universitas indonesia analisis praktik …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351554-pr-hesti...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN
PADA PASIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS DI RUANG PERAWATAN UMUM 6
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO, JAKARTA PUSAT
KARYA ILMIAH AKHIR
Hesti Rahayu 0806316184
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI REGULER
DEPOK, JULI 2013
!
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"!
!!
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN
PADA PASIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS DI RUANG PERAWATAN UMUM 6
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO, JAKARTA PUSAT
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
KARYA ILMIAH AKHIR
Hesti Rahayu 0806316184
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI REGULER
DEPOK, JULI 2013
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"#!
!
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Karya Ilmiah Akhir ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners, Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
Karya Ilmiah Akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK UI);
2. Ibu Dra. Junaiti Sahar, PhD selaku Wakil Dekan FIK UI;
3. Ibu Riri Maria, M.ANP selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir
FIK UI;
4. Bapak Agung Waluyo, PhD selaku pembimbing dalam pembuatan Karya
Ilmiah Akhir ini;
5. Ibu Ns. Siti Annisah, S.Kep.,ETN selaku kepala ruang di Ruang
Perawatan Umum 6 di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat;
6. Ibu Dessie Wanda, S.Kp., MN, yang telah sabar menjadi penasihat
akademik saya, menjadi seorang ibu sekaligus sahabat, selalu memberikan
dukungan kepada saya untuk terus berprestasi, dan mendukung kegiatan
yang saya lakukan untuk terus meningkatkan kualitas diri;
7. Pasien Tn B (70 tahun) dan keluarga yang telah mendukung penelitian dan
praktik profesi;
8. Perawat di ruang Perawatan Umum 6 RSPAD Gatot Soebroto Jakarta,
yang telah mendukung praktik profesi ;
9. Bapak, Ibu, Mbak Warsi, Mas Wisnu, adik-adikku Bowo dan Ifa, yang
selalu memberikan dukungan dan semangat dalam segala hal, termasuk
penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini;
10. Teman-teman satu bimbingan: Aulia Titia Paramadina, Putri Andriyani,
Rohmad Widiyanto, Elda Lunera Hutapea, yang sama-sama berjuang
dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir;
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"!
!!
11. Saudara sekamar saya, Yunika Anziana Aviary yang sama-sama berjuang
dalam membuat Karya Ilmiah Akhir di FIK UI.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Depok, 8 Juli 2013
Peneliti
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"##!
!
ABSTRAK Nama : Hesti Rahayu Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul :Analisis Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan Sirosis Hepatis di Ruang Perawatan Umum 6 RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
Sirosis hepatis adalah gangguan fungsi hati tahap akhir dengan angka kejadian nasional yang cukup tinggi. Praktik profesi dilakukan di ruang perawatan umum 6 RSPAD Gatot Soebroto pada pasien Tn B dengan sirosis hepatis pada tanggal 15 Mei hingga 28 Mei 2013. Masalah keperawatan pasien adalah pola napas tidak efektif, kelebihan volum cairan, dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Intervensi keperawatan yang telah dilakukan adalah teknik napas dalam, monitor berat badan, diet putih telur, dan diet nutrisi tinggi kalori dan protein. Masalah keperawatan pola napas tidak efektif dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan teratasi, sedangkan kelebihan volum cairan teratasi sebagian. Kata Kunci: Intervensi keperawatan, masalah keperawatan, Sirosis hepatis,
ABSTRACT Name : Hesti Rahayu Study Program : Nursing Title : The Profession Practice Analytical of Urban Society
Health Nursing to the Cirrhosis Hepatic Patient in the General Care Room 6th RSPAD Gatot Soebroto, Central Jakarta
Cirrhosis hepatic is the end stage liver disorder that has high enough incident in national. Profession practice was done in the patient Mr B with cirrhosis hepatic in the general care room 6th RSPAD Gatot Soebroto during May 15 until May 28, 2013. The nursing problems were breathing pattern ineffective, fluid overload, and imbalanced nutrition: less than body requirement. The nursing interventions were done were pursed lip breathing, weight monitoring, egg white and high calori-protein diet. The nursing problems: breathing pattern ineffective and imbalanced nutrition less than body requirement were solved, but the fluid overload was solved a part. Keywords: Cirrhosis hepatic, nursing intervention, nursing problem.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"###!
!
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................. iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………. vi ABSTRAK………………………………………………………………… vii DAFTAR ISI ................................................................................................ viii DAFTAR SKEMA ....................................................................................... ix DAFTAR TABEL…………………………………………………………. x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 6 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 7
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9 2.1 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ............................. 9 2.2 Sirosis Hepatis…………………………………………………… . 13 2.3 Diet Hepar pada Pasien Sirosis Hepatis…………………………... 22 2.4 Diet Putih Telur pada Pasien Sirosis Hepatis……………………... 24 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS .... 25 3.1 Pengkajian Keperawatan ................................................................ 25 3.2 Diagnosis Keperawatan…………………………………………… 35 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ....................................................... 36 3.4 Catatan Perkembangan Pasien…………………………………….. 43 4. ANALISIS KASUS ............................................................................... 44 4.1 Profil Lahan Praktik ........................................................................ 44 4.2 Analisis Masalah Keperawatan ....................................................... 45 4.3 Analisis Intervensi Keperawatan .................................................... 47 4.4 Alternatif Penyelesaian Masalah .................................................... 52
5. PENUTUP……………………………………… .................................... 56
7.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 56 7.2 Saran………………………………………………………………… 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. . 58
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"#!
!
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Hubungan Faktor Risiko dengan Masalah Kesehatan…………… 11
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"!
!!
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Masalah Kesehatan Lingkungan……………………………….12 Tabel 2.2 Perbandingan Tipe-Tipe Sirosis Hepatis……………………….14 Tabel 2.3 Prognosis Sirosis Hepatis pada Berbagai Tingkatan…………...17 Tabel 2.4 Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hepatis dalam Terminologi
Cadangan Fungsi Hati……………………………………………………..17
Tabel 2.5 Etiologi Sirosis Hepatis………………………………...............18
Tabel 3 Daftar Obat Pasien………………………………………...........32
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
!
"#!
!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Patofisiolgi Sirosis Hepatis Lampiran 2 Catatan perkembangan pasien !
!
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
! " Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan lingkungan adalah inti permasalahan kesehatan masyarakat.
Area kesehatan lingkungan meliputi gaya hidup, risiko kerja, kualitas udara,
kualitas air, tempat tinggal, kualitas makanan, pengelolaan sampah, risiko radiasi,
dan risiko kekerasan (McEwen & Nies, 2007). Salah satu masalah di area pola
tempat tinggal adalah kepadatan di lingkungan perkotaan. United Nations
Population Division (2007) melaporkan bahwa setengah populasi dunia saat ini
tinggal di daerah perkotaan dan kurang lebih 30 tahun yang akan datang dua per
tiga penduduk dunia akan tinggal di daerah perkotaan (Vlahov et al, 2007).
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia dihuni kurang lebih 10 juta penduduk,
belum termasuk penduduk yang pulang pergi dari sekitar Jakarta (Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi) yang mencapai 1,5 juta (Tommy Firman, 2011).
Negara berkembang di dunia dimana terdapat arus urbanisasi yang tinggi,
sebagian besar segmen pertumbuhan masuk ke dalam kategori kemiskinan.
Indonesia termasuk salah satu negara berkembang dengan 50% populasinya masih
termasuk ke dalam kegori miskin (Iin P Handayani, 2012). UN Habitat (2003)
menyatakan beberapa indikator kemiskinan di antaranya adalah rendahnya
pelayanan dasar, tempat tinggal di bawah standar, kepadatan penduduk, tempat
tinggal yang tidak sehat dan lokasi yang berbahaya, pemukiman informal dan atau
tidak aman, kemiskinan dan ukuran pemukinan yang sempit ( Vlahov et al, 2007).
Kemiskinan berkaitan erat dengan kondisi kesehatan yang buruk.
Kemiskinan berpengaruh negatif terhadap area kesehatan lingkungan
seperti kualitas air dan makanan yang tidak adekuat. Rendahnya tingkat
pendapatan membuat seseorang tidak mampu memenuhi kualitas makanan dan air
yang adekuat yang berdampak pada berbagai kondisi seperti malnutrisi, makanan
atau minuman yang terkontaminasi dengan bahan kimia berbahaya, dan makanan
atau minuman yang terinfeksi virus atau bakteri. Kondisi ini dapat mengganggu
kesehatan seseorang dan menyebabkan berbagai macam penyakit.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
Berbagai macam permasalahan di area kesehatan lingkungan dapat
meningkatkan risiko dan kerentanan seseorang terpajan suatu penyakit. Beberapa
masalah dapat muncul dari beberapa area kesehatan lingkungan, misalnya
kebiasaan merokok, diet tinggi lemak tersaturasi, makanan yang terkontaminasi
bakteri atau virus, atau makanan yang mengandung zat kimia karsinogenik.
Fungsi organ tubuh yang paling bertanggung jawab dalam metabolisme lemak dan
zat toksin di dalam tubuh adalah hati. Terpaparnya hati oleh zat toksik secara terus
menerus dapat berakibat kerusakan sel hati dan terbentuknya nodul dan fibrosis
yang terus berkembang ke arah prognosis yang buruk yaitu sirosis hepatis.
Manusia (teman) adalah salah satu komponen lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesehatan komunitas manusia (Umar Fahmi Achmadi, 2010).
Teman atau anggota masyarakat lain memiliki potensi pembawa/penular penyakit.
Penyakit yang dapat ditularkan melalui rute ini salah satu di antaranya adalah
penyakit hepatitis yang juga dapat berkembang ke arah prognosis yang buruk
yaitu sirosis hepatis.
Sirosis hepatis adalah penyakit hati yang kronik dan progresif, yang
ditandai dengan pembentukan jaringan fibrosis (skar) dan nodul (Black & Hawks,
2005). Sirosis terjadi ketika aliran darah, cairan empedu, dan hasil metabolisme
hati terganggu oleh adanya fibrosis, perubahan sel-sel hati (hepatosit), kantong
empedu, saluran pembuluh darah, dan sel-sel retikuler. Sirosis merupakan tahap
akhir dari berbagai macam gangguan hati (Sargent, 2009).
Di Indonesia, prevalensi terjadinya sirosis hepatis cukup tinggi yaitu 41%
(Adjei, Blankson, Gyasi, Tettey & Wiredu, 2005). Grafik sepuluh besar penyakit
di Sub Instalasi Rawat Inap A Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Soebroto bulan Maret 2013 menggambarkan bahwa sirosis hepatis menduduki
peringkat delapan dari sepuluh penyakit yang paling sering terjadi. Selama bulan
Mei 2013 di ruang perawatan umum lantai 6 RSPAD Gatot Soebroto, terdapat 5
pasien dengan diagnosis sirosis hepatis dan satu di antaranya meninggal dunia.
Selain itu, satu pasien dengan gagl ginjal kronik dan hepatitis C juga meninggal
dunia dan diperkirakan sudah mengalami komplikasi gagal ginjal kronik dengan
sirosis hepatis.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
Empat tipe utama sirosis adalah alkoholik (sirosis Laennec, micronodular,
atau portal), postnekrotic (macronodular atau pengaruh zat toksin), bilier, dan
kardiak (Black & Hawks, 2005). Berdasarkan etiologi, prevalensi sirosis
alkoholik, sirosis non alkoholik, dan sirosis viral khususnya hepatitis C tergolong
tinggi. Di sisi lain, prevalensi sirosis viral di negara berkembang termasuk
Indonesia, tergolong tinggi khususnya hepatitis B dan C (Burroughs, Dooley,
Heathcote, & Lok, 2011).
Pada beberapa kasus sirosis hepatis terdapat faktor tunggal yang
berkontribusi dominan misalnya hepatitis B, C, konsumsi alkohol, dan obat-
obatan. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang juga memengaruhi
proses penyakit yaitu usia, gender (laki-laki), obesitas, dan gangguan metabolik.
Faktor-faktor ini mempunyai pengaruh yang bervariasi pada pasien yang berbeda
(Burroughs, Dooley, Heathcote, & Lok, 2011).
Sirosis adalah satu dari sepuluh penyebab utama kematian di negara maju
seperti Amerika (Younossi, 2008). Kemampuan pasien sirosis hepatis untuk
bertahan tergantung pada tingkat keparahan penyakit yang ditentukan dari nilai
The Child-Pugh Score, berdasarkan kriteria biokimia dan klinis seperti serum
bilirubin, serum albumin, asites, ensealopati, dan nutrisi (Alwi, Setiati, Setiyohadi,
Simadibrata, & Sudoyo, 2006). Tingkat A (nilai 5-6) mempunyai kemampuan
bertahan sebesar 84%, tingkat B (nilai 7-9) = 62%, sedangkan tingkat C (nilai 10-
15) = 42% (Sargent, 2009).
Hipertensi portal adalah komplikasi yang tidak bisa dihindari pada pasien
sirosis hepatis yang dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih lethal.
Beberapa di antaranya adalah perdarahan varises, asites, dan ensefalopati
hepatikum (Younossi, 2008). Fakta ini didukung penelitian yang dilakukan oleh
Rinaldi, Lesmana, Inggriani, Cahyadinata, dan Laurentius (2010) pada 256 pasien
sirosis hepatis di Rumah Sakit Medistra Jakarta pada Agustus 2004 sampai
dengan Juli 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 50,39% mengalami
asites, 14,5% mengalami ensefalopati hepatikum, dan 4,7 % mengalami
thrombosis vena dalam yang berpotensi terjadinya perdarahan varises.
Berdasarkan proses penyakit sirosis hepatis, pasien dapat mengalami
beberapa masalah keperawatan. Masalah keperawatan utama yang dialami pasien
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
dengan asites adalah kelebihan volum cairan tubuh berhubungan dengan kondisi
hipoalbuminemia dan retensi cairan (Bare & Smeltzer, 2002). Kondisi asites
menyebabkan terjadinya penekanan pada diafragma dan terganggunya
pengembangan paru sehingga muncul masalah keperawatan pola napas tidak
efektif. Selain itu, terganggunya fungsi hati dalam metabolisme protein dan
karbohidrat berakibat pada rendahnya kadar protein plasma (Black & Hawks,
2009). Hal ini didukung oleh pernyataan Grodner, Long, dan Walkingshaw (2007)
yang mengatakan bahwa pasien sirosis hepatis biasa mengalami malnutrisi energi
dan protein, yang berakibat munculnya masalah keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Masalah keperawatan yang kali pertama harus diatasi adalah pola napas
tidak efektif pada pasien. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan perawat
adalah memberikan posisi semi fowler untuk membantu pengembangan paru
optimal, kolaborasi pemberian oksigen, membantu pasien mengontrol pola
napasnya dengan mengajarkan teknik relaksasi napas dalam dengan benar, dan
selanjutnya memonitor fungsi pernapasan pasien.
