uncac
TRANSCRIPT
![Page 1: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/1.jpg)
Meningkatkan Integritas, Akuntabilitas dan Kekayaan Publik Yang Baik dan Benar
dari Perspektif United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
A. Pendahuluan
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting pemerintah dalam
rangka membersihkan diri dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi merupakan
kejahatan luar biasa dan sistematis sehingga diperlukan upaya yang luar biasa pula dalam
memberantasnya. Selain menjadi agenda nasional, pemberantasan korupsi juga merupakan
agenda internasional. Keberadaan lembaga anti korupsi memiliki nilai yang sangat
strategis dan politis bagi pemerintahan suatu negara. Saat ini persoalan korupsi bukan
hanya menjadi isu lokal, melainkan menjadi isu internasional. Bagi negara-negara sedang
berkembang, keberhasilan menekan angka korupsi merupakan sebuah prestasi tersendiri.
Hal ini akan berdampak pada arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut. Negara-
negara dengan tingkat korupsi tinggi tentunya akan kehilangan daya saing untuk merebut
modal asing yang sangat dibutuhkan oleh negara yang sedang berkembang. Negara-negara
maju dan lembaga donor internasional sangat menaruh perhatian terhadap peringkat
korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga survei internasional seperti Transparancy
International dan PERC. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia sangat memberi perhatian
serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu upayanya adalah membentuk
lembaga anti korupsi yang diberi nama KPK.
Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, Majelis Umum PBB akhirnya menerima
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang disahkan melalui
Konferensi Tingkat Tinggi tanggal 9-11 Desember 2003 di Merida, Mexico berdasarkan
Resolusi nomor 57/169. United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat,
140 negara pihak telah menandatangani konvensi, dan 103 diantaranya telah meratifikasi
pada hukum positif yang berlaku di masing-masing negara pihak.1 Kelahiran UNCAC
tidak dapat dipisahkan dari kecemasan dunia Internasional terhadap efek dan potensi
negatif korupsi.
Dalam kacamata global, selain menghambat investasi, korupsi itu sendiri adalah
hambatan terbesar untuk merealisasikan keseimbangan pendapatan, kesejahteraan, akses
1 http://www.unodc.org/unodc/crime_signatures_corruption.html, Diakses pada tanggal 12 April 2013. Sesuai dengan Pasal 68 ayat (1) konvensi, UNCAC dianggap berlaku pada hari ke-90 setelah tanggal penyimpanan instrumen ke-30 ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau tepatnya pada tanggal 14 Desember 2005.
![Page 2: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/2.jpg)
pendidikan bahkan pemberantasan kemiskinan. Salah satu faktor terpenting adalah saat
arus uang dan pola-pola korupsi ternyata telah menembus sekat-sekat kedaulatan negara.
Hal ini menjadi masalah krusial jika di masing-masing negara terdapat standar hukum
yang berbeda, bahkan seringkali bertolak belakang dalam hal perlawanan terhadap
korupsi. Bukan tidak mungkin sebuah perbuatan yang di satu negara diklasifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi, ternyata dinilai sebaliknya di negara lain.
Indonesia adalah salah satu dari 103 negara yang telah meratifikasi konvensi pada
tanggal 19 September 2006, yang dituangkan pada Undang-Undang 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against. Corruption, 2003. Sebagai negara pihak,
Indonesia berkepentingan sekaligus berkewajiban melakukan penyesuaian standar hukum,
regulasi, dan strategi pemberantasan korupsi di level Internasional.
Dalam posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak UNCAC, Indonesia terikat
dengan konvensi, tepatnya sejak 19 September 2006 ketika Indonesia meratifikasi
UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 (UU No. 7/2006) tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Meskipun secara tegas
mereservasi Pasal 66 ayat (2), penandatanganan dan ratifikasi sekaligus adalah penegasan
Indonesia sebagai bagian dari kerjasama Internasional dalam perlawanan terhadap korupsi.
