uji toksisitas akut ekstrak kulit batang ...repository.usd.ac.id/17548/2/078114083_full.pdfuji...

102
UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BST) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh: Ridho Bertomi Panjaitan NIM : 078114083 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY

    TEST (BST)

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

    Program Studi Farmasi

    Oleh:

    Ridho Bertomi Panjaitan

    NIM : 078114083

    FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA 2011

  • i

    UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY

    TEST (BST)

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

    Program Studi Farmasi

    Oleh:

    Ridho Bertomi Panjaitan

    NIM : 078114083

    FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA 2011

  • ii

    Persetujuan Pembimbing

    UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY

    TEST (BST)

    Skripsi yang diajukan oleh:

    Ridho Bertomi Panjaitan

    NIM : 078114083

    telah disetujui oleh:

    Pembimbing

    Yohanes Dwiatmaka, M.Si. tanggal ...................................

  • iii

    Pengesahan Skripsi Berjudul

    UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI ( Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY

    TEST (BST)

    Oleh :

    Ridho Bertomi Panjaitan

    NIM : 078114083

    Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

    Fakultas Farmasi

    Universitas Sanata Dharma

    pada tanggal: ……………………….

    Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Dekan

    Ipang Djunarko, M.Sc., Apt.

    Panitia Penguji : Tanda Tangan

    1. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. ………………

    2. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. ………………

    3. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. ………………

  • iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN

    Ich werde im Himmel hÖren!

    Kupersembahkan karya kecilku untuk :

    Yesus Kristus

    Papa dan Mama

    Adik-adikku

    Semua orang yang telah terlibat dalam hidupku

    Almamaterku

  • v

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

    PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

    Nama : Ridho Bertomi Panjaitan

    Nomor Mahasiswa : 078114083

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

    Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

    UJI TOKSISITAS AKUT EKSTRAK KULIT BATANG PULASARI

    (Alyxiae Cortex) DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY

    TEST (BST)

    beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

    kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

    mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan

    data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau

    media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya

    maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

    sebagai penulis.

    Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di Yogyakarta

    Pada tanggal : 11 Juli 2011

    Yang menyatakan,

    Ridho Bertomi Panjaitan

  • vi

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

    Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

    tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

    dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

    Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah

    ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-

    undangan yang berlaku.

    Yogyakarta, 11 Juli 2011

    Penulis

    Ridho Bertomi Panjaitan

  • vii

    PRAKATA

    Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

    dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

    Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

    Farmasi (S.Farm.) program studi Farmasi.

    Sepanjang proses perkuliahan, penelitian hingga penyusunan skripsi,

    Penulis telah menerima banyak dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

    Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

    Sanata Dharma Yogyakarta.

    2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah

    memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, masukan serta pelajaran tentang

    hidup kepada Penulis dalam penyusunan skripsi.

    3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

    waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

    4. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah

    memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

    5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

    mengajar dan membimbing Penulis selama perkuliahan.

    6. Ferdi Dwi Armanto sebagai teman satu tim atas kerjasama, bantuan,

    kebersamaan, keceriaan, dan suka duka selama proses penyusunan skripsi.

    7. Teman-teman FST 2007 atas kebersamaan yang tidak terlupakan.

  • viii

    8. Mas Wagiran, Mas Sigit dan Mas Parlan serta laboran-laboran yang lain yang

    telah membantu Penulis selama penelitian.

    9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

    Penulis dalam menyelesaikan laporan akhir ini.

    Penulis menyadari bahwa laporan akhir skripsi ini masih jauh dari kata

    sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang

    membangun dari seluruh pihak. Penulis berharap semoga laporan akhir skripsi ini

    dapat berguna bagi seluruh pihak, terutama dalam bidang farmasi.

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

    HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii

    HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................... v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................... vi

    PRAKATA ............................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ............................................................................................ ix

    DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv

    INTISARI ................................................................................................. xvi

    ABSTRACT ............................................................................................... xvii

    BAB I. PENGANTAR .......................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................... 1

    B. Perumusan Masalah ............................................................ 3

    C. Keaslian Penelitian .............................................................. 4

    D. Manfaat Penelitian .............................................................. 4

    1. Manfaat teoritis ............................................................. 4

    2. Manfaat praktis ............................................................. 4

  • x

    E. Tujuan Penelitian ................................................................ 4

    1. Tujuan umum ................................................................ 4

    2. Tujuan khusus ............................................................... 4

    BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................... 5

    A. Tumbuhan Pulasari ............................................................. 5

    1. Keterangan potani ........................................................... 5

    2. Kandungan kimia ............................................................ 6

    3. Khasiat ........................................................................... 6

    B. Artemia salina ..................................................................... 6

    1. Morfologi ..................................................................... 7

    2. Lingkungan hidup artemia ............................................. 10

    3. Cara penetasan telur ...................................................... 11

    4. Penggunaan artemia pada metode BST .......................... 12

    C. Toksisitas akut .................................................................... 15

    D. Brine Shrimp Lethality Test (BST) ...................................... 16

    E. Kanker ................................................................................ 17

    F. Penyarian ............................................................................ 19

    G. Alkaloid .............................................................................. 20

    H. Landasan Teori ................................................................... 21

    I. Hipotesis ............................................................................. 22

    BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 23

    A. Jenis Rancangan Penelitian ................................................. 23

    B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ....................... 23

  • xi

    1. Variabel penelitian ........................................................ 23

    2. Definisi operasional ....................................................... 23

    C. Alat ..................................................................................... 24

    D. Bahan .................................................................................. 25

    E. Tata Cara Penelitian ............................................................ 26

    1. Pengumpulan simplisia ................................................... 26

    2. Pembuatan serbuk kulit batang pulasari ......................... 26

    3. Maserasi ........................................................................ 26

    4. Pembuatan air laut buatan .............................................. 28

    5. Penetasan siste artemia .................................................. 29

    6. Pelaksanaan uji BST ...................................................... 29

    7. Pembuatan larutan sampel ............................................. 30

    8. Uji toksisitas akut dengan metode BST .......................... 32

    F. Analisis Data ........................................................................ 33

    BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 34

    A. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan ................................. 34

    B. Pembuatan Serbuk Kulit Batang Pulasari ............................ 35

    C. Maserasi .............................................................................. 35

    1. Pembuatan ekstrak petroleum eter ................................. 36

    2. Pembuatan ekstrak etil asetat ......................................... 37

    3. Pembuatan ekstrak air .................................................... 38

    D. Pembuatan Air Laut Buatan ................................................ 39

    E. Penetasan Siste Artemia ...................................................... 40

  • xii

    F. Uji Toksisitas dengan Metode BST ..................................... 42

    1. Analisis probit ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari 47

    2. Analisis probit ekstrak etil asetat kulit batang pulasari ... 48

    3. Analisis probit ekstrak air kulit batang pulasari .............. 50

    G. Rangkuman Pembahasan ...................................................... 51

    BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 53

    A. Kesimpulan ......................................................................... 53

    B. Saran ................................................................................... 53

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 54

    LAMPIRAN ............................................................................................. 57

    BIOGRAFI PENULIS .............................................................................. 84

  • xiii

    DAFTAR TABEL

    Tabel I. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan ...... 28

    Tabel II. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak petroleum eter .................. 31

    Tabel III. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etil asetat ......................... 31

    Tabel IV. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak air ................................... 32

    Tabel V. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum

    eter kulit batang pulasari ................................................................ 45

    Tabel VI. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat

    kulit batang pulasari ................................................................... 46

    Tabel VII. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit

    batang pulasari ............................................................................. 46

  • xiv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Larva artemia ............................................................................. 7

    Gambar 2. Perubahan bentuk artemia ........................................................... 8

    Gambar 3. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa .......................................... 9

    Gambar 4. Artemia dewasa jantan dan betina ............................................... 10

    Gambar 5. Mekanisme kerja NA+ dan K+ ATPase ...................................... 14

    Gambar 6. Siklus sel .................................................................................... 19

    Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak

    petroleum eter kulit batang pulasari ........................................... 47

    Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak

    etil asetat kulit batang pulasari .................................................. 49

    Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak

    air kulit batang pulasari ............................................................. 50

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Surat Keterangan Tanaman Pulasari (Alyxia reinwardtii BL.) dari

    CV. MERAPI FARMA HERBAL ........................................... 57

    Lampiran 2. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak petroleum

    eter yang akan digunakan dalam pengujian .............................. 58

    Lampiran 3. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum

    eter kulit batang pulasari .......................................................... 62

    Lampiran 4. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis

    probit terhadap ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari ..... 63

    Lampiran 5. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etil asetat

    yang akan digunakan dalam pengujian .................................... 66

    Lampiran 6. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat

    kulit batang pulasari ................................................................ 70

    Lampiran 7. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis

    probit terhadap ekstrak etil asetat kulit batang pulasari ............ 72

    Lampiran 8. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak air yang akan

    akan digunakan dalam pengujian ............................................. 74

    Lampiran 9. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit

    batang pulasari ........................................................................ 79

    Lampiran 10. Perhitungan data statistik SPSS16.00 dengan menggunakan analisis

    probit terhadap ekstrak air kulit batang pulasari ....................... 80

  • xvi

    INTISARI

    Masyarakat telah menggunakan kulit batang pulasari (Alyxiae Cortex)

    sebagai obat antikanker. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak kulit batang pulasari dan menjajaki kemungkinan sifat toksik ekstrak kulit batang pulasari terhadap artemia (Artemia salina L.).

    Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian sederhana (post test only control group design). Metode yang digunakan yaitu Brine Shrimp Lethality Test (BST), terhadap 3 macam ekstrak yaitu ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air dengan 5 peringkat konsentrasi pemejanan dan 5 kali replikasi. Ekstrak diperoleh dengan cara maserasi pada mesin pengaduk (shaker) selama 24 jam dengan kecepatan putar 130 rpm. Data persentasi kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis menggunakan analis probit untuk menghitung LC50. Ekstrak dikatakan toksik bila harga LC50 < 1000 µg/ml.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari bersifat tidak toksik terhadap larva artemia dengan LC50 sebesar 2078,18 μg/ml, sedangkan ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari bersifat toksik terhadap larva artemia dengan LC50 masing-masing sebesar 394,43 μg/ml dan 537,69 μg/ml.

    Kata kunci : pulasari, LC50, Artemia salina , Brine Shrimp Lethality Test (BST), analisis probit, ekstrak, maserasi

  • xvii

    ABSTRACT

    The society have used pulasari bark (Alyxiae Cortex) as a anticancer drug.

    Therefore, it is necessary to do research to determine the LC50 value pulasari bark extract and explore the possibility of toxic properties of pulasari bark extract to artemia (Artemia salina L.).

    This research used Brine Shrimp Lethality Test (BST) method, with three kinds of extracts such as petroleum ether extract, ethyl acetate extract, and water extract with five concentration levels of injection and five times replication. Extract was obtained with maseration in shaker during 24 hours with rotational speed 130 rpm. Presentation data of artemia larvae mortality was analyzed with probit analysis to count LC50. Extract is toxic if LC50 value < 1000 µg/ml.

    The result of this research shows that pulasari bark petroleum ether extract is not toxic to artemia larvae with LC50 2078.18 µg/ml, whereas pulasari bark ethyl acetate and water extract are toxic to artemia larvae with LC50 394.43 µg/ml and 537.69 µg/ml, respectively. Kata kunci : pulasari, LC50, Artemia salina , Brine Shrimp Lethality Test (BST), probit analysis, extract, maseration

  • 1

    BAB I

    PENGANTAR

    A. Latar Belakang

    Penyakit kanker dikenal sukar disembuhkan dan dapat menyebabkan

    kematian penderitanya jika tidak dirawat sejak awal. Berdasarkan data Riset

    Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2008, tumor atau kanker merupakan penyebab

    kematian nomor 7 di Indonesia dengan presentasi 5,7 persen, prevalensi tumor

    atau kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk (Anonim, 2011).

    Walaupun telah banyak ditemukan obat antikanker dan telah banyak dilakukan

    kemoterapi, namun hasilnya belum memuaskan dan biayanya juga sangat mahal.

    Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan

    menggunakan bahan alam atau obat tradisional (Anonim, 2010a).

    Pencarian obat-obat antikanker terus dilakukan. Salah satunya yaitu kulit

    batang pulasari (Alyxiae Cortex) yang secara empirik digunakan antara lain untuk

    penurun demam, obat batuk, obat pusing dan obat disentri (Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia, 1983). Hal ini berkaitan dengan kandungan kimia

    kulit batang pulasari yaitu: kumarin, tanin, alkaloid dan saponin (Syamsuhidayat

    dan Hutapea, 1981).

    Untuk mengetahui apakah kulit batang pulasari memiliki senyawa

    bioaktif yang berpotensi sebagai antikanker (memiliki efek sitotoksik), maka perlu

    dilakukan penelitian tentang nilai Lethal Contrentation-50 (LC50). LC50 adalah

    kadar yang menyebabkan kematian 50% hewan uji pada pejanan selama waktu

  • 2

    tertentu (Lu, 1995). Berdasarkan LC50 dapat diketahui tingkat aktivitas suatu

    senyawa. Apabila nilai LC50 suatu senyawa hasil isolasi atau ekstrak tanaman

    kurang dari 1000 µg/ml, maka seyawa tersebut dapat diduga memiliki efek

    sitotosik (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and McLaughlin, 1982).

    Metode yang sering digunakan untuk mengetahui potensi efek sitotoksik

    suatu senyawa adalah Brine Shrimp Lethality Test (BST). Kelebihan metode ini

    adalah cukup praktis, murah, sederhana, cepat, tapi tidak mengesampingkan

    kekuatannya untuk skrining awal tanaman berpotensi antikanker dengan

    menggunakan hewan uji larva artemia (Artemia salina L.). Prinsip metode ini

    adalah uji toksisitas akut terhadap artemia dengan penentuan nilai LC50 setelah

    perlakuan 24 jam (Meyer, et al., 1982). Artemia digunakan sebagai hewan uji

    karena memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-

    dependent RNA polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia

    dan organisme yang memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase,

    sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut

    dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Philipson, 1993).

    Metode BST tidak spesifik untuk pengujian antikanker dan sebagian aksi

    fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek

    sitotoksik dengan waktu dan biaya penelitian yang lebih sedikit dibandingkan

    dengan pengujian sitotoksisitas menggunakan biakan sel kanker. Senyawa yang

    bersifat toksik pada uji BST belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu

    dilakukan uji tingkat lanjut dengan menggunakan sel kanker. Namun, suatu

    senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila diuji dengan metode

  • 3

    BST (Meyer, et al., 1982). Maka diharapkan metode BST dapat digunakan

    sebagai langkah awal untuk menentukan senyawa yang memiliki efek sitotoksik.

    Kulit batang pulasari mengandung beberapa jenis senyawa, diantaranya

    golongan alkaloid. Smets (2001) menyatakan bahwa alkaloid yang berasal dari

    tanaman vinca dan colchicine memiliki mekanisme sitotoksik dengan berperan

    sebagai tubulin inhibitor.

    Menurut Mursyidi (1990), alkaloid sukar larut dalam air tetapi larut dalam

    pelarut organik yang relatif non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya,

    dalam bentuk garam alkaloid larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik.

    Oleh karena itu, ekstraksi terhadap kulit batang pulasari dilakukan menggunakan

    tiga pelarut, yaitu : petroleum eter, etil asetat dan air yang dipilih berdasarkan

    perbedaan sifat kepolarannya. Petroleum eter merupakan senyawa organik dan

    bersifat non polar yang berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat non

    polar. Etil asetat merupakan senyawa organik dan bersifat kurang polar

    dibandingkan air dapat pula disebut bersifat semi polar. Diharapkan etil asetat

    berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Air merupakan

    pelarut yang paling polar dibandingkan kedua pelarut. Diharapkan senyawa-

    senyawa yang bersifat polar akan terlarut ke dalam pelarut air (Harborne, 1987).

    1. Perumusan masalah

    Permasalahan pada penelitian ini adalah :

    1. Apakah ekstrak kulit batang pulasari toksik terhadap larva artemia dan

    berapakah nilai LC50?

  • 4

    2. Mengetahui ekstrak manakah yang paling toksik diantara ekstrak

    petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari

    terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan LC50 paling kecil?

    2. Keaslian penelitian

    Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti uji

    toksitas akut ekstrak kulit batang pulasari dengan metode BST belum pernah

    dilakukan.

    3. Manfaat penelitian

    a. Manfaat teoritis, yaitu dapat memberikan informasi tentang

    toksisitas akut ekstrak kulit batang pulasari.

    b. Manfaat praktis, yaitu dapat memberikan informasi tentang

    kemungkinan pengobatan alternatif kanker menggunakan kulit batang

    pulasari.

    B. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan umum

    Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menjajaki kemungkinan

    potensi kulit batang pulasari sebagai obat antikanker.

    2. Tujuan khusus

    Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak

    kulit batang pulasari dan mengetahui ekstrak yang paling toksik diantara ekstrak

    petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak air kulit batang pulasari terhadap

    larva artemia.

