uji sitotoksik ekstrak biji pare (momordica charantia l .../uji...perpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
GALIH INDRA PERMANA
G0009091
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
UJI SITOTOKSIK EKSTRAK BIJI PARE (Momordica charantia L.) PADA
KULTUR SEL LIMFOSIT T PASIEN LUPUS ERITEMATOSUS
SISTEMIK (LES) IN VITRO
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN VALIDASI
Skripsi dengan judul: : Uji Sitotoksik Ekstrak Biji Pare (Momordica charantia
L.) pada Kultur Sel Limfosit T Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
In Vitro
Galih Indra Permana, NIM: G.0009091, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada hari Kamis, tanggal 27 Desember 2012
Pembimbing Utama
Nama : Balgis, dr., M.Sc., CM, FM NIP : 19640719 199903 2 003 (...................................) Pembimbing Pendamping
Nama : Mujosemedi, Drs., M.Sc. NIP : 19600530 198903 1 001 (...................................) Penguji Utama
Nama : Lilik Wijayanti, dr., M.Kes. NIP : 19690305 199802 2 001 (...................................) Anggota Penguji
Nama : Jarot Subandono, dr., M.Kes. NIP : 19680704 199903 1 002 (...................................)
Ketua Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M.Kes NIP 19660702 199802 2 001
Surakarta, 12 Desember 201
Dekan FK UNS
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR-FINASIM NIP 19510601 197903 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 27 Desember 2012
Galih Indra Permana NIM. G0009091
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Sitotoksik Selektif Ekstrak Biji Pare (Momordica charantia L.) pada Kultur Sel Limfosit T Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) In Vitro”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Balgis, dr., MSc., CM, FM sebagai pembimbing utama yang telah berkenan
memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis. 4. Mujosemedi, Drs., M.Sc. sebagai pembimbing pendamping yang telah
berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis. 5. Lilik Wijayanti, dr., M.Kes. sebagai penguji utama yang telah memberikan
nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 6. Jarot Subandono, dr., M.Kes. sebagai anggota penguji yang telah memberikan
nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 7. Yuliana Heri Suselo, dr., Balgis, dr., M.Sc., CM-FM., dan Dono Indarto, dr.,
M.Biotech.St., Ph.D. yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian bersama mengenai LES.
8. Odapus Griya Kupu Eks Karesidenan Surakarta (Ibu Rita, (alm.) Ibu Marganingsih, Mbak Ninik, dan Mbak Prita)
9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surakarta, Desember 2012
Galih Indra Permana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................. ix
DAFTAR GRAFIK ............................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................ 5
A. Tinjauan Pustaka ............................................................ 5
1. Lupus Eritematosus Sistemik ..................................... 5
a. Etiologi….. .......................................................... 5
b. Patogenesis .......................................................... 7
c. Penegakkan diagnosis .......................................... 11
d. Perkembangan terapi ............................................ 12
2. Pare (Momordica charantia L.) ................................. 12
a. Deskripsi tanaman….. ......................................... 12
b. Kandungan kimia ................................................ 13
c. Manfaat ............................................................... 14
d. Penelitian efek biji pare ....................................... 15
B. Kerangka Pemikiran ....................................................... 16
C. Hipotesis ........................................................................ 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 18
A. Jenis Penelitian .............................................................. 18
B. Lokasi Penelitian ........................................................... 18
C. Subjek Penelitian ........................................................... 18
D. Identifikasi Variabel ...................................................... 18
E. Definisi Operasional Variabel ........................................ 19
F. Rancangan Penelitian ..................................................... 21
G. Alat dan Bahan Penelitian .............................................. 22
H. Cara Kerja ..................................................................... 23
I. Teknik Analisis Data ..................................................... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................... 28
BAB V PEMBAHASAN ................................................................... 31
BAB VI PENUTUP ........................................................................... 34
A. Simpulan ....................................................................... 34
B. Saran ............................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 35
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Rerata Hambatan Sel pada Delapan Serial Dosis dengan Empat
Perlakuan Berbeda …………………………………………............. 28
Tabel 4.2. Hasil IC50 pada Empat Kelompok Perlakuan ……………………….. 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Nilai IC50 pada Kelompok Perlakuan ………………………..…….. 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik ……………………….. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lembar Informed Consent
Lembar Foto Plate dan Hasil MTT
Lampiran 3 Lembar Perhitungan Hambatan Sel
Lampiran 4 Lembar Analisis Statistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Galih Indra Permana, G0009091, 2012, Uji Sitotoksik Ekstrak Biji Pare (Momordica charantia L.) pada Kultur Sel Limfosit T Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: LES merupakan penyakit autoimun, yang diperantarai oleh limfosit. Regulasi yang salah pada sistem imun mengakibatkan autoreaktivitas limfosit T dan hiperaktivasi limfosit B yang berakibat terjadinya reaksi inflamasi pada organ yang terlibat. Ekstrak biji pare mengandung Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), momordin I, dan momordin II yang dapat menginduksi apoptosis sel dan bersifat sitotoksik. Penelitian ini untuk menguji efek sitotoksik ekstrak biji pare pada kultur sel limfosit T penderita LES.
Metode Penelitian: Jenis penelitian ini eksperimental laboratorik dengan the post test control group design. Sampel penelitian ini adalah kultur sel limfosit T pasien LES dalam fase aktif. Kultur sel limfosit T dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok perlakuan ekstrak biji pare, kelompok pemberian siklofosfamid, kelompok kontrol sel, dan kelompok kontrol media. Efek sitotoksik diukur dengan pengamatan spektrofotometer kemudian dilakukan analisis data dengan analisis statistik regresi untuk menentukan Inhibitory concentration fifty (IC50).
Hasil Penelitian: IC50 ekstrak biji pare pada kultur limfosit T pasien LES 1704,07 µg/ml dan pada sampel normal 19,20 µg/ml. Sedangkan untuk perlakuan siklofosfamid dosis efektif IC50 sampel LES 16,80 µg/ml dan 39,24 µg/ml untuk sampel normal. Ekstrak biji pare memiliki efek sitotoksik yang lemah (weak) pada kultur sel limfosit T penderita LES dan sedang (moderately active) pada kultur sel limfosit T orang normal.