Kerjasama tersebut dikongkritkan negara pihak melalui penyelenggaraan konferensi
(CoSP, Confrence of States Party). Sesuai dengan Pasal 63 ayat (1), konferensi
diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas dan kerjasama negara-negara peserta demi
pencapaian tujuan dan sasaran UNCAC. Seperti diketahui, konferensi pertama telah
dilaksanakan di Jordan-Dead Sea, 10 to 14 December 2006. Pertemuan tersebut pada
akhirnya menghasilkan delapan resolusi dan satu keputusan. Keputusan yang dihasilkan
adalah posisi Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi kedua (2nd
CoSP). Sedangkan, resolusi berbicara tentang:2
(1) Review of implementation; (2) Informationgathering mechanism on the
implementation of the United Nations Convention against Corruption, (3) Appeal to States
parties and invitation to signatories to the United Nations Convention against Corruption
to adapt their legislation and regulations; (4) Establishment of an intergovernmental
working group on asset recovery; (5) Technical assistance; (6) International cooperation
workshop on technical assistance for the implementation of the United Nations
2 Independent Report Corruption Assessment and Compliance United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law, http://antikorupsi.org/new/download/independentreport2ndcospuncac-id.pdf, Diakases pada tanggal 12 april 2013.
![Page 3: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/3.jpg)
Convention Against Corruption; (7) Consideration of bribery of officials of public
international organizations; dan, (8) Best practices in the fight against corruption.3
Atas dasar itulah setiap negara peserta konferensi harus menjalankan secara maksimal
setiap resolusi dan keputusan yang dihasilkan. Salah satu bagian prinsipil yang menjadi
kewajiban Indonesia sebagai negara peserta adalah upaya review of implementation serta
kontinuitas harmonisasi peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan standar
umum pada UNCAC. Dengan catatan, hal ini tidak menghilangkan tanggungjawab
Indonesia untuk melaksanakan resolusi lainnya.4
Peraturan perundang-undangan yang signifikan membangun kerangka hukum
perlawanan korupsi setidaknya mencakup: Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang
Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme; Undang-Undang nomor
31 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi; Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi;
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Pencucian Uang; dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.
B. Implementasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di
Indonesia
Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (United Nation Convention Against
Corruption atau UNCAC) mengatur tentang aset recovery pada Bab V, pengembalian asset
ini merupakan perinsip yang mendasar dalam UNCAC dimana setiap Negara harus
memberikan bantuan dan Negara – negara peserta wajib saling memberikan kerjasama dan
bantuan yang seluas- luasnya mengenai hal ini. Pemerintah Republik Indonesia telah
meratifikasi UNCAC ini dengan Undang- Undang No. No. 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan UNCAC, Lembaga Negara (LN) No. 32 Tahun 2006, Tambahan Lembaran
Negara (TLN) No. 4620, sesuai dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, tindakan pengesahan tersebut dilaksanakan melalui undang –
undang yang disetujui DPR - RI dengan telah memberlakukan Konvensi tersebut sebagai
hukum nasional Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau
individu di Indonesia. Tujuan UNCAC dimuat dalam Bab I Pasal 1 Pernyataan Tujuan
adalah pertama, meningkatkan dan memperkuat tindakan - tindakan untuk mencegah dan
3 Ibid.4 Ibid.
![Page 4: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/4.jpg)
memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif; kedua Meningkatkan, memudahkan
dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan tehnik dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi, termasuk pengembalian aset; dan meningkatkan integritas,
akuntabilitas dan pengelolaan masalah serta kekayaan publik dengan baik dan benar.