  • 5

    BAB II

    PENELAAHAN PUSTAKA

    A. Tumbuhan Pulasari

    1. Keterangan botani

    Tumbuhan pulasari (Alyxia stellata Auct.) termasuk dalam famili

    apocynaceae. Dikenal dengan nama lain Alyxia reinwardtii BL. Dikenal di

    beberapa daerah dengan nama: akar mempelas hari, empelas hari, mempelas hari,

    palasari, pulasari (Sumatra), talatari (Aceh), arey palasari, arey pulasari, palasari,

    pulasari, das plasare (Madura), adas pulasari (Jakarta), pulasari (Bali), pulasari,

    calpari (Makasar), calapari (Bugis), balasari (Buton) dan purasane

    (Ambon)(Anonim, 2010c).

    Tumbuhan pulasari ini berupa semak yang menanjak atau merambat,

    tinggi 5 m sampai 10 m, dalam keadaan subur, batang utama dapat sebesar lengan

    dan menjalar ditanah, dari batang utama timbul cabang-cabang sebesar ibu jari.

    Cabang-cabang utama tidak berdaun, hanya dibagian atas terdapat daun-daun

    yang terpusar 3 sampai 4 helai bersama-sama; helai daun berbentuk gelondong

    atau lonjong dengan pangkal daun dan ujung daun meruncing, lebar daun 1 cm

    sampai 2,5 cm dan panjang daun 3 cm sampai 10 cm, tangkai daun tebal dan

    panjang 0,5 cm sampai 1 cm; penulangan daun menyirip dnga banyak cabang-

    cabang, helai daun tipis. Perbungaan malai terdapat pada ketiak daun satu atau

    berpasangan, panjang tangkai (gagang) malai 4 mm sampai 6 mm dan berbunga 3

    sampai 6 buah; bunga kecil, warna putih, berkelipatan lima; kelopak terbagi

  • 6

    dalam bagian-bagian kelopak berbentuk bundar telur dan sempit; mahkota

    berbentuk corong dan berwarna putih (Anonim, 2010b).

    2. Kandungan kimia

    Kulit batang pulasari mengandung kumarin, tanin, alkaloid, saponin,

    minyak atsiri dan polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1981).

    3. Khasiat

    Kulit batang pulasari sering digunakan untuk mengobati beberapa

    keluhan penyakit, digunakan sebagai bahan tunggal maupun campuran dalam

    bentuk ramuan jamu. Secara empirik pulasari digunakan antara lain untuk obat

    disentri, sariawanan, merangsang nafsu makan, obat batuk, obat mulas, obat

    kencing nanah, untuk mengobati demam pada anak-anak, obat kejang usus, darah

    yang tidak berhenti keluar, obat radang lambung, mengatasi haid tidak teratur,

    keputihan dan kanker (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1981).

    B. Artemia

    Artemia (Artemia salina L.) adalah udang yang termasuk dalam famili

    Artemiidae, merupakan udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai

    zooplankton, yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi.

    Artemia dapat digunakan di laboratorium bioassay untuk menentukan toksisitas

    dengan perhitungan konsentrasi yang menimbulkan 50% anggota populasi hewan

    uji mati (LC50), yang telah dilaporkan untuk racun dan ekstrak tanaman

    (Mudjiman, 1989).

  • 7

    1. Morfologi

    a. Telur

    Istilah untuk telur artemia adalah siste, yaitu telur yang telah

    berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh

    cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi

    embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan

    mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi

    keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

    b. Larva

    Apabila siste artemia direndam dalam air laut bersuhu 25ºC, maka akan

    menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah larva

    yang juga dikenal dengan istilah nauplius (gambar 1). Dalam perkembangan

    selanjutnya, larva akan mengalami 15 kali perubahan bentuk atau

    metamorphosis. Setiap kali larva mengalami perubahan bentuk merupakan

    satu tingkatan. Larva tingkat I dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar

    II, tingkat III dinamakan instar III, demikian seterusnya sampai instar XV.

    Setelah itu berubahlah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).

  • 8

    Gambar 1. Larva artemia ( Mudjiman, 1989)

    Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I (gambar

    2). Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan

    cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota

    badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenule atau antena I) dan

    sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian sungut besar terdapat

    sepasang mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian ventral

    (perut) terdapat labrum (Mudjiman, 1989).

    Gambar 2. Perubahan bentuk artemia (Mudjiman, 1989)

    Sekitar 24 jam setelah menetas, larva akan berubah menjadi instar II

    (gambar 2). Pada tingkatan instar II, larva udah mulai mempunyai mulut,

    saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu, mereka mulai mencari

    makanan. Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai

    habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerakkan

    antena II-nya. Selain itu, untuk mengumpulkan mengumpulkan makanan,

    antena II terebut juga berguna untuk bergerak (Mudjiman, 1989).

  • 9

    Pada tingkatan selanjutnya mulai terbentuk sepasang mata majemuk,

    selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunus kakinya. Setelah menjadi

    instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah

    masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).

    Gambar 3. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa ( Mudjiman, 1989)

    c. Artemia dewasa

    Artemia dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang

    kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap

    sebanyak 11 pasang yang secara khusus torakopoda (gambar 3). Baik pada

    yang jantan maupun yang betina, antena I-nya (antenula) tetap saja sebagai

    sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Pada artemia jantan antena II

    berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya

    untuk berpegangan pada betina waktu menjelang perkawinan. Pada betina,

    antenna II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat

  • 10

    peraba. Di belakang kaki torakopoda yang jantan terdapat sepasang alat

    kelamin luarnya (penis), sedangkan pada yang betina terdapat sepasang

    indung telur (ovarium) yang terletak disebelah kanan dan kiri saluran

    pencernaan (gambar 4)(Mudjiman, 1989).

    Gambar 4. Artemia dewasa jantan dan betina (Mudjiman, 1989)

    2. Lingkungan hidup artemia

    a. Suhu

    Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6ºC atau

    lebih dari 35ºC, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat

    hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara

    25ºC-30ºC (Mudjiman, 1989).

    b. Kadar garam

    Perkembangan artemia yang membutuhkan kadar garam yang tinggi

    sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya tidak dapat hidup

    lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa ganguan. Untuk pertumbuhan

    telur, ternyata dibutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada

  • 11

    suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk tiap jenis artemia (Mudjiman,

    1989).

    Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia

    dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium

    dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut adalah 28, maka artemia

    masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).

    c. Oksigen terlarut

    Artemia dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar

    oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen (Mudjiman,

    1989).

    d. pH

    Pengaruh pH terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum

    jelas namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Apabila pH untuk

    penetasan kurang dari 8, maka efisiensi penetasan akan menurun (Mudjiman,

    1989).

    3. Cara penetasan telur

    Telur artemia dapat ditetaskan dalam air laut biasa (kadar garam 30

    per- mil). Untuk mencapai hasil penetasan yang baik diperlukan air berkadar

    garam 5 permil, yang dibuat dengan cara pengenceran air laut biasa dengan air

    tawar. Agar pH air laut yang diencerkan tidak turun namun tetap antara 8-9

    maka perlu ditambahkan natrium hidrokarbonat sebanyak 2g/l. Selain itu,

    dapat juga digunakan air laut buatan yang berkadar garam 5 permil

    (Mudjiman, 1989).

  • 12

    Terjadinya pemecahan cangkang telur dibantu oleh kegiatan enzim,

    yaitu enzim penetasan. Enzim ini berkerja pada pH > 8 (antara 8-9). Suhu air

    selama penetasan hendaknya tetap, yaitu berkisar antara 25ºC-30ºC. Kadar

    oksigennya harus lebih dari 2mg/l. Untuk itu air perlu diaerasi (diberi udara/

    oksigen). Sebagai sumber udara dapat digunakan penghembus udara (blower)

    atau aerator, yaitu pompa udara untuk aquarium (Mudjiman, 1989).

    4. Penggunaan artemia pada metode BST

    Artemia secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas

    farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia juga merupakan hewan uji yang

    digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institude

    (NCI), Amerika Serikat. Uji BST dengan hewan uji artemia dapat digunakan

    untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat

    sebagai antitumor karena uji ini mempunyai kolerasi yang positif dengan

    potensinya sebagai antitumor maupun fisiologis aktif tertentu (Anderson,

    Goets, dan Laughlin, 1991).

    Penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor

    maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu

    menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik

    berupa ekstrak tanaman, atas aksinya sebagai antitumor secara lebih cepat

    dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksik yang umum, misalnya

    dengan biakan sel tumor. Melihat adanya potensi sebagai antitumor tersebut,

    maka penelitian lanjutan dapat dilakukan, yaitu dengan mengisolasi senyawa

    berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring

  • 13

    aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai

    antitumor (Meyer, et al., 1982).

    Artemia salina digunakan sebagai hewan uji karena memiliki

    kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

    polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organisme

    yang memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase, sehingga

    senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut dapat

    terdeteksi (Solis, et al., 1993).

