pemikiran al-farabi tentang politik dan negara hesti

38
73 PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti Pancawati ABSTRAK Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting sepanjang sejarah manusia. Dengan berpolitik, manusia saling mengelola potensi di antara mereka, saling memahami dalam perbedaan yang ada, saling menjaga peraturan yang disepakati bersama. Ada yang dipimpin, ada yang memimpin ada yang memerintah dan ada pula yang diperintah. Semuanya merupakan aktivitas manusia. Bagi Al-Farabi, politik berperan sebagai etika dan swakarsa yang terkait-erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Al- Farabi memulai pemikiran politiknya tatkala menyinggung asal-usul dan kemunculan negara atau kota. Menurutnya, masyarakat mucul dari keberadaan persatuan di antara individu-individu yang saling membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi kebutuhannya sendiri-sendiri, baik itu kebutuhan primer maupun sekunder. Pemikiran politik Al-Farabi banyak mendapat pengaruh dari para Filosof Barat, terutama Plato dan Aristoteles. Penggambaran negara utama yang diterapkan oleh Al-Farabi sama dengan konsep Plato. Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan bagaimana konsep pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana pengaruh pemikiran Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana perbedaan konsep Al-Farabi tentang politik dan negara dengan Filosof Islam lainnya?. Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara, pengaruh pemikiran Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara, dan perbedaan pemikiran Al-Farabi dengan ilmuan lainnya. Metodologi yang digunakan dalam memahami persoalan ini adalah kajian studi perpustakaan (Library research) yaitu mengumpulkan data dari buku-buku dan referensi lain yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan dalam menganalisis data, digunaka metode induktif dan deduktif. Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini ialah konsep negara utama yang digambarkan Al-Farabi merupakan konsep sebuah negara yang di dalamnya terdapat kebahagiaan yang didapatkan dari hasil kerjasama antar penduduknya. Negara utama tersebut haruslah

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

73

PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA

Hesti Pancawati

ABSTRAK

Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting

sepanjang sejarah manusia. Dengan berpolitik, manusia saling

mengelola potensi di antara mereka, saling memahami dalam perbedaan

yang ada, saling menjaga peraturan yang disepakati bersama. Ada yang

dipimpin, ada yang memimpin ada yang memerintah dan ada pula yang

diperintah. Semuanya merupakan aktivitas manusia.

Bagi Al-Farabi, politik berperan sebagai etika dan swakarsa

yang terkait-erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Al-

Farabi memulai pemikiran politiknya tatkala menyinggung asal-usul dan

kemunculan negara atau kota. Menurutnya, masyarakat mucul dari

keberadaan persatuan di antara individu-individu yang saling

membutuhkan satu sama lain. Tidak seorang pun dapat mencukupi

kebutuhannya sendiri-sendiri, baik itu kebutuhan primer maupun

sekunder.

Pemikiran politik Al-Farabi banyak mendapat pengaruh dari

para Filosof Barat, terutama Plato dan Aristoteles. Penggambaran

negara utama yang diterapkan oleh Al-Farabi sama dengan konsep

Plato. Dalam kaitan ini, muncul pertanyaan bagaimana konsep

pemikiran Al-Farabi tentang politik dan negara? bagaimana pengaruh

pemikiran Filsafat Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik

dan negara? bagaimana perbedaan konsep Al-Farabi tentang politik dan

negara dengan Filosof Islam lainnya?. Dari rumusan masalah tersebut,

maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep pemikiran

Al-Farabi tentang politik dan negara, pengaruh pemikiran Filsafat

Yunani terhadap pemikirn Al-Farabi tentang politik dan negara, dan

perbedaan pemikiran Al-Farabi dengan ilmuan lainnya.

Metodologi yang digunakan dalam memahami persoalan ini

adalah kajian studi perpustakaan (Library research) yaitu

mengumpulkan data dari buku-buku dan referensi lain yang relevan

dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan dalam menganalisis

data, digunaka metode induktif dan deduktif.

Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini ialah konsep

negara utama yang digambarkan Al-Farabi merupakan konsep sebuah

negara yang di dalamnya terdapat kebahagiaan yang didapatkan dari

hasil kerjasama antar penduduknya. Negara utama tersebut haruslah

Page 2: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

74

dipimpin oleh seseorang yang sempurna yang baik secara akhlak

maupun kecerdasannya.

Selain Al-Farabi, tentunya banyak filsuf-filsuf Islam lain yang

juga turut menyumbangkan pemikiran politiknya, seperti Ibnu Abi’Rabi,

Al-Mawardi dan masih banyak yang lainnya, yang masing-masing

memiliki konsep yang berbeda-beda.

Keywords: Al-Farabi, Politik, Negara

A. PENDAHAULUAN

1. Pengertian Politik dan Negara Secara Umum

a) Pengertian Politik

Kata politik menjadi sebuah kata yang tidak asing dalam

kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang politik telah ada sejak

manusia megenal peradaban. Politik ibarat sebuah kebutuhan di dalam

kehidupan manusia, di mana segala sesuatu tidak dapat dipisahkan

dengan politik.

Definisi politik sangat beragam tergantung kecenderungan dan

sudut pandang setiap pemikir. 1 Tak sedikit pula para ahli yang

mengutarakan pendapatnya mengenai politik. Kata politik sendiri

berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polis yang dapat diartikan sebagai

kota atau negara.2 Sedangkan dalam bahasa Inggris, politik disebut

dengan Politic yang menunjukan sifat pribadi atau perbuatan dan

dalam bahasa Prancis politik disebut dengan adalah Politique

(kebijaksanaan). 3 Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan as-

siyasah ( السياسة) mashdar dari kata َفهَُوَ سَائِس –يسَُوْسُ –سَاس yang

berarti kebijaksanaan/cara bertindak menghadapi permasalahan.4

Di dalam Alquran sendiri, tidak didapati istilah politik sama

sekali. Namun, ini tidak berarti esensi politik itu sendiri tidak dikenal

dalam Islam. Istilah politik yang dihubungkan dengan masalah

1 Jasiman, Rijalud Daulah : Mempersiapkan Pejabat Politik yang Merakyat,

(Solo : Era Adicitra Intermedia, 2012), p. 1. 2 Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet III, p. 34. 3Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2011), p.

3. 4 Atabaik Ali, Kamus Indonesia-Arab, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2008),

p.1171.

Page 3: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

75

kemanusiaan dan pemerintahan banyak terdapat di dalam Alquran.

Allah SWT. berfirman :

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan

kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah

memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (An-Nisa :

54)5

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang jika Kami

teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka

mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh

berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang

mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

(Al-Hajj : 41)6

Kedua ayat tersebut di atas berhubungan dengan politik. Kata-kata

seperti : kerajaan, kedudukan, dan hukum, telah mewakili esensi dari kata

politik itu sendiri, di mana politik erat sekali hubungannya dengan hal-hal

tersebut di atas.

Ayat pertama7 berbicara mengenai Ibrahim, di mana Allah telah

memberikan kepadanya kerajaan yang besar. Kata kerajaan ini dapat

ditafsirkan sebagai kekuasaan yang diberikan oleh Allah kepada Ibrahim.

Jika dikaitkan dengan politk, maka ayat ini sesungguhnya berbicara

masalah politik karena kekuasaan erat sekali kaitannya dengan politik.

Selanjutnya ayat yang kedua 8 menjelaskan tentang sifat-sifat manusia

ketika memperoleh kemenangan dan ketika berhasil mendirikan

masyarakat. Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang diberikan

kemenangan dan kedudukan di muka bumi berupa kekuasaan mengelola

suatu wilayah dalam keadaan merdeka dan berdaulat, maka sesungguhnya

mereka akan melaksanakan hal-hal yang disebutkan di dalam ayat di

5 Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Riyadh : Darussalam, 2006), p. 113. 6 Ibid., p.469. 7 Q.S An-Nisa (4) : 54. 8 Q.S. Al-Hajj (22) : 41.

Page 4: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

76

atas.9 Tafsir ayat ini jelas membicarakan masalah politik. hal-hal yang

berkenaan dengan kekuasaan dan masyarakat.

Secara istilah, banyak sekali pengertian politik yang dapat

ditemukan. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan dalam buku Legalitas

Politik, bahwa : “Politik adalah mengerjakan sesuatu yang mendatangkan

kemaslahatan baginya.”10 Kemudian, bagi ulama-ulama terdahulu, politik

memiliki dua makna, Pertama, makna secara umum, yaitu mengatur

urusan manusia dan urusan-urusan dunia mereka dengan syariat-syariat

agama. Kedua, makna secara khusus, yaitu pandangan atau hukum dan

ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin sebagai

upaya untuk menghindari kerusakan yang diperkirakan akan terjadi atau

solusi atas suatu kondisi tertentu.11

Hakikat politik sesungguhnya berkaitan erat dengan fitrah

manusia, kepemimpinan, perlindungan dan kekuasaan. Pertama, politik

sebagai fitrah manusia. Sudah menjadi suatu fitrah bagi setiap setiap jenis

makhluk, bahwa diantara mereka terdapat satu pemimpin yang dihormati

karena keunggulannya, baik unggul dalam kecerdasan, keberanian,

kekuatan, kemantapan jiwa dan lain sebagainya. Pemimpin itulah yang

akan melindungi dan menjaga rakyatnya dari ancaman bahaya.12 Kedua,

politik adalah kepemimpinan. Allah menciptakan manusia sebagai

khalifah dimuka bumi. Dalam pandangan Islam, setiap manusia-apa pun

profesi dan kedudukannya- merupakan seorang pemimpin. Ketiga, politik

adalah perlindungan. Perlindungan yang diberikan seorang pemimpin

kepada rakyatnya dari segala bentuk keburukan. Dan yang keempat,

politik adalah kekuasaan. Di mana kekuasaan dan politik menjadi bagian

yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.13

9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan Kesan dan Keserasian Alquran,

(Jakarta : Lentera Hati, 2011), Cet. IV, p.228. 10 Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash Dan Asy-

Syariah, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), p. 53. 11 Ibid., p.60. 12 Jasiman, Op.Cit., p.13. 13 Ibid. P. 14-16.