Tujuan tersebut menjadi akar dibentuknya reformasi dalam menanggulangi
permasalahan korupsi transnasional. Berpegang teguh pada prinsip saling menghormati
kepada masing - masing negara pihak konvensi kemudian dicapai kesepakatan untuk
menggunakan UNCAC sebagai dasar hukum untuk menindak para koruptor. Komponen
yang terdapat dalam pasal UNCAC telah membawa progres ke arah yang lebih maju
mengenai kebutuhan akan bantuan yang bersifat teknis untuk membantu agenda anti
korupsi yang diakui oleh semua negara, baik negara berkembang mau pun negara maju.
Kebutuhan tersebut diakomodir dan dipenuhi sesuai dengan isi yang terkandung dalam
UNCAC. Negara tetap berperan utama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi karena
negaralah yang memiliki state sovereignty (kedaulatan negara) sehingga berkuasa atas hal
- hal yang terjadi atasnya. Segala bentuk tindakan yang diambil oleh negara menjadi
tanggung jawabnya secara penuh baik mulai dari tahap perencanaan hingga hasil akhir.
Negara peserta dan peratifikasi konvensi telah memahami sepenuhnya dan menyetujui
penggunaan sarana hukum untuk pengembalian aset korupsi sebagai bagian dari tanggung
jawab kolektif semua negara, bukan saja negara yang harta kekayaannya telah dikorupsi.
Kerjasama antar negara ini menjadi penting mengingat korupsi bukan lagi kejahatan lokal
atau nasional. korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang
bersifat transnasional karena bisnis sudah bersifat transnasional, melewati lintas batas
negara. Terdapat tiga upaya dalam usaha pengembalian aset luar negeri melalui UNCAC.
Pertama , dengan menuntut para koruptor melalui civil allegation (perdata). Hal itu
dimaksudkan untuk membekukan aset milik negara agar bisa dibekukan di negara tempat
aset tersebut disimpan. Selain itu, demi menghambat agar aset tersebut tidak lari,
pemerintah pun akan melakukan full disclosure agar tidak mampu tersentuh lagi oleh ulah
koruptor. Kedua, pemerintah melalui UNCAC bisa melaku kan perampasan paksa
terhadap aset fisik yang dimiliki koruptor di luar negeri. Ketiga, menggunakan kekuatan
konvensi tersebut di dalam Negara - negara yang dicurigai sebagai tempat
bersembunyinya koruptor. Ada beberapa
Instrumen UNCAC yang diatur dalam ketentuan hukum di Indonesia yang dijelaskan
pada bagian di bawah ini.
![Page 5: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/5.jpg)
Mutual Legal Asisten
MLA (Mutual Legal Assistance) atau bantuan hukum timbal balik merupakan suatu
saran atau wadah untuk meminta bantuan kepada Negara lain untuk melakukan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap suatu perkara yang melibatkan dua
negara atau lebih. MLA ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan
Konvensi PBB, misalnya dalam United Nations Convention Against Cooruption
(UNCAC). Negara penandatangan di anjurkan untuk memiliki kerja sama internasional
antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi. MLA melibatkan proses
hukum dan akan berdampak pada kepentingan pribadi sutau negara. Hal ini juga berkaitan
dengan hal - hal semacam penyitaan harta jaminan, pengambilalihan saksi, dan
penahahanan pelaku kejahatan. Keuntungan dari MLA adalah pemerintah yang
dimohonkan menginjinkan negara pemohon untuk menerapkan aturan penegakan hukum
dan memperoleh barang bukti untuk melaksanakan proses penuntutan.
Indonesia sudah mempunyai undang -undang yang merupakan payung dari MLA,
yaitu Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Bantuan Timbal Balik
yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual
Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara
yang membantu. Di samping itu Dalam Pasal 88 sampai dengan Pasal 91 UU No 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur juga
masalah MLA dan kerjasama lainnya dalam rangka menelusuri aset dan pengembalian aset
sebagai tindak pidana pencucian uang. Hal mengenai MLA juga diatur dalam Konvensi
Anti Korupsi (UNCAC 2003) dalam Pasal 46. MLA pada intinya dapat dibuat secara
bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau
atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Perjanjian MLA antara RI
dengan Australia diatur dalam UU No 8 tahun 1994. Objek MLA, antara lain,
pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan,
identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang
bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan,
mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu
penyidikan di negara peminta bantuan MLA.