    DNA-dependent RNA polymerase merupakan DNA yang

    mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA

    polymerase. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah

    dan mengkaitkannya dengan bersama-sama nukleotida RNA pada saat

    nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan basa di sepanjang cetakan

    DNA. Eukariotik mempunyai 3 macam RNA polymerase, yaitu mRNA

    (messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke

    ribosom, tRNA (transfer RNA) yang berfungsi untuk menterjemahkan kodon

    dan mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan

    mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal RNA) yang bersamaan

    dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerase tersebut dihambat,

    maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk

    sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama

    semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon,

    immunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi

  • 14

    otot, dan lainnya (Nuswantari, 1998). Jika protein tidak terbentuk,

    metabolisme sel dapat terggangu, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan

    kematian sel.

    Artemia juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ dan K+ dependent

    ATPase. Na+ dan K+ dependent ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis

    hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan

    3Na+ dari sel dan mengambil 2K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP

    dihidrolisis. Na+ K+ ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas

    enzim ini dihambat oleh ouabaine. Adanya ouabaine menyebabkan

    keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap terjaga (homeostatis). Selain itu,

    sekarang ini ouabaine juga digunakan untuk terapi jantung. Di dalam jantung,

    Na+ K+ ATPase secara tak langsung mempengaruhi transport Ca2+ karena Na+

    ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+ intrasel. Jika kerja Na+ K+ ATPase

    dihambat, maka lebih sedikit Ca2+ intrasel dikeluarkan dan Ca2+ intrasel

    meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995).

    Gambar 5. Mekanisme kerja NA+ dan K+ ATPase (Michael, 2007)

  • 15

    Jika suatu senyawa bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini

    pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa tersebut

    bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis, et al.,

    1993).

    Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah

    kesederhanan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil

    sudah dapat menimbulkan aktivitas biologis (Meyer, et al., 1982).

    C. Toksisitas Akut

    Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk

    menimbulkan kerusakan (Katzung, 1987). Uji toksisitas akut merupakan uji

    dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji

    ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji

    tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut

    yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat

    pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut

    berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan organ

    (Loomis, 1978).

    Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan

    terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan persentase kematian.

    Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang

    dinyatakan dengan LD50 (median lethal dose) atau LC50 (median lethal

    consentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai

  • 16

    dengan lamanya pengamatan. Bila lama pengamatan tidak ditunjukkan, maka

    dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).

    Parameter yang digunakan untuk menunjukan adanya aktivitas biologis

    suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian. Keuntungan penggunaan

    artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu yang

    relatif singkat dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi

    (Meyer et al., 1982).

    D. Brine Shrimp Lethality Test (BST)

    Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal

    aktifitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia

    salina (artemia) selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini

    dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada

    uji sitotoksik karena ada kaitannya antara uji tosiksitas akut dengan uji sitotoksik

    jika harga LC50 dari uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000 µg/ml. Parameter

    yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada

    artemia adalah kematian (Meyer et al., 1982).

    Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga

    LC50. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian

    larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50. Apabila

    harga LC50

  • 17

    dapat dilanjutkan dengan pengujian antikanker menggunakan biakan sel kanker.

    Cara ini akan menghemat waktu dan biaya penelitian (Meyer et al., 1982).

    E. Kanker

    Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan cirri gangguan atau

    kegagalan mekanis pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada

    organism multiseluler (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995). Sel-sel kanker akan terus

    membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti

    hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya

    (invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis). Selain itu sel kanker

    juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruksif/merusak sel lainnya (Schunack,

    Mayer dan Haake, 1990).

    Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah :

    1. Inisiasi, yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berkaitan

    secara kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi

    pada DNA.

    2. Promosi, yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi

    seluler (ekspresi gen dan fungsi reseptor) serta pertumbuhan neoplasma

    (sel yang pertumbuhannya tidak normal)

    3. Progresif, yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor

    menjadi ganas (kanker) dengan invasi dan metastasis.

  • 18

    Pada organisme eukariotik, terdapat empat fase dalam siklus sel, yaitu :

    a. Fase Gap (G1) atau fase pascamitosis merupakan fase awal di mana terjadi

    sintesis asam ribonukleat dan protein.

    b. Fase Sintesis (S) dimana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga

    dihasilkan dua set komplit DNA.

    c. Fase Gap (G2) atau fase pramitosis merupakan fase persiapan untuk

    memasuki fase mitosis.

    d. Fase Mitosis (M) merupakan fase dimana material inti diturunkan identik

    kepada sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan

    dihasilkan dua sel anakan.

    Untuk selanjutnya sel dapat memasuki fase G0 dan dapat juga masuk

    kembali ke fase G1. Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent

    kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki

    daur sel kembali, sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk

    inhibitor akan memacu sel untuk memasuki fase istirahat (G0). Pada sel kanker,

    tidak terdapat p53 atau jumlah p53 kurang (antara lain karena terjadinya mutasi

    p53), sehingga sel kanker tidak dapat memasuki fase G0 dan sel tersebut akan

    memasuki siklus sel dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan

    terus membelah (Schunack et al., 1990).

  • 19

    Gambar 6. Siklus sel ( Michael, 2007)

    Karsinogenik dapat merangsang pembentuk kanker. Beberapa

    karsinogen yang diduga dapat menaikan resiko terjadinya kanker antara lain

    senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi

    agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha,2003).

    F. Penyarian

    Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus

    dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif

    yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa

    lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif

    berkhasiat yang diinginkan (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

    Republik Indonesia, 1985).

  • 20

    Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

    simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

    matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk

    (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985).

    Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

    dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam penyari. Penyari akan

    menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat

    aktif. Zat aktif akan larut karena adanya beda konsentrasi antara larutan di dalam

    dan di luar sel. Larutan yang lebih pekat akan terdesak keluar. Peristiwa ini

    berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di

    luar sel (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986 ).

    G. Alkaloid

    Alkaloid adalah senyawa basa nitrogen yang terdapat dalam tumbuhan.

    Kebanyakan alkaloid menunjukkan aktivitas fisiologis tertentu sehingga metabolit

    sekunder ini banyak digunakan sebagai obat. Pada umumnya alkaloid

    mengandung satu atom nitrogen, akan tetapi beberapa alkaloid (ergometrina,

    fisostigmina, kafeina) mempunyai lebih dari satu nitrogen dalam molekulnya.

    Atom nitrogen dapat sebagai amin primer maupun amin sekunder (Mursyidi,

    1990).

    Kebanyakan alkaloid berupa zat padat, rasa pahit dan sukar larut dalam

    air, tetapi mudah larut dalam kloroform, eter dan pelarut organik lain yang relatif

    non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya, garam alkaloid larut dalam

    air, tetapi tak larut dalam pelarut organik (Mursyidi, 1990).

  • 21

    Peran alkaloid bagi tumbuhan penghasil, antara lain sebagai zat racun

    yang melindungi tumbuhan dari gangguan serangga dan hewan, produk akhir

    reaksi detoksifikasi hasil metabolisme, faktor pengatur pertumbuhan dan

    persediaan unsur nitrogen yang mungkin diperlukan bagi pertumbuhan (Mursyidi,

    1990).

    H. Landasan Teori

    Kulit batang pulasari mengandung beberapa jenis senyawa, diantaranya

    golongan alkaloid. Smets (2001) menyatakan bahwa alkaloid yang berasal dari

    tanaman vinca dan colchicine memiliki mekanisme sitotoksik dengan berperan

    sebagai tubulin inhibitor.

    Menurut Mursyidi (1990), alkaloid sukar larut dalam air tetapi larut dalam

    pelarut organik yang relatif non polar dan tidak campur dengan air. Sebaliknya,

    dalam bentuk garam alkaloid larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik.

    Ekstraksi terhadap kulit batang pulasari dilakukan menggunakan pelarut

    petroleum eter, etil asetat dan air yang dipilih berdasarkan perbedaan sifat

    kepolarannya. Petroleum eter merupakan senyawa organik dan bersifat non polar

    yang berfungsi menyari senyawa-senyawa yang bersifat non polar. Etil asetat

    merupakan senyawa organik dan bersifat kurang polar dibandingkan air dapat

    pula disebut bersifat semi polar. Diharapkan etil asetat berfungsi menyari

    senyawa-senyawa yang bersifat semi polar. Air merupakan pelarut yang paling

    polar dibandingkan kedua pelarut. Diharapkan senyawa-senyawa yang bersifat

    polar akan terlarut ke dalam pelarut air.

  • 22

    I. Hipotesis

    Terjadi perbedaan toksisitas antara ekstrak petroleum eter, ekstrak etil

    asetat dan ekstrak air dari kulit batang pulasari yang dapat ditunjukan dengan

    metode BST.