Page 5: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

77

b) Pengertian Negara

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara

merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik. Ia merupakan alat

bagi masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-

hubungan manusia dalam bermasyarakat dan menerbitkan gejala-gejala

kekuasaan di dalam masyarakat.14

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara merupakan

bentuk kata benda yang abstrak, yang diartikan dengan: “Bentuk

organisasi dalam satu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang

syah dan ditaati oleh rakyat. Kelompok sosial yang menduduki wilayah

atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan

pemerintah yang efektif, mempunyai kekuasaan politik, berdaulat dan

berhak menentukan tujuan nasionalnya sendiri.”15

Negara mempunyai istilah yang berbeda dalam bahasa Arab dan

bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, negara diistilahkan dengan kata

Daulah yang diartikan sebagai Hukumah yang berarti pemerintahan atau

negara, sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai untuk kata

negara adalah state, nation, atau country. Adapun secara terminologi,

menurut Shiddiq Abdurrahman yang dikutip oleh B. Syafuri, yang

dimaksud dengan negara adalah suatu komunitas masyarakat manusia

yang hidup. Di dalamnya terdapat aparatur negara yang bertugas

melaksanakan administrasi sosial, manejemen internal dan eksternal, baik

dalam keadaan perang maupun damai.16

Dari pernyataan di atas, jelaslah disebutkan bahwa berdirinya

suatu negara terdiri dari tiga unsur pokok yaitu : rakyat, wilayah, dan

pemerintahan yang berdaulat. Hal yang sama dikemukakan dalam buku

Inilah Politikku, disebutkan bahwa unsur-unsur negara terdiri atas

manusia, tanah, dan pemerintahan.17

Sama halnya dengan istilah politik dalam Alquran yang tidak

disebutkan secara jelas, istilah negara pun tidak disebutkan secara

langsung baik di dalam Alquran maupun Hadits. Walaupun di dalam

14 Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogayakarta : Ar-Ruzz Media,

2010), p. 229. 15 Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Depdikbud, 1988), p. 610. 16 B.Syafuri, Pemikiran Politik Dalam Islam, (Serang : FSEI Press, 2010), p. 27. 17 Muhammad Elvandi, Op. Cit., p. 27.

Page 6: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

78

Alquran disebutkan kata Dulah (dulatan bainal aghniya), tapi tidak

bermaksud sebagai negara, melainkan dikaitkan dengan istilah ekonomi

atau perputaran harta.18

Banyak definisi negara yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan

dan ahli filsafat, antara lain sebagai berikut :

Roger F. Soultau mengatakan negara adalah alat (agency) atau

wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan

bersama atas nama masyarakat. 19 Menurut Jean Bodin, negara adalah

persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang

dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat. 20 Hugo Grotius

menyatakan bahwa negara merupakan suatu persekutuan yang sempurna

dari orang-orang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. 21

Sedangkan menurut Max Weber, negara ialah komunitas manusia yang

secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam

wilayah tertentu.22

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

negara merupakan suatu komunitas, yang di dalamnya terdapat

sekumpulan manusia yang mempunyai tujuan yang sama demi

kepentingan bersama.

Sebuah negara didirikan dengan maksud dan tujuan-tujuan

tertentu. Tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk hal-hal yang

bersifat baik. Misalnya untuk kesejahteraan bersama, memakmurkan

warga negaranya, menjaga kedamaian, menciptakan keadilan dan lain

sebagainya. Tujuan negara adalah melanggengkan ketimpangan kelas,

dan itu terjadi karena negara memiliki alat-alat pemaksa dan menguasai

aparatur-aparatur hukum, sosial, dan politik.

Negara merupakan integrasi dan kekuasaan politik masyarakat

yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan

manusia dalam masyarakat. Dengan adanya negara yang merupakan

organisasi dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara

18 B. Syafuri, Loc. Cit., 19 Abu Bakar Ebyhara, Op. Cit., p. 232. 20 Ibid., 21 Ibid., 22 Ibid., p. 233.

Page 7: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

79

sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan

tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.23

Menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh B. Syafuri,

negara terbentuk karena lanjutan dari keinginan manusia bergaul

(solidaritas) antara seseorang dengan lainnya dalam rangka

menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam rangka

mempertahankan diri maupun menolak musuh.24 Sementara itu, menurut

Fazlur Rahman, tujuan dari didirikannya negara adalah untuk

mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara

terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu

sehingga setiap warga negaranya menyadari kemampuannya dan bersedia

menyumbangkannya demi kesejahteraan seluruh warga negara.25

Didirikannya suatu negara tidak lain adalah guna mewujudkan

keteraturan dan merealisasikan kepentingan bersama dalam masyarakat.

Banyak sekali para tokoh Islam yang mengungkapkan tujuan didirikannya

suatu negara, seperti Ibnu Taimiyah, dan Al-Ghazali. Keduanya memiliki

pandangan yang sama dalam merumuskan tujuan-tujuan didirikannya

negara, yang terangkum sebagai berikut: pertama, negara sebagai alat

untuk menjalankan syari’at Islam di tengah-tengah kehidupan umat

manusia sebaik-baiknya. Kedua, negara berfungsi untuk menciptakan

kemaslahatan bersama secara hakiki, lahir dan batin bagi seluruh rakyat.

Ketiga, negara merupakan lembaga yang harus bertanggung jawab dalam

menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.26

2. Teori Politik dan Negara Menurut Sarjana Barat

Pemikiran politik, pertama kali muncul di Yunani Kuno, yakni

pada tahun 450 SM. Hal ini dikarenakan, Yunani Kuno merupakan negara

pertama yang membentuk dan mempraktikan ide-ide tentang pemeritahan

demokratis. Di Yunani Kuno pula lah, isu-isu tentang kenegaran pertama

kali diangkat. Nilai-nilai tentang kebebasan, hak individu, dan keadilan

diakui.

23 B.Syafuri, Op. Cit., p. 69. 24 Ibid., p.70. 25 Ibid., p.71. 26 Ibid., p.76.

Page 8: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

80

Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh yang paling berpengaruh

dalam bidang pemikiran politik di antara seluruh filsuf, baik pada zaman

kuno, pertengahan, maupun modern. Termasuk juga dalam

mempengaruhi pemikiran politik filsuf Islam, yaitu Al-Farabi.

a. Pemikiran Politik Plato

Plato merupakan orang yang pertama kali melontarkan

pemikiran politik yang sistematis. Karya Plato yang berjudul

Republic, merupakan karya yang yang cukup terkenal hingga kini

tentang bagaimana negara harus ditata dan bagaimana keadilan dapat

diraih dalam tatanan masyarakat.27

Plato berpendapat bahwa tidak adanya kebebasan individu

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan ketergantungan kepada

orang lain merupakan sebab berdirinya negara atau kota. 28

Selanjutnya, menurut Plato, ada empat konsep fundamental yang

menjadi dasar filsafat politik, yakni :29

1) Kebajikan adalah Pengetahuan

Terdapat tiga konsep yang harus dipahami dalam hal ini,

yaitu : Pertama, kebenaran harus obyektif dan tidak berubah agar

kita bisa mencapai pengetahuan mengenainya. Sebaliknya, kita

hanya bisa memiliki opini dan bukannya pengetahuan yang sejati.

Kedua, karena kebajikan disamakan dengan pengetahuan, maka

orang yang mengetahui harus diberi peran yang menentukan

dalam urusan publik. Tugas untuk menemukan penguasa yang

baik dan bijak, dengan demikian, dilakukan dengan ujian

pengajaran. Ketiga, negara harus mengambil peran aktif dalam

mendidik rakyatnya, khususnya kepada orang-orang yang percaya

dengan bimbingan dan arahan kehidupan publik. Suatu

masyarakat yang semakin bijak dan berfungsi dengan baik akan

dibantu dengan pelatihan hingga memperoleh kemampuan yang

luas.30

27 Abu Bakar Abyhara, Op. Cit., p. 20. 28 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,

(Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), p. 28. 29 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno

sampai Zaman Modern, (Yogyarkarta : Pustaka Pelajar , 2009), cet III, p.59. 30 Abu Bakar Abyhara, Op. Cit., p. 102.

Page 9: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

81

2) Ketidaksetaraan antar-manusia

Manusia memiliki bakat, kecerdasan, dan kemampuan yang

tidak sama. Bagi Plato, tidak ada kesetaraan idealistis di kalangan

manusia untuk menghargai bakat dan kemampuan. Plato meyakini

bahwa alam membuat kemampuan manusia berbeda, baik karena

pengejaran fisik maupun intelektual atau karena mencapai

kebajikan. 31 Oleh karena itu, ia menganggap bahwa

ketidaksetaraan dan perbedaan status dan kelas, merupakan hal

yang ditentukan oleh Tuhan. Kemudian, berdasarkan prinsip

bakatnya, anggota negara yang ideal dibagi menjadi tiga kelas :

penguasa, prajurit, dan produsen. Kelas penguasa adalah yang

memiliki nalar baik, yang menetukan seluruh bagian negara

melalui legislasi dan aturan umum. Kelas prajurit adalah yang

menggunakan kebesaran nafsu dan jiwanya yang berani. Yang

terdiri atas golongan militer, dan pejabat administrasi yang

bertugas menjaga negara dan menegakkan hukum. Sedangkan,

produsen adalah bagian terbesar dari rakyat yang bertugas

menyediakan kebutuhan material untuk masyarakat.32

3) Negara adalah lembaga yang alami

Bagi Plato, negara merupakan keinginan dari tiap-tiap

individu. Asal mula negara terletak dalam kebutuhan-kebutuhan

dan keinginan-keinginan manusia yang bermacam-macam dan

kebutuhan untuk bekerjasama. Oleh karena itu, Plato berpegang

pada konsep negara organik. Konsep ini mendorongnya untuk

membandingkan negara dengan tubuh manusia. Negara

merupakan entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda

yang saling melengkapi dan saling tergantung dan bertindak

bersama-sama dalam mengejar tujuan bersama. Jika salah satu

anggota dalam kelompok ini melarat atau terluka, kesehatan

seluruh anggota masyarakat juga terganggu.33

4) Tujuan masyarakat politik adalah kebaikan bersama.

31 Ibid. 32 Ibid., p. 103. 33 Ibid., p.104.

Page 10: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

82

Negara muncul karena ketidakcukupan individu untuk

menyediakan kebutuhan bagi dirinya. Tugas utama negara,

menurut Plato ialah untuk mengarahkan kehidupan manusia agar

mereka memperoleh kebahagiaan. Karena negara terbentuk dari

individu-individu yang berbeda, tujuan negara bukanlah untuk

kepentingan individu, melainkan untuk kebaikan dan

kesejahteraan umum.

Selain, premis-premis pemikiran tersebut di atas. Plato juga

menjelaskan tentang kepemimpinan. Ia menjelaskan, bahwa

seorang pemimpin atau kepala negara harus memiliki sifat-sifat

fitrah, seperti tendensi terhadap filsafat, mencintai ilmu

pengetahuan, menyayangi sahabat, dan keras terhadap musuh.34

Plato mencampurkan antara politik, etika, dan filsafatnya.

Kemudian Plato mengaitkan teori negara-kota-nya dengan teori

etikanya. Hal ini karena menurutnya, kota atau negara yang baik

harus bijaksana, pemberani, berjiwa suci, dan adil. Hal inilah yang

membuat Plato akhirnya menjadikan politik sebagai suatu etika

yang luas.

Kemudian, plato mengelompokkan masyarakat ke dalam

tiga kelas, yakni : Kelas pertama, kelas paling tinggi. Kelas para

pemimpin dari kalangan filosof yang mengatur urusan

pemerintahan dn administrasi pengelolaan negara dengan akal dan

kebijkasanaan. Kelas kedua, kelas serdadu atau pasukan perang.

Yang bertugas mempertahankan negara dari rongrongan dari

dalam dan luar. Yang memiliki jiwa pemberani. Kelas ketiga,

kelas buruh pabrik, pedagang dan petani. Mereka adalah

masyarakat umum yang berkewajiban mengamankan sektor

produksi untuk keberlangungan hidup.

b. Pemikiran Politik Aristoteles

Aristoteles merupakan tokoh dan pemikir politik dari

Yunani Kuno yang sangat terkenal, yang lahir pada tahun 384 SM

di Stagira sebuah kota kecil di Yunani di semenanjung Chalcidice.

Dia berasal dari keluarga menengah ke atas. Ayahnya menjadi

dokter di istana Anyntas II, ayah dari Philip Agung. Pada usia 17

34 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p. 30.

Page 11: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

83

tahun, ia pergi ke Athena untuk belajar di akademik Plato.

Aritoteles merupakan murid dari filsuf Yunani sebelumnya, yakni

Plato. Ia datang menemui gurunya tersebut pada usia 61 tahun.

Aristoteles wafat pada tahun 323 SM pada usia 62 tahun.

Karyanya yang paling mengesankan mencakup risalah-risalah

dalam bidang yang sangat beragam, seperti logika, fisika,

metafisika, biologi, meteorologi, retorika, puisi, etika, dan politik.

Karyanya dalam bidang politik yang paling terkenal adalah

Politic.35

Pandangan politik Aristoteles tidak kalah menarik dengan

pemikiran Plato, gurunya. Aristoteles menganggap manusia

sebagai “Binatang yang berpolitik” (Zoon Politicon). Bagi

Aristoteles, politik ialah ilmu praktis, ada hukum moral universal

yang harus dipatuhi semua manusia, sedangkan negara merupakan

institusi alamiah. Politik Aritoteles menegaskan tentang

pentingnya negara, yang merupakan suatu komunitas tertinggi,

dan mempunyai tujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi.

Menurut Aristoteles, suatu negara terbentuk dimulai dari keluarga,

yang terbentuk atas dua relasi antar laki-laki dan perempuan.

Kemudian sejumlah keluarga bergabung membentuk sebuah desa,

dan beberapa desa melahirkan sebuah negara dengan syarat

perkumpulan tersebut mampu untuk berswasembada. 36

Aristoteles mengungkapkan bahwa orang yang mendirikan

negara adalah seseorang yang sangat dermawan sebab negara telah

mengikat manusia dengan peraturan dan hukum yang diterapkan

di dalamnya, sedangkan manusia tanpa hukum diibaratkan sebagai

binatang yang paling ganas. 37 Suatu negara terdiri dari

pemerintahan. Suatu pemerintahan dianggap baik jika mempunyai

tujuan untuk mencapai kebaikan bagi seluruh masyarakat, dan

dianggap buruk jika hanya mementingkan dirinya sendiri. Negara

bukanlah masyarakat yang tujuannya sekedar pertukaran dan

35 Henry J. Schmandt, Op. Cit., p. 83. 36 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio

Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), cet III, p.

252. 37 Ibid.,

Page 12: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

84

mencegah kejahatan. Tujuan negara adalah kehidupan yang baik

untuk semua masyarakatnya.

Menurut Aristoteles, ada tiga macam pemerintahan yang

baik, yaitu : monarki, aristokrasi, dan pemerintahan konstitusional

(polity). Selain itu ia mengkalsifikasikan tiga macam

pemerintahan yang buruk : tirani, oligarki, dan demokrasi.38

Yang dimaksud dengan monarki adalah pemerintahan yang

berada di bawah pimpinan seorang raja. Aristokrasi merupakan

pemerintahan yang berada di tangan sekelompok kecil pilihan atas

dasar harta dan kedudukan. 39 Dan pemerintahan Konstitunional

merupakan pemerintahan yang dipimpi oleh banyak orang untuk

kepentingan rakyat. Dalam pemerintahan yang buruk, Aristoteles

mengartikan oligarki sebagai pemerintahan yang berada di tangan

sekelompok kecil orang kaya. Sedangkan pemerintahan demokrasi

merupakan peemerintahan yang berada di tangan seluruh rakyat.40

Dan yang dimaksud dengan tirani adalah bentuk pemerintahan

oleh seorang raja yang bertindak sewenang-wenang untuk

kepentingan sendiri.

Aristoteles membandingkan macam-macam pemerintahan

tersebut. Pertama, ia membandingkan pemerintahan aristokrasi

dan oligarki. Aristokrasi merupakan pemerintahan oleh orang-

orang yang memiliki keutamaan, sedangkan oligarki merupakan

pemerintahan oleh orang-orang golongan kaya. Selanjutnya, ia

juga membandingkan pemerintahan demokrasi dan Polity.

Perbedaan antara keduanya terletak pada segi etiknya, selain itu di

dalam Polity terdapat unsur-unsur Oligarki. Sedangkan antar

monarki dan tirani perbedaannya terletak pada segi etiknya saja.41

Dalam sistem pemerintahan yang dinilai baik, pemerintahan

monarki lebih baik dibanding aristokrasi, dan aristokrasi lebih baik

daripada polity. Sedangkan dalam pemerintahan yang dinilai

buruk berlaku sebaliknya, sistem pemerintahan tirani lebih jelek

38 Ibid., p. 257. 39 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 340. 40 Ibid., p. 341 41 Betrand Ruseell, Op.Cit., p. 257

Page 13: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

85

daripada oligarki, dan oligarki lebih buruk ketimbang demokrasi.42

Pemikiran Aristoteles tentang negara dan hukum sungguh

dianggap sebagai kemajuan penting dalam pemikiran politik.

Terdapat persamaan pemikiran antara Aristoteles dan Plato dalam

mendefinisikan negara. Bagi mereka adalah puncak paling tinggi

dari pergaulan hidup manusia dan negara dianggap sebagi suatu

bentuk masyarakat yang memberikan kesejahteraan umum.

3. Teori Politik dan Negara Menurut Sarjana Muslim

a. Ibnu Abi Rabi’

Syihab al-Din Ahmad Ibn Abi Rabi’, atau lebih dikenal

dengan Ibnu Abi Rabi’, dilahirkan di dalam masa pemerintahan

khalifah ke-8 Abbasiyah, mu’tashim putra Khalifah Harun Ar-

Rasyid.43

Menurut Ibnu Abi Rabi’, manusia tidak dapat hidup tanpa

bantuan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan alaminya,

ia senantiasa membutuhkan peran orang lain di dalamnya. Saling

ketergantungan ini, pada akhirnya menyebabkan sebagian manusia

berkumpul di suatu tempat untuk melakukan kerjasama dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka kemudian mendirikan

suatu kota sebagai tempat untuk melakukan aktivitasnya.

Selanjutnya, terkait dengan kebutuhan manusia, terdapat berbagai

jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi guna kelangsungan

hidupnya, yaitu: pertama, Kebutuhan pangan, untuk mengganti

energi yang digunakan manusia ketika beraktivitas. Kedua,

Kebutuhan sandang, berfungsi sebagai pelindung dari hawa panas,

dingin, maupun angin. Ketiga, Kebutuhan tempat tinggal, yang

dapat menjaga manusia dari bahaya yang mengancam di luar.

Keempat, Kebutuhan reproduksi, sebagai penjamin kelangsungan

eksistensi manusia. Kelima, Kebutuhan pelayanan kesehatan.44

Ibnu Abi Rabi’ mempunyai sudut pandang yang berbeda

dengan filsuf yang lainnya. Ia mengatakan bahwa watak manusia

42 Ibid., 43 A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Jakarta : PT. Gaya Media Pratama,

1995), cet II, p. 1. 44 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 338.

Page 14: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

86

cenderung untuk bermasyarakat, sesuai dengan sifatnya sebagai

makhluk sosial dan berbudaya. Watak manusia ini sejatinya

diciptakan oleh Allah untuk manusia. Ia juga menambahkan,

bahwa Allah telah menetapkan berbagai aturan untuk ditaati

manusia dan Allah telah mengangkat pemimpin-pemimpin yang

bertugas menjaga terlakasananya peraturan-peraturan-Nya.45 Hal

inilah yang membedakan pemikiran Ibnu Abi Rabi’ dengan

pemikiran ilmuwan yang lainnya. Dimana ia menyisipkan

orientasi agama berupa sentuhan-sentuhan ketuhanan ke dalam

pemikiran politiknya.

Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi’ selanjutnya adalah

mengenai bentuk pemerintahan dan syarat mendirikannya.

Menurutnya, tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa adanya

seorang pemimpin. Oleh karena itu, kehadiran pemimpin sangat

dibutuhkan oleh suatu negara/kota guna melindugi rakyat.

Pemimpin tersebut haruslah seorang yang mempunyai pengaruh

besar dan memiliki perangai yang baik, hal ini pernah

dikemukakan juga oleh Plato.46 Mengenai bentuk pemerintahan,

Ibnu Abi Rabi’ menjelaskan bahwa pemerintahan yang paling

baik adalah pemerintahan yang berbentuk monarki atau kerajaan

yang dipimpin oleh seorang raja. Alasannya, apabila suatu negara

berada ditangan sekelompok orang seperti bentuk pemerintahan

oligarki, aristokrasi, demokrasi, dan demagogi, maka negara itu

akan terus kacau dan sukar membina persatuan.47

Selanjutnya mengenai syarat-syarat dalam mendirikan

suatu negara, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan ada enam hal pokok

yang menjadi faktor penting, syarat-syarat tersebut ialah : tersedia

air tawar yang cukup, memungkinkan untuk mendatangkan

bantuan, lokasi yang strategis dan memiliki udara yang bersih,

dekat dengan tempat pengembalaan dan tempat kayu bakar,

45 Ibid., p. 339. 46 Ibid., p. 340. 47 Ibid., p.341.

Page 15: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

87

terjaminnya tempat tinggal dari musuh dan hal-hal yang ditakuti,

dan memungkinkan mengontrol komponen negara.48

b. Al-Mawardi

Banyak karya dalam bidang politik yang di tulis al-Mawardi,

diantaranya : al-Ahkam al-Sulthaniyah (norma-norma pemerintahan),

Nashihah Al-Muluk (Nasihat untuk para pemimpin), Tahsir An-Nazhr

wa Ta’jil Azh-Zhafr, dan Qawanin Al-Wazarah wa Siyasah Al-Muluk

(Undang-undang Kementerian dn Politik para pemimpin).49

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang

lain dalam menjalankan kehidupannya karena ia tidak mungkin

memenuhi semua kebutuhannya sendirian. Seperti yang diungkapkan

oleh beberapa filsuf barat dan Islam. Dalam hal ini pun, al-Mawardi

mempunyai pandangan yang sama, dimana ia menyatakan bahwa

manusia merupakan makhluk yang paling membutuhkan bantuan dari

spesiesnya. Namun, terdapat perbedaan antara al-Mawardi denga Al-

Farabi dalam hal tersebut di atas. Al-Mawardi memasukkan makna

agama ke dalam kehidupan manusia. Ia menegaskan bahwa Allah telah

menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan lemah, sehingga dapat

disadari bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemberi Rezeki. Dan

manusia membutuhkan-Nya, untuk menghindarkan manusia dari sifat

sombong dan membangkang. Dalam mendirikan suatu negara, al-

Mawardi berpendapat bahwa negara membutuhkan enam sendi utama

yang akan menjadikan suatu negara tidak akan hancur, yakni : 1)

Agama yang dihayati; 2) Pemimpin yang berwibawa; 3) Keadilan yang

menyeluruh; 4) Keamanan semesta; 5) Kemakmuran sandang-pangan;

dan 6) Harapan kelangsungan hidup.50

Menurut al-Mawardi, sebuah pemerintahan dipimpin oleh

seorang pimpinan yang dikenal dengan imam, sultan dan raja. Dalam

pemilihan seorang imam, terdapat dua unsur yang harus dipenuhi. Dua

48 Ibid., p.342 49 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 366 50 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p.368-369

Page 16: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

88

unsur tersebut adalah ahl-ikhtiyar (para pemilih) dan ahl al-imamah

(para kandidat imam).51

Ahl al-ikhtiyar merupakan orang-orang yang memilih imam

untuk umat. Terdapat tiga syarat untuk menjadi ahl al-ikhtiyar, yaitu :

adil, mempunyai wawasan luas tentang siapa yang berhak menjadi

imam, serta memiliki kebijaksanaan sehingga dapat memilih imam

dengan tepat. Sedangkan, ahl al-imamah merupakan calon-calon yang

dipersiapkan untuk menjadi imam. Calon imam tersebut harus

memenuhi tujuh persyaratan , yaitu : adil, memiliki ilmu yang luas,

sehat pancaindranya, puny kemampuan untuk menjalankan

pemerintahan demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah

kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan

Arab Quraisy.

Dalam pengangkatan imam, al-Mawardi menegaskan ada dua

prosedur, yakni : Proses pemilihan yang yang dilakukan oleh ahl al-

aqdi wa al-halli (para wakil rakyat), dan Penunjukan atau wasiat dari

imam sebelumnya.52

Menurut al-Mawardi, dalam pemerintahan hendaknya ada

sebuah lembaga yang sejajar dengan lembaga kementerian (al-

wazarah). Kemudian, wazarah menurut al-Mawardi memiliki

beberapa arti, yakni: pertama, Al-Wizru (beban berat) karena seorang

menteri membawa beban berat dari kepala negara. Kedua Al-Izr

(punggung) karena kepala negara menjadi kuat dengan adanya menteri

seperti halnya badan menjadi kuat dengan adanya punggung. Ketiga,

Al-Wazr (tempat berlindung), raja berlindung kepada masukan atau

pandangan menteri-menterinya dan bantuannya.53

Selain itu adapula dikenal pemerintahan daerah. Pemerintahan

daerah dibagi dua, pemerintahan yang bersifat khusus dan bersifat

umum. Pemerintahan yang bersifat umum terbagi menjadi dua, yakni

‘Imarah istikfa’ dengan kontrak lewat pemilihan atau pengangkatan

oleh khalifah, dan ‘Imarah istila’ dengan kontrak melalui kekuatan

atau perbuatan paksa.

51 Ali Abdul Mu’ti Muahammad, Op. Cit., p. 371 52 Ibid., p. 372 53 Ibid., p.377.

Page 17: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

89

Ruang lingkup tugas dan tanggung jawab amir istikfa adalah

memberi kuasa penuh dari khalifh untuk memimpin wilayah daerah.

Adapun imarah istila’ adalah pemerintahan yang dipegang oleh

seseorang yang merebut secara paksa oleh kekuasaan amir setempat

yang telah diangkat oleh khalifah. 54

Al-mawardi mengklasifikasikan dinas pemerintahan ke dalam

beberapa bagian, yakni : jabatan militer, lembaga peradilan, mahkamah

banding atas tindak ketidak-adilan pejabat negara, dan dinas ketertiban

umum. Selain itu adapula Mahkamah Banding atas tindak

ketidakadilan pejabat negara (Al-Muzhalim). Mahkamah Mazhalim

bertugas untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan: 1)

Tindak keadilan yang dilakukan oleh gubernur atau pejabat pemerintah

lainnya terhadap rakyat. 2) Ketidakadilan dalam penilaian atau

penarikan pajak. 3) Supervisi keuangan pejabat publik di biro-biro

pemerintahan. 4) Pengawasan atau pemeliharaan pajak. 5)

Mengembalikan hak milik yang diambil secara paksa.55

c. Ibnu Taimiyah

Karya Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang paling

penting adalah As-Siyasah Asy-Syar’iyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-

Ra’iyah (politik yang berdasarkan Syari’ah bagi Penguasa dan

Rakyat). Melalui karyanya inilah, Ibnu Taimiyah berusaha

memperbaiki keadaan rakyat yang telah rusak.56

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat

memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting,

namun bukan berarti pula bahwa agama tidak dapat berdiri tanpa

adanya suatu negara. 57 Menurut Ibnu Taimiyah, kesejahteraan

manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya dalam satu tatanan sosial

dimana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. 58 Ibnu

Taimiyah senantiasa berusaha mengembalikan peranan Alquran dan

Sunnah ke dalam kehidupan manusia. Hal ini ia lakukan karena ia

54 Ibid., p.382. 55 Ibid., p.387. 56 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p. 395. 57 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op. Cit., p. 33. 58 Ibid.

Page 18: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

90

ingin memperbaiki kerusakan politik dan sosial yang terjadi pada

masanya. Ia berpendapat bahwa kerusakan dapat diperbaiki apabila

umat Islam kembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul. Untuk itu,

ia menyatakan bahwa politik yang berlandaskan agama adalah sesuatu

yang paling ideal yang dapat mengembalikan umat Islam kepada

kemuliaan, kekuatan dan kesatuannya.59

Unsur-unsur Politik yang bersendikan Agama

1. Menunaikan amanat

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa penunaian amanah

menyangkut dua hal : kepemimpinan dan harta. Untuk masalah

kepemimpinan, Ibnu Taimiyah sangat berhati-hati dalam

menyampaikan pendapatnya. Menurutnya seorang pemimpin

harus berkualitas dan ditempatkan di tempat yang cocok dengan

keahliannya. Seorang raja tidak boleh mengangkat orang untuk

menjadi pemimpin berdasarkan kedekatan, uang, maupun

kedudukan sosial. Jika raja mengangkat pejabat yang tidak pantas

karena hal-hal tersebut di atas, maka sungguh ia telah berkhianat

kepada Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin.60

Terdapat dua syarat utama untuk menjadi seorang

pemimpin, yakni kekuatan dan amanah. Namun, Ibnu Taimiyah

menyadari bahwa sedikit sekali orang yang memenuhi dua suarat

tersebut. Karena itu, bila terdapat dua orang kandidat yang hanya

memiliki salah satu syarat saja, maka yang lebih diutamakan

adalah kandidat yang kuat dan berwibawa.61

Sedangkan masalah pengelolaan kekayaan negara, antara

penguasa dan rakyat terdapat kerjasama. Seorang penguasa harus

menggunakan dan mengolah kekayaan negara dengan tepat,

sedangkan rakyat berkewajiban melakukan kontrol terhadap

penggunaan kekayaan negara.62

2. Pelaksanaan Hukum

Pelaksanaan hukum ini bersifat hukum pidana. Menurut

Ibnu Taimiyah, hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni hukum

59 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 396. 60 Ibid., p. 399. 61 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op. Cit., p. 37. 62 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit., p. 400.