Simpulan Penelitian: Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak biji pare memiliki efek sitotoksik yang lemah (weak) pada kultur sel limfosit T pasien LES dengan IC50 1704.07 µg/ml.
Kata Kunci: LES, ekstrak biji pare, sitotoksik, limfosit T
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Galih Indra Permana, G0009091, 2012, Cytotoxic Assay of Bitter Melon Seeds Extract (Momordica charantia L.) on T Lymphocyte Cell Culture of Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients In Vitro. Mini Thesis. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Background: SLE is an autoimmune disease, mediated by lymphocytes. Wrong regulation in immune system causes autoreactivity of T lymphocytes and hyperactivity of B lymphocytes then causes inflammation in site organ. Extract of bitter melon seeds contains Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), momordin I, and momordin II which can induce apoptosis in the cells and have cytotoxic effects. This study was to examine the cytotoxic effects of bitter melon seeds extract on cultured T lymphocytes in SLE patients.
Methods: This study was an experimental laboratory research with the post test control group design. Sample was cultured of T lymphocytes in SLE patient with the active phase. T lymphocytes culture was divided in four groups that were bitter melon seedss extract, cyclophosphamide, control media, and control cells. Cytotoxic effects were measured with MTT assay then the data were analyzed with statistical regression analysis to determine the IC50.
Results: IC50 of bitter melon seeds extract on culture of T lymphocytes cell of SLE patient was 1704.07 µg/ml and normal sample was 19.20 µg/ml. While IC50
of cyclophosphamide for treatment of SLE sample was 16.80 µg/ml and 39.24 µg/ml for normal sample. Extract of bitter melon seeds had weak cytotoxic effect on cultured T lymphocytes of SLE patient and moderately active cytotoxic effect on cultured T lymphocytes of normal sample.
Conclusion: Extract of bitter melon seeds had weak cytotoxic effects on cultured T lymphocytes cell in SLE patient with IC50 was 1704.07 µg/ml.
Keywords: SLE, bitter melon seeds extract, cytotoxic, lymphocytes T
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi
kronik yang diperantai sistem imun. Sistem imun penderita LES menyerang sel
normal di tubuh dengan sebab yang belum diketahui dengan pasti, sehingga
penyakit ini disebut juga sebagai penyakit autoimun (Bartels, 2012; Komalig et
al., 2004). LES dapat menyerang semua organ di tubuh namun lebih sering
ditemukan pada kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf (CDC, 2011).
Penyebab LES diduga merupakan multifaktor, jadi banyak hal yang bisa
berpengaruh dalam terjadinya penyakit ini. Faktor-faktor yang berperan dalam
terjadinya LES menurut Tsokos (2011) adalah genetik, lingkungan, hormonal,
dan pengatur sistem imun. Faktor pencetus inilah yang kemudian menyebabkan
reaksi autoantibodi/autoimun di dalam tubuh. Reaksi autoantibodi terjadi karena
kesalahan dalam mengenali sel tubuh normal. Sel tubuh normal dipresentasikan
menjadi patogen oleh Antigen Presenting Cells (APCs), sehingga akan dikenali
oleh sel B (limfosit B) dan sel T (limfosit T) sebagai ancaman untuk dieliminasi
dari tubuh (Abbas et al., 2010).
Hahn (2005) menyebutkan bahwa 90% pasien LES adalah wanita dan
anak kecil pada berbagai usia dan prevalensi yang ditemukan di Amerika adalah
15 sampai 50 orang pada 100.000 orang. Penyakit LES di Indonesia berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
survei dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSCM diperoleh insiden rerata sebesar 37,69 per 10.000 perawatan
pada tahun 1988 sampai 1990. Angka ini merupakan dua kali lipat dari penelitian
yang dilakukan pada kurun waktu 1972-1976. Penelitian lanjutan yang dilakukan
di Jakarta juga diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat kecenderungan
ras tertentu di Indonesia untuk menderita LES. Hasil penelitian dari 202
penderita LES menunjukkan bahwa persentase penderita LES pada suku Jawa
(33,7%), Sunda (17,8%), Cina (16,8%), sedangkan suku Ambon, Bali, Jambi,
dan Banjar masing-masing (0,5%) (Komalig et al., 2004). Angka kejadian LES
yang tinggi dikarenakan semakin mudahnya dalam penegakkan diagnosis LES
dengan teknologi kedokteran yang sudah ada.
Dewasa ini, banyak pengobatan yang telah digunakan untuk LES.
Namun, seperti yang diketahui bahwa obat merupakan senyawa kimia dan tidak
dapat dipungkiri memiliki efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan
tersebut (Syarif et al., 2005). Pengobatan pada LES tergantung pada berat ringan
dari gejala yang ditimbulkan. Semakin berat gejala yang ditimbulkan semakin
banyak obat yang digunakan. Prinsip pengobatan LES adalah berdasarkan
manifestasi gejala yang timbul. Manifestasi dapat berupa ruam kulit, atritis,
demam, sakit kepala, dan nyeri otot. Obat yang sering digunakan adalah NSAID
(Ibuprofen, Naproxen, Ketoprofen, Piroxicam, Meloxicam, dan Asam
Mefenamat), steroid (Metilprednisolon, Prednison), Methotrexate,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Siklofosfamid, Rituximab, dan Azathioprine (Nafrialdi, 2005; Tjay and
Rahardja, 2008).
Obat herbal telah diterima secara luas pada hampir seluruh Negara di
dunia. Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin
menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang diterima.
Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk
pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan
penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih
panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan
penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta
semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar,
2006). Indonesia telah memanfaatkan obat herbal sebagai terapi berbagai macam
penyakit. Obat herbal yang digunakan masyarakat saat ini masih berdasarkan
khasiat turun-temurun dari nenek moyang. Sedikit dari tanaman obat yang
digunakan telah diuji kandungan dan manfaat yang dimiliki (Sari, 2006).
Pare sering digunakan masyarakat di Indonesia sebagai bahan makanan.
Selain sebagai bahan makanan pare juga dimanfaatkan masyarakat sebagai obat
untuk penyakit disentri, diabetes, bronkhitis, anemia, nyeri haid, rematik, dan
anti kanker (Grover and Yadav, 2004). Manfaat anti kanker dari pare terkait dari
senyawa yang dikandungnya. Biji pare diketahui mengandung senyawa aktif
Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), suatu enzim yang dapat menginduksi
apopotosis pada sel kanker (Han et al., 2011). Ribosome Inactivating Proteins
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
(RIPs) diketahui selektif menginduksi apoptosis dari sel abnormal, tanpa
mempengaruhi sel normal selain kanker (Li et al., 2009). Efek inilah yang
kemudian membuat peneliti tertarik untuk mengaplikasikan efek sitotoksik dari
ekstrak biji pare pada kultur sel limfosit T pasien LES yang mengalami
autoreaktivitas yang berlebihan. Sehingga diharapkan dapat menjadi dasar
penelitian awal dalam penatalaksanaan penderita LES.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah ekstrak biji pare
(Momordica charantia L.) bersifat sitotoksik terhadap sel limfosit T penderita
LES In Vitro?
C. Tujuan Penelitian
Menguji efek sitotoksik ekstrak biji pare (Momordica charantia L.) pada
kultur sel limfosit T penderita LES In Vitro.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data ilmiah tentang
efek sitotoksik ekstrak biji pare (Momordica charantia L.) pada kultur sel
limfosit T penderita LES In Vitro, serta dapat digunakan sebagai dasar penelitian
pengobatan LES lebih lanjut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Lupus Eritematosus Sistemik
a. Etiologi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi
kronik yang diperantai sistem imun. Sistem imun penderita LES
menyerang sel normal di tubuh dengan sebab yang belum diketahui
dengan pasti, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit
autoimun (Bartels, 2012; Komalig et al., 2004). Lupus Eritematosus
Sistemik memiliki manifestasi klinik berupa rash, arthritis,
glomerulonephritis, vasculitis, hemolytic anemia, thrombocytopeni, dan
kelainan pada sistem saraf pusat (Abbas et al., 2010). Penyebab dari LES
belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa faktor yang diduga
dapat menyebabkan LES. Faktor tersebut menurut Tsokos (2011) adalah
genetik, lingkungan, pengatur sistem imun, dan hormonal. Sehingga LES
merupakan suatu keadaan multifaktorial, karena dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yang dapat terjadi bersama-sama atau sendiri.
Genetik merupakan salah satu faktor predisposisi dalam
berkembangnya penyakit LES (Tsokos, 2011). Lupus Eritematosus
Sistemik dapat terjadi melalui beberapa variasi kombinasi dari beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
gen, jarang diketahui bila hanya terjadi defisiensi pada satu gen (Moser et
al., 2009). Kelainan pada komplemen C4 dihubungkan dengan penurunan
eliminasi dari pengaktifan sel B, sedangkan kelainan pada komplemen
CIq diketahui berhubungan dengan kelainan dalam eliminasi material
yang telah mengalami apoptosis oleh sel imun (Manderson et al., 2004).
Simard et al., (2009) dalam studi epidemiologinya menyebutkan
bahwa merokok dan paparan sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor
lingkungan yang berperan dalam terjadinya LES. Selain itu infeksi dari
Virus Ebstein Barr (EBV) pada usia lebih dari 40 tahun merupakan salah
satu faktor lingkungan yang diduga merupakan pencetus dari LES (Kang
et al., 2004). Lupus Eritematosus Sistemik yang disebabkan oleh EBV
memiliki ketidakmampuan CD8+ sel T dalam mengontrol sel B yang
telah terinfeksi EBV (Poole et al., 2006).
Hormon berkontribusi melalui mekanisme yang belum diketahui
secara pasti dalam peningkatan prevalensi LES pada wanita (Duarte et al.,
2011). Peningkatan prevalensi penderita LES pada wanita diduga juga
berkaitan dengan kromosom X, hal ini diketahui dikarenakan terjadi
kelainan pada gen CD40 yang berlokasi pada kromosom X (Smith et al.,
2008).
Pengaturan sistem imun yang bermasalah berperan dalam
terjadinya LES. Reseptor antigen merupakan hal yang berperan dalam
perubahan aktivasi sel B dan sel T pada pasien LES dan penguatan respon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
awal oleh adanya antigen merupakan pencetus awal terjadinya
autoreaktivasi pada sel B dan sel T (Crispin et al., 2010).
b. Patogenesis
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit
multifaktorial. Hal ini ditandai dengan banyak hal yang saling
berpengaruh dalam terjadinya penyakit LES. Dasar patogenesis dari LES
adalah terjadinya kelainan pada sistem imun. Sistem imun akan
menyerang sel normal pada tubuh, yang kemudian akan menimbulkan
berbagai manifestasi klinis pada penderita LES (Mok and Lau, 2003).
Kelainan sistem imun pada pasien dengan LES adalah pada
produksi autoantibodi. Antibodi yang kemudian akan menyerang molekul-
molekul penting dalam tubuh, seperti nukleus dan sitoplasma sel yang
terdapat di dalam tubuh (Mok and Lau, 2003).
Patogenesis dari LES merupakan kondisi yang kompleks dan
berbagai kajian telah dilakukan. Patogenesis ini dapat pula dilihat pada
gambar 2.1. Salah satunya adalah dalam kegagalan dari regulasi pada
sistem imun yang menyebabkan aktivasi limfosit T yang berlebihan dan
berakibat pada hiperaktivasi limfosit B. Peningkatan jumlah sel-sel B yang
memproduksi antibodi, hipergamma globulinemia, hiperproduksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok and Lau, 2003).
Dalam keadaan normal aktivasi dari sel limfosit B dan T memerlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
antigen- antigen spesifik. Antigen dapat berasal dari lingkungan internal
maupun eksternal. Antigen internal atau lebih dikenal sebagai autoantigen
berasal dari sel-sel debris hasil apoptosis. Senyawa apoptotik yang
memiliki potensi sebagai antigen adalah nukleosom kompleks
ribonukleoprotein, protein pengikat RNA, komponen komplemen C1
(C1q), dan fosfolipid anionik (Casciola-Rosen et al., 1994).
Gambar 2.1 Patogenesis Systemic Lupus Erythematosus
(Mok and Lau, 2003; Singh, 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Kondisi fisiologi dari sel debris yang terdapat di dalam akan
mengalami pembersihan oleh sel fagosit. Sel fagosit akan memakan dan
membersihkan sel debris dalam lingkungan internal tubuh. Selain hal
tersebut, fragmen sel yang mengalami apoptosis juga berfungsi sebagai
sinyal anti-inflamasi dan akan dipresentasikan sel-sel fagosit ke sel T
naïve (Rahman and Isenberg, 2008; Crispin et al., 2010). Pada keadaan
tersebut sel fagosit memiliki fungsi sebagai sel penyaji antigen (APC)
yang mengekspresikan MHC kelas II pada permukaan (Rahman and
Isenberg, 2008). Tujuan ekpresi dari MHC kelas II adalah untuk
meningkatkan kemampuan fagositosis, menur
et al.,
2003; Castellano et al., 2004).
Penderita LES mengalami gangguan dalam proses fagositosis,
kemampuan fagositosis sel-sel tersebut menurun dikarenakan terdapat
defisiensi C1q yang berfungsi untuk mengikat sel debris (Rahman and
Isenberg, 2008). Akumulasi sel- sel debris merupakan sumber yang poten
dalam mengaktifkan dan menginduksi APC immatur, meningkatkan
kapasitas autoreaktivitas sel T, memproduksi sitokin, dan menstimulasi
autoreaktivitas sel B (Csomor et al., 2004; Singh, 2005; Castellano et al.,
2004).
Ekspresi Toll-Like Receptor (TLR) pada membran APC dalam
keadaan normal hanya dapat diinduksi oleh adanya DNA dan RNA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
mikroorganisme. TLR yang teraktivasi berperanan penting dalam
meningkatkan ekpresi MHC kelas II, menginduksi molekul co-stimulary,
seperti CD80 dan CD86, dan mensekresi sitokin-sitokin yang
berhubungan dengan respon terhadap sel limfosit T (Patole et al., 2005;
Rahman and Isenberg, 2008), sedangkan pada penderita LES ekspresi
TLR dapat juga diaktifkan oleh DNA dan RNA dari sel-sel debris dan
TLR dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan asam nukleat
antara patogen dan non patogen (Rahman and Isenberg, 2008). Dengan
demikian peningkatan aktivitas APC melalui dua jalur ini berdampak
besar pada respon autoimun penderita LES (Crispin et al., 2010).
Keadaan tersebut akan memacu sintesis dan sekresi autoantibodi
pada pasien LES yang diperantarai oleh interaksi antara CD4+ dan CD8+
sel T helper dengan sel B. Aktivitas supresi CD8+ sel T suppressor dan
sel NK mengalami kegagalan fungsi terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T
dan sel NK pada pasien LES mengalami kegagalan dalam mengatur
sintesis dari imunoglobulin poliklonal dan produksi autoantibodi.
Kegagalan supresi terhadap sel B mungkin merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan penyakit terus berlangsung (Mok and Lau, 2003;
Hahn, 2005). Selain itu, terbentuknya kompleks imun (DNA dan anti-
DNA) dalam sirkulasi maupun In Situ dapat menyebabkan kerusakan
organ dan jaringan pada LES (Mok and Lau, 2003; Sumariyono, 2003;
Hahn, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Penegakkan diagnosis
Diagnosis LES dapat ditegakkan dengan suatu konsensus. Hal ini
dapat berguna dalam membantu membedakan penyakit LES dengan
penyakit yang lain. American College of Rheumatology (ACR) telah
menentukan 11 kriteria sebagai berikut:
1) Ruam di daerah malar
2) Ruam diskoid
3) Fotosensitivitas
4) Ulkus pada mulut
5) Arthritis: tidak erosif, pada dua atau lebih sendi perifer
6) Serositis: pleuritis dan perikarditis
7) Gangguan pada ginjal berupa proteinuria >0,5 gr/hari
8) Gangguan neurologis berupa kejang atau psikosis
9) Gangguan hematologi berupa anemia hemolitik, leukopenia,
limfopenia, atau trombositopenia
10) Gangguan imunologis seperti sel SLE positif
11) Antibodi antinuklear (ANA)
Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan pada pasien, diagnosis LES
bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97% (Harsono
and Endaryanto, 2012; Tsokos, 2011; Petty and Laxer, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
d. Perkembangan Terapi
Yee et al., (2003) mengungkapkan bahwa the European League
Against Rheumatism (EULAR) telah mengeluarkan panduan dalam
penanganan LES. Pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien LES
adalah berdasarkan dari manifestasi klinis LES (Hahn, 2005). Pengobatan
LES dibagi menjadi pengobatan farmakologis dan non-farmakologis.
Pengobatan non-farmakologis berupa edukasi, istirahat, dukungan sosial,
dan psikologis pada penderita. Terapi farmakologis menggunakan obat
Siklofosfamid, Azathioprine, Methotrexate, Siklosporin, Kortikosteroid,
dan NSAID. Penggunaan terapi farmakologis mempertimbangkan
manifestasi klinis yang ditimbulkan dari LES. Penggunaan terapi
farmakologis dan non-farmakologis harus sinergi antara satu dan yang lain
untuk mendapatkan efek terapi yang optimal (HHS, 2007).
2. Pare (Momordica charantia L.)
a. Deskripsi tanaman
Pare (Momordica charantia L.) selain dikenal sebagai sayuran
juga digunakan sebagai obat tradisional (Winarno, 2002). Pare banyak
tumbuh di daerah tropis. Tanaman ini tidak memerlukan banyak sinar
matahari, sehingga dapat tumbuh subur di tempat dengan paparan sinar
matahari yang sedikit. Buah pare (Momordica charantia L.) memiliki rasa
pahit, berwarna hijau, dan berkembang biak dengan buah (Artanti, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Pare tergolong tanaman semak semusim yang hidupnya menjalar
atau merambat, dengan sulur berbentuk spiral. Daunnya memiliki ciri khas
berjumlah tunggal, berbulu, berbentuk lekuk tangan, dan bertangkai
sepanjang 10 cm. Pare memiliki bunga berwarna kuning-muda. Batang
pare mempunyai rusuk lima, berbulu agak kasar ketika masih muda,
namun setelah tua gundul, warna hijau. Buah pare berbentuk bulat telur
memanjang, warna hijau, kuning sampai jingga, dan rasanya pahit. Pare
memiliki buah yang keras, warna cokelat kekuningan (Winarno, 2002).
Pare (Momordica charantia L.) berdasarkan Plantamor (2008)
memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Violales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Spesies : Momordica charantia L
b. Kandungan kimia
Pare mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, kalsium,
zat besi dan fosfor. Vitamin A dan vitamin C merupakan vitamin yang
sering ditemukan dalam pare. Pare memiliki kandungan senyawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
golongan alkaloid, saponin, flavonoid, dan triterpenoid (Aminah et al.,
2007).
Biji pare mempunyai kandungan senyawa kimia momordisin,
momordin, karantin, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin,
vitamin A dan C serta minyak lemak terdiri dari asam oleat, asam
linoleat, asam stearat dan oleostearat. Biji pare memiliki kandungan
senyawa aktif Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), momordin I, dan
momordin II (Li et al., 2009; Han et al., 2011).
c. Manfaat
Pare (Momordica charantia L.) dalam masyarakat luas sering
digunakan sebagai obat batuk, radang tenggorokan, demam, penambah
nafsu makan, sariawan, dan gangguan pencernaan (Bakare et al., 2010).
Penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui berbagai manfaat
dari pare. Salah satu penelitian menyatakan bahwa pare memiliki efek
anti diabetik, anti HIV, dan anti tumor (Brennan et al., 2012; Fang, 2011).
Kandungan vitamin C sangat penting untuk produksi tulang rawan
dan kekebalan tubuh. Zat besi diperlukan untuk mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh. Vitamin A yang terkandung di dalam pare, sebagai beta-
karoten, sangat mudah diserap oleh tubuh dan digunakan untuk
meningkatkan kesehatan penglihatan juga kekebalan tubuh. Sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
kalsium membantu tubuh membentuk otot dan tulang (Bakare et al.,
2010).
d. Penelitian efek biji pare (Momordica charantia L.)
Penelitian dari Li et al. (2009) dan Han et al. (2011) menyatakan
bahwa kandungan senyawa aktif Ribosome Inactivating Proteins (RIPs),
momordin I, dan momordin II dalam biji pare memiliki manfaat sebagai
anti viral dan anti tumor. Efek anti tumor dari biji pare terutama berasal
dari senyawa aktif Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), momordin I,
dan momordin II dengan mekanisme menghambat sintesis protein dan
menginduksi apoptosis dari sel tumor tanpa mempengaruhi sel normal
tubuh (Li et al., 2009; Parhardian et al., 2004; Han et al., 2011).
Suh et al. (1999) telah meneliti manfaat dari triterpenoid pada sel
kanker. Triterpenoid efektif dalam mencegah pertumbuhan sel kanker.
Titerpenoid bekerja dengan menghambat proliferasi dari sel kanker.
Yoshimizu et al. (2004) meneliti efek flavonoid sebagai anti kanker.
Flavonoid memiliki efek anti kanker dengan jalan menginduksi apoptosis
dari sel kanker. Saponin dalam pare juga memiliki efek anti kanker
dengan jalan menghambat proliferasi sel kanker dan menginduksi
apotosis (Yoshimizu et al., 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
B. Kerangka Pemikiran
Ekstrak biji pare (Momordica charantia
Lupus Eritematosus Sistemik(LES)
Defek sistem klirens APC
Sel-sel apoptotik dan DNA
Aktivasi autoreaktifitas limfosit T
Aktivasi sel Limfosit B
Produksi autoantibodi dan kompleks imun
Inflamasi jaringan dan organ
RIPs, momordin I, momordin II, dan flavonoid
Saponin
Induksi apoptosis Menghambat proliferasi sel
Triterpenoid
Keterangan:
: Menginduksi
: Menghambat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
C. Hipotesis
Ekstrak biji pare (Momordica charantia L.) bersifat sitotoksik terhadap sel
limfosit T penderita LES In Vitro.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan the
post test control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
1. Wanita penderita LES aktif yang memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria aktif
menurut American College of Rheumatology (ACR).
2. Wanita usia sama dengan penderita aktif yang tidak mempunyai riwayat
penyakit autoimun dan alergi.
D. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas: pemberian ekstrak biji pare (Momordica charantia L.).
2. Variabel terikat: efek sitotoksik terhadap kultur sel limfosit T.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
E. Definisi Operasional Variabel
1. Ekstrak metanol biji pare (Momordica charantia L.)
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah biji pare yang
diperoleh dari pasar setempat. Pare dipilih dengan warna hijau muda. Sekitar
0,3 kg biji pare dikumpulkan dan dibersihkan kemudian biji pare dicelupkan
ke dalam alkohol mendidih yang bertujuan untuk menghentikan proses
metabolisme. Selanjutnya dikeringkan dengan cara diletakkan di tempat
terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dan tidak terkena sinar matahari
langsung.
Biji pare yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan
menggunakan blender sehingga menjadi serbuk. Serbuk biji pare ditimbang
sebanyak 10 g dan diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut etanol
selama 24 jam kemudian disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan
rotary vacum evaporator sampai diperoleh ekstrak pekat etanol (Rita et al.,
2008).
Dosis yang diberikan pada penelitian berdasarkan pada protokol
penelitian yang digunakan oleh National Cancer Instutute (NCI) pada
ekstraksi tanaman obat dengan dosis dimulai dari 50 mg/ml dan kemudian
dosis diturunkan dengan dibagi setengahnya sampai dengan serial 8 kali.
Sehingga dosis yang didapatkan sebagai berikut 50 mg/ml; 25 mg/ml; 12,5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mg/ml; 6,25 mg/ml; 3,125 mg/ml; 1,5625 mg/ml; 0,78125 mg/ml; 0,390625
mg/ml. Dosis tersebut kemudian diujikan pada kultur sel limfosit T In Vitro.
2. Efek sitotoksik terhadap kultur sel limfosit T
Efek sitotoksik adalah toksisitas sebuah senyawa terhadap sel yang
diuji secara In Vitro. Efek sitotoksik yang diharapkan berasal dari kandungan
senyawa yang terdapat dalam ekstrak kasar biji pare (Momordica charantia
L.).
Kultur sel limfosit T didapatkan dari pungsi darah penderita LES yang
aktif dan orang normal. Orang normal dan penderita LES dapat dibedakan
dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh American College of
Rheumatology (ACR). Darah yang telah diambil dari penderita LES kemudian
dilakukan proses isolasi dan pengkulturan sel limfosit T di laboratorium.
Efek sitotoksik ekstrak biji pare (Momordica charantia L.) pada kultur
sel limfosit T dilakukan dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer.
Hasil dari spektrofotometer kemudian dilakukan perhitungan dengan
menggunakan perhitungan Inhibitory Concentration (IC50). Hasil perhitungan
IC50 menentukan toksisitas dari ekstrak biji pare.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
F. Rancangan Penelitian
Penelitian berupa the post test control group design.
Keterangan:
EL :Perlakuan ekstrak biji pare pada sampel positif LES
EN : Perlakuan ekstrak biji pare pada sampel orang normal
SFL : Perlakuan siklofosfamid pada sampel positif LES
SFN : Perlakuan siklofosfamid pada sampel orang normal
KSL : Kontrol sel pada sampel positif LES
KSN : Kontrol sel pada sampel orang normal
KM : Kontrol media pada sampel positif LES
KML: Kontrol media pada sampel orang normal
O1-4 : Pengamatan hasil absorbansi sel pada sampel positif LES
O5-8 :Pengamatan hasil absorbansi sel pada sampel orang normal
EL SFL KSL KM EN SFN KSN KMN
O1 O2 O3 O4 O5 O6 O7 O8
Positif LES Normal
Kultur Sel Limfosit T Darah Intravena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
G. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat yang digunakan
a. Spektofotometer
b. Incubator
c. Microscop inverted
d. Haemositometer
e. Mikropipet
f. Sentrifuge
g. Spuit 10 ml
h. Tabung Falcon 15 ml
i. Microplate 96 well
j. Tip biru, kuning, dan putih
2. Bahan
a. Darah vena orang normal
b. Darah vena penderita LES
c. Vacutainer heparin CPT
d. Siklofosfamid
e. Reagen MTT
f. Ekstrak biji pare
g. Media kultur (RPMI 1640)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
h. PBS pH 7,4
i. Serum fetal bovin
j. L-glutamin
k. Sodium piruvat
l. Antibiotika penisilin-streptomisin
m. 2-merkaptoetanol
n. PHA
H. Cara Kerja
1. Isolasi sel-sel mononuklear dari pasien LES dan orang normal
a. Darah yang sudah diambil kemudian dibiarkan pada suhu ruangan
sebelum dilakukan proses selanjutnya.
b. Polymorph density gradien media sebanyak 3 ml ditambahkan ke
dalam tabung falcon. Kemudian 3 ml darah yang telah diambil
secara perlahan dimasukkan melalui dinding tabung falcon untuk
menghindari pencampuran antara darah dengan Polymorph density
gradient media.
c. Tabung falcon kemudian disentrifuse pada 500 x g selama 45 menit
pada suhu ruangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Setelah dilakukan sentrifuse sel limfosit akan terpisah dengan
komponen darah yang lain. Sel limfosit akan tampak seperti cincin
berawan.
e. Secara hati-hati sel limfosit dipindahkan dengan menggunakan
mikropipet pada tabung eppendorf.
f. Kemudian sel limfosit dicuci sebanyak 2 kali dengan PBS dan
dilakukan sentrifuse pada 500 x g selama 5 menit tiap waktu.
Supernatan akan tampak berawan pada tiap kali pencucian yang
dilakukan.
2. Pembuatan kultur limfosit T
a. Sel-sel mononuclear dimasukkan sebanyak 5 x 106 ke dalam setiap
sumuran dari microplate 96 well.
b. PHA ditambahkan dengan konsentrasi 10 µg/ml ke dalam media
kultur yang diperkaya dengan 10% serum fetal bovine, 200 mM L-
glutamin, sodium piruvat, 2-merkaptoetanol dan Penisilin-
streptomisin.
c. Microplate diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC dengan 5%
CO2.
d. 1-2 x 106 sel digunakan dalam tiap well.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3. Uji sitotoksik dengan metode MTT assay
a. Setelah dipanen, sel-sel ditempatkan dalam tabung eppendorf dan
dicuci dengan PBS pH 7,4 dua kali.
b. 10 µL sel diambil dan dihitung jumlahnya dengan menggunakan
haemositometer.
c. Medium kultur ditambahkan ke dalam sel sehingga diperoleh
konsentrasi sebesar 2 x 104 sel/sumuran.
d. Cover slip diletakkan pada dasar sumuran microplate 96 well.
e. Sel didistribusikan ke dalam microplate 96 well dan diinkubasi
selama 24 jam.
f. Ekstrak biji pare ditambahkan dengan dosis serial mulai 50 µg/µL
(50 µg/ml; 25 µg/ml; 12,5 µg/ml; 6,25 µg/ml, 3,125 µg/ml; 1,5625
µg/ml; 0,78125 µg/ml; 0,390625 µg/ml).
g. Microplate diinkubasi lagi selama 24 jam dalam inkubator pada suhu
37oC dengan aliran CO2 5%.
h. Pada akhir inkubasi, masing-masing sumuran ditambahkan 10 µL
MTT 5 mg/ml.
i. Microplate dinkubasi selama 4 jam pada 37oC, CO2 5% dan
ditambahkan reagen stop solution yang bersifat detergenik (SDS
10% dalam HCl 0,01 N) 100 µL/well akan melarutkan formasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
j. Microplate dinkubasi selama semalam pada 37oC, CO2 5%,
kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader pada
panjang gelombang 595 nm
k. Tingkat sitotoksisitas sampel uji dinyatakan dengan menghitung
persentase sel hidup pada masing-masing kadar senyawa uji dan
analisis harga IC50.
I. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah perhitungan IC50 (Junedi and Sendy, 2010) :
1. Dilihat apakah absorbansi kontrol pelarut lebih rendah dari kontrol sel
atau sama dengan kontrol sel.
Jika absorbansi kontrol pelarut sama dengan kontrol sel maka hitung
persentase sel hidup dengan rumus:
Persentase sel hidup = - AbsorAbsorbansi kontrol sel - x 100%
Jika absorbansi kontrol pelarut lebih rendah dari absorbansi kontrol sel
maka hitung persentase sel hidup dengan rumus:
Persentase sel hidup = - Absorbansi kontrol pelarut - x 100%
2. Dibuat grafik log konsentrasi vs persentase sel hidup dengan chart type
scatter dan chart subtype compare pairs of values.
3. Dicari persamaan regresi linier dari grafik tersebut dengan
menambahkan add trendline regresi linier.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
4. Dilihat parameter r pada persamaan regresi linier. Jika r lebih besar dari
r tabel maka persamaan regresi linier memenuhi standar untuk mencari
IC50.
5. Dimasukkan y = 50% pada persamaan regresi linier dan dicari x nya
kemudian dihitung antilog dari konsentrasi tersebut sehingga diperoleh
IC50.
6. Interpretasi hasil penghitungan IC50 menurut Syarifah et al., (2010):
Score 1 : Weak IC50> 50 µg/ml.
Score 2 : Moderately Active 10 µg/ml<IC50< 50 µg/ml,
Score 3 : Active IC50<10 µg/ml.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 28
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penilaian aktivitas sitotoksik ekstrak biji pare dilakukan dengan pemberian
ekstrak biji pare pada kultur sel limfosit T yang telah dibiakkan pada mikroplate.
Pengujian dilakukan 3 kali pengulangan untuk menghindari bias dalam penelitian ini.
Tabel 4.1 Rerata Hambatan Sel pada Delapan Serial Dosis dengan Empat
Perlakuan Berbeda
Dosis
(µg/ml)
Rerata Hambatan Sel (Mean + SD)
Ekstrak Biji pare Siklofosfamid
Sampel LES Sampel Normal Sampel LES Sampel Normal
50,0000 40,00 ± 8,00 14,04 ± 16,92 -33,33 ± 67,23 46,49 ± 8,46
25,0000 93,33 ± 15,14 114,04 ± 40,88 41,94 ± 16,76 57,02 ±27,89
12,5000 101,33 ± 2,31 73,68 ± 9,12 56,99 ± 8,12 -114,04 ±71,84
6,2500 129,33 ± 18,90 94,74 ± 9,12 84,95 ± 18,62 39,47 ±70,17
3,1250 61,33 ± 15,14 47,37 ± 22,94 2,15 ± 18,62 94,74 ±12,06
1,15625 98,67 ± 44,60 101,75 ± 48,90 78,49 ± 22,66 114,04 ±30,84
0,7800 128,00 ± 38,57 108,77 ± 31,72 79,57 ± 57,01 92,11 ±27,35
0,3900 65,33 ± 48,88 63,16 ± 31,58 50,54 ± 22,66 64,04 ±20,44
Keterangan: Mean = Rerata hambatan sel; SD = Standar Deviasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah data absorbansi dari sumuran-
sumuran yang berisi kontrol negatif, kontrol positif, kontrol media, dan sampel yang
diuji. Analisis data dilakukan dengan menghitung persen penghambatan dari tiap
dosis yang digunakan, sehingga didapatkan rerata hambatan sel seperti pada tabel 4.1.
Analisis juga dilakukan dengan menghitung IC50 ekstrak biji pare. IC50
ekstrak biji pare berguna untuk menentukan apakah ekstrak biji pare memiliki efek
sitotoksik pada sel limfosit T. Nilai IC50 dapat ditentukan dengan analisis probit.
Analisis probit dapat dihitung dengan menggunakan Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 11.5 for Windows. IC50 ekstrak biji pare dan siklofosfamid dengan
menggunakan analisis probit dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil IC50 pada Empat Kelompok Perlakuan
Perlakuan Sampel Dosis IC50
Ekstrak biji pare Positif LES 1704,07 µg/ml
Normal 19,20 µg/ml
Siklofosfamid Positif LES 16,80 µg/ml
Normal 39,24 µg/ml
Grafik nilai IC50 dari ekstrak biji pare dan siklofosfamid pada sel limfosit T
penderita LES dan orang normal dapat dilihat pada grafik 4.1. Grafik menunjukkan
adanya rentang yang besar dalam dosis IC50 ekstrak biji pare penderita LES dan orang
normal. Sel limfosit T penderita LES membutuhkan dosis yang lebih besar daripada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
orang normal. Dosis yang digunakan pada penderita LES adalah 1704,07 µg/ml dan
orang normal 19,20 µg/ml. Grafik untuk siklofosfamid menunjukkan rentang yang
tidak terlalu besar. Sel limfosit T penderita LES membutuhkan dosis lebih kecil dari
pada orang normal. Hal ini bisa diperhatikan pada penderita LES dibutuhkan dosis
16,80 µg/ml dan orang normal 39,24 µg/ml.
Grafik 4.1 Nilai IC50 pada Kelompok Perlakuan
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Ekstrak Biji Pare Siklofosfamid
Nila
i IC
50
LES
Normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB V
PEMBAHASAN
Efek sitotoksik adalah kemampuan suatu senyawa dalam membunuh sel.
Kemampuan ini dimiliki oleh beberapa senyawa yang terdapat pada tumbuhan.
Penelitian ini adalah untuk mengetahui efek sitotoksik dari ekstrak biji pare pada
kultur sel limfosit pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Li et al.,(2009) dan Han et al.,(2011) ekstrak biji pare
memiliki kandungan senyawa Ribosome Inactivating Proteins (RIPs), momordin I,
dan momordin II yang berperan dalam proses sitotoksik terhadap sel tumor dan tidak
mempengaruhi dari sel normal.
Hasil pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa ekstrak biji pare bersifat sitotoksik
yang lemah terhadap sel limfosit T pasien LES. Efek sitotoksik sel limfosit T pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al.,(2009) dan Han et
al.,(2011) bahwa ekstrak biji pare memiliki efek sitotoksik terhadap sel tumor. Nilai
IC50 menunjukkan ekstrak biji pare memiliki efek lebih sitotoksik pada sel limfosit T
orang normal daripada penderita LES. IC50 ekstrak biji pare pada sel limfosit T
penderita LES didapatkan 1704,07 µg/ml dan orang normal didapatkan 19,20 µg/ml.
Nilai IC50 yang didapatkan berdasarkan dari Syarifah et al., (2010) dapat
diklasifikasikan lemah (weak) pada sel limfosit T penderita LES dan sedang
(moderately active) pada sel limfosit T orang normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Kultur sel limfosit T In Vitro merupakan suatu proses yang dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti media kultur, viabilitas limfosit, dan lingkungan.
Viabilitas dan kemampuan proliferasi limfosit T In Vitro pasien LES mungkin lebih
tinggi daripada viabilitas dan kemampuan proliferasi limfosit T In Vitro orang
normal, sehingga kultur sel limfosit pasien LES lebih mudah tumbuh, namun hal ini
masih harus dibuktikan dalam penelitian lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan sel limfosit T pada kultur sebelum perlakuan dapat mempengaruhi hasil
akhir perhitungan IC50, sehingga IC50 limfosit T pasien LES mungkin lebih mudah
tumbuh daripada limfosit T orang normal.
Nilai IC50 yang tinggi pada kultur sel limfosit T penderita LES juga dapat
disebabkan karena efek sitotoksik dari biji pare yang rendah pada sel limfosit T
daripada sel tumor. Belum ada penelitian mengenai efek sitotoksik ekstrak biji pare
pada sel limfosit T. Penggunaan ekstrak kasar pada penelitian saat ini juga
berpengaruh pada efek sitotoksik ekstrak biji pare. Penelitian dari Li et al.,(2009) dan
Han et al.,(2011) menggunakan senyawa aktif dari ekstrak biji pare bukan ekstrak
kasar secara keseluruhan sehingga didapatkan efek sitotoksik yang diinginkan. Efek
sitotoksik dari kandungan senyawa aktif ekstrak biji pare bekerja dengan
menginduksi apoptosis dari sel yang mengalami proliferasi berlebihan. Dalam
penelitian Li et al.,(2009) dan Han et al.,(2011) efek sitotoksik dari senyawa aktif
dapat menginduksi apoptosis dari sel kanker, sedang dalam penelitian ini diharapkan
dapat menginduksi apoptosis dari sel limfosit T.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Ekstrak kasar biji pare yang digunakan pada penelitian ini mungkin
mengakibatkan banyak zat yang terkandung dalam ekstrak biji pare saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Kandungan senyawa aktif yang memiliki efek
sitotoksik mungkin terkandung lebih rendah daripada senyawa yang lain pada ekstrak
kasar biji pare, sehingga ekstrak biji pare memiliki efek sitotoksik yang lemah pada
kultur sel limfosit T.
Pemberian ekstrak biji pare pada kultur sel limfosit T orang normal
menunjukkan bahwa perlakuan tersebut lebih toksik daripada kultur sel limfosit T
penderita LES. Hal ini mungkin dikarenakan beberapa hal, pertama karena kultur sel
limfosit T normal yang tidak tumbuh dengan baik sehingga IC50 rendah. Kedua
karena ekstrak bji pare bersifat lebih toksik pada kultur sel limfosit T orang normal
daripada pasien LES.
Kultur sel limfosit selain diberi perlakuan ekstrak biji pare juga diberikan
perlakuan dengan siklofosfamid sebagai kontrol. Siklofosfamid merupakan salah satu
obat yang digunakan sebagai terapi LES. Pada penelitian kali ini nilai IC50 dari
siklofosfamid didapatkan hasil 16,80 µg/ml pada kultur sel limfosit penderita LES
dan 39,24 µg/ml pada kultur sel limfosit orang normal. Siklofosfamid yang
digunakan pada sel limfosit LES dibutuhkan dosis yang lebih kecil dibandingkan
dengan orang normal untuk menimbulkan efek sitotoksik. Apabila dibandingkan
dengan hasil dari ekstrak biji pare untuk kultur sel limfosit penderita LES
menunjukkan lebih efektif menggunakan siklofosfamid dibandingkan dengan ekstrak
biji pare, dikarenakan diperlukan dosis yang lebih besar untuk menimbulkan efek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
sitotoksik. Sedangkan pada orang normal ekstrak biji pare tampak lebih toksik
terhadap sel limfosit T bila dibandingkan dengan penggunaan siklofosfamid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian Uji Sitotoksik Ekstrak Biji Pare (Momordica
charantia L.) pada Kultur Limfosit T Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
In Vitro, dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji pare memiliki efek sitotoksik
yang lemah (weak) pada kultur sel limfosit T penderita LES dengan nilai IC50
1704,07 µg/ml.
B. Saran
1. Diperlukan uji sitotoksik dengan menggunakan senyawa aktif dari ekstrak
biji pare untuk mengetahui efek sitotoksiknya terhadap kultur sel limfosit T
penderita LES dan orang normal.
2. Diperlukan uji sitotoksik terlebih dahulu dalam penggunaan obat herbal agar
dapat diketahui selektifitas terhadap sel abnormal maupun sel normal apabila
kelak akan digunakan sebagai kandidat terapi.