  • 23

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Jenis Rancangan Penelitian

    Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan menggunakan

    rancangan penelitian sederhana (post test only control group design).

    B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

    1. Variabel penelitian

    Variabel- variabel dalam penelitian ini adalah :

    a. Variabel bebas :

    Konsentrasi dari ekstrak kulit batang pulasari.

    b. Variabel tergantung :

    % kematian larva artemia.

    c. Variabel terkontrol :

    1. Faktor lingkungan percobaan, yaitu sinar lampu 5 Watt, suhu

    penetasan, yaitu 25º C-30ºC, pH air laut buatan, yaitu 8-9, dan

    kadar garam 5 permil.

    2. Faktor hewan uji yaitu umur larva artemia (48 jam).

    2. Definisi operasional

    a. Ekstrak air kulit batang pulasari diperoleh dengan cara maserasi serbuk

    kulit batang pulasari dengan pelarut aquadest menggunakan mesin

    pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24 jam lalu

    disaring dengan kertas saring.

  • 24

    b. Ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari diperoleh dengan cara

    maserasi serbuk kulit batang pulasari dengan pelarut petroleum eter

    menggunakan mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)

    selama 24 jam lalu disaring dengan kertas.

    c. Ekstrak etil asetat kulit batang pulasari diperoleh dengan cara maserasi

    serbuk kulit batang pulasari dengan pelarut etil asetat menggunakan

    mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24

    jam lalu disaring dengan kertas.

    d. Lethal Contrentation-50 (LC50) adalah kadar ekstrak kulit batang

    pulasari yang menyebabkan kematian 50% artemia pada pejanan

    selama 24 jam.

    e. Larva artemia merupakan larva usia 48 jam setelah penetasan telur

    artemia.

    C. Alat

    Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat

    gelas (Pyrex), termometer, blender, mikropipet (Socorex ISBA S.A), timbangan

    analitik, flakon, aquarium khusus BST, flakon, aerator, lampu penerang, pipet

    Pasteur, vaccum rotary evaporator (Janke & Kunkel), dan oven

  • 25

    D. Bahan

    a. Bahan utama

    Kulit batang pulasari kering diperoleh dari PT. Merapi Farma Herbal,

    Jl. Cangkringan, km 2 Dhuri, Tirtomartani, Kalasan, Yogyakarta.

    b. Bahan untuk ekstraksi

    Bahan yang digunakan untuk penyarian yaitu untuk ekstrak air kulit

    batang pulasari digunakan aquadest yang diperoleh dari Laboratorium

    Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, untuk

    ekstrak petroleum eter di peroleh dari PT. Brata Chem, untuk ekstrak etil

    asetat di peroleh dari PT. Brata Chem.

    c. Bahan untuk BST

    Bahan yang digunakan untuk uji BST antara lain telur Artemia salina

    leach (Brine Shrimp Egg, Ocean Star International Inc.), air laut buatan

    berkadar garam 5 per mil, ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari, ekstrak

    etil asetat kulit batang pulasari, ekstrak air kulit batang pulasari dan ragi

    Saccharomyces cerevisae.

    d. Bahan untuk air laut buatan

    Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan

    berderajad teknis, yaitu natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium

    klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat, serta

    aquadest, aquadest bebas karbon dioksida dan aquadest panas.

  • 26

    E. Tata Cara Penelitian

    1. Pengumpulan simplisia

    Simplisia yang digunakan berupa kulit batang pulasari kering yang

    didapat dari PT. Merapi Farma.

    2. Pembuatan serbuk kulit batang pulasari

    Kulit batang pulasari dipotong kecil-kecil dengan ukuran kurang lebih

    sama kemudian diblender hingga diperoleh ukuran yang lebih kecil. Setelah itu

    serbuk diayak menggunakan ayakan tepung. Serbuk diayak sampai sehingga

    diperoleh serbuk halus.

    3. Maserasi

    a. Pembuatan ekstrak petroleum eter

    Serbuk halus kulit batang pulasari ditimbang sebanyak 100 g dan

    dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam

    petroleum eter sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu

    diletakan dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)

    selama 24 jam lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung

    dalam suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml

    petroleum eter menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian

    disaring dengan kertas saring. Maserat kemudian digabung dengan maserat

    hasil maserasi 24 jam pertama, sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat

    hasil penyaringan jernih. Seluruh filtat hasil remaserasi digabung dan diuapkan

    pelarutnya dengan vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.

  • 27

    Ekstrak kental yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh

    ektrak kering.

    b. Pembuatan etil asetat

    Ampas hasil maserasi dikeringkan dari petroleum eter kemudian

    dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam

    kloroform sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu

    diletakan dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm)

    selama 24 jam lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung

    dalam suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml

    kloroform menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian disaring

    dengan kertas saring. Maserat kemudian digabung dengan maserat hasil

    maserasi 24 jam pertama, sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat hasil

    penyaringan jernih. Seluruh filtrat hasil remaserasi digabung dan diuapkan

    pelarutnya dengan vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental.

    Ekstrak kental yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh

    ektrak kering.

    c. Pembuatan ekstrak air

    Ampas hasil maserasi dikeringkan dari kloroform kemudian

    dimasukan dalam bejana tertutup dan dimaserasi dengan direndam dalam air

    sebanyak 750 ml. Bejana kemudian dilapisi alumunium foil lalu diletakan

    dalam mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24 jam

    lalu disaring dengan kertas. Maserat disimpan dan ditampung dalam suhu

    kamar, sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 750 ml air menggunakan

  • 28

    shaker 130 rpm selama 24 jam kemudian disaring dengan kertas saring.

    Maserat kemudian digabung dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama,

    sedangkan ampas dimaserasi lagi sampai filtrat hasil penyaringan jernih.

    Seluruh filtat hasil remaserasi digabung dan diuapkan pelarutnya dengan

    vaccum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental

    yang didapat diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh ektrak kering.

    4. Pembuatan air laut buatan

    Bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar

    garam 5 per mil yaitu 5 g natrium klorida; 1,3 g magnesium sulfat; 1 g

    magnesium klorida; 0,3 g kalsium klorida; 0,2 g kalium klorida; dan 2 g

    natrium bikarbonat dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan-bahan sebagian

    dilarutkan dalam sebagian aquadest dalam labu takar 1 liter. Khusus untuk

    magnesium sulfat dilarutkan dalam air panas, sedangkan natrium bikarbonat

    dilarutkan dengan air bebas karbon dioksida. Lalu ditambah aquadest sampai

    volume 1 liter (Mudjiman, 1989).

    Tabel I. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan

    No Bahan Jumlah (g) 1 NaCl 5,0 2 MgSO4 1,3 3 MgCl2 1,0 4 CaCl2 0,3 5 KCl 0,2 6 NaHCO3 2,0 7 Aquadest Sampai 1 liter

    (Mudjiman, 1989).

    Bahan-bahan tersebut ditimbang, lalu dilarutkan dalam sebagian

    aquadest pada labu takar 1 liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan

  • 29

    dengan menggunakan air panas dan natrium klorida dilarutkan dalam air bebas

    karbon dioksida, kemudian ditambahkan aquadest sampai volume tepat 1 liter.

    Air laut buatan berkadar garam 5 per mil dan pH antara 7,3-8,4 merupakan

    media hidup yang sesuai untuk larva artemia.

    5. Penetasan siste artemia

    Tempat penetasan siste artemia berupa aquarium dengan kaca gelap

    yang terbagi menjadi dua bagian dengan suatu sekat berlubang pada bagian

    bawahnya. Salah satu bagian adalah area yang terang, sedangkan bagian lain

    adalah area yang gelap tempat siste artemia ditaburkan. Suhu penetasan

    berkisar antara 25ºC-30ºC, pH antara 7,3-8,4. Air laut buatan dengan kadar

    garam 5 permil diaerasi selama 1 jam. Air laut buatan dimasukan dalam

    aquarium khusus BST. Kemudian siste artemia ditaburkan di area gelap secara

    merata dan diberi penerangan. Setelah 24 jam, siste akan menetas menjadi

    nauplius yang aktif bergerak menuju ke tempat terang. Larva yang akan

    digunakan adalah larva yang telah berumur 48 jam

    Setelah siste artemia menetas, pada aquarium harus ditambahkan lagi

    air laut buatan yang telah diaerasi selama 1 jam agar larva artemia yang baru

    menetas tidak kekurangan aquadest dan oksigen.