Masalah keperawatan selanjutnya yang harus diselesaikan adalah masalah
kelebihan volum cairan. Tujuan intervensi keperawatan adalah tercapainya
kondisi normovolemic pada pasien. Beberapa kriteria hasil yang harus tercapai di
antaranya adalah pasien tidak mengalami edema dan atau asites dan mencapai
berat badan normal untuk pasien (Ackley & Ladwig, 2011). Untuk mencapai
kondisi tersebut diperlukan intervensi mandiri perawat dan intervensi kolaborasi
dari beberapa profesional kesehatan. Intervensi kolaborasi dapat berupa terapi
diuretik untuk mengeluarkan kelebihan volum cairan dan mengembalikan
konsentrasi albumin pada nilai normal (Alwi, Setiati, Setiyohadi, Simadibrata, &
Sudoyo, 2006).
Intervensi keperawatan untuk memonitor keberhasilan terapi diuretik
adalah dengan menimbang berat badan pasien setiap pagi. Penurunan 1 kg berat
badan mengindikasikan pengurangan jumlah cairan sebesar 1000 cc. Pasien
dengan asites dan edema tungkai yang mendapat terapi diuretik, ditargetkan untuk
mengalami penurunan berat badan sebesar 1 kg setiap hari (Alwi, Setiati,
Setiyohadi, Simadibrata, & Sudoyo, 2006).
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
Kondisi kelebihan volum cairan tubuh pada pasien juga disebabkan oleh
rendahnya kadar albumin dalam plasma darah. Upaya untuk meningkatkan serum
albumin dapat dilakukan melalui transfusi albumin per intra vena (IV). Intervensi
mandiri yang dapat dilakukan perawat untuk mendukung usaha peningkatan
serum albumin adalah memberikan diet hepar tinggi protein 100-150 g/hari
dengan catatan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda ensephalopaty hepatik.
Salah satu sumber makanan yang mengandung tinggi protein adalah putih telur.
Don Amerman (2013) mengatakan bahwa diet protein sehat yang
dianjurkan bagi penderita sirosis hepatis adalah makanan dengan kandungan
tinggi protein dan rendah lemak dimana salah satu contoh sumber makanan ini
adalah putih telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khomsan (2006) yang
mengatakan bahwa satu butir putih telur mengandung 15 kkal kalori, 3 gr protein
dan sedikit lemak. Protein yang terkandung dalam putih telur biasanya langsung
diserap oleh pembuluh darah sehingga efektif untuk meningkatkan kadar protein
plasma.
Diet hepar yang mengandung tinggi protein dan karbohidrat, serta
kandungan lemak yang moderat dapat mengatasi masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Perawat memastikan
bahwa pasien mendapat asupan makanan yang mampu memenuhi kebutuhan
tubuh yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral tubuh.
Perawat dapat berkolaborasi dengan ahli gizi untuk melakukan modifikasi diet
yang dapat diterima pasien.
Berkaitan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk membantu
menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien dengan sirosis hepatis di ruang
Perawatan Umum (PU) 6 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto,
Jakarta. Peneliti akan melakukan beberapa intervensi keperawatan untuk
menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien. Selanjutnya peneliti akan
menganalisis intervensi keperawatan yang telah dilakukan, beberapa kendala dan
alternatif penyelesaian masalah yang muncul selama melakukan intervensi
keperawatan kepada pasien.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada Bab 1.1 Latar Belakang, dapat diketahui bahwa
tingkat kejadian sirosis hepatis di Indonesia masih cukup tinggi dengan
komplikasi yang paling sering terjadi adalah asites yang berakibat munculnya
masalah keperawatan pola napas tidak efektif dan kelebihan volum cairan tubuh.
Selain itu, gangguan fungsi hati dalam metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak dapat mendukung tegaknya masalah keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Meskipun demikian, beberapa masalah
keperawatan ini dapat diatasi dengan intervensi keperawatan dan kolaborasi
dengan beberapa profesional kesehatan yang lain. Dengan demikian, muncul
pertanyaan penelitian bagaimana analisis intervensi keperawatan pada pasien
dengan sirosis hepatis di Ruang Perawatan Umum Lantai 6 RSPAD Gatot
Soebroto.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis keberhasilan intervensi keperawatan pada pasien
dengan sirosis hepatis di Ruang Perawatan Umum Lantai 6 RSPAD Gatot
Soebroto.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.3.2.1 Mengetahui profil lahan praktik
1.3.2.2 Melakukan analisis masalah keperawatan terkait dengan kasus sirosis hepatis dan konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
1.3.2.3 Melakukan asuhan keperawatan kepada pasien kelolaan dengan masalah sirosis hepatis
1.3.2.4 Melakukan analisis keberhasilan intervensi keperawatan pada pasien kelolaan dengan masalah sirosis hepatis
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
1.4 Manfaat Penulisan
Penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak yaitu keluarga, rumah sakit,
perawat, ahli gizi, peneliti, dan institusi pendidikan. Hasil penelitian diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien akan tingkat kejadian
sirosis hepatis, komplikasi yang biasa terjadi, dan tindakan yang dapat dilakukan
untuk membantu mengatasi komplikasi. Selanjutnya pasien termotivasi untuk
melakukan tindakan mandiri yang dapat dilakukan untuk mengatasi komplikasi
baik selama masa perawatan di rumah sakit ataupun ketika masa pemulihan di
rumah. Tindakan ini adalah penerapan teknik relaksasi napas dalam ketika merasa
sesak napas, menimbang berat badan setiap pagi ketika mengonsumsi obat
diuretik untuk mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh, dan diet putih
telur untuk membantu meningkatkan kadar serum albumin dalam upaya
mengatasi asites.
Hasil penelitian juga menjadi masukan bagi perawat ruangan untuk
melakukan intervensi yang tepat dalam upaya menyelesaikan masalah
keperawatan. Dalam memonitor keberhasilan terapi diuretik, perawat dapat
menimbang berat badan setiap pagi dengan target penurunan berat badan tertentu.
Untuk membantu meningkatkan kadar albumin, perawat dapat memfasilitasi
pemenuhan diet putih telur pada pasien sirosis hepatis dengan komplikasi asites.
Perawat dapat mendorong peran aktif pasien dan keluarga untuk patuh dalam
menerima terapi diet putih telur. Hal ini sesuai dengan peran perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan yang holistik dan sebagai edukator.
Ahli gizi juga dapat mengambil manfaat dari hasil penelitian yang
dilakukan mahasiswa bahwa diet putih telur dapat membantu meningkatkan
serum albumin pada pasien sirosis hepatis dengan komplikasi asites. Ahli gizi
akan menjadi lebih memperhatikan pemberian diet hepar tinggi protein dengan
salah satu sumber protein utama adalah putih telur. Terapi diet ini dapat
mendukung terapi medis penalaksanaan komplikasi asites pada pasien sirosis
hepatis.
Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi peneliti. Penelitian selanjutnya
yang diharapkan dari penelitian ini adalah tentang kuantitas diet putih telur yang
paling efektif dikombinasikan dengan transfusi albumin untuk meningkatkan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!""
Universitas Indonesia"
kadar serum albumin dalam upaya mengatasi komplikasi asites pada pasien sirosis
hepatis. Diet nutrisi diharapkan mendukung secara efektif terapi medis dalam
penatalaksanaan komplikasi asites pada pasien sirosis hepatis.
"
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
! " Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) merupakan suatu
proses koordinasi dan integrasi sumber daya keperawatan dengan menerapkan
proses keperawatan komunitas untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan dan
pelayanan pada klien komunitas. Proses keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan bertujuan untuk mencegah masalah keperawatan masyarakat di daerah
perkotaan.
Kota adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi, sosial, persaingan
global, dan perkembangan yang tidak seimbang. Kota juga merupakan pusat
kreativitas, inovasi, tempat pergerakan politik, lokasi utama untuk transformasi
sosial, tekanan politik, dan perubahan budaya (Bourne, 2007). Kota berperan
besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan, pusat budaya dan teknologi, pusat
industri, dan tempat untuk meningkatkan pendapatan (State of the environment
and policy retrospective, 2002). Faktor inilah yang mendorong migrasi penduduk
dari area pedesaan ke kota yang disebut dengan urbanisasi.
Hampir setengah populasi dunia (47%) bertempat tinggal di daerah urban
dan diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 2% setiap tahunnya
(United Nations Population Division, 2001a). Terdapat hubungan yang positif
antara tingkat perkembangan sumber daya manusia nasional dengan tingkat
urbanisasi (UNCHS, 2001b). Akan tetapi, implikasi tingkat pertumbuhan
urbanisasi yang tinggi juga meliputi peningkatan pengangguran, degradasi
lingkungan, kurangnya pelayanan urban, terlalu padatnya infrastruktur dan
rendahnya akses lahan (UNCHS, 2001b).
Tingginya persaingan di daerah urban membuat masyarakat urban yang
tidak mampu bersaing mendapatkan dampak negatif dari urbanisasi yaitu
kemiskinan masyarakat urban. Pertumbuhan kota besar, khususnya di negara
berkembang, juga diikuti dengan meningkatnya angka kemiskinan masyarakat
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
urban yang terkonsentrasi di kelompok sosial tertentu di lokasi tertentu (State of
the environment and policy retrospective, 2002). Fenomena ini juga terjadi kota
Jakarta yang merupakan salah satu megacity di Asia.
Kemiskinan yang didukung dengan faktor risiko lain dapat menimbulkan
masalah kesehatan. Cubbin, LeClere, dan Smith (2000) menyatakan bahwa studi
menunjukkan status sosioekonomi adalah determinan dari kondisi sakit, kematian,
dan outcome kesehatan yang lain (Eigsti, McGuire, & Stone, 2002). Link (1996)
menambahkan bahwa hubungan yang dinamis terjadi antara rendahnya status
sosial ekonomi dengan risiko kesehatan seperti kebiasaan merokok, penggunaan
obat, latihan dan diet (Eigsti, McGuire, & Stone, 2002).
Di dalam konsep keperawatan komunitas, kemiskinan merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan risiko (at risk) dan kerentanan
(vulnerability) yang berdampak pada masalah kesehatan. Sebuah risiko (at risk)
muncul dari sejarah perjalanannya sebuah penyakit. Risiko yang timbul
tergantung dari kondisi kesehatan seseorang. Risiko dapat muncul dari hasil
interaksi seseorang dengan bebarapa faktor yang terdiri dari faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal bersumber dari faktor genetik dan gaya hidup,
sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial dimana
seseorang tersebut tinggal dan bekerja.
Kerentanan (vulnerability) adalah seseorang atau kelompok yang mudah
terkena sebuah masalah penyakit karena tidak memiliki atau kurang efektifnya
mekanisme pertahanan terhadap sebuah penyakit. Hal ini disebabkan oleh
berbagai macam hal yang muncul pada individu, keluarga, atau komunitas, yang
menyebabkan seseorang menjadi lebih berisiko terpajan sebuah penyakit.
Pertahanan ini berfungsi untuk menahan penyakit agar tidak menyebabkan
masalah pada diri seseorang.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!!""
Universitas Indonesia
Skema 2.1 Hubungan Faktor Risiko dengan Masalah Kesehatan
Risiko Rentan
Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi risiko (at risk) adalah
lingkungan fisik. Lingkungan adalah determinan utama kesehatan. Kesehatan
lingkungan adalah inti dari kesehatan masyarakat (Umar Fahmi Achmadi, 2010).
WHO (2008) mendefiniskan kesehatan lingkungan meliputi faktor fisik,
kimia, dan biologi di luar manusia serta memengaruhi perilaku manusia,
menekankan analisis dan kontrol faktor-faktor lingkungan yang berpotensi
memengaruhi kesehatan (Umar Fahmi Achmadi, 2010). Definisi ini tidak
termasuk faktor di luar lingkungan misalnya perilaku yang berhubungan dengan
lingkungan sosial dan budaya, serta genetik. Kesehatan lingkungan meliputi
delapan area yaitu gaya hidup, risiko kerja, kualitas udara, kualitas air, rumah
tempat tinggal, kualitas makanan, kontrol sampah, dan risiko radiasi (McEwen &
Nies, 2007). Berikut ini adalah contoh masalah kesehatan lingkungan:
#$%&'("()*)%'"" #$%&'("()*)%'")*)%'"
#$%&'("()*)%'""
+,(,-&$-$-" .$*$/$0"%,*,0$&$-"
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Masalah Kesehatan Lingkungan
No Area Masalah 1 Gaya hidup Merokok
Diet tinggi lemak tersaturasi Gaya hidup sedenter Terpapar kebisingan Kepadatan urban Distress psikologis Bahaya teknologi
2 Risiko kerja Keracunan toksik di tempat kerja Bahaya pengoperasian mesin Godaan seksual Lokasi kerja yang banyak terpapar zat karsinogenik
3 Kualitas udara Gas polutan Efek rumah kaca Penipisan lapisan ozon Udara yang terpapar pestisida dan herbisida Hujan asam
4 Kualitas air Kontaminasi sumber air minum oleh sampah manusia Tumpahan minyak di perairan Infiltrasi pestisida dan herbisida di sumber mata air Kontaminasi polutan industry
5 Tempat tinggal Gelandangan Tempat tinggal yang buruk Kerumunan serangga Sick building syndrome
6 Kualitas makanan Malnutrisi Makanan yang terkontaminasi bakteri atau virus Makanan dengan bahan kimia karsinogenik
7 Kontrol sampah Penggunaan plastik yang tidak bisa didaur ulang Sistem pembuangan sampah yang tidak adekuat Transpor dan penyimpanan sampah berbahaya Pembuangan sampah industri yang ilegal
8 Risiko radiasi Emisi nuklir Bahaya sampah radioaktif Uji coba nuklir Terlalu sering terpapar X-rays
Sumber: (McEwen & Nies, 2007)
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
2.2 Sirosis Hepatis
2.2.1 Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati yang kronik dan progresif, ditandai
dengan pembentukan jaringan fibrosis (skar) dan nodul (Black & Hawks, 2009).
Sirosis terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps
disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis
parenkim hati (Alwi,I., K.Simadibrata,M., Setiati,S., Setiyohadi,B., Sudoyo,A.W,
2006). Sirosis menunjukkan tahap akhir dari berbagai penyakit hati seperti
hepatitis kronik dan alkoholik (Sargent, 2009).
Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata
yang berarti belum terdapat gejala klinis yang nyata dan sirosis hepatis
dekompensata yang ditandai dengan gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas
(Alwi,I., K.Simadibrata,M., Setiati,S., Setiyohadi,B., Sudoyo,A.W, 2006). Black
dan Hawks (2009) menjelaskan bahwa secara umum terdapat empat tipe sirosis
yaitu: (1) Alkoholik (mikronodular atau sirosis portal), (2) Postnekrotik
(makronodular), (3) Bilier, (4) Kardiak. Berikut ini adalah perbandingan dari
keempat tipe sirosis secara lebih jelas.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Tabel 2.2 Perbandingan Tipe-Tipe Sirosis Hepatis
No Definisi Etiologi Patologi Data Pengkajian Diagnosis dan Prognosis Intervensi 1 Sirosis Postnekrotik atau
makronodular Adalah tipe sirosis yang paling sering terjadi. Terjadi kehilangan sel hati secara masif dengan pola regenerasi sel yang tidak teratur.
Viral postacute (hepatitis B dan C) Postintoksinasi zat kimia industrial Gangguan metabolik dan beberapa infeksi
Hati berukuran kecil dan bernodul
Mungkin tidak menunjukkan gejala dalam waktu yang lama, gejala awal tidak terobservasi. Tahap awal, kelemahan, penurunan berat badan. Tahap setelahnya, Anoreksia, mual, muntah Nyeri abdomen Asites Pembesaran payudara pada laki-laki Hematemesis Spider angioma
Biopsi hati menegakkan proses patologi Selama 5 tahun, 75% meninggal dikarenakan komplikasi Peningkatan serum aminotransferase Peningkatan gamma globulin
Mengatasi komplikasi yang diperlukan
2 Sirosis Bilier Aliran cairan empedu menurun yang terjadi bersamaan dengan kerusakan sel hepatosit di sekitar duktus empedu
Primer Stasis kronik cairan empedu di duktus intrahepatik Penyebab tidak diketahui Melibatkan
Tahap awal biopsy akan menunjukkan proses inflamasi dengan adanya nekrosis sel dan duktus
Lemah Pruritus Urin berwarna gelap Feses berwarna pucat Jaundice Hambatan aliran
Peningkatan serum bilirubin Tahap awal: 3-10 mg/100 cc Tahap akhir: > 50 mg/100 cc Peningkatan alkalin posfatase yang signifikan
Primer: Ursodiol Penatalaksanaan sesuai gejala (misalnya diet tinggi kalori, intake rendah lemak 30-40 g/hari jika bermasalah Cholestyramine untuk
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
proses autoimun Sekunder Kerusakan duktus empedu di luar hati
Hepatosit hilang dan tinggal jaringan skar Tahap akhir mirip dengan sirosis postnekrotik
cairan empedu Steatorrhea Penurunan absorbsi vitamin yang larut dalam lemak Peningkatan serum lipid Peningkatan deposit kolesterol di jaringan subkutan Tanda-tanda hipertensi portal
Peningkatan gamma globulin Peningkatan lipid darah Adanya lipoprotein X Peningkatan serum garam empedu Hipotrombinemia Peningkatan antibodi antimitokondrial pada kasus primer Peningkatan serum copper pada kasus primer
mengatasi priritus Suplemen vitamin yang larut dalam lemak. Sekunder Penatalaksanaan untuk mengatasi kerusakan mekanis
3 Sirosis Kardiak Penyakit hati kronik yang berhubungan dengan gagal jantung kanan yang berat dalam waktu lama
Penyakit katup atrioventrikular Prolonged constrictive pericarditis Dekompensasi kardiopulmonal
Awal: Pembesaran hati yang berwarna gelap oleh darah dan edema cairan Akhir: Kapsul hati menebal dan pembentukan jaringan nodul dan jaringan terjadi
Agak jaundice, pembesaran hati, asites pada pasien dengan gagal jantung lebih dari 10 tahun Cachexia Retensi cairan Masalah sirkulasi
Peningkatan serum bilirubin terkonjugasi Peningkatan sulfobromophthalein Penurunan serum albumin Peningkatan serum aminotransferase Peningkatan alkalin posfatase Biopsi hati Prognosis: Tergantung keparahan penyakit jantung
Penyebab berupa gagal jantung kronik diatasi jika memungkinkan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
4 Sirosis Alkoholik atau
mikronodular Nodul kecil terbentuk dikarenakan adanya agen patologi yang terus-menerus
Berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol
Pembentukan skar dan deposit jaringan kolagen Regenerasi nodul sangat kecil. Struktur lobular normal mengalami kerusakan
Mirip dengan sirosis postnekrotik
Biopsi hati: riwayat penyalahgunaan alkohol, peningkatan Aspartat Aminotransferase (AST), peningkatan bilirubin, anemia. Prognosis tergantung komplikasi dan keberlanjutan konsumsi alkohol
Koreksi defisiensi vitamin dan mineral misalnya folate, thiamine, pyridoxine,vitamin K, magnesium dan fosfat; mengatasi komplikasi yang muncul misalnya ferrous sulfate untuk anemia, vasopresin IV untuk varises esophageal, diet rendah protein untuk ensefalopati hepatik, dan vitamin K untuk mengatasi kerentanan perdarahan.
Data dari Chung, R.T., & Podolsky,D.T. (2005). Cirrhosis and its complication. In E. Braunwald,et al. (Eds). Harrison’s principles of internal
medicine. (16th ed,.pp 1858-1869). New York: McGraw-Hill.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Dua masalah utama sirosis hepatis adalah penurunan fungsi hati
dan hipertensi portal (Black & Hawks, 2009). Berkembangnya dan
munculnya manifestasi klinis hipertensi portal mempunyai dampak yang
besar terhadap prognosis sirosis hepatis. Berikut ini adalah prognosis pada
berbagai tingkatan sirosis hepatis:
Tabel 2.3 Prognosis Sirosis Hepatis pada Berbagai Tingkatan
No Tingkatan Tingkat mortalitas/tahun 1 Tidak ada varises, tidak ada asites 1% 2 Ada varises, tidak ada asites 3,4% 3 Ada varises, ada asites 20% 4 Perdarahan varises, ada asites 57% (Long & Scott, 2005)
Klasifikasi Child-Pugh juga digunakan untuk menilai prognosis
pasien sirosis yang akan menjalani operasi. Variabelnya berupa kadar
bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati, serta status nutrisi.
Klasifikasi ini terdiri dari Child A,B, dan C yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup selama satu tahun.
Tabel 2.4. Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hepatis dalam Terminologi
Cadangan Fungsi Hati
No Derajad Kerusakan Minimal Sedang Berat 1 Serum bilirubin (mu.mol/dl) <35 35-50 >50 2 Serum albumin (gr/dl) >35 30-35 <30 3 Asites Nihil mudah dikontrol Sulit 4 Ensefalopati Nihil Minimal Berat/koma 5 Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus
(Alwi, Setiyohadi, & Sudoyo, 2006).
Hasil klasifikasi adalah sebagai berikut:
Child A: 5-6 poin dengan angka kelangsungan hidup selama satu tahun adalah
100%.
Child B: 7-9 poin dengan angka kelangsungan hidup selama satu tahun adalah
80%
Child C: 10-15 poin dengan angka kelangsungan hidup selama satu tahun adalah
45%.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab sirosis hepatis yang paling sering di negara barat adalah
konsumsi alkohol, sedangkan di Indonesia terutama disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis B dan hepatitis C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus
hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus
bukan B dan C (non B non C) (Alwi, Setiyohadi, & Sudoyo, 2006). Berikut ini
adalah penyebab sirosis hepatis secara lebih detail:
Tabel 2.5. Etiolgi Sirosis Hepatis
No Etiologi 1 Virus hepatitis (B,C, dan D) 2 Alkohol 3 NASH (Nonalkoholik steatohepatis) 4 Metabolik:
- Kelebihan besi - Kelebihan tembaga (penyakit Wilson) - Defisiensi antitrypsin !1
- Glikogenesis tipe 4 - Galaktosemia - Tyrosinemia
5. Sirosis bilier primer 6. Kolangitis sklerosing primer 7. Terhentinya aliran keluar vena hepatik
- Sindrom Budd-Chiarii - Gagal jantung
8. Hepatitis autoimun 9. Toksin dan obat-obatan, misalnya methotrexate, amidarone
Sumber: (Burroughs, Dooley, Heathcoke & Lok, 2011)
Selain faktor diatas, terjadinya sirosis hepatis juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin laki-laki, obesitas. Beberapa faktor di
atas berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan sirosis hepatis. Proses
penyakit progresif akan semakin dialami pasien hepatitis B atau C yang
mengonsumsi alkohol. Pasien heterozigot untuk defisiensi $-1-antytripsin dengan
kondisi obesitas akan lebih banyak mengalami manifestasi klinis sirosis hepatis.
Risiko berkembangnya sirosis hepatis juga tergantung pada usia dan jenis
kelamin, lamanya terpajan penyakit, dan kondisi imun. Progresi fibrosis pada
pasien sirosis hepatis akan lebih cepat pada pasien dengan usia yang lebih tua dan
terus meningkat selama terinfeksi. Pasien diabetes melitus dengan kondisi insulin
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
yang resisten atau kondisi imunosupresi rentan mengalami sirosis hepatis akibat
beberapa etiologi di atas (Burroughs, Dooley, Heathcoke & Lok, 2011).
2.2.3 Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi ketika aliran darah, cairan empedu, dan hasil
metabolisme hepatik terganggu oleh adanya fibrosis dan perubahan hepatosit,
kandung empedu, saluran vaskular, dan sel retikular. Dua masalah utama yang
muncul dari proses perjalanan penyakit sirosis hepatis adalah defisiensi fungsi hati
dan hipertensi portal (Black & Hawks, 2009). Berikut ini adalah skema perjalanan
penyakit sirosis hepatis:
(Terlampir).
2.2.4 Manifestasi Klinis
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis (Alwi, Setiyohadi, & Sudoyo,
2006). Pasien mengetahui kondisi sirosis hepatis secara tiba-tiba ketika sedang
memeriksakan kesehatan untuk masalah lain. Pada tahap awal sirosis ditemukan
adanya pembesaran hati (hepatomegali), perubahan vaskular, dan hasil
laboratorium abnormal. Hasil palpasi hati akan teraba tegas dan bernodul (Black
& Hawks, 2009).
Pada fase kompensasi, sirosis belum menunjukkan gejala yang berarti.
Pasien dapat dikatakan suspek sirosis jika terdapat spider vaskular (spider nevi),
erythema palmar, dan edema tungkai. Diagnosis penyakit diperkuat dengan
adanya hepatomegali yang tegas, khususnya di daerah epigastrium serta
pembesaran kelenjar limpa (splenomegali). Hasil laboratorium mungkin
menunjukkan hasil yang normal atau sedikit peningkatan kadar serum
transaminase atau $-glutamyl transpeptidase (Burroughs, Dooley, Heathcote, &
Lok, 2011).
Pada tahap selanjutnya, sirosis akan berkembang ke arah komplikasi yang
lebih lanjut dengan fisiologi dasar: asites yang disebabkan oleh malnutrisi,
hipertensi portal, hipoalbunemia, dan hiperaldosteronism; perdarahan
gastrointestinal yang disebabkan oleh varises esophagus, hipotrombinemia,
trombositopenia, dan hipertensi portal serta sering menyebabkan encephalopathy.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Anemia, trombositopenia, dan leukopenia terjadi karena adanya pembesaran
kelenjar limpa (splenomegali). Splenomegali mengindikasikan adanya hipertensi
portal. Selain itu, hipertensi portal menyebabkan vena dinding abdomen menonjol
dan terjadinya hemoroid internal (Black & Hawks, 2009). Pada kondisi ini pasien
sudah berada pada fase dekompensasi transpeptidase (Burroughs, Dooley,
Heathcote, & Lok, 2011).
Infeksi rentan terjadi pada pasien sirosis hepatis. Hal ini disebabkan oleh
pembesaran dan peningkatan kerja kelenjar limpa yang berakibat terjadinya
leukopenia. Selain itu, bakteri yang terbawa di peredaran darah vena porta
melewati hati dan tidak didetoksifikasi oleh sel Kupffer sehingga berakibat infeksi
(Black &Hawks, 2009).
Amonia yang tidak segera dibuang dalam waktu lama oleh hati
menyebabkan akumulasi toksik di otak dan menyebabkan ensephalopaty.
Kegagalan fungsi hati yang cepat dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.
Selain itu, hasil laboratorium akan menunjukkan kerusakan fungsi hepatoselular:
peningkatan enzim hati (AST [Aspartat Aminotransferase], ALT [Alanin
Aminotransferase], dan LDH [Lactate Dehydrogenase], hipoalbuminemia,
anemia, dan perpanjangan Protombin Time (PT) (Black & Hawks, 2009).
2.2.5 Komplikasi
2.2.5.1 Hipertensi Portal
Aliran darah normal ke dan dari hati tergantung pada fungsi vena portal
yang sesuai (70% aliran masuk), arteri hepatik (30% aliran masuk), dan vena
hepatik (aliran keluar). Hipertensi portal terjadi ketika tekanan darah di sistem
vena portal meningkat secara terus menerus akibat peningkatan resistensi atau
obstruksi aliran darah ke dalam hati melalui sistem vena portal. Tekanan darah
normal di sistem vena portal adalah 5-10 mmHg. Hipertensi portal terjadi ketika
tekanan meningkat 5 mmHg lebih tinggi dari tekanan di vana cava inferior.
Sistem kolateral terbentuk sebagai usaha tubuh untuk menyeimbangkan tekanan
di kedua sistem vena (Black & Hawks, 2009).
Manifestasi klinis hipertensi portal adalah pembuluh darah epigastrik yang
tampak berliku-liku yang bercabang dari area umbilicus ke area sternum dan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
tulang rusuk (caput medusa), kelenjar limpa yang mengalami pembesaran dan
terpalpasi (splenomegali), bruits yang terauskultasi di atas abdomen, dan asites.
Pembentukan sistem kolateral dapat berakibat rupturnya pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan esophagus. Berikut ini adalah manifestasi klinis
perdarahan esophagus akibat hipertensi portal: tekanan darah $ 90/60 mmHg;
kecepatan denyut nadi % 100 x/menit; kulit dingin dan berkeringat; kekuatan
denyut nadi < 2+ dari skala 0-4+; Capilary Refill Time (CRT) > 2 detik;
penurunan kemampuan orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu; serta merasa
lelah (Black & Hawks, 2009).
2.2.5.2 Asites
Asites adalah komplikasi utama sirosis yang terjadi pada 50% pasien
selama 10 tahun didiagnosis sirosis hepatis (Long & Scott, 2005). Asites adalah
akumulasi cairan di rongga peritoneum akibat hipertensi portal, rendahnya
tekanan onkotik, dan retensi natrium . Diagnosis asites ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan paracentesis, studi x-ray abdomen, ultrasonografi (USG), atau
Computed Tomography (CT) scan yang menunjukkan lokasi cairan di rongga
abdomen (Black & Hawks, 2009). Selain itu, pasien dengan sirosis hepatis akan
menunjukan adanya fluid wave dan shifting dullness ketika dilakukan
pemeriksaan fisik abdomen. Berat badan dan lingkar perut akan bertambah setiap
hari yang mengindikasikan penambahan akumulasi cairan di rongga abdomen.
2.2.5.3 Ensephalopaty Hepatik
Ensephalophaty hepatik adalah salah satu komplikasi sirosis hepatic yang
dapat memengaruhi kualitas hidup pasien (Long & Scott, 2005). Ensephalopaty
hepatik disebabkan oleh ketidakmampuan hati mengkonversi amonia menjadi
urea untuk diekskresikan dari dalam tubuh. Amonia bersifat toksik dan depresan
bagi sistem saraf pusat. Oleh karena itu, fase awal komplikasi ini yang
terobservasi adalah penurunan kesadaran, bingung, kelelahan, kejang, koma
ireversibel sampai fase terminal.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!!""
Universitas Indonesia
2.2.6 Penatalaksanaan Sirosis Hepatis
Penatalaksanaan umum sirosis hepatis yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Memonitor komplikasi, yaitu hipertensi portal, asites, dan ensephalopaty
hepatik.
b. Memaksimalkan fungsi hati, yang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Diet bernutrisi: protein 75-100 g/hari jika tidak terdapat tanda
ensephalopaty hepatik.
- Restriksi cairan dan sodium jika terdapat edema.
- Diet tinggi kalium jika pasien mendapat terapi diuretic thiazid
- Pemberian suplemen vitamin B dan A,D,E,K
- Istirahat yang adekuat untuk memaksimalkan regenerasi hati
- Pemberian kortikosteroid untuk menurunkan manifestasi klinis sirosis dan
meningkatkan fungsi hati
c. Menghindari hepatotoksin, misalnya menghindari konsumsi alkohol
d. Mencegah infeksi, dengan menganjurkan istirahat adekuat, diet yang sesuai,
menghindari zat hepatotoksin.
(Black & Hawks, 2009).
2.3 Diet Hepar Pada Pasien Sirosis Hepatis
Hati adalah organ terbesar di dalam tubuh yang mengatur produksi cairan
empedu dan memfasilitasi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin
(Grodner, Long, & Walkingshaw, 2007). Gangguan fungsi hati menyebabkan
ketidakseimbangan metabolisme dan status nutrisi. Morgan dan Weinsier (1998)
menambahkan bahwa penurunan status nutrisi secara progresif akan
memperburuk kerusakan hati yang terjadi (Grodner, Long, & Walkingshaw,
2007).
Manifestasi klinis utama sirosis hepatis disebabkan oleh kekurangan
protein dasar dan gangguan metabolik multipel (Williams, 1999). Black dan
Hawks (2009) menyatakan bahwa kerusakan sel-sel hati juga menurunkan
kemampuan hati dalam mensintesis albumin dalam jumlah normal sehingga kadar
albumin dalam darah rendah (hipoalbuminemia), yang merupakan salah satu
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
faktor penyebab terjadinya asites. Oleh karena itu, diperlukan diet nutrisi yang
tepat untuk memperbaiki fungsi hati. Dalam hal ini, diperlukan diet tinggi protein
untuk memperbaiki kondisi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, regenerasi jaringan fungsional hati, dan meningkatkan protein plasma.
Akan tetapi, jika terdapat tanda-tanda ensephalopaty hepatik, pengurangan jumlah
protein harus dilakukan sesuai dengan toleransi pasien (Williams, 1999).
Malnutrisi energi dan protein biasa terjadi pada pasien dengan sirosis
hepatis. Intake energi kurang lebih 2500-3000 kalori (Black & Hawks, 2009). Diet
harus mengandung protein minimal 0,8 gr/kg BB/hari. Kadar protein perlu
ditingkatkan menjadi 1,2 – 1,5 gr/kg BB/hari untuk mencegah pemecahan protein
endogen. Restriksi protein harus dihindari karena dapat memperburuk kondisi
malnutrisi. Jika terdapat tanda-tanda ensephalopaty hepatik, pemberian formula
asam amino rantai bercabang dengan restriksi asam amino aromatik dapat
diberikan untuk memastikan intake protein yang adekuat. Restriksi protein kurang
dari 0,5 gr/kg BB/hari berakibat pemecahan protein endogen dan penurunan status
nutrisi lebih lanjut (Grodner, Long, & Walkingshaw, 2007).
Restriksi natrium dan cairan perlu dilakukan untuk mengurangi asites dan
edema pada pasien sirosis hepatis. Intake natrium harus kurang dari 2 gr/hari pada
pasien dengan asites atau edema. Jika asites dan edema sudah resisten dengan
terapi diuretik yang dilakukan, maka restriksi natrium perlu ditingkatkan menjadi
kurang dari 1 gr/hari. Restriksi cairan biasanya dimulai dari 1000-1500 cc/hari
tergantung pada respon pasien (Grodner, Long, & Walkingshaw, 2007).
Defisiensi protein biasanya juga terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis.
Oleh karena itu, pasien perlu diberikan tambahan intake vitamin, misalnya folate,
vitamin B12, thiamin, dan vitamin A,D,E,K. Contoh diet hepar tinggi protein,
tinggi kalori, dan moderat lemak adalah sebagai berikut: susu 1 liter; telur 1-2
butir; ikan 224 gr; sayuran: kentang atau penggantinya 2 kali penyajian, sayuran
hijau atau kuning 1 kali penyajian, sayuran lain 1 kali penyajian; buah 3-4 kali
penyajian termasuk jus; nasi, roti, atau sereal 6-8 kali penyajian; mentega 2-4
sendok teh; jeli atau madu sesuai dengan keinginan makan pasien (Williams,
1999). Komposisi makanan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan toleransi pasien.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
2.4 Diet Putih Telur Pada Pasien Sirosis Hepatis
Putih telur adalah salah satu sumber makanan yang mengandung tinggi
protein dan rendah lemak. Don Amerman (2013) mengatakan bahwa diet protein
sehat yang dianjurkan bagi penderita sirosis hepatis adalah makanan dengan
kandungan tinggi protein dan rendah lemak dan salah satu contoh sumber
makanan ini adalah putih telur. Fakta ini didukung oleh pernyataan Khomsan
(2006) yang mengatakan bahwa dalam satu butir putih telur mengandung 3 gr
protein dengan sedikit lemak.
Dalam 100 gr putih telur terkandung energi 48 Kkal; 87,3 gr air; 11,1 gr
protein; 0,2 gr lemak; 0,4 gr karbohidrat; dan 0,7 gr mineral. Fraksi protein yang
terkandung secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: Ovomucoid 11%;
Ovalbumin 54 %; Ovotransferrin 12-13 %; Lysozym 3,4-3,5 %; Ovomucin 1,5-
3,5%; G2 Ovoglobulin 1 %; G3 Ovoglobulin 1%; Ovoflavoprotein 0,8%;
Ovostatin 0,5%; Cystatin 0,05%; Avidin 0,05 %; dan sisanya adalah komponen
glikoprotein seperti Thiamin berikatan dengan protein, Glutamyl aminopeptidase,
Minor glycoprotein 1, dan Minor glycoprotein 2 (Besler, 1999). Komponen
protein dalam putih telur ini biasanya langsung dapat dimanfaatkan oleh darah
untuk meningkatkan kadar protein plasma (Khomsan, 2006). Fakta ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan Taylor et al (2011) yang menjelaskan
bahwa konsumsi 100 gr putih telur setiap hari selama 6 minggu dapat
meningkatkan 0,19 g/dL serum albumin.
Fakta dan penelitian ini mendukung intervensi diet putih telur yang
diberikan kepada pasien sirosis hepatis dengan komplikasi asites. Pasien diberikan
diet hepar yang mengandung tinggi protein, tinggi kalori, dan kandungan lemak
yang moderat. Jumlah protein minimal yang diberikan kepada pasien sebesar 0,8
gr/kg BB/hari. Sumber protein utama pada menu diet pasien adalah putih telur.
Sumber protein lain dapat dikombinasikan dengan sumber makanan lain seperti
tahu, tempe, ikan, buncis, tauge, dan rebung (University of Michigan Health
System, 2011). Diet putih telur ini diharapkan dapat melengkapi penatalaksanaan
hipoalbuminemia yang merupakan salah satu penyebab komplikasi asites pada
pasien sirosis hepatis.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
! "#! ! Universitas Indonesia!!
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS
3.1 Pengkajian Keperawatan
Informasi Umum
Nama: Tn Bambang Suhartono Usia: 70 tahun
Tanggal lahir : 10 November 1942 Jenis kelamin: laki-laki
Suku Bangsa : Jawa Tanggal masuk: 14 Mei 2013
Waktu : pukul 22.30 WIB Dari: Intalasi Gawat Darurat (IGD)
RSPAD Gatot Soebroto
Sumber informasi: klien, keluarga (anak dan istri)
Keabsahan : 4
Aktivitas/Istirahat
Gejala (Subjektif)
Pekerjaan : pensiun TNI AD Aktivitas/hobi: membaca
Aktivitas waktu luang : ngobrol dengan anggota keluarga (istri, anak, atau cucu)
Perasaan bosan/tidak puas : “klien mengatakan sudah bosan dirawat di RS dan
ingin segera pulang ke rumah”.
Keterbatasan karena kondisi : “merasa sulit untuk berjalan karena kedua tungkai
kaki bengkak dan perut terasa begah karena terisi cairan”.
Tidur jam 21.00 – 04.00; Tidur siang: tidak pernah; Kebiasaan tidur: merintih
Insomnia: tidak ada
Klien mengatakan merasa segar setelah bangun tidur
Tanda (Objektif)
Respon terhadap aktivitas yang teramati:
Kardiovaskuler: meningkat ketika beraktivitas (nadi: 95 x/menit)
Pernapasan: meningkat ketika beraktivitas (napas: 22 x/menit)
Status mental: sadar, GCS: E4M6V5
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Pengkajian Neuromuskular
Massa/tonus otot : sebanding di keempat ekstremitas
Postur : tegap; Tremor: tidak ada
Rentang gerak : sempurna di keempat ekstremitas
Kekuatan otot:
5 5 5 5 5 5 5 5
3 3 4 4 4 4 3 3
Sirkulasi
Gejala (Subjektif)
Riwayat tentang hipertensi : ada; Masalah jantung: tidak ada
Flebitis : tidak ada; Penyembuhan lambat: tidak ada
Klaudikasi : tidak ada
Ekstremitas: kesemutan: tidak ada; Kram: ada di kedua ekstremitas inferior
Batuk/hemoptisis : tidak ada
Perubahan frekuensi/jumlah urin : “klien mengatakan jumlah urin lebih sedikit
dari biasanya”
Tanda (Objektif)
Tekanan darah: 160/80 mmHg; Nadi: 80x/menit; Gap auskultatori: -
Nadi (palpasi) : karotis: ada; radialis: ada
Jantung (palpasi)
Getaran: ada; Dorongan: tidak ada
Bunyi jantung: S1,S2; irama teratur; kualitas: kuat
Friksi gesek: tidak ada; murmur: tidak ada
Bunyi napas: desiran vaskular: tidak ada; Distensi vena jugularis: 5 + 2 cmH2O
Ekstremitas: hangat, warna kemerahan
Pengisian kapiler (capillary refill time/ CRT): < 3 detik
Tanda homans: tidak ada; varises: ada (varises esophagus grade 3
berdasarkan hasil esofago gastro duodenoskopi 28 Mei 2013)
Abnormalitas kuku: tidak ada
Penyebaran/kualitas rambut: rambut tersebar merata, kualitas baik
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Warna:
Membran mukosa: pink, bibir: pink, lembab
Punggung kuku: pink, konjungtiva: anemis; sclera: tidak ikterik
Diaforesis: tidak ada
Integritas Ego
Gejala (Subjektif)
Faktor stress: “masalah penyakit liver yang sudah kambuh untuk kali kedua”
Cara mengatasi stress: “berdoa, bersabar, dan menjalani terapi yang dianjurkan
dokter dan perawat”.
Masalah finansial: “tidak ada, biaya kesehatan klien sudah ditanggung oleh
ansuransi kesehatan. Selain itu, anak laki-laki klien yang saat ini bekerja di Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta bertanggung jawab terhadap segala biaya
pemeliharaan kesehatan klien”.
Status hubungan : menikah
Faktor-faktor budaya : perkotaan
Agama : Islam
Gaya hidup : berkecukupan
Perubahan terakhir: tidak ada
Status emosi: tenang
Tanda (Objektif)
Respon fisiologis yang terobservasi
Klien tampak menghela napas ketika bercerita bahwa tidak jadi (gagal)
menunaikan ibadah haji bersama anak laki-lakinya dikarenakan sakit liver
kambuh.
Eliminasi
Gejala (Subjektif)
Pola Buang Air Besar (BAB): sudah dua hari belum BAB
BAB terakhir: dua hari yang lalu; Karakter feses: keras, berwarna coklat
Perdarahan: tidak ada; Hemoroid: tidak ada; Konstipasi: ada
Penggunaan laksatif: ada
Pola Buang Air Kecil (BAK): lebih sedikit dari biasanya; Inkontinensia: tidak ada
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Karakter urin: kuning agak oranye, jernih
Nyeri/rasa terbakar/kesulitas BAK: tidak ada
Riwayat penyakit ginjal/kandung kemih: tidak ada
Penggunaan diuretic: ada, yaitu lasix 2 ! 40 mg IV
Tanda (Objektif)
Abdomen:
Abdomen tampak buncit, mengkilat, dan tegang. Lingkar perut: 103 cm
Nyeri tekan: ada, di area ulu hati
Hati dan limpa: sulit terpalpasi
Massa: tidak ada
Shifting dullness: ada, fluid wave: ada
Bising usus (BU): ada di keempat kuadran, BU: 5x/menit
Hemoroid: tidak ada
Perubahan kandung kemih: ada; BAK sering setelah mendapat terapi diuretic
Makanan/Cairan
Diit biasa (tipe): diit hepar tipe 4, protein 75 gr/hari; jumlah makanan: 1900
kalori/hari
Makan terakhir/masukan: nasi, 1 potong tahu, sayur, buah papaya 1 potong
Pola Diit:
Pagi: nasi, sayur, 1 potong ikan, 1 potong sedang tahu, 1 gelas susu
Siang: nasi, sayur kacang, 1 potong sedang tempe, 1 potong buah papaya
Malam: nasi, sayur buncis, 1 butir telur rebus, 1 potong sedang tahu
Makan selingan: krekers, kue manis pada sore hari
Minuman: 1 gelas jus, 3 gelas air putih
Kehilangan selera makan: tidak ada; Mual/muntah: tidak ada
Nyeri ulu hati/salah cerna: ada, yang berhubungan dengan riwayat magh
Disembuhkan oleh: makan sedikit tetapi sering
Alergi/intoleransi makanan: udang
Masalah mengunyah/menelan: tidak ada
Berat badan (BB) biasa: 52 kg,
Perubahan BB: ada, BB bertambah selama perut membuncit dan kaki bengkak
Penggunaan diuretic: ada
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Riwayat penyakit hati: ada, pasien pernah dirawat di RSPAD Gatot Soebroto
tahun 2010 dengan keluhan perut membuncit yang lebih besar dari saat ini dan
kaki bengkak.
Tanda (Objektif)
BB sekarang: 61 kg, Tinggi badan (TB): 165 cm
Turgor kulit: elastis; Membran mukosa: lembab
Edema: ekstremitas inferior bilateral ada, pitting edema +4
Asites : ada (berdasarkan hasil USG abdomen 20 Mei 2013)
Periorbital: tidak ada
Distensi vena jugularis: ada, 5+2 cmH2O
Pembesaran tiroid: tidak ada; Hernia/massa: tidak ada; Halitosis: tidak ada
Kondisi gigi/gusi: baik (tidak ada masalah dengan perdarahan)
Bunyi napas: ronkhi ada, cracels tidak ada, wheezing tidak ada
Higiene
Gejala (Subjektif)
Aktivitas sehari-hari: partial
Mobilitas: mandiri dengan sedikit dibantu; Makan: mandiri
Higiene: mandiri dengan sedikit dibantu; Berpakaian: mandiri dengan sedikit
dibantu
Toileting: mandiri dengan sedikit dibantu
Pemakaian alat bantu/prostetik: tidak ada
Tanda (Objektif)
Penampilan umum: tampak bersih dan rapi
Cara berpakaian: tampak rapi; Bau badan: tidak ada
Kondisi kulit kepala: bersih; Adanya kutu: tidak ada
Neurosensori
Gejala (Subjektif)
Rasa ingin pingsan/pusing: tidak ada
Sakit kepala: kadang-kadang
Kesemutan/kebas: ada, di ekstremitas inferior
Stroke/gejala sisa: tidak ada
Kejang: tidak ada
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Mata: kehilangan penglihatan: tidak ada
Telinga: kehilangan pendengaran: tidak ada
Epistaksis: tidak ada
Tanda (Objektif)
Status mental: sadar, GCS: E4M6V5
Terorientasi waktu, tempat, orang: iya
Kesadaran: Compus Mentis; Mengantuk: tidak
Kooperatif: iya
Memori saat ini dan yang lalu: baik
Kaca mata: tidak; Alat bantu dengar: tidak
Genggaman tangan/lepas: kuat/sama
Nyeri/Tidak Nyaman
Gejala (Subjektif)
Lokasi: ulu hati; Intensitas: 4 dari skala 10; Frekuensi:kadang-kadang
Kualitas: sakit tumpul; Penjalaran: tidak ada
Tanda (Objektif)
Wajah mengerut saat dipalpasi di area ulu hati
Menjaga area yang sakit: iya
Penyempitan fokus: tidak ada
Respon emosional: tampak tetap tenang dan sabar
Pernapasan
Gejala (Subjektif)
Dispnea: ada
Riwayat: bronchitis: tidak ada; Asma: tidak ada
Tuberkulosis: ada; Emfisema: tidak ada
Pneumonia kambuhan: tidak ada
Perokok: tidak (dulu iya)
Penggunaan alat bantu napas: ada, O2 3 lpm per nasal kanul
Tanda (Objektif)
Pernapasan: frekuensi: 22 x/menit
Penggunaan otot aksesori: ada; Napas cuping hidung: ada
Fremitus: tidak ada
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Bunyi napas: ronkhi ada, cracels tidak ada, wheezing tidak ada
Sianosis: tidak ada
Fungsi mental/gelisah: ada ketika dispnea
Keamanan
Gejala (Subjektif)
Alergi/sensitivitas: ada, reaksi gatal-gatal pada kulit
Faktor pencetus: makanan (udang)
Perubahan sistem imun sebelumnya: tidak ada
Riwayat penyakit hubungan seksual: tidak ada
Perilaku risiko tinggi: tidak ada
Transfusi darah: tidak ada
Riwayat cedera kecelakaan: tidak ada
Fraktur: tidak ada; Artritis: tidak ada
Masalah punggung: tidak ada; Pembesaran nodus: tidak ada
Alat ambulatory: tidak ada
Tanda (Objektif)
Suhu tubuh: 36,8o C; Diaforesis: tidak ada
Integritas kulit: baik
Cara berjalan: tegap, tetapi agak menunduk akibat pembengkakan tungkai
bilateral dan asites.
Seksualitas
Aktif melakukan hubungan seksual: iya; Pembesaran prostat: tidak ada
Kesulitan seksual: tidak ada
Perubahan terakhir dalam frekuensi: ada, sejak sakit dan dirawat di RS
Interaksi Sosial
Gejala (Subjektif)
Status pernikahan: menikah
Hidup dengan: istri
Masalah/stress: kondisi sakit yang menghalangi untuk menunaikan umrah.
Orang pendukung lain: istri, anak, dan cucu.
Peran dalam struktur keluarga: sebagai kepala keluarga
Perubahan bicara: tidak ada
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Tanda (Objektif)
Bicara: jelas
Komunikasi verbal/non verbal dengan keluarga/orang terdekat lain:
“sering berbicara dengan istri dengan memandang matanya, postur rileks”
Pola interaksi keluarga: istri duduk di samping tempat tidur, rileks, keduanya
tampak berbicara satu sama lain tentang suatu hal, kadang-kadang tampak
bercanda.
Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala (Subjektif)
Bahasa dominan: bahasa Indonesia; Melek huruf: iya
Tingkat pendidikan: pendidikan TNI
Ketidakmampuan belajar (khusus): tidak ada
Keyakinan kesehatan yang dilakukan: berdoa agar lekas sembuh
Faktor risiko keluarga:
Diabetes: tidak ada; Tuberkulosis: tidak ada
Penyakit jantung: tidak ada; Stroke: tidak ada
Tekanan darah tinggi: ada; Epilepsi: tidak ada
Penyakit ginjal: tidak ada; kanker: tidak ada
Penyakit jiwa: tidak ada; Lain-lain: liver ada, ibu pasien
Tabel 3 Daftar Obat Pasien
No Obat Dosis Waktu Tujuan 1 Lasix 2 x 40 mg IV 05, 15 Untuk meningkatkan diuresis,
membuang cairan yang berlebih dari dalam tubuh
2 KSR 3 x 1 tablet 05, 13, 21 Untuk mengatasi dan mencegah hipokalemia
3 Lactulac 3 x 30 ml PO 05, 13, 21 Untuk mengatasi konstipasi, mencegah portal sistemik enchepalopaty akibat peningkatan kadar ammonia dalam darah
4 Propanolol 2 x 10 mg 05, 17 Untuk mengatasi hipertensi, menekan aktivitas renin, mengurangi kontraktilitas jantung dan mencegah aritmia jantung
5 Curcuma 2 x 1 tablet 5,17 Untuk mengatasi anoreksia dan jaundice akibat penyumbatan saluran empedu
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!!""
Universitas Indonesia
Penggunaan alkohol: tidak ada
Diagnosis saat masuk per dokter: sirosis hepatis
Alasan dirawat per pasien: sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Sejak 1 tahun yang lalu perut dirasa semakin membuncit, kaki bengkak.
Riwayat keluhan terakhir: perut buncit dan terasa begah, kaki bengkak
Harapan pasien terhadap perawatan: klien ingin segera sembuh, cairan berlebih
dalam tubuh (perut dan kaki) dapat dibuang, sehingga klien dapat berangkat
umrah.
Pertimbangan pemulangan:
Rencana pulang: belum diinformasikan oleh dokter
Sumber-sumber: Orang: istri, anak; Keuangan: asuransi kesehatan, biaya lain
ditanggung anak.
Antisipasi perubahan pola hidup: diit tinggi protein 75 gr/hari, rendah garam,
rendah lemak.
Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi (14 Mei 2013)
- Hb: 9,7 g/dL dari nilai normal 13-18 g/dL (#)
- Ht: 28% dari nilai normal 40-52% (#)
- Eritrosit: 2,6 juta sel/mm3 darah dari nilai normal 4,3-6 juta
sel/mm3 darah (#)
- Leukosit: 4600 sel/mm3 darah dari nilai normal 4800-10.800
sel/mm3 darah (#)
- Trombosit: 77000 sel/mm3 dari nilai normal 150.000 – 400.000
sel/mm3 darah (#)
Kimia klinik
- Albumin: 2,4 g/dL dari nilai normal 3,5-5,0 g/dL (#)
- Natrium (Na): 139 mmol/L dari nilai normal 135-147 mmol/L
- Kalium (K): 3,9 mmol/L dari nilai normal 3,5-5,0 mmol/L
- Klorida (Cl): 106 mmol/L dari nilai normal 95-105 mmol/L ($)
2. Rontgen Thorax Anterior Posterior
Kesan: tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
3. Analisis Gas darah (14 Mei 2013)
pH: 7,423 (N)
pCO2: 26,2 ($)
HCO3: 17,2 ($)
! Alkalosis respiratorik terkompensasi sempurna
4. Kimia klinik (17 Mei 2013)
Albumin: 2,6 g/dL ($)
5. USG Abdomen (20 Mei 2013)
Deskripsi:
Hepar: mengecil, echo meningkat, inhomogen, portal melebar, bilier
normal, sudut tumpul, permukaan irregular, asites (+)
Lien: membesar, echo normal, Vena lienalis tidak melebar
Kesan: sirosis hepatis, asites, splenomegali
6. Hematologi (22 Mei 2013)
- Hb: 9,9 g/dL ($)
- Ht: 29% ($)
- Eritrosit: 2,9 juta sel/mm3 darah ($)
- Leukosit: 4500 sel/mm3 darah ($)
- Trombosit: 97.000 sel/mm3 darah ($)
7. Kimia Klinik (27 Mei 2013)
- Protein total: 7,2 g/dL dari nilai normal 6-8,5 g/dL
- Albumin: 2,2 g/dL dari nilai normal 3,5 – 5,0 g/dL ($)
- Globulin: 5,0 g/dL dari nilai normal 2,5 – 3,5 g/dL (%)
8. Esophago Gastro Duodenoscopy
Hasil: skop masuk OES tanpa hambatan. Esofagus: lumen terbuka,
mukosa tampak varises besar, lebih dari ! lumen, kebiruan, stigmata
belum didapatkan. Gaster: lumen terbuka, mukosa didapatkan skin nake
appearance. Didapatkan hematin. Duodenum: lumen terbuka, mukosa
normal.
! Kesimpulan: varises esophagus grade 3.
9. Esofago Gastro Duodenoscopy (28 Mei 2013)
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
- Hasil: telah dilakukan ligasi varises esophagus ulangan pada jam
3,5,7 secara berturut-turut. Post tindakan perdarahan minimal.
- Kesimpulan: varises esophagus grade 3 post ligasi ulangan
sebanyak 3 ikatan
- Saran: kontrol EGD 3 bulan lagi. Optimalisasi terapi konservatif.
3.2 Diagnosis Keperawatan
Data Masalah Keperawatan 1) Data Subjektif (DS): Klien mengatakan:
- Pernah dirawat sebelumnya di RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 2010 dengan keluhan yang sama yaitu perut semakin buncit dan kaki bengkak
- Keluhan utama saat dirawat di RS saat ini adalah perut semakin buncit yang sudah dirasa sejak 1 tahun yang lalu. Kedua tungkai kaki bengkak
- Berat badan meningkat dari 52 kg menjadi 61 kg Data Objektif (DO): - Hasil pemeriksaan abdomen menunjukkan:
Abdomen tampak buncit, lingkar perut: 103 cm Hati dan limpa tidak terpalpasi Fluid wave ada Shifting dullness ada
- Edema tungkai bilateral ada, pitting edema +4 - Distensi vena jugularis: 5+2 cmH2O - Dispnea ada, ortopnea ada - Ht: 28% ($), Hb: 9,7 g/dL ($) - Penurunan keluaran urin, perubahan tekanan darah: 160/80
mmHg - Hasil USG abdomen: sirosis hepatis, asites (+)
Kelebihan volum cairan
2) DS: Klien mengatakan:
- Alasan utama dirawat di RS adalah sesak napas 1 hari sebelum masuk RS dan semakin memberat 4 jam sebelum masuk RS
- Sulit bernapas terutama ketika tidur dengan posisi terletang dengan posisi kepala datar
DO: - Kecepatan napas meningkat menjadi 22 x/menit - Napas cuping hidung (+), penggunaan otot aksesori (+) - Klien tampak sulit bernapas - Dispnea (+), orthopnea (+)
Pola napas tidak efektif
DS: Klien mengatakan:
- Merasa nyeri di ulu hati dan mempunyai riwayat magh - BB biasa: 52 kg dengan TB: 165 cm sehingga Indek Masa
Tubuh (IMT): 19,10
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
DO: Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan:
- Albumin: 2,6 g/dL ($) - Hb: 9,7 g/dL ($) - Ht: 28% ($)
Klien tampak kurus Konjungtiva anemis
Diagnosis Keperawatan:
1. Pola napas tidak efektif berhubungan peningkatan tekanan intraabdominal
(di diafragma)
2. Kelebihan volum cairan berhubungan dengan adanya retensi cairan,
hipoalbuminemia
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, gangguan fungsi hati, dan penurunan absorbsi vitamin
yang larut dalam lemak.
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosis Keperawatan 1:
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
intraabdominal (di diafragma).
Tujuan: pola napas pasien efektif
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan klien
akan:
- Mendemonstrasikan pola napas normal, kecepatan napas 14-16 x
menit, napas cuping hidung tidak ada,penggunaan otot aksesori
tidak ada, dispnea tidak ada.
- Melaporkan bisa bernapas dengan nyaman
- Mendemonstrasikan kemampuan mengontrol napas
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Rencana Intervensi:
Mandiri
1. Memonitor kecepatan napas, kedalaman, dan kemudahan untuk bernapas.
Kecepatan napas normal 14-16 x/menit.
Rasional: jika RR > 30 x/menit, terdapat gangguan fisiologis yang
signifikan.
2. Memonitor pola napas, mencatat adanya dispnea dan penyebabnya.
Rasional: pola napas normal individu adalah regular.
3. Menentukan tingkat keparahan dispnea dengan skala 0-10.
Rasional: skala 0 menunukkan tingkat terbaik, sedangkan skala 10
menunjukkan tingkat terburuk.
4. Mencatat penggunaan otot aksesori, retraksi dinding dada, kebingungan,
dan letargi
Rasional: tanda-tanda di atas menunjukkan peningkatan kesulitan bernapas
5. Mengauskultasi suara napas, mencatat penurunan atau tidak adanya suara
napas, cracels, wheezing.
Rasional: suara paru abnormal mengindikasikan patologi respiratori yang
dihubungkan dengan gangguan pola napas.
6. Menganjurkan pasien untuk memperlambat kecepatan bernapas, mengatur
pola napas, mendemonstrasikan kecepatan napas yang lebih lambat,
mempertahankan kontak mata, dan mendukung pasien.
Rasional: kehadiran perawat dan sikap perawat yang membantu
mengontrol pernapasan pasien dapat membantu menenangkan pasien.
7. Memposisikan pasien pada posisi semi fowler
Rasional: posisi semi fowler membantu memfasilitasi ekspansi paru
8. Mengajarkan relaksasi napas dalam, mendemonstrasikan, dan
menganjurkan pasien melakukan redemonstrasi dan menerapkannya untuk
membantu mengontrol pernapasan.
Rasional: teknik napas dalam efektif untuk menurunkan dispnea.
9. Meningkatkan aktivitas klien untuk berjalan 3x/hari jika klien mampu
mentoleransi.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Rasional: aktivitas yang ditemani dapat menurunkan dispnea dan
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
10. Menjadualkan istirahat sebelum dan sesudah latihan aktivitas.
Rasional: pernapasan klien dengan dispnea dapat memburuk dengan
mudah dan mem butuhkan istirahat yang lebih banyak.
11. Memberikan makanan yang sedikit tetapi sering.
Rasional: makanan yang sedikit diberikan untuk menghindari usaha
ventilasi yang berlebih dan untuk menyimpan energi. Pasien dengan
dispnea seringkali makan dengan jumlah yang kurang karena pernapasan
lebih prioritas.
12. Menganjurkan klien untuk berlatih teknik napas dalam dengan interval
yang dianjurkan dan mengontrol batuk.
Rasional: untuk memfasilitasi pasien mengontrol pernapasannya secara
mandiri.
Kolaborasi
13. Memberikan terapi O2 yang diresepkan
Rasional: pemberian O2 dapat memperbaiki hipoksia penyebab dispnea.
14. Memastikan bahwa pasien dengan dispnea telah mendapat obat, terapi O2,
dan tindakan yang dibutuhkan.
Rasional: tindakan dilakukan untuk mengatasi periode dispnea akut.
15. Memonitor saturasi O2 secara berkala dengan pulse oksimetri
Rasional: jika saturasi O2 < 90% (normal 95-100%) atau PaO2 <80
mmHg (normal 80-100 mmHg) mengindikasikan masalah oksigenasi yang
signifikan.
Discharge Planning
- Mengajarkan teknik napas dalam kepada pasien dan keluarga
- Mengajarkan tentang dosis, reaksi, dan efek samping obat
- Mengajarkan klien untuk melakukan teknik relaksasi
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Diagnosis Keperawatan 2:
Kelebihan volum cairan berhubungan dengan adanya retensi cairan,
hipoalbuminemia
Tujuan: tercapai kondisi normovolemik pada pasien
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 x 24 jam diharapkan klien
akan:
- Terbebas dari edema, efusi, anasarka
- Mencapai berat badan yang sesuai untuk klien
- Mempertahankan bunyi paru yang bersih, tidak ada dispnea, dan
ortopnea
- Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular positif,
bunyi jantung gallop
- Mempertahankan tanda-tanda vital normal
- Menjelaskan tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah
kelebihan volum cairan yaitu pembatasan intake cairan dan
garam/natrium, dan pengobatan
- Menjelaskan tanda dan gejala yang mengindikasikan perlunya
segera konsul ke pusat layanan kesehatan.
Rencana Intervensi
Mandiri
1. Memonitor lokasi dan derajad edema
Rasional: edema mengindikasikan penurunan tekanan onkotik
2. Memonitor berat badan harian, menggunakan timbangan yang sama
serta tipe pakaian yang dipakai pasien sama, lebih baik dilakukan
sebelum sarapan
Rasional: perubahan berat badan mengindikasikan perubahan cairan
tubuh
3. Memonitor tanda-tanda vital, mencatat penurunan tekanan darah,
takikardia, takipnea, bunyi jantung gallop
Rasional: tanda-tanda di atas mengindikasikan gagal jantung
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
4. Mendengarkan bunyi paru akan adanya cracels, memonitor usaha
napas,mengobservasi adanya orthopnea.
Rasional: edema paru akibat perpindahan cairan dari ruang vaskular ke
intersisial paru dan alveoli, menyebabkan dispnea dan ortopnea.
5. Memonitor osmolalitas serum dan urin, serum sodium, ratio
BUN/kreatinin, abnormalitas hematokrit.
Rasional: pengukuran konsentrasi di atas akan menunjukkan hasil yang
abnormal pada kondisi kelebihan volum cairan.
6. Dengan posisi kepala elevasi 30-45o, monitor adanya distensi vena
jugular. Kaji adanya reflek hepatojugular positif
Rasional: peningkatan volum intravascular menyebabkan distensi vena
jugular dan reflek hepatojugular positif.
7. Memonitor efek samping terapi diuretik: hipotensi ortostatik,
hipovolemia, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia,
hiponatremia)
Rasional: observasi hiperkalemia pada pasien dengan terapi potassium
sparing diuretik
8. Mengganti posisi kaki yang edema setiap 2 jam.
Rasional: jaringan edema rentan mengalami iskemia dan luka tekan
9. Menganjurkan pasien untuk istirahat.
Rasional: Bed rest dapat menstimulus diuresis
10. Memonitor balance cairan
Rasional: untuk memonitor efektivitas terapi diuretik
Kolaborasi
11. Memberikan terapi diuretik yang diresepkan dokter. Memastikan
bahwa tekanan darah adekuat sebelum injeksi diuretic per IV
Rasional: diuretik dapat meningkatkan diuresis sehingga dapat
mengurangi cairan berlebih dari dalam tubuh
12. Membatasi asupan sodium/garam
Rasional: restriksi sodium dapat mencegah retensi cairan lebih lanjut.
13. Memonitor serum albumin dan memberikan terapi albumin per IV jika
diperlukan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Rasional: serum albumin adalah contributor utama yang
mempertahankan tekanan onkotik
14. Melakukan restriksi cairan sesuai dengan anjuran dokter
Rasional: restriksi cairan dapat menurunkan volum intravaskuler.
Discharge Planning
- Menjelaskan tanda dan gejala kelebihan volum cairan serta
tindakan yang harus dilakukan
- Mengajarkan pasien yang mendapat terapi diuretik untuk
menimbang berat badan setiap pagi, dan melaporkan dokter jika
BB meningkat 3 pound atau lebih
- Mengajarkan pasien akan pentingnya restriksi garam dan cairan
- Mengajarkan cara pemberian diuretic yaitu dosis pertama di pagi
hari, selanjutnya dosis kedua tidak lebih dari pukul 16.00
- Memberitahukan/menginformasikan pasien tentang efek samping
diuretic: pusing, lemah, kram otot, bingung, gangguan
pendengaran, palpitasi jantung, hipotensi postural
Diagnosis Keperawatan 3
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, gangguan fungsi hati, penurunan absorbsi vitamin yang larut dalam
lemak.
Tujuan: kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 10 x 24 jam, diharapkan pasien
akan:
- Mencapai berat badan target yang diinginkan secara progresif
- Berat badan berada pada rentang normal untuk tinggi dan usia
pasien
- Mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Mengonsumsi nutrisi secara adekuat
- Terbebas dari tanda-tanda malnutrisi
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Rencana Intervensi
Mandiri
1. Mengidentifikasi status nutrisi pasien dengan menghitung Indek Masa
Tubuh (IMT)
Rasional: IMT adalah salah satu indikator untuk menentukan status nutrisi
pasien. IMT < 20 mengindikasikan status nutrisi kurang.
2. Menimbang berat badan setiap minggu dengan waktu dan tipe pakaian
yang sama.
Rasional: untuk monitoring perubahan BB pasien
3. Mengidentifikasi kondisi/gejala yang dialami pasien yang berkontribusi
terhadap penurunan asupan nutrisi, misalnya rasa mual, muntah, nyeri
abdomen, atau rasa ‘begah’ di perut.
Rasional: untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan etiologi.
4. Memberikan makanan yang tidak terlalu padat dan kaya akan kandungan
protein, menyajikan dalam bentuk menarik dengan interval waktu tertentu.
Rasional: makanan yang tidak terlalu padat dan kaya akan kandungan
protein dapat diterima pasien sebagai makanan harian.
5. Melakukan modifikasi diet:
- Total asupan nutrisi pasien 2500-3000 kalori
- Diet harus mengandung cukup protein untuk perbaikan jaringan
tetapi tidak sampai mencetuskan ensepalopati hepatik:
mengandung 75 gr protein kualitas tinggi per hari.
- Diet harus mengandung cukup karbohidrat untuk mempertahankan
BB
- Diet harus membatasi asupan lemak dan garam: diet rendah lamak
dan garam
6. Menimbang BB, intake dan output, hitung kalori setiap hari
Rasional: untuk memonitor balance cairan dan nutrisi
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Kolaborasi
7. Memonitor hasil laboratorium, khususnya ammonia untuk melihat
perbaikan atau perburukan status nutrisi.
Rasional: jika kadar ammonia meningkat (kadar normal: 70-200 mg/dL di
darah dan 56-150 mg/dL di plasma), makanan tinggi protein harus
dibatasi.
8. Memberikan pengobatan antiemetik sebelum makan sesuai resep
Rasional: adanya mual dapat menurunkan nafsu makan.
9. Memberikan suplemen vitamin, misalnya A,D,E,K
Rasional: untuk memperbaiki kondisi malnutrisi akibat gangguan absorbsi
vitamin yang terlarut dalam lemak.
Discharge Planning
- Membantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi area yang dapat
dimodifikasi untuk meningkatkan nutrisi
- Membantu kebiasaan makan pasien/keluarga yang dapat
meningkatkan nafsu makan pasien
- Menjelaskan diet yang harus dilakukan pasien
3.4 Catatan Perkembangan Pasien
(Terlampir)
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
! ""! ! Universitas Indonesia!!
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1Profil Lahan Praktik
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto adalah
rumah sakit tentara pusat yang berlokasi di Jalan Abdul Rahman Saleh nomor 24
Jakarta Pusat. Visi RSPAD Gatot Soebroto adalah menjadi rumah sakit
kebanggaan prajurit dengan misi utama menyelenggarakan fungsi perumahsakitan
tingkat pusat dan rujukan tertinggi bagi rumah sakit Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat (TNI AD). Misi Khusus RSPAD Gatot Soebroto adalah
menyelenggarakan dukungan dan pelayanan kesehatan yang profesional dan
bermutu serta menyeluruh bagi prajurit/PNS TNI AD dan keluarganya dalam
rangka meningkatkan kesiapan dan kesejahteraan. Selain itu RSPAD Gatot
Soebroto mempunyai misi tambahan yaitu sebagai sub sistem kesehatan nasional
yang ikut meningkatkan derajad kesehatan masyarakat melalui program pelayanan
masyarakat umum (RSPAD Gatot Soebroto, 2013).
Ruangan yang menjadi pelaksanaan praktik profesi Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan adalah Ruang Perawatan Umum lantai 6 (PU 6).
Karakteristik ruangan ini adalah ruang perawatan umum kelas 3 yang terdiri dari
11 kamar. Kamar 601 adalah ruang perawatan masalah kesehatan onkologi, 602
ruang perawatan masalah kesehatan ginjal hipertensi, 603 ruang perawatan
masalah kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT), 604 ruang perawatan
masalah kesehatan endokrin, 605 ruang perawatan masalah kesehatan neurologi,
606 ruang masalah kesehatan hepatik, 607 ruang masalah kesehatan
imunokompresi, 608 ruang masalah kesehatan integumen, 609 ruang masalah
kesehatan digestif, 610 ruang masalah kesehatan penyakit tropis, dan 611 ruang
pengawasan khusus. Masing-masing kamar terdapat enam tempat tidur, kecuali
kamar 601, 602, 603, 607 dan 611 yang hanya terdapat empat tempat tidur.
Jumlah perawat di PU 6 adalah 36 orang dengan pendidikan ners sebanyak 3
orang dan sisanya adalah pendidikan D3 keperawatan. Fokus praktik mahasiswa
adalah di kamar 606 dengan pasien gangguan hepatik, khususnya sirosis hepatis.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Selama mahasiswa praktik profesi di ruang PU 6 RSPAD Gatot Soebroto,
terdapat lima pasien dengan diagnosis medis sirosis hepatis dan satu di antaranya
meninggal dunia dikarenakan komplikasi hepatoma dan perdarahan varises
esophagus. Salah satu pasien sirosis hepatis tersebut dipilih dan dikelola
mahasiswa untuk dilakukan analisis atas intervensi yang telah dilakukan, yaitu Tn
B (70 tahun) dengan sirosis hepatis dan komplikasi asites.
4.2 Analisis Masalah Keperawatan
Mahasiswa merawat pasien kelolaan Tn B (70 tahun) dengan diagnosis
medis sirosis hepatis e.c hepatitis C. mahasiswa merawat pasien kelolaan selama
16 hari yaitu dari awal pasien dirawat yaitu pada tanggal 15 Mei sampai pasien
pulang pada tanggal 30 Mei 2013. Pasien sudah pernah dirawat sebelumnya di
RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 2010 dengan diagnosis medis sirosis hepatis,
dengan komplikasi asites. Pasien mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit
liver yaitu ibu pasien. Pasien tidak mempunyai riwayat mengkonsumsi alkohol
ataupun jamu tradisional.
Sirosis hepatis yang dialami pasien disebabkan oleh hepatitis virus,
khususnya hepatitis C. Penyebaran virus hepatitis C biasanya melalui transfusi
darah, dialysis, maupun operasi. Penyebaran virus juga dapat terjadi secara
sporadik atau tidak diketahui asal infeksinya. Hal ini dihubungkan dengan sosial
ekonomi rendah, pendidikan kurang, dan perilaku seksual yang berisiko tinggi.
Selain itu, infeksi dari ibu ke anak juga memungkinkan terjadinya penyebaran
virus. (Alwi, Setiati, Setiyohadi, Simadibrata, & Sudoyo, 2006).
Kondisi sosial ekonomi rendah, pendidikan kurang, dan perilaku seksual
risiko tinggi biasanya dihubungkan dengan sisi negatif masyarakat urban. Arus
urbanisasi yang tinggi di negara berkembang seperti Indonesia yang diikuti
dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, berdampak pada outcome kesehatan yang
buruk. Selain itu, beberapa masalah kesehatan lingkungan seperti kebiasaan
merokok, makan makanan tinggi lemak tersaturasi, kepadatan penduduk dan
kualitas makanan yang buruk (makanan terinfeksi virus, makanan mengandung
zat kimia berbahaya) dapat menjadi faktor pencetus masalah kesehatan di
masyarakat urban atau perkotaan, misalnya hepatitis C. Infeksi virus hepatitis C
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
ini dapat menyebabkan terjadinya sirosis hepatis. Fakta ini didukung oleh
pernyataan Burroughs, Dooley, Heathcote, dan Lok (2011) yang mengatakan
bahwa sebagian besar kasus sirosis hepatis yang terjadi di negara berkembang
seperti Indonesia disebabkan oleh virus yang salah satunya adalah virus hepatitis
C.
Kondisi pasien saat dikelola mahasiswa sudah mengalami komplikasi
asites dengan edema tungkai bilateral (pitting edema +4) dan kondisi
hipoalbuminemia (albumin: 2,4 g/dL). Selama asites dan edema tungkai
bertambah, berat badan pasien meningkat dari 52 kg menjadi 61 kg. Hasil USG
abdomen pada tanggal 20 Mei 2013 menunjukkan bahwa pasien mengalami asites
dan splenomegali. Selain itu, hasil pemeriksaan Esophago Gastro Duodenoscopy
menunjukkan bahwa pasien mengalami varises esophagus grade 3.
Komplikasi asites yang dialami pasien disebabkan oleh adanya hipertensi
portal dan rendahnya tekanan koloid akibat hipoalbuminemia. Hipertensi portal
terjadi karena adanya hambatan aliran darah ke hati akibat pembentukan jaringan
fibrosis dan nodul sehingga tekanan vena portal meningkat. Peningkatan tekanan
vena portal menyebabkan meningkatnya tekanan hidrostatik sehingga cairan
vaskuler berpindah ke intersisial, mengisi rongga-rongga kosong dalam tubuh
khususnya rongga perut (peritonium) yang merupakan bagian rongga terbesar
dalam tubuh. Selain itu, cairan vaskuler berpindah ke intersisial di ekstremitas,
khususnya ekstremitas bawah. Berkurangnya cairan vaskuler menyebabkan
penurunan suplai darah ke ginjal sehingga terjadi aktivasi sistem Renin-
Angiotensin-Aldosteron yang berdampak terjadinya retensi natrium dan cairan,
sehingga terjadi asites dan edema ekstremitas.
Peningkatan tekanan vena portal juga berakibat pada kongesti saluran
limpa yang memicu kebocoran plasma ke peritonium. Hilangnya protein plasma
dari sistem vena portal menyebabkan penurunan tekanan onkotik di sistem
vaskular. Hal ini berakibat sistem vaskuler tidak mampu mempertahankan cairan
tetap di pembuluh darah. Kondisi ini diperburuk dengan penurunan fungsi hati
dalam sistesis albumin, dimana albumin adalah komponen protein terbesar dalam
plasma darah. Kondisi hipoalbuminemia semakin menurunkan tekanan onkotik.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Proses penyakit yang dialami pasien dengan sirosis hepatis dapat
menimbulkan beberapa masalah keperawatan utama. Kondisi akumulasi cairan di
rongga abdomen dapat menekan diafragma dan mengganggu pengembangan paru
yang berakibat terganggunya pola napas pasien, sehingga muncul masalah
keperawatan pola napas tidak efektif. Kondisi asites dan edema ekstremitas juga
mengindikasikan adanya jumlah cairan yang berlebih di dalam tubuh yang
berakibat munculnya masalah keperawatan kelebihan volum cairan. Selain itu,
terganggunya fungsi hati dalam metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat
menyebabkan pasien mengalami penurunan jumlah protein plasma, penurunan
gula darah (hipoglikemia), dan malnutrisi, yang mendukung tegaknya masalah
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peneliti tidak menemukan masalah dalam menegakkan masalah
keperawatan pola napas tidak efektif dan kelebihan volum cairan tubuh. Data-data
yang ditemukan pada pasien mendukung penegakkan masalah keperawatan
tersebut. Akan tetapi, peneliti menemukan satu masalah dalam menegakkan
masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Data-data biokimia [kadar albumin (2,6 g/dL), hemoglobin (9,7 g/dL)] dan
tanda klinis [pasien tampak kurus, konjungtiva anemis] mendukung tegaknya
masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Namun, data Index Masa Tubuh (IMT) yang menggunakan berat badan pasien
saat ini (61 kg) menunjukkan nilai IMT 22, 41 yang mengindikasikan status
nutrisi klien baik. Berat badan pasien yang mencapai 61 kg ini terjadi selama
pasien perutnya terus membesar dan kaki membengkak akibat kelebihan volum
cairan tubuh. Dengan demikian, data IMT yang menggunakan berat badan pasien
saat ini kurang valid untuk digunakan sebagai data pendukung tegaknya masalah
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
4.3 Analisis Intervensi Keperawatan
Dalam praktik profesi ini, peneliti berperan sebagai pemberi asuhan
keperawatan sekaligus sebagai peneliti. Peneliti melakukan beberapa intervensi
untuk menyelesaikan masalah keperawatan pasien. Intervensi yang dilakukan
berupa intervensi mandiri perawat, monitoring, dan kolaborasi dengan profesional
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
kesehatan lain. Peneliti juga berkolaborasi dengan dokter dan ahli gizi dalam
menyelesaikan masalah keperawatan pasien.
Masalah keperawatan yang kali pertama peneliti selesaikan adalah pola
napas tidak efektif. Pasien diposisikan semi fowler untuk memfasilitasi
pengembangan paru optimal. Selanjutnya pasien diberikan oksigen nasal kanul 3
liter per menit yang merupakan intervensi kolaborasi antara dokter dengan
perawat. Peneliti mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk membantu
mengatur pola napas pasien. Dechman dan Wilson (2004); Faager, Stahle, dan
Larsen (2008) menyatakan bahwa teknik relaksasi napas dalam dapat
meningkatkan penggunaan otot-otot interkostal, penurunan kecepatan napas,
peningkatan volum tidal, dan meningkatkan saturasi oksigen (Ackley & Ladwig,
2011). Carrieri-Kohlman dan Donesky-Cuenco (2008) mendukung keefektivan
teknik relaksasi napas dalam untuk menurunkan dispnea (Ackley & Ladwig,
2011).
Pada latihan relaksasi napas dalam, pasien diajarkan untuk menarik napas
melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian menahan napas selanjutnya
menghembuskan napas secara perlahan melalui mulut. Setiap kali latihan relaksasi
napas dalam dilakukan minimal sebanyak tiga kali dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan toleransi pasien. Pasien juga dianjurkan untuk berlatih
relaksasi napas dalam dengan interval waktu tertentu yaitu minimal 3 kali dalam
sehari, yaitu setelah bangun tidur di pagi hari, setelah makan siang, dan sebelum
tidur di malam hari.
Peneliti melakukan intervensi monitoring untuk menyelesaikan masalah
pola napas tidak efektif pada pasien. Peneliti memonitor fungsi pernapasan seperti
kecepatan napas, kedalaman, kemudahan untuk bernapas, penggunaan otot
aksesori, napas cuping hidung, dan memonitor adanya dispnea serta skala dispnea
dari 0 – 10.
Masalah keperawatan pola napas tidak efektif pada pasien dapat teratasi
setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam. Pasien sudah mencapai kriteria
hasil yang diharapkan untuk masalah keperawatan pola napas tidak efektif, yaitu
mampu mendemonstrasikan pola napas normal dimana kecepatan napas 16
x/menit, napas cuping hidung tidak ada, penggunaan otot aksesori tidak ada, dan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
dispnea tidak ada. Pasien juga mengatakan bahwa sudah tidak merasa sesak napas
dan mampu mengontrol napas dengan latihan relaksasi napas dalam. Meskipun
demikian, peneliti tetap menganjurkan pasien untuk tidur dengan posisi semi
fowler dan melakukan relaksasi napas dalam ketika merasa sesak napas. Hal ini
dikarenakan asites pada pasien belum teratasi dan masih memungkinkan untuk
terjadi penekanan diafragma dan gangguan pengembangan paru yang
menyebabkan pasien merasa sesak napas.
Peneliti menemukan satu kendala dalam melakukan intervensi untuk
menyelesaikan masalah keperawatan pola napas tidak efektif. Intervensi
monitoring saturasi oksigen dengan pulse oximetry secara berkala tidak dapat
dilakukan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan tidak terdapat fasilitas pulse oximetry
di ruang perawatan. Intervensi kolaborasi untuk memonitor saturasi oksigen
secara berkala sudah dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil seperti yang
diharapkan.
Masalah keperawatan kedua yang peneliti selesaikan adalah kelebihan
volum cairan tubuh. Intervensi kolaborasi yang sudah dilakukan adalah
memberikan terapi diuretik lasix 2 x 40 mg per intra vena (IV). Target penurunan
berat badan (BB) adalah 1 kg/hari karena pasien mengalami asites dan edema
tungkai (Alwi, Setiati, Setiyohadi, Simadibrata, & Sudoyo, 2006). Menurunnya
BB sebesar 1 kg mengindikasikan berkurangnya cairan tubuh sebesar 1000 cc.
Untuk memonitor efektivitas terapi diuretik, peneliti melakukan monitoring BB
setiap pagi sebelum sarapan. Peneliti membuat catatan harian berat badan pasien
yang ditempel di samping tempat tidur pasien. Peneliti menjelaskan kepada pasien
dan keluarga tentang pentingnya monitoring berat badan harian selama mendapat
terapi diuretik. Catatan harian berat badan ini juga dapat dimanfaatkan oleh
profesional kesehatan lain untuk memonitor keberhasilan terapi diuretik yang
sedang dilakukan pada pasien.
Peneliti juga melakukan beberapa intervensi yang lain untuk
menyelesaikan masalah keperawatan kelebihan volum cairan tubuh. Peneliti
memonitor lokasi dan derajad edema; memonitor tanda vital; memonitor adanya
orthopnea; memonitor efek samping terapi diuretik seperti hipotensi orthostatik,
hipovolemia, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiponatremia);
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
memonitor balance cairan, memonitor serum albumin, serum sodium, kadar
amonia, dan abnormalitas hematokrit. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
melakukan restriksi garam < 2 gr/hari, restriksi cairan 1500 cc/hari, dan tirah
baring. Pasien juga telah diberikan transfusi albumin 20% 100 cc sebanyak dua
kali untuk memperbaiki kondisi hipoalbuminemia, yaitu pada tanggal 16 Mei dan
28 Mei.
Peneliti memfasilitasi pemenuhan diet hepar tinggi protein dengan sumber
protein utama berupa putih telur untuk mendukung upaya menaikkan kadar serum
albumin pasien. Sebelumnya sumber protein yang diberikan kepada pasien hanya
bersumber dari lauk pauk seperti tahu, tempe, buncis, ikan, dan terkadang telur.
Pada saat itu pasien juga diberikan transfusi albumin untuk mengembalikan serum
albumin ke konsentrasi normal. Selanjutnya peneliti berkolaborasi dengan ahli
gizi untuk memasukkan putih telur sebagai sumber protein utama pada menu diet
pasien. Ahli gizi setuju kemudian memasukkan diet putih telur ke dalam menu
diet pasien yaitu 6 putih telur setiap hari selama koreksi albumin.
Pasien mulai mendapat diet 6 putih telur setiap hari yaitu pada tanggal 16
Mei 2013. Pasien juga mendapat sumber protein lain dari lauk-pauk seperti tahu,
tempe, dan ikan dengan total protein 75 gr/hari. Pada saat itu pasien juga
mendapat transfusi albumin 20% sebanyak 100 cc . Dengan demikian jumlah
albumin yang dimanfaatkan tubuh sebesar 20 cc. Hasil serum albumin post
transfusi pada tanggal 17 Mei adalah 2,6 gr/dL, meningkat 0,2 gr/dL.
Hasil penelitian yang dilakukan Taylor et al (2011) yang menjelaskan
bahwa konsumsi 100 gr putih telur setiap hari selama 6 minggu (42 hari) dapat
meningkatkan 0,19 g/dL serum albumin. Konsumsi putih telur dengan jumlah
kenaikan serum albumin dan jumlah hari yang diperlukan untuk menaikkan kadar
albumin dilihat sebagai suatu hukum yang sebanding. Hal ini berarti semakin
banyak putih telur yang dikonsumsi dalam waktu yang lebih lama maka jumlah
kenaikan albumin akan semakin besar. Hasil penelitian yang dilakukan Taylor et
al (2011) menggambarkan bahwa setiap konsumsi 2,3 gr putih telur per hari dapat
meningkatkan serum albumin sebesar 0,005 gr/dL.
Pasien Bp B mendapat diet putih telur 6 butir/hari. Sesuai dengan
pernyataan Khomsan (2006) bahwa 1 butir telur mengandung kurang lebih 3 gr
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
putih telur, sehingga 6 butir telur mengandung 18 gr putih telur. Jika dianalogikan
dengan hasil penelitian Taylor et al (2011), maka 18 gr konsumsi putih telur setiap
hari akan meningkatkan serum albumin sebesar 0,01gr/dL serum albumin.
Dengan demikian, diet putih telur dapat membantu upaya koreksi serum albumin.
Peneliti menemukan beberapa kendala dalam melakukan intervensi untuk
menyelesaikan masalah keperawatan kelebihan volum cairan. Dalam melakukan
monitor berat badan harian pasien, peneliti sulit untuk melakukannya secara
konsisten pada pagi hari sebelum sarapan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor.
Peneliti melakukan praktik profesi dengan dinas pagi, sore, dan malam sesuai
dengan jadual sehingga tidak dapat memastikan monitor berat badan dilakukan
pada pagi hari sebelum sarapan. Peneliti sudah berkolaborasi dengan perawat
yang dinas pada pagi hari untuk menimbang berat badan pasien sebelum sarapan,
akan tetapi dikarenakan suatu hal intervensi ini jarang untuk dilakukan
sebagaimana yang seharusnya. Peneliti juga sudah berkolaborasi dengan keluarga
untuk mengingatkan perawat yang dinas pada pagi hari untuk menimbang berat
badan pasien setiap sebelum sarapan. Namun, keluarga sering lupa untuk
melakukannya.
Kendala lain yang peneliti temukan ketika melakukan intervensi adalah
waktu pemberian diuretik dosis kedua pada sore hari dilakukan lebih dari pukul
16.00. Pemberian diuretik yang benar adalah diberikan dosis pertama pada pagi
hari dan dosis kedua pada sore hari dilakukan tidak lebih dari pukul 16.00 (Ackley
& Ladwig, 2011). Pasien mengeluhkan bahwa diuretik yang diberikan terlalu
sore, yang biasanya diberikan pukul 17.00-17.30 membuat pasien sering buang air
kecil sampai dini hari sehingga mengganggu tidur malam pasien. Peneliti sudah
berkolaborasi dengan perawat di ruang perawatan agar waktu pemberian diuretik
diubah agar diberikan tidak lebih dari pukul 16.00, akan tetapi belum
membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun demikian, ketika
sedang dinas sore, peneliti selalu berusaha agar dosis kedua diuretik diberikan
tidak lebih dari pukul 16.00.
Penerapan diet putih telur pada pasien juga mengalami beberapa kendala.
Kendala yang pertama adalah pasien sering merasa mual untuk menghabiskan 6
butir telur dan menu makannya setiap harinya sehingga terkadang pasien tidak
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
menghabiskannya. Kendala diet putih telur yang lain adalah belum adanya
penelitian yang menjelaskan jumlah diet putih telur yang paling efektif
dikombinasikan dengan transfusi albumin pada pasien dengan kondisi
hipoalbuminemia. Peneliti juga merasa sulit untuk memonitor serum albumin
secara berkala. Selama 16 hari pasien dirawat di ruang 606, pasien dilakukan
pemeriksaan kadar serum albumin sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 14 Mei,
17 Mei, dan 27 Mei 2013. Monitor serum albumin diperlukan untuk memonitor
keberhasilan intervensi untuk mengatasi masalah kelebihan volum cairan.
Masalah keperawatan lain yang menjadi prioritas terakhir untuk peneliti
selesaikan adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pasien
diberikan diet hepar yang mengandung tinggi kalori, tinggi protein, dan
kandungan lemak yang moderat. Diet hepar pasien mengandung 2500-3000 kalori
dengan jumlah protein 75 gr/hari.
Peneliti tidak menemukan kendala yang begitu berarti selama melakukan
intervensi untuk menyelesaikan masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh. Pasien mempunyai motivasi yang cukup besar
untuk selalu menghabiskan diet heparnya agar masalah nutrisi segera teratasi.
Meskipun demikian, peneliti merasa kesulitan untuk memonitor kadar amonia
dalam darah. Selama pasien dirawat, kadar amonia belum pernah diperiksa.
Padahal kadar amonia ini diperlukan untuk menentukan diet hepar tinggi protein
yang diperlukan pasien dimana jika kadar amonia meningkat (kadar normal: 70-
200 mg/dL di dalam darah dan 56-150 mg/dL di plasma darah) makanan tinggi
protein harus dibatasi untuk menghindari komplikasi ensephalopaty hepatik
(Black & Hawks, 2009).
4.4 Alternatif Penyelesaian Masalah
Dalam rangka mengatasi beberapa kendala dalam melakukan intervensi
keperawatan diperlukan beberapa alternatif penyelesaian masalah. Solusi yang
dimaksud dapat bersumber dari perawat dengan peran utamanya sebagai pemberi
asuhan keperawatan, fasilitas layanan kesehatan, peran kolaborasi dengan
profesional kesehatan lain, ataupun pelibatan pasien dan keluarga dalam proses
pemberian asuhan keperawatan. Dengan adanya alternatif penyelesaian masalah,
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
diharapkan intervensi keperawatan yang diperlukan dapat menyelesaikan masalah
keperawatan pasien dengan efektif.
Alternatif penyelesaian masalah dari kendala yang peneliti temukan
selama melakukan intervensi keperawatan monitoring saturasi oksigen secara
berkala dengan pulse oximetry adalah dengan memastikan tersedianya fasilitas
pulse oximetry di ruang perawatan. Dengan tersedianya fasilitas pulse oximetry,
perawat akan dapat memonitor saturasi oksigen pasien dengan mudah. Saturasi
oksigen adalah salah satu kriteria hasil untuk menyelesaikan masalah keperawatan
pola napas tidak efektif (Ackley & Ladwig, 2011). Selain itu, perawat juga dapat
berkolaborasi dengan dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien untuk
mengukur saturasi oksigen pasien secara berkala dan menuliskannya di lembar
catatan terintegrasi pasien.
Solusi dari kendala intervensi keperawatan monitor berat badan pasien
setiap pagi sebelum sarapan adalah dengan menekankan kembali kepada perawat
ruangan tentang pentingnya monitor berat badan pasien untuk memonitor
keberhasilan intervensi kolaborasi terapi diuretik yang sedang dilakukan pada
pasien. Ketua tim dapat menekankan intervensi ini kepada perawat pelaksana,
khususnya perawat pagi agar selalu menimbang berat badan pasien setiap pagi
sebelum sarapan. Selain itu, pelibatan keluarga dengan menyediakan fasilitas
catatan harian berat badan dapat dijadikan sebagai pengingat untuk selalu
menimbang berat badan pasien setiap kali sebelum sarapan selama mendapat
terapi diuretik. Fasilitas timbangan juga perlu disediakan secara khusus di ruang
606 yang merupakan ruang rawat hepatologi, dimana pasien sering mendapat
terapi diuretik sehingga perlu untuk dilakukan monitor berat badan setiap pagi.
Meskipun demikian, ruang PU 6 masih terkendala masalah anggaran untuk
menyediakan fasilitas pulse oximetry dan timbangan yang ideal. Hal ini
dikarenakan RSPAD Gatot Soebroto adalah rumah sakit pemerintah sehingga
segala sesuatu tentang penganggaran dana harus dipertimbangkan dan tidak
dengan mudah bisa mendapat semua fasilitas ideal untuk kebutuhan perawatan
pasien. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang lebih aplikatif yang dapat
disesuaikan dengan kondisi PU 6 saat ini.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Berdasarkan informasi dari kepala ruang PU 6, timbangan yang terdapat di
ruang PU 6 dan masih berfungsi dengan baik berjumlah dua timbangan. Salah
satu timbangan ini dapat digunakan secara khusus di ruang hepatologi dimana
pasien sering mendapat terapi diuretik sehingga perlu dimonitor berat badan setiap
hari sebelum sarapan. Dengan demikian, monitor berat badan pasien yang sedang
mendapat terapi diuretik tetap dapat dilakukan setiap hari untuk memonitor
keefektivan terapi diuretik yang telah dilakukan.
Kepala ruang PU 6 mengatakan bahwa belum dapat menyediakan fasilitas
pulse oximetry dikarenakan keterbatasan anggaran. Meskipun demikian, saturasi
oksigen tetap harus dipantau secara berkala pada pasien dengan masalah yang
berakibat berkurangnya suplai oksigen, yang salah satunya adalah pola napas
tidak efektif. Hal ini dapat dilakukan dengan mengefektifkan peran kolaborasi
dengan dokter. Perawat harus lebih menekankan kepada dokter yang sedang
merawat pasien yang bersangkutan untuk selalu memonitor saturasi oksigen
secara berkala dengan pulse oximetry yang biasa dibawanya, kemudian
mendokumentasikannya di lembar catatan terintegrasi pasien. Dengan demikian,
saturasi oksigen yang merupakan salah satu indikator keberhasilan intervensi
keperawatan untuk masalah pola napas tidak efektif tetap dapat dimonitor secara
berkala.
Kendala intervensi keperawatan yang terkait dengan waktu pemberian
diuretik yang lebih dari pukul 16.00 dapat diatasi dengan memodifikasi waktu
pemberian obat pada pasien. Jika biasanya jadual diuretik diberikan sama dengan
jadual pemberian obat pasien lain yaitu dosis pertama pukul 05.00 dan dosis
kedua pukul 17.00, maka khusus untuk pasien yang mendapat terapi diuretik,
dosis pertama obat diberikan pukul 04.00 dan dosis kedua obat tepat pukul 16.00.
Dalam hal ini, kepala ruang dapat mensosialisasikan pengkhususan jadual
pemberian obat pasien dengan terapi diuretik kepada perawat pelaksana pada saat
melakukan preconference ataupun postconference.
Dalam upaya mengatasi kendala intervensi keperawatan diet putih telur
kepada pasien dengan kondisi hipoalbuminemia dapat dilakukan dengan beberapa
alternatif penyelesaian masalah. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!!""
Universitas Indonesia
dan edukator bagi pasien mempunyai peran yang besar untuk memastikan bahwa
diet putih telur telah diterima pasien dengan baik.
Perawat menjelaskan pentingnya diet putih telur kepada pasien dan
keluarga untuk membantu meningkatkan kadar albumin yang rendah dalam tubuh
pasien. Perawat juga dapat melakukan modifikasi diet agar pasien bersedia
menghabiskan menu dietnya yaitu dengan memberikan makanan secara bertahap
dalam sehari dan dalam kondisi hangat. Pelibatan keluarga dalam pemberian
asuhan keperawatan dapat membantu memastikan bahwa pasien sudah menerima
diet putih telur dengan baik.
Perawat sebagai agen pembaharu perlu membuat terobosan dalam rangka
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Dalam
rangka mengetahui jumlah putih telur setiap hari yang paling efektif untuk
dikombinasikan dengan intervensi kolaborasi transfusi albumin, perawat perlu
melakukan penelitian tentang ini. Perawat dapat berkolaborasi dengan profesional
kesehatan lain seperti dokter dan ahli gizi dalam melakukan penelitian tentang
diet putih telur yang tepat bagi pasien dengan kondisi hipoalbuminemia. Perawat
juga perlu berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan monitor serum albumin
secara berkala untuk mengetahui keberhasilan intervensi yang telah dilakukan.
Kendala yang ditemukan dalam melakukan intervensi keperawatan untuk
menyelesaikan masalah keperawatan terakhir yaitu ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh adalah tidak dilakukannya monitor kadar amonia
dalam darah maupun plasma darah. Kadar amonia penting untuk selalu dimonitor
untuk mengetahui adanya tanda ensefalopaty hepatik. Jika kadar amonia dalam
darah ataupun plasma darah meningkat, maka diet tinggi protein yang biasanya
dilakukan pada pasien harus dibatasi (Black & Hawks, 2009). Oleh karena itu,
perawat harus selalu berkolaborasi dengan dokter untuk memonitor kadar amonia
dan memastikan bahwa diet tinggi protein yang dilakukan pada pasien tidak akan
berdampak buruk yang akan membawa pasien ke arah komplikasi ensefalopaty
hepatik.
"
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!
! "#! ! Universitas Indonesia!!
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sirosis hepatis adalah salah satu penyakit yang termasuk sepuluh besar penyakit yang paling sering terjadi di ruang perawatan umum RSPAD Gatot Soebroto, yang juga merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat perkotaan.
2. Selama periode praktik profesi mahasiswa di ruang PU 6 RSPAD Gatot Soebroto, terdapat 5 kasus pasien dengan sirosis hepatis, dan satu di antaranya meninggal dunia. Selain itu, terdapat satu pasien yang meninggal dan diperkirakan karena adanya komplikasi sirosis hepatis.
3. Masalah keperawatan pola napas tidak efektif dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh telah teratasi, sedangkan masalah kelebihan volum cairan teratasi sebagian.
4. Diet putih telur dapat meningkatkan serum albumin pada pasien sirosis hepatis dengan masalah kelebihan volum cairan berhubungan dengan kondisi hipoalbuminemia.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pasien dan keluarga tentang tingkat kejadian sirosis hepatis, komplikasi, dan tindakan mandiri yang dapat dilakukan pasien dan keluarga.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat untuk melakukan intervensi keperawatan yang tepat, sesuai dengan masalah keperawatan pasien.
3. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi ahli gizi untuk mengaplikasikan diet putih telur dalam upaya meningkatkan kadar albumin pasien.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya misalnya kuantitas diet putih telur yang paling efektif dikombinasikan dengan transfusi albumin pada pasien sirosis hepatis dengan komplikasi asites.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, B.J & Ladwig, G.B. (2011). Nursing diagnosis handbook: an evidence-based guide to planning care. USA: Mosby Elsevier.
Achmadi, Umar Fahmi. (2010, Maret). Dasar-dasar kesehatan lingkungan. Presentasi pada kuliah besar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan di FIK UI, Depok.
Adjei,A., Blankson,A., Gyasi,R.K., Tettey,Y & Wiredu,E.K. (2005). Sero-prevalence of hepatitis B and C Viruses in cirrhosis of the liver in Accra, Ghana. Ghana Medical Journal, 79, 4.
Alwi,I., K. Simadibrata,M., Setiati,S., Setiyohadi,B., & Sudoyo,A.W. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Amerman, Don. “The best diet for hepatitis C Cirrhosis”. $%%&'(()))*+$,)*-,.()/01!234!56178+%9$+&/%8%8:9-8;;$,:8:*$%.<*#=54>3?*#
Bare, B.G & Smeltzer, S.C. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth. (Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih, Y.Kuncara, Penerjemah.). Jakarta: EGC.
Matthias Besler. “Composition of hen’s egg white”. $%%&'(()))*@,,79/<<+;A+B:*7+(:0.&,:8C.9D,<>=>?(7/%/(+AA9)$8%+(+AA9-,.&,:8%8,B*$%.*#=>EEE?*#
Black, J.M & Hawks, J.H (2009). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 8th edition. USA: Elsevier Saunders.
Burroughs,A.K., Dooley,J.S., Heathcote,E.J., Lok,A.S.F. (2011). Sherlock’s diseases of the liver and biliary system. 12th Edition. UK: Blackwell Publishing Ltd.
Cahyadinata,L., Inggriani,Sri., Laurentius., Lesmana., Rinaldi,C. (2010). Deep vein thrombosis in patients with advanced liver cirrhosis: a rare condition?. 4, 433-438.
Eigsti,D.G., McGuire,S.L & Stone,S.C. (2002). Comprehensive community health nursing:family,aggregate, & community practice. Sixth Edition. USA: Mosby.
Grodner, M., Long, S., & Walkingshaw, B.C. (2007). Foundation and clinical application of nutrition: a nursing approach. 4th Edition. USA: Mosby Elsevier.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013
!"##
Universitas Indonesia
Iin P. Handayani. “Beyond statistic of poverty”. $%%&'(()))*%$+,-.-/%-&01%*203(4+)1(5675(65(78(9+:04;<1%-%=1%=21<&0>+/%:*$%3?*#@A+9/B-/=#78C#5675D*#
Khomsan, Ali. (2006). Solusi makanan sehat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Long, R.G & Scott,B.B. (2005). Gastroenterology and liver diseases. USA: Elsevier Mosby.
McEwen,M & Nies,M.A. (2007). Community/public health nursing: promoting the health of populations. Fourth edition. USA: Saunders Elsevier.
Oktarina, Elvi. (2012). Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler dengan penerapan Teori Model Adaptasi Roy di RS. Jantung Pembuluh Darah Harapan Kita dan RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Depok: Universitas Indonesia.
RSPAD Gatot Soebroto. “Selayang pandang RSPAD Gatot Soebroto”. http://www.rspadgatsu.com/profil.php. (Juni 27, 2013).
Sargent, Suzanne. (2009). Liver diseases: an essential guide for nurses and health care professionals. UK: Wiley-Blackwell.
Taylor LM et al. (2011). Dietary egg white s for phosphorus control in maintenance haemodialysis patients: a pilot study. 37, 16-24.
Tommy Firman. “Population growth of greater Jakarta and its impact”. $%%&'(()))*%$+,-.-/%-&01%*203(4+)1(5677(68(5E(&0&B?-%=04<F/0)%$<F/+-%+/<,-.-/%-<-4;<=%1<=3&-2%*$%3?*#@G-/+%#5EC#5677D*#
University of Michigan Health System. “Liver cirrhosis: a toolkit for patient”. $%%&'(()))*3+;*B3=2$*+;B($+&-%0?0F:(=3-F+1(H=//$01=1I56J-%=+4%I56K00?.=%*>5*&;L*#@April 24, 2011).
Williams, S.R. (1999). Essentials of nutrition and diet therapy. 7th Edition. USA: Mosby.
Younossi, Zobair.M. (2008). Practical management of liver diseases. USA: Cambridge University Press.
Analisis praktik ..., Hesti Rahayu, FIK UI, 2013