Page 19: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

91

pidana yang berkaitan dengan hak Allah dan hukum pidana yang

berkaitan dengan hak manusia.

Hukum pidana yang berkaitan dengan hak-hak Allah

adalah hukum yang penerapannya tidak pandang bulu, dan tanpa

melihat status tindakan kriminal. Hukum ini bermanfaat bagi

semua orang. Dan telah di atur di dalam Alquran. Hukum ini harus

tetap diadakan meskipun tidak ada pelanggar hukum.63

Yang kedua adalah hukum yang pidana yang berkaitan

dengan hak-hak manusia. Hukum ini berlaku atas pelanggaran

hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban manusia. Baik

itu yang berhubungan dengan kejahatan seperti pembunuhan,

pencurian, perampokan dan lain sebagainya, maupun yang

menyinggung hak-hak yang berhubungan dengan rumah tangga,

dalam transaksi, dan yang lainnya. Jika hak dan kewajiban ini

dilanggar, maka hukum pidana inilah yang akan menanganinya.

3. Musyawarah dan perlunya menyelenggarakan pemerintahan

Musyawarah di dalam suatu pemerintahan amatlah

penting. Seorang kepala negara tidak dapat meninggalkan

musyawarah dalam kepemimpinannya. Allah SWT. berfirman :

... ...

Artinya : ... karena itu ma'afkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan

itu...64

Musyawarah merupakan ciri utama demokrasi Islam.

Dengan bermusyawarah, tidak akan ada pemaksaan dalam

menerapkan suatu gagasan. Selain itu, dengan bermusyawarah

seorang kepala negara tidak akan berlaku sesuka hatinya,

melainkan aka mempertimbangkan pendapat yang lainnya, seperti

pendapat ulama, fiqih, dan pakar diberbagai bidang.

63 Ibid., p.402 64 Q.S. Al-‘Imran (3) : 159.

Page 20: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

92

4. Hubungan Politik, Negara dan Agama dalam Islam

Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup

semua dimensi kehidupan dengan syari’at dan pengarahannya. Islam

mengatur kehidupan manusia sejak manusia itu dilahirkan sampai

meninggal dunia. Bahkan sejak sebelum dilahirkan sampai sesudah

meninggal dunia. Allah SWT. Berfirman :

Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu

agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan

telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa

terpaksakarena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.65

Segala aspek yang terdapat dalam kehidupa dunia dan akhirat

diatur oleh ajaran-ajaran Islam. 66 Selain itu, Islam juga menata

kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan

kehidupan politik. Baik mengenai persoalan beristinja sampai dengan

masalah pemeritahan. 67 Islam membawa konsep politik untuk

membahagiakan manusia dunia dan akhirat.68

Hubungan antara agama politik dan negara dalam Islam, telah

diberikan teladannya oleh Nabi Muhammad SAW. Hubungan satu

sama lain sangat erat. Nabi muhammad bukan hanya seorang Nabi

yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan risalah Islam saja,

melainkan juga untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi,

yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah

negara. Pertumbuhan dan perkembangan agama dalam Islam

bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik.

sejak Rasulullah SAW. melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah,

65 Q.S. Al-Maidah (5) : 3. 66 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta : Teraju, 2002), p. 113. 67 Yusuf al-Qaradhawy, Fiqh Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997), p. 29. 68 Muhith Muhammad Ishaq, Fiqh Politik Hasan Al-Bana, (Jakarta : Robbani

Press, 2012), p. 30.

Page 21: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

93

Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah

kenegaraan. 69 Negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad SAW.

adalah mode bagi hubungan antara agama politik dan negara dalam

Islam.

Agama bukan hanya sekedar urusan pribadi atau ajaran moral

yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh

interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi

manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun

manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara

bahkan dipandanng sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan

agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah

diterapkan sejak Rasulullah Saw. berhijrah dan menjadi kepala negara

Islam di Madinah

Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun

perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh

atas masyarakat luas. Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan

Islam itu, maka dapat dikatakan bahwa hubungan agama dengan

politik dan negara di dalam Islam, merupakan satu kesatuan yang tak

dapat dipisahkan.

Hubungan antara agama, negara dan politik di dalam Islam

mendapat perhatian yang cukup besar dari para pemikir Barat. Banyak

pengaruh dari Barat yang menyatakan bahwa Islam tidak mempunyai

hubungan dengan politik dan negara.70 Tujuan dari pengaruh tersebut

tidak lain adalah untuk mengacaukan pemikiran umat Islam. Hal ini

jelas sangat bertentangan dengan kenyataan sesungguhnya, Islam

sebagai agama yang sempurna, mengajarkan kepada kita semua aspek

kehidupan. Permasalahan politik dalam Islam jelas sekali dicontohkan

oleh Rasul dalam membangun sebuah peradaban. Hubungan antara

agama politik dan negara dalam Islam tidak hanya diakui oleh para

pemikir Islam itu sendiri, para orientalis pun mengakui adanya

hubungan tersebut. Berikut adalah berbagai pendapat dari para

orientalis.

69 B. Syafuri, Op.Cit., p.17. 70 Yusuf al-Qaradhawy, Loc.Cit.,

Page 22: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

94

Dr. V. Fitgerald menyatakan bahwa Islam bukan hanya sekedar

agama, tapi juga sistem politik. Walaupun akhir-akhir ini muncul dari

kalangan kaum muslimin beberapa orang yang menganggap dirinya

sebagai “modernis” berupaya untuk memisahkan antara kedua hal itu,

namun tuntutan pemikiran Islam semuanya dibangun berdasarkan

kedua sisi yang saling terkait tersebut, tidak mungkin dipisahkan satu

sama lain.71 Selain itu, Prof. C. A. Nallino mengatakan “pada waktu

yang sama, Muhammad mendirikan agama dan negara. Kedua hal ini

selalu harmonis sepanjang hidup beliau. Dr. Schacht mengatakan

“disamping Islam memberikan pengertian lebih dari sekedar agama,

maka ia juga merupakan berbagai teori hukum dan politik. secara

ringkas dapat dikatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang

integral, yang mencakup agama dan negara sekaligus.72 Sementara itu,

menurut Sir T. Arnold mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW.

pada waktu yang sama adalah seorang pemuka agama dan kepala

negara.73

B. PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN

NEGARA

1) Pengertian Politik dan Agama

Politik, pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Nabi

Muhammad SAW. dengan agama yang dibawa pada urutannya

membentuk jejaring kekuasaan untuk menyebarkan dan mewujudkan

doktrinnya. Ini berarti agama mesti memiliki kekuasaan politik.

Politik merupakan salah satu aktivitas manusia yang terpenting

sepanjang sejarah manusia. dengannya, manusia saling mengelola

potensi yang berserakan di antara mereka; saling bersinergi dalam

tujuan yang sama; saling memahami dalam perbedaan yang ada; juga

saling menjaga aturan yang disepakati bersama. 74 Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, politik merupakan suatu usaha yang ditempuh

bersama guna mencapai kebahagiaan bersama.

71 Ibid.,p. 35-36. 72 Ibid., p.36. 73 Ibid., 74 Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,

2011),p.1.

Page 23: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

95

Agama secara hakiki berhubungan dengan politik.

Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang

oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak

legal. Seringkali agamalah yang memberi legitimasi kepada

pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam

masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak

mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah

pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi

legitimasi pada kekuasaan politik.

Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat

dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar

tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan

keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik,

harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta

bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi

adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu

memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan

sumbernya yang transcendent. Dalam agama telah ada kesepakatan

bahwa sumber utama ajarannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai

wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. telah

memberikan petunjuk kepada semua umat manusia, termasuk dalam

hal negara dan politik.

2) Kondisi Politik Islam pada masa kehidupan Al-Farabi

Al-Farabi dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah

Mu’tamid (870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan

khalifah Muti’. Ia hidup di tengah-tengah kondisi politik Islam yang

paling kacau dan tidak ditemukan stabilitas politik di dalamnya. 75

Putra-putra raja dan penguasa lama (Persia dan Turki), berusaha

merebut kembali wilayah dan kekayaan nenek moyangnya. Selain itu,

75 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari

Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, ( Jakarta : Kencana Prenada media

Group,2013), Cet II, p. 16.

Page 24: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

96

sekelompok kaum Zenj 76 juga melakukan pemberontakan terhadap

khalifah saat itu, hingga berhasil menguasai daerah sekitar Basrah.

Saat itu pula lah, kewibawaan khalifah telah jatuh, khalifah tidak lebih

hanyalah sebuah simbol belaka.77

Sebelumnya, pemerintahan dinasti Abbasiyah pernah

mengalami masa kejayaan. Namun semenjak kekuasaan dipegang

oleh orang-orang dari Turki, Persi, Daila, dan Seljuk, pemerintah

Islam pun mulai melemah. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan

dalam pemerintahan tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga

kekacauan pun terjadi dimana-mana. Peristiwa terjadi sejak khalifah

al-Mu’tashim Billah naik tahta. 78 Kekacauan berlangsung sampai

dengan masa pemerintahan al-Mu’tamid. Kemudian pemerintahan

pindah ke tangan al-Mu’tadid, lalu pindah ke al-Muktafi billah (anak

al-Mu’tamid), kemudian pindah lagi ke tangan saudaranya, al-

Muqtadir, dan direbut oleh al-Ghalib billah Ibn Abdullah. Sampai

kemudian direbut kembali oleh para pengikut setia al-Muqtadir dan

diserahkan kembali kepadanya. Pada masa pemerintahan al-Muqtadir

inilah kekacauan dan instabilitas politik semakin memuncak.79

Pemikiran politik Al-Farabi banyak dipengaruhi oleh situasi

dan kondisi pemerintahan saat itu. Dalam situasi politik seperti itu,

muncullah karya Al-Farabi yag monumental yaitu kitab Ara’ Ahl

Madinah al-Fadhilah. Di dalam karya tersebut, Al-Farabi membahas

permasalahan hubungan antara teologi dan politik yang pada saat itu

jarang dibicarakan seseorang.

Pada masa pemerintahan Nashr II, Al-Farabi meninggalkan

negeri Samaniyyah, menuju barat seperti Baghdad. Dimana, saat itu

Baghdad merupakan wilayah yang memiliki akses-akses yang tidak

didapatkan di wilayah Timur.

76 Kaum Zenj merupakan sekelompok orang Negro yang berasal dari Afrika

Timur. 77 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990), p.50. 78 Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran Al-

Farabi dan Al-Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,

http://Imamsukardi.wordpress.com/2013/10/22/tradisi-pemikiran-sosio-politik-islam-

kilasan-pemikiran-al-farabi-dan-al-mawardi-dalam-lintasan-sejarah-islam/, diunduh pada

tanggal 09-05-2014, pada pukul 14:12 WIB. 79 Ibid.,

Page 25: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

97

Setelah kepergian Al-Farabi, Samaniyyah mulai berkembang.

Hal ini ditandai dengan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan

sebagai pusat keilmuan. Puncaknya, zaman keemasan Samaniyyah

berlangsung pada pemerintahan Nashr IV. Pada masa ini, Bukhara

sebagai ibukota pemerintahan terkenal sebagai pusat ilmu dan

kesusastraan. Perpustakaan di Istana Samaniyyah di Bukhara terkenal

di seluruh Imperium.80

3) Pengaruh Teori dan Praktek Politik Bangsa Yunani

Pengaruh pemikiran Yunani amat besar terhadap pemikiran

politik Al-Farabi, terutama pengaruh dari pemikiran filosof Plato dan

Aristoteles.

a) Pengaruh Plato pada Al-Farabi

Sebelum Al-Farabi, masyarakat Islam memandang hasil karya

dari para filsuf adalah sia-sia. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan

mereka dalam menghubungkan karya-karya kuno dengan prinsip-

prinsip Islam yang mendasar. Al-Farabi menjadi filsuf pertama yang

dapat menarik ide-ide filosofis pendahulunya dan menghubungkan

mereka ke ajaran agama Islam. Dia menarik pemikiran filsafat Plato

tentang bagaimana mendirikan sebuah komunitas politik dan

menempatkannya dalam konteks Islam. Konsep Al-Farabi tentang

kota utama merupakan perpaduan antara utopianisme platonik

dengan doktrin politik Islam.

Plato percaya bahwa warga negara tidak memiliki peran aktif

dalam politik. Menurutnya, peran individu dapat dibagi menjadi tiga

kelas tertentu dalam masyarakat. Yang pertama adalah ‘Para Wali’,

atau yang disebut dengan kelas emas, mereka memiliki

kebijaksanaan paling luas. Yang kedua adalah ‘Pelengkap’, atau

kelas silver, yang berada di bawah peraturan yang dibuat oleh Para

Wali. Mereka memiliki keberanian dan sebuah kesadaran hakiki. Dan

yang terakhir adalah Kelas para pekerja yang paling besar, atau kelas

80 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam, (Bandung :

Mizan, 2003), Cet. II, p.54.

Page 26: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

98

perunggu, yang mempunyai disiplin diri dan mengendalikan diri atas

keinginan tertentu.81

Al-Farabi mengikuti Plato dalam banyak hal.82 Para sarjana

mengakui kesamaan antara karya Al-Farabi dan Plato. Kedua karya

mereka, Negara-negara utama Al-Farabi dan Republiknya Plato

dimulai dengan menghadirkan Allah sebagai penyebab utama dari

undang-undang dan mengklaim bahwa warga negara harus

memahami keyakinan penting dari ilahi agar dapat berkontribusi

pada rezim politik yang baik. Di dalam keduanya pula dikatakan

bahwa, para penguasa harus mencoba untuk membuat kebenaran

yang dapat diakses oleh warga tentang Ilahi. Juga, keduanya

mengklaim bahwa warganya harus bertindak baik dalam perjalanan

mereka untuk mencapai kebahagiaan tertinggi.83

b) Pengaruh Aristoteles pada Alfarabi

Selain menerapkan konsep-konsep Plato dalam pemikiran

politiknya, Al-Farabi juga mencoba menggunakan konsep-konsep

Aristoteles ke dalam ide pemikirannya. Terutama terhadap konsep

warga dan kegiatan warga Negara. Konsep warga negara dan

kemampuan warga negara yang dikemukakan oleh Aristoteles

tampaknya penting bagi Al-Farabi.

Aristoteles mendefinisikan warga negara dalam hal

partisipasinya dalam memberikan penilaian dan dalam memegang

jabatan. Tidak hanya mengacu pada raja, pemimpin, dan posting

politik serta hukum di bagian kepala negara, tetapi juga bagian

resmi lainnya termasuk juri, pemungut cukai, dll. Aristoteles

menyatakan bahwa warga negara adalah seseorang yang telah

berpartisipasi dalam urusan negara, baik itu sebagai deliberatif atau

yudikatif, maka dia telah menjadi warga negara itu; dan sejumlah

orang-orang tersebut bertugas untuk mengamankan hidup kita

81 Derek E. Hines, The Influence of Plato and Aristotle on Alfarabi,

(Departmental Honors : Government Department, 2008), p. 7.

82 Firdaus Syam, Op.Cit., p. 62. 83 Derek E Hines. Op. Cit., p.8.

Page 27: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

99

dalam sebuah negara. Al-Farabi juga percaya akan pentingnya

keterlibatan warga negara, tetapi tidak sampai sebatas Aristoteles.84

Banyak kontroversi diantara para ulama mengenai peran

Aristoteles terhadap pemikiran Al-Farabi. Salah satunya adalah

Strauss. Ia mengatakan bahwa negara utama dapat didefinisikan

sebagai negara dimana warga negaranya bekerja sama dengan

tujuan untuk menjadi baik, melakukan kegiatan mulia, dan

mencapai kebahagiaan. Strauss berpendapat selain mengacu pada

konsep pemikiran Plato, Al-Farabi juga menunjukkan bahasa yang

menyerupai ide-ide Aristoteles dalam pemikirannya.85

Yang menarik tentang Al-Farabi adalah bahwa keyakinan

politik yang sebenarnya ditulis dalam istilah dan interpretasi dari

Plato dan karya Aristoteles. Sementara banyak filsuf berusaha untuk

langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang

politik, kebebasan, dan keadilan, Al-Farabi pernah sepenuhnya

menjelaskan visinya untuk warga negara. Al-Farabi mencoba untuk

memindahkan filsafat Islam dalam arah tertentu. Dia berusaha

untuk memberikan warga negara hak lebih dan lebih dari sebuah

peran dalam politik. Ini mungkin tampak seolah-olah Al-Farabi

menjual kepada kekuatan yang lebih tinggi dengan tidak pernah

sepenuhnya menangani masalah warga negara; Namun, kita bisa

memuji dia untuk cara merevolusi konsep warga negara di tengah-

tengah waktu di mana ide-ide seperti itu tidak disukai. Al-Farabi

berupaya untuk menggabungkan aspek filsafat Platonis dan

Aristotelian. Namun, ia mampu menciptakan warga negara yang

sempurna dalam prinsip-prinsip agama Islam. Dia mengacu pada

konsep-konsep musyawarah Aristotelian dan menempatkan mereka

dalam sebuah masyarakat Platonis.

4) Pandangan Al-Farabi tentang Politik dan Negara

Dalam filsafat Islam, Al-Farabi terkenal sebagai ahli logika,

metafisika dan seorang filsuf politik. Ia mencoba untuk menyatukan

filsafat politik dengan Islam. Sebenarnya, Al-Farabi merupakan

84 Ibid., p. 11. 85 Ibid., p. 12.

Page 28: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

100

seorang filsuf yang mengemukakan konsepsi politik kenegaraan

secara lengkap dengan konsep maupun teori politiknya. Sebagai

seorang filsuf Islam, ia banyak membicarakan masalah sosial

masyarakat. Walaupun ia tidak banyak berkecimpung dalam

persoalan kemasyarakatan.

Politik Al-Farabi merupakan suatu etika dan swakarsa yang

terkait-erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. 86 Al-

Farabi berpendapat bahwa politik harus didasari usaha konsepsi

bersama dari manusia untuk mencapai kebahagiaan (conception of

collective efford and mankind) yang tertinggi, dengan pikiran dan

tindakan pribadi yang suci dan dengan kerjasama masyarakat harmoni

serta semangat simpati. 87 Konsep politik Al-Farabi ada dua, yakni

negara utama dan lawan negara utama.

a. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)

Dalam Ara al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi menyatakan

bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai

kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena ia tidak mampu

memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. 88

Kesempurnaan manusia sesuai dengan watak alamiah manusia itu

sendiri., tidak akan tercapai tanpa berhubungan dengan manusia-

manusia yang lain. Kerjasama itu mempunyai tiga bentuk, yaitu

kerjasama antar penduduk dunia pada umumnya, kerjasama dalam

suatu komunitas (ummah), dan kerja sama antar sesama penduduk

kota (madinah).89

Menurut Al-Farabi, manusia tidak dapat mencapai

kesempurnaan yang ingin mereka capai, tanpa adanya asosiasi politik.

Sebab, mereka selalu membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka

dalam penyediaan kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup mereka.

Asosiasi politik tersebut terbagi menjadi tiga, yakni : bagian terbesar

diidentikan dengan dunia pada umumnya (ma’murah), bagian sedang

86 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, (Bandung :

Mizan, 2002) Cet. II, p. 47. 87 Firdaus Syam, Loc.Cit. 88 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Mesir : Maktabah Matba’ah

Muhammad Ali, 1959), p.96. 89 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op.Cit., p. 53.

Page 29: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

101

diidentikkan dengan bangsa (umat), dan bagian kecil disebut dengan

negara kota (madinah polis). 90 Asosiasi politik tersebut dapat

diarahkan untuk mencapai kebahagiaan sejati, selain itu hal tersebut

bisa dimanfaatkan untuk kesenangan atau akuisisi kekayaan.

Al-Farabi menggambarkan suatu kota sebagai suatu

keseluruhan yang saling berkaitan. Dimana perumpamaannya ia

kaitkan dengan organisme tubuh. Antara organ satu dengan organ

yang lainnya saling berhubungan, apabila ada bagian yang sakit, maka

yang lainya akan bereaksi dan menjaganya. Begitu juga dalam

penggambarannya tentang sebuah kota, setiap orang di dalamnya

saling berhubungan satu sama lain, demi tercapainya tujuan bersama,

yakni sebuah kebahagiaan.91

Kota utama merupakan kota yang semua warga negaranya

merupakan warga yang mengenali hakikat Tuhan, intelek aktif,

kehidupan akhirat, dan bersandar pada tata nilai kebajikan. 92 Kota

utama harus dipimpin oleh seorang imam/pemimpin yang dapat

membawa umatnya mencapai tujuan yakni kebahagiaan. Dua

kualifikasi penting dari seorang pemimpin dalam kota utama adalah

disposisi alam atau bakat untuk memerintah, ditambah dengan sifat

sukarela. Penguasa kepala kota utama ini harus memiliki

kesempurnaan intelektual penuh, baik sebagai subjek dan objek

pemikiran ('aqil, ma'qul).93

Negara utama memiliki 3 syarat keunggulan, unggul dalam

ilmu pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama.

Dengan dipimpin oleh seorang kepala negara yang ideal, yakni

seorang filsuf yang bersifat seperti nabi. 94 Kepala negara adalah

seorang yang paling ulung dalam ilmu pengetahuan serta paling suci

akhlak serta rohaninya yang dinamakan filsuf yang bersifat nabi.

Pemimpin ini hendaknya merupakan seseorang yang dapat mengelola

90 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism: His Life Work and

Influence, (England : Oneworld Publication, 2002), p. 110. 91 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1998) Cet. XI, p.73. 92 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Op. Cit., p. 54. 93 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and

Influence, Op. Cit., p. 111. 94 Firdaus Syam, Op.Cit.,p. 64.

Page 30: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

102

bidang kehidupan dengan sebaik-baiknya. Ia harus pula mampu

menerima pencerahan intelek aktif, baik lewat bakat maupun

pengembangan diri. Hal tersebut yang akan menjadikan dia sebagai

seorang filsuf yang memiliki sifat nabi.

Al-Farabi kemudian menjelaskan kualifikasi seorang kepala

negara di dalam negara utama. Menurutnya, terdapat 12 kualifikasi

yang harus dimiliki oleh seorang kepala negar, diantaranya sebagai

berikut : Pertama, kepala negara harus mempunyai tubuh dan anggota

tubuh yang baik, agar ia dapat melakukan setiap fungsi atau tugas

yang diberikan kepadanya. Kedua, ia harus mampu memberikan

pemahaman yang baik dan memahami apa yang diberitahukan

kepadanya, sesuai dengan maksud si pembicara. Ketiga, ia harus

memiliki ingatan yang baik terhadap apa yang ia pahami, lihat, dengar

atau yang ia rasakan. Keempat, ia harus cerdas dan cepat berpikir,

sehingga dapat memahami apapun yang diberikan. Kelima, ia harus

fasih dalam mengartikulasikan sepenuhnya apapun yang dia ingin

menyampaikan. Keenam, ia harus mencintai pembelajaran,

sepenuhnya menerima instruksi, tidak terhalang oleh petugas di

atasnya. Ketujuh, ia tidak boleh menjadi tamak dalam hal makanan,

minuman atau jenis kelamin, membenci permainan dan kesenangan

yang ditimbulkan olehnya. Kedelapan, ia harus mencintai kebenaran

dan ahlinya, serta membenci dusta dan ahlinya. Kesembilan, ia harus

murah hati dan mencintai kehormatan dan membenci apapun yang

dapat memalukan. Kesepuluh, ia tidak mempunyai minat akan uang

dan barang-barang yang berbau dunia. Kesebelas, ia harus mencintai

keadilan dan membenci ketidakadilan; adil dalam berurusan dengan

orang-orang yang tertindas dan cepat untuk menanggapi panggilan

untuk ganti rugi. Kedua belas, ia harus bersikap tegas dalam tekad

untuk melakukan apa yang dianggap benar.95

Tidak semua orang dapat menjadi pemimpin kota atau negara.

Yang boleh menjadi seorang pemimpin adalah orang yang sempurna.

Menurut Al-Farabi, kota utama tersebut dipimpin oleh seorang

95 Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His Life Work and

Influence, Op. Cit., p.113.

Page 31: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

103

pemimpin saja. Jika tidak memiliki pemimpin yang bijaksana, maka

suatu kota akan hancur.

Konsep kepala negara yang diterangkan Al-Farabi mempunyai

kemiripan dengan konsep-konsep yang ada pada pemikiran Plato.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pemikiran Al-

Farabi tidaklah terlepas dari peran filsuf Yunani Kuno tersebut, yakni

Plato.

b. Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah)

Selain negara utama yang telah dipaparkan di atas, Al-Farabi

pun mengklasifikasikan lawan-lawan dari negara utama tersebut.

Terdapat 4 negara yang dijelaskan Al-Farabi sebagai lawan-lawan

dari negara utama, yakni negara bodoh, negara fasik, negara sesat, dan

negara yang berubah.

1. Negara bodoh (al-Madinah al-Jahilah)

Negara bodoh adalah negara yang penduduknya tidak

mengenal kebahagiaan dan tidak pernah memikirkan kebahagiaan.

Apabila diingatkan mereka tidak akan mempercayainya dan jika

ditunjukkan pada kebahagiaan mereka tidak mau mengerjakannya.

Bagi mereka kebahagiaan dan kebaikan adalah memilki badan

yang sehat, harta yang cukup dan hal-hal yang berhubungan

dengan kenikmatan, kemudahan, dan kelezatan layaknya

kenikmatan yang dirasakan binatang.96 Al-Farabi membagi negara

bodoh ini ke dalam 6 sub bagian, yakni :

a) Kota Primitif (al-madinah al-dharuriyyah), kota dimana

penduduknya hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan pokok

hidup. Mereka bekerja sama untuk mendapatkan kebutuhan

dasar mereka demi kelangsungan hidup dan kesehatan badan

mereka. Seperti mendapatkan makanan, minuman, tempat

tinggal, jodoh, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya. Oleh

karena itu, kota ini disebut juga dengan kota kebutuhan

dasar.97

96 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,

(Bandung : Pustaka Setia, 2010), p. 361-362 97 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam, (Bandung :

Mizan, 2003), Cet. II, p.68

Page 32: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

104

b) Kota Hedonis (al-madinah al-nadzalah), yaitu kota yang

penduduknya hanya memerhatikan penumpukan kekayaan dan

kemudahan-kemudahan materi. Warganya bekerja sama untuk

meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebihn-

berlebihan yang kemudian mereka membelanjakannya untuk

memenuhi kebutuhan badani.98

c) Kota Hina dan Sakit (al-madinah al-khassas), kota ini

berisikan warga yang hanya memikirkan kesenangan belaka,

baik yang bersifat duniawi seperti makanan, minuman,

hubungan seks dan hiburan lainnya, maupun yang berifat

kesenangan khayali. Mereka mencukupkan diri dengan

kekayaan dan kepemilihan materiil saja.99

d) Kota Penghormatan (al-madinah al-karamah), adalah kota

yang tujuan hidup rakyatnya hanya untuk dihormati, dipuji dan

tersohor di antara bangsa-bangsa lain.100

e) Kota Tirani atau Despotis (al-madinah al-taghallub), kota

bodoh yang kelima adalah kota yang penduduknya saling

bekerja sama demi satu tujuan, yakni berkuasa atas orang lain

dan mencegah orang lain berkuasa atasnya. 101 Di dalamnya

terdapat penaklukkan dan upaya saling menjatuhkan

antarwarga demi sebuah kekuasaan.

f) Negeri Anarkis (al-madinah al-jama’iyah), negeri dimana

rakyatnya ingin menikmati kebebasan berbuat sekehandaknya

karena kebebasan individual menjadi tujuan utama meskipun

pada akhirnya menimbulkan anarki. 102

2. Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah)

Merupakan negara yang prinsip-prinsipnya menganut ideologi

negara utama, yakni negara yang penduduknya mengenal

kebahagiaan, Tuhan, dan Akal. Akan tetapi setelah mengetahui

pengetahuan tentang hal-hal tersebut, mereka menolak untuk berbuat

sesuai dengan keyakinan dan pengetahuan yang mereka ketahui.

98 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op.Cit.,p. 362. 99 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Op. Cit., p. 53. 100 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 15. 101 Yamani, Op. Cit., p.69. 102 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Loc. Cit.,

Page 33: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

105

Tingkah laku mereka dalam upaya memenuhi kebutuhannya tak

ubahnya seperti negara bodoh. Oleh sebab itu, apa yang mereka

lakukan terkadang berbeda dengan yang mereka katakan. Itulah

sebabnya mereka disifati dengan fasik, karena mereka tahu keutamaan

tetapi berbuat kehinaan.103

3. Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah)

Kota ini diliputi kesesatan, penipuan dan kesombongan. 104

Penduduk negara ini mempunyai pemikiran yang salah tentang Tuhan

dan Akal aktif. Para warga kota ini sesungguhnya menginginkan

kebahagiaan sejati, kebahagiaan di akhirat kelak. Namun,

kepercayaan mereka dalam menempuh kebahagiaan tersebut bersifat

keliru. Pemimpin mereka adalah seorang penipu dan pembohong. Ia

berpura-pura menerima wahyu, kemudian ia menipu orang lain

dengan ucapan dan tingkah lakunya agar mereka mengikutinya

sebagaimana halnya seorang Nabi.105

4. Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah)

Al-madinah al-mutabaddilah merupakan negara yang awalnya

mempunyai pikiran yang sama dengan penduduk negara utama.

Pandangan hidup masyarakatnya seiring dengan pandangan dan

perbuatan penduduk negara utama. Namun, seiring berkembangnya

zaman, keadaan mereka pun berganti. Pandangan hidup dan

perbuatan yang menyimpang menjadi dominan di negeri ini.

Pelanggaran dan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Hingga akhirnya

mereka mengalami kemunduran dan kerusakan pada pikirannya

sendiri.106

5) Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan

Pemikir Yunani

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran politik Al-Farabi

mendapat pengaruh yang cukup besar dari pemikir-pemikir Yunani,

terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Terdapat kemiripan-kemiripan

antara pemikiran Al-Farabi dengan pemikiran Plato dan Aristoteles.

103 Al-Farabi, Loc. Cit., 104 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Op. Cit., p.363. 105 Yamani, Op. Cit., p. 70. 106 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Loc. Cit.,

Page 34: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

106

Selain pengaruh yang diberikan Yunani ke dalam pemikiran Al-Farabi,

terdapat perbedaan antara Al-Farabi dengan filosof Yunani. Salah satunya

adalah Al-Farabi tidak mengikuti cara-cara Yunani dalam membagi

negara. Yunani membagi bentuk-bentuk negara berdasarkan kedudukan

kepala negaranya, berupa bentuk negara monarki, aristokrasi dan

demokrasi.

Selanjutnya Al-Farabi sendiri tidak menyetujui pembagian secara

modern yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan

dan kedaulatan hukum. Ia memiliki gagasan tersendiri mengenai negara

dengan mengemukakannya berdasarkan ideologi. Berdasarkan

ideologinya, Al-Farabi membagi bentuk negara ke dalam dua macam,

yakni Madinatul Fadhilah (Model State) Negara Utama sebuah negara

yang memiliki ideologi di mana warga negaranya sadar dengan tujuan

yang tegas; serta Madinatul Jahiliah (State of Ignore) Negara Jahiliah,

sebagai negara yang tidak memiliki ideologi yang tinggi, dengan

menganut ideologis salah serta bertentangan dengan kebahagiaan, materil

dan spiritual.107

Selain itu, perbedaan antar Al-Farabi dengan pemikir Yunani

terutama Plato adalah dalam hal kepala negara. Plato beranggapan bahwa

seorang kepala negara haruslah seorang filsuf. Sebelum seorang filsuf

menjadi raja, atau seorang raja menjadi filsuf, maka kebahagiaan suatu

negara tidak akan tercapai dan kesengsaraan dunia tidak akan berakhir.108

Sedangkan menurut Al-Farabi seorang kepala negara selain

sebagai seorang filsuf, ia juga harus seseorang yang mendapatkan

kearifan baik secara pikiran dan rasio ataupun berdasarkan wahyu.

Seorang kepala negara haruslah bersifat arif dan bijaksana dalam

menentukan dan mengelola suatu negara.109

6) Perbedaan Pandangan Politik dan Negara Al-Farabi dengan

Pemikir Islam

Terdapat persamaan dalam konsepsi pemikiran dari para pemikir

Islam klasik, seperti al-Farabi, Ibnu Abi Rabi’, Ibnu Taimiyah dan yang

107 Firdaus Syam, Loc. Cit 108 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13 109 Ibid.,

Page 35: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

107

lainnya, yakni tentang asal mula berdirinya suatu negara. Pemikiran

mereka banyak dipengaruhi oleh alam pikiran Yunani terutama Plato.

Selain itu, pemikiran mereka juga diwarnai oleh bumbu-bumbu yang

berbau agama, yakni Islam.

Yang menjadi pembeda antara pemikir Islam dengan filsuf Yunani

Kuno tersebut adalah pemikiran mereka disisispi ajaran-ajaran agama.

Bagi mereka, tujuan didirikannya suatu negara semata-mata bukan hanya

untuk memenuhi kebutuhan lahiriah saja, tetapi juga kebutuhan yang

bersifat ruhaniah dan ukhrawiyah.

Selanjutnya, diantara pemikir Islam tersebut pun terdapat

perbedaan. Terutama antara perbedaan antara Al-Farabi dengan pemikir

yang lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada konsep-konsep seperti

jabatan kepala negara, siapa yang harus menjadi kepala negara, sumber

kekuasaan kepala negara, dan hubungan antar kepala negara dengan

rakyatnya.

Berbicara masalah kepala negara, Al-Farabi mengatakan bahwa

seorang kepala negara merupakan seorang filsuf yang mendapat kearifan

melalui pikiran dan rasio ataupun melalui wahyu. 110 Sementara itu,

pemikiran Ibnu Abi Rabi’, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah senantiasa

berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa Islam. Mereka dengan tegas

menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara merupakan mandat yang

diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka mengatakan

bahwa pemimpin negara merupakan khalifah yang dipilih Allah, dengan

kata lain khalifah tersebut khalifah adalah khalifah Allah, yang

kedudukannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Besarnya pengaruh politik Yunani dalam pemikiran al-Farabi,

mengaburkan nuansa pemikiran Islam dari konsep politik al-Farabi.

Diantara pemikir Islam yang lainnya, al-Farabi mengadakan idealisasi

tentang semua aspek kehidupan bernegara. Konsepsinya bersifat utopis

seperti konsep yang dikembangkan Plato dan tidak mungkin untuk

diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

110 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Op.Cit., p. 13

Page 36: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

108

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarakan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya,

maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Pemikiran politik Al-Farabi dimulai dengan awal mula

terbentuknya suatu negara. Ia mengatakan bahwa, suatu negara

terlahir dari perkumpulan manusia yang mempunyai tujuan

yang sama, yakni mencapai kebahagiaan sejati. Manusia hidup

dengan cara bekerjasama antar sesamanya, ia tak dapat

memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain.

b. Pemikiran politik Al-Farabi banyak diwarnai oleh pemikiran

politik filosof Yunani, yakni Plato dan Aristoteles. Dimana

banyak ide-ide dari kedua filosof tersebut yang diterapkan

oleh Al-Farabi ke dalam konsep Islam. Pemikiran politik Al-

Farabi dikenal dengan konsep negara utama. Konsep ini mirip

dengan konsep Plato. Negara utama merupakan negara yang

perumpamaannya dikaitkan dengan tubuh manusia. Dimana

organ-organ di dalam tubuh tersebut saling berkaitan. Begitu

pula dengan keberadaan negara utama, organ-organ di

dalamnya satu sama lain saling berkaitan. Demi tercapainya

tujuan bersama. Negara utama merupakan negara yang warga

negaranya faham akan hakikat tentang ketuhanan, kehidupan

akhirat dan bersandar pada nilai-nilai kebajikan. Negara

Utama di pimpin oleh seorang filuf yang bersifat nabi. artinya

seorang yang sempurna baik dalam hal kecerdasan maupun

perilaku. Pemikiran yang mengenai lawan dari negara utama.

Terdapat 4 lawan negara utama, yakni: negara bodoh, negara

fasik, negara sesat, dan negara yang berubah, yang masing-

masing terbagi lagi ke dalam beberapa bagian.

c. Selain Al-Farabi, ada beberapa ilmuwan Islam yang juga

mengutarakan konsep pemikiran politiknya, seperti Ibnu Abi

Rabi’, Ibnu Taimiyah, da Al-Mawardi. Masing-masing dari

mereka memiliki konsep yang berbeda dalam pemikirannya.

Page 37: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

109

DAFTAR PUSTAKA

Jasiman, Rijalud Daulah : Mempersiapkan Pejabat Politik yang

Merakyat, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2012)

Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-

Qur’an, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet III

Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,

2011)

Atabaik Ali, Kamus Indonesia-Arab, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika,

2008)

Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Riyadh : Darussalam, 2006)

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan Kesan dan Keserasian

Alquran, (Jakarta : Lentera Hati, 2011), Cet. IV

Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik Dinamika Perspektif Nash Dan

Asy-Syariah, (Bandung : Pustaka Setia, 2008),

Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogayakarta : Ar-Ruzz

Media, 2010)

Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Depdikbud, 1988)

B.Syafuri, Pemikiran Politik Dalam Islam, (Serang : FSEI Press, 2010)

Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan Islam,

(Bandung : CV Pustaka Setia, 2010),

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Yunani

Kuno sampai Zaman Modern, (Yogyarkarta : Pustaka Pelajar ,

2009), cet III

Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi

Sosio Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2007)

A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Jakarta : PT. Gaya Media

Pratama, 1995)

Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta : Teraju, 2002)

Yusuf al-Qaradhawy, Fiqh Negara, (Jakarta : Robbani Press, 1997)

Muhith Muhammad Ishaq, Fiqh Politik Hasan Al-Bana, (Jakarta :

Robbani Press, 2012)

Muhammad Elvandi, Inilah Politikku, (Solo : Era Adicitra Intermedia,

2011)

Page 38: PEMIKIRAN AL-FARABI TENTANG POLITIK DAN NEGARA Hesti

110

Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam :

Dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, ( Jakarta :

Kencana Prenada media Group,2013)

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990)

Imam Sukardi, Tradisi Pemikiran Sosio-politik Islam : Kilasan Pemikiran

Al-Farabi dan Al-Mawardi dalam Lintasan Sejarah Islam, 22-10-2013,

http://Imamsukardi.wordpress.com/2013/10/22/tradisi-pemikiran-sosio-

politik-islam-kilasan-pemikiran-al-farabi-dan-al-mawardi-dalam-lintasan-

sejarah-islam/, diunduh pada tanggal 09-05-2014, pada pukul 14:12 WIB.

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam,

(Bandung : Mizan, 2003)

Derek E. Hines, The Influence of Plato and Aristotle on Alfarabi,

(Departmental Honors : Government Department, 2008)

Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis,

(Bandung : Mizan, 2002) Cet. II, p. 47

Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Mesir : Maktabah

Matba’ah Muhammad Ali, 1959), h.96

Majid Fakhry, Al-Farabi Founder of Islamic Neoplatonism : His

Life Work and Influence, (England : Oneworld Publication, 2002),

M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998) Cet. XI,

p.73

Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik antara Barat dan

Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) 1 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini : Filsafat Politik Islam,

(Bandung : Mizan, 2003)