    6. Pelaksanaan uji BST

    a. Ekstrak petroleum eter dibuat seri konsentrasi 1000, 1400, 1960, 2744, dan

    3841 μg/ml. Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu,

    dilakukan pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu petroleum eter

    dengan jumlah yang sama dengan jumlah ekstrak petroleum eter yang

  • 30

    ditambahkan dalam tiap-tiap flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk

    masing-masing seri konsentrasi.

    b. Ekstrak etil asetat dibuat seri konsentrasi 200, 280, 392, 549, dan 796

    μg/ml. Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu, dilakukan

    pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu etil asetat dengan jumlah yang

    sama dengan jumlah ekstrak etil asetat yang ditambahkan dalam tiap-tiap

    flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk masing-masing seri konsentrasi.

    c. Ekstrak air dibuat seri konsentrasi 100, 200, 400, 800, dan 1600 μg/ml.

    Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu, dilakukan

    pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu petroleum eter dengan jumlah

    yang sama dengan jumlah ekstrak petroleum eter yang ditambahkan dalam

    tiap-tiap flakon. Dilakukan lima kali replikasi untuk masing-masing seri

    konsentrasi.

    7. Pembuatan larutan sampel

    a. Pembuatan larutan A dan larutan B

    Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan

    menimbang 100,0 mg ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari kemudian

    dilarutkan dalam petroleum eter sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi

    1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan

    dalam petroleum eter sampai 10,0 ml.

    b. Pembuatan larutan sampel ekstrak petroleum eter

    Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi ekstrak 1000, 1400, 1960, 2744,

    dan 3841 μg/ml.

  • 31

    Tabel 2. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak petroleum eter

    Konsentrasi larutan stok

    (C1) (μg/ml)

    Volume larutan stok yang diambil

    (V1) (ml)

    Volume air laut buatan yang ditambahkan

    (V2) (ml)

    Konsentrasi larutan sampel yang diujikan

    (C2) (μg/ml)

    10000

    0,5 5 1000 0,7 5 1400

    0,98 5 1960 1,3 5 2744

    1,92 5 3842 c. Pembuatan larutan C dan larutan D

    Larutan C dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan

    menimbang 100,0 mg ekstrak etil asetat batang pulasari kemudian dilarutkan

    dalam etil asetat sampai 10,0 ml. Larutan D dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat

    dengan mengambil 1,0 ml dari larutan C kemudian dilarutkan dalam etil asetat

    sampai 10,0 ml.

    d. Pembuatan larutan sampel ekstrak etil asetat

    Dari larutan D, dibuat seri konsentrasi ekstrak 200, 280, 392, 549, dan

    796 μg/ml.

    Tabel 3. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etil asetat

    Konsentrasi larutan stok

    (C1) (μg/ml)

    Volume larutan stok yang diambil

    (V1) (ml)

    Volume air laut buatan yang ditambahkan

    (V2) (ml)

    Konsentrasi larutan sampel yang diujikan

    (C2) (μg/ml)

    1000 1 5 200

    1,4 5 280

    10000 0,196 5 392 0,275 5 549 0,384 5 768

  • 32

    e. Pembuatan larutan E dan larutan F

    Larutan E dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan

    menimbang 100,0 mg ekstrak air batang pulasari kemudian dilarutkan dalam

    aquadest sampai 10,0 ml. Larutan F dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan

    mengambil 1,0 ml dari larutan E kemudian dilarutkan dalam aquadest sampai

    10,0 ml.

    f. Pembuatan larutan sampel ekstrak air

    Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi ekstrak 100, 200, 400, 800, dan

    1600 μg/ml.

    Tabel 4. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak air

    Konsentrasi larutan stok

    (C1) (μg/ml)

    Volume larutan stok yang diambil

    (V1) (ml)

    Volume air laut buatan yang ditambahkan

    (V2) (ml)

    Konsentrasi larutan sampel yang diujikan

    (C2) (μg/ml)

    1000 0,5 5 100 1,5 5 200

    10000 0,2 5 400 0,4 5 800 0,8 5 1600

    8. Uji toksisitas akut dengan BST

    Sepuluh ekor larva artemia yang telah berumur 48 jam diambil,

    dimasukkan dalam flakon yang berisi sampel dengan konsentrasi tertentu yang

    sebelumnya telah dikeringanginkan, kemudian ditambahkan air laut buatan

    sebanyak 3 ml. Lalu ditambah 1 tetes suspensi ragi (3mg ragi dalam 5ml ALB)

    sebagai makanan dan air laut buatan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu

    disertai dengan kontrol dan tiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi.

    Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva

  • 33

    yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk

    mengetahui harga LC50 (Meyer, et al., 1982).

    F. Analisis Data

    Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis

    menggunakan analis probit untuk menghitung LC50. Perhitungan statistik

    dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS.

    % kematiaan ditentukan dengan rumus Abbot :

    % Kematian = % �������� ���� ��� ����% �������� ���� �������

    ���� % �������� ���� ������� x 100%

  • 34

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan

    Kulit batang pulasari kering diperoleh dari PT. Merapi Farma Herbal.

    Kulit batang pulasari yang digunakan berwarna coklat muda dengan ukuran 3

    sampai dengan 5 cm, tebal 0,2 sampai dengan 0,5 cm dan bebas dari jamur.

    Pemilihan ini bertujuan agar kulit batang pulasari yang digunakan memiliki umur

    yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna

    (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985).

    Kulit batang pulasari kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari

    secara tidak langsung dengan ditutup menggunakan kain hitam agar senyawa aktif

    yang terdapat didalamnya tidak rusak oleh sinar matahari langsung. Pengeringan

    bertujuan untuk mempermudah pembuatan serbuk, menurunkan kadar air

    sehingga tidak ditumbuhi jamur, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik

    sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta

    perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang

    terkandung dalam kulit batang pulasari tidak hilang terurai (Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

    Pengeringan dapat dihentikan jika kadar air yang terkandung dalam

    simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan

    senyawa aktif sudah tidak berlangsung (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

    Makanan Republik Indonesia, 1985). Untuk mengetahui kapan proses

    pengeringan dihentikan juga dapat dilakukan dengan mematahkan kulit batang

  • 35

    pulasari sampai patah. Jika kadar air dalam kulit batang masih tinggi, maka kulit

    batang tersebut masih lembab dan tidak mudah dipatahkan.

    B. Pembuatan Serbuk Kulit Batang Pulasari

    Simplisia yang telah kering kemudian diserbuk menggunakan blender.

    Pembuatan serbuk ini bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak

    dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses

    penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna

    (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Dalam penelitian ini,

    digunakan metode maserasi dengan pengadukan terus menerus menggunakan

    shaker sehingga semakin halus serbuk kulit batang pulasari maka semakin baik

    penyariannya. Oleh karena itu, masing-masing simplisia perlu ditetapkan derajat

    halus yang paling tepat untuk memperoleh hasil penyarian yang baik. Pada

    penelitian ini digunakan pengayak dengan no mesh 11 yang artinya dalam 1 inci

    tercapat 11 lubang. Pengayak ini digunakan karena dihasilkan serbuk yang dapat

    digunakan pada metode maserasi dengan pengadukan, di mana proses penyarian

    berjalan dengan baik.

    C. Maserasi

    Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula

    berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari

    terdapat zat aktif. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan

    merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Penyarian dengan cara maserasi

    perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk

  • 36

    simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan

    konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar

    sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk

    memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

    Maserasi dilakukan dengan memasukkan ke dalam bejana 10 bagian

    simplisia dengan derajat halus yang cocok kemudian dituangi dengan 75 bagian

    cairan penyari. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang berputar

    terus menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Departemen Kesehatan Republik

    Indonesia, 1986). Dalam penelitian ini digunakan 100 gram serbuk kulit batang

    pulasari dan 750 ml pelarut yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup

    dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan agar larutan penyari tidak menguap

    terlebih dahulu, sehingga penyarian dapat maksimal. Lalu diletakkan pada mesin

    pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 2 x 24 jam, dengan tiap

    24 jam mengganti pelarut. Penyarian dilakukan dengan laju 130 rpm. Pada

    kecepatan tersebut semua serbuk tergojog sempurna sehingga dapat diasumsikan

    sebagai putaran yang optimum. Penyarian dilakukan selama 2 x 24 jam untuk

    memastikan bahwa zat aktif yang terkandung dalam serbuk kulit batang pulasari

    sudah tersari dengan sempurna.

    1. Pembuatan ekstrak petroleum eter

    Pada maserasi menggunakan pelarut petroleum eter didapatkan

    maserat sebanyak 1200 ml. Untuk mendapatkan ekstrak petroleum eter kering

    maka pelarut diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator hingga kental

  • 37

    (± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath dengan suhu 60° C

    menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah ditara. Vaccum rotary

    evaporator digunakan karena dengan alat ini tekanan dapat diatur (180 mmHg

    untuk petroleum eter), sehingga hanya petroleum eter saja yang menguap,

    senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak ikut

    menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas

    waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang

    terdapat didalamnya rusak.

