uin syarif hidayatullah jakarta -...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta (L.) Schott var.
antiquorum) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI
NURHAYATI NASUTION 1111102000125
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA JULI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS
JEPANG (Colocasia esculenta (L.) Schott var.
antiquorum) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA
TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NURHAYATI NASUTION
1111102000125
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
v
ABSTRAK
Nama : Nurhayati Nasution
Program Studi : Farmasi
Judul :Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley
Luka terbuka yang tidak diobati berpotensi mengalami infeksi yang dapat
menyebabkan kelumpuhan, infeksi kronik bahkan kematian. Umbi talas jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung alkaloid, flavonoid,
tanin, polifenol, triterpenoid, saponin, tarin, Zn, vitamin C dan A yang dapat
mempercepat proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap kecepatan penyembuhan luka.
Hewan uji terdiri dari 20 ekor tikus galur Sprague Dawley yang dibagi dalam 5
kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®
,
kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok uji yang diberikan
krim ekstrak umbi talas jepang dengan 3 konsentrasi yang berbeda (1%, 5% dan
25%). Luka terbuka dibuat dengan metode Morton pada bagian dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus. Pemberian ekstrak dan pengamatan penyembuhan luka
dilakukan selama 14 hari. Parameter yang diamati meliputi luas luka, persentase
penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka, keberadaan sel radang dan fibroblas,
neokapilerisasi, kerapatan kolagen. Data luas luka dianalisa menggunakan Paired
Sample T-Test. Hasil penelitian menunjukkan luas luka kelompok uji I berbeda
signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok uji II dan III
berbeda signifikan pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok kontrol
negatif berbeda signifikan hanya pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), sedangkan
luas luka kelompok kontrol positif berbeda signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12
(p 0,05). Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan neokapilerisasi, fibroblas
dan kerapatan kolagen yang lebih tinggi terjadi pada kelompok uji I, II dan III,
dibandingkan kelompok kontrol negatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang dapat mempercepat penyembuhan luka dan
aktivitas penyembuhan luka terbesar terjadi pada konsentrasi ekstrak 1%.
Kata Kunci : Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum),
luas luka, persentase penyembuhan luka, kecepatan penyembuhan luka.
vi
ABSTRACT
Name : Nurhayati Nasution
Program Study : Pharmacy
Title : Study of Effect of Ethanolic Extracts of Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum Tuber on the Open
Wound Healing in Rats (Rattus norvegicus) Male
Sprague-Dawley Strain
Untreated open wounds potentially causes infection that can lead to paralysis,
chronic infection and even death. Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum
tuber contain alkaloids, flavonoids, tannins, polyphenols, triterpenoids, saponins,
tarin, Zn, vitamin C and A that can accelerate the wound healing process. The aim
of this study is to evaluate the effect of ethanolic extract of taro tuber to the wound
healing. Twenty Sprague Dawley rats were used as experimental animals which
were divied into 5 groups; the control positive group that was treated with the
Lanakeloid-E
cream, the control negative group that was treated with the cream
base, and three other groups were treated with the japanese taro tuber extract cream
using 3 different concentrations (1%, 5% and 25%). Open wounds were made by
using the Morton method on the dorsal part that was about 3 cm from the auricular
rats. Treatments and observations of wound healing were conducted during 14
days. The parameters observed in this study included wounds area, the percentage
of wound healing, wound healing time, the presence of inflammatory cells and
fibroblasts, new formed capillaries and collagen density. Wounds area data were
analyzed using the Paired Sample T-Test. The result showed that the area of the 1st
trial group indicated significant differences on the 3rd
, 6th
, 9th
, and 12th
day (p ≤
0.05), wounds area of the 2nd
and 3rd
trial groups showed a significant difference on
the 6th
, 9th
and 12th
day (p ≤ 0, 05), wound area of the negative control group
showed a significant difference on the 6th
, 9th
and 12th
day (p ≤ 0.05), while the
wound area of the positive control group differed significantly on the 3rd
, 6th
,9th
and
12th
(p ≤ 0.05 ). The result of microscopic observations showed that new formed
capillaries, fibroblasts and collagen density were higher in the 1st, 2
nd and the
3rd
trial groups than the negative control group. It can be concluded that the
ethanolic extract of taro tuber can accelerate wound healing and the best wound
healing activity occurred using the extract with 1% concentration.
Keywords: Taro tuber (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum), wounds
area, the percentage of wound healing, and wound healing rate.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak pernah lelah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan
Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague
Dawley” disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt dan Bapak Syaikhul Aziz, M. Si., Apt, selaku
dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan
waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Drs.Umar Mansur, M.Sc., Apt dan Ibu Eka Putri,M.Si.,Apt selaku
dosen penguji yang telah banyak memberikan evaluasi dan saran dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM.,M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Yardi, M. Si., Ph. D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Khaidir Nasution dan Ibu Nuraimah Lubis,
yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, serta kasih
sayang dan do’a tiada henti. Kepada kedua adikku tercinta, Adelia Nasution,
dan Khairunnisak Nasution, yang selalu menghibur dan memberikan
semangat serta do’a.
6. Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
viii
7. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis
menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak
membantu berlangsungnya penelitian ini.
9. Sahabat-sahabatku di CSS Mora yang sama-sama berjuang dan mengemban
tanggung jawab sebelum maupun setelah menyelesaikan pendidikan ini.
10. Sahabat-sahabatku Puspita, Nanda, Herlina, Ni’mah, Wina, Kiki Rambe,
Bilqis, Fifi, Erlin, Mufidah,Qurry yang telah memberikan semangat dan
pengalaman yang indah selama kuliah.
11. Teman yang berjuang bersama dalam berlangsungnya penelitian ini, Titis
Mawarsari.
12. Teman-teman Farmasi angkatan 2011 yang sama-sama berjuang
menyelesaikan pendidikan ini.
13. Teman-teman Farmasi 2011 AC yang tidak membuat penulis menyesal
telah menjadi bagian dari kalian.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis selama ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Ciputat, 6 Juli 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................ ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.4 Hipotesis ......................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 6 2.1.Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum .......................... 6
2.1.1 Klasifikasi Tanaman ............................................................. 7
2.1.2 Sinonim ................................................................................. 7
2.1.3 Morfologi Tanaman .............................................................. 7
2.1.4 Habitat Tanaman ................................................................... 8
2.1.5 Kandungan Kimia ................................................................. 8
2.1.6 Aktivitas Biologi ................................................................... 9
2.2.Ekstraksi ......................................................................................... 10
2.3.Tinjauan Hewan Percobaan............................................................ 12
2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................... 12
2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ............................. 12
2.4.Kulit ............................................................................................... 14
2.4.1 Anatomi Kulit ....................................................................... 14
2.4.1.1 Epidermis ................................................................... 14
2.4.1.2 Dermis........................................................................ 15
2.4.1.3 Subkutis ..................................................................... 15
2.4.2 Fisiologi Kulit ....................................................................... 16
2.4.2.1 Proteksi ...................................................................... 16
2.4.2.2 Sensasi ....................................................................... 16
2.4.2.3 Regulasi Suhu ............................................................ 16
2.4.2.4 Penyimpanan.............................................................. 17
2.4.2.5 Ekskresi...................................................................... 17
2.4.2.6 Sintesis Vitamin D ..................................................... 17
2.5.Luka................................................................................................ 17
2.5.1 Definisi Luka ......................................................................... 17
xi
2.5.2 Jenis-jenis luka ...................................................................... 17
2.5.3 Penyembuhan Luka ............................................................... 20
2.5.3.1 Prinsip Penyembuhan Luka ....................................... 26
2.5.3.2 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka ........ 30
2.5.3.3 Komplikasi penyembuhan luka ................................. 33
2.6.Krim ............................................................................................... 34
2.6.1 Pembuatan Krim.................................................................... 35
2.6.2 Formula Sediaan Krim .......................................................... 35
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 40
3.1 Tempat dan Waktu penelitian ........................................................ 40
3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 40
3.2.1 Alat Penelitian ....................................................................... 40
3.2.2 Bahan Uji ............................................................................... 40
3.2.3 Bahan Kimia .......................................................................... 40
3.2.4 Hewan Uji .............................................................................. 41
3.3 Rancangan Penelitian ..................................................................... 41
3.4 Kegiatan Penelitian ........................................................................ 42
3.4.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ................................... 42
3.4.2 Penyiapan Simplisia .............................................................. 42
3.4.3 Pembuatan Ekstrak ................................................................ 42
3.4.4 Standarisasi Ekstrak............................................................... 43
3.4.4.1 Penentuan Parameter Non Spesifik .............................. 43
3.4.4.2 Penentuan Parameter Spesifik ...................................... 44
3.4.5 Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ........... 47
3.4.6 Evaluasi Sediaan Krim .......................................................... 48
3.4.6.1 Uji Organoleptik........................................................... 48
3.4.6.2 Uji Homogenitas .......................................................... 48
3.4.7 Persiapan Hewan uji .............................................................. 48
3.4.8 Pemberian Perlakuan ............................................................. 48
3.4.8.1 Pembuatan Luka ........................................................... 48
3.4.8.2 Pemberian Bahan Uji ................................................... 49
3.4.9 Pengamatan Penyembuhan Luka ........................................... 49
3.4.10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................. 50
3.4.11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus .... 50
3.4.12 Pengamatan Preparat Histopatologi .................................... 51
3.4.13 Rencana Analisa Data ......................................................... 51
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 52 4.1 Hasil Penelitian .............................................................................. 52
4.1.1. Determinasi Tanaman ............................................................ 52
4.1.2. Ekstraksi ................................................................................ 52
4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia ..................................................... 52
4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik ......... 53
4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim ................................................. 53
4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus .................................... 54
4.1.7. Hasil Pengukuran Luas dan Persentase Penyembuhan Luka 55
4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi ............................. 56
4.2 Pembahasan .................................................................................... 58
xii
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 69 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 69
5.2 Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 70
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data Biologis Tikus ...................................................................... 13
Tabel 2. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan........... 41
Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ....................... 47
Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang .... 52
Tabel 5. Hasil Penetuan Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik . 53
Tabel 6. Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ............. 53
Tabel 7. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ........................................... 54
Tabel 8. Rata-rata Luas Luka Tiap Kelompok ............................................ 55
Tabel 9. Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok ........... 55
Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi .................................. 56
Tabel 11. Hasil Penapisan Fitokimia ............................................................ 84
Tabel 12. Foto Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 .................. 90
Tabel 13. Diameter, Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Tiap
Kelompok........................ ....................................................... ...... 93
Tabel 14. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif
Hari ke-0 dan 3 ............................................................................. 95
Tabel 15. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif
Hari ke-3 dan 6 ............................................................................. 95
Tabel 16. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif
Hari ke-6 dan 9 ............................................................................. 96
Tabel 17. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif
Hari ke-9 dan 12 ........................................................................... 96
Tabel 18. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif
Hari ke-0 dan 3 ............................................................................. 96
Tabel 19. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif
Hari ke-3 dan 6 ............................................................................. 97
Tabel 20. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif
Hari ke-6 dan 9 ............................................................................. 97
Tabel 21. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif
Hari ke-9 dan 12 ........................................................................... 97
Tabel 22. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-0 dan 3 ... 98
Tabel 23. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-3 dan 6 ... 98
Tabel 24. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-6 dan 9 ... 98
Tabel 25. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-9 dan 12 . 99
Tabel 26. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-12 dan 14 99
Tabel 27. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-0 dan 3 .. 100
Tabel 28. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-3 dan 6 .. 100
Tabel 29. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-6 dan 9 .. 100
Tabel 30. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-9 dan 12 101
Tabel 31. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II
Hari ke-12 dan 14 ......................................................................... 101
Tabel 32. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-0 dan 3 . 102
Tabel 33. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-3 dan 6 102
Tabel 34. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-6 dan 9 102
xiv
Tabel 35. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III
Hari ke-9 dan 12 .......................................................................... 103
Tabel 36. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III
Hari ke-12 dan 14 ......................................................................... 103
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) ...... 8
Gambar 2. Anatomi kulit...................................................................................... 16
Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka ............................................. 22
Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka ........................................... 23
Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka ........................................ 26
Gambar 6. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok .............................. 54
Gambar 7. Grafik rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok .......... 55
Gambar 8. Botol Maserasi .................................................................................. 78
Gambar 9. Vacuum Rotary Evaporator .............................................................. 78
Gambar 10. Timbangan Analitik ........................................................................ 78
Gambar 11. Tanur tinggi ..................................................................................... 78
Gambar 12. Desikator ......................................................................................... 78
Gambar 13. Ekstrak kental .................................................................................. 78
Gambar 14. Oven (Memmert) ............................................................................. 78
Gambar 15. Umbi Talas Jepang .......................................................................... 78
Gambar 16. Pelarut Etanol 96% .......................................................................... 78
Gambar 17. Oven Vakum ................................................................................... 79
Gambar 18. Hot Plate ......................................................................................... 79
Gambar 19. Alat Bedah ....................................................................................... 79
Gambar 20. Krim Bahan Uji ............................................................................... 79
Gambar 21. Reagen Penapisan Fitokimia ........................................................... 79
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alat dan Bahan ......................................................................... 78
Lampiran 2. Prosedur kerja ........................................................................... 80
Lampiran 3. Determinasi Tanaman Colocasia esculenta (L.) Schott ........... 81
Lampiran 4. Skema Pembuatan Krim Ekstrak Umbi Talas Jepang .............. 82
Lampiran 5. Alur Penelitian .......................................................................... 83
Lampiran 6. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang 84
Lampiran 7. Tahapan Pengukuran Diameter Luka dengan Aplikasi ImageJ 87
Lampiran 8. Pemeriksaan Parameter Ekstrak ............................................... 89
Lampiran 9. Luka Tikus Mulai Hari Ke-0 Hingga Hari ke-14 ..................... 90
Lampiran 10.Diameter luka seluruh kelompok hewan uji ............................ 93
Lampiran 11.Hasil Analisa Statistik Luas Luka ........................................... 95
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka adalah kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit
yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori
& Solanki, 2011). Luka juga didefinisikan sebagai keadaan hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan trauma benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan sengatan listrik atau gigitan hewan (R.
Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2005).
Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan
regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh melalui tiga
fase proses penyembuhan, yaitu fase inflamatori, fase proliferatif dan fase
remodelling. Komponen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka
adalah kolagen, angiogenesis dan granulasi (Ferdinandez et al, 2013). Kecepatan
penyembuhan luka tergantung dari luas dan kedalaman luka, serta ada tidaknya
komplikasi yang mengganggu proses penyembuhan luka yang alami seperti pada
orang yang berusia lanjut, pengobatan dengan steroid, dan yang menderita
penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al, 2008).
Luka terbuka yang tidak diobati memiliki potensi untuk mengalami infeksi
seperti gangren dan tetanus. Jika infeksi dibiarkan, akan menyebabkan
kelumpuhan, infeksi kronik, infeksi tulang, bahkan kematian. Oleh karena itu,
penanganan yang tepat diperlukan untuk mengurangi terjadinya infeksi pada suatu
luka. Luka infeksi merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada negara
berkembang karena kebersihan yang buruk. Ketersediaan obat yang dapat
mempercepat proses penyembuhan luka masih terbatas meskipun perkembangan
industri obat sudah sangat maju (Meenakshi et al. 2012).
Data infeksi luka pasca pembedahan pada 5 tahun terakhir (1995-2010)
mencapai 1,2-23,6% di negara berpenghasilan rendah hingga menengah,
sedangkan negara maju sekitar 1,2-5,2% dan Indonesia mencapai 7,1% (WHO,
2011). Infeksi menyebabkan 10.000 kematian setiap tahun terutama di asia dan
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
afrika (WHO, 2014) dan lebih dari 10.000 kasus tetanus terjadi di dunia pada
tahun 2013 (WHO, 2014).
Tujuan dari manajemen luka adalah menurunkan kejadian luka yang
terinfeksi, penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit,
ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni & Akhlesh,
2012). Saat ini tidak ada substansi yang sangat efektif untuk mempercepat proses
penyembuhan luka, sehingga perhatian meningkat dalam menemukan ekstrak
tanaman untuk meningkatkan regenerasi penyembuhan luka, meskipun
penggunaan dari ekstrak tanaman untuk pengobatan luka umumnya baru
merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (Mathivanan et
al, 2006).
Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum termasuk dalam keluarga
araceae yang umumnya dikenal sebagai talas satoimo/taro. Daun dan umbi
tanaman ini umumnya digunakan sebagai makanan di beberapa negara seperti
Jepang, Cina, India, Philippines dan lainnya (Wang, 1983). Umbi Colocasia
esculenta (L.) Schott mengandung alkaloid, steroid, lemak, fixed oil, flavonoid,
tanin, protein dan karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin,
riboflavin, niacin (Subhash et al, 2012). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar
dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk
talas ini sangat besar, terutama di negara Jepang sebagai makanan pokok
(Pudjiatmoko, 2008). Akan tetapi, penelitian terhadap potensi tanaman ini masih
sedikit dilakukan di Indonesia.
Penelitian terdahulu menggunakan ekstrak air daun Colocasia esculenta
(L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa polifenol
yang berperan dalam penyembuhan luka. Senyawa polifenol memiliki aktivitas
antioksidan yang dapat menekan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS)
dan menghambat hyaluronidase sehingga melindungi sel-sel kulit dari kerusakan
oksidatif dan mempercepat pemulihan luka pada tahap inflamasi (Girish &
Kemparaju, 2007). Penelitian yang menggunakan ekstrak metanol daun Colocasia
esculenta (L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut dapat meningkatkan
aktivitas proliferasi sel NB1-RGB (normal human skin fibroblast cells) lebih dari
10% dan meningkatkan sintesis kolagen (Takahashi et al, 2012).
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian lainnya yang menggunakan ekstrak etanol tangkai daun
Colocasia esculenta (L.) Schott menyimpulkan bahwa ekstrak tangkai daun talas
berpotensi sebagai alternatif obat luka sayatan pada kulit kelinci. Tangkai daun
Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit sekunder berupa saponin,
flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid yang berperan dalam menyembuhkan luka
(Wijaya et al, 2014). Subhash et al (2012) menyimpulkan bahwa umbi Colocasia
esculenta positif mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, dan
saponin. Kandungan metabolit sekunder ini kemungkinan berperan dalam
penyembuhan luka seperti pada tangkai daunnya.
Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang merupakan protein
lektin yang memiliki aktivitas proteolitik (Rao et al, 2010; Roxas, 2013). Menurut
Priosoeryanto et al., (2006) lektin berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel
kulit. Tarin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka karena aktivitas
proteolitiknya seperti papain yang efektif meluruhkan jaringan nekrotik,
mencegah infeksi dan menstimulasi pembentukan jaringan granulasi pada luka
melalui aktivitas enzim proteolitik yang dapat mengangkat jaringan mati tanpa
merusak sel hidup (Roxas, 2013; Sidik & Salmah, 2005).
Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa kandungan berbagai
senyawa dalam umbi Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum dapat
mempercepat penyembuhan luka. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh ekstrak Colocasia esculenta (L.) Schott terhadap kecepatan
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague
Dawley dengan metode Morton selama 14 hari. Parameter yang akan dinilai
dalam luka adalah luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan
luka dan parameter histopatologi seperti neokapilerisasi, keberadaan sel radang
dan fibroblas serta kerapatan kolagen secara deskriptif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta
(L.) Schott var. antiquorum) mempengaruhi luas luka, persentase
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?
2. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta
(L.) Schott var. antiquorum) mempengaruhi neokapilerisasi, keberadaan
sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada penyembuhan luka
pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap luas luka, persentase
penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
2. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap neokapilerisasi,
keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague Dawley.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.)
Schott var. antiquorum) dapat mengurangi luas luka, meningkatkan
persentase penyembuhan luka dan mempersingkat waktu penyembuhan
luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
2. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.)
Schott var. antiquorum) dapat mengurangi keberadaan sel radang,
meningkatkan neokapilerisasi, fibroblas dan kerapatan kolagen pada
penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague Dawley.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai khasiat ekstrak
umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) yang
mempercepat penyembuhan luka dan memberikan informasi yang dapat
digunakan dalam pengobatan luka setelah pembedahan.
6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum
Talas (Colocasia esculenta L.Schott) merupakan tanaman herba yang
termasuk dalam famili Araceae Colocasia esculenta yang dikelompokkan menjadi
2 varietas, yaitu Colocasia esculenta var. esculenta (dasheen) dan Colocasia
esculenta var. antiquorum (eddoe). Talas dasheen memiliki umbi tengah yang
besar, sedangkan talas eddoe atau sering disebut talas satoimo memiliki umbi
tengah yang kecil dengan banyak anak umbi di sekitarnya. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia Selatan (India) atau Asia
Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara
lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di kawasan Caribia
melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove (1992), talas
eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat ditanam di
Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai di seluruh kepulauan dan
tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya (Fitriani,
2013). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah
di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di
Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya mengkonsumsi talas satoimo
sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008).
Sifat umum talas-talasan adalah rasanya yang menggigit dan getahnya
yang menyebabkan iritasi. Rasa menggigit disebabkan oleh adanya rasa
membakar atau pahit yang diakibatkan oleh senyawa yang masih belum diketahui,
yang mungkin berupa glukosida atau protein dan adanya getah iritan. Getah iritan
adalah senyawa yang mengandung struktur kalsium oksalat halus berbentuk
serupa jarum yang dihasilkan oleh sel khusus dan jika dikonsumsi akan menusuk
dan melukai jaringan mulut dan lidah. Hal ini juga menyebabkan sensasi yang
sama saat terkena kulit (Wang, 1983).
Rasa menggigit dapat dihilangkan dengan proses denaturasi
(pemasakan/pemanasan) umbi sebelum dikonsumsi, dimana dengan proses
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
denaturasi tersebut akan dapat menonaktifkan penghambat tripsin yang dikandung
oleh umbi talas (Rubatzky & Yamaguchi, 1995).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (Koawara, 2013)
Dalam taksonomi, kedudukan Colocasia esculenta (L.) Schott dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Colocasia
Species : Colocasia esculenta (L.) Schott
2.1.2 Sinonim
Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu taro
(English); alavi, patarveliya (Gujarati); arvi, kachalu (Hindi); alu (Marathi);
alupam, alukam (Sanskrit); dan sempu (Tamil) (Prajapati, 2011), Old cocoyam,
Abalong, Taioba, Keladi, Satoimo, Tayoba, dan Yu-tao (Koawara, 2013).
2.1.3 Morfologi Tanaman
Tanaman talas mempunyai sistem perakaran serabut, liar dan pendek.
Umbi mempunyai jenis bermacam-macam. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih,
berbentuk silinder atau bulat, berwarna coklat. Daunnya berbentuk perisai atau
hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 m
panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. Pembungaan terdiri atas tongkol,
seludang dan tangkai. Bunga jantan dan bunga betina terpisah berada di bawah,
bunga jantan di bagian atasnya dan pada puncaknya terdapat bunga mandul.
Bunga bertipe buah buni, bijinya banyak, berbentuk bulat telur dan panjangnya 2
mm (Telaumbanua, 2005).
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
(Sumber : Deo, 2009)
2.1.4 Habitat Tanaman
Tanaman talas dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai
dataran tinggi yang berketinggian ± 1300 meter dpl (diatas permukaan laut).
Lingkungan tumbuh yang idealuntuk tanaman talas bersuhu 21-27C dengan
kelembaban udara 50-90%, mendapat sinar matahari langsung dan bercurah hujan
240 mm/tahun. Di daerah yang berketinggian ± 250 meter dpl. Dan beriklim
basah sehingga dapat berproduksi dengan baik dan berkualitas prima (Rukmana,
1998).
2.1.5 Kandungan Kimia
Daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung senyawa fenol, tanin,
saponin, steroid, quinon, selulosa, terpenoid, glikosida dan alkaloid (Dhanraj,
2013), mineral dan vitamin seperti kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin,
riboflavin dan niacin (Sharma et al, 2001).
Tangkai daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit
sekunder berupa saponin, flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid (Wijaya et al,
2014).
Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki kandungan flavonoid,
triterpenoid, tanin, saponin, alkaloid, tarin, protein, rosmarinic acid, 1-O-feruloyl-
D-glucoside, 1-O-caffeoyl-D-glucoside, Zn, vitamin C dan A (Okeke & Iweala,
2007; Rukmana’ 2002; Fasuyi 2005). Flavonoid yang terkandung dalam
Colocasia esculenta (L.) Schott adalah orientin, isoorientin, vitexin, isovitexin,
luteolin-7-O-glucoside, dan luteolin-7-O-rutinoside (Li et al, 2014).
9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Umbi taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung
kalsium 0,013%, fosfat 0,032%, besi 0,0015%, lemak 0,07%, karbohidrat 15,
34%, serat 0,63%, kadar air 81,4% (Chung, 1929), protein 1,44% (Derstine &
Rada, 1952), riboflavin (B2) 0,17 µg/g, thiamin (B1) 0,84 µg/g, niacin (B3) 6,4
µg/g (Bauer et al. 1951), antosianin, kalsium oksalat, dan alkaloid (Arditti et al.
1979 ; Strauss et al. 1980). Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang
merupakan protein utama yang terkandung dalam umbi taro sekitar 40% dari total
protein umbi (Rao et al, 2010; Roxas, 2013).
Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama natrium (740
mg/100g), magnesium (79-122 mg/100g), kalsium (24.7-47.8 mg/100g) dan
kalsium (42mg/100g) serta mengandung Zn (3,05 mg/100g) dan Besi (2,07
mg/100g) (McEwan, 2008)
2.1.6 Aktivitas Biologi
Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki aktivitas antifungi, antikanker,
efek hipoglikemik dan hipolipidemia, anti inflamasi (Prajapati, 2011),
antidiabetes, antimikroba, antihepatotoksik, antioksidan (Halligudi, 2013), dan
efektif terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcusmutans, Bacillus
subtilis, bakteri gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas fragi
dan fungi seperti Aspergillus niger dan Candida albicans (Halligudi, 2013). Daun
Colocasia esculenta (L.) Schott efektif terhadap Salmonella typhi, Klebsiella
pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Proteus vulgaris dan
E.coli, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun tanaman ini dapat digunakan
untuk mengobati typhoid, Pneumonia, Otitis, infeksi saluran kemih dan diare
(Dhanraj et al, 2013).
Dalam suatu penelitian terhadap daun Colocasia esculenta, Girish &
Kemparaju menjelaskan bahwa ekstrak daun Colocasia esculenta berpotensi
menginhibisi hyaluronidase, yang merupakan enzim yang berperan dalam
homeostasis tubuh. Pada jaringan yang dapat berfungsi normal, keseimbangan
antara sintesis dan degradasi asam hialuronat (HA) memiliki peran penting. Asam
hialuronat dengan berat molekul tinggi terdegradasi secara ekstraseluler oleh
HAse. Secara non enzimatik, HA terdegradasi oleh oksigen reaktif (ROS).
10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hyaluronidase merupakan endoglukosaminidase, sedangkan ROS mendegrasi HA
melalui ikatan glikosidik internal (Gonçalves et al, 2013).
Menurut Mio & Stern, dalam proses penyembuhan luka yang tidak
seimbang, terjadi peningkatan inflamasi akibat akumulasi fragmen HA, maka
inhibitor hialuronidase sangat penting untuk mencegah akumulasi fragmen asam
hialuronat dengan berat molekul tinggi (LMWHA) dan kondisi inflamasi yang
berkepanjangan (Gonçalves et al, 2013).
Kandungan tarin dalam umbi taro merupakan protein lektin yang memiliki
aktivitas proteolitik seperti papain pada Carica papaya dan bromelin pada Ananas
Comusus. Menurut Priosoeryanto et al., (2006) kandungan lektin dalam getah
pelepah pisang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit.
2.2 Ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), ekstraksi adalah kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat
larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia
dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-
lain (Ditjen POM, 2000).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI, 2000). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut, yaitu (Ditjen POM, 2000) :
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur
kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus
disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan
panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat
pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang
selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya
dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai
diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat
pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur 40-50°C.
3. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga
menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
4. Infusa
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 15 menit.
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 30 menit.
Faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah (Depkes RI, 2000) :
1. Faktor biologi, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),
dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi
tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan
dan bagian yang digunakan.
12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Faktor kimia, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat),
dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :
a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi
kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.
b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat
ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam
berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan.
2.3 Tinjauan Hewan Percobaan
2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Menurut Krinke (2000) klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu
dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding
dengan mamalia lainnya Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan
juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya
2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun.
Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika
Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus
13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman,
dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan
laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam
kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar
sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium
lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat
minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi
tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar
diantara galur yang lain.
Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian.
Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan
Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri
berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh
peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred
tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya
adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Adapun data biologis tikus
sebagai berikut :
Tabel 1. Data Biologis Tikus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)
Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun
Lama produksi ekonomis 1 tahun
Lama bunting 20-22 hari
Umur dewasa 40-60 hari
Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina)
Siklus kelamin Poliestrus
Siklus estrus (berahi 4-5 hari
Lama estrus 9-20 jam
Perkawinan Pada waktu estrus
Ovulasi 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan
Ferilisasi 7-10 jam sesudah kawin
Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi
Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina
Suhu (rektal) 36-39oC (rata-rata 37,5
oC)
Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan
anestesi, naik sampai 150 dalam stress
Denyut jantung 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan
14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
anestesi, naik sampai 550 dalam stress
Tekanan Darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80
sistol, 55 diastol dengan anestesi
Konsumsi oksigen 1,29-2,68 ml/g/jam
Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm
3
Sel darah putih 5,0-13 0 x 103/mm
3
SGPT 17,5-30,2 lU/liter
SGOT 45,7-80,8 IU/liter
Kromosom 2n=42
Aktivitas nokturnal (malam)
Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa)
Konsumsi minuman 20-45 ml/hari (dewasa)
2.4 Kulit
2.4.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh terbesar yang membentuk 15% berat badan total.
(Gibson, 2002) Kulit terdiri dari tiga lapisan yang masing-masing terdiri dari
berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan
tersebut adalah epidermis, dermis, dan subkutis (Wasiatmadja & Syarif, 2007).
2.4.1.1 Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar terutama terdiri dari epitel skuamosa
bertingkat. Sel-sel yang menyusunnya secara berkesinambungan dibentuk oleh
lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel
baru ke arah permukaan, tempat kulit terkikis oleh gesekan. Lapisan luar
mengandung keratin, protein bertanduk, hanya sedikit darinya pada permukaan
tubuh yang terpajan untuk terpakai dan terkikis, seperti pada permukaan dalam
lengan, paha dan lebih banyak lagi pada permukaan ektensor, lapisan ini terutama
tebal pada kaki (Gibson, 2002). Lapisan ini terdiri atas:
a. Stratum corneum (lapisan tanduk)
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak
mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit
mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, yaitu jenis
protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi
tubuh dari pengaruh luar.
b. Stratum lucidum (lapisan jernih)
Berada tepat di bawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis,
jernih. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.
c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir)
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar,
berinti mengkerut.
d. Stratum spinosum (lapisan malphigi)
Sel berbentuk kubus dan seperti berduri, intinya besar dan oval. Setiap sel
berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.
e. Stratum germinativum (lapisan basal)
Adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel
melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin.
2.4.1.2 Dermis
Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen, jaringan fibrosa dan
elastin. Lapisan superfisial menonjol ke dalam epidermis berupa sejumlah papila
kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan. Lapisan ini
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf (Gibson, 2002).
2.4.1.3 Subkutis
Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri dari
lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator panas.
Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori. Di lapisan ini terdapat ujung-
ujung saraf tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening (Wasiatmaja & Syarif,
2007).
16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2. Anatomi kulit
(Sumber : Kolarsick, 2011)
2.4.2 Fisiologi Kulit
2.4.2.1 Proteksi
Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan di bawahnya dan lingkungan
luar. Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet, dan
invasi mikroorganisme (Gunstream, 2000). Sebagian besar mikroorganisme
mengalami kesulitan untuk menembus kulit yang utuh tetapi dapat masuk melalui
kulit yang luka dan lecet. Selain proteksi yang diberikan oleh lapisan tanduk,
proteksi tambahan diberikan oleh keasaman keringat dan adanya asam lemak
dalam sebum, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002).
2.4.2.2 Sensasi
Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus
yang berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan nyeri. (Gunstream,
2000). Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu dan tekanan pada kulit dan jaringan
subkutan, ditransmisikan melalui saraf sensorik menuju medula spinalis dan otak
(Gibson, 2002).
2.4.2.3 Regulasi Suhu
Selama periode kelebihan produksi panas oleh tubuh, sekresi keringat dan
evaporasi melalui permukaan tubuh membantu menurunkan temperatur tubuh
(Gunstream, 2000).
17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.2.4 Penyimpanan
Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapat
ditarik berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).
2.4.2.5 Ekskresi
Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa
metabolisme dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik
(Gunstream, 2000).
2.4.2.6 Sintesis vitamin D
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet dapat mengkonversi molekul prekursor
(7-dihidroksi kolesterol) dalam kulit menjadi vitamin D. Namun, hal tersebut
tidak dapat menyediakan vitamin D secara keseluruhan bagi tubuh, sehingga
pemberian vitamin D secara sistemik masih diperlukan (Gunstream, 2000;
Wasiatmaja & Syarif, 2007).
2.5 Luka
2.5.1 Definisi Luka
Luka adalah rusak dan hilangnya sebagian jaringan kulit yang terjadi
akibat gangguan secara fisik. Luka diklasifikasikan dalam dua kategori umum
yaitu akut dan kronis. Luka akut proses perbaikannya terjadi secara rapi, tepat
waktu dan terus-menerus sebagai hasil pemulihan anatomi dan fungsional kulit.
Luka kronis merupakan luka yang proses penyembuhannya lama terjadi karena
adanya kegagalan dalam proses penyembuhan misalnya luka pada diabetes dan
ulkus vena (Schwartz and Daly, 1999).
2.5.2 Jenis-jenis luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana terjadinya luka dan
menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi (Prabakti, 2005)
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi, tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi). Luka bersih biasanya
18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi
luka sekitar 1% - 5%.
b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalamkondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksiluka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka (Prabakti, 2005)
a. Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda
klinis seperti lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang
dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Luka sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia
tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu
lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas.
3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka (Prabakti, 2005)
a. Luka akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut adalah luka
baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan, contoh: luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan,
dapat terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik
gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik
terhadap terapi dan punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus
dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous dan lain-lain.
4. Berdasarkan Penyebab (Taylor,1997)
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti
kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun
tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi
luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya
dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan
benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur.
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak
beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan
lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman
luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan
hewan tersebut.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk
luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena
kerusakan epitel kulit dan mukosa.
5. Berdasarkan mekanisme terjadinya luka (Prabakti, 2005)
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen
yang tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih
(aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah
yang luka diikat.
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti
peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi
pada bagian ujung biasanya luka akan melebar.
g. Luka Bakar (Combustio).
h. Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar
atau hewan piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan
yang ganas dan pemakan daging, yaitu dalam usaha untuk membela
diri. Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka
compang camping luas yang berat.
i. Luka Eksisi (Excised wound), luka yang diakibatkan terpotongnya
jaringan oleh goresan benda tajam (Partogi, 2008).
2.5.3 Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
mamulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian dari
proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung
proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area luka yang bebas dari
kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan
penyembuhan jaringan (Taylor,1997).
Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS)
sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian
kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang
ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu
penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun
ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat
diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan
dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada
hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 1997).
Proses penyembuhan luka yang alami (Kozier, 1995 & Taylor, 1997) :
a) Fase inflamasi atau lag Phase
Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase
inflamasi terjadi pada hari 0-5. Luka trauma atau luka pembedahan
mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan
perdarahan. Trombosit dan sel-sel radang ikut keluar. Trombosit
mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam
amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus
dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang
keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara
kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler, hal ini meyebabkan terjadi eksudasi
cairan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada
awal terjadinya luka. Dengan demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit,
limfosit dan monosit menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman
(proses pagositosis).
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Leukosit PMN adalah sel pertama yang menuju ketempat luka .
Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24-48 jam. Fungsi
utamanya adalah melakukan fagositosis bakteri yang masuk. Pada
penyembuhan luka normal kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting. Adanya
sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi
infeksi PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah hari
ketiga (Mulyata, 2002).
Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada
tahap selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48-96 jam setelah terjadinya
luka dan mencapai puncak pada hari ke-3. Dibandingkan dengan leukosit
PMN makrofag berumur lebih panjang dan tetap ada didalam luka sampai
proses penyembuhan luka berjalan sempurna. Setelah makrofag akan muncul
limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncaknya
pada hari ke-7. Berbeda dengan sel PMN, makrofag dan limfosit T penting
keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama halnya dengan
neutrofil, makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organisme-
organisme patologis dan jaringan sisa. Disamping itu makrofag juga
melepaskan faktor pertumbuhan dan sitokin yang mengawali dan
mempercepat formasi jaringan granulasi (Contran et al, 1999).
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan
pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).
Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka
(Sumber : Gurtner, 2007)
b) Fase proliferasi atau fibroblast
Fase ini terjadi pada hari ke 3-14. Bila tidak ada kontaminasi atau
infeksi yang bermakna, fase inflamasi akan berlangsung pendek. Terjadi
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses proliferasi dan pembentukan fibroblas (menghubungkan sel-sel) yang
berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas muncul pertama kali secara
bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7.
Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolangen yang
terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin.
Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan
mempertautkan tepi luka.
Fibroblas memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar, kolagen ini
berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler
yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut.
Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3 setelah luka, meningkat terus
sampai minggu ke-3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan
kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan
reguler sepanjang luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin,
asam hialuronik dan glikos aminoglikan (Contran et al, 1999).
Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan
dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil.
Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat
kolagen, kapiler-kapiler baru, membentuk jaringan kemerahan dengan
permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.
Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan
fibroplasia. Tunas-tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang
berdekatan dengan luka, tunas- tunas kapiler ini bercabang di ujung kemudian
bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir.
Tunas-tunas baru akan muncul dari lengkung kapiler membentuk pleksus
kapiler. Faktor-faktor terlarut yang menyebabkan angiogenesis belum
diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini terjadi dari kombinasi proses
proliferasi dan migrasi. Mediator terbentuknya sel pertumbuhan ini dan
kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit , makrofag dan
limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya asam laktat
dan amin biogenik merupakan stimulan potensial terbentuknya sitokin dan
growth factor seperti platelet – derived growth factor ( PDGF ), endothelin,
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vascular endothelial growth factor ( VEGF ), FGF. Beberapa sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu :
TNF , IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan
luka adalah meningkatkan matrik ekstra seluler ( ECM ) dan meningkatkan
kolagenasi.
Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase
proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi
restorasi integrasi epitel. Reepitelisasi terjadi beberapa jam setelah luka. Pada
tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal
basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat-serat fibrin dan berhenti
ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah
mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi
sampai saat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga
berperan adalah EGF, TGF , bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus
berulang ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul
pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Contran et al, 1999).
Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi
dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya
berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah dan tidak dapat naik,
pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka
tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka, terjadi
penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.
Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka
(Sumber : Gurtner, 2007)
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c) Fase remondelling atau fase maturasi
Fase ini berlangsung dari hari ke -7 sampai dengan 1 tahun. Parut dan
sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal.
Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur luka
menjadi utuh. Setelah matriks ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi.
Matriks ekstra sel pada mulanya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya
menghasilkan migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi
juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblas. Terbentuknya asam
hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan pada
pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan
membantu infiltrasi seluler. Kolagen selanjutnya berkembang cepat menjadi
faktor utama yang membentuk matriks. Pada awalnya serabut kolagen
terdistribusi secara acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi
serabut fibril secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan
meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari
periode jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan
granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan
asam hialuronidase, selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari kekuatan
tahanan luka karena proses fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan
tegangan luka berjalan lambat. Setelah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka
mencapai 20 % dari kekuatan akhir (Contran et al, 1999; Mulyata, 2002).
Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena deposisi
jaringan kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen membentuk
serabut-serabut kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter
molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut
tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim
kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi mengembalikan luka ke
jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Contran et al, 1999).
Penyembuhan luka yang ideal adalah struktur, fungsi dan penampilan
anatomi kulit kembali normal. Batas waktu penyembuhan luka di tentukan
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound Healing
Society).
Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan
melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu.
Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black &
Jacob’s , 1997).
Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka
(Sumber : Gurtner, 2007)
2.5.3.1 Prinsip Penyembuhan Luka
Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut
Schwatz (2000) yaitu :
a. Koagulasi
Terjadinya luka, baik yang bersifat traumatik atau yang terbentuk
pada pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak.
Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin
kedalam lingkungan cedera. Brakinin, serotonin, dan histamine merupakan
senyawa vasoaktif lain yang dilepas oleh sel mast kejaringan sekitar.
Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa diapedesis yaitu keluarnya sel-sel
intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah
terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah.
Faktor-faktor pembekuan yang dilepaskan dari trombosit
menghasilkan fibrin yang bersifat hemostatik dan membentuk suatu jaringan
yang akan menampung migrasi lebih lanjut sel-sel inflamasi dan fibroblas.
Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses pembekuan. Tanpa kerja
fibrin ini maka kekuatan akhir dari suatu luka akan berkurang. Trombosit
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga penting dalam menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi
peristiwa penyembuhan luka.
b. Inflamasi
Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka.
Leukosit polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama,
diikuti oleh makrofag dalam jumlah yang banyak, dan kemudian limfosit.
Sel-sel radang ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan
melepaskan berbagai macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai
“faktor pertumbuhan”.
c. Fibroplasia
Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis
kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun
tidak akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi
kolagen akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu
pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat
serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk
dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan
meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut.
d. Sitokin
Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel.
Mereka juga berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka.
Contohnya sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis,
penyembuhan luka kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan
kekuatan tendon dan tulang setelah perbaikan.
e. Metabolisme matriks ekstraseluler
Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks,
dimana berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan
komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak,
tendon, ligament dan matriks tulang.
f. Sintesis kolagen
Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA.
Translasi mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami
beberapa modifikasi jika telah mencapai lingkungan ekstraseluler. Disini
terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil
oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi
pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh
memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan.
g. Degradasi kolagen
Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim
yang sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh
berbagai sel, termasuk sel radang, fibroblas dan sel epitel. Kolagenase masih
dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin.
Setelah kolagenase menjadi aktif, enzim dapat dihambat dengan
menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin
alfa-2.
h. Substansi dasar
Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan.
Kombinasi kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok
molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan
sitokin. Asam hialuronat memberikan linkungan yang cair untuk
mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul
dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa,
namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin.
i. Kontraksi luka
Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang
paling kuat. Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblas yang
berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya
serta memiliki sifat-sifat fibroblas lainnya.
j. Epitelisasi
Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang
terpapar dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses
epitelisasi tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh.
Lapisan luar kulit yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka
dengan ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat
dua fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu : migrasi dan mitosis.
Setelah epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan
bekuan darah yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi
sel epitel mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis
epitel. Sel-sel yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta
kelenjar sebasea didasar luka. Luka superficial dan tidak melewati membrane
basalis akan sembuh dengan regenerasi yang cepat. Luka yang menembus
membrane basalis seperti luka bakar akan sembuh melalui proses epitelisasi
tapi lama dan hasilnya seringkali memuaskan.
Proses migrasi selalu dimulai dari stratum basalis dari epitel dan
kelenjar sebasea serta folikel rambut yang terletak lebih dalam. Sel-sel akan
memipih dan membentuk tonjolan-tonjolan kesekitarnya. Sel ini akan
kehilangan perlekatan dengan sel basal disekitarnya dan mulai bermigrasi.
Beberapa hari setelah migrasi dimulai, sel akan istirahat dan membelah diri.
Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan
kembali ke fenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan
mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering.
Keropeng alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang
tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap
lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna.
k. Nutrisi
Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan.
Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam
askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling
sering. Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi prolin
menjadi asam aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan
molekul oksigen. Jaringan parut lama, memiliki aktifitas kolagenase yang
lebih tinggi dari pada kulit normal. Oleh sebab itu pada pasien skorbut,
jaringan parut akan retak lebih dahulu dibandingkan kulit normal. Terapi
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penggantian vitamin c secara agresif harus segera dilakukan setelah tauma
mayor unutk mencegah komplikasi penyembuhan luka.
Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan
meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis. Karbohidrat dan protein
merupakan sumber energi terpenting yang diperlukan dalam sintesis kolagen.
Bahan mineral, yaitu seng berperan dalam sintesis kolagen dan proses
epitelisasi (Mun’im et al, 2012).
Zat besi merupakan unsur yang penting untuk penyembuhan luka
yang sesuai. Besi juga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilasi reisdu
prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan
sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka
adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang
kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan
(Schwatz, 2000).
2.5.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari (Kozier, 1995 &
Taylor,1997) :
1) Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan
luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit
kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari
faktor pembekuan darah (Kozier, 1995).
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian
metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein,
Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang
nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah
pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko
infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan
adipose tidak adekwat (Taylor, 1997).
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3) Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam
percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri.
Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan
terhambat.
4) Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan
luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi
jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak
subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah
berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan
sel.
Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan
lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk
sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang
mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM.
Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau
gangguan pernafasan kronik pada perokok.
5) Keadaan luka
Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan
efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk
menyatu dengan cepat. Misalnya luka kotor akan lambat
penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.
6) Obat
Obat heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat
tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian
pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang
lebih lama.
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau
lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor
Intrinsik dan ekstrinsik (Black & Jacob’s, 1997).
1) Faktor Intrinsik
Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama
dan penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada
infeksi. Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah.
Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal.
Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama menunggu pasien di
beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing dalam
luka adalah sumber infeksi. Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap
aspek penyembuhan. Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan
pada pembulu darah jantung/paru. Hipoksia mengganggu aliran
oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan
tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen
peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblas dan
fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat
meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah
angiogenesis.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka
meliputi malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes
melitus. Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses
penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen
dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat memperlambat
semua fase penyembuhan luka karena protein dirubah menjadi energi
selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan terlambatnya
produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi.
Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatori yang
memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan
penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan
33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami
gangguan yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka
seperti diabetes melitus.
Diabetes melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak
pasien mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena
gangguan sintesa kolagen, angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan
kadar glukosa mengganggu transport asam askorbat kedalaman
bermacam sel termasuk fibroblas dan leukosit. Hiperglikemi juga
menurunkan leukosit kemotaktis, arterosklerosis, khususnya
pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen jaringan.
Neurapati diabetik merupakan gangguan penyembuhan lebih
lanjut dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan.
Kontrol dari gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan
luka secara normal.
Merokok adalah gangguan vasokontriksi dan hipoksia karena
kadar CO2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan.
Merokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih
lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan
menghambat kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami
penurunan strenght luka, menghambat kontraksi dan menghalangi
epitilisasi.
Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan
luka yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.
2.5.3.3 Komplikasi Penyembuhan Luka
Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi (Kozier, 1995,
Taylor, 1997).
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul dalam 2-
7 hari setelah pembedahan.gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,
peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit.
b. Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis
jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti darain).
Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika mungkin harus
sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah
itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril
mungkin diperlukan. Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin
diperlukan.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi pos-operasi yang serius.
Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya
pembulu kapiler melalui daerah irisan.
Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma,
gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat
mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.
Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk
segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
2.6 Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini
secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai
konsistensi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk
yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam
lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau
lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995).
Krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak
kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaiaan luar (Depkes RI, 1979).
35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ditinjau dari sifat fisiknya, krim dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Emulsi air dalam minyak atau emulsi W/O
b) Emulsi minyak dalam air atau emulsi O/W
Krim digunakan sebagai (Anief, 2000) :
a) Bahan pembawa obat untuk pengobatan kulit
b) Bahan pelembut kulit
c) Pelindung kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan
berair dan merangsang kulit
Krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, karena bahan
pembawa minyak dalam air cenderung untuk menyerap cairan yang diproduksi
luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan dengan air akan membentuk suatu
lapisan tipis yang semi permiabel, setelah air menguap dari tempat yang
digunakan. Dipihak lain, emulsi air di dalam minyak dari sediaan semipadat
cenderung membentuk lapisan hidrofobik pada kulit (Lachman, dkk., 1994).
2.6.1 Pembuatan Krim
Pembuatan krim dari formula dengan tipe emulsi minyak dalam air (m/a),
metode pembuatan secara umum meliputi proses peleburan, emulsifikasi, dan
saponifikasi. Komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin
dicairkan bersama di penangas air pada temperatur sekitar 70C sampai 75C.
Semua komponen yang larut dalam air dilarutkan dalam air panas. Lalu larutan
berair secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam campuran lemak cair sambil
diaduk, temperatur dipertahankan selama 5-10 menit, untuk menjaga kristalisasi
dari lilin dan kemudian campuran perlahan-lahan didinginkan dengan pengadukan
yang terus menerus sampai campuran membeku/mengental (Ansel, 1989).
2.6.2 Formula Sediaan Krim
Profil dari bahan-bahan yang digunakan dalam formula krim pada penelitian ini
adalah sebagai berikut (Rowe, 2006) :
1. Paraffin liquidum
Pemerian tidak berwarna, cairan berminyak, transparan, kental, tidak
berasa dan berbau saat dingin dan berbau lemah seperti minyak
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bumi saat dipanaskan.
Titik didih > 360C
Kelarutan praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air; larut
dalam aseton, benzena, kloroform, karbon disulfida, eter, dan
petroleum eter. Larut dengan minyak atsiri dan fixed oil,
kecuali minyak jarak.
Stabilitas dan
penyimpanan
Mengalami oksidasi akibat pemanasan dan cahaya, dapat
ditambahkan stabilisator untuk menghambat oksidasi seperti
butylated hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene, alpha
tocopherol, dan antioksidan lain yang umum digunakan.
Parafin liquidum dapat disterilisasi dengan metode panas kering
dan harus disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari
cahaya, di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas inkompatibel dengan oksidator kuat.
Fungsi Emolien, fase minyak dalam basis krim.
Konsentrasi 1-32% (emulsi topikal)
2. Asam stearat
Pemerian serbuk putih atau sedikit kuning, sedikit mengkilat, kristal putih
atau kekuningan, memiliki bau dan rasa seperti lemak.
Titik leleh 54C
Kelarutan mudah larut dalam benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dan
eter; larut dalam etanol (95%), heksana, dan propilen glikol;
praktis tidak larut dalam air.
Stabilitas dan
penyimpanan
merupakan bahan yang stabil, antioksidan dapat ditambahkan
ke dalamnya, harus disimpan dalam wadah yang tertutup di
tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas asam stearat tidak kompatibel dengan logam hidroksida dan
oksidator. Basis salep yang mengandung asam stearat akan
akan mengering akibat penambahan garam kalsium atau zink.
Fungsi Emulsifying agent
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Triethanolamin (TEA)
Pemerian cairan kental tidak berwarna hingga berwarna kuning jernih,
memiliki sedikit bau amonia.
Titik leleh 20–21C
Kelarutan Larut dalam aseton, karbon tetrakloida, metanol dan air, mudah
larut dalam benzena (1:24), etil eter (1:63).
Stabilitas dan
penyimpanan
TEA dapat berubah menjadi cokelat jika terpapar udara dan
cahaya. Triethanolamin harus disimpan dalam wadah kedap
udara terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Triethanolamin akan bereaksi dengan asam mineral membentuk
garam kristal dan ester. Dengan asam lemak lebih tinggi,
trietanolamina membentuk garam yang larut dalam air dan
memiliki karakteristik sabun. Triethanolamin juga bereaksi
dengan tembaga membentuk garam kompleks. Perubahan
warna dan pengendapan dapat terjadi dengan adanya garam
logam berat. Triethanolamin dapat bereaksi dengan reagen
seperti klorida tionil menghasilkan produk yang sangat beracun,
menyerupai mustard nitrogen lainnya.
Fungsi emulsifying agent
4. Adeps lanae
Pemerian berwarna kuning, zat lilin berwarna pucat, bau khas lemah, jika
meleleh berupa cairan kuning jernih.
Titik leleh 38-44C
Kelarutan mudah larut dalam benzena, kloroform, eter, dan petroleum
spirit, sedikit larut dalam etanol dingin (95%), lebih mudah
larut dalam etanol (95%) mendidih; praktis tidak larut dalam
air.
Stabilitas dan
penyimpanan
Paparan pemanasan yang berlebihan atau berkepanjangan dapat
menyebabkan waran menggelap dan berbau tengik. Namun
adeps lanae dapat disterilkan dengan metode panas kering pada
suhu 150C. Adeps lanae harus disimpan dalam wadah tertutup
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
baik terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering.
Penyimpanan normal dapat mencapai 2 tahun.
Inkompatibilitas Adeps lanae mungkin mengandung prooxidan, yang dapat
mempengaruhi stabilitas obat aktif tertentu.
Fungsi Emulsifying agent, fase minyak dalam basis krim
5. Methyl paraben (Nipagin)
Pemerian Kristal atau serbuk Kristal warna putih, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, rasa sedikit terbakar.
Titik leleh 125-128C
Kelarutan Sukar larut air (1:400), benzen, minyak kacang (1:200) dan
CCl4. Agak sukar larut dalam gliserin (1:60), Air suhu 50C
(1:50). Mudah larut dalam EtOH (1:2), EtOH 95% (1:3), EtOH
50% (1:6), propilen glikol (1:5), Air suhu 100C (1:30) dan eter
(1:10). Praktis tidak larut dalam minyak mineral.
Stabilitas dan
penyimpanan
Pada pH 3-6, larutan metil paraben stabil hingga 4 tahun pada
suhu kamar, sedangkan pada pH 8 dapat terhidrolisis dengan
cepat (10% atau lebih hingga 60 hari pada suhu kamar). Metil
paraben harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat
yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Inkompatibel dengan surfaktan non-ionik, bentonite, Mg
Trisilikat, talcum, tragakan, Na Alginat, minyak esensial,
sorbitol dan atropine. Berekasi dengan adanya berbagai macam
gula dan gula alcohol. Warna berubah menjadi hitam dengan
adanya besi.
Fungsi pengawet antimikroba
Konsentrasi 0,02-0,3% (sediaan topikal)
6. Propyl paraben (Nipasol)
Pemerian kristal, putih, tidak berbau, dan serbuk tidak berasa.
Titik leleh 295C
Kelarutan sukar larut air pada 15C (1:4350), air pada 20C (1:2500), air
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 80C (1:225), minyak mineral (1:330), gliserin (1:250),
propilen glikol 50% (1:110). Agak sukar larut dalam peanut oil
(1:70). Mudah larut dalam EtOH 95% (1:1,1), EtOH 50%
(1:5,6), propilen glikol (1:3,9), aseton dan eter.
Stabilitas dan
penyimpanan
Pada pH 3-6, larutan propilparaben stabil hingga 4 tahun pada
suhu kamar, sedangkan pada pH 8 dapat terhidrolisis dengan
cepat (10% atau lebih hingga 60 hari pada suhu kamar). Propyl
paraben harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat
yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Inkompatibel dengan surfaktan nonionik akibat miselisasi.
Magnesium aluminum silicate, magnesium trisilicate, yellow
iron oxide, dan ultramarine blue dapat mengabsorpsi propyl
paraben sehingga mengurangi efektivitas pengawet. Propyl
paraben berubah warna dengan adanya besi dan terhidrolisis
oleh basa lemah dan asam kuat.
Fungsi pengawet antimikroba
Konsentrasi 0.01–0.6% (sediaan topikal)
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian 1 dan 2, Laboratorium
Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta Animal House
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian berlangsung pada bulan Mei 2015 hingga Juni 2015.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Timbangan analitik
(AND GH-202 dan Wiggen Hauser), beaker glass, batang pengaduk, spatula,
kertas saring, kapas, tabung reaksi, kaca objek dan penutupnya, cawan penguap,
botol timbang, krus silikat, lumpang, alu, gelas ukur, corong, erlenmeyer, hot
plate, kaca arloji, rotary evaporator, pipet tetes, oven (Memmert), tanur (Thermo
Scientific), termometer, alumunium foil, timbangan hewan (Ohauss), kandang
tikus beserta tempat makanan dan minum, spuit 1 cc, pinset, gunting bedah,
alcohol swab, wadah pembiusan, logam berdiameter 1 cm, pH meter dan
mikroskop cahaya (Olympus SZ61).
3.2.2 Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol umbi talas jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum). Umbi Colocasia esculenta (L.)
Schott var. antiquorum diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan,
Jawa Timur dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Jakarta
Bogor Km 46, Cibinong.
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus
berupa pellet, akuades, alkohol 70%, krim ekstrak pegagan (Lanakeloid-E®),
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cairan injeksi ketamin 50 mg/ml, Veet®
, ammoniak, larutan HCl, kloroform,
pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, serbuk Mg, amil alkohol, larutan NaOH,
FeCl3, petroleum eter, larutan Hematoxylin-Eosin, eter, formalin buffer 10%,
asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, parafin liquid, nipagin dan nipasol.
3.2.4 Hewan Uji
Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan
150-50 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut
Pertanian Bogor.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi perlakuan. Perlakuan dikelompokkan
menjadi 5 bagian dengan jumlah total tikus yang di gunakan 30 ekor dimana 5
ekor tikus di gunakan untuk pengamatan luas luka serta persentase penyembuhan
luka dan 2 ekor dari masing-masing kelompok diambil untuk pengamatan
histopatologis. Lima kelompok tersebut terdiri dari kelompok kontrol negatif yang
diberikan basis krim, kelompok perlakuan yang diberikan krim ekstrak umbi talas
jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan 3 konsentrasi
yang berbeda dan kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®.
Tabel 2. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan
Kelompok Jumlah
Tikus Perlakuan
Lama
Perlakuan
Bagian yang
Digunakan
KP
(Kontrol
positif)
6
Kelompok V, daerah dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus dilukai dan dioleskan
Lanakeloid-E® (2xsehari)
14 Hari
Dorsal sekitar
3 cm dari
auricula
KN
(Kontrol
negatif)
6
Kelompok I, daerah dorsal sekitar 3 cm dari
auricula tikus dilukai dan dioleskan basis
krim tanpa ekstrak umbi talas jepang
(2xsehari)
14 Hari
Dorsal sekitar
3 cm dari
auricula
KU I
(Kelompok
Uji I)
6
Kelompok II, daerah dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus dilukai dan dioleskan
krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
dengan konsentrasi 1% (2xsehari)
14 Hari
Dorsal sekitar
3 cm dari
auricula
42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok Jumlah
Tikus Perlakuan
Lama
Perlakuan
Bagian yang
Digunakan
KU II
(Kelompok
Uji II)
6
Kelompok III, daerah dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus dilukai dan dioleskan
krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
dengan konsentrasi 5% (2xsehari)
14 Hari
Dorsal sekitar
3 cm dari
auricula
KU III
(Kelompok
Uji III)
6
Kelompok IV, daerah dorsal sekitar 3 cm
dari auricula tikus dilukai dan dioleskan
krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia
esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
dengan konsentrasi 25% (2xsehari)
14 Hari
Dorsal sekitar
3 cm dari
auricula
3.4 Kegiatan Penelitian
3.4.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)
Sebelum dilakukan penelitian, Colocasia esculenta (L.) Schott var.
antiquorum terlebih dahulu di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang
Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran
simplisia.
3.4.2 Penyiapan Simplisia
Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan Jawa Timur. Selanjutnya
pencucian, sortasi basah, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyerbukan
umbi talas jepang dilakukan di Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO).
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven selama 5 hari pada suhu 40-
50C. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan
terlindung dari cahaya.
3.4.3 Pembuatan Ekstrak
Pada pembuatan ekstrak umbi talas jepang digunakan metode ekstraksi
cara dingin dengan maserasi dan menggunakan etanol 96% sebagai pelarut.
Serbuk simplisa ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96%
hingga sampel terendam. Pelarut diganti setiap hari dan hasil maserasi disaring
sehingga diperoleh filtrat. Proses maserasi dilakukan hingga larutan mendekati
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary
evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang dihasilkan
kemudian dikeringkan menggunakan oven vakum selama 9 hari. Ekstrak yang
diperoleh ditimbang dan dicatat beratnya, selanjutnya disimpan dalam lemari
pendingin atau freezer dan digunakan untuk perlakuan.
3.4.4 Standarisasi Ekstrak
3.4.4.1 Penentuan Parameter Non Spesifik
1. Penetapan Kadar Air
1 gram ekstrak ditimbang saksama dalam wadah yang telah ditara.
Ekstrak dikeringkan pada suhu 105C selama 5 jam dan ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai
perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%
(Depkes RI, 2000).
Kadar air
x 100%
Keterangan :
W0 = Bobot wadah kosong yang telah ditara
W1 = Bobot ekstrak + wadah sebelum pemanasan
W2 = Bobot ekstrak + wadah setelah pemanasan
2. Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam
krus silikat yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0).
Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-
lahan (dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25C
(Depkes RI, 1980 dalam Arifin et al, 2006) hingga arang habis.
Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2).
Kadar Abu Total
x 100%
Keterangan :
W0 = bobot cawan kosong (gram)
W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram)
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4.2 Penentuan Parameter Spesifik
1. Identitas
Deskripsi tata nama
a. Nama ekstrak.
b. Nama lain tumbuhan (sistematika botani).
c. Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb).
d. Nama Indonesia tumbuhan.
2. Organoleptik
a. Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair.
b. Warna : kuning, coklat, dll.
c. Bau : aromatik, tidak berbau, dll.
d. Rasa : pahit, manis, kelat, dll.
3. Skrining Fitokimia
a. Identifikasi Alkaloid
Uji Alkaloid dilakukan dengan metode Mayer,Wagner dan
Dragendorff. Sampel sebanyak 3 gram diletakkan dalam cawan
porselin kemudian ditambahkan 5 mL HCl 2 M , diaduk dan
kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah sampel
dingin ditambahkan 0,5 gram NaCl lalu diaduk dan disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes ,
kemudian dipisahkan menjadi 4 bagian A, B, C, D. Filtrat A
sebagai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer, filtrat C
ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk
uji penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan
pereaksi Mayer dan Wagner maka identifikasi menunjukkan
adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan dengan menambahkan
amonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian
ditambahkan kloroform, dan diuapkan diatas waterbath.
Selanjutnya ditambahkan HCl 2M, diaduk dan disaring. Filtratnya
dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B diuji
dengan pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan pereaksi
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dragendorff. Terbentuknya endapan menunjukkan adanya
alkaloid (Marliana et al, 2005).
b. Identifikasi Flavonoid
Sebanyak 3 gram sampel diuapkan, dicuci dengan heksana sampai
jernih. Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol kemudian disaring.
Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A sebagai blangko,
filtrat B ditambahkan 0,5 mL HCl pekat kemudian dipanaskan
pada penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai
ungu menunjukkan hasil yang positif (metode Bate Smith-
Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 mL HCl dan logam Mg
kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode
Wilstater). Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa
flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon,
warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida
(Marliana et al, 2005).
c. Identifikasi Saponin
Uji Saponin dilakukan dengan metode Forth yaitu dengan cara
memasukkan 2 gram ekstrak kedalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 30 detik,
diamati perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang
mantap (tidak hilang selama 30 detik) maka identifikasi
menunjukkan adanya saponin. Uji penegasan saponin dilakukan
dengan menguapkan sampel sampai kering kemudian mencucinya
dengan heksana sampai filtrat jernih. Residu yang tertinggal
ditambahkan kloroform, diaduk 5 menit, kemudian ditambahkan
Na2SO4 anhidrat dan disaring. Filtrat dibagi menjadi menjadi 2
bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditetesi
anhidrat asetat, diaduk perlahan, kemudian ditambah H2SO4 pekat
dan diaduk kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat
menunjukkan adanya saponin (Marliana et al, 2005).
46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Identifikasi Terpenoid
Sebanyak 3 gram ekstrak dicampurkan dengan 2 ml kloroform.
Kemudian ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati.
Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antarmuka dalam
larutan, menunjukkan adanya terpenoid (Edeoga et al, 2005).
e. Identifikasi Steroid
Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 ml asam asetat
anhidrat. Kemudian ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat. Adanya
steroid ditandai dengan perubahan warna dari violet menjadi biru
atau hijau (Edeoga et al, 2005).
f. Identifikasi Tanin dan Polifenol
Sebanyak 3 gram sampel diekstraksi akuades panas kemudian
didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan
disaring. Filtrat dibagi 2 bagian A, dan B, dan C. Filtrat A
digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B ditambahkan 3
tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambah garam
gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi (Marliana et al,
2005).
g. Identifikasi Glikosida Jantung
Uji glikosida jantung dilakukan dengan metode Keller Kelliani
yaitu sebanyak 1 gram ekstrak dicuci dengan heksana sampai
heksana jernih. Residu yang tertinggal dipanaskan diatas
penangas air kemudian ditambahkan 3 mL pereaksi FeCl3
dan 1 mL H2SO4 pekat. Jika terlihat cincin merah bata
menjadi biru atau ungu maka identifikasi menunjukkan
adanya glikosida jantung (Marliana et al, 2005).
47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.5 Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Formula basis krim yang digunakan adalah (Wijaya et al, 2013) :
R/ Asam stearat 14,5 gram
Trietanolamin (TEA) 1,5 mL
Adeps lanae 3 gram
Paraffin liquidum 5 mL
Nipagin 0,1 gram
Nipasol 0,05 gram
Aquadest ad 100 mL
Pembuatan basis krim dilakukan dengan cara semua bahan yang
diperlukan ditimbang, kemudian fase minyak dipindahkan dalam cawan penguap,
dipanaskan diatas water bath dengan suhu 60-70C sampai lebur. Fase air
dipanaskan di atas water bath pada suhu 60-70C sampai lebur. Fase minyak
dipindahkan kedalam lumpang dan ditambahkan fase air, pencampuran dilakukan
pada suhu (60-70C), digerus sampai dingin dan terbentuk krim yang homogen.
Sediaan krim yang akan digunakan dalam penelitian ini mengandung
konsentrasi ekstrak talas jepang 1%, 5% dan 25% yang masing-masing dibuat
sebanyak 20 gram.
Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Bahan Formula Krim
KN KU I KU II KU III
Ekstrak etanol umbi talas
jepang - 1% 5% 25%
Basis krim ad 20 gram 20 gram 20 gram 20 gram Ket :
KN : Formula krim tanpa ekstrak etanol umbi talas jepang (kontrol negatif)
KU I : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 1%
KU II : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 5%
KU III : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 25%
Pembuatan krim dengan 3 konsentrasi yang berbeda dilakukan dengan
cara ekstrak etanol umbi talas jepang dimasukkan ke dalam lumpang dan
ditambahkan basis krim untuk masing-masing formula sedikit demi sedikit hingga
20 gram. Kemudian campuran digerus hingga homogen dan masing-masing
formula disimpan dalam wadah krim.
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.6 Evaluasi Sediaan Krim
3.4.6.1 Uji Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik sediaan krim yang diamati secara visual
meliputi bentuk, warna dan bau krim. Uji organoleptik dilakukan untuk
mengetahui krim yang dibuat sesuai dengan warna dan bau ekstrak yang
digunakan.
3.4.6.2 Uji Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara 1 gram sediaan
ditimbang dan kemudiaan dioleskan di atas kaca objek dan dikatupkan dengan
kaca objek lain, selanjutnya homogenitas krim diamati. Krim harus menunjukkan
susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya bintik-bintik.
3.4.7 Persiapan Hewan Uji
Hewan uji yang di gunakan adalah tikus putih jantan Sprague Dawley
berumur 2-3 bulan dengan berat badan 100-150 gram di adaptasi selama satu
minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi,
dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan berat badan.
3.4.8 Pemberian Perlakuan
3.4.8.1 Pembuatan Luka
Pembuatan luka dilakukan menurut metode Morton, yaitu masing-masing
tikus dianastesi menggunakan sediaan injeksi ketamin dengan dosis 40 mg/kg.
Rambut tikus dibagian dorsal digunting, kemudian dioleskan dengan krim
depilatori (krim Veet®) selama 3-5 menit dan dicukur. Daerah dorsal yang telah
dicukur lalu dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dibuat luka berbentuk
lingkaran dengan diameter ±1 cm pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricula
tikus, dengan cara kulit tikus diangkat dengan pinset, kemudian digunting dengan
gunting bedah hingga bagian subkutis yang ditandai dengan lapisan lemak yang
berwarna putih (Yenti et al, 2011).
49 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.8.2 Pemberian Bahan Uji
Sejumlah 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley digunakan
dalam penelitian dan diberikan 5 perlakuan yang berbeda. Masing-masing
perlakuan terdiri atas 6 ekor tikus putih jantan yaitu kelompok kontrol negatif
yang diberikan basis krim tanpa kandungan ekstrak umbi talas jepang, kelompok
perlakuan yang diberikan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta
(L.) Schott var. antiquorum) dengan 3 konsentrasi yang berbeda (1%, 5%, 10%)
dan kelompok kontrol positif yang diberikan Lanakeloid-E®. Krim dioleskan pada
luka sebanyak ±1 gram menutupi keseluruhan bagian luka di daerah dorsal tikus
dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka
sesuai dengan periode fase proliferasi selama penyembuhan luka.
3.4.9 Pengamatan Penyembuhan Luka
Pengamatan dilakukan terhadap luas luka dan persentase penyembuhan
luka. Luas luka diamati dengan cara mengukur rata-rata diameter luka pada arah
vertikal, horizontal dan kedua diagonal (Kusmiati et al, 2006). Diameter luka
diukur dengan aplika ImageJ.
Cara penilaian luka :
Diameter rata-rata :
Luas luka yang dinilai adalah : π x r2
: π x (½ d)2
: ¼ π d2
: 0,7854 d2
Persentase penyembuhan luka dihitung dengan rumus :
Dimana :
d = diameter rata-rata
d0 = diameter luka setelah pembuatan luka
dx = diameter luka pada hari dilakukan pengamatan
Bahan uji diberikan setelah pembuatan luka (hari ke-0) dan pengamatan
pertama luka dilakukan 24 jam setelah pembuatan luka (hari ke-1). Pengamatan
persentase penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14.
50 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus
Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke-7 dari kelima
kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus, pengambilan dilakukan setelah
tikus dikorbankan dengan larutan eter secara inhalasi. Daerah dorsal yang akan
diambil jaringan kulitnya dibersihkan dari bulu yang mulai tumbuh kembali,
jaringan kulit digunting dengan ketebalan ±3 mm hingga lapisan subkutis dan
sekitar ±2 cm dari tepi luka. Jaringan kulit yang diperoleh kemudian difiksasi
dengan larutan formalin 10% dan disimpan.
3.4.11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus
Jaringan kulit yang diperoleh kemudian dibuat preparat histopatologi
dengan pewarna Hematoxyllin-Eosin yang dilakukan di Laboratorium Patologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat dilakukan dengan
cara : jaringan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan Formalin 10% lalu
dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik.
Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi
alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol
absolut II, kemudian dilakukan penjernihan (clearing) menggunakan xylol I dan
xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan
parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin
setengah volume dan sedian diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga
potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin
ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin
mengeras. Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer
dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon)
tersebut dibentangkan di atas air hangat yang bersuhu 46C dan langsung diangkat
yang berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau
menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian
diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam
inkubator bersuhu 60C. Kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxyllin-
Eosin (HE) untuk pemeriksaan mikroskopik (Balqis et al, 2014).
51 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.12 Pengamatan Preparat Histopatologi
Pengamatan secara histopatologi dilakukan pada preparat jaringan kulit.
Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara
deskriptif pada perbesaran 20x. Pengamatan ini meliputi parameter-parameter
yang berperan dalam penyembuhan luka seperti neokapilerisasi, keberadaan sel
radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen.
3.4.13 Rencana Analisa Data
Data hasil pengujian dianalisis menggunakan software pengolah data dan
disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi (SD) dari masing-masing
kelompok. Data dianalisis dengan uji Paired Sample T-Test. Data statistik
signifikan pada nilai P < 0,05.
52 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian
Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman
ini adalah tanaman talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott) famili Araceae.
4.1.2. Ekstraksi
Sebanyak 1500 gram serbuk umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.)
Schott var. antiquorum) dimaserasi dengan pelarut etanol 96% sampai larutan
mendekati tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh kemudian dikentalkan dengan
vacuum rotary evaporator dan didapatkan ekstrak kental sejumlah 168,859 gram.
Rendemen yang didapatkan ialah 10,554%.
4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia
Kandungan metabolit sekunder pada ekstrak etanol umbi talas jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) diidentifikasi dengan cara
penapisan fitokimia. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang diuji antara
lain golongan alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin dan polifenol,
serta glikosida jantung. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak
etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Golongan Senyawa Hasil Penapisan Fitokimia
Alkaloid +
Flavonoid +
Saponin +
Terpenoid +
Steroid +
Tanin dan Polifenol +
Glikosida Jantung +
Ket : (+) memberikan hasil positif, (-) memberikan hasil negatif
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik
Uji parameter spesifik dan non spesifik pada ekstrak etanol umbi talas
jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dilakukan setelah uji
penapisan fitokimia. Hasil uji parameter spesifik dan parameter non spesifik
ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var.
antiquorum) dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5. Hasil Penetuan Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik
Karakteristik Hasil
Uji Parameter Spesifik
Identitas
Nama ekstrak Ekstrak etanol umbi talas jepang
Nama lain tumbuhan Colocasia esculenta (L.) Schott var.
antiquorum
Bagian tumbuhan yang
digunakan Umbi (tuber)
Nama Indonesia tumbuhan Talas jepang atau satoimo
Organoleptis
Warna Coklat tua
Bau Bau khas ekstrak
Rasa Pahit
Bentuk Kental
Uji Parameter Non Spesifik
Kadar Air 17,105%
Kadar Abu 3,753%
4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim
Evaluasi krim ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.)
Schott var. antiquorum) meliputi uji organoleptik dan uji homogenitas. Hasil
evaluasi krim ekstak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 6. Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Karakteristik Hasil
Ekstrak 1% Ekstrak 5% Ekstrak 25%
Organoleptis
Krim
Warna Putih Kecoklatan Putih Kecoklatan Coklat
Bentuk Setengah Padat Setengah Padat Setengah Padat
Bau Aroma khas
ekstrak
Aroma khas
ekstrak
Aroma khas
ekstrak
Homogenitas Krim Homogen Homogen Tidak homogen
54 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus
Hasil pengukuran berat badan tikus baik pada kelompok kontrol positif
(KKP), kelompok kontrol negatif (KKN), kelompok uji I (KU I), kelompok uji II
(KU II) dan kelompok uji III (KU III) dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus
No. Tanggal Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok (gram)
KP KN KU I KU II KU III
1 05 Juni 2015 114,333 103,167 120,167 129,833 122
2 08 Juni 2015 117,5 110,5 131,833 136,167 135,667
3 11 Juni 2015 123,167 119,167 136,833 142,833 136,333
4 14 Juni 2015 132,2 128,8 144,167 156,333 146,5
5 17 Juni 2015 145,8 145,8 161,4 165 162,4
6 20 Juni 2015 155,4 152,2 171,2 175 177,2
Ket :
KP : Kontrol Positif
KN : Kontrol Negatif
KU I : Kelompok Uji I (Ekstrak 1%)
KU II : Kelompok Uji II (Ekstrak 5%)
KU III : Kelompok Uji III (Ekstrak 25%)
Gambar 6. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Ber
at B
adan
(gr
am)
Hari Pengamatan
KP
KN
KU I
KU II
KU III
55 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.7. Hasil Pengukuran Luas dan Persentase Penyembuhan Luka
Data perubahan rata-rata luas luka dan persentase penyembuhan luka pada
setiap kelompok dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 8. Rata-rata Luas Luka Tiap Kelompok
Kelompok Rata-rata Luas Luka (cm
2) Tiap Kelompok ± SD
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14
KP 0,80±0,17 0,58±0,10 0,33±0,10 0,04±0,02 0,00 0,00
KN 0,69±0,10 0,88±0,23 0,76±0,77 0,27±0,46 0,20±0,44 0,12±0,27
KU I (1%) 0,90±0,10 0,88±0,09 0,36±0,09 0,07±0,05 0,01±0,01 0,00
KU II (5%) 0,85±0,11 0,85±0,15 0,48±0,10 0,08±0,05 0,01±0,01 0,00
KU III(25%) 0,90±0,15 0,87±0,07 0,50±0,22 0,10±0,07 0,03±0,04 0,01±0,06
Tabel 9. Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok
Kelompok Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka (%) Tiap Kelompok ± SD
Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14
KP 14,32±4,68* 36,00±7,57
* 79,77±7,55
* 100
* 100
KN -12,17±16,48 5,33±52,79* 51,33±49,48
* 74,31±57,44
* 79,99±44,75
KU I (1%) 1,34±5,36* 36,62±9,73
* 76,57±14,52
* 94,40±7,75
* 100
KU II (5%) -0,02±11,01 25,13±7,97* 70,91±8,15
* 94,27±7,85
* 100
KU III(25%) 0,69±9,87 26,13±14,39* 69,50±15,31
* 88,75±17,42
* 97,38±5,86
Keterangan : Angka yang diikuti tanda * menunjukkan berbeda bermakna
terhadap persentase penyembuhan luka pada hari sebelumnya (p < 0,05) pada
taraf kepercayaan 95%.
Gambar 7. Grafik rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14
Pe
rsen
tase
Pe
nye
mb
uh
an L
uka
(%
)
Hari Pengamatan
KP (Kontrol Positif)
KN (Kontrol Negatif)
KU I (Kelompok Uji I)
KU II (Kelompok Uji II)
KU III (Kelompok Uji III)
56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi
Hasil pengamatan preparat histopatologi yang dilakukan menggunakan
mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 10x, 20x
dan 40x dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi
Kelomp
ok
Perbesaran
10x 20x 40x
KP
KN
KU I
KU II
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KU III
Ket :
KP : Kontrol Positif
KN : Kontrol Negatif
KU I : Kelompok Uji I (Ekstrak 1%)
KU II : Kelompok Uji II (Ekstrak 5%)
KU III : Kelompok Uji III (Ekstrak 25%)
58 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Pembahasan
Uji aktivitas penyembuhan luka dalam penelitian ini didasarkan pada
pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap luas luka, persentase
penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka dan parameter histopatologi
(neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen).
Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
merupakan tanaman yang sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di
Indonesia. Bagian daun dan umbi tanaman ini umumnya digunakan sebagai
makanan di beberapa negara. Potensi daun tanaman ini dalam pengobatan telah
banyak diteliti. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi
talas jepang yang diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan, Jawa
Timur. Sebelum digunakan dalam penelitian, dilakukan determinasi tanaman
untuk memastikan kebenaran jenis tanaman ini yaitu Colocasia esculenta (L.)
Schott dari famili Araceae.
Ekstrak etanol umbi talas jepang diperoleh dengan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol 96%. Maserasi dilakukan dengan cara merendam
serbuk umbi talas jepang dengan pelarut etanol selama satu hari pada temperatur
kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan
terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan diantaranya peralatan yang
sederhana dan proses pengerjaannya yang mudah. Penggunaan etanol sebagai
pelarut karena mempunyai sifat selektif, dapat bercampur dengan air dengan
segala perbandingan, ekonomis, mampu mengekstrak sebagian besar senyawa
kimia yang terkandung dalam simplisia seperti alkaloid, minyak atsiri, glikosida,
kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Sedangkan
lemak, malam, tanin dan saponin, hanya sedikit larut (Depkes RI, 1986). Iswanti,
2009 menjelaskan bahwa pelarut etanol dapat menyari hampir keseluruhan
kandungan simplisia, baik polar, semi polar maupun non polar, sehingga
diharapkan dapat menarik kandungan berbagai senyawa pada sampel yang
diprediksi berkhasiat dalam penyembuhan luka.
Filtrat yang diperoleh dari hasil maserasi diuapkan menggunakan vacuum
rotary evaporator dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga
didapatkan ekstrak kental. Kemudian ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan
59 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam oven vacuum selama 9 hari untuk mengurangi kadar air dan residu pelarut
pada ekstrak. Dari 1600 gram serbuk umbi talas jepang, diperoleh 168,859 gram
ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh adalah 10,554%.
Parameter non-spesifik merupakan suatu aspek yang berfokus pada aspek
kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan
stabilitas. Standarisasi parameter non-spesifik yang dilakukan pada penelitian ini
ialah uji kadar abu dan uji kadar air. Tujuan dari uji kadar abu untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam ekstrak. Persentase
kadar abu total tidak boleh lebih dari 16,6% (Depkes RI, 2000). Pada pengujian
ini diperoleh hasil kadar abu total sebesar 3,753% yang sesuai dengan persyaratan
tidak lebih dari 16,6%. Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama
natrium (740 mg/100g), magnesium (79-122 mg/100g), kalsium (24.7- 47.8
mg/100g) dan kalsium (42mg/100g) serta mengandung Zn (3,05 mg/100g) dan
Besi (2,07 mg/100g) (McEwan, 2008). Sedangkan uji kadar air bertujuan untuk
memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam
bahan (Depkes RI, 2000). Uji kadar air ekstrak etanol umbi talas jepang dilakukan
dengan metode gravimetri dan diperoleh hasil kadar air sebesar 17,105%. Hasil
ini telah sesuai dengan persyaratan batas kadar air yang diperbolehkan untuk jenis
ekstrak kental adalah antara 5-30%. Sementara untuk ekstrak cair lebih besar dari
30% dan ekstrak kering lebih kecil dari 5%. Penentuan kadar air juga terkait
dengan kemurnian ekstrak. Semakin sedikit kadar air pada ekstrak maka semakin
sedikit kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh pertumbuhan jamur (Saifudin et
al., 2011 dalam Haryani et al, 2013). Perhitungan uji parameter esktrak dapat
dilihat pada lampiran 8.
Kemudian dilakukan penapisan fitokimia pada ekstrak etanol umbi talas
jepang. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas
jepang mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin,
polifenol dan glikosida jantung. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh
Subhash et al (2012) yang menggunakan ekstrak umbi Colocasia esculenta
dengan enam pelarut berbeda (petroleum eter, benzen, kloroform, metanol, etanol
dan air) diketahui positif mengandung alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol,
triterpenoid, saponin dan glikosida.
60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak umbi talas jepang yang telah distandarisasi kemudian
didispersikan dalam basis krim untuk diaplikasikan pada luka. Sediaan krim
dipilih karena mempunyai keuntungan yaitu bentuknya menarik, sederhana dalam
pembuatannya, mudah dalam penggunaan, daya menyerap yang baik dan
memberikan rasa dingin pada kulit, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka
yang basah, dan terdistribusi merata (Depkes RI, 1995; Wijaya, 2013). Lachman
et al (1994) menjelaskan bahwa sediaan krim memiliki sifat umum mampu
melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama sebelum
sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan, dengan demikian diharapkan dapat
meningkatkan waktu kontak ekstrak pada luka sehingga dapat mempercepat
penyembuhan luka. Selanjutnya dilakukan evaluasi krim meliputi uji organoleptik
dan homogenitas krim.
Pengujian organoleptik meliputi bentuk, warna, dan bau. Krim yang
dihasilkan memiliki bentuk setengah padat yang merupakan karateristik dari krim
itu sendiri. Warna yang kecoklatan berasal dari warna ekstrak umbi talas jepang.
Hal ini tampak dari perubahan warna basis krim yang semula berwarna putih
menjadi coklat. Semakin tinggi konsentransi ekstrak yang terkandung maka
warnanya akan semakin coklat. Begitu pula halnya dengan aroma khas ekstrak
umbi talas jepang yang tercium dari krim dengan konsentransi 1%, 5% dan 25%.
Semakin tinggi konsentransi ekstrak, maka semakin tercium aroma khas ekstrak
umbi talas jepang.
Pengujian homogenitas merupakan pengujian terhadap ketercampuran
bahan-bahan dalam sediaan krim yang menunjukkan susunan yang homogen.
Pengujian dikakukan terhadap basis krim dan juga krim dengan konsentransi 1%,
5% dan 25%. Uji I yang mengandung ekstrak 1% dan uji II yang mengandung
ekstrak 5% menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran
halus. Uji III yang mengandung ekstrak 25% terlihat tidak homogen yang ditandai
adanya butiran halus.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus jantan
galur Sprague Dawley berusia 8 minggu. Tikus yang digunakan merupakan tikus
yang sehat dengan bobot sekitar 100-150 gram. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok
yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim lanakeloid
-E, kontrol negatif
61 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diberikan basis krim dan 3 kelompok uji yang diberikan perlakuan dengan
konsentrasi ekstrak yang berdeda (1%, 5% dan 25%). Hewan uji kemudian
diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dalam kondisi
lingkungan yang baru. Setiap kelompok tikus jantan ditempatkan pada kandang
yang berbeda dengan kepadatan kandang masing-masing 1 ekor. Selama
aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan berat badan.
Mayoritas dari hewan uji mengalami peningkatan berat badan. Grafik kenaikan
berat badan tikus dapat dilihat pada gambar 6. Adanya peningkatan berat badan
menunjukkan bahwa tikus telah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan. Sedangkan adanya penurunan berat badan pada beberapa tikus
dikarenakan factor-faktor tertentu yang bersifat relatif pada tikus tertentu, seperti
kondisi kesehatan, kondisi organ tubuh, imunitas, dan beberapa faktor relatif lain.
Pembuatan luka pada masing-masing kelompok hewan uji dilakukan
dengan metode Morton setelah aklimatisasi. Luka yang dihasilkan berbentuk
sirkular dengan diameter ±1 cm pada bagian dorsal 3 cm dari auricula tikus. Krim
ekstrak etanol umbi talas jepang dioleskan pada luka sebanyak ±1 gram menutupi
keseluruhan bagian luka dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari
setelah pembuatan luka sesuai dengan periode fase proliferasi selama
penyembuhan luka. Pada hari ke-7, tikus dibunuh dengan cara dibius dengan eter
kemudian jaringan kulit diambil untuk pembuatan preparat histopatologi.
Pengamatan preparat jaringan kulit dilakukan menggunakan mikroskop cahaya
(Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 20x untuk menilai parameter
histopatologi (keberadaan sel radang dan fibrolas, neokapilerisasi, dan kerapatan
kolagen) yang berperan dalam penyembuhan luka.
Pengamatan penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14
untuk melihat perkembangan luka selama penelitian. Sedangkan pengukuran
diameter luka dilakukan dalam interval waktu 3 hari. Pengukuran diameter luka
dilakukan pada arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal dengan software
ImageJ, kemudian dihitung rata-rata diameter luka. Dari hasil rata-rata diameter
luka, selanjutnya ditentukan luas luka dan persentase penyembuhan luka masing-
masing kelompok. Data persentase penyembuhan luka yang telah diperoleh
selanjutnya dilakukan uji Paired Sample T-Test. Sebagai data tambahan, data
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berat badan tikus diambil tanpa dilakukan uji normalitas dan homogenitas maupun
uji ANOVA.
Data rata-rata luas luka dan persentase penyembuhan luka pada setiap
kelompok hewan uji dapat dilihat pada tabel 8 dan table 9. Berdasarkan data
tersebut rata-rata luas luka terkecil pada hari ke14 pengamatan adalah 0,00 (KP,
KU I, KU II), 0,01±0,060 (KU III) dan 0,12±0,27 (KN), sedangkan data
persentase penyembuhan luka tertinggi yaitu 100 (KP, KU I, KU II), 97,38 (KU
III) dan 79,99 (KN).
Berdasarkan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok
pada dari hari ke-0 hingga hari ke-14, nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok kontrol positif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata
persentase penyembuhan luka kelompok lainnya, sedangkan nilai rata-rata
persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I,
II dan III. Perbandingan antara nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok uji I, II dan III menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka dari yang tertinggi adalah kelompok uji I,III dan II.
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-6
menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok
kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok uji II, dan III, tetapi tidak jauh berbeda dengan nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka pada kelompok uji I, sedangkan nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan
nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya.
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-9
menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok
kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok uji I, II, dan III, sedangkan nilai rata-rata luas persentase penyembuhan
luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata
persentase penyembuhan luka kelompok lainnya. Nilai rata-rata persentase
penyembuhan luka kelompok uji I lebih tinggi dibandingkan kelompok uji II dan
III.
63 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-
12 menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok
kontrol positif telah mencapai 100% yang menunjukkan telah terjadi kesembuhan
pada luka. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif
lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka
kelompok lainnya. Perbandingan antara nilai rata-rata persentase penyembuhan
luka kelompok uji I, II dan III menunjukkan bahwa nilai yang terkecil adalah
kelompok uji II, I dan III.
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-
14 menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif, kelompok uji I dan II telah
mengalami kesembuhan, sedangkan pada kelompok uji III dan kelompok kontrol
negatif masih terlihat adanya luka tetapi nilai rata-rata persentase penyembuhan
luka kelompok uji III lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol negatif.
Berdasarkan nilai rata-rata luas luka pada kelompok kontrol negatif
terdapat nilai standar deviasi (SD) yang lebih inggi dari nilai rata-rata (mean) luas
luka pada hari ke-6, 9, 12 dan 14. Tingginya nilai SD diakibatkan adanya nilai
ekstrim pada data rata-rata luas luka karena terjadinya infeksi pada salah satu
hewan uji yang kemungkinan terkontaminasi mikroba akibat kondisi lingkungan
yang tidak steril.
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka pada seluruh kelompok
hewan uji juga menunjukkan nilai SD yang tinggi yang diakibatkan ketidak
homogenan data persentase penyembuhan luka pada masing-masing kelompok.
Ketidak homogenan ini kemungkinan juga diakibatkan adanya kontaminasi
mikroba pada luka karena kondisi lingkungan yang tidak steril, tetapi nilai rata-
rata persentase penyembuhan luka menunjukkan terjadi peningkatan setiap
harinya karena adanya peningkatan imunitas tubuh dan aktivitas penyembuhan
luka dari ekstrak yang diberikan.
Analisa data persentase penyembuhan luka selanjutnya adalah Paired
Sample T-Test yang bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan yang
signifikan dari rata-rata persentase penyembuhan luka antara dua kelompok
sampel yang berpasangan (berhubungan). Hasil analisa data persentase
penyembuhan luka dengan Paired Sample T-Test menunjukkan bahwa persentase
64 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyembuhan luka kelompok kontrol positif pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 berbeda
signifikan (p 0,05), sedangkan hari ke-12 hingga hari ke-14 luka telah sembuh
sehingga tidak menunjukkan perbedaan. Persentase penyembuhan luka kelompok
kontrol negatif menunjukkan perbedaan signifikan terjadi pada hari ke-6, 9 dan 12
(p 0,05), persentase penyembuhan luka kelompok uji II dan III menunjukkan
perbedaan signifikan pada hari ke-6, 9 dan 12, sedangkan persentase
penyembuhan luka kelompok uji I menunjukkan perbedaan signifikan pada hari
ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05).
Berdasarkan pengamatan makroskopik, jaringan granulasi telah terbentuk
pada hari ke-1 dan keropeng pada hari ke-2 pada seluruh kelompok hewan uji.
Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki fase
proliferasi tahap awal (agustina, 2011). Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang,
fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru, membentuk jaringan
kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi, fase ini terjadi
pada hari ke 3-14 (Kozier, 1995 & Taylor, 1997). Keropeng yang terbentuk diatas
permukaan membentuk homeostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh
mikroorganisme. Dibawah keropeng, sel epitel berpindah dari luka ke tepi.
Kecepatan terbentuknya keropeng dikelima kelompok perlakuan menandakan
kecepatan dari penyembuhan luka (Aponno et al, 2014). Kecepatan terbentuknya
keropeng dikelima kelompok perlakuan menandakan kecepatan dari
penyembuhan luka. Lepasnya keropeng pada kelompok kontrol positif terjadi
pada hari ke-6. Pada hari ke-7, lepasnya keropeng pada kelompok uji I dan II
terjadi di pagi hari dan kelompok uji III serta kelompok kontrol negatif terjadi di
sore hari.
Proses lepasnya keropeng ini bersamaan dengan proses keringnya luka.
Hal ini menandakan sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit
sehingga membantu mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka.
Keropeng terlepas karena jaringan dibawahnya sudah kering dan tepi-tepi luka
mulai tertarik ke tengah. (Aponno et al, 2014). Pada penelitian ini fase proliferasi
terjadi lebih cepat dari penyembuhan luka normal.
Hasil pengamatan parameter histopatologi pada tabel 10 menunjukkan
terjadinya pembentukan kapiler baru (neokapilerisasi) yang lebih banyak pada
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kelompok kontrol positif, kelompok uji I, II dan III dibandingkan kelompok
kontrol negatif. Penyembuhan luka sangat ditunjang oleh suplai darah ke daerah
luka. Pembentukkan pembuluh darah baru akan membantu mempercepat proses
regenerasi sel dan normalisasi jaringan (Mayasari, 2003). Pembentukkan
neokapiler adalah akibat aktivitas mitosis sel-sel endotel pembuluh darah yang
sudah diikuti oleh migrasi ke daerah luka. Pembentukan neokapiler berfungsi
untuk menyuplai vitamin, mineral, glukosa, dan asam amino ke fibroblast untuk
memaksimalkan pembentukkan kolagen serta membebaskan jaringan dari
nekrosis, benda asing, dan infeksi sehingga mempercepat penyembuhan luka
(Pavletic, 1992 dalam Hapsari, 2006). Pembentukan neokapilerisasi yang lebih
tinggi akan mempercepat penyembuhan luka karena dapat meningkatkan
penyaluran suplai darah. Suplai darah diperlukan dalam metabolisme aktif sel
sehingga mempercepat terjadinya regenerasi jaringan. Kapiler-kapiler pada
jaringan parut muda sangat diperlukan karena proliferasi sel memerlukan banyak
energi dan bahan yang berasal dari darah (Rukmono, 1996).
Pengamatan mikroskopik juga menunjukkan terjadinya pembentukan serat
kolagen pada seluruh kelompok hewan uji. Serat kolagen pada kelompok kontrol
positif terlihat lebih rapat dari kelompok lainnya. Perbandingan kerapatan kolagen
pada tiga kelompok uji dan kelompok kontrol negatif menunjukkan kerapatan
kolagen tertinggi dimulai dari kelompok uji I, II, III dan kontrol negatif. Kolagen
disintesis oleh sel fibroblas. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3
setelah luka, meningkat terus sampai minggu ke-3. Fibroblas muncul pertama kali
secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7 (Kozier,
1995). Fibroblas-fibroblas ini membentuk kolagen hingga terjadi jaringan ikat
yang menghubungkan dengan erat tepi-tepi luka. Jaringan ini dinamakan jaringan
parut (Rukmono, 1996).
Pengamatan keberadaan sel radang menunjukkan pada kelompok kontrol
negatif terlihat lebih banyak terdapat sel radang yang kemungkinan merupakan
neutrofil dan sedikit makrofag dibanding kelompok uji I, II dan III. Perbandingan
antara tiga kelompok uji secara deskriptif menunjukkan jumlah sel radang yang
(makrofag dan limfosit T) terbanyak dimulai dari kelompok uji I, II dan III. Sel
radang menunjukkan adanya fagositosis dari bakteri dan sel-sel yang rusak. Sel
66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
radang yang sangat berperan selama proses penyembuhan luka adalah sel
neutrofil, makrofag dan limfosit. Menurut Guyton dan Hall (1997), keberadaan sel
makrofag dan sel neutrofil saling berhubungan dalam proses persembuhan luka.
Sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama yang jumlahnya akan
meningkat pada awal pasca perlukaan dimana sel neutrofil akan memakan
(memfagositosis) benda-benda asing. Benda-benda asing dan luruhan sel radang
yang tidak terfagositosis oleh sel neutrofil akan diteruskan oleh sel makrofag
sebagai sel pertahanan seluler kedua. Makrofag mempunyai kemampuan
fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil, bahkan mampu memfagosit 100
bakteri. Dengan demikian, banyaknya jumlah sel makrofag dan limfosit T
dibanding jumlah sel neutrofil pada kelompok uji I, II dan III menunjukkan fase
inflamasi terjadi lebih cepat, karena jumlah sel neutrofil meningkat pada awal
perlukaan sedangkan makrofag muncul setelah terbentuknya neutrofil sebagai
pertahanan seluler kedua.
Berdasarkan hasil uji Paired Sample T-Test, luka pada kelompok uji I
yang diberi perlakuan dengan ekstrak 1% mengalami penurunan luas luka lebih
baik ditinjau dari persentase penyembuhan luka yang berbeda signifikan pada hari
ke-3, 6, 9 dan 12, dibandingkan kelompok kontrol negatif, kelompok uji II dan III,
serta menunjukkan perbedaan signifikansi yang sama dengan kelompok kontrol
positif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi talas
jepang dapat mempercepat penyembuhan luka dan dari ketiga konsentrasi ekstrak
etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) yang
diberikan (1%, 5% dan 25%), kecepatan penyembuhan luka, penurunan diameter
luka dan peningkatan persentase penyembuhan luka terbesar terjadi pada
konsentrasi ekstrak 1%, sedangkan konsentrasi ekstrak 5% dan 25% menunjukkan
nilai persentase penyembuhan yang lebih rendah. Hal ini diakibatkan konsistensi
krim yang berbeda pada masing-masing formula. Semakin tinggi konsentrasi
ekstrak, maka semakin tinggi konsistensi krim yang terbentuk. Konsistensi krim
yang tinggi mengakibatkan sulitnya pelepasan zat aktif dari basis krim sehingga
menghambat zat aktif mencapai target terapi.
Aktivitas ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott
var. antiquorum) dalam menyembuhkan luka disebabkan kandungan berbagai
67 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa dalam umbi tanaman. Umbi talas jepang memiliki kandungan flavonoid,
triterpenoid, tanin, saponin, alkaloid, tarin, protein, Zn, vitamin C dan A yang
diduga dapat mendukung regenerasi sel-sel epitel dan jaringan ikat (Okeke &
Iweala, 2007; Rukmana’ 2002; Fasuyi 2005). Flavonoid diketahui memiliki
antiskorbut yang berperan melindungi asam askorbat dari oksidasi sehingga
proses sintesis kolagen dapat berjalan dengan baik. Flavonoid juga dapat
bertindak melindungi lipid membran terhadap agen yang merusak (Robinson,
1995). Diduga aksi ini yang menjaga membran sel tidak mudah dirusak bakteri
dan tetap berfungsi dengan baik untuk melakukan perbaikan selama proses
penyembuhan luka. Saponin selama ini diketahui dapat bekerja sebagai
antibakteri. Ketika berinteraksi dengan sel bakteri, saponin dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel bakteri sehingga terjadi hemolisis sel bakteri
(Robinson, 1995). Adanya saponin dalam ekstrak diduga dapat mendukung proses
penyembuhan luka lebih cepat dengan meminimalisir kontaminasi bakteri
sehingga epitel dapat bermitosis dan berproliferasi dengan baik (Nisa et al, 2013).
Vitamin C diduga sangat membantu pada fase proliferasi, yaitu saat
sintesis kolagen. Pembentukan kolagen melalui proses hidroksilasi lisin menjadi
hidroksilisin dan prolin menjadi hidroksiprolin (Robbins & Kumar, 2007). Proses
hidroksilasi ini memerlukan enzim prolyl-α-hydroksilase dan enzim lisil-
hydroksilase dalam bentuk aktif. Pengaktifan enzim prolyl-α-hydroksilase
memerlukan katalisator berupa ion Fe2+
. Peran vitamin C adalah mengubah ion
Fe3+
menjadi ion Fe2+
sehingga enzim prolyl-α-hydroksilase menjadi aktif.
Sedangkan pengaktifan enzim lisil-hydroksilase dibutuhkan katalisator ion Cu+.
Vitamin C berperan mengubah ion Cu2+
di dalam tubuh menjadi ion Cu+
(Yendriwati, 2006). Vitamin A berperan dalam penyembuhan luka dengan
mempercepat fase inflamasi pada penyembuhan luka, meningkatkan taut silang
(cross-linkage) pada kolagen, mendukung diferensiasi sel epitel, meningkatkan
dan menstimulasi respon imun. Zn merupakan mineral esensial yang dibutuhkan
untuk sintesis DNA, pembelahan sel dan sintesis protein, semua proses ini
dibutuhkan untuk regenerasi dan perbaikan jaringan (MacKay & Alan, 2003).
Tanin dan triterpenoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan pada
beberapa tanaman obat (Robinson, 1995). Antioksidan berperan menangkap
68 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan membran sel. Cedera pada
membran sel tersebut kemudian mengaktifkan histamin yang nantinya menjadi
mediator sel radang (Price & Wilson, 2005). Antioksidan di dalam tanin dan
triterpenoid diduga dapat mengurangi adanya radikal bebas yang dapat merusak
membran sel dan mengurangi pelepasan mediator sel radang. yang berarti dapat
mempercepat fase selanjutnya untuk melakukan perbaikan jaringan dalam proses
penyembuhan luka (Nisa et al, 2013). Tanin juga berfungsi sebagai adstringen
yang dapat menyebabkan penciutan pori-pori kulit, menghentikan eksudat dan
pendarahan ringan (Anief, 1997). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai
antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1995).
Kandungan tarin dalam umbi talas jepang juga diduga berperan dalam
penyembuhan luka. Tarin merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas
proteolitik seperti papain pada Carica papaya dan bromelin pada Ananas
Comusus. Tarin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka karena aktivitas
proteolitiknya seperti papain yang efektif meluruhkan jaringan nekrotik,
mencegah infeksi dan menstimulasi pembentukan jaringan granulasi pada luka
melalui aktivitas enzim proteolitik yang dapat mengangkat jaringan mati tanpa
merusak sel hidup (Roxas, 2013; Sidik & Salmah, 2005). Menurut Priosoeryanto
et al., (2006) kandungan lektin dalam getah pelepah pisang berfungsi untuk
menstimulasi pertumbuhan sel kulit, oleh karena itu tarin yang merupakan protein
lektin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka.
Kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim tanpa bahan atau zat
yang berkhasiat mengalami pelebaran luka pada empat hewan uji dan pada salah
satu hewan uji tersebut mengalami luka terinfeksi (infected wound) ditandai
dengan adanya edema pada bagian sekitar luka dan timbulnya abses bernanah
(Paputungan et al, 2014). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa basis krim
yang diberikan pada hewan uji sebagai kontrol negatif tidak mempengaruhi
penyembuhan luka pada hewan uji.
69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas ekstrak etanol umbi talas jepang
(Colocasia Esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap penyembuhan luka
terbuka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia Esculenta (L.) Schott var.
antiquorum) pada seluruh konsentrasi (1%, 5% dan 25%) terbukti dapat
mempercepat penyembuhan luka
2. Ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia Esculenta (L.) Schott var.
antiquorum) dapat meningkatkan neokapilerisasi, kerapatan kolagen dan
mempercepat fase inflamasi pada penyembuhan luka
3. Dari ketiga konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang (1%, 5% dan
25%) yang diberikan, penurunan luas luka yang bermakna terjadi pada
konsentrasi ekstrak 1% yaitu pada hari ke-3, 6, 9 dan 12.
5.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut adalah :
1. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi pada beberapa interval waktu
yang mewakili periode fase inflamasi, fase proliferasi dan fase
remodelling.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi ekstrak yang
lebih bervariasi untuk mengetahui konsentrasi ekstrak optimal yang dapat
mempercepat penyembuhan luka.
3. Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap ekstrak etanol umbi talas jepang
untuk mengetahui batasan konsentrasi yang aman untuk digunakan dalam
penelitian selanjutnya.
4. Kondisi lingkungan selama perlakuan harus dijaga tetap steril untuk
menghindari terjadinya kontaminasi mikroba selama proses penyembuhan
luka.
70 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, Ria., Revi Yenti, Rahmi Utami. 2013. Pengamatan Kerapatan Kolagen
Pada Punggung Mencit Putih Jantan Setelah Pemberian Ekstrak Etanol
Daun Kirinyuh (Eupatorium odoratum L.). Scientia 2 (3), 56-50.
Agustina, Dian Reni. 2011. Pengaruh Pemberian Secara Topikal Kombinasi
Rebusan Daun Sirih Merah (Piper ef. fragile, Benth.) dan Rebusan Herba
Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) Terhadap Penyembuhan Luka
Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Sarjana Farmasi Universitas
Indonesia.
Alam, Gulzar, Manjul Pratap Singh, and Anita Singh. 2011. Wound Healing
Potential of some medical plants. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research 1(9), 136-145.
Anief. M. 2000. Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 110,
119-120.
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia, 492,502-506.
Aponno, Jeanly V., Paulina V. Y. Yamlean., Hamidah S. Supriati. 2014. Uji
Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium guajava
Linn) Terhadap Penyembuhan Luka yang Terinfeksi Bakteri
Staphylococcus Aureus Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus).
PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT 3 (3) : 2302-2493.
Arditti, J., G. C. Stephens, and M. S. Strauss. 1979. Evidence for genetic variation
in two seedling populations of taro, Colocasia esculenta (L.) Schott. Int.
Found. for Sci. (Stockholm), 245-257.
Arifini, H., Anggraini, N., Handayani, D., Rasyid, R., 2006, Standarisasi Ekstrak
Etanol Daun Eugenia cumini Merr.,J. Sains Tek. Far., 11(2).
Backer C.A. & Bakhuizen v.d. Brink, R.C., 1965. Flora of Java, Vol. II, N.V.P,
Noordhoff, Groningen.
Balqis, Ummu., Rasmaidar., dan Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologis
Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias
dulcis F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal
Medika Veterinaria, 8 (1), 31-36.
Black, JM dan Jacob’s, EM. 1997. Medical Surgical Nursing Clinical
Manajement For Contincity For Care. 5th
ed. WB Sounders Company,
426-447.
Black, Joyce M and Hawks, Jane. 2009. Medical Surgical Nursing: Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier, 308.
Chung, H. L. 1929. Utilization and composition of oriental vegetables in Hawaii.
Hawaii Agr. Exp. Sta. Bull, 60.
Cotran RS, V. Kumar, T. Collins. 1999. Pathology Basic of Disease. 6 th
ed. W B
SaundersCo. Philadelphia, 21 -201.
De la Pena, R. S. 1967. Effects of different levels of N, P, and K fertilization on
the growth and yield of upland and lowland taro (Colocasia esculenta [L.)
Schott, var. Lehua). Ph.D. diss., Univ. of Hawaii .
71 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Deo, Pradeep C. and Tyagi, Anand P. and Taylor, Mary and Becker, Douglas K.
and Harding, Robert M. 2009. Improving taro (Colocasia esculenta var.
esculenta) production using biotechnological approaches. South Pacific
Journal of Natural Science, 27, 6-13
Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia (Cetakan I). Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 33.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. P.7, 1036-1043.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI, 33.
Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional, 14-17.
Derstine, V., and E. L. Rada. 1952. Some dietetic factors influencing the market
for poi in Hawaii. Univ. Hawaii Agr. Econ. Bull, 3.
Dhanraj, Nakade., Mahesh S. Kadam, Kiran N. Patil and Vinayak S. Mane. 2013.
Phytochemical screening and Antibacterial Activity of Western Region
wild leaf Colocasia esculenta. International Reseach Journal of Biological
Science 2(10), 18-21.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,
Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 10-12.
Djamaludin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Krustasea
Untuk Penyembuhan Luka pada Mencit (Mus musculucalbinus). Skripsi.
Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam-IPB.
Edeoga, H.O., D. E. Okwu and B.O Mbaebie. 2005. Phytochemical constituents of
some Nigerian medicinal plants. African Journal of Biotechnology, 4 (7),
685-688.
Fasuyi, Ayodeji O. 2005. Nutrient Composition and Processing Effects on
Cassava Leaf (Manihot esculenta, Crantz) Antinutrients. Pakistan Journal
of Nutrition. 4 (1): 37-42
Faure, D. 2002. The family-3 glycoside hydrolises: from housekeeping function to
host-microbe interction. Appled and Environmental Microbiology 64(4),
1485-1490.
Ferdinandez, Mariana Kresty, I Ketut Anom Dada dan I made Damriyasa. 2013.
Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharantus roseus) Terhadap
Kecepatan Angiogenesis dalam Proses Penyembuhan Luka pada Tikus
Wistar. Indonesia Medicus Veterinus 2 (2), 180-190.
Fitriani, Hani dan Pramesti D. Aryaningrum. 2013. Respon Pertumbuhan Tunas
In Vitro Talas Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) pada
Berbagai Jenis Pemadat Agar. Seminar Nasional Riset Pangan, Obat-
Obatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan.
Fitzpatrick, R.E. and Mehta, R.C. 2009. Endogenous Growth Factors as
Cosmeceutical. In : Draelos, Z.D., Dover, J.S., Alam, M., editors.
Cosmeceutical. Second edition. Saunders Elsevier, 138-140.
72 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ganjali, Amin; Amir Sotoudeh; Amirali Jahanshahi; Mohammad Ashrafzadeh
Takhtfooladi; Ali Bazzazan; Nasim Roodbari; Maryam Pourramezani
Harati. 2013. Otostegia persica Extraction on Healing Process of Burn
Wounds. Acta Cirurgica Brasileira Vol. 28 (6) – 407.
Ghosal, M. & Mandal, P. 2012. Phytochemical Screening And Antioxidant
Activities Of Two Selected ‘Bihi’ Fruits Used As Vegetables In Darjeeling
Himalaya. International Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical
Sciences. ISSN.4(2), 975-1491.
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat (Sugiarto,
Bertha, penerjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 479.
Girish, K. S., & Kemparaju, K. (2007). The magic glue hyaluronan and its eraser
hyaluronidase: A biological overview. Life Sciences, 80, 1921–1943.
Gonçalves, Rui F; Artur M S Silva; Ana Margarida Silva; Patrícia Valentão;
Federico Ferreres; Angel Gil Izquierdo; João B Silva; Delfim Santos;
Paula B Andrade. 2013. Influence of taro (Colocasia esculenta L. Shott)
growth conditions on the phenolic composition and biological properties.
Food Chemistry 141, 3480-3485.
Gunstream, Stanley E. 2000. Anatomy and Physiology. Boston: Mc Graw Hill.
Gurtner, Geoffrey C. 2008. Wound repair and regeneration. Nature 453, 314-321.
Gurtner, G.C. 2007. Wound Healing Normal and Abnormal. Grabb and Smith’s
Plastic Surgery. Sixth edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC
Halligudi, Nirmala. 2013. Pharmacological Potential of Calocasia An Edible
Plant. Journal of Drug Discovery and Therapeutic 1(2), 5-9.
Hanani, E., A. Mun’im, & R. Sekarini. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan
dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian, 2(3), 127-133.
Hapsari NM. 2006. Aktivitas ekstrak etanol kulit batang singkong (Manihot
esculenta Crantz) dalam proses persