Politicians
and the Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, 37 Int‘l Monetary
FundWorking Paper No. 07/05, 2007, at page 21.
97 Steven Seelig & Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory and
Supervisory Agencies, Int‘l Monetary Fund, Working Paper No. 09/135, 2008, page 6–7.
(presenting a survey of 103 countriesdemonstrating that 75 percent of the sample space had
ensured operational independenceto their financial regulators).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
keuangan, dengan argumentasi bahwa intervensi dari kekuasaan politik di krisis
keuangan hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk.98
Sampai pada sekitar
akhir tahun 2000an, IMF terus melakukakan pemantauan terhadap situasi
reformasi regulasi di sektor keuangan dan terus mempertegas pentingnya otoritas
independen. Dalam catatannya, IMF menyimpulkan terdapat tingginya variasi
dalam struktur kelembagaan di otoritas independen di berbagai negara di belahan
dunia. Variasi tersebut misalnya terkait dengan tingkat kewenangan hukum yang
diberikan kepada anggota otoritas, kebijakan terkait anggaran atau independensi
sumber pendanaan (misalnya besarnya biaya iuran dari Industri yang diawasi),
dan kriteria-kriteria dalam pengangkatan dan pemberhentian kepegawaian otoritas
independen.99
Selanjutnya berdasarkan berbagai standar dan norma yang diakui secara
internasional (seperti misalnya Basel Core Principles for Effective Banking
Supervision (BCP), The IAIS - Insurance Core Principles and The IOSCO -
Objectives and Principles of Securities Regulation), independensi dalam
pengawasan dapat didefinisikan sebagai situasi di mana otoritas pengawas mampu
melaksanakan keputusan dan kekuasaannya secara independen terhadap
penegakan kebijakan prudential dan/atau melakukan pengaturan dunia bisnis,
tanpa dipengaruhi oleh pihak yang diawasi, Pemerintah, Parlemen, atau pihak-
pihak lain yang berkepentingan.100
Namun juga perlu diperhatikan
bahwa,independensi pengawasan sektor keuangan berbeda dari independensi
98
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial
Stability, page 7. (―making the case for the independence of financial regulators‖).
99 Ibid at page 23 (showing that ―about 78 percent of the countries surveyed have
putlegal immunity for all supervisory staff in the law[,] . . . in 16 countries, the [regulatoryagency]
can now issue binding regulations, while in another 12 countries, they can issues[sic] guidelines
with a more or less binding character[, and] in 22 countries, the[regulatory agency] is 100
percent funded outside the government budget‖).
100 Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking Supervision,
Core Principles for Effective Banking Supervision, September 2012. (Principle 2 – Independence,
accountability, resourcing and legal protection for supervisors: ―The legal framework for banking
supervision includes legal protection for the supervisor‖). Selain itu, dalamObjective and
Principleof International Organization of Securities Commissions(IOSCO), Financial Regulation
and Supervision, June 2010,mensyaratkan dengan tegas perlunya independensi lembaga pengawas
Pasar Modal. Dalam teks aslinya di point Principles Relating to the Regulator menyatakan bahwa,
The Regulator should be operationally independent and accountable in the exercise of its
functions and powers. Diunduh dari http://www.iosco.org/library/pubdocs/pdf/IOSCOPD323.pdf.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
bank sentral dalam menjaga kebijakan moneter, dalam arti bahwa di sektor
finansial, pemerintah (biasanya Menteri Keuangan) secara politis tetap
bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dikarenakan
kegagalan satu atau lebih lembaga keuangan, pasar atau infrastruktur dapat
memiliki implikasi serius terhadap ekonomi masyarakat luas. Konsekuensinya,
otoritas pengawas harus mempunyai tugas dan fungsi dengan jelas dan harus ada
pendelegasian kewenangan secara explisit melalui suatu proses legislasi.
Parlemen dan pemerintah tidak boleh secara langsung mengontrol otoritas
pengawas dan mengintervensi aktivitasnya setiap saat. Independensi dalam hal ini
haruslah seimbang dengan proses akuntabilitas yang transparan. Namun demikian,
negara tetap harus mempunyai mekanisme kontrol seperti memberikan perwakilan
pemerintah yang secara aktif berpartisipasi dalam manajemen di otoritas
pengawas. Kontrol mereka harus diberikan pembatasan-pembatasan yang tegas
seperti menggariskan kerangka hukum, menentukan tujuan strategi jangka
panjang, pengawasan kinerja, dengan kondisi bahwa hal ini dilakukan dengan
terbuka dan transparan.101
Terdapat dua alasan dalam hal penyerahan tugas pengaturan dan
pengawasan sektor finansial kepada suatu insitusi independen. Pertama adalah
terkait masalah keahlian/expertise, hal ini diperlukan karena sektor finansial
membutuhkan pemahaman dan keahlian teknis yang sangat mendetail. Pegawai
dari otoritas ini adalah spesialis-spesialis yang tahu bagaimana keuangan pasar
bekerja dan familiar dengan dunia bisnis, tipe-tipe transaksi, mekanisme
pelaksanaan, dan mengetahui catatan-catatan prosedural dari lembaga-lembaga
jasa keuangan yang besar. Dalam hal regulasi di sektor keuangan, birokrat/pejabat
ahli akan dapat lebih memahami kondisi keuangan lembaga yang rentan beserta
akibatnya untuk para pihak-pihak terkait. Di saat krisis, ketika waktu berjalan
dengan sangat singkat, independen birokrat ini dapat memahami secara cepat,
menganalisa informasi dan bereaksi dengan tepat terhadap situasi yang
berkembang. Terkadang, di dalam konteks tugas mereka dalam menangani situasi
101
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report, Brussels
25 February 2009, page 47. (―National authorities influence should be limited to the possibility of
amending the legal framework, imposing long-run strategic goals, and monitoring performance,
on the condition that this is done in an open and transparent manner‖.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
krisis, birokrat independen dapat menggunakan komunikasi langsung dengan
direksi/manager dari lembaga jasa keuangan, yang membantu mereka untuk
menemukan solusi-solusi yang inovatif, seperti misalnya merger dengan lembaga
keuangan lain, ketika krisis terjadi.102
Alasan yang kedua adalah selain dalam kelebihan di masalah keahlian
tersebut, otoritas independen juga dapat menjamin kestabilan dalam hal kebijakan
jangka panjang. Menurut kalangan para akademisi, paradigma dalam mendukung
terbentuknya otoritas independen ini, adalah merupakan aliran/school of thought
dari kebijakan di sektor moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral. Independensi
Bank Sentral dalam hal ini oleh para ahli dan akademisi dianggap telah dengan
baik memprioritaskan tugasnya dalam mencapai tingkat inflasi yang rendah dan
mampu untuk menstimulasi faktor-faktor ekonomi dalam jangka pendek, untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal dalam jangka panjang.103
Hal ini
dapat dibuktikan dari beberapa literatur yang menunjukkan bahwa negara yang
memperkuat independensi Bank Sentral mereka, dapat mencapai tingkat inflasi
yang rendah dan juga tingkat pertumbuhan dan investasi yang maksimal.104
Oleh
karena demikian, bahwa secara teoritis dan empiris bahwa otoritas independen di
sektor moneter seperti bank sentral dapat mengurangi ketidakpastian dan
mencapai kestabilan yang baik, para ahli juga kemudian mengaplikasikan konsep
ini di sektor-sektor yang berbeda selain moneter. Stabilitas dalam regulasi dan
kebijakan adalah hal yang penting khususnya terhadap investor swasta, terutama
dalam hal di mana model bisnis mereka terikat kerangka peraturan
102
Bressman & Thompson, Op Cit., at page 614 (―This ability, an expertise of asort, is
perhaps most essential for financial policy,specifically securities regulation,where the SEC
regularly interacts with the stock exchanges and other groups relevant tothe regulation of broker-
dealers and accountants.‖)
103 Kenneth Rogoff, The Optimal Degree of Commitment to anIntermediate Monetary
Target, 100 Quarterly Journal of Economics, November 1985,page 1169.(―Society cansometimes
make itself better off by appointing a central banker who does not share the social objective
function, but instead places ‗too large‘ a weight on inflation-rate stabilization relative to
employment stabilization.‖)
104 Alex Cukierman, Central Bank Independence and Monetary Policy making
Institutions – Past, Present and Future, 24 European Journal of Political Economy, December
2008, page 722, 728. (finding that ―the variabilities of both real and nominal rates of interest are
lower, and that the average real return to depositors is higher, in countries [where central banks
have] higher levels of actual independence‖).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
tertentu/spesifik. Investor swasta tentu akan menghindari bahwa manipulasi
negara dalam hal peraturan dan kebijakan yang tentu akan mempengaruhi
bussiness profit mereka kedepannya. 105
Oleh sebab itu, untuk mencegah hal ini,
negara dapat menciptakan suatu mekanisme untuk mengedepankan komitmen
dalam kestabilan hukum dan kebijakan secara jangka panjang, yaitu melalui
otoritas independen.106
Hal ini sebagai argumen bahwa kestabilan dalam
kebijakan peraturan sangat penting bagi lembaga jasa keuangan/investor, karena
sektor finansial adalah ―heavily regulated area of business activity‖ dan
perubahan yang seketika dalam kebijakan peraturan ini akan memakan biaya yang
besar kepada dunia industri.
105
Douglass C. North & Barry R. Weingast, Constitutions and Commitment: The
Evolution of Institutions Governing Public Choice in Seventeenth-Century England, 49 The
Journal of Economic History, 1989, page 803, 808 (―Our view also implies that the development
of free markets must be accompanied by some credible restrictions on the state‘s ability
tomanipulate economic rules to the advantage of itself and its constituents. Successful economic
performance, therefore, must be accompanied by institutions that limit economic intervention and
allow private rights and markets to prevail in large segmentsof the economy‖).
106 Witold Jerzy Henisz, Political Institutions and Policy Volatility, Economics and
PoliticsWiley Blackwell, vol. 16(1), 2004, page 1, 2.(―demonstrating‖ a strong relationship
between political institutions that provide checks and balances that limit the discretion of political
actors and policyvolatility in a broad sample of countries, time periods, and
macroeconomicenvironments‖).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
C. Indikator dan Ukuran Independensi Otoritas Pengatur dan Pengawas
Jasa Keuangan
Dalam mengkaji Independensi dari otoritas pengatur dan pengawas, perlu
dibedakan makna antara independensi tujuan/goal independence (yang mengacu
pada tujuan mandat dari legislator/parlemen kepada otoritas pengawas) dan
independensi instrument/instrument independence (yang mengacu pada
perumusan pelaksanaan praktek pengawasan dan pengaturan yang diserahkan
kepada kebijaksanaan pejabat spesialis/otoritas regulator).107
Peran yang tepat
bagi para parlemen adalah untuk mengatur dan menentukan tujuan dari
dibentuknya otoritas pengaturan dan pengawasan/goal independence, namun
otoritas regulator harus diberikan otonomi untuk menentukan bagaimana mereka
harus mencapai tujuan dan juga aspek akuntabilitas dalam hal
pertanggungjawabannya jika mereka gagal untuk mencapainya/instrument
independence
Dalam mengkaji instrument independence dan goal independence dari
otoritas regulator dan supervisor jasa keuangan, dapat dilakukan
identifikasi/pengukuran melalui empat dimensi independensi, yaitu aspek
pengaturan, pengawasan, kelembagaan, dan anggaran.108
Dua hal yang pertama
adalah ditandai sebagai fungsi inti dari aspek independensi otoritas pengatur dan
pengawas jasa keuangan, sedangkan dua hal yang terakhir sebagai fungsi
pendukung, sangat penting untuk mendukung pelaksanaan fungsi inti.
1. Independensi dalam Fungsi sebagai Regulator/Regulatory
Independence
Independensi dalam kaitannya, fungsi otoritas independen sebagai
pembuat regulasi/regulator adalah mengacu pada seberapa jauh tingkat
kewenangan suatu otoritas independen tersebut untuk men ‖set-up‖ suatu
regulasi/aturan (yang bersifat prudensial) terhadap sektor yang diawasainya,
107
Stanley Fischer, Central Bank Independence Revisited, American Economic Review,
Papers and Proocedings, Vol 85, May 1995, page 201-205.
108 Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial
Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
secara otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hukum yang
berlaku.109
Selain poin utama tersebut di atas, sebagai tambahan bahwa
diperlukannya independensi dalam fungsi sebagai regulator secara umum adalah
terkait kelebihan-kelebihan utama otoritas tersebut, seperti ―fast action‖ ketika
diperlukan, stabilitas kebijakan serta skill dan keahlian yang khusus dalam proses
pelaksanan tugas. Independensi sebagai regulator, juga tak dapat dipungkiri harus
dipenuhi seiring semakin mengglobalnya sektor finansial dewasa ini. Otoritas
regulator dalam hal ini harus berada dalam posisi yang kuat agar dapat
mengadaptasi regulasi secara cepat dan fleksibel yang mengacu pada
―internasional best practice‖
Sangat penting bagi otoritas pengatur dan pengawas di sektor finansial ini
untuk memiliki independensi dalam membuat regulasi-regulasi hukum khususnya
terkait prinsip prudensial (prinsip kehati-hatian). Regulasi terkait prinsip
prudensial ini menjadi penting karena mencakup aturan-aturan umum yaitu dalam
hal stabilitas industri keuangan beserta aktifitas-aktifitasnya di dalamnya (seperti
ketentuan persyaratan modal, kualitas aset, persyaratan dalam kualitas senior
manajemen) dan aturan-aturan yang bersifat khusus, yaitu merupakan pengaturan
atas sifat khusus dari lembaga jasa keuangan sebagai finansial intermediation
(seperti capital adequacy ratio, pembatasan dalam transaksi-transaksi yang
bersifat off-balance sheet activities, pembatasan kredit dalam hal Rasio exposure
single borrower, pembatasan pemberian kredit kepada individu/kelompok usaha
yang terkait dengan bank (connected lending), pembatasan dalam manajemen
risiko nilai tukar valas (foreign exposure) dan aturan dalam pengklasifikasian
kredit. Hal-hal diatas merupakan regulasi yang penting/fundamental dalam proses
penyelenggaraan pengawasan dan berimplikasi secara luas dalam kestabilan
sistem perbankan. Maka sebab itu dari perspektif regulatory independence,
otoritas regulator harus memiliki tingkatan otonomi yang tinggi dalam
109
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 8.(Prudential rules differ
from two other categories of regulations that govern banking: economic regulations,encompassing
controls over pricing, profits, entry, and exit; and information regulations, governing
theinformation that needs to be provided to the public at large and to the supervisors. These two
types of rules tendnot to be subject to frequent amendations and could, therefore, be left to the
lawmakers following a consultationprocess with the supervisors.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
menetapkan aturan-aturan terkait prinsip prudensial, yang mana hal ini merupakan
faktor penting untuk memastikan sektor finansial dapat berjalan sesuai dengan
―internasional best standartand practices‖.
Meskipun prinsip dari otonomi dalam aspek pengaturan ini sudah diterima
secara luas, namun pada kenyataannya sulit untuk diterapkan secara penuh dan
pengalaman menunjukkan bahwa prinsip ini di beberapa negara ternyata sangat
dipengaruhi juga oleh sistem hukum yang diterapkan di suatu negara, sehingga
dapat berimplikasi terhadap ketidakstabilan sektor keuangan.110
Di beberapa
negara, berdasar dari sistem hukum yang dianut, Undang-undang/Legislasi yang
disahkan cenderung terlalu mendetil sehingga hanya menyisakan sedikit ruang
untuk peraturan-peraturan pelaksanaanya. Dibawah sistem ini, ruang untuk
regulatory independence yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur dan
pengawas adalah sangat terbatas. Secara maksimal, otoritas pengatur dan
pengawas hanya diberikan kewenangan untuk membuat suatu tata pedoman (yang
tidak mengikat) atau suatu klarifikasi. Dan untuk dapat membuat suatu
peraturan/regulasi, otoritas tersebut harus membutuhkan suatu legislasi/undang-
undang baru atau revisinya. Kendala utamanya dalam sistem hukum ini,
amandemen ataupun suatu revisi legislasi terkadang membutuhkan waktu yang
panjang karena proses politik. Dan dalam menghadapi perkembangan dan
perubahan perekonomian yang serba cepat dan tanggap, seperti sektor perbankan
dan finansial, sistem ini tentu akan merugikan. Sedangkan pada negara dengan
sistem dan tradisi hukum yang berbeda, legislasi/perundang-undangan dibiarkan
hanya mengatur secara umum, menyisakan ruang yang besar untuk iniasiatif
regulator dalam tingkat teknis dan implementasi. Di bawah sistem ini, regulatory
independence mendapat porsi tingkatan yang lebih tinggi karena otoritas pengatur
memiliki kewenangan untuk membuat peraturan teknis dengan cara yang cepat
dan, oleh karena itu, tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pasar.
110
Quintyn &Taylor, Op Cit., Regulatory and Supervisory Independence and Financial
Stability, page 14 (Relation Between Legal System and Regulatory Independence)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
2. Independensi dalam Fungsi sebagai Pengawas/Supervisory
Independence
Fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan sektor finansial adalah dapat
dikatakan sebagai elemen yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan
sektor finansial merupakan sektor yang berhubungan langsunng dengan
masyarakat luas, yang mana merupakan hakikat dan prinsip dari lembaga finansial
sebagai intermediasi. On-site inspections and off-site monitoring, pengaturan
sanksi, and penegakan hukum—termasuk pencabutan izin/lisensi—adalah
alat/instrumen dari lembaga pengawas untuk memastikan kestabilan dari sistem
keuangan.
Kendati memang independen pengawasan mempunyai peran yang vital
dalam stabilitas sektor finansial, namun juga sangat sulit untuk menegakkan
sekaligus menjamin sistem pengawasan dibandingkan dimensi-dimensi yang lain
dari independensi. Hal ini dikarenakan, untuk mewujudkan sistem pengawasan
yang efektif, biasanya fungsi ini dijalankan secara tidak terlihat. Tapi di lain sisi,
hal ini justru mengakibatkan rentannya gangguan campur tangan pihak lain, baik
dari politik maupun industri yang diawasi. Campur tangan politik dan industri itu
sendiri, bisa dilakukan dengan berbagai bentuk, dan sering dilakukan dengan cara
yang kompleks, sehingga membuat sulitnya mewujudkan perlindungan kepada
lembaga pengawas dari segala bentuk campur tangan. Selain itu juga dapat terjadi
campur tangan dari pemerintah, yang seringkali dilakukan dengan cara
memberikan suatu kelonggaran, misalkan membiarkan suatu entitas bisnis untuk
tidak dijatuhi hukuman, tidak ditegakkannya sanksi— yang sering terjadi di
beberapa negara. Dalam beberapa kasus tertentu, hal ini akan memperpanjang
umur perusahaan tersebut walaupun ia insolvent (dan akan berakibat kepada
kompetisi yang tidak sehat dan biaya yang lebih tinggi bagi para pembayar pajak
di tingkat berikutnya), yang mana di sisi lain tentu hal ini akan berimplikasi
kepada stabilitas sektor tersbeut dan pada akhirnya berujung kepada masalah yang
sistemik.
Memastikan independensi dalam fungsi pengawasan, seperti
pemberlakuan dan penegakan sanksi, adalah hal yang sulit, meskipun efektivitas
aspek pengawasan jelas penting untuk kredibilitas dari proses pengawasan. Dan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
untuk memperkuat supervisory independence dalam aspek ini, salah satu yang
paling penting adalah bahwa otoritas pengawas harus mendapatkan kepastian
perlindungan hukum/legal indemnities dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka.
Adalah fakta bahwa keputusan hukum otoritas akan mempengaruhi akan
mempengaruhi kapasitas perusahaan atau industri untuk memperoleh penghasilan
bisnis. Biasanya keputusan hukum otoritas akan menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lain. Konsekuensinya adalah pihak yang dirugikan akan
menuntut ganti rugi secara hukum di mana mereka yakin bahwa keputusan
otoritas telah mengihlangkan hak-hak mereka. Bagi otoritas pengatur dan
pengawas, adalah penting untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kerugian
yang mungkin timbul akibat tindakan yang diambil, sepanjang tindakan tersebut
dikarenakan kepentingan nasional atau berdasarkan niat baik atau sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa
perlindungan tersebut akan sangat sulit untuk pengawas dalam menentuka
tindakan/keputusan dan tentunya akan sangat sulit untuk mendapatkan staf
pengawas yang berkualitas mengingat mereka harus menanggung resiko
pekerjaan yang sangat tinggi.111
Di banyak negara, pengawas masih ditemui
sering dituntut secara pribadi atas tindakan mereka. Tidak adanya jaminan
perlindungan hukum yang baik dapat berimplikasi pada paralyzing effect dalam
fungsi pengawasan. Salah satu solusinya adalah jaminan perlindungan hukum
terhadap otoritas pengawas ini harus dituangkan dengan tegas dalam perundang-
undangan.
Salah satu cara lain untuk memperkuat supervisory independence adalah
misalnya pemberian tingkatan upah/gaji yang tepat kepada pegawai pengawas --
sebagai upaya untuk menarik kualitas individu pengawas yang baik, yang lebih
confidence dalam bertugas dan tidak rentan terhadap sikap koruptif. Selain itu,
dalam hal terdapat keberatan atau gugatan balik kepada pegawai pengawas,
sebaiknya hanya dapat dilakukan melalu forum dewan peradilan yang khusus
(spesialist tribunals), yang dapat menjamin perlindungan terhadap
111
Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit
Buku Kompas, Februari 2004, hal 469-520.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
keberatan/gugatan dari entitas bisnis yang diawasi, atau kasus yang sengajakan
diajukan untuk mengganggu otoritas pengawas (vexatious case).
3. Independensi dalam Aspek Kelembagaan/Institutional Independence
Independensi dalam aspek kelembagaan mengacu pada status otoritas
sebagai sebuah institusi yang terpisah dari cabang eksekutif dan legislatif. Sebuah
lembaga yang merupakan bagian dari cabang eksekutif misalnya, seperti menteri
kementerian, biasanya minim independensi. Berikut ini adalah tiga unsur-unsur
penting Institutional Independence:
a. Persyaratan dalam penunjukkan dan penarikan pejabat level senior.
Independensi lebih terjamin jika ada aturan yang jelas pada perekrutan
dan pemecatan, yang mana harus berhubungan dengan kompetensi dan
keahliannya dalam bidangnya. Di bawah aturan seperti ini, pegawai
regulator akan mendapatkan kejelasan dari masa jabatan,
memungkinkan mereka untuk bekerja tanpa takut akan pemecatan
yang tidak wajar oleh pemerintah di kemudian hari. Idealnya, baik
legislatif dan eksekutif harus terlibat dalam proses pemilihan pegawai
senior.
b. Tata struktural dari otoritas. Keanggotaan komisi yang bersifat kolektif
(multi member comission) membantu memastikan konsistensi dan
keberlanjutan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu dan
cenderung tidak mudah terpengaruh oleh pandangan individual.
c. Keterbukaan dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Memang
tak dapat dipungkiri bahwa banyak keputusan otoritasyang berisikan
isu-isu komersial yang sensitif dan sulit untuk tidak diungkapkan ke
masyarakat. Namun harus juga disadari bahwa setiap proses
pengambilan keputusan harus dilakukan dengan prinsip keterbukaan,
dan memungkinkan baik masyarakat dan industri untuk dapat meneliti
kebijakan dan regulasi tersebut, yang mana hal ini dapat meminimilasi
risiko intervensi politik.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
4. Independensi secara dalam aspek anggaran/Budgetary Independence
Independensi dalam aspek anggaran mengacu pada kemampuan dari
otoritas pengawas untuk menentukan besar anggaran mereka sendiri dan sumber
alokasi anggaran, serta prioritas dalam menggunakan anggaran tersebut. Otoritas
pengawas yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dalam aspek
budgetary independence akan lebih tangguh dalam menghadapi pengaruh politik
(yang dapat mengintervensi melalui supresi anggaran) agar dapat bergerak cepat
dalam kebutuhan yang mendesak di sektor finansial dan memastikan sistem
penggajian mereka akan cukup menarik dalam merekrut staf yang kompeten.
Otoritas pengawas yang dibiayai melalui suatu kementerian yang
mempunyai pelaksanaan fungsinya sendiri, ataupun melalui pemberian dari
anggaran pemerintah, dapat dikatakan cenderung terbuka dan lemah dari berbagai
bentuk intervensi politik. Hal ini dapat dijelaskan ketika otoritas pengawas
tersebut dianggap secara politik lebih ketat pada jaringan pelaku usaha tertentu,
pemerintah dapat mengintervensi dengan menahan atau mengurangi anggaran
yang diberikan. Lebih lanjut, dapat juga terjadi anggaran otoritas pengawas
dipotong oleh Pemerintah dengan dalih kebijakan fiskal yang mendesak, yang
mana perlu menjadi catatan situasi ini biasanya datang bersamaan dengan
permasalahan perbankan yang membutuhkan atensi lebih dari aspek pengawasan.
Jika, dengan alasan apapun, bahwa pendanaan otoritas pengawas diharuskan
bersumber dari anggaran Pemerintah, akan lebih baik jika rencana anggaran
pengawasan harus dibuat dan diputuskan oleh otoritas pengawas, tentunya
berdasarkan kriteria objektif yang terkait dengan perkembangan di pasar
keuangan.
Adapun anggaran otoritas yang bersumber dari industri bisnis yang
diawasi mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemberian
anggaran dari pemerintah, seperti misalnya mengurangi lingkup dari campur
tangan politis dan tingkat kebebasan yang lebih tinggi untuk otoritas menentukan
anggarannya sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya. Namun
perlu juga disadari hal ini memiliki risiko jika iuran/fee dari dunia industri yang
belum terstruktur dengan stabil, dapat berimplikasi pada ketergantungan yang
tinggi terhadap industri dan dapat berakibat melemahkan kemandirian otoritas
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
pengawas. Untuk mencegah ―industry capture‖ dan memastikan iuran yang
ditetapkan adalah wajar, di beberapa negara tingkat iuran ini ditentukan bersama
oleh otoritas pengawas dan pemerintah. Anggaran otoritas pengawas dengan fee-
based system juga rentan terhadap risiko sumber pendanaan otoritas akan sangat
terbatas khususnya ketika industri yang diawasi mengalami kelesuan.
Berdasarkan dari aspek operasional independensi suatu otoritas, Quintyn,
Ramirez & Taylor mengidentifikasi 17 (tujuh belas) tipe/kriteria pengukuran
independensi yang ditarik dari empat indikator diatas.112
Banyaknya jumlah
kriteria tersebut lebih banyak dari independensi bank sentral pada umumnya. Hal
ini dikarenakan tingkatan tugas yang lebih tinggi dalam hal kompleksitas regulasi
perbankan, dan khususnya pengawasan, dibandingkan dengan tugas dalam
kebijakan moneter. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan bahwa nilai
kriteria yang tidak mencerminkan independensi. Nilai 2 mengindikasikan bahwa
kriteria otoritas tersebut sudah sepenuhnya independen. Nilai 1 berarti bahwa
otoritas tersebut hampir dapat mencapai independensi secara penuh. Sedangkan
nilai -1, mengindikasikan bahwa kriteria tersebut merupakan contoh dari ―bad
practices‖ dari aspek indipendensi suatu otoritas pengaturan dan pengawasan
sektor jasa keuangan.
Kriteria Penilaian -1 0 1 2
Independensi
1. Independensi Kelembagaan
Apakah Otoritas mempunyai dasar hukum (undang-undang,
peraturan, dll)?
Tidak Ya
Apakah hukum/UU menyatakan otoritas tersebut independen? Tidak Ya
Bagaimana prosedur pengangkatan pimpinan dan pejabat
tinggi?
Oleh
Pemerintah
Oleh Kepala Negara
berdasar dari usulan
pemerintah/
perdana menteri
Oleh Parlemen
berdasar dari
usulan
pemerintah
Apakah badan pembuat keputusan adalah dewan atau kepala
pimpinan (single person)?
Hanya Kepala
Pimpinan
Kolegial dan
Kolektif
112
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Siapa yang mempunyai ―legal imdemnities‖/perlindungan
hukumatas tindakan yang dilakukan dengan itikad baik?
Tidak siapapun
di otoritas
Hanya
PejabatTinggi
Semua Pegawai
Apakah ada Anggota Parlemen/legislator yang menduduki
sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya Tidak
Apakah ada Pejabat Pemerintah yang menduduki sebagai
anggota dewan pengendali kebijakan otoritas?
Ya Tidak
Apakah UU memberikan Pemerintah/Kementerian Keuangan
kekuasaan pengawasan/kontrol terhadap otoritas?
Ya Tidak
Apakah UU menmpunyai definisi yang jelas terhadap
pemberhentian Pimpinan otoritas?
Tidak ada Ada, tapi tidak
secara spesifik Ya
2. Independensi Regulator
Dapatkah otoritas secara otonom mengeluarkan regulasi
(prudensial) hukum yang mengikat kepada sektor yang
diawasi?
Tidak Tidak, tapi dapat
mengeluarkan
peraturan pedoman
yang tidak
mengikat
Ya
3. Independensi Supervisor
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan
dan mencabut lisensi (izin)?
Tidak punya Setelahberkonsulta
si dengan
Pemerintah atau
otoritas lain
Ya
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk memberikan
pengaturan dan penegakkan sanksi kepada industri yang
diawasi?
No Ya
4. Independensi Anggaran
Bagaimanakah pendanaan anggaran otoritas? Hanya melalui
anggaran dari
pemerintah
Perpaduan formula
iuran industry dan
anggaran bank
sentral, yang
disertai anggaran
pemerintah
Melalui iuran
industri, melalui
anggaran bank
sentral, atau
perpaduan antara
keduanya, tetapi
tidak ada
anggaran dari
pemerintah
Adakah kewajiban otoritas untuk melaporkan anggaran
kepada pemerintah untuk disetujui (termasuk persetujuan
tentang struktur anggaran)?
Ya Terpisah, seperti
misalnya dalam
hal struktur
anggaran
Tidak
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk
menentukan sistem penggajian pegawai?
Tidak Ya
Apakah Otoritas mempunyai kewenangan untuk melakukan
perekrutan pegawai?
Tidak Ya
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Sementara itu, Darmin Nasution dalam kajiannya tentang konsep
pembentukan OJK di Indonesia mengusulkan beberapa ukuran-ukuran terkait
independensi OJK, yaitu sebagai berikut:113
a) OJK harus berdiri sebagai badan independen secara hukum untuk
menegaskan kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan
dalam undang-undang pembentukannya.
b) Presiden dapat memberikan arahan kepada OJK setelah berkonsultasi
dengan OJK sepanjang menyangkut kepentingan nasional; arahan ini
hanya berupa kebijakan umum, secara tertulis dan dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia
c) Pegawai OJK harus memiliki kekebalan terhadap tuntutan perdata
dalam menjalankan tugasnya apabila pelaksanaan tugas tersebut
dilakukan dengan itikad baik
d) OJK sendiri harus terlindungi dari tuntutan perdata apabila
pelaksanaannya telah bertindak dengan itikad baik sesuai kewenangan
yang dimiliki lembaga ini
e) Pimpinan (dewan komisioner) hanya dapat diberhentikan dari
jabatannya dalam kondisi sebagai berikut:
- Berhenti secara otomatis apabila telah mendapatkan vonis pidana
atau bangkrut
- Presiden dapat memberhentikan dengan alasan ketidakmampuan
mereka secara fisik atau mental
f) Pihak lain dilarang untuk mempengaruhi atau berusaha mempengaruhi
keputusan atau tindakan OJK. Para penyelenggara OJK harus
diarahkan untuk mengabaikan pengaruh tersebut. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk mencegah berkonsultasi secara normal atau
melayani pengaduan dari pihak-pihak lain
113
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Apakah otoritas mempunyai kewenangan untuk
menentukan struktur organisasi internal?
Tidak Ya
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
g) Independensi adalah suatu konsep yang diartikan dan
diimplementasikan yang dapat berbeda pada negara dan kebudayaan
yang berbeda. Hal tersebut disebabkan karena kondisi dan konteks
yang berbeda antara satu negara dengan negara lain tergantung kultur
pengaturan yang ada dan obyektif yang diharapkan
h) Sehubungan dengan independensi ini, untuk meningkatkan
keefektifan pengaturan dan pengawasan sebagai jaminan untuk
mencapai tujuan-tujuan pengaturannya sebagaimana diamanatkan di
dalam Undang-undang tentang OJK, maka OJK harus:
Bekerja secara profesional dan memiliki integritas yang baik;
Membuat pengaturan dengan berdasarkan pada kriteria yang
obyektif;
Bekerja secara bebas dari pengaruh pihak lain dengan cara
menghilangkan pengaruh-pengaruh yang tidak relevan
semaksimal mungkin.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik dan
Industri Jasa Keuangan
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa Independensi terdiri dari dua
intrepetasi, yaitu independensi dari aspek politik dan intervensi dari industri jasa
keuangan yang diawasi. independensi dalam aspek politik terjadi ketika
politisi/parlemen cenderung ingin mempengaruhi otoritas pengatur dan pengawas,
agar mereka menghindari langkah-langkah yang terlalu tegas terhadap bank lemah
(misalnya melikuidasi bank) yang dapat berimplikasi negatif pada
konstituen/voter mereka. Para depositor yang dalam hal ini voter dari para politisi
tersebut tentu akan meminta pertolongan/bantuan dari politisi yang terpilih untuk
membantu mereka agar otoritas pengawas tidak melakukan langkah-langkah
kebijakan yang dapat membahayakan dana mereka. Sudah tentu intervensi yang
bersifat politis ini sangat berbahaya, karena parlemen akan menggunakan
pengaruhnya yang cenderung bersifat jangka pendek dan bertentangan dengan
long-run purposes of an economy. Tentu hal ini harus dapat dihindari oleh otoritas
pengawas, karena argumen dari independensi otoritas pengatur dan pengawas
sektor menjamin adalah untuk menjamin stabilitas keuangan. Sedangkan dalam
aspek independensi dari industri finansial yang diawasi, adalah terkait motivasi
para pelaku bisnis yang mempengaruhi otoritas pengatur dan pengawas agar
melindungi kepentingan mereka dari pada kepentingan publik/masyarakat. Seperti
halnya tekanan yang bersifat politis, suatu kelompok industri juga dapat
memainkan peran dalam melemahkan keefektifan suatu regulasi. Stigler (1971),
melalui suatu artikel yang memberikan analogi tentang ―principal-agent‖114
,
menjelaskan bahwa birokrasi lebih sering mementingkan kepentingan dari suatu
kelompok industri yang teroganisir dibandingkan delegasi politik ataupun
kepentingan publik/masyarakat. Sehingga pada akhirnya otoritas pengawas sering
membuat suatu peraturan yang diformulasikan dengan tujuan meminimalisi beban
industri, yang pada akhirnya akan mengorbankan kepentingan
masyarakat/konsumen. Oleh sebab itu, mencapai kedua tipe independensi
114
George J.Stigler,The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics and
Management Science, Vol 6 No.2, 1971.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
tersebut, baik dari aspek politik maupun industri adalah suatu hal yang bersifat
esensial bagi penyelenggaraan kegiatan jasa keuangan.
1. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Politik
Sebelumnya telah dijelaskan beberapa aspek intervensi politik dari
penyelenggaraan dan pengaturan sektor finansial yang dijalankan oleh otoritas
independen, seperti misalnya dalam aspek ―agent-principal‖, otoritas Independen
dalam menjalankan tugas dan fungsinya berasal dari pendelegasian kekuasaan
oleh legislator melalui perundang-undangan. Dalam konsep tersebut otoritas
digambarkan akan sangat rentan dari pengaruh politis dari parlemen atau
legislator yang cenderung akan lebih mementingkan short-term goal prioritize
dalam mempengaruhi kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh otoritas. Hal ini
terjadi karena tentunya politisi akan mencari cara agar mereka dapat terpilih
kembali ke dalam parlemen, yang mana hal ini biasanya didapat dari dukungan
private business entity yang membantu mereka dalam hal pendanaan dan politic
campaign. Sebagai contoh intervensi politik adalah parlemen yang mempunyai
fungsi sebagai legislator tersebut hanya akan memberikan kekuasaan/wewenang
yang tidak penuh/terbatas, yang membuat otoritas independen ini akan
membutuhkan dukungan para politisi agar kebijakan-kebijakannya dapat tercapai.
Atau contoh selanjutnya, politisi tersebut akan membatasi anggaran dari otoritas
tersebut.
Beberapa ahli berpendapat bahwa, tujuan utama dibentuknya otoritas
independen adalah untuk melindungi atau menjamin pelaksanaan fungsi dan
tujuan otoritas tersebut dari tekanan-tekanan yang bersifat politis.115
Sejalan
dengan hal tersebut, Breger & Edles (2000) mengatakan bahwa, otoritas tersebut
adalah lembaga yang independen/bebas dari political will yang dijalankan oleh
cabang eksekutif.116
Devins & Lewis (2008), otoritas independen lebih disukai
115
Paul R. Verkuil, The Purposes and Limits of Independent Agencies, Duke Law
Journal, 1988, page 259–60. (the characteristics of independent agencies are ―designed to isolate
those decisionmakers from politics‖).
116 Breger & Edles, Op Cit., page 1111, 1113. (They are ‗independent‘ of the political will
exemplified by the executive branch, yet they are also multimember organizations, a fact that tends
toward accommodation of diverse or extreme views through the compromise inherent in the
process of collegial decisionmaking.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
untuk menjalankan fungsi eksekutif di pemerintahan karena sifat ―political
insulation‖, yang dimaksudkan otoritas dapat memfasilitasi sektor disiplin/ranah
nonpolitik dimana para profesional otoritas dapat menerapkan pengetahuan
mereka untuk masalah-masalah kebijakan yang kompleks.117
Levinson & Pildes
(2006), juga menyatakan bahwa otoritas independen dibentuk untuk membatasi
political power parlemen yang berpotensi mengontrol suatu sektor secara
berlebihan.118
Namun di sisi lain intervensi politik terhadap otoritas terlihat
negatif, namun hal ini cenderung menimbulkan perdebatan. Dalam konteks checks
& balances, dijelaskan bahwa political pressure sebenarnya juga merupakan
perwujudan aspek akuntabilitas dalam proses berdemokrasi, yang mana hal ini
adalah merupakan karakter dari suatu negara demokrasi modern.119
2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Intervensi Industri Jasa
Keuangan
Dalam penyelenggaraan suatu pengaturan dan pengawasan di sektor
finansial sering terjadi suatu situasi atau keadaan dimana regulasi-regulasi yang
diterbitkan oleh otoritas akan terpengaruh atau diintervensi oleh kelompok
industri bisnis, yang mana hal ini dilakukan agar regulasi atau kebijakan dalam
sector finansial tersebut lebih mengedepankan kepentingan bisnis mereka,
fenomena ini sering disebut dengan istilah ―Industry Capture‖ atau ―Regulatory
Capture‖.120
Fenomena ini menurut para praktisi hukum, akademisi, legislator
117
Devins & Lewis, Op Cit., page 463.(―Independent agencies are preferred to executive
agencies because long commissioner tenure, staggered terms, and political insulation are intended
to facilitate a nonpolitical environment where regulatory experts can apply their knowledge to
complex policy problems‖).
118 Daryl J. Levinson & Richard H. Pildes, Separation of Parties, Not Powers, 119
Harvard Law Review, 2006, page 2376–77.(―These institutions were conceived as means to limit
the sphere over which partisan political power could exert control‖).
119 Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional
Design, Texas Law Review, Vol. 89, NYU School of Law, Public Law Research Paper No. 10-82,
2010, page 19. (After all, one person‘s political pressureis another person‘s democratic
accountability. What policy makers whoseek insulation want to avoid are particular pitfalls of
politicization, such aspressures that prioritize narrow short-term interests at the expense of
longtermpublic welfare).
120 Rachel E. Barkow, Op Cit., page 21. (Capture, for the purposes of agency design, may
be defined as responsiveness to the desiresof the industry or groups being regulated). Lihat Roger
G. Noll, Reforming Regulation: An Evaluation of the Ash Council Proposals,(Washington DC:
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
dan bahkan juga oleh anggota otoritas, bahwa sudah merupakan sesuatu yang
lazim ketika pengambilan keputusan otoritas dalam menerbitkan regulasi, sering
menerbitkan kebijakan-kebijakan yang lebih memprioritskan kepentingan dunia
industry yang diawasi.121
Menurut ahli Amanda Rose dalam penelitiannya di
Pasar Modal Amerika (U.S. Securities and Exchange Commission), fenomena
Industry Capture hampir selalu terjadi di penyelenggaraan pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh otoritas.122
Bahkan walaupun otoritas dalam
pelaksanaan awalnya terlihat menjanjikan dengan independensi dan regulasi yang
kuat, namun pada perjalanannya tetap saja otoritas akan lebih cenderung
mempunyai ketergantungan terhadap industri yang mereka awasi.123
Menurut
Barkow (2010), akan sulit untuk memastikan ketika keputusan otoritas tersebut
apakah dalam pengaruh tekanan dari grup industri atau sebaliknya sebagai
pelaksanaan dari keputusan otoritas sebagai lembaga yang independen.124
Fenomena Industry Capture dapat dijelaskan melalui beberapa alasan.
Pertama, Industri Jasa Keuangan yang diawasi pada umumnya adalah pelaku
usaha yang well-financed and well-organized, khususnya ketika dibandingkan dan
berhadapan dengan kepentingan public dan kelompok masyarakat pada
The Brookings Institution), 1971, page 99–100. (explaining that capture happens most often when
an agency assigns undue weight to theinterests of the regulated industries as against those of the
public); Lihat juga Steven P. Croley, Theories ofRegulation: Incorporating the Administrative
Process, 98 Columbia Law Review, 1998, page 1, 5. (describing gthe concept of agency capture
as an essential component of the public-choice theory of regulatoryprocess, which maintains that
agencies cater to the regulatory needs of well-organized interest groups).
121Richard B. Stewart, The Reformation of American Administrative Law, 88 Harvard
Law Review, 1975, at page 1713. (Stewart has observed, ―[i]t has become widely accepted, not
only by public interest lawyers, but by academic critics, legislators, judges, and even by some
agency members, that the comparative overrepresentation of regulated or client interests in the
process of agency decision results in a persistent policy bias in favor of these interests.)
122 Untuk melihat beberapa kajian tentang Industri Capture di SEC, Lihat Amanda M.
Rose, The Multienforcer Approach to Securities Fraud Deterrence: A Critical Analysis, 158
University of Pennsylvania Law Review, 2010, page 2209 footnote.88
123 Thomas W. Merrill, Capture Theory and the Courts: 1967-1983, 72 Chicago-Kent
Law Review #4 (1997), page 1060
124 Rachel E. Barkow, Op Cit., page 23, (To be sure, it is sometimes hard to identify when
an agency decision is the product of undue interest group pressure as opposed to an exercise of
the agency‘s independent judgment).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
umumnya.125
Selain itu juga, dunia industri mempunyai kompetensi dan kapasitas
yang lebih baik dalam memonitor otoritas secara ketat, dan menchallenge
keputusan/kebijakan otoritas yang dapat berpengaruh negative kepada mereka.126
Di lain sisi, tentunya otoritas akan lebih memilih untuk tidak dihadapkan dengan
situasi legal challenges tersebut, dan oleh sebab itu mereka akan lebih bekerja
sama dengan kepentingan dunia industri tersebut daripada menentang mereka.
Walaupun memang terdapat beberapa kelompok penting dan berpengaruh yang
berusaha untuk merepresentasikan kepentingan publik, namun pada umumnya
kelompok ini tidak mempunyai pendanaan dan sumber daya yang kuat dan
memadai. Dengan keadaan demikian, kelompok ini tidak dapat memonitor dan
menentang aturan-aturan dan kebijakan otoritas yang berpotensi negative kepada
publik, dan tentunya tidak dapat mengerahkan kekuatan dan sumber daya mereka
di bandingkan ketika representasi dunia industry saat mereka melakukan suatu
challenge kepada otortias.127
Faktor kedua yang membuat entitas industri bisnis dapat menggunakan
pengaruhnya terhadap otoritas pengawas adalah terkait keunggulan
informasi/information advantage yang mereka miliki. Suatu otoritas agar dapat
meregulasi industri dengan efektif, tentunya perlu untuk mengetahui how the
industry works dan kapabalitas dari masing-masing entitas industri tersebut.
Namun pada praktiknya informasi-informasi tersebut biasanya dikontrol secara
eksklusif dan tertutup oleh entitas bisnis tersebut.128
Selain itu, ―agency capture‖
125
George J.Stigler, Op Cit., at 12. (―Well-organized and tightly knit constituencies will
inevitably have an organizational advantage over a dispersed public when it comes to providing
―the two things that a [political] party needs: votes and resources.‖)
126 Nicholas Bagley & Richard L. Revesz,Centralized Oversight Of The Regulatory State,
106 Columbia Law Review, 2006, at 1298 (―[I]ndustry will have an advantage in monitoring
agencies and insetting off [fire] alarms when its interests are threatened.‖). Lihat juga Croley, Op
Cit., at page 126. (summarizing studies showing that regulated interests participate to a much
greater extent thanpublic interest groups)
127 Scott R. Furlong & Cornelius M. Kerwin, Interest Group Participation in Rule
Making: A Decade of Change, 15 Journal of Public Administration Research and Theory 353,
2005, at page 361. (finding that businessesare participating twice as much as public interest
groups); Lihat juga Mark Seidenfeld, Bending the Rules: FlexibleRegulation and Constraints on
Agency Discretion, 51 Administrative Law Review, 1999, at page 464 (―A regulated entity
frequently is a large corporation with resources to appeal agency decisions at everylevel.‖).
128 Mark Seidenfeld, ibid, at page 464. (―They (regulated industry), often have
information without which a regulatory agency cannot do its job‖).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
diperburuk dari kenyataan bahwa kelompok industri memiliki pengaruh yang
cukup kuatdalam hal lobi dan kampanye politis, yang mana hal ini berpengaruh
kepada parlemen yang akan melakukan pengawasan yang eksesif/berlebihan
kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh komite/komisioner otoritas. Keadaan
demikian akan berdampak negatif kepada aspek pengambilan keputusan otoritas
dan lebih lanjut akan memperlambat agenda dan program kebijakan otoritas.129
Para ahli sejak lama telah mengkhawatirkan pengaruh dari kelompok industri
yang memiliki kekuatan ekonomi dan sumber daya yang besar akan dapat
―mengcapture‖ para pembuat kebijakan untuk membuat regulasi yang
menguntungkan mereka.130
Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa para pelaku
industri mempunyai motivasi untuk melakukan penyuapan atau suatu
pembayaran atas hasil kerugian yang mereka prediksi akan terjadi jika rencana
kebijakan yang terlalu ketat/merugikan diterapkan oleh otoritas.131
Adapun beberapa kalangan mengutarakan argumen lain terkait faktor-
faktor yang mendukung terjadinya ―industry capture‖. Salah satunya adalah
terkait isu keahlian/expertise dari para profesional yang berada di otoritas.
Walaupun di satu sisi expertise dari para profesional ini merupakan suatu hal yang
positif dalam operasional otoritas, namun di lain sisi hal ini justru akan lebih
menguntungkan para entitas industri itu sendiri, dimana para profesional yang
berlatar berlakang karir di dunia industri tersebut akan berbagi pengetahuannya
dalam konteks industri worldview/sudut pandang industri dan dalam
mengeluarkan regulasi tentu akan berdasarkan perspektif dunia industri, fenomena
ini sering disebut dengan istilah ―revolving-door phenomenon‖.132
Selain itu
129
R. DeShazo & Jody Freeman, The Congressional Competition to Control Delegated
Power, 81 Texas Law Review 1443, 2003, at page 1489–90 (explaining that an oversight
committee‘s actions ―can obstruct and delay the agency‘s agenda‖ and influence its decisions);
130 Sam Peltzman, Toward a More General Theory of Regulation, The Journal of Law and
Economics University of Chicago Press Journals (19:2), 1976, at page 211. (Peltzman presented
politicians astrading the loss of votes arising out of industry favors with political gains associated
withgreater financial support from this industry.)
131 Stavros Gadinis, Op.Cit., page 17. (industry players have an incentive to offer to
regulators bribes or other payoffs up to the level of losses they expect from the implementation of
a tight regulatory proposal)
132 Sebagai bahan bacaan untuk isu revolving door tersebut, dapat dibaca kajian dari
Project On Government Oversight (POGO) terhadap fenomena Revolving Door yang terjadi di
Komisi Pasar Modal Amerika (SEC), dalam kajian yang berjudul Revolving Regulators: SEC
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
dalam konsep revolving door phenomenon ini, industri capture sering terjadi
karena otoritas akan terus berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan industri
bisnis, dengan harapan ke depannya agar pegawai otoritas tersebut dapat
bergabung kembali ke dalam manajamen entitas bisnis di saat masa kerja mereka
di otoritas telah berakhir.133
Dengan demikian, otoritas tidak akan berusaha
membuat suatu regulasi yang akan dianggap memberatkan entitas industri atau
heavy hand regulatory.
Faces Ethics Challenges with Revolving Door, May 2011, diunduh dari
http://www.pogo.org/pogo-files/reports/financial-oversight/revolving-regulators/fo-fra-
20110513.html, lihat pada bagian Executive Summary, yang menjelaskan kritik terkait anggota
komisi SEC yang meninggalkan SEC dan bergabung ke private bussiness entities yang diawasi
oleh SEC dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, (―Several critics, including Members
of Congress, have said the SEC‘s integrity has been undermined by the ―revolving door‖—where
former SEC employees go to work for entities overseen by the Commission. The revolving door
also operates in the opposite direction, where individuals come from entities regulated by the SEC
to work for the Commission. The general concern is that a conflict of interest could bias SEC
oversight and undermine public confidence in the SEC‘s work.)
133 Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional
Design, Texas Law Review, Vol. 89, 2010, NYU School of Law, Public Law Research Paper No.
10-82, page 23. (Problems might arise when agency officials are considering leaving the agency,
tempted by higher compensation in private firms. With their next move in mind, agency officials
might display a more favorable stance towards those they see as their future employers).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Independen dalam
Penyelenggaraan Kegiatan Sektor Jasa Keuangan
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas, telah menjadi kajian yang menarik para sarjana dan menjadi
central point agenda dunia.134
Ketertarikan intelektual terhadap akuntabilitas
bukan saja disebabkan akuntabilitas telah menjadi eloborasi intelektual dalam
literatur di bidang administrasi publik serta menjadi karakter dan prinsip good
governance, tetapi juga menjadi dasar yang fundamental dari prinsip-prinsip
masyarakat yang demokratis.135
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme dan bentuk pertanggungjawaban suatu otoritas terhadap tugas yang
menjadi kewajibannya. Sedangkan menurut The Oxford Advace Learner‘s
Dictionary yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (2000) akuntabilitas
diartikan sebagai ―required or expected to give an explanation for one‟s action‖.
Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa
yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban dan menerangkan kinerja atas tindakan
seseorang/badanhukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.136
Selanjutnya, Kinney dan Howard (1979) dalam Fernanda (2002)
mendefinisikan akuntabilitas adalah sesuatu keadaan dimana seseorang yang
memiliki dan menggunakan sesuatu kewenangan tertentu diharapkan dapat
dikendalikan dan pada kenyataannya memang terbatasi ruang lingkup penggunaan
kekuasaan dan kewenangannya itu oleh instrumen pengendalian eksternal,
termasuk oleh sistem nilai internal yang berlaku dalam institusi yang
bersangkutan.137
Sedangkan Chandler dan Plano (1982) mengartikan akuntabilitas
134
Mark Bovens, Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual Framework,
European Law Journal, 13 (4), 2007, page 447-468
135 Peter May, Regulatory regimes and accountability, Regulation & Governance, (2007)
1, page 8–26
136 Lembaga Administrasi Negara RI, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul
Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta, 2000
137 Fernada, D. 2002. ―Sistem Perencanaan dan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah
Daerah‖ Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor2061, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,
LAN, Jakarta.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
sebagai ―refers to the instituation of checks and balances in an administrative
system‖, akuntabilitas yang merujuk pada institusi tentang ―checks and balances‖
dalam sistem administrasi.138
Selanjutnya, Jabra dan Dwivedi (1989)139
mengemukakan
bahwa:―Accountability is the foundamental prequisite for preventing the abuse of
delegated power and for ensuring instead that power is directed toward the
achievement of broadly accepted national goal with the greatest possible degree
of efficiency, effectiveness, probity, and produce‖. Lebih lanjut mereka
menjelaskan bahwa akuntabilitas merupakan pondasi bagi proses
penyelenggaraan pemerintahan, dan efektivitas proses itu tergantung pada
bagaimana mereka yang berwenang mempertanggungjawabkan dalam memenuhi
tanggung jawab mereka secara konstitusional dan legal. Pertanggungjawaban
adalah merupakan prasyarat pokok untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan yang didelegasikan dan sekaligus untuk memastikan bahwa kekuasaan
itu diarahkan menuju pencapaian tujuan organisasidengan derajat efisiensi,
efektivitas, kejujuran dan kebijaksanaan.
Aspek akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas dan
fungsi yang dijalankan oleh otoritas independen. Independensi yang tidak disertai
dengan akuntabilitas akan menjadi suatu absolutisme, dan berpotensi terjadinya
suatu abuse of power, benturan kepentingan, fraud ataupun penyimpangan
lainnya. Menurut pendapat Rizal Ramli dalam mengkomentari akuntabilitas dari
otoritas independen seperti Bank Indonesia, bahwa independensi yang tidak
disertai dengan akuntabilitas akan menjadikan lembaga tersebut menjadi seperti
―negara di dalam negara‖.140
Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan
Darmin Nasution, bahwa independensi tidak sama dengan bebas. Meskipun OJK
harus independen agar dapat beroperasi secara efektif, OJK juga harus akuntabel
terhadap pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, pelaku sektor jasa
138
Chandler, Ralph C. and Jack C Plano. The Public Administration Dictionary. New
York: Wiley, 1982.
139 Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P, Public Service Accountability, Connecticut :
Kumairan Press, Inc. 1989.
140 Rizal Ramli, "Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20
November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
keuangan, dan masyarakat.141
Oleh sebab itu, indenpendensi harus ditegakkan
sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya.
Lebih lanjut menurut Darmin bahwa esensi dari kombinasi independensi dan
akuntabilitas OJK secara konsep harus diupayakan seefektif mungkin untuk dapat
dilaksanakan dengan ketegasan-ketegasan sebagai berikut:142
OJK harus memiliki wewenang untuk menyusun, melaksanakan
dan menegakkan kebijakan perundang-undangan dalam mencapai
tujuan yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan
OJK harus melaporkan keputusan-keputusan dan kegiatan-
kegiatannya kepada stakeholder-nya yaitu pemerintah, lembaga
keuangan yang diawasi dan publik
OJK harus memiliki ukuran kinerja yang dapat dinilai
OJK harus melakukan dengar pendapat dengan pihak-pihak yang
berkaitan dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Walaupun independensi diakui sebagai supplementary aspect dari
independensi suatu otoritas independen, namun juga ternyata beberapa ahli
berpendapat bahwa terdapat suatu konsep trade-off antara aspek independensi dan
akuntabilitas. Artinya, suatu hal yang menyebabkan peningkatan independensi
akan menyebabkan penurunan akuntabilitas, dan demikian pula sebaliknya.143
Konsep ini dapat dijelaskan melalui pendekatan teori yang bersifat konvensional
terkait hubungan kontraktual antara agent-principal. Otoritas independen
141
Darmin Nasution, Op.Cit., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
142 Ibid
143 Hüpkes, Quintyn, andTaylor,―The Accountability of Financial Sector Supervisors:
Principles and Practice‘, Op. Cit, page 4. (―The independence-accountability interaction seems to
be clouded by several misconceptions, culminating in the often-heard statement that there is a
―trade-off‖ between the two concepts‖). Lihat juga, pernyataan Meyer terkait isu hubungan ―trade
off‖ independensi dan akuntabilitas di Bank Sentral, Laurence H. Meyer, ―The Politics of
Monetary Policy: Balancing Independence and Accountability‖, Remarks by Governor Laurence
H. Meyer At the University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, 2000. (―source of
accountability is through the reappointment process. If terms are short and especially if the
Chairman and other voting members can be reappointed for additional terms, more control can be
exercised through the appointment process, and committee members can more easily be held
accountable for their policy votes. This is a clear example of the trade-off between independence
(facilitated by long terms without the possibility of reappointment) and accountability (facilitated
by short terms with opportunities for reappointment‖)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
terkadang dihadapkan dengan masalah dilematis, yaitu untuk memastikan
terlaksananya tugas dan pekerjaannya yang diberikan secara kontraktual -secara
mandiri dan independen-, atau dibutuhkan suatu lembaga atau badan lain dengan
melakukan pengawasan terhadap otoritas independen tersebut. Permasalahannya
adalah banyak yang berpendapat ketika otoritas independen diawasi atau dikontrol
oleh badan lain untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, otoritas tersebut dapat
dikatakan tidak lagi murni independen. Dan untuk menjawab misconception
dalam isu trade off independensi-akuntabilitas, perlu untuk dipahami bahwa
akuntabilitas pada dasarnya tidak dapat dipersamakan pengertiannya dengan
kontrol, dan independensi tidak pernah identik dengan kemandirian secara
absolut.144
Menurut Hüpkes, Quintyn, dan Taylor, aspek akuntabilitas terhadap
otoritas independen pengatur dan pengawas jasa keuangan mempunyai fungsi dan
tujuan, yaitu sebagai berikut:145
a) Memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat
b) Menjaga dan meningkatkan legitimasi
c) Meningkatkan manajemen/governance operasional dari otoritas
d) Meningkatkan perfomance dari otoritas
Terdapat beberapa cara untuk mengukur akuntabilitas sebagai mekanisme
untuk menyeimbangkan aspek independensi suatu otoritas, diantaranya adalah
melalui aspek akuntabilitas kelembagaan, aspek regulator, supervisor dan aspek
anggaran.146
Dalam aspek akuntabilitas secara kelembagaan adalah terkait
mekanisme yang jelas mengenai hubungan antara otoritas independen dengan
144
Giandomenico Majone, 1994, ―Independence vs. Accountability? Non-Majoritarian
Institutions and Democratic Government in Europe.‖ European University Institute Working
Papers No. 94/3.(―accountability, as opposed to control from one point in the system,aims for the
establishment of a network of complementary and overlapping checkingmechanisms‖). Lihat juga
Terry Moe, ―Interests, Institutions, and Positive Theory: the Politics of the NLBR,‖ Studies in
American Political Development, Vol 2, 1987, page 236–99. (―Accountability is established
through a combination of controlinstruments in such a way that ―no one controls the independent
agency, yet the agency is‗under control‘‖)
145 Hüpkes, Quintyn, andTaylor,―The Accountability of Financial Sector Supervisors:
Principles and Practice‘, Op. Cit, page 5
146 Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11-15, ―Section: The
Dimensions of Accountability‖
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
cabang legislatif maupun eksekutif. Hubungan otoritas independen dengan
legislatif biasanya adalah terkait kewajiban laporan pertanggungjawaban otoritas
kepada legislatif (biasanya berbentuk komisi parlemen), sedangkan hubungan
dengan eksekutif/pemerintah, adalah terkait dengan bentuk komunikasi/koordinasi
yang mana hal ini dibutuhkan karena pemerintah (khususnya melalui kementrian
keuangan) mempunyai peran yang sentral dalam hal manajemen krisis keuangan.
Di beberapa negara, akuntabilitas oleh eksekutif biasanya diwujudkan melalui
penempatan perwakilan pemerintah di dewan pengurus otoritas. Namun demikian,
perwakilan pemerintah tersebut seharusnya ditempatkan dalam bagian non-
eksekutif yang tidak bersentuhan dengan fungsi kebijakan otoritas untuk tetap
menjaga independensi dari otoritas.
Akuntabilitas otoritas independen sebagai regulator yang mempunyai
kewenangan untuk membuat kebijakan regulasi di bidang pengaturan dan
pengawasan jasa keuangan, yang mana regulasi tersebut berimplikasi ke para
stackholder, seperti akuntabilitas kepada legislastif dalam hal laporan terkait
kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas, atau kepada industri yang diawasi yang
biasanya melalui suatu forum atau proses dialog agar otoritas dapat mengeluarkan
kebijakan yang lebih efektif dan menimilasir biaya tinggi. Akuntabilitas dalam
aspek fungsi otoritas sebagai supervisor (pengawas), adalah terkait proses hukum
yang dapat ditempuh individu ataupun institusi terhadap keputusan atau kebijakan
otoritas yang dinilai tidak sesuai, atau dikenal dengan istilah judicial review.147
Sedangkan aspek akuntabilitas anggaran, adalah instrumen yang penting terkait
presentasi/laporan keuangan, yang menampilkan pengeluaran/biaya reguler dari
operasional otoritas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa aspek anggaran ini tidak
dapat melemahkan independensi otoritas, dan untuk itu akuntabilitas secara
finansial biasanya dibatasi pada waktu anggaran berakhir/ex post budgetary.
Dalam laporan tersebut yang biasanya diperiksa oleh independen auditor,
dilakukan pengecekan dan pemeriksaan apakah manajemen finansial otoritas yang
dilakukan otoritas telah sesuai dan baik.
147
Istilah judicial review disini terbatas kepada review/peninjauan terhadap legalitas
untuk memastikan bahwa keputusan otoritas yang bersifat diskresi tidak dijalankan dengan itikad
buruk atau untuk tujuan yang tidak sesuai, Lihat Hüpkes, Eva H.G., 2000, The Legal Aspects of
Bank Insolvency (The Hague: Kluwer Law International).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
Berdasarkan kajian Quintyn, Ramirez & Taylor, dapat diidentifikasi
beberapa tipe/kriteria pengukuran akuntabilitas yang ditarik dari empat indikator
diatas. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan nilai kriteria yang tidak
mencerminkan akuntabel. Nilai 2 mengindikasikan bahwa kriteria otoritas
tersebut sudah sepenuhnya akuntabel. Nilai 1 berarti bahwa otoritas tersebut
hampir dapat mencapai akuntabilitas secara penuh. Sedangkan nilai -1,
mengindikasian bahwa kriteria tersebut merupakan contoh dari ―bad practices‖
dari aspek akuntabilitas suatu otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan.148
Kriteria -1 0 1 2
Akuntabilitas
Akuntasbilitas kepada Legilastor
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui
UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada legislative?
Tidak Ya
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya
pertemuan/rapat bersama komisi legislator(quarterly, …)?
Tidak Ya
Apakah kewajiban akuntabilitas kepada legislator
didelegasikan/diwakilkan oleh Kementerian Keuangan
(bukan perwakilan dari otoritas)?
Ya Tidak
Akuntabilitas kepada Eksekutif
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau melalui
UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada eksekutif?
Tidak Ya
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan diadakannya
pertemuan/rapat bersama Kementerian Keuangan(quarterly..)
…)
Tidak Ya
Akuntabilitas dalam proses adjudikatif
Apakah entitas bisnis yang diawasi mempunyai hak untuk
melakukan keberatan atas keputusan otoritas ke pengadilan?
Tidak Ya
Apakah terdapat perbedaan proses judisial dalam menangani
keberatan kepada otoritas?
Tidak Ya
Apakah terdapat hakim yang bersifat khusus untuk
menangani keberatan tersebut?
Tidak Ya
Apakah terdapat sanksi terhadap proses pengawasan yang
melanggar aturan?
Tidak Ya
Akuntabilitas Anggaran
148
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
Apakah terdapat proses dimana agency melaporkan dan
mendiskusikan anggarannya (ex post budget)?
Tidak Ya
Aspek lain
Apakah terdapat proses konsultasi secara formal dengan
industri sebelum diberlakukannya regulasi baru?
Tidak Ya
Apakah terdapat proses audit di internal otoritas?
Tidak Ya
Apakah terdapat proses audit di luar (eksternal) otoritas? Tidak Ya
Selain itu, Darmin Nasution berpendapat bahwa dalam rangka
akuntabilitasnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mampu melakukan hal-hal
sebagai berikut:149
Membuat dan menyampaikan laporan kegiatan (tahunan) kepada
Presiden, DPR dan Publik. Laporan tahunan tersebut harus
menggambarkan kebijakan OJK dan kegiatannya dalam
pencapaian tujuan-tujuan OJK
Laporan posisi keuangan (tahunan) kepada masyarakat jasa
keuangan, yang disusun berdasarkan standar akutansi keuangan
yang diaudit oleh BPK. Laporan keuangan OJK (yang telah diudit)
harus dipublikasikan
OJK dapat diaudit secara khusus oleh BPK atas permintaan
Presiden, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kinerjanya
OJK harus secara rutin melakukan forum konsultasi dengan DPR
untuk memberikan informasi dan penjelasan mengenai kebijakan
dan operasi, dengan tetap menjaga independensinya; dan
Berkaitan dengan perumusan kebijakan, OJK harus memelihara
akuntabilitasnya dengan selalu menginformasikan kepada
pemerintah, Bank Indonesia, industri dan masyarakat sebelum
membuat kebijakan yang signifikan. Regulasi yang ditetapkan
harus disampaikan terlebih dahulu kepada publik untuk
mendapatkan pendapat mereka, setidaknya selama dua bulan
sebelum regulasi tersebut diberlakukan
149
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
Kemudian berkaitan dengan akuntabilitas kepada publik dan Industri Jasa
Keuangan, ukuran-ukuran akuntabilitas spesifik berikut dapat diterapkan:
OJK sebaiknya memiliki komite ahli yang berasal dari spesialis
industri yang terdiri dari perwakilan konsumen dan industri jasa
keuangan
OJK harus mengadakan pertemuan tahunan dengan pelaku pasar
jasa keuangan untuk mereview perkembangan pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan dan memberikan kesempatan kepada industri
untuk bertanya dan mendiskusikan masalah-masalah yang dianggap
penting
OJK harus bersedia membagi informasi secara aktif kepada Bank
Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan dan Departemen
Keuangan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini selalu
bekerja sama dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan
OJK juga harus bertanggung jawab kepada industri yang dibinanya
dan kepada masyarakat pada umumnya. Beberapa akuntabilitas ini
tercantum dalam proses laporan tahunan dan juga melalui
ketentuan konsultasi dengar pendapat.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
2. Transparansi
Istilah transparansi dalam dalam kamus diartikan dengan banyak
pengertian seperti ―mudah dimengerti secara jelas sehingga kebenaran dibaliknya
mudah kelihatan‖150
, atau ―sesuatu yang tidak mengandung kesalahan atau
keraguan‖151
, atau dalam kaitannya dengan perspektif korporasi, transparansi juga
dapat didefinisikan sebagai ―keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil
dan relevan mengenai perusahaan.‖152
Menurut kajian Asian Development Bank,
Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi pada masyarakat umum dan
kejelasan (clarity) tentang peraturan, undang-undang, dan keputusan otoritas,
yang mana mempunyai dua indikator yaitu pertama, akses pada informasi yang
akurat dan tepat waktu (accurate & timely) tentang kebijakan ekonomi dan
pemerintahan yang sangat penting bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh
para pelaku swasta, dimana data tersebut harus bebas didapat dan siap tersedia
(freely & readily available); kedua, aturan dan prosedur yang ―simple,
straightforward and easy to apply‖ untuk mengurangi perbedaan dalam
interpretasi.153
Transaparansi dapat dikatakan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari akuntabilitas, karena transparansi merupakan elemen akuntablilitas yang
sangat penting.154
Apa pun yang menjadi dasar pemikiran dan rencana yang
terkait pertanggungjawaban demokratis, sifat itu akan terbatas bila tanpa
transparansi.155
Tanpa transparansi, setiap kegiatan atau kebijakan otoritas yang
150
The Oxford Senior Dictionary, Compiled by Joyce M. Hawkins, Oxford University
Press, 1982, page 686.
151 The Advanced Learners‘s Dictionary of Current English, Second Edition, A.S.
Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, London. Oxford University Press, Nineteenth Impression
1973, page 1074
152 Pasal 3 butir a Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan Praktik Good Governance pada BUMN
153 Asian Development Bank, ―Governance :Sound Development Management‖, 1999,
hal 7 -13)
154 Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability and
Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance, Wiley Blackwell, vol. 5(1), ,
2002, pages 75
155 Ibid
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
direncanakan atau sudah disetujui tidak akan diketahui oleh masyarakat, karena
tidak ada diskusi untuk menguji perlu dan tidaknya suatu kebijakan. Selain itu,
cara terbaik untuk memastikan mekanisme akuntabilitas terhadap otoritas tidak
melemahkan indepensinya adalah dengan berlandaskan prinsip-prinsip
transparansi.156
Hal ini mendorong keterbukaan dan meningkatkan fungsi
pelayanan publik, yang juga meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
otoritas. Transparansi dapat diwujudkan melalui berbagai tipe publikasi, seperti
website otoritas, laporan tentang pelaksanaan praktik pengawasan dan kebijakan
yang penting, laporan tahunan, press conference dan lain sebagainya.
Dapat diidentifikasi beberapa tipe/kriteria pengukuran transparansi suatu
otoritas independen dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kajian Quintyn,
Ramirez & Taylor. Nilai 0 dalam pengukuran ini mengindikasikan nilai kriteria
yang tidak mencerminkan otoritas yang transparan. Nilai 2 mengindikasikan
bahwa kriteria otoritas tersebut sudah sepenuhnya transparan. Nilai 1 berarti
bahwa otoritas tersebut hampir dapat mencapai transparansi secara penuh.
Sedangkan nilai -1, mengindikasian bahwa kriteria tersebut merupakan contoh
dari ―bad practices‖ dari aspek transparansi suatu otoritas pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan.157
Transparansi -1 0 1 2
Apakah ada pengumuman/pemberitahuan terkait
kebijakan dan keputusan otoritas? (misalnya melalui
website? )
Tidak Ya
Apakah otoritas telah memberikan pernyataan di awal
tentang ―mission statement‖ yang akan dicapai?
Tidak Ya
Apakah otoritas menyediakan laporan tahunan kepada
masyarakat pada umumnya?
Tidak Ya
Apakah publik diberikan suatu kesempatan melalui
suatu forum untuk memberikan pertanyaan tentang
transparansi otoritas?
Tidak Ya
156
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11
157 Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
Apakah ada dewan atau komisi yang mewadahi
keluhan-keluhan konsumen?
Tidak Badan lain di
luar otoritas
Ya
Menurut Darmin Nasution, semakin besar level kebebasan yang dimiliki
OJK, semakin besar pulan level rentang tanggung jawabnya, dan oleh sebab itu,
OJK harus dibangun untuk selalu transparan dengan kewajiban-kewajiban sebagai
berikut:158
Wajib membuat laporan operasional dan keuangan yang terbuka ke
publik
Wajib mengundang pihak-pihak terkait khusus pihak yang diatur
apabila mengeluarkan dan menerapkan pengaturannya, dan bahkan
harus bersedia menarik keputusannya apabila terbukti merugikan
pihak-pihak lain
Wajib menerima masukan atau pandangan dari masyarakat dalam
rangka meningkatkan kinerjanya
Wajib diaudit oleh BPK dan serta menyampaikan laporan
kegiatannya kepada Presiden dan DPR.
158
Darmin Nasution, Op.Cit., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
BAB III
STATUS, KEDUDUKAN DAN STRUKTUR KELEMBAGAAN OTORITAS
JASA KEUANGAN DI INDONESIA
A. Landasan Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Sebelumnya, perlu kita tarik ke belakang bagaimana latar belakang OJK
terbentuk. Ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan
perbankan telah dimunculkan sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut, disebutkan secara tegas bahwa tugas
mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independen, dan dibentuk dengan Undang-undang. Ketentuan selanjutnya
disebutkan dalam pasal 34 ayat (2) UU No.23 tahun 1999 bahwa pembentukan
lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
Inilah yang kemudian menjadi landasan utama bagi pembentukan suatu lembaga
independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan atau yang sekarang disebut
dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
1. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
2. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002
Dalam penjelasan Pasal 34 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan
terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang
meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan
kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam
melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi
dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang akan diatur
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
dalam undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga
pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia
dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang
diperlukan. Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia.
Dalam perjalanannya, meskipun pembentukan OJK diamanatkan oleh
UUBI tahun 1999, nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum
ada. Kemudian dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah disahkannya
amandemen UUBI yaitu UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU
No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dalam pasal Pasal 34 UU tersebut,
Pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawasan sektor Jasa Keuangan
selambat-lambatnya akhir Desember 2010.
Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia
1. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.
2. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Dalam penjelasan UU Amandemen BI ini, bunyi penjelasan pasal 34 ayat
(1) hampir sama dengan UU BI sebelum amandemen. Namun jika sebelumnya di
ayat (2) tidak penjelasan, di UU amandemen (2004), dalam penjelasannya
berbunyi yaitu, Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah
dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia,
struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan
pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi
untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank
Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah
mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada
bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan
fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan
Gubernur BundesBank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU
(kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai
konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Di
Jerman, pengawasan industri perbankan dilakukan oleh suatu badan khusus yaitu
Bundesaufiscuhtsamt fur da kreditwesen. Pada waktu RUU tersebut diajukan
muncul penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai
kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank
Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga
keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan
fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral.159
Kemudian dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, yaitu dalam bagian penjelasan umum disebutkan bahwa
pembentukan OJK dimaksudkan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang
lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem
keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut
harus dilakukan secara terintegrasi. Hal ini juga sebagai akibat terjadinya proses
globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi
informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem keuangan yang
sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam
hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan
yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan
(konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi
antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan
lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard,
belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya
stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan
lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
159
Zulkarnain Sitompul, ―Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)‖, Pilars
No.02/Th. VII/12-18 Januari 2004. hal. 1.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
B. Status dan Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, pengertian Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.
Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK merupakan
lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam UU OJK. Asas independensi secara lebih tegas dituangkan dalam
Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas
dan wewenangnya berlandaskan antara lain asas independensi yaitu independen
dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK,
dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian juga dalam Penjelasan Umum UU OJK, diatur mengenai
Independensi OJK secara kelembagaan/institusional, yaitu Otoritas Jasa Keuangan
berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak
menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, hal tersebut tidak menutup
kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki
relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal
dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur
dari kedua otoritas yaitu dalam hal ini otortias fiskal pada Kementerian Keuangan
dan Otoritas Moneter pada Bank Indonesia,tersebut secara Ex-officio. Keberadaan
Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi
kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-
officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional
dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan
koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara
stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan
harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara
baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya.
Dalam Pasal 3 UU OJK, menjelaskan bahwa OJK berkedudukan di ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat mempunyai kantor di dalam
dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai
dengan kebutuhan.
C. Struktur Kelembagaan dan Anggaran
1. Dewan Komisioner
Pembentukan OJK secara filosofis bertujuan agar OJK secara struktural
memiliki unsur check and balances.160
Hal ini diwujudkan dengan melakukan
pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan OJK.
Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi
pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar
Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank atau dapat disebut dengan
istilah Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK
selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-
masing Pengawas/Kepala Eksekutif melaksanakan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemisahan fungsi antara Dewan
Komisioner dan tiga Pengawas/Kepala Eksekutif ini dimaksudkan untuk:161
1) Menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator
(Dewan Komisioner) dengan tanggung jawab supervisor (Kepala
Eksekutif masing-masing Pengawas);
2) Menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak
agartidak terjadi penyalahgunaan kewenangan;
3) Mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga
terciptaprofesionalisme dari spesialisasi di masing-masing fungsi
pengaturan danpengawasan.
160
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2010, hal. 3.
161 Ibid
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
Dalam naskah akademis RUU OJK dijelaskan terkait pentingnya dibentuk
OJK sebagai unified supervisor authority, yaitu suatu sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi didalam suatu lembaga tunggal, adalah karena
pengawasan terhadap sektor jasa keuangan, yaitu Perbankan, Pasar Modal dan
Industri Keuangan Non Bank perlu dilakukan secara terpisah karena adanya
perbedaan karakteristik dari masing-masing industri jasa keuangan tersebut.
Dengan adanya pemisahan pengawasan atas masing-masing industri jasa
keuangan tersebut, diharapkan dapat terciptanya spesialisasi dalam pengawasan,
pengembangan metode pengawasan yang tepat, serta mengurangi luasnya rentang
kendali pengawasan agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan atas
keputusan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif. Selain itu juga, fungsi
pengaturan dan pengawasan yang tidak terintegrasi cenderung dapat
mengakibatkan tidak terdeteksinya risiko finansial dari kegiatan yang berada
diwilayah abu-abu (grey area) dalam grup konglomerasi oleh otoritas pengawas
sehingga dapat membahayakan tingkat sistem keuangan.162
Konsep pemisahan fungsi pengawasan ini pada hakikatnya muncul sebagai
upaya atau solusi untuk menghindari benturan kepentingan yang muncul dari
adanya penggabungan 2 (dua) fungsi yang berbeda didalam satu lembaga, dimana
hal ini merupakan suatu kenyataan dan pengalaman yang terjadi di beberapa
negara selama ini, misalnya pengaturan dan pengawasan perbankan dilaksanakan
oleh bank sentral yang sekaligus berperan sebagai otoritas moneter. Dengan
kekuasaan sebagai otoritas moneter, serta pada saat yang sama memegang otoritas
pengawasan bank, Bank Sentral dikhawatirkan akan memiliki kewenangan yang
sedemikian besar yang berpotensi pada sulit terdeteksinya penyalahgunaan
kewenangan. Selain itu, benturan kepentingan juga menyebabkan berkurangnya
efektifitas fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang seharusnya lebih
162
Sebagai ilustrasi, kekisruhan Bank Century diantaranya diakibatkan oleh terputusnya
koordinasi pengawasan produk non-bank yang dipasarkan melalui jejaring pemasaran bank. Hal
ini terkait dengan produk reksadana Antaboga (PT. Antaboga Delta Securities) yang diterbitkan
oleh pemilik Bank Century (Robert Tantular), yang telah dinyatakan ilegal oleh Bappepam- LK,
namun tetap dipasarkan oleh Bank Century dan lepas dari pengawasan BI. Jika OJK sebagai
lembaga regulasi dan pengawas industri keuangan satu atap telah terbentuk, aspek putusnya
informasi, sebagai salah satu dimensi penyebab kasus Bank Century, dapat diantisipasi lebih dini
(Basuki, 2010). Lihat Orin Basuki, OJK Ditengah Perebutan Kewenangan, Kompas.com, 26
Agustus 2010
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
menekankan pada pendekatan prudensial. Penggunaan instrumen-instrumen
moneter berupa bantuan likuiditas untuk menyehatkan kondisi keuangan dari
bank-bank yang diawasi cenderung lebih dipilih oleh bank sentral daripada
menggunakan pengaturan dan pengawasan yang mengedepankan peraturan dan
kehati-hatian (prudential regulation). Hal ini dilakukan karena bank sentral ingin
menutupi potensi kegagalannya dalam melakukan fungsi pengawasannya terhadap
bank yang bersangkutan yang kemudian mendorong digunakannya instrumen
moneter (lender of last resort) yang pada dasarnya tidak menyelesaikan inti
kelemahan bank sebagai akibat pelanggaran terhadap prudential regulation.163
Kembali ke dalam pembahasan tentang struktur kelembagaan OJK, yaitu
terkait Dewan Komisioner OJK yang merupakan pimpinan dalam pelaksanaan
tugas dan kewenangan OJK. Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK
yang bersifat kolektif dan kolegial, yang beranggotakan 9 (sembilan) orang.
Bersifat kolektif mengandung makna bahwa pada setiap proses pengambilan
keputusan dewan komisioner melakukannya secara bersama-sama. Sedangkan
bersifat kolegial berarti bahwa setiap pengambilan keputusan dewan komisioner
dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan
kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota.Sebagai pimpinan tertinggi OJK,
Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara dalam rangka
pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas lembaga jasa
keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional
lainnya di sektor jasa keuangan. Pasal 10 ayat 4 mengatur bahwa 9 anggota DK
ini terdiri atas:
163
Adanya benturan kepentingan antara bank sentral sebagai otoritas moneter dan bank
sentral sebagai pengawas perbankan tersebutl perlu dihindari dengan cara memisahkan fungsi
pengawasan bank dari bank sentral yang fungsi utamanya adalah otoritas moneter. ‗Bagaimana
mungkin BI yang gagal mengawasi bank, lalu dia sendiri yang mencoba menutupi kesalahannya
dengan menyelamatkan bank itu‘.Hal ini lebih lanjut dikritisi oleh Peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Eko Nugroho, bahwa konflik kepentingan telah merambah
pada praktek-praktek pemihakan kebijakan seperti halnya kebijakan menurunkan syarat rasio
kecukupan modal (CAR) secara mendadak oleh Bank Indonesia, dari 8 % menjadi 0% ketika
mengetahui Bank Century sedang mengalami kesulitan. Lihat Koran Jakarta, Pengawasan Bank:
Fungsi Regulator Harus Dipisahkan Dari Supervisi-Urgensi Ojk Terkikis Krisis, 13 Februari
2010, hal 9, http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_599_-
_13_februari_2010?mode=window&pageNumber=1
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
a. seorang Ketua merangkap anggota;
b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap
anggota;
f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Kosumen;
h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
i. seorang anggota Ex-officio dari Kementrian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat eselon I.
Wakil Ketua
sebagai Ketua
Komite Etik
merangkap
anggota
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Ketua Dewan
Audit
merangkap
anggota
Anggota
Ex-officio
dari
Kemenkeu
Ketua
merangkap
anggota
Anggota yang
membidangi
edukasi dan
perlindungan
Konsumen
Anggota
Ex-officio
dari BI
Kepala Eksekutif
Pengawas
Perbankan
merangkap
anggota
Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar
Modal merangkap
anggota
Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya merangkap anggota
Non
eksek
utif
Eksek
utif
Deputi Kepala
Eksekutif
Direktur
Internal Audit &
Manajemen Resiko
Deputi Kepala
Eksekutif
Direktur
Internal Audit &
Manajemen Resiko
Deputi Kepala
Eksekutif
Direktur
Internal Audit &
Manajemen Resiko
Sekertaris
OJK
Direktur
Komite Etik
Dewan Audit
Komite
Edukasi Dan
Perlindungan
Konsumen
Staf Ahli
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Tata cara pemilihan Dewan Komisioner OJK diatur dalam pasal 11 dan 12
UU OJK. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memilih kesembilan calon
anggotanya yang sebelumnya telah diajukan oleh Presiden. Calon anggota dewan
komisioner yang diajukan presiden diseleksi melalui Panitia Seleksi yang
beranggotakan sembilan orang dan terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Bank
Indonesia dan masyarakat. Masyarakat dalam keanggotaan ini mewakili unsur
akademi, masyarakat industri perbankan, pasar modal dan industri keuangan non
bank. Proses pemilihan anggota Dewan Komisioner diawali dengan seleksi
administratif oleh Panitia Seleksi, termasuk menjaring masukan dari masyarakat.
Selanjutnya, Panitia Seleksi menyampaikan 21 calon anggota Dewan Komisioner
kepada Presiden. Setelah menerima calon dari panitia seleksi, Presiden akan
memilih 14 orang calon untuk disampaikan kepada DPR RI, dan dua orang calon
diantaranya diusulkan Presiden untuk dipilih DPR sebagai Ketua Dewan
Komisioner. Setelah itu, DPR akan memilih satu orang calon sebagai Ketua
Dewan Komisioner. Selanjutnya, terhadap 13 orang calon lainnya, DPR akan
memilih enam diantaranya sebagai anggota Dewan Komisioner untuk ditetapkan
Presiden bersama dengan anggota Dewan Komisioner yang merupakan ex-officio
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Dalam hal tata cara pemberhentiannya, para anggota DK ini tidak dapat
diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila yang
bersangkutan (Pasal 17 ayat 1):
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
d. berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau
diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanalan tugas lebih dari 6
(enam) bulan berturut-turut;
e. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari
3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
f. tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota
Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h;
g. tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan
bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i;
h. memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan / atau semenda
dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang
mengundurkan diri dari jabatannya;
i. melanggar kode etik; atau
j. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
Untuk meningkatkan independensi DK OJK, Undang-undang OJK
mengatur beberapa larangan yang harus dipatuhi DK OJK sebagaimana diatur di
dalam Pasal 22 dan Pasal 23, antara lain: larangan memiliki benturan kepentingan
di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi oleh OJK dan larangan menjadi anggota
partai politik. Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat
sebagai anggota DK, pejabat atau pegawai OJK dituntut untuk menjaga
kerahasiaan informasi, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang
(Pasal 33 ayat 1).
Struktur governance OJK menurut Mas Achmad Daniri, Ketua Komite
Nasional Kebijakan Governance, bisa dikatakan unik.164
Hal ini karena secara
struktural memiliki dua lapis kewenangan, yakni membuat kebijakan dan
pengaturan di satu sisi maupun kewenangan perizinan dan pengawasan di sisi
yang lain, meski berada pada satu lembaga (two tiers in one body). Tugas sebagai
pembuat kebijakan dan pengaturan dilakukan oleh dewan komisioner, sedangkan
tugas perizinan dan pengawasan dilakukan oleh masing-masing Kepala Eksekutif
Perbankan, Pasar Modal, dan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB). Dengan
kata lain, masing-masing kepala eksekutif secara independen memiliki
164
Mas Achmad Daniri, Indahnya Sistem Governance OJK, Bisnis Indonesia Bisnis.com,
Senin, 25 Juni 2012
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
kewenangan dalam menjalankan fungsi pengawasan. Namun dalam membangun
kebijakan dan pengaturan dilakukan di tingkat dewan komisioner secara
terintegrasi. Dewan komisioner juga melakukan pengawasan terhadap kegiatan
pengawasan para kepala eksekutif, namun hanya sebatas untuk tujuan evaluasi
dan perbaikan kebijakan dan penyusunan peraturan. Dalam pelaksanaan fungsi
pengawasan dewan komisioner tidak boleh melakukan intervensi. Masing-masing
Ketua Eksekutif Perbankan, Pasar Modal dan LKNB, juga merangkap sebagai
anggota komisioner. Dengan demikian dalam setiap proses penyusunan kebijakan
maupun peraturan OJK, setiap ketua eksekutif dapat memberikan masukan yang
berasal dari kajian masalah dan kebutuhan pengaturan di lapangan.
2. Anggaran
Pengaturan tentang anggaran OJK diatur pada Pasal 34 s.d Pasal 37 UU
OJK. Pasal 34 UU OJK mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); dan/atau
2. Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan,yaitu Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau
badan hukum yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan operasional OJK, Pemerintah dapat
melakukan penempatan dana awal ke OJK. Anggaran OJK tersebut nantinya
digunakan untuk membiayai kegiatan sebagai berikut:
1. Kegiatan operasional, mencakup kegiatan penyelenggaraan fungsi, tugas
dan wewenang OJK, antara lain pengaturan, pengawasan, penegakan
hukum, edukasi dan perlindungan konsumen;
2. Kegiatan administratif, mencakup kegiatan perkantoran, remunerasi,
pendidikan dan pelatihan, pengembangan organisasi dan sumber daya
manusia;
3. Kegiatan pengadaan aset, mencakup aset lancer dan aset non lancar antara
lain persediaan, gedung, peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan
kantor, serta infrastruktur teknologi informasi.
4. Kegiatan pendukung lainnya.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
D. Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembentukan Otoritas jasa Keuangan menurut
beberapa ahli/ pakar perbankan, adalah sebagai berikut :165
a. Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna
mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain,
pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi
sektor keuangan di Indonesia.
b. Fuad Rahmany: menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung
muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat
terpisah.
c. Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor
perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu
perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan
dukungan dari sektor keuangan.
d. Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor
keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan
yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap
lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik.
Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan
sewaktu-waktu dankeempat transparansi yang harus dijaga.
Secara lebih lanjut Darmin Nasution menjelaskan bahwa pembentukan
OJK yang akan menyatukan pengawasan dan pengaturan semua sektor jasa
keuangan akan memberikan tujuan sebagai berikut:166
1. Lebih menyelaraskan cakupan dan kedalaman semua regulasi yang selama
ini dipraktikkan di sektor jasa keuangan, termasuk dalam rangka
pengelolaan struktur konglomerasi Industri keuangan yang ada di
165
Siti Sundari Arie, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI 2011, hal 44
166 Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit
Buku Kompas, Februari 2004, hal 469-520.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
Indonesia. Penyatuan ini ditujukan untuk memberikan ruang gerak yang
lebih optimal bagi institusi pengatur dan pengawas tersebut dalam rangka
memelihara, membenahi dan memperkuat kebijakan-kebijakannya, serta
untuk mengefektifkan law enforcement, untuk pemeliharaan disiplin pasar
dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan
2. Untuk menyeimbangkan penerapan ketentuan terhadap semua sektor
utama pada industri jasa keuangan, yang sekaligus merupakan peluang
yang berharga untuk membentuk budaya yang baru bagi regulator untuk
mengawasi sekotr jasa keuangan.
3. Diharapkan akan lebih memungkin untuk menghasilkan pengaturan-
pengaturan yang terkonsolidasi sesuai dengan harapan-harapan
masyarakat, sebagai modal awal menumbuhkan kembali kepercayaan
publik terhadap sistem keuangan di Indonesia. Hal ini tentu merupakan
kesempatan baru tidak hanya untuk pembentukan kepercayaan diri secara
domestik, juga lebih dari itu, untuk kepercayaan diri dunia internasional
dan untuk memacu perbaikan kegiatan-kegiatan bagi sektor riil
Adapun dalam Pasal 4 UU OJK, disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan
tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
E. Fungsi, Tugas dan Kewenangan
Fungsi OJK ditegaskan dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa OJK
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tugas OJK sesuai
dengan Pasal 6 UU OJK yaitu melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Kemudian dalam pasal 7,8 dan 9 UU OJK, diatur mengenai kewenangan
OJK dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, yaitu:
1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan
Bank yang meliputi :
Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin
usaha bank
Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan
kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit
(credit testing); dan standar akuntansi bank
Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal
nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan
terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
2. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang
meliputi :
Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada Lembaga Jasa Keuangan;
Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang
meliputi :
Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh
Kepala Eksekutif;
Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu;
Melakukan penunjukan pengelola statuter;
Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan,
efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan
melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan
pembubaran dan penetapan lain.
F. Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga
Terkait di Bidang Jasa Keuangan
Apabila dicermati lebih mendalam, hubungan atau koordinasi OJK dengan
lembaga negara lainnya dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai
berikut167
:
a. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan, yang akan terkait
dengan lembaga:
a. Bank Indonesia;
b. LPS.
b. Tugas penyidikan, yang akan terkait dengan lembaga:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi lain;
b. Kejaksaan;
c. Kepolisian;
d. Pengadilan.
c. Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yang akan terkait dengan:
a. Menteri Keuangan;
b. Gubernur Bank Indonesia;
c. Ketua Dewan Komisioner LPS.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan, yang
antara lain:
a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
b. sistem informasi perbankan yang terpadu;
167
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJKDalam UU OJK,
Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 1, Januari - April 2012.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana
valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically
important bank;
f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan
informasi.
Kemudian lebih lanjut, dalam hubungan kelembagaan antara OJK dengan
Bank Indonesia dijelaskan bahwa Bank Indonesia dalam hal melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut
dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK,
namun dalam melakukan pemeriksaannya Bank Indonesia tidak dapat
memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Sedangkan dalam
hubungan koordinasi dan kerjasama OJK dengan Lembaga Penjamin Simpanan,
OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank
bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK, dan dalam hal OJK
mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi
kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia
untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.
Selain itu Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi
terlebih dahulu dengan OJK.
Dengan demikian dalam tugas pengaturan dan pengawasan Perbankan ada
pembagian kewenangan antara Bank Indonesia, OJK dan LPS. Tugas pengaturan
dan pengawasan perbankan ada pada OJK, namun ada beberapa pengaturan yang
harus dikoordinasi antara OJK dan Bank Indonesia (Pasal 39 UU OJK).
Pemberian dan pencabutan izin usaha perbankan oleh OJK (Pasal 9 UU OJK).
Pemeriksaan dan pengawasan khusus oleh Bank Indonesia. Penyehatan bank
gagal oleh LPS (Pasal 41 dan 42 UU OJK) dan sanksi administratif oleh OJK.
Selain itu, terkait hubungan kelembagaan OJK khususnya terkait dengan
tugasnya sebagai bagian dari fungsi stabilitas sistem keuangan, diatur dalam UU
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
OJK melalui pasal 44-46, yaitu mengenai protokol koordinasi di antara otoritas
keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan membentuk Forum
Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) dengan Menteri Keuangan
sebagai anggota merangkap koordinator serta anggota lainnya adalah Gubernur
Bank Indonesia, Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan. Bahkan FKSSK juga memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan untuk pencegahan ataupun menangani krisis. Adapun
gambaran lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi menjaga kestabilan sistem
keuangan dapat dijelaskan melalui grafik di bawah ini:
Sumber : Syahrir Sabirin, ―Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability‖,
makalah disampaikan pada Seminar mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta,
27 Februari 2002, hal. 8, dalamZulkarnain Sitompul, ―Perlindungan Dana
Nasabah Bank,‖ Disertasi, (Jakarta : Fakultas Hukum UI, 2002), hal
Financial
Authorities
Fungsi
Lembaga
Keuangan PERBANKAN
(Bank Umum dan BPR, Baik
Konvensional maupun Syariah)
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK (Asuransi, lembaga jasa pembiayaan, dana
pensiun)
PASAR MODAL
BI
Pengaturan dan
pengawasan secara
makro dalam angka:
- Stabilitas Moneter
- Stabilitas
Keuangan
- Sistem
Pembayaran
LLR untuk:
- Liquidity
- mismatch
OJK
Perizinan, pengaturan
dan pengawasan
tehadap individu,
lembaga keuangan
dan pasar modal
(micro prudential)
Individual Resolution
LPS Pemerintah
Systemic
Resolution
Deposit
Protection/guarantee
Individual Resolution
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
G. Akuntabilitas dan Transparansi Otoritas Jasa Keuangan
Dalam Penjelasan Umum UU OJK, ditegaskan bahwas OJK dalam
melaksanakan tugasnyas harus berlandaskan asas akuntabilitas, yakni asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Prinsip Transparansi OJK juga dijelaskan di UU OJK yaitu terkait
asas keterbukaan OJK, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk
rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
Lebih lanjut, ketentuan mengenai akuntabilitas dan trasnparansi OJK
secara jelas diatur dalam Pasal 38 UU OJK yang menyebutkan beberapa
kewajiban OJK agar dapat menjalankan tugasnya dengan kredibel, akuntabel dan
transparan, yaitu sebagai berikut :
1. OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan
keuangan semesteran dan tahunan.
2. OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan
kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Laporan kegiatan yang
disusun OJK dalam hal ini adalah memuat:
a. pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya.
b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan
datang.
3. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK
wajib menyampaikan laporan.
4. Periode laporan keuangan OJK adalah tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.
5. OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada
masyarakat.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
6. Laporan kegiatan tahunan OJK disampaikan kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Penyampaian laporan OJK kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat disini dimaksudkan untuk
menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun
berjalan
7. Untuk penyusunan laporan keuangan OJK, Dewan Komisioner
menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK. Penyusunan
standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK dilakukan dengan
memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
8. Laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa
Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
9. OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik
melalui media cetak dan media elektronik.
Dalam hal akuntabilitas terkait aspek anggaran OJK, diatur dalam UU
OJK pasal 36 bahwa untuk penyusunan dan penetapan anggaran, OJK harus
terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ―Dewan
Perwakilan Rakyat‖ disini menurut penjelasannya adalah alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan, atau komisi DPR
yang menbidangi masalah keuangan dan perbankan.
Selain itu, akuntabilitas OJK kepada masyarakat juga tercermin dalam
perspektif perlindungan konsumen dan masyarakat, yang mana diatur dalam pasal
28, bahwa OJK berwenang untuk memberikan informasi dan edukasi kepada
masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.
Dalam pasal 29 masih terkait masalah perlidungan konsumen dan masyarakat,
OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi:
a) menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
b) membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
c) memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh
pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
BAB IV
INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGAWAS
SEKTOR JASA KEUANGAN
Sebagaimana telah dipaparkan di bab sebelumnya bahwa terdapat
beberapa cara untuk mengetahui tingkat independensi dari otoritas pengatur dan
pengawas sektor jasa keuangan. Salah satunya adalah dengan menganalisis
indikator/ukuran independensi yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur
dan pengawas sektor jasa keuangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Quintyn dan Taylor bahwa dapat dilakukan
identifikasi/pengukuran tingkat independensi tersebut melalui empat dimensi,
yaitu aspek Fungsi Pengaturan/Regulatory Independence, Fungsi
Pengawasan/Supervisory Independence, Kelembagaan/Institusional
Independence, dan Anggaran/Budgetary Independence.168
A. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Fungsi
Pengaturan/Regulatory Independence
Independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas independen
yang mempunyai fungsi regulatif /regulator adalah dapat diukur mengacu pada
seberapa jauh tingkat kewenangan OJK untuk men ‖set-up‖ suatu regulasi/aturan
(yang bersifat prudensial) terhadap sektor yang diawasainya, secara
otonom/mandiri, yang tentunya dalam batasan-batasan hukum yang berlaku.169
Independensi OJK sebagai regulator, harus dipenuhi seiring semakin
mengglobalnya sektor finansial dewasa ini, yang mana dalam hal ini OJK harus
berada dalam posisi yang kuat agar dapat mengadaptasi regulasi secara cepat dan
168
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial
Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
169 Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 8.(Prudential rules differ
from two other categories of regulations that govern banking: economic regulations,encompassing
controls over pricing, profits, entry, and exit; and information regulations, governing
theinformation that needs to be provided to the public at large and to the supervisors. These two
types of rules tendnot to be subject to frequent amendations and could, therefore, be left to the
lawmakers following a consultationprocess with the supervisors.)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
fleksibel yang mengacu pada ―internasional best practice‖. Regulasi terkait
prinsip prudensial ini menjadi penting karena mencakup aturan-aturan umum
yaitu dalam hal stabilitas industri keuangan beserta aktifitas-aktifitasnya di
dalamnya (seperti ketentuan persyaratan modal, kualitas aset, persyaratan dalam
kualitas senior manajemen, dst) dan aturan-aturan yang bersifat khusus, yaitu
merupakan pengaturan atas sifat khusus dari lembaga jasa keuangan sebagai
finansial intermediation (seperti capital adequacy ratio, pembatasan dalam
transaksi-transaksi yang bersifat off-balance sheet activities, pembatasan kredit
dalam hal rasio exposure single borrower, pembatasan pemberian kredit kepada
individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending),
pembatasan dalam manajemen risiko nilai tukar valas (foreign exposure) dan
aturan dalam pengklasifikasian kredit). Hal-hal diatas merupakan regulasi yang
penting/fundamental dalam proses penyelenggaraan pengawasan dan
berimplikasi secara luas dalam kestabilan sistem keuangan. Maka sebab itu dari
perspektif regulatory independence, OJK harus memiliki tingkatan otonomi yang
tinggi dalam menetapkan aturan-aturan terkait prinsip prudensial, yang mana hal
ini merupakan faktor penting untuk memastikan sektor finansial dapat berjalan
dengan lancar dan stabil.
OJK sebagai lembaga regulator yang independen di sektor jasa keuangan
Indonesia, harus mempunyai kewenagan secara mandiri untuk mengeluarkan
regulasi hukum yang mengikat kepada sektor yang diawasi/industri jasa
keuangan. Perlu diperhatikan bahwa regulasi ini harus bisa mengikat secara
hukum agar mencerminkan nilai independensi yang penuh, dan tidak hanya
berlaku sebagai peraturan pedoman yang tidak mengikat secara hukum kepada
sektor industri jasa keuangan. Hal tersebut merupakan kriteria independensi yang
harus dimiliki oleh otoritas jasa keuangan agar dapat dikatakan memiliki
independensi secara penuh dalam aspek fungsi pengaturan atau regulatory.
Setelah memahami indikator dan ukuran kriteria independensi OJK dalam
fungsinya sebagai regulator di sektor jasa keuangan, dapat ditelaah bagaimana
nilai independensi OJK di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya melalui peraturan perundang-undangan tentang pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 21
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dalam UU OJK
pengaturan mengenai independensi OJK sebagai lembaga regulator dinyatakan
dalam pasal 7 dan 8 UU OJK. Dalam pasal 7 huruf c UU OJK diatur secara
khusus tentang kewenangan OJK sebagai regulator untuk mengeluarkan regulasi
terkait prinsip prudensial di bidang perbankan yaitu kewenangan dalam
pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, yang meliputi
manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian
uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan. Selain itu,
Independensi OJK secara umum sebagai lembaga regulator yang berwenang di
bidang sektor jasa keuangan tercermin melalui pasal 8 UU OJK, yaitu
kewenangan dalam:
a) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
b) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
c) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
d) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
e) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola
statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
f) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
g) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Dapat diperhatikan analisis kriteria independensi dari Quintyn, Ramirez &
Taylor yang telah penulis kaitkan dengan pengaturan kewenangan OJK sebagai
regulator industri jasa keuangan di Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU 21
Tahun 2011 tentang OJK melalui tabel dibawah ini:
Kriteria Independensi Fungsi
Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan170
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Pengaturan Aspek
Independensi OJK sebagai
Regulator di Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak
Independen
Independen, tidak
secara penuh
Independen
penuh
Dapatkah otoritas secara otonom
mengeluarkan regulasi (prudensial)
hukum yang mengikat kepada sektor
yang diawasi?
Tidak Tidak, tapi dapat
mengeluarkan
peraturan pedoman
yang tidak mengikat
Ya OJK mempunyai wewenang
untuk meregulasi industri
jasa keuangan di Indonesia
yang mengikat secara hukum.
(pasal 7 dan 8 UU OJK)
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangannya sebagai otoritas regulator di sector jasa keuangan, OJK telah
memenuhi nilai independensi secara penuh, karena memang OJK diberikan oleh
Undang-undang, independensi yang cukup tegas dalam melakukan fungsi
regulatornya secara otonom/mandiri dengan wewenang untuk mengeluarkan
regulasi/peraturan yang mengikat secara hukum kepada industry keuangan di
Indonesia. Ketentuan Pasal 7 dan 8 UU OJK ini menunjukkan bahwa OJK bebas
menentukan cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang ditetapkannya
yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya.
170
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
1. Independensi OJK Terkait Fungsi Pengaturan Pengawasan di
bidang Perbankan
Walaupun secara umum menurut ketentuan diatas OJK memiliki
independensi secara penuh sebagai regulator di sektor jasa keuangan, akan tetapi
perlu menjadi catatan bahwa di dalam hal tertentu, yaitu dalam penyusunan
pengaturan terkait pengawasan di bidang perbankan, OJK harus membagi
beberapa kewenangannya atau berkoordinasi bersama dengan Bank Indonesia.
Adapun beberapa aspek pengaturan pengawasan perbankan yang harus dilakukan
koordinasi oleh OJK bersama dengan BI diatur dalam pasal 39 UU OJK yang
terdiri dari 5 aspek yaitu kewajiban pemenuhan modal minimum bank; sistem
informasi perbankan yang terpadu; kebijakan penerimaan dana dari luar negeri,
penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; produk
perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; penentuan institusi
bank yang masuk kategori systemically important bank; dan data lain yang
dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Pengaturan semacam
inisebenarnyadapat menimbulkanpertanyaan terhadap independensi OJK
secarainstitusi/kelembagaan dalam melaksanakan tugasdan kewenangannya
sebagai regulator, khususnya dalam sectorperbankan karena masih terdapat
hubungan yangerat antara OJK terhadap Bank Indonesia.
Menurut penulis, sebenarnya hubungan koordinasi antara OJK dan BI
khususnya dalam hal pengaturan terkait pengawasan di bidang perbankan tidak
dapat dihindari mengingat peran dan tugas BI selaku otoritas moneter akan selalu
bersinggungan dengan OJK selaku regulator di bidang jasa keuangan. Koordinasi
OJK dengan BI antara lain diperlukan untuk mendukung kebijakan moneter yang
mencakup operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, sistem pembayaran, dan
fasilitas likuiditas. Oleh sebab itu sebenarnya, dalam hal ini pengaturan
pengawasan perbankan yang harus dikoordinasikan oleh BI dan OJK adalah
merupakan pengaturan pengawasan perbankan yang bersifat makroprudensial
yang dampat berdampak atau berpengaruh kepada kestabilan moneter secara
keseluruhan yang merupakan tugas utama BI. Dalam UU OJK pun sebenarnya
juga telah dijelaskan bahwa tidak semua tugas pengaturan perbankan dapat
menjadi kewenangan oleh OJK, dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) dikatakan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
bahwa Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang
dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan
microprudential, dan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan
terkait macroprudential. Oleh sebab itu dalam hal tertentu khususnya berkaitan
dengan pengaturan pengawasan perbankan yang bersifat makropudensial dan
dapat berdampak kepada kestabilan moneter secara keseluruhan, memang tidak
dapat dihindarkan pembagian kewenangan atau terjadinya koordinasi antara BI
dan OJK sebagaimana terhadap aspek-aspek yang diatur dalam pasal 39 UU OJK.
Dan dalam hal kewajiban koordinasi dengan BI, menurut penulis sepenuhnya
tidak akan mengganggu independensi OJK sebagai regulator, karena memang
pada hakekatnya karakteristik dalam suatu sistem keuangan memang
mengharuskan terjadinya interaksi yang erat antara otoritas moneter dan otoritas
jasa keuangan. Lagipula, kewenangan dalam pengaturan terhadap perbankan yang
bersifat individual, langsung, regular/day to day basis, atau regulasi yang bersifat
microprudential tetap sepenuhnya menjadi kewenangan OJK. Kewenangan dalam
regulasi microprudential sebagaimana diatur dalam pasal 7 OJK yang meliputi
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank inilah yang
menurut penulis merupakan aspek regulasi yang bersifat esensial dalam hal
pengawasan terhadap perbankan nasional.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
2. Independensi OJK Terkait Tugas Menetapkan Dan Melaksanakan
Kebijakan Kestabilan Sistem Keuangan
UU OJK mengamanatkan bahwa OJK bersama-sama dengan Menteri
Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk saling
mendukung pelaksanaan fungsi, tugas, danwewenang masing-masing dalam
rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Dan dalam UU OJK tersebut, yaitu
pada pasal 44-46 juga dijelaskan terkait protokol koordinasi diantara lembaga-
lembaga tersebut yang menjadi landasan hukum dalam rangkapencegahan dan
penanganan krisis keuangan. Protokol tersebut mencakup pembentukan Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKKSK) yang beranggotakan Menteri
Keuangan selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan
Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan
Simpanan,yang akan senantiasa melakukan koordinasi baik dalam kondisi normal
maupun tidak normal ataukrisis.
Forum ini antara lain berfungsi untuk melakukan evaluasi regular kondisi
stabilitas sistem keuangan termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta
pengambilan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Masing-
masing institusi akan mengemukakan kondisi terkini yang menjadi wewenangnya
termasuk rekomendasi kebijakan terkait pencegahan maupun penangangan krisis.
Menurut Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Kebijakan Fiskal,171
peningkatan
koordinasi melalui peran dan fungsi FKSSK diharapkan memperbaiki protokol
manajemen krisis di tengah volatilitas ekonomi global. Hal ini agar terwujudnya
kepastian kondisi sistem keuangan secara nasional, bukan parsial dari lembaga
tertentu saja. Kepastian kondisi krisis, tentu akan diberikan sesuai data akurat
hasil kajian FKSSK dan hal ini juga berarti dalam hal terjadi krisis, akan ada
upaya pencegahan untuk menjaga stabilitas surat utang, APBN, cadangan devisa,
dan nilai tukar.
Ditengah ancaman krisis global, tantangan penyempurnaan tata kelola
dalam pencegahan dan penanganan krisis harus disadari merupakan suatu hal
yang bersifat urgent. Oleh sebab itu semua pemangku kepentingan dari pengelola
171
Bisnis Indonesia,Krisis Finansial: Peran FKSSK Perlu Dioptimalkan,
http://www.bisnis.com/articles/krisis-finansial-peran-fkssk-perlu-dioptimalkan, 08 Juni 2012,
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
94
Universitas Indonesia
stabilitas sistem keuangan, dalam hal ini termasuk OJK harus dapat bersinergi
dengan lembaga terkait lainnya dan bekerja sama agar stabilitas sistem keuangan
tetap terjaga. Hal ini menjadi penting, karena dengan sistem keuangan yang
semakin terintegrasi, tanggung jawab atas ketahanan sistem keuangan tidak hanya
berada pada satu otoritas atau bersifat sektoral, akan tetapi sangat terkait antara
otoritas satu dengan lainnya. Belajar dari pengalaman kasus Century, yang mana
hampir saja mendatangkan krisis ekonomi nasional, adalah akibat kurangnya
koordinasi otoritas dan juga belum matangnya infrastruktur dalam hal penanganan
krisis, sehingga polemik dan masalah yang bersifat ekonomi maupun politik terus
bergejolak di masyarakat. Bahkan hingga saat ini, proses hukum atas
bailout/Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) tidak juga kunjung selesai.
Oleh sebab itu, pihak-pihak terkait dalam FKSSK harus tetap bersinergi dalam
pengaturan sistem keuangan, termasuk menyangkut Crisis Protocol Management.
Tentunya kesadaran sinergi dan koordinasi antara para lembaga terkait di
dalam FKKSK adalah sesuatu yang penting, dan bukanlah bertujuan untuk
mengganggu tugas dan kewenangan masing-masing lembaga dalam menjalankan
fungsinya. Menurut Muliaman Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK, bahwa
koordinasi melalui FKSSK adalah solusi di masa transisi jika terjadi krisis,
sembari menunggu lahirnya UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan.172
Artinya,
disadari bahwa koordinasi itu baik, dalam keadaan normal maupun distress. Dan
yang menjadi penting adalah pengaturan mekanisme atau protokol koordinasi itu
jelas dan tegas melalui UU OJK. Dalam kondisi normal, forum ini saling
memberikan rekomendasi untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, saling
bertukar informasi, dan melakukan pertemuan paling sedikit tiga bulan sekali.
Sementara dalam kondisi krisis, tiap anggota forum dapat mengambil inisiatif
untuk pertemuan. Pertemuan tersebut dimaksud untuk mengambil keputusan
dalam rangka mengantisipasi dan mencegah kemungkinan terjadinya krisis serta
menangani dampak krisis. Jika forum memutuskan telah terjadi krisis dan
diperlukan penanganan melalui fasilitas pendanaan yang ada di BI atau di LPS,
172
Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Menambal Lubang Regulasi,
http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=892&article_type=0&article_category=16
&md=f71e43c83c0f53e3c94811a43354c4e1, 05 Agustus 2012
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
95
Universitas Indonesia
maka keputusan forum bersifat final dan mengikat setiap lembaga. Lebih lanjut
bila penanganannya melalui APBN, DPR mulai terlibat dan diberikan waktu 1x24
jam agar DPR memutuskan apakah setuju atau menolak keputusan forum.
Selain itu, menurut kajian dari Group of Thirty173
, suatu badan
internasional yang sering melakukan diskusi atas isu ekonomi internasional dan
kajian moneter, juga menyarankan bahwa untuk menjaga kestabilan sistem
keuangan, di setiap negara penting untuk dibentuk suatu badan atau forum
koordinasi atas otoritas-otoritas terkait agar tetap menjaga ketahanan sistem
keuangan baik di saat normal maupun di saat krisis. Berdasarkan penjelasan di
atas, menurut penulis terkait tugas OJK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), jelas tidak akan
mengurangi atau mengganggu independensi OJK. Sebaliknya justru dengan
kehadiran FKSSK ini, akan membantu dan memudah OJK dalam menjalankan
fungsinya agar sektor keuangan tetap berjalan dengan aman dan tidak rentan
terhadap krisis ekonomi.
173
Group of Thirty, The structure of Financial Supervision Approaches and Challenges
in a Global Marketplace, Washington, DC 2008 Page 15 (To facilitate coordination, most
jurisdictions create special coordinating bodies. Such a coordinating body, often called a
Financial Stability Committee, can comprise the heads or senior officials of the regulatory
agencies, the central bank, and the finance ministry. This type of institution can prove useful in
normal times, and especially important during times of crisis, when the linkages and lines of
communication already in place can be activated without delay. This type of structure is often
underpinned by Memoranda of Understanding (MOUs) among various agencies and can be
supplemented by cross-membership of boards by principals in the agencies. Such structures aimed
at facilitating coordination and information sharing are important, but many of them have yet to
be tested by the collapse of a systemically important financial institution).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
96
Universitas Indonesia
B. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek Fungsi
Pengawasan/Supervisory Independence
Memastikan independensi dalam fungsi pengawasan, seperti
pemberlakuan dan penegakan sanksi, adalah suatu hal yang esensial agar tercapai
efektivitas dan juga kredibilitas dari proses pengawasan sektor jasa keuangan.174
Dan untuk memperkuat supervisory independence dalam aspek ini, salah satu
yang penting untuk diperhatikan adalah otoritas pengawas dan para pegawainya
harus mendapatkan kepastian perlindungan hukum/legal indemnities dalam
pelaksanaan tugas-tugas mereka sepanjang tindakan tersebut dikarenakan
kepentingan nasional atau berdasarkan niat baik atau sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa perlindungan
tersebut akan sangat sulit untuk pengawas dalam menentukan tindakan/keputusan
dan tentunya akan sangat sulit untuk mendapatkan staf pengawas yang berkualitas
mengingat mereka harus menanggung resiko pekerjaan yang sangat tinggi.175
Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang baik dapat berimplikasi pada
paralyzing effect dalam fungsi pengawasan.Salah satu solusinya adalah jaminan
perlindungan hukum terhadap otoritas pengawas ini harus dituangkan dengan
tegas dalam perundang-undangan.
Adapun dalam pengaturannnya di Indonesia, terkait independensi OJK
dalam hal fungsi pengawasan, telah diatur secara tegas dalam Pasal 9 UU OJK,
yang mempunyai ketentuan bahwaterkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan
(Bank dan Non-Bank), OJK mempunyai kewenangan, yaitu :
a) Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan;
b) Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh
Kepala Eksekutif;
c) Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
174
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial
Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
175 Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
97
Universitas Indonesia
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d) Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan
dan/atau pihak tertentu;
e) Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f) Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g) Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
h) Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang
perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda
terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan,
persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
Setelah diketahui terkait indenpendensi OJK dalam fungsi pengawasan
sector keuangan melalui UU OJK, dapat dikaitkan kemudian pengaturan tersebut
dengan beberapa kriteria independensi pengawasan/supervisor yang ditawarkan
oleh Quintyn, Ramirez & Taylor.Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukan
seberapa tinggi nilai/tingkat Independensi OJK khususnya dalam hal pelaksanaan
fungsi pengawasan. Adapun analisis keterkaitannya dapat lebih jelas dipaparkan
melalui tabel dibawah ini:
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
98
Universitas Indonesia
Kriteria Independensi Fungsi
Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan176
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan Pengaturan Aspek Independensi
OJK sebagai Supervisor di
Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak
Independen
Independen, tidak
secara penuh
Independen
penuh
Apakah otoritas mempunyai
kewenangan untuk memberikan dan
mencabut lisensi (izin)?
Tidak punya Setelah berkonsultasi
dengan Pemerintah
atau otoritas lain
Ya Untuk melaksanakan tugas
pengawasan, OJK mempunyai
wewenang untuk, memberikan
dan/atau mencabut: izin usaha, izin
orang perseorangan, efektifnya
pernyataan pendaftaran, surat
tanda terdaftar, persetujuan
melakukan kegiatan usaha,
pengesahan, persetujuan atau
penetapan pembubaran dan
penetapan lain. (Pasal 9 huruf h)
Apakah otoritas mempunyai
kewenangan untuk memberikan
pengaturan dan penegakkan sanksi
kepada industri yang diawasi?
Tidak Ya Untuk melaksanakan tugas
pengawasan, OJK mempunyai
wewenang, menetapkan sanksi
administratif terhadap pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan (Pasal 9
huruf g)
Siapa yang mempunyai ―legal
imdemnities‖/perlindungan hukum
atas tindakan yang dilakukan dengan
itikad baik?
Tidak
siapapun di
otoritas
Hanya Pejabat
Tinggi
Semua
Pegawai
Tidak ada pengaturan tentang
kriteria ini di UU OJK
Dapat diperhatikan dalam tabel diatas bahwa, dari tiga kriteria yang
seharusnya dimiliki oleh OJK untuk memenuhi independensinya di bidang
pengawasan, ternyata melalui pengaturan di UU OJK, hanya dapat dipenuhi dua
kriteria independensi.Kriteria yang tidak dapat dipenuhi oleh OJK dalam
independensi fungsi sebagai lembaga pengawas adalah terkait ―legal
indemnities‖. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa aspek
perlindungan hukum, adalah aspek independensi yang cukup penting.Bahkan
menurut Darmin Nasution, banyak ahli yang melupakan pentingnya pengaturan
perlindungan hukum di peraturan perundangan-undangan di beberapa negara. Hal
ini sangat dapat berimplikasi negative terhadap efektifas tugas pengawasan yang
176
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
99
Universitas Indonesia
dilakukan oleh staf pengawas, atau dalam hal ini Staf OJK. Selain itu, isu legal
indemnities/perlindungan hukum ini telah menjadi concern di dunia perbankan
internasional, yang mana telah disepakati bersama bahwa prinsip ini harus
dipenuhi untuk keefektifan pengawasan perbankan.177
Sebagai catatan juga, bahwa sebelum OJK terbentuk, yaitu ketika fungsi
pengawasan perbankan masih berada pada kewenangan Bank Indonesia, isu legal
indemnities/perlindungan hukum telah menjadi diskusi penting di internal
pengawas Bank Indonesia. Deputi Gubernur pada saat itu, Budi Rochadi
mengatakan pihaknya mengalami kegamangan karena keterbatasan aspek
perlindungan hukum. Padahal, BI merupakan ujung tombak di sisi pengawasan
untuk memastikan penyehatan bank. Dia mencontohkan, pihaknya sering dituntut
atas tindakan pengawasan terhadap bank. Ini terjadi saat ada bank bermasalah dan
biasanya proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap
pemilik dan pengurus bank, pelaporan tipibank, serta pengenaan sanksi atau denda
yang dilakukan oleh BI menjadi polemik178
. Bank Indonesia (BI) menilai,
penegasan atas perlindungan hukum terhadap para pengawas bank sudah
mendesak untuk dilakukan. Di negara lain penegasan atas perlindungan hukum
terhadap pengawas bank sudah lebih jelas. Oleh sebab itu aspek perlindungan
hukum sudah harus masuk ke dalam pengaturan perundang-undangan di bidang
perbankan Indonesia.179
177
Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking Supervision,
Core Principles for Effective Banking Supervision, September 2012. (Principle 2 – Independence,
accountability, resourcing and legal protection for supervisors: ―The legal framework for banking
supervision includes legal protection for the supervisor‖)
178 Wahyu Satriani Ari Wulan, Soal Pengawasan Bank, Gamang, BI minta Perlindungan
Hukum, Kompas.com, Selasa, 02 Februari 2010,
http://nasional.kompas.com/read/2010/02/02/16344284/Gamang..BI.minta.Perlindungan.Hukum,
179 Ruisa Khoiriyah, Perlindungan Hukum Pengawas Bank Bi: Perlindungan Hukum
Terhadap Pengawas Bank Mendesak Dilakukan, Kontan.co.id, Selasa, 02 Februari 2010,
http://keuangan.kontan.co.id/news/bi-perlindungan-hukum-terhadap-pengawas-bank-mendesak-
dilakukan,
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
100
Universitas Indonesia
1. Independensi OJK Terkait Koordinasi Fungsi Pengawasan dengan
Lembaga Lain
Dalam aspek fungsi pengawasan OJK ini, sebagaimana diatur dalam UU
OJK yaitu di pasal 40, 41, 42 dan 43, OJK juga diwajibkan untuk dapat
berkoordinasi dengan lembaga lain yaitu Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) dalam tugas pengawasan di bidang perbankan. Dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa, BI dan LPS juga sebenarnya memiliki tugas pengawasan
yaitu pemeriksaan terhadap perbankan di Indonesia. Selain itu diantara ketiga
lembaga tersebut harus saling dapat memberikan informasi-informasi terkait
pengawasan perbankan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga sesuai
dengan kewenangannya masing-masing. Oleh sebab itu dalam pasal 43 UU OJK
beserta penjelasannya diatur bahwa, OJK, BI dan LPS wajib membangun dan
memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.
Memang jika dilihat pengaturan pasal-pasal tersebut secara singkat, dapat
mengindikasikan bahwa independensi OJK sebagai pengawas di bidang jasa
keuangan khususnya di bidang perbankan akan bergantung dengan lembaga lain,
yaitu BI dan LPS, dan cenderung akan dapat mengurangi kemandirian OJK
karena harus melakukan koordinasi-koordinasi seperti pertukaran informasi setiap
saat (timely basis) dengan kedua lembaga tersebut. Hal ini didasarkan bahwa pada
pengalaman dan kenyataannya bahwa koordinasi antara beberapa lembaga sulit
dilaksanakan karena kecenderungan egoisentris institusional, yang mana biasanya
institusi dimaksud akan selalu lebih mementingkan pada tugas pokok masing-
masing lembaga tanpa mempertimbangkan hubungan kelembagaan dengan
institusi lainnya.180
180
Sebagai contoh konflik koordinasi adalah terkait hubungan antara departemen
keuangan dan bank sentral, yanghampir di seluruh dunia terjadi persaingan danketegangan, karena
mereka mengelola bidang yangsama. Selain itu juga, sebuah studimenunjukkan bahwa ketegangan
antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia kelihatan sangat jelas ketika berurusan dengan
kebijakan utang dan regulasi lembaga keuangan. Lihat Coleman, W.D., 1996, ―Financial Services,
Globalization and Domestic Policy Change,‖ hal. 67, Macmillan Press Ltd, London dalam
Lukman Hakim dkk, 2003, ―Studi Dasar-Dasar Ekonomi Politik OJK,‖ Lembaga Studi
Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Jakarta dan PPSK BI
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
Dalam hal terkait koordinasi pengawasan antara OJK dengan BI181
,
memang sudah sewajarnya dibutuhkan, karena dalam hal risiko pengelolaan
krisis, BI yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lender of the last resort
(LOLR), yaitu BI sebagai pemberi pinjaman kepada bank dalam keadaan yang
memaksa untuk menjaga likuiditas dari bank tersebut. Peran BI sebagai LOLR
tersebut dijelaskan pada Pasal 11 UUBI yang memungkinkan Bank Indonesia
membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Adapun
keadaan memaksa yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam pasal 37 dan
pasal 37 huruf (a) UU Perbankan yang dapat berupa:
a) Hal-hal yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang
bersangkutan;
b) Hal-hal yang membahayakan sistem perbankan; dan
c) terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
Untuk menunjang fungsi LOLR-nya tersebut sudah tentu BI akan
membutuhkan informasi mendalam mengenai lembaga keuangan untuk
menjalankan perannya sebagai LOLR. Oleh sebab itu hal ini harus diakomodir
melalui UU OJK yaitu melalui ketentuan pasal 41 ayat (2), yaitu bahwa dalam
hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau
kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI
untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI. Dalam UU
OJK, yaitu pada pasal 40 ayat (1) UU OJK juga diatur bahwa BI masih
mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank
yang memerlukan pengawasan khusus, namun juga pengawasan tersebut harus
181
Meskipun baik BI maupun OJK memiliki kewenangan pemeriksaan bank, namun
terdapat perbedaan perspektif atas pemeriksaan yang dilakukan oleh kedua otoritas tersebut.
Selaku otoritas mikroprudensial, pemeriksaan lembaga keuangan oleh OJK ditujukan untuk
menilai tingkat kesehatan, risiko yang dihadapi, dan upaya mitigasi yang dilakukan oleh individu
institusi keuangan sehingga masyarakat selaku pengguna jasa keuangan aman terlindungi.
Sementara itu, pemeriksaan bank oleh Bank Indonesia dilakukan dalam kerangka memantau
Stabilitas Sistem Keuangan secara keseluruhan antara lain untuk memperkuat hasil surveillance
sekaligus mendapatkan fakta kondisi terkini terkait perilaku, eksposur risiko (antara lain risiko
pasar, likuiditas, pasar, dan kredit), strategi bisnis dan ketahanan. Dengan perbedaan tujuan ini,
fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh kedua otoritas juga berbeda, yaitu pemeriksaan dilakukan
oleh BI berdasarkan kebutuhan tertentu (based on request), sementara OJK melakukan
pemeriksaan secara rutin. Lihat Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan ( No. 18, Maret
2012), Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Grup Stabilitas Sitem Keuangan, hlm
98.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
102
Universitas Indonesia
tetap dikoordinasikan dengan OJK yaitu dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu. Dan pemeriksaan tersebut juga
dibatasi, bahwa BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan
bank karena pemeriksaan atas tingkat kesehatan bank adalah pengawasan yang
bersifat microprudential dan sepenuhnya merupakan kewenangan dari OJK.
Sementara itu, terkait koordinasi pengawasan OJK dengan LPS, adalah
juga sehubungan dengan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU no 24
tahun 2004 tentang LPS, yaitu LPS mempunyai 2 (dua) fungsi utama,yaitu selain
sebagai penjamin simpanan nasabah bank (deposit insurance corporation) dan
LPS juga turut aktif berperan dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai
kewenangannya. Dalam menjalankan fungsinya LPS turut pula merumuskan,
menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank
resolution) yang tidak berdampak sistemik dan melaksanakan penanganan bank
gagal yang berdampak sistemik. Jadi secara garis besar LPS memiliki dua tugas
utama yaitu sebagai penjamin dana nasabah penyimpan bank dan sebagai
likuidator bank gagal. Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU LPS, mengatur bahwa LPS
menerima pemberitahuan dari Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) mengenai
bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Kemudian LPS
melakukan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP
atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS. LPP dalam
maksud ketentuan tersebut tentu saja adalah Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan
tentang pemberian informasi dari OJK ke LPS tentang bank bermasalah yang
sedang dalam penyehatan tersebut hampir sejalan dan mempunyai persamaan
pengaturan tentang koordinasi OJK dan LPS sebagaimana diatur di pasal 41 ayat
(1) UU OJK. Selain itu juga, menurut pasal 41 ayat (2) UU OJK, LPS dapat
melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan
wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. Ketentuan
tersebut juga tidak jauh berbeda dengan ketentuan pasal 14 ayat (4) UU LPS,
yaitu tentang pemeriksaan langsung pada bank dilakukan oleh LPP atas
permintaan LPS. Oleh sebab itu, menurut penulis dalam hal koordinasi antara
OJK dan LPS terkait fungsi pengawasan OJK, tidaklah akan mengganggu
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
103
Universitas Indonesia
independensi OJK. Hal ini karena memang sudah menjadi tugas dan fungsi LPS
untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan sesuai dengan kewenangan-
kewenangan yang telah diberikan kepadanya sebagaimana diatur oleh UU 24
tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Atas hal kewajiban koordinasi diantara ketiga lembaga ini, yaitu OJK, BI
dan LPS, UU OJK melalui pasal 43, juga memerintahkan agar ketiga lembaga
tersebut membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara
terintegrasi. Sarana pertukaran informasi tersebut harus saling terhubung satu
sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses
informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut
meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank,
laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS atau oleh OJK, dan
informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan
informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut
penulis maka sudah sewajarnya terdapat suatu sistem pertukaran informasi
(Information Sharing System), diantara ketiga lembaga tersebut dan tentu saja
tanpa harus menurunkan aspek independensi masing-masing lembaga. Sasaran
utamanya adalah tentu saja agar masing-masing lembaga dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya secara maksimal, hal ini mengingat objek yang menjadi
tujuan pencapaian tugas ketiga lembaga tersebut adalah sangat erat dan saling
terkait, yaitu sistem keuangan nasional yang semakin terintegrasi. Hal ini juga
sejalan dengan prinsip-prinsip pengawasan perbankan yang diterbitkan oleh Basel
Comittee,182
yang mana menjelaskan bahwa kerjasama dan pertukaran informasi
yang sesuai diantara otoritas publik termasuk dalam hal ini pengawas bank, bank
sentral, otoritas penjamin simpanan dan lembaga regulator lain dapat dengan
signifikan berkontribusi pada peningakatan efektifitas lembaga-lembaga tersebut
dalam menjalankan tugasnya.
182
Basel Committee on Banking Supervision, Principles For Enhancing Corporate
Governance October 2010, Bank for International Settlements, Page 32 (Supervisors should
cooperate with other relevant supervisors in other jurisdictions regarding the supervision of
corporate governance policies and practices. . Cooperation and appropriate information-sharing
among relevant public authorities, including bank supervisors, central banks, deposit insurance
agencies and other regulators, not only for issues related to corporate governance but also more
broadly, can significantly contribute to the effectiveness of these authorities in their respective
roles)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Selain itu juga seperti diketahui dalam ruang lingkup pengawasan sektor
keuangan, bahwa sebelum OJK terbentuk, selama ini BI dan Bapepam-LK
melakukan pola pengawasan yang terpisah, berjalan sendiri-sendiri di rel masing-
masing dan cenderung mementingkan kepentingan kelembagaan masing-masing.
Oleh sebab itu dengan hadirnya OJK, pengawasan yang bersifat sektoral tersebut
akan sedapat mungkin dihindari melalui mekanisme koordinasi dan sistem
informasi yang terintegrasi. Pengawasan di perbankan, pasar modal dan lembaga
keuangan non-bank perlu berjalan seiring, terintegrasi di bawah koordinasi satu
tangan. Terbentuknya sistem pengawasan yang terintegrasi akan menghilangkan
egoisme sektoral dan mengedepankan kepentingan bersama melalui koordinasi
yang lebih baik. Sistem pengawasan seperti ini akan menciptakan pola
pengawasan yang saling mengisi antar sektor di jasa keuangan, ada koordinasi dan
kerjasama yang lebih baik dalam pola pengawasan. Koordinasi itu dilakukan
mulai dari tahap perencanaan, pembuatan kebijakan, mekanisme pengawasan
hingga pelaksanaannya di lapangan. Hal ini juga akan mencegah terjadinya
tumpang tindih (overlapping) peraturan untuk satu obyek yang sama.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
105
Universitas Indonesia
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek
Kelembagaan/Institutional Independence
Independensi dalam aspek kelembagaan suatu otoritas di sektor jasa
keuangan, pada hakikatnya adalah mengacu pada status kelembagaan otoritas
tersebut sebagai sebuah institusi yang bersifat mandiri/independen, yang terpisah
dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh sebab itu terkait
dengan aspek ini, OJK dalam harus berdiri sebagai suatu badan independen secara
hukum untuk menegaskan kewenangan dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan
dalam undang-undang pembentukannya.183
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Quintyn dan Taylor bahwa dalam aspek kelembagaan, setidaknya terdapat dua
unsur penting untuk menjamin independensi otoritas dalam menjalankan
fungsinya184
, yaitu aspek pertama, independensi dalam hal persyaratan yang tegas
dan jelas dalam penunjukkan dan penarikan pimpinan/pejabat level senior, yang
bertujuan agar pegawai otoritas mempunyai kejelasan masa jabatan dan
memungkinkan mereka untuk bekerja tanpa takut akan pemecatan yang tidak
wajar oleh pemerintah di kemudian hari. Pejabat tinggi (dewan komisioner)
otoritas pada prinsipnya hanya dapat diberhentikan dari jabatannya dengan alasan
yang substansial/wajar(good cause)185
, seperti apabila telah mendapatkan vonis
pidana atau bangkrut, atau presiden dapat memberhentikan dengan alasan
ketidakmampuan mereka secara fisik atau mental.186
Aspek yang kedua,
Independensi dalam hal tata struktural dari otoritas jasa keuangan, yaitu
keanggotaan komisioner yang bersifat kolektif (multi member comission) agar
membantu memastikan konsistensi dan keberlanjutan pengambilan keputusan
otoritas dari waktu ke waktu dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh
pandangan individual.
183
Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
184 Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and Supervisory Independence and Financial
Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
185 Untuk pembahasan mengenai konsep good cause dalam pemberhentian pimpinan
otoritas independen dapat dilihat di footnote no empat pada bab dua.
186 Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Menurut Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, dalam pasal 2
ayat (2) telah ditegaskan mengenasi status independensi kelembagaan OJK, yaitu
lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam UU OJK. Kemudian juga dalam Penjelasan Umum UU OJK, lebih
ditekankan lagi mengenai status independensi OJK khususnya berkaitan dengan
hubungan dengan pemerintah, yang berbunyi bahwa Otoritas Jasa Keuangan
berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak
menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Adapun juga OJK diharuskan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas, yang salah
satunya adalah asas independensi yaitu independen dalam pengambilan keputusan
dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian berkaitan dengan independensi kelembagaan yaitu dalam hal
tata cara pemberhentian pimpinan, UU OJK mengatur bahwa pimpinan atau
dalam hal ini para anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum
masa jabatannya berakhir, kecuali memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang
ditentukan oleh dalam pasal 17 ayat (1) UU OJK. Terkait dengan tata struktural
OJK, Pasal 10 ayat (2) UU OJK, mengatur bahwa pimpinan OJK tidak bertipe
single person namun multi member yaitu sejumlah 9 anggota yang bersifat
kolektif dan kolegial. Bersifat kolektif mengandung makna bahwa pada setiap
proses pengambilan keputusan dewan komisioner melakukannya secara bersama-
sama. Sedangkan bersifat kolegial berarti bahwa setiap pengambilan keputusan
dewan komisioner dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan
berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota. Setiap anggota Dewan
Komisioner OJK dalam hal ini memiliki hak suara yang sama.
Secara lebih lengkap, mengenai aspek independensi kelembagaan beserta
kriteria-kriterianya yang seharusnya dimiliki oleh otoritas pengatur dan pengawas
sektor jasa keuangan, sebagaimana yang diajukan oleh Quintyn & Taylor, yang
telah penulis analisis dikaitkan dengan pengaturan independensi kelembagaan
OJK di Indonesia melalui UU OJK, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
107
Universitas Indonesia
Kriteria Independensi
Kelembagaan Otoritas Jasa
Keuangan187
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan
Pengaturan Aspek Independensi
Kelembagaan OJK di Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak
Independen
Independen,
Tidak Secara
Penuh
Independen
Penuh
Apakah Otoritas mempunyai dasar
hukum (undang-undang, peraturan,
dll)?
Tidak Ya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan, LN 111, TLN 5253.
Apakah hukum/UU menyatakan
otoritas tersebut independen? Tidak Ya Status OJK adalah lembaga yang
independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal
yang secara tegas diatur dalam Undang-
Undang. (Pasal 2 ayat (2))
Bagaimana prosedur pengangkatan
pimpinan dan pejabat tinggi otoritas? Oleh
Pemerintah
Oleh Kepala
Negara berdasar
dari usulan
pemerintah/
perdana menteri
Oleh
Parlemen
berdasar dari
usulan
pemerintah
Anggota Dewan Komisioner OJK
dipilih oleh DPR berdasarkan calon
anggota yang diusulkan oleh Presiden.
(Pasal 11 ayat (1))
Apakah badan pembuat keputusan
adalah dewan atau kepala pimpinan
(single person)?
Hanya
Kepala
Pimpinan
Kolegial dan
Kolektif
Dewan Komisioner adalah pimpinan
tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan
kolegial, yang beranggotakan 9
(sembilan) orang. (Pasal 10 ayat (1) dan
(2))
Apakah ada Anggota
Parlemen/legislator yang menduduki
sebagai anggota dewan pengendali
kebijakan otoritas?
Ya Tidak Anggota Dewan Komisioner OJK
dilarang menjadi pengurus partai politik;
(Pasal 22 huruf c)
187
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 39. (Appendix ii.
Criteria for the index on independence and accountability for financial sector supervisor)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Apakah ada Pejabat Pemerintah
yang menduduki sebagai anggota
dewan pengendali kebijakan
otoritas?
Ya Tidak Anggota Dewan Komisioner OJK
dilarang menduduki jabatan pada
lembaga lain, kecuali dalam rangka
pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenang OJK dan/atau penugasan
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 22 huruf
(d);
Susunan Dewan Komisioner mempunyai
seorang anggota Ex-officio dari
Kementerian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat eselon I Kementerian
Keuangan.Keberadaan Ex-officio ini
dimaksudkan dalam rangka koordinasi,
kerja sama, dan harmonisasi kebijakan
di bidang fiskal, moneter, dan sektor
jasa keuangan (Pasal 10 ayat (4) huruf i
dan Penjelasan Umum)
Apakah UU memberikan
Pemerintah/Kementerian Keuangan
kekuasaan pengawasan/kontrol
terhadap otoritas?
Ya Tidak Secara kelembagaan, Otoritas Jasa
Keuangan berada di luar Pemerintah,
yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa
Keuangan tidak menjadi bagian dari
kekuasaan Pemerintah. (Penjelasan
Umum)
Apakah UU mempunyai definisi
yang jelas terhadap pemberhentian
Pimpinan otoritas?
Tidak ada Ada, tapi tidak
secara spesifik
Ya Anggota Dewan Komisioner tidak dapat
diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir, kecuali apabila memenuhi
alasan-alasan yang ditentukan UU (Pasal
17 ayat (1))
Berdasarkan table di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya OJK di
Indonesia hampir secara keseluruhan dapat memenuhi nilai independensi penuh
dalam hal pelaksanaan tugas dan wewenangnya berdasarkan pengaturan di UU 21
tahun 2011 tentang OJK. Namun juga, dapat kita cermati bahwa terhadap kriteria
independensi di atas khususnya terkait poin Pejabat Pemerintah yang menduduki
sebagai anggota dewan pengendali kebijakan otoritas, OJK ternyata tidak
memenuhi nilai independensi yang penuh dalam kriteria tersebut. Hal ini
disebabkan ternyata masih ada unsur pejabat pemerintah di dalam susunan dewan
pengendali kebijakan atau pimpinan OJK, yaitu unsur ex-officio yang merupakan
pejabat dari pemerintahan atau dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Seperti diketahui, susunan anggota DK OJK terdiri dari; seorang Ketua
merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap
anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota,
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
109
Universitas Indonesia
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan dan Lembaga Keuangan Lainnya merangkap anggota. Kemudian,
seorang Ketua Dewan Audit Merangkap anggota, seorang anggota yang
membidangi edukasi dan perlindungan konsumen, seorang anggota ex officio dari
Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia,
seorang anggota ex officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat
setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Namun adanya unsur ex officio dari
Kemenkeu dan BI dalam Dewan Komisaris OJK ini kemudian dikhawatirkan
akan mempengaruhi pelaksanaan independensi OJK, karena pada hakikatnya OJK
adalah lembaga independen yang seharusnya mandiri dan bebas dari segala
campur tangan pihak/lembaga lain, termasuk juga dalam hal ini Pemerintah
maupun Bank Indonesia.
1. Independensi OJK terkait Keanggotaan Dewan Komisioner Ex-
Officio dari Bank Sentral dan Pemerintah
Menjawab perdebatan terkait masalah intervensi pemerintah dan BI
tersebut, dalam UU OJK,diatur mengenai pentingnya posisi ex-officio dari
Pemerintah dan BI di dalam struktur kelembagaan OJK. Dalam penjelasan umum
UU OJK dinyatakan bahwa keberadaan ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan
sektor jasa keuangan. Keberadaan ex-officio juga diperlukan guna memastikan
terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan
kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam
rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa
Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan
pemerintahan lainnya
Sejalan dengan hal tersebut, menanggapi isu intervensi dalam struktur
pimpinan OJK, Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menepis
kekhawatiran bahwa anggota DK OJK ex officio akan mengganggu independensi
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
110
Universitas Indonesia
dan intervensi dalam melaksanakan tugasnya.188
Dengan pertimbangan bahwa
secara proporsi, anggota DK OJK ex-officio tersebut masih jauh dibanding
anggota Dewan Komisioner lainnya. Selain itu, anggota DK OJK juga telah
memiliki tata aturan yang jelas serta rumusan dan penetapan kebijakan yang
bersifat kolektif kolegial. Pemerintah juga menilai pemberian hak suara/voting
right bagi anggota DK OJK ex officio Kemenkeu dan BI diperlukan mengingat
Kemenkeu adalah wakil pemerintah dalam berbagai kerja sama internasional.
Menurutnya sedikitnya terdapat tiga latar belakang yang menjadi pemikiran
Pemerintah terkait pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam dalam
keanggotaan Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu
diantaranya:
1. Anggota ex officio Dewan Komisioner OJK diharapkan akan dapat
mendukung kesamaan irama bagi Kementerian Keuangan, BI dan OJK
dalam merancang dan menerapkan kebijakan di sektor keuangan.
Kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan pengaturan sektor keuangan
sudah sepatutnya selalu seiring dalam mengelola, mengatur, dan
mengawasi keseluruhan aktivitas perekonomian nasional, terutama pada
sektor keuangan. Sehingga diharapakan dapat menjadi jembatan bagi
Kemenkeu, BI dan OJK
2. Keterwakilan Kemenkeu dalam DK OJK adalah untuk mengkoordinasikan
serta memonitor informasi terkini, memahami serta mendeteksi
kecenderungan terkait peluang dan ancaman atas industri jasa keuangan
secara berkesinambungan. Selain itu, agar dapat mengantisipasi,
merumuskan dan menerapkan kebijakan antara Kemenkeu, BI dan OJK.
3. Selain itu, koordinasi diantara tiga lembaga ini sangat diperlukan agar
dapat mengantisipasi, merumuskan dan menerapkan kebijakan antara
Kemenkeu, BI dan OJK. Hal ini dilakukan dengan koordinasi antara
lembaga tersebut yang diwujudkan melalui keterwakilan Pemerintah dan
BI dalam keanggotaan DK OJK.
188
Kementerian Keuangan, Pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam DK OJK,
Berita Kemenkeu,
http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixNews&id=19821&thn=2011&name=br_260511_5.ht
m, tanggal 26 Mei 2011.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
111
Universitas Indonesia
Sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan di atas, banyak pakar di
bidang perbankan juga memahami adanya keterwakilan pemerintah di dalam
structural Otoritas Jasa keuangan. Argumennya adalah, bahwa independensi
pengawasan sektor keuangan berbeda dari independensi bank sentral dalam
menjaga kebijakan moneter, dalam arti bahwa di sektor finansial, pemerintah
(biasanya Menteri Keuangan) secara politis tetap bertanggung jawab untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan, dikarenakan kegagalan satu atau lebih
lembaga keuangan, pasar atau infrastruktur dapat memiliki implikasi serius
terhadap ekonomi masyarakat luas. Oleh sebab itu, negara tetap harus mempunyai
mekanisme kontrol seperti memberikan perwakilan pemerintah yang secara aktif
berpartisipasi dalam manajemen di otoritas pengawas.189
Selain itu juga
koordinasi OJK dengan pemerintah menurut Quintyn & Taylor adalah memang
dibutuhkan, hal ini karena pemerintah (khususnya melalui kementrian keuangan)
mempunyai peran yang sentral dalam hal manajemen krisis keuangan. Di
beberapa negara, hal ini biasanya diwujudkan melalui penempatan perwakilan
pemerintah di dewan pengurus otoritas jasa keuangan. Namun demikian,
perwakilan pemerintah tersebut seharusnya ditempatkan dalam bagian non-
eksekutif yang tidak bersentuhan dengan fungsi kebijakan otoritas untuk tetap
menjaga independensi dari otoritas.190
Berdasarkan argument-argumen tersebut di
atas, penulis sependapat terkait pentingnya posisi exofficio di dalam struktur
kelembagaan OJK, dan hal ini seharusnya tidak dimaknai sebagai bentuk
intervensi namun sebagai bentuk koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan di
sector jasa keuangan dapat berjalan lancar dan efektif. Oleh sebab itu, terkait
aspek independensi kelembagaan OJK di Indonesia, menurut penulis OJK sudah
mempunyai nilai independensi yang penuh dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya.
189
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report, Brussels
25 February 2009, page 47. (―National authorities influence should be limited to the possibility of
amending the legal framework, imposing long-run strategic goals, and monitoring performance,
on the condition that this is done in an open and transparent manner‖.)
190 Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11-15, ―Section: The
Dimensions of Accountability‖
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
112
Universitas Indonesia
2. Independensi OJK Terkait Fungsi Penyidikan di Sektor Jasa
Keuangan
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur dalam Pasal 49 s.d
Pasal 51 UU OJK. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai Negeri
yang telah diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat
melakukan kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49 ayat (3) huruf i UU
OJK lebih lanjut mengatur bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang
meminta bantuan aparat penegak hukum lain dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian
dan Pengadilan. Dalam hal ini, yang perlu mendapatkan perhatian adalah Pasal 51
UU OJK yang menyebutkan bahwa PPNS yang dipekerjakan di OJK hanya dapat
ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan
dan tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat diartikan bahwa dimungkinkan
adanya PPNS yang merupakan penugasan dari instansi lain misalnya penyidik
dari Kepolisian Negara RI atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (disingkat Bapepam-LK) yang dipekerjakan di OJK.
Pengaturan tentang kewenangan penyidikan OJK tersebut cenderung agak
lemah dan kurang independen, jika dibandingkan pengaturan penyidikan pada
Bapepam-LK (pada saat belum dibubarkan), pelaksanaan tugas penyidikannya
diatur secara independen, dalam artian terbebas dari campur tangan pihak lain.
Dalam pasal 101 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, diatur
bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Bapepam-LK, penyidik hanya dibatasi
dari lingkungan Bapepam-LK. Lebih lanjut diatur bahwa dalam rangka
pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut Bapepam-LK dapat meminta
bantuan dari aparat penegak hukum lainnya misalnya Kepolisian Republik
Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan
Agung. Dari pengaturan tersebut, dapat diartikan bahwa penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik lain sifatnya berupa ―bantuan‖ tanpa harus dipekerjakan
atau menjadi bagian dari Bapepam-LK.
Dengan adanya penugasan bersifat sementara dan adhoc dari instansi lain
tersebut, tugas penyidikan menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena
adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain mengingat pejabatnya
dipekerjakan di OJK. Adanya campur tangan lembaga lain tersebut sudah tentu
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
113
Universitas Indonesia
dapat berpotensi mengganggu independensi OJK dalam melalukan tugasnya
dalam penyidikan tindak pidana di sektor keuangan. Dengan kata lain, OJK secara
kelembagaan pegawainya sendiri tidak dapat ditugasi sebagai penyidik, dan akan
sangat bergantung kepada lembaga lain yang dalam hal ini adalah Kejaksaan,
Kepolisian dan Pengadilan atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Bappepam
LK sendiri, sebenarnya sudah tidak dapat dipekerjakan sebagai penyidik
walaupun telah diangkat atau dipekerjakan di OJK. Hal ini karena setelah
Bapepam-LK bubar, jika para pegawai Bapepam tersebut pindah dan memilih
bergabung dengan OJK, tentu status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari para
pegawai tersebut akan hilang, sehingga tidak lagi dapat menjalankan tugas
sebagai penyidik sebagaimana pasal 49 ayat (1) UU OJK. Oleh sebab itu, menurut
Muliaman Hadad, hal tersebut cukup mengganggu tugas penyidikan OJK,
mengingat dalam Undang-Undang (UU) disebutkan bahwa yang menjadi penyidik
harus dari kepolisian dan PNS.191
Sebagai contoh praktek nyata terkait
ketidakmandirian suatu lembaga apabila penyidiknya bergantung pada instansi
lain, dalam beberapa waktu lalu masih hangat pemberitaan konflik kepentingan
antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (POLRI), yang
mana atas peristiwa tersebut POLRI menarik besar-besaran penyidinya dari
lembaga KPK.192
Pada akhirnya karena konflik tersebut, KPK sangat terhambat
dan kesulitan dalam menyelesaikan perkara korupsi karena penyidik aktif di
lembaganya hanya tersisa sedikit setelah dilakukan penarikan tersebut. Kejadian
tersebut dapat berpotensi akan terulang ke depannya pada OJK, jika permasalahan
personil penyidik ini tidak dicari solusi pemecahannya.193
191
Jurnas.Com, Pegawai Berstatus Non-PNS: OJK Terancam Tak Bisa Lakukan
Penyidikan,
http://www.jurnas.com/news/71973/Pegawai_Berstatus_NonPNS,_OJK_Terancam_Tak_Bisa_La
kukan_Penyidikan/1/Ekonomi, 24 September 2012.
192 Dian Maharani, Polri Tarik Penyidik KPK :Tak Wajar, Penarikan 20 Penyidik Polri
dari KPK, Kompas.com, 15 September 2012, berita diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/15/1445577/Tak.Wajar.Penarikan.20.Penyidik.Polri.dari
.KPK
193 Terhadap permasalahan ini bisa juga dijawab dengan solusi ―Penyidik Independen‖
dari pegawai internal OJK. Hal ini juga sedang dalam proses di KPK dan juga sedang dikaji oleh
DPR terkait legalitas atas ―Penyidik Independen‖ tersebut. Lihat Sandro Gatra, Komisi III Kaji
Penyidik Independen KPK, Kompas.Com,Senin, 17 September 2012,
(http://nasional.kompas.com/read/2012/09/17/18233417/Komisi.III.Kaji.Penyidik.Independen.KP
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
114
Universitas Indonesia
D. Independensi Otoritas Jasa Keuangan dari Aspek
Anggaran/Budgetary Independence
Independensi dalam aspek anggaran adalah mengacu pada kemampuan
dari otoritas pengawas untuk menentukan besar anggaran mereka sendiri dan
sumber alokasi anggaran, serta prioritas dalam menggunakan anggaran tersebut.
Otoritas pengawas yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dalam
aspek budgetary independence akan lebih tangguh dalam menghadapi pengaruh
politik agar dapat bergerak cepat dalam kebutuhan yang mendesak di sektor
finansial dan memastikan sistem penggajian mereka akan cukup menarik dalam
merekrut staff yang kompeten.
Otoritas pengawas yang dibiayai melalui pemberian dari anggaran
pemerintah, dapat dikatakan cenderung terbuka dan lemah dari berbagai bentuk
intervensi politik. Hal ini dapat dijelaskan ketika otoritas pengawas tersebut
dianggap secara politik lebih ketat pada jaringan pelaku usaha tertentu,
pemerintah dapat mengintervensi dengan menahan atau mengurangi anggaran
yang diberikan.Lebih lanjut, dapat juga terjadi anggaran otoritas pengawas
dipotong oleh Pemerintah dengan dalih kebijakan fiskal yang mendesak.Adapun
di lain sisi, anggaran otoritas yang bersumber dari industri bisnis yang diawasi
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemberian anggaran dari
pemerintah, seperti misalnya mengurangi lingkup dari campur tangan politis dan
tingkat kebebasan yang lebih tinggi untuk otoritas menentukan anggarannya
sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan dan prioritasnya. Namun perlu juga
disadari hal ini memiliki risiko jika iuran/fee dari dunia industri belum terstruktur
dengan jelas, yang dapat berimplikasi pada ketergantungan yang tinggi terhadap
industri dan dapat berakibat melemahkan kemandirian otoritas pengawas.
Dalam UU OJK diatur bahwa, anggaran OJK dapat bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau pungutan dari pihak
yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, untuk mendukung
kegiatan operasional OJK, pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke
OJK. Selain itu diatur juga bahwa untuk penetapan anggaran, OJK terlebih dahulu
K) ; Lihat juga B Kunto Wibisono, Pakar: Kpk Perlu Rekrut Penyidik Independen, Antara
News.com, 20 September 2012, (http://www.antaranews.com/berita/334180/pakar-kpk-perlu-
rekrut-penyidik-independen)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
115
Universitas Indonesia
meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pengaturan
anggaran OJK yang demikian, maka dapat diartikan bahwa pelaksanaan tugas dan
wewenang OJK bergantung kepada APBN yang disetujui oleh DPR dan/atau
Pihak (lembaga keuagan) yang diawasi oleh OJK, serta Pemerintah. Lebih lanjut
diatur pada penjelasan pasal 34 ayat (2), bahwa pembiayaan kegiatan OJK
sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan
kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan
besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan
pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan
pendanaan OJK. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh
kegiatan operasional secara mandiri, antara lain seperti pada masa awal
pembentukan OJK.
Kriteria Independensi Anggaran
Otoritas Jasa Keuangan
Nilai Independensi Otoritas Jasa Keuangan
Pengaturan Aspek
Independensi Kelembagaan
OJK di Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak Independen
Independen,
Tidak Secara
Penuh
Independen
Penuh
Bagaimanakah pendanaan anggaran
otoritas?
Hanya melalui
anggaran dari
pemerintah
Perpaduan
iuran industri
dan anggaran
bank sentral
yang disertai
anggaran
pemerintah
Melalui iuran
industri, melalui
anggaran bank
sentral, atau
perpaduan antara
keduanya, tetapi
tidak ada
anggaran dari
pemerintah
Anggaran OJK bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau
pungutan dari pihak yang
melakukan kegiatan di sektor
jasa keuangan
Kewajiban otoritas untuk melaporkan
anggaran kepada pemerintah untuk
disetujui (termasuk persetujuan
tentang struktur anggaran)
Ya Terpisah,
seperti
misalnya dalam
hal struktur
anggaran
Tidak Untuk penetapan anggaran, OJK
terlebih dahulu meminta
persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. (Pasal 36)
Apakah otoritas mempunyai
kewenangan untuk menentukan sistem
penggajian pegawai
Tidak Ya Dewan Komisioner menyusun
dan menetapkan rencana kerja
dan anggaran OJK.
(Pasal 34 ayat (1))
Apakah Otoritas mempunyai
kewenangan untuk melakukan
perekrutan pegawai
Tidak Ya Dewan Komisioner mengangkat
dan memberhentikan pejabat dan
pegawai OJK (Pasal 27 ayat (1))
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Secara garis besar, pada table di atas terlihat bahwa OJK telah memenuhi
aspek independensi secara anggaran dalam pengaturannya di UU. Namun masih
terdapat beberapa hal yang menarik untuk diperdebatkan yaitu mengenai sumber
anggaran seperti apakah yang mampu menjamin independensi OJK di satu sisi,
namun juga tidak membebankan masyarakat industry di sisi lainnya. Pada kriteria
yang diajukan di table bahwa sebenarnya anggaran OJK yang independen adalah
lepas dari anggaran pemerintah atau APBN. Namun ternyata hal ini sulit
dilakukan khususnya pada lembaga yang baru terbentuk, yang tentunya
membutuhkan anggaran yang besar untuk membangun OJK dengan struktur
kelembagaan yang kuat. Selain itu argumen ini diperkuat juga dengan struktur
industri bisnis yang harus melakukan adaptasi dan transisi model pengawasan
yang baru. Sehingga sesuai dengan penjelasan dari UU OJK, penulis sependapat
bahwa adalah hal yang wajar bagi OJK untuk mendapatkan dana dari pemerintah
melalui APBN sebagai anggaran pada masa awal pembentukan OJK. Oleh sebab
itu, dalam aspek anggaran ini, menurut penulis pengaturan UU OJK sudah tepat
dan dapat menjamin independensi OJK.
Namun hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah apabila anggaran OJK
sepenuhnya berasal dari APBN dan seterusnya di tahun anggaran berikutnya, hal
ini tentu akan menggangu pelaksanaan independensi dari OJK. Apabila anggaran
OJK berasal dari APBN, maka dapat dikatakan pula bahwa OJK merupakan
bagian dari pemerintahan karena pada hakekatnya APBN disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara.194
OJK dikhawatirkan juga akan rentan terhadap
194
Sesuai dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(UUKN), APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh
DPR. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan berpedoman kepada rencana kerja
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Lihat Pasal 12 UU tentang
Keuangan Negara
Apakah otoritas mempunyai
kewenangan untuk menentukan
struktur organisasi internal
Tidak Ya Untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang OJK, Dewan
Komisioner membentuk
organisasi (Pasal 26 ayat (1)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
117
Universitas Indonesia
tekanan politik dari pemerintah mengingat kegiatan OJK dibiayai oleh APBN
tersebut. Dengan demikian, dikhawatirkan OJK akan kehilangan kemandiriannya
sebagai suatu insitusi apabila secara permanen mendapatkan sumber pendaanaan
dari APBN. Oleh sebab itu, apabila secara struktural OJK telah kuat dan juga
industri jasa keuangan telah mampu mendanai kegiatan operasionalnya secara
mandiri, tentunya OJK sewajarnya tidak dapat lagi mengandalkan sumber
pendanaan dari APBN, dan untuk menjamin independensinya harus melakukan
pungutan/iuran kepada masyarakat industry jasa keuangan.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
118
Universitas Indonesia
E. Aspek Akuntabilitas dan Transparansi OJK
Aspek akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tugas dan
fungsi yang dijalankan oleh otoritas independen. Independensi yang tidak disertai
dengan akuntabilitas akan menjadi suatu absolutisme, dan berpotensi terjadinya
suatuabuse of power, benturan kepentingan, fraud ataupun penyimpangan lainnya.
Menurut pendapat Rizal Ramli dalam mengkomentari akuntabilitas dari otoritas
independen seperti Bank Indonesia, bahwa independensi yang tidak disertai
dengan akuntabilitas akan menjadikan lembaga tersebut menjadi seperti ―negara
di dalam negara‖.195
Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan Darmin
Nasution, bahwa Independensi tidak sama dengan bebas. Meskipun OJK harus
independen agar dapat beroperasi secara efektif, OJK juga harus akuntabel
terhadap pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, pelaku sektor jasa
keuangan, dan masyarakat.196
Oleh sebab itu, indenpendensi OJK harus
ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada sisi
lainnya.
Sementari dari aspek transaparansi, dapat dikatakan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari akuntabilitas, karena transparansi merupakan elemen
akuntablilitas yang sangat penting.197
Apa pun yang menjadi dasar pemikiran dan
rencana yang terkait pertanggungjawaban demokratis, sifat itu akan terbatas bila
tanpa transparansi.198
Tanpa transparansi, setiap kegiatan atau kebijakan otoritas
jasa keuangan yang direncanakan atau sudah disetujui tidak akan diketahui oleh
masyarakat, karena tidak ada diskusi untuk menguji perlu dan tidaknya suatu
kebijakan tersebut. Selain itu, cara terbaik untuk memastikan mekanisme
akuntabilitas terhadap otoritas tidak melemahkan indepensinya adalah dengan
195
Rizal Ramli,"Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20
November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472
196 Darmin Nasution, Op.Cit, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi.
197 Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability and
Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance, Wiley Blackwell, vol. 5(1), ,
2002, pages 75
198 Ibid
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
119
Universitas Indonesia
berlandaskan prinsip-prinsip transparansi.199
Hal ini mendorong keterbukaan dan
meningkatkan fungsi pelayanan publik, yang juga meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada otoritas. Transparansi otoritas jasa keuangan dalam hal ini,
dapat diwujudkan melalui berbagai tipe publikasi, seperti website otoritas, laporan
tentang pelaksanaan praktik pengawasan dan kebijakan yang penting, laporan
tahunan, press conference dan lain sebagainya.
Dalam Penjelasan Umum UU OJK, ditegaskan bahwas OJK dalam
melaksanakan tugasnyas harus berlandaskan asas akuntabilitas, yakni asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada public. Prinsip Transparansi OJK juga dijelaskan di UU OJK yaitu terkait
asas keterbukaan OJK, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, ketentuan
mengenai akuntabilitas dan trasnparansi OJK secara jelas diatur dalam Pasal 38
UU OJK yang menyebutkan beberapa kewajiban OJK agar dapat menjalankan
tugasnya dengan kredibel, akuntabel dan transparan, yaitu sebagai berikut:
1. OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan
keuangan semesteran dan tahunan.
2. OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan
kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Laporan kegiatan yang
disusun OJK dalam hal ini adalah memuat:
a. pelaksanaan tugas dan wewenangnya pada periode sebelumnya.
b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan
datang.
3. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK
wajib menyampaikan laporan.
199
Quintyn, Ramirez & Taylor, Op Cit., The Fear of Freedom: Politicians and the
Independence and Accountability of Financial Sector Regulators, at page 11
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
120
Universitas Indonesia
4. Periode laporan keuangan OJK adalah tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.
5. OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada
masyarakat.
6. Laporan kegiatan tahunan OJK disampaikan kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Penyampaian laporan OJK kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat disini dimaksudkan untuk
menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun
berjalan
7. Untuk penyusunan laporan keuangan OJK, Dewan Komisioner
menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK. Penyusunan
standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK dilakukan dengan
memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
8. Laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa
Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
9. OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik
melalui media cetak dan media elektronik.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
121
Universitas Indonesia
Kriteria Akuntabilitas Otoritas Jasa Keuangan Nilai Akuntabilitas
Otoritas Jasa Keuangan
Pengaturan Aspek Akuntabilitas OJK di
Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak
Akuntabel
Akuntabel
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas kepada Legilastor
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau
melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada
legislative?
Tidak Ya OJK wajib menyusun laporan kegiatan
tahunan dan disampaikan kepada DPR
(pasal 38 ayat (6))
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan
diadakannya pertemuan/rapat bersama komisi
legislator (quarterly, …)?
Tidak Ya OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan
triwulanan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat. (pasal 38 ayat (5))
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat
memerlukan penjelasan, OJK wajib
menyampaikan laporan. (pasal 38 ayat (3))
Apakah kewajiban pelaporan/akuntabilitas kepada
legislator didelegasikan/diwakilkan kepada
Kementerian Keuangan (bukan perwakilan dari
otoritas)?
Ya Tidak Tidak ada ketentuan dalan UU yang
mewajibkan pelaporan kegiatan ataupun
keuangan OJK diwakilkan oleh Kementerian
Keuangan
Akuntabilitas kepada Eksekutif
Apakah ada kewajiban otoritas secara hukum atau
melalui UU untuk menyajikan laporan tahunan kepada
eksekutif?
Tidak Ya OJK wajib menyusun laporan kegiatan
tahunan dan disampaikan kepada Presiden
(pasal 38 ayat (6))
Apakah hukum/UU memberikan kemungkinan
diadakannya pertemuan/rapat bersama Kementerian
Keuangan(quarterly, …)?
Tidak Ya Rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) bulan, dalam rangka Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
bersama Menteri Keuangan, Gubernur BI,
dan DK LPS. (pasal 45 ayat (1) huruf b)
Akuntabilitas dalam proses adjudikasi
Apakah entitas bisnis yang diawasi mempunyai hak
untuk melakukan keberatan atas keputusan otoritas ke
pengadilan?
Tidak Ya Tidak diatur
Apakah terdapat perbedaan proses judisial dalam
menangani keberatan kepada otoritas?
Tidak Ya Tidak diatur
Apakah terdapat hakim yang bersifat khusus untuk
menangani keberatan tersebut?
Tidak Ya Tidak diatur
Apakah terdapat sanksi terhadap proses pengawasan
yang melanggar aturan?
Tidak Ya Tidak diatur
Akuntabilitas Anggaran
Apakah terdapat proses dimana agency melaporkan
dan mendiskusikan anggarannya (ex post budget)?
Tidak Ya Untuk penetapan anggaran, OJK terlebih
dahulu meminta persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. (Pasal 36)
Aspek Akuntabilitas lainnya
Apakah terdapat proses konsultasi secara formal
dengan industri sebelum diberlakukannya regulasi
baru?
Tidak Ya Tidak diatur
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
122
Universitas Indonesia
Dalam analisis table di atas, pengaturan akuntabilitas dan transparansi
OJK dalam UU secara keseluruhan telah memenuhi nilai OJK yang akuntabel dan
juga transparan. Namun hal yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah terkait aspek
akuntabilitas OJK dalam hal proses adjudikasi, yang mana dalam UU OJK tidak
diatur sama sekali di dalamnya mengenai hal tersebut. Masalah proses adjudikasi
terhadap otoritas ini sebenarnya adalah merupakan aspek yang cukup penting.
Apakah terdapat proses audit di internal otoritas?
Tidak Ya Dewan Audit adalah organ pendukung
Dewan Komisioner yang bertugas
melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas
OJK serta menyusun standar audit dan
manajemen risiko OJK. (Pasal 1 ayat (22))
Apakah terdapat proses audit di luar (eksternal)
otoritas?
Tidak Ya Laporan keuangan tahunan OJK diaudit
oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau
Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. (Pasal 38 ayat
(8))
Kriteria Transparansi Otoritas Jasa Keuangan Nilai Transparansi Otoritas
Jasa Keuangan
Pengaturan Aspek Transparansi OJK di
Indonesia
(UU OJK 21 Tahun 2011)
Tidak
Transparan
Transaparan
2. Prinsip Transparansi
Apakah ada pengumuman/pemberitahuan terkait
kebijakan dan keputusan otoritas? (misalnya melalui
website? )
Tidak Ya Tidak diatur di UU, namun OJK
mempunyai website, yaitu
http://www.ojk.go.id/, dan telah
mengumumkan beberapa peraturan dan
kebijakan OJK
Apakah otoritas telah memberikan pernyataan di awal
tentang ―mission statement‖ yang akan dicapai?
Tidak Ya Tidak diatur di UU, tapi OJK telah
mengumumkan visi & misi melalui website
Apakah otoritas menyediakan laporan tahunan kepada
masyarakat pada umumnya?
Tidak Ya OJK wajib mengumumkan laporan tahunan
OJK kepada publik melalui media cetak dan
media elektronik. (Pasal 38 ayat (9))
Apakah publik diberikan suatu kesempatan melalui
suatu forum untuk memberikan pertanyaan tentang
transparansi otoritas?
Tidak Ya Tidak diatur
Apakah ada dewan atau komisi yang mewadahi
keluhan-keluhan konsumen?
Tidak Ya OJK melakukan pelayanan pengaduan
Konsumen yaitu, menyiapkan perangkat
yang memadai untuk pelayanan pengaduan
Konsumen; Membuat mekanisme
pengaduan Konsumen; dan memfasilitasi
penyelesaian pengaduan Konsumen.
(Pasal 29)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
123
Universitas Indonesia
Menurut Quintyn & Taylor,200
dalam hal terdapat keberatan atau gugatan balik
kepada pegawai pengawas, sebaiknya hanya dapat dilakukan melalui forum
dewan peradilan yang khusus (spesialist tribunals), yang dapat menjamin
perlindungan terhadap keberatan/gugatan dari entitas bisnis yang diawasi, atau
kasus yang sengajakan diajukan untuk mengganggu otoritas pengawas (vexatious
case).
Secara keseluruhan, setelah menganalisis aspek independensi,
akuntabilitas dan transparansi Otoritas Jasa Keuangan melalui pengaturan di
Undang-Undang No 21 tahun 2011, penulis berpendapat bahwa dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi pada penyelenggaraan kegiatan di sektor jasa
keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat dikatakan telah memenuhi kriteri-kriteria
sebagai lembaga yang independen, akuntabel dan transparan.
200
Quintyn & Taylor, Op Cit., Regulatory and SupervisoryIndependence and Financial
Stability, page 13. (Independence: Its four Dimension).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
124
Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka
dalam penelitian tesis ini penulis mempunyai kesimpulan, antara lain :
1. Status kelembagaan/institusional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah
lembaga independen yang berada di luar Pemerintah, yang mempunyai
makna bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan
Pemerintah/eksekutif. Namun demikian pada hakikatnya OJK merupakan
otoritas pengatur dan pengawas di sektor jasa keuangan yang memiliki
relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas
fiskal dan otoritas moneter. Oleh karena itu untuk kelancaran pelaksanaan
tugas, OJK memerlukan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas
tersebut yaitu pejabat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia secara
ex-officio di dalam keanggotaan Pimpinan/Dewan Komisioner OJK.
Dalam kegiatan operasionalnya OJK juga diwajibkan untuk saling
berkoordinasi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) serta Penegak Hukum Kepolisian dan
Kejaksaan dalam hal melaksakan tugas dan fungsi penyidikan. Selain itu
OJK juga bagian dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) yang bertugas menjaga stabilitas sistem keuangan., bersama
dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan
Komisioner LPS.
2. Alasan pentingnya pemberian independensi kepada OJK adalah agar OJK
dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan di
sektor jasa keuangan secara optimal dan efektif. Independensi diperlukan
agar OJK dapat melindungi diri khususnya dari intervensi industri jasa
keuangan yang diawasinya maupun dari campur tangan politik. Hal
tersebut dimaksudkan agar setiap regulasi dan pengawasan yang dilakukan
OJK benar-benar bersifat objektif, tanpa dipengaruhi intervensi dari pihak
manapun dan untuk mencegah benturan kepentingan antara berbagai
faktor yang berinteraksi di pasar. Sifat independen tersebut harus
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
125
Universitas Indonesia
diwujudkan karena concern dan tujuan utama pembentukan OJK sebagai
lembaga/otoritas pengatur dan pengawas adalah menyangkut kepercayaan
masyarakat bagi sektor finansial dan pencapaian tujuan stabilitas
keuangan. Pengalaman di beberapa negara juga menunjukkan bahwa
lemahnya independensi dari otoritas pengawas sektor jasa keuangan
merupakan faktor utama penyebab terjadinya krisis ekonomi sistemik,
seperti misalnya krisis yang melanda negara-negara Asia pada dekade
1990an dan krisis di Venezuela.
3. Pengukuran indepedensi OJK dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya sebagai penyelenggara kegiatan sector jasa keuangan
dapat dinilai melalui beberapa aspek, yaitu aspek fungsi
pengaturan/regulatory independence, aspek fungsi
pengawasan/supervisory independence, aspek kelembagaan/insitusional
independence dan aspek anggaran/budgetary independence, serta termasuk
juga aspek akuntabilitas dan transparansi OJK. Penilaian independensi
tersebut dapat dilihat melalui pengaturan/landasan hukum tentang OJK,
yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Menurut penulis dalam pengaturan terkait independensi OJK
yang terdapat dalam UU OJK, sebenarnya sudah menggambarkan suatu
nilai independensi yang penuh/fully independence dalam pelaksanaan
tugas dan kewenangannya. Walaupun memang, dalam beberapa tugas
tertentu, misalnya dalam pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan di
bidang perbankan, tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan
dan tugas menjaga stabilitas sistem keuangan dalam FKSSK, terdapat
pengaturan yang mewajibkan OJK untuk selalu tetap berkoordinasi dan
bekerja sama dengan instansi/otoritas lain yang terkait. Namun pengaturan
tentang koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga lain tersebut
sebenarnya tidak serta merta menjadikan OJK menjadi institusi yang tidak
independen/mandiri mengingat kewenangan-kewenangan sebagai
pengawas sektor jasa keuangan yang telah diatur secara tegas oleh UU
OJK sepenuhnya masih tetap berada pada OJK. Selain itu juga, patut
diketahui bahwa dewasa ini karakteristik sistem keuangan yang semakin
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
126
Universitas Indonesia
terintegrasi dan semakin tingginya persaingan global, kebutuhan OJK
untuk berkoordinasi, bekerja sama dan mengharmonisasikan kebijakan
serta bertukar informasi melalui sistem yang terintegrasi dengan lembaga
terkait adalah suatu hal yang sangat penting agar stabilitas sistem
keuangan dapat terjaga dan juga memastikan terpeliharanya kepentingan
nasional.
B. Saran
1. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan, tugas dan
kewenangan antara lembaga-lembaga terkait di sector jasa keuangan,
yaitu OJK, Kemenkeu, BI dan LPS perlu dibuat pengaturan lanjutan yang
berisfat teknis mengenai protokol koordinasi dengan didasari prinsip
indepedensi, tranparansi dan akuntabel, yang mengatur secara tegas dan
konprehensif tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga. Hal ini
juga untuk memperjelas tugas, fungsi dan tanggung jawab pihak-pihak
yang duduk dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
(FKKSK) dalam mengambil kebijakan terhadap bank apabila terjadi krisis.
Protokol koordinasi tersebut dapat dituangkan melalui suatu Memorandum
of Understanding (MOU) yang mengatur tentang operasional tugas
masing-masing lembaga.
2. Agar independensi OJK dapat tetap terjaga khususnya dalam hal
pelaksanaan tugas pengawasan/pemeriksaan, penting untuk diatur
mengenai aspek perlindungan hukum (legal protection) bagi pegawai
pengawas OJK dan dituangkan ke dalam peraturan hukum, misalnya
Peraturan OJK. Hal ini bertujuan agar ke depannya dalam pelaksanaan
tugas pengawasan, para pegawai OJK lebih percaya diri untuk melakukan
tindakan hukum. Selain itu juga penting untuk dibentuk suatu peradilan
khusus (specialist tribunal) di lingkungan OJK, sebagai bentuk
akuntabilitas yang bersifat ajudikatif. Peradilan khusus ini bisa mencontoh
di instansi otoritas lain seperti misalnya di peradilan pajak atau peradilan
di lingkungan KPPU.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
127
Universitas Indonesia
3. Mengacu dari ketentuan perundang-undangan, OJK secara kelembagaan
pegawainya sendiri tidak dapat ditugasi sebagai penyidik, dan akan sangat
bergantung kepada lembaga lain yang dalam hal ini adalah Kejaksaan,
Kepolisian dan Pengadilan atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil. Maka agar
Independensi OJK dalam hal pelaksanaan tugas penyidikan terhadap
tindak pidana di bidang sector jasa keuangan tetap terjaga dan OJK dalam
perjalanannya saat melakukan penanganan kasus tidak kekurangan tenaga
penyidik, penulis memberikan saran agar kewenangan untuk memulai
dan/atau menghentikan penyidikan merupakan kewenangan OJK/penyidik
yang ditugaskan di OJK. Sehingga dalam hal pimpinan OJK tidak
menyetujui penghentian penyidikan suatu kasus, pimpinan instansi asal
penyidik tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan penghentian
penyidikan kasus tersebut.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
128
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, cet. 1, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999)
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH
UII Press, 2005)
Bank Indonesia, Era Baru Transformasi Bank Sentral, (Jakarta: Media Indonesia
Publishing), 2010
Charles Goodhart (ed) ‗The Emerging Framework of Financial Regulation‘, a
collection of compiled by the Financial Markets Group of the London
School of Economics (London: Central Banking Publications), 1998.
Crince le Roy, Kekuasaan ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, (Semarang: 1981)
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4., (1960)
Harold J Laski, A Grammar of Politics, (London: George Allen and Unwir LTD,
1960)
Henry Campbell Black, Black‘s Law Dictionary, 6th Edition, (St. Paul Minn:
West Publishing Co), 1997
Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P. Public ServiceAccountability, Connecticut :
Kumairan Press, Inc. 1989
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
129
Universitas Indonesia
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006)
_____________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekjen
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006)
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia,
2001)
Montesquieu, De L`Esprit Des Lois, (Paris: G.Truc ed. 1949), hlm. 162.
Robert M. Maclver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950)
Roger G. Noll, Reforming Regulation: An Evaluation of the Ash Council
Proposals,(Washington DC: The Brookings Institution),1971.
Rosa Maria Lastra, Central Banking and Banking Regulation, (London: LSE,
Financial Markets Group), 1996.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit UI-
Pres, 1986)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1990)
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, ( Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
130
Universitas Indonesia
Sutandyo Wignjosoebroto, tth,‖, Apakah Sesungguhnya Penelitian itu?‖, Kertas
Kerja, (Surabaya : Univ. Airlangga, 1986)
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). 2010
ARTIKEL &JURNAL
A. Berle and G. Means, 1932. The Modern Corporation and Private Property.
New York: Macmillan.
Aalt Willem Heringa & Luc Verhey, Independent Agencies and PoliticalControl,
Agencies In European And Comparative Perspective, (Tom Zwart &Luc
Verhey eds.), 2003.
Alex Cukierman, Central Bank Independence and Monetary
PolicymakingInstitutions – Past, Present and Future, 24 European Journal
of Political Economy, December 2008.
Amanda M. Rose, TheMultienforcer Approach to Securities Fraud Deterrence: A
Critical Analysis, 158 University of Pennsylvania Law Review, 2010.
Anwar Nasution, ―Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan
Agenda Kedepan‖, Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal
14-18 Juli 2003 di Denpasar.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
131
Universitas Indonesia
Asian Development Bank, ―Governance :Sound Development Management‖,
1999
Bank for International Settlements 2012.Basel Committee on Banking
Supervision, Core Principles for Effective Banking Supervision,
September 2012.
Bismar Nasution, ―Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan
Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang
Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan‖, Buletin Hukum
Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010
Charles H. Koch Jr., James Landis: The Administrative Process, Faculty
Publications College of William & Mary Law School, 48 Administrative
Law Review, 1996.
Darmin Nasution, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi,
Penerbit Buku Kompas, Februari 2004
Daryl J. Levinson & Richard H. Pildes, Separation of Parties, Not Powers, 119
Harvard Law Review, 2006
David E. Lewis, The Adverse Consequences of thePolitics of Agency Design for
Presidential Management in the United States: The RelativeDurability of
Insulated Agencies, British Journal of Political Science 34, 2004.
David Sappington, "Incentives in Principal-Agent Relationships", Journal of
EconomicPerspectives, 5(2), 1991.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
132
Universitas Indonesia
Donato Masciandaro, Marc Quintyn, andMichael Taylor,Financial Supervisory
Independence andAccountability – Exploring theDeterminants, IMF
Working Paper WP/08/147, 2008.
Douglass C. North & Barry R. Weingast, Constitutions and Commitment:The
Evolution of Institutions Governing Public Choice in Seventeenth-Century
England,49 The Journal of Economic History, 1989.
Eijffinger, Sylvester C W & Marco Hoeberichts, "Central Bank Accountability
and Transparency: Theory and Some Evidence," International Finance,
Wiley Blackwell, vol. 5(1), , 2002, pages 75
Eva Hüpkes, Marc Quintyn, andMichael W. Taylor,―The Accountability of
Financial SectorSupervisors: Principles and Practice‘, IMF Working
Papers, No 05/51, March 2005.
H Onno Ruding, ―The Transformation Of The Financial Services Industry‖,
Occasional Paper No 2, Financial Stability Institute, March 2002.
Fabrizio Gilardi, The Institutional Foundations of Regulatory Capitalism:The
Diffusion ofIndependent Regulatory Agencies in Western Europe, Annals
of the American Academy of Political and Social Science 598, 2005
____________,The Formal Independence of Regulators: A Comparison of 17
Countries and 7 Sectors, 11 Swiss Political Science Review, 2005.
Fabrizio Gilardi and Martino Maggetti, ―The independence of regulatory
authorities‖, published in Levi-Faur, David (ed.) (2010), Handbook of
Regulation, Cheltenham, Edward Elgar.
Fernada, D. 2002. ―Sistem Perencanaan dan Akuntabilitas KinerjaPemerintah
Daerah‖ Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor2061, Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah, LAN, Jakarta.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
133
Universitas Indonesia
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK,
Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 1,
Januari - April 2012.
George J.Stigler,The Theory of Economic Regulation. Bell Journal of Economics
and Management Science, Vol 6 No.2, 1971.
GiandomenicoMajone, 1994, ―Independence vs. Accountability? Non-
Majoritarian Institutions andDemocratic Government in Europe.‖
European University Institute Working PapersNo. 94/3.
____________________, 1999,―The Regulatory State and Its Legitimacy
Problems.‖ West European Politics, vol. 22(1), pp. 1-24.
Hüpkes, Eva H.G., 2000, The Legal Aspects of Bank Insolvency (The Hague:
Kluwer Law International).
International Organization of Securities Commissions(IOSCO), Objective and
Principleof Financial Regulation and Supervision, June 2010.
Jacob E. Gersen, Designing Agencies, in Research Handbook On PublicChoice
And Public Law, (Daniel A. Farber & Joseph O‘Connell eds.), 2010.
Jacques de Larosière, The High-Level Group on supervision in EU, Report,
Brussels 25 February 2009.
Jeffrey S. Banks & Barry R. Weingast, The Political Control of Bureaucracies
under Asymmetric Information, 36 American Journal of Political
Science,1992.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
134
Universitas Indonesia
Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUd 1945, makalah dalam seminar pembangunan hukum
nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003.
Jonas Tallberg, 2002. ―Delegation to Supranational Institutions: Why, How, and
with What Consequences?‖ West European Politics, vol. 25(1)
Julia Black and Stéphane Jacobzone, Tools For Regulatory Quality And Financial
Sector Regulation: A Cross-Country Perspective, OECD Working Papers
on Public Governance No. 16, 2009
Kempe Ronald Hope, ―The New Public Management: Context and Practice in
Africa.‖International Public Management Journal, vol. 4, 2001.
Kenneth K. Mwenda, Legal Aspects Of Financial Services Regulation And The
Concept Of A Unified Regulator, The World Bank- Law, Justice,
Anddevelopment Series, 2006,
Kenneth K. Mwenda and Alex Fleming, International developments in the
organizational structure of financial services supervision. A paper
presented at a seminar hosted by the World Bank Financial Sector Vice-
Presidency on September 20th, 2001 (World Bank: Washington DC).
Diunduh dari situs www.worldbank.org
Kenneth Rogoff, The Optimal Degree of Commitment to an Intermediate
Monetary Target, 100 Quarterly Journal of Economics, November 1985.
Kirti Datla and Richard L. Revesz, Deconstructing Independent Agencies (And
Executive Agencies), New York University Public Law and Legal Theory
Working Papers. Paper 350.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
135
Universitas Indonesia
Laurence H. Meyer , ―The Politics of Monetary Policy: Balancing Independence
and Accountability‖, Remarks by Governor Laurence H. Meyer At the
University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, October 24, 2000.
Lembaga Administrasi Negara RI,Akuntabilitas dan GoodGovernance, Modul
Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta, 2000
Lindgren, Carl-Johan, Tomas J.T. Balino, Charles Enoch, Anne-Marie Gulde,
Marc Quintyn, and Leslie Teo (1999), "Financial Sector Crisis and
Restructuring: Lessons From Asia," International Monetary Fund
Occasional Paper No. 188
Lisa Schultz Bressman &Robert B. Thompson, The Future of Agency
Independence, 63 VanderbiltLaw Review, 2010
Marc Quintyn & Michael W. Taylor, Regulatory and SupervisoryIndependence
and Financial Stability (Int‘l Monetary Fund, Working Paper No.
02/46,2002.
_______________________________, Should Financial Sector Regulators Be
Independent?, IMF Economic issues no. 32, International Monetary Fund
March 8, 2004
Marc Quintyn, Silvia Ramirez & Michael W. Taylor, The Fear of Freedom:
Politicians and the Independence and Accountability of Financial Sector
Regulators, 37 Int‘l Monetary FundWorking Paper No. 07/05, 2007.
Mark Bovens, Analyzing and Assessing Accountability: A Conceptual
Framework,EuropeanLaw Journal, 13 (4),2007, page 447-468
Mark Seidenfeld, Bending the Rules: FlexibleRegulation and Constraints on
Agency Discretion, 51 Administrative Law Review, 1999.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
136
Universitas Indonesia
Mark Thatcher, 2002. ―Delegation to Independent Regulatory Agencies:
Pressures,Functions and Contextual Mediation.‖ West European Politics,
vol. 25(1)
Mark Thatcher & Alec Stone Sweet,Theory and Practice of Delegation to Non-
Majoritarian Institutions, 25 West European Politic, 2002.
Marshall J. Breger & Gary J. Edles,Established byPractice: The Theory and
Operation of Independent Federal Agencies, 52 Administrative Law
Review, 2000
Martin Shapiro, A Comparison Of U.S. And European Independent Agencies,
Comparative Administrative Law, (Susan Rose-‐Ackerman And Peter L.
Lindseth, eds), 2010.
Martino Maggetti, The Role of Independent Regulatory Agencies in Policy-
Making: a Comparative Analysis of Six Decision-Making Processes in the
Netherlands, Sweden and Switzerland, Paper prepared for: The Fourth
ECPR General Conference, Pisa, Italy, 6-8th September 2007
Neal Devins & David E. Lewis, Not-So Independent Agencies: Party Polarization
and the Limits of Institutional Design, 88 Boston University Law
Review,2008.
Nicholas Bagley & Richard L. Revesz,Centralized Oversight Of The Regulatory
State, 106 Columbia Law Review, 2006.
Paul R. Verkuil, The Purposes and Limits of Independent Agencies,Duke Law
Journal, 1988.
Peter May, Regulatory regimes and accountability, Journal of Regulation &
Governance - Regul Gov , vol. 1, no. 1, (2007)
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
137
Universitas Indonesia
Peter Hatcher, The Ministry: How Japan's Most Powerful Institution Endangers
World Markets (Boston: Harvard Business School Press, 1998)
Peter S. Rose and Sylvia C. Hudgins, Bank Management and Financial Services
7thed, Newyork: McGraw Hill, 2008 dalam Dahlan Siamat, Manajemen
Lembaga Keuangan, Edisi 5, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI), 2005
Phoebus Athanassiou, Financial Sector Supervisors‘ Accountability:A European
Perspective, Legal Working Paper Series European Central Bank, No 12 /
August 2011
Project On Government Oversight (POGO), Revolving Regulators: SEC Faces
Ethics Challenges with Revolving Door, May 2011, diunduh dari
http://www.pogo.org/pogo-files/reports/financial-oversight/revolving-
regulators/fo-fra-20110513.html
R. DeShazo & Jody Freeman, The Congressional Competition to Control
Delegated Power, 81 Texas Law Review 1443, 2003.
Rachel E. Barkow, Insulating Agencies: Avoiding Capture Through Institutional
Design, Texas Law Review, Vol. 89, NYU School of Law, Public Law
Research Paper No. 10-82, 2010.
Richard B. Stewart, The Reformation of American Administrative Law, 88
Harvard Law Review, 1975.
Ruth de Krivoy, Collapse: The Venezuelan Banking Crisis of 1994, (Washington,
DC: Group of Thirty, 2000).
Sam Peltzman, Toward a More GeneralTheory of Regulation, The Journal of Law
and EconomicsUniversity of Chicago Press Journals (19:2), 1976.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
138
Universitas Indonesia
Saskia Lavrijssen, An Analysis of The Constitutional Position of The US
Independent Agemcies, (1Januari2008), terdapat di situs<http://www.
tilburguniversity.nl/tilec/publications/discussionpapers/2004-001.pdf
Scott R. Furlong & Cornelius M. Kerwin, Interest Group Participation in Rule
Making:A Decade of Change, 15 Journal of Public Administration
Research and Theory353, 2005.
Siti Sundari Arie, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011.
Stanley Fischer, Central Bank Independence Revisited, American Economic
Review, Papers and Proocedings, Vol 85, May 1995.
StavrosGadinis, From Independence to Politics in Financial Regulation (August
27, 2012). California Law Review, Forthcoming; UC Berkeley Public Law
Research Paper No. 2137215.
Stavros Gadinis & Howell Jackson, Markets as Regulators: A Survey, 80
Southern California Law Review,2007.
Stéphane Jacobzone, Designing Independent And Accountable Regulatory
Authorities For High Quality Regulation, Proceedings of an Expert
Meeting in London, Prepared By Organisation For Economic Co-
Operation And Development (OECD), United Kingdom, 10-11 January
2005.
Stephen Ross, 1973. ―The Economic Theory of Agency: The Principal‘s
Problem.‖ American Economic Review, vol. 63(2), pp.134.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
139
Universitas Indonesia
Steven P. Croley, Theories ofRegulation: Incorporating the Administrative
Process, 98 Columbia Law Review, 1998.
Steven Seelig & Alicia Novoa, Governance Practices at Financial Regulatory
and Supervisory Agencies, Int‘l Monetary Fund, Working Paper No.
09/135, 2008.
Sukarela Batunangar, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan
Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Buletin Hukum Perbankan dan
Kesentralan Volume 4 Nomor 3, Desember 2006)
Syahrir Sabirin, ―Peran Bank Indonesia dalam Financial Stability‖, makalah
disampaikan pada Seminar mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta, 27
Februari 2002, dalam Zulkarnain Sitompul, ―Perlindungan Dana Nasabah
Bank,‖ Disertasi, (Jakarta :Fakultas Hukum UI, 2002)
Takeo Hoshi and Takatoshi Ito, Financial Regulation in Japan: A Fifth Year
Review of the Financial Services Agency, 2002 Revised 2003.
Terry Moe, ―Interests, Institutions, and Positive Theory: the Politics of the
NLBR,‖ Studies in American Political Development, Vol 2, 1987,
Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). 2010
Thomas W. Merrill, Capture Theory and the Courts: 1967-1983, 72 Chicago-
Kent Law Review #4 (1997).
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
140
Universitas Indonesia
Ümit Sönmez, Independent Regulatory Agencies: The World Experience And The
Turkish Case, A Thesis Submitted To The Graduate School Of Social
Sciences Of Middle East Technical University, 2004.
William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (Danvers: Lexis
Publishing), 2000.
William F. Funk dan Richard H.Seamon, Administrative Law: Examples &
Explanations, (New York, Aspen. Publishers, Inc) 2001.
Witold Jerzy Henisz, Political Institutions and Policy Volatility, Economics and
PoliticsWiley Blackwell, vol. 16(1), 2004.
Zulkarnain Sitompul, Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
Pilars No.02/Th. VII/12-18 Januari 2004.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357.
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
141
Universitas Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286
KAMUS
Chandler, Ralph C., and Jack C Plano.The Public Administration Dictionary. New
York: Wiley, 1982.
Henry Campbell Black, M.A, Black‘s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul
Minn, West Publishing Co, USA), 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, dikutip darihttp://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
The Advanced Learners‘s Dictionary of Current English, Second Edition, A.S.
Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, London. Oxford University Press,
Nineteenth Impression 1973, page 1074
The Oxford Senior Dictionary, Compiled by Joyce M. Hawkins, Oxford
University Press, 1982, page 686.
Webster‘s Vest Pocket Dictionary, Merriam Webster Inc, Publisher Springfield,
Massachussets, USA, 1989.
ARTIKEL
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
142
Universitas Indonesia
Ester Meryana, Himbara Keberatan Pungutan OJK, Kompas.com, 29 Mei 2012,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/29/19042581/Himbara.K
eberatan.Pungutan.OJK
Fitri Novia Heriani, Perbankan Masih Keberatan Soal Iuran OJK, Hukum
Online.com, 29 Mei 2012
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fc4b6962c107/perbankan-
masih-keberatan-soal-iuran-ojk
Fuad Rahmany, Operasional OJK Tidak Gunakan APBN, Hukum Online.com, 05
July 2010,
http://beta.hukumonline.com/berita/baca/lt4c31b77d51cac/operasional-
ojk-tidak-gunakan-apbn
Guntur Subagja, Berharap pada Lembaga ‗Super‘,
http://www.investor.co.id/home/berharap-pada-lembaga-super/25318,
Rabu, 30 November 2011
Kementerian Keuangan, Pentingnya Keterwakilan Kemenkeu dan BI dalam DK
OJK, Berita Kemenkeu, tanggal 26 Mei 2011,
http://www.depkeu.go.id/ind/Read/?type=ixNews&id=19821&thn=2011&
name=br_260511_5.htm,
Koran Jakarta, Pengawasan Bank: Fungsi Regulator Harus Dipisahkan Dari
Supervisi-Urgensi Ojk Terkikis Krisis, 13 Februari
2010,http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_599_13_februari_2010?mo
de=window&pageNumber=1
Latief, ―Independensi OJK Dipertanyakan‖, Kompas.com, Kamis, 26 Juli 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.OJK
.Dipertanyakan
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013
143
Universitas Indonesia
Mas Achmad Daniri, Indahnya Sistem Governance OJK, Bisnis Indonesia
Bisnis.com, Senin, 25 Juni 2012
Orin Basuki, OJK Ditengah Perebutan Kewenangan, Kompas.com, 26 Agustus
2010
Rizal Ramli,"Negara dalam Negara" Bila BI Tanpa Akuntabilitas, Gatra.com, 20
November 2000, http://arsip.gatra.com//2000-11-26/artikel.php?id=1472
Ruisa Khoiriyah, Perlindungan Hukum Pengawas Bank Bi : Perlindungan Hukum
Terhadap Pengawas Bank Mendesak Dilakukan, Kontan.co.id, Selasa, 02
Februari 2010, http://keuangan.kontan.co.id/news/bi-perlindungan-hukum-
terhadap-pengawas-bank-mendesak-dilakukan,
Wahyu Satriani Ari Wulan, Soal Pengawasan Bank, Gamang, BI minta
Perlindungan Hukum,Kompas.com,Selasa,2Februari 2010,
http://nasional.kompas.com/read/2010/02/02/16344284/Gamang..BI.minta.
Perlindungan.Hukum,
Independensi otoritas..., Firman Kusbianto, FH UI, 2013