    Dari penyarian ini didapatkan 2,27 g ekstrak kering dengan rendemen

    sebesar 2,27%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan

    aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada

    air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan

    senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya

    bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih

    tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

    2. Pembuatan ekstrak etil asetat

    Ampas hasil maserasi dikeringkan dari petroleum eter dengan

    menggunakan oven pada suhu 60° C, pengeringan ini dilakukan untuk

    menghilangkan sisa petroleum eter sehingga dapat dilanjutkan dengan

    maserasi menggunakan pelarut etil asetat. Pada maserasi menggunakan pelarut

    etil asetat didapatkan maserat sebanyak 1100 ml. Untuk mendapatkan ekstrak

    etil asetat kering maka pelarut diuapkan menggunakan vaccum rotary

    evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath

  • 38

    dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah

    ditara. Vaccum rotary evaporator digunakan karena dengan alat ini tekanan

    dapat diatur (240 mmHg untuk etil asetat), sehingga hanya etil asetat saja yang

    menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak

    ikut menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas

    waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang

    terdapat didalamnya rusak.

    Dari penyarian ini didapatkan 1,75 g ekstrak kering dengan rendemen

    sebesar 1,75%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan

    aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada

    air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan

    senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya

    bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih

    tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

    3. Pembuatan ekstrak air

    Ampas hasil maserasi dikeringkan dari etil asetat dengan mengunakan

    oven pada suhu 60° C, pengeringan ini dilakukan untuk menghilangkan sisa

    etil asetat sehingga dapat dilanjutkan dengan maserasi menggunakan pelarut

    air. Pada maserasi menggunakan pelarut air didapatkan maserat sebanyak

    1130 ml. Untuk mendapatkan ekstrak air kering maka pelarut diuapkan

    menggunakan vaccum rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian

    dipekatkan di waterbath dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen

    yang sebelumnya telah ditara. Vaccum rotary evaporator digunakan karena

  • 39

    dengan alat ini tekanan dapat diatur (75 mmHg untuk etil asetat), sehingga air

    saja yang menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak

    diharapkan tidak ikut menguap. Suhu 60° C merupakan suhu optimal untuk

    penguapan di atas waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan

    senyawa aktif yang terdapat didalamnya rusak.

    Dari penyarian ini didapatkan 1,93 g ekstrak kering dengan rendemen

    sebesar 1,93%. Cawan porselen yang berisi ekstrak kemudian ditutup dengan

    aluminium foil lalu dimasukkan dalam desikator. Dalam desikator tidak ada

    air dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan

    senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya

    bakteri atau jamur. Selain itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih

    tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

    D. Pembuatan Air Laut Buatan

    Pembuatan ALB bertujuan untuk menyesuaikan lingkungan hidup

    artemia sehingga hampir sama dengan air laut alami. Untuk membuat ALB

    diperlukan natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium

    klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat. Semua bahan dilarutkan dengan

    aquadest kecuali natrium bikarbonat yang dilarutkan dengan air bebas

    karbondioksida dan magnesium sulfat yang dilarutkan dalam aquadest panas agar

    lebih mudah larut. Penetasan siste sangat dipengaruhi oleh pH karena pemecahan

    cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH

  • 40

    antara 8 sampai 9. Larutan natrium bikarbonat dalam air bebas karbondioksida

    dicampurkan terakhir agar tidak terjadi kekeruhan.

    Jika semua bahan telah larut, larutan tersebut kemudian dipindahkan

    dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan aquadest sampai tanda. Setelah itu,

    labu digojog hingga larutan tercampur.

    Air laut buatan yang dibuat memiliki kadar garam 5 per mil yang artinya

    dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg natrium klorida. Diperlukan kadar 5 per

    mil karena pada kadar tersebut, siste artemia menetas secara optimal (Mujiman,

    1989). Peningkatan kadar garam yang mendadak dari 5 permil menjadi 35 permil

    juga tidak akan mempengaruhi kehidupan artemia, sebab mereka mempunyai

    toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam. Bahkan dapat lebih dari 35

    permil, misalnya sampai 140 permil. Hal ini disebabkan karena artemia

    mempunyai kelenjar garam, yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap

    perubahan kadar garam. Dalam penelitian ini tidak diperlukan air laut berkadar

    garam tinggi karena kondisi penelitian sudah dikendalikan (tidak ada pemangsa

    artemia).

    E. Penetasan Siste Artemia

    Air laut buatan yang akan digunakan untuk menetaskan siste diaerasi

    dahulu selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup

    bagi kelangsungan hidup artemia. Aquarium yang digunakan adalah aquarium

    khusus BST, yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian gelap dan bagian terang,

    yang dipisahkan oleh sekat berlubang. Air laut buatan yang telah diaerasi

  • 41

    dituangkan ke dalam aquarium pada bagian sekat gelap, dengan ketinggian di atas

    sekat bagian bawah. Hal ini dilakukan agar ketika siste telah disebarkan tidak

    mengalir ke bagian terang. Siste artemia disebarkan ke bagian gelap.

    Sebelum penetasan (sebelum siste ditaburkan dalam aquarium), siste

    direndam 1 jam dalam aquadest. Perendaman ini dimaksudkan agar terjadi

    penyerapan air ke dalam siste. Siste artemia yang kering, yaitu yang menpunyai

    kadar air kurang dari 10% berisi embrio dalam keadaan diapauze, yaitu dalam

    keadaan metabolisme terhenti untuk sementara. Dengan perendaman terjadi

    penyerapan air sehingga dalam waktu satu jam kadar air dalam siste diperkirakan

    sudah mencapai lebih dari 65%, yang mengakibatkan metabolisme embrio yang

    semula berada dalam keadaan diapauze menjadi aktif kembali. Setelah direndam

    kemudian siste disaring, ditiriskan dan didiamkan selama satu jam untuk

    mengurangi sisa-sisa aquadest. Larva yang aktif akan bergerak dari tempat yang

    gelap menuju tempat yang terang (fototaksis positif).

    Setelah menetas, larva dapat bertahan hidup selama ± 2 hari tanpa diberi

    makanan. Larva yang baru menetas berwarna kemerah-merahan karena masih

    mengandung makanan cadangan. Setelah 24 jam menetas, cadangan makanan

    larva habis. Seiring dengan itu, larva mempunyai mulut, saluran pencernaan dan

    dubur. Oleh karena itu, larva mulai membutuhkan lebih banyak makanan untuk

    kelangsungan hidupnya.

    Suspensi ragi diberikan sebagai makanan larva tersebut. Sebelum dibuat,

    ragi dipanaskan terlebih dahulu dengan oven bersuhu 100° C selama 10 menit

    untuk menghindari adanya jamur dan bakteri yang dapat tumbuh pada ragi dan

  • 42

    dapat mengganggu penelitian. Hal ini penting agar kematian artemia benar-benar

    disebabkan oleh bahan uji, yaitu ekstrak kulit batang pulasari dengan berbagai

    konsentrasi, bukan karena jamur atau bakteri.

    Larva yang digunakan untuk penelitian ini adalah larva yang berumur 48

    jam karena larva berada dalam keadaan paling peka pada saat berumur 48 jam.

    Hal ini disebabkan karena pada umur 48 jam organ-organ pada artemia sudah

    terbentuk lengkap. Dengan terbentuknya mulut, artemia dapat meminum ALB

    yang sudah diberi ekstrak kulit batang pulasari dengan berbagai konsentrasi,

    sehingga kematian artemia benar-benar disebabkan karena ekstrak kulit batang

    pulasari dalam berbagai konsentrasi tersebut.

    F. Uji Toksisitas dengan Metode BST

    BST merupakan salah satu metode skrining bioaktivitas suatu ekstrak

    atau senyawa murni dengan hewan uji larva artemia. Sampel yang digunakan

    adalah ekstrak petroleum eter dengan konsentrasi 1000, 1400, 1960, 2744, dan

    3841 μg/ml, ekstrak etil asetat dengan kosentrasi 200, 280, 392, 549, dan 796

    μg/ml dan ekstrak air dengan konsentrasi 100, 200, 400, 800, dan 1600 μg/ml.

    Konsentrasi tersebut didapat setelah dilakukan orientasi dengan kadar 10, 100,

    1000 μg/ml.

    Setelah pengujian, didapatkan jumlah larva yang mati, yang kemudian

    digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Dari data

    persentase kematian ini diambil konsentrasi yang memberikan nilai persentase

    kematian larva antara 20%-80% sebagai konsentrasi terendah dan konsentrasi

  • 43

    tertinggi. Digunakan persentase kematian larva antara 20%-80% karena dengan

    persentase kematian tersebut sudah dapat memberikan kurva yang lebih linier,

    sehingga LC50 yang didapatkan pada uji BST ini lebih dapat menggambarkan hasil

    yang sebenarnya. Selanjutnya untuk mendapatkan lima seri konsentrasi dengan

    kelipatan yang sama, yang merupakan syarat probit dapat dihitung dengan rumus

    F (lampiran 3).