Menurut UU No.1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
yang dimaksud bantuan timbal balik dalam masalah pidana adalah permintaan bantuan
![Page 6: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/6.jpg)
kepada negara asing berkenaan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan bentuknya berupa mengidentifikasi dan mencari orang;
mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu
penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan
penyitaan; perempasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa
uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan, membekukan asset
yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi
denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat
dilepaskan atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan,
sehubungan dengan tindak pidana dan/atau; bantuan lain sesuai dengan undang - undang
No. 1 Tahun 2006.
Hal - hal tersebut di atas erat kaitannya dengan sistem pembuktian. Sistem
pembuktian di dalam KUHAP adalah sistem negatief wettelijk untuk dapat dijadikan alat
bukti pada tahap penyidikan, penuntutan, dan proses di sidang pengadilan, jika dalam
tahap tersebut belum ditemukan 2 (dua) alat bukti yang sah menurut undang - undang
maka pelaku tidak dapat di hukum walaupun hakim berkeyakinan bahwa pelaku bersalah
atau sebaliknya jika hakim yakin terdakwa bersalah tetapi 2 (dua) alat bukti tidak
dipenuhi. Pengambilan bukti - bukti berupa asset yang berada di negara asing diperlukan
kerjasama dengan negara asing melalui bantuan hukum timbal balik. Di dalam negeri
sendiri instansi terkait harus berkoordinasi dan bekerjasama.
Menurut UU Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana kerjasama dan koordinasi
di dalam negeri dilakukan oleh sebuah Central Authority sebagai wadah untuk meminta
bantuan kepada negara asing atau sebaliknya. Central Authority di Indonesia adalah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentu berbeda dengan beberapa negara
lainnya yang mana Central Authority adalah Departemen of Justice dimana membawahi
secara langsung proses penyidikan dan penuntutan sedangkan Kementerian Hukum dan
HAM hanya merupakan lembaga otoritasasi administrasi yang tidak secara langsung
melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga merupakan salah satu faktor
penghambat lemahnya proses negosiasi dalam penyusunan MLA dengan negara lain, perlu
dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan sebagai Central
Authority menyangkut proses kerjasama dalam penanganan aset di luar negeri maupun
pengembalian orang sebagai pelaku tindak pidana.
![Page 7: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/7.jpg)
Adapun MLA yang telah dibuat dan ditandatangani oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan Negara - negara tempat tujuan aset hasil tindak pidana korupsi belum
begitu memadai dan perlu adanya upaya - upaya pemerintah untuk menambah jumlah dan
lingkup kerjasama dalam MLA guna mengembalikan aset hasil dari tindak pidana korupsi
tersebut, berikut beberapa Negara - negara yang telah melakukan perjanjian kerjasama
dalam MLA dengan Indonesia.
Ekstradisi
Kata Ekstradisi berasal dari bahasa latin “extradere” (kata kerja) yang terdiri dari kata
ex artinya Keluar dan trader artinya memberikan atau menyerahkan,kata bendanya
ekstradio yang artinya penyerahan. 5 Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya
digunakan terutama dalam menyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara
pemintaan Pengembalian koruptor ke negara asalnya dapat dilakukan dengan ekstradisi.
Ekstradisi dilakukan antar negara yang memiliki perjanjian ekstradisi, contohnya adalah
Undang Undang No 8 tahun 1984 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia -
Australia. Perjanjian Ekstradisi dapat juga dilakukan atas dasar kerjasama antar instansi
penegak hukum. Ekstradisi pada hakikatnya menunjuk pada suatu proses dimana
berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan ke negara lain
atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak
kejahatan. Peraturan perundangan di Indonesia yang mengatur tentang ekstradisi adalah
Undang Undang No 1 Tahun 1979. Hingga Tahun 2007, Indonesia telah mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, dan seluruh perjanjian tersebut disepakati secara
bilateral. Indonesia sudah memiliki tujuh perjanjian bilateral soal ekstradisi.
Sepanjang perjanjian ekstradisi bias dilakukan khususnya terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang berada di Negara tujuan asset ditepatkan adalah baik jika target
utamanya penyelesaian lewat conviction base procedure yang menentukan tersangka lebih
dahulu dinyatakan bersalah dan asetnya sebgai bagian dari yang terpisahkan dari perbuatan
tersebut disita tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengembaliksn orang bersama-
sama dengan hartanya, hal ini belum diatur dalam ektradisi.
5 E.Y Kante & SR Santuri,2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, Jakarta : Storia Grafika,hlm. 167
![Page 8: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/8.jpg)
C. Peningkatan Integritas, Akuntabilitas Pengelolaan Masalah-Masalah dan
Kekayaan Publik dari Perspektif United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC)
Beberapa instrument hokum yang perlu dibentuk sebagai bentuk ratifikasi terhadap
UNCAC yang belum diatur di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama,
Pengembalian asset melalui jalur non conviction base (in rem system) dalam system
hokum acara perdata nasional dengan prinsip bahwa yang dinyatakan kejahatan adalah
benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sehingga benda tersebut dapat
langsung disita oleh Negara sampai pemilik dapat membuktikan bahwa benda tersebut
bukan hasil dari tindak pidana.
Kedua, membuat instrument hokum dalam kitab UU Hukum Acara Pidana khususnya
pembuktian terbalik artinya setiap pejabat Negara ataupun pihak yang diuntungkan dari
perbuatan tindak pidana korupsi harus membuktikan asal muasal hartanya kepada
pengadilan. Pada saat ini pembuktian terbaik hanya dikhususkan untuk tindak pidana
gratifikasi yang nilainya hanya diatas Rp 10.000.000,- seharusnya bukan hanya tindak
pidana gratifikasi tetapi seluruh tidak pidana korupsi dapat dimintakan proses pembuktian
terbalik.
Ketiga, kriminalisasi penyuapan di sector swasta (bribery in the private sector) artinya
pihak yang disuap dan menyuap adalah sector swasta diluar ketentuan yang ada dalam UU
No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini penting karena di
sector swasta terhadap perusahaan-perusahaan yang mempengaruhi perekonomian di
Indonesia apabila ada unsur-unsur tindak pidana korupsi dapat dipidana.
Keempat, kriminalisasi terhadap penyuap pejabat public asing dan pejabat organisasi
internasional public (bribery of foreign public official dan official of Public International
organizations). Tindakan-tindakan terebut meliputi dengan sengaja menjanjikan,
menawarkan, atau memberikan kepada seorang pejabat publikasing atau seorang pejabat
dari suatu organisasi internasional public, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri
melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau
mempertahankan bisnis atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan dengan perilaku
bisnis internasional.6
6 Saldi Isra dan Eddy O.S, 2009, Perspektif Hukum Pemberantas Korupsi Di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 600
![Page 9: UNCAC](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071921/55cf9a8f550346d033a2599b/html5/thumbnails/9.jpg)
Kelima, kriminaliasi perbuatan menggelapakan, penyalahgunaan dan penyimpangan
harta kekayaan Negara dilakukan oleh pejabat public atau pejabat Negara sebagaimana
diatur dalam UNCAC pasal 17 dan yang dilakukan di sector swasta PAsal 22. Pasal 17
UNCAC tidak hanya melakukan kriminalisasi terhadap penggeliapan saja, tetapi juga
penyalahgunaan atau penyimpangan atas harta kekayaan dalam bentuk apapun yang
dipercayakan kepada pejabat public.
D. Kesimpulan