    Sebelum memulai uji toksisitas, semua flakon dan alat yang digunakan

    dicuci dengan sabun untuk membersihkan kotoran-kotoran yang mungkin masih

    melekat di flakon, lalu dibilas aquadest dan direndam menggunakan aquadest

    panas untuk menghilangkan sisa-sisa sabun yang mungkin masih tertinggal.

    Sebelum pencucian flakon, sejumlah 5 ml aquadest diambil menggunakan pipet

    volume, dimasukkan dalam flakon, kemudian diberi tanda. Penggunaan pipet

    volume dimaksudkan agar konsentrasi ekstrak kulit batang pulasari tepat. Tiap-

    tiap flakon ditandai setinggi 5 ml untuk memudahkan dalam penambahan ALB

    sampai 5 ml.

    Air laut buatan yang akan digunakan untuk pengujian diaerasi selama 2

    jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi

    kelangsungan hidup artemia, sehingga jika terdapat artemia yang mati bukan

    disebabkan karena kekurangan oksigen. Sebelum artemia dimasukkan dalam

    flakon, sejumlah larutan uji (ekstrak kulit batang pulasari) sesuai dengan

    konsentrasinya masing-masing dimasukkan dalam flakon yang sudah kering dan

    bersih, lalu dikeringuapkan menggunakan waterbath dengan suhu kurang dari

    60°C untuk menghindari rusaknya zat aktif. Selain larutan uji, dilakukan juga

  • 44

    pada kontrol yang berisi pelarut dengan jumlah sesuai masing-masing konsentrasi.

    Pelarut harus diuapkan agar tidak mempengaruhi kematian larva.

    Setelah pelarut menguap semua, ke dalam tiap flakon perlakuan maupun

    flakon kontrol ditambahkan ALB sebanyak 3 ml lalu divortex. Hal ini dilakukan

    untuk memastikan sampel uji terdistribusi merata ke dalam ALB. Kemudian tiap

    flakon diisi 10 larva yang diambil menggunakan pipet tetes. Larva artemia yang

    digunakan untuk uji yaitu larva yang berumur 48 jam setelah menetas. Larva yang

    berumur 48 jam dalam keadaan paling peka karena dinding selnya masih lunak

    sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang kecil untuk menimbulkan

    efek yang diamati.

    Setelah itu, ke dalam tiap flakon ditambahkan suspensi ragi sebagai

    sumber makanan. Penambahan makanan ini penting, untuk memastikan bahwa

    kematian larva bukan disebabkan karena kekurangan makanan. Meyer et al.

    (1982) memaparkan konsentrasi suspensi ragi yang digunakan, yaitu 3 mg ragi

    dilarutkan dalam 5 ml ALB.

    Tiap flakon cukup diberi satu tetes suspensi ragi, tidak boleh berlebihan.

    Hal ini disebabkan karena sebagai filter feeder (penyaring makanan), artemia

    menelan apa saja yang berukuran kecil. Artemia tidak bisa membedakan antara

    makanan dan bukan makanan. Jika pemberian makanan terlalu banyak, jumlah

    yang ditelan semakin banyak. Apabila terjadi demikian maka makanan yang

    belum sempat dicernakan akan terdesak oleh makanan baru yang terus menerus

    masuk dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, makanan itu akan keluar

    lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan baik dan belum sempat

  • 45

    diserap sarinya oleh usus. Hal ini dapat menyebabkan kematian artemia, sehingga

    jumlah kematian larva yang didapatkan bukan merupakan hasil yang sebenarnya

    Setelah itu, ke dalam masing-masing flakon di tambah ALB lagi sampai tanda

    garis 5 ml. Flakon-flakon tadi diletakkan dekat lampu, dalam kardus yang ditutupi

    kain strimin dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Ditutup kain strimin

    agar serangga kecil tidak masuk flakon, tetapi tidak mempengaruhi kadar oksigen.

    Setelah 24 jam, larva yang hidup dihitung. Dikatakan hidup jika larva

    masih bergerak aktif, sekecil apapun gerakan tersebut. Larva tidak mungkin diam,

    sebab selain berfungsi sebagai alat gerak, antena II pada larva juga berfungsi

    sebagai alat pernafasan. Setelah jumlah larva yang hidup diketahui, jumlah larva

    yang mati dapat dihitung. Kemudian dihitung persen kematian pada masing-

    masing konsentrasi perlakuan dan kontrol. Kontrol digunakan untuk mengoreksi

    kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh ekstrak kulit batang

    pulasari. Hasil percobaan (tabel 5, 6 dan 7) menunjukkan persentase kematian

    larva pada rentang 20%-80%.

    Tabel 5 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari

    Konsentrasi (μg/ml)

    % kematian larva artemia

    1000 25 1400 30 1960 44 2744 59 3842 80

  • 46

    Tabel 6 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil asetat kulit batang pulasari

    Konsentrasi (μg/ml)

    % kematian larva artemia

    200 22 280 36 392 49 549 61 768 80

    Tabel 7 . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak air kulit batang pulasari

    Konsentrasi (μg/ml)

    % kematian larva artemia

    100 20 200 28 400 36 800 58

    1600 78

    Data yang didapat (tabel 5, 6 dan 7) kemudian dianalisis dengan analisis

    probit menggunakan Program SPSS 16.00 untuk mendapat nilai LC50. Pada

    penelitian ini digunakan analisis probit agar didapatkan kurva yang berbentuk

    garis lurus sehingga penentuan nilai LC 50 lebih tepat. Jika hanya memplotkan

    persentase kematian larva (nilai y) dengan logaritma konsentrasi (nilai x) maka

    akan didapatkan kurva berbentuk sigmoid sehingga dalam penentuan nilai LC50

    dapat menjadi kurang tepat. Dalam analisis probit didapatkan kurva yang

    berbentuk garis lurus karena konsentrasi sampel ditransformasikan menjadi

    logaritma konsentrasi sebagai variabel tetap (nilai x) dan persentase kematian

    larva ditransformasikan menjadi nilai probit sebagai variabel tergantung (nilai y).

  • 47

    1. Analisis probit ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari

    Setelah dianalisis dengan analisis probit diperoleh persamaan garis linier

    yaitu y = 2,587x—8,581 dan dapat digambarkan kurva hubungan antara nilai

    probit dengan log konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari

    (gambar 7).

    Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari

    Dari hasil analisis probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai

    LC50 yang dihasilkan, yaitu sebesar 2078,18 μg/ml dengan kisaran batas bawah

    sebesar 1873,68 μg/ml dan kisaran batas atas sebesar 2317,91 μg/ml (lampiran 4).

    Dari gambar 7 juga didapatkan nilai Rsq yang merupakan koefisien

    determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu

    merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik atau turunnya) Y. Dari

    analisis, didapatkan nilai Rsq sebesar 0,957 yang berarti bahwa persentase

  • 48

    sumbangan X yaitu konsentrasi ekstrak petroleum eter kulit batang pulasari

    terhadap variasi Y yaitu respon (jumlah kematian artemia) sebesar 95,7%.

    Dari nilai Rsq dapat dihitung nilai R, yaitu akar pangkat dari Rsq. Dari

    penelitian ini didapatkan nilai R sebesar 0,9783. Nilai R merupakan koefisien

    korelasi dalam hubungan dua variabel X dan Y yang mengukur kuatnya hubungan

    antara X dan Y. Dari tabel nilai R, dengan taraf kepercayaan 95% pada derajad

    bebas 3 dapat dilihat nilai R sebesar 0,878 sehingga didapatkan nilai R penelitian

    lebih besar daripada nilai R tabel. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang

    linier antara konsentrasi dengan nilai probit. Meningkatnya konsentrasi diikuti

    dengan meningkatnya nilai probit (respon).

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak petroleum eter kulit batang

    pulasari mempunyai nilai LC50 > 1000 μg/ml, yaitu sebesar 2078,18 μg/ml, yang

    berarti bahwa ekstrak tersebut bersifat tidak toksik terhardap larva artemia.

    2. Analisis probit ekstrak etil asetat kulit batang pulasari

    Setelah dianalisis dengan analisis probit diperoleh persamaan garis linier

    yaitu y = 2,638x—6,849 dan dapat digambarkan kurva hubungan antara nilai

    probit dengan log konsentrasi ekstrak etil asetat kulit batang pulasari (gambar 8).

  • 49

    Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etil asetat kulit batang pulasari

    Dari hasil analisis probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai

    LC50 yang dihasilkan, yaitu sebesar 394,43 μg/ml dengan kisaran batas bawah

    sebesar 355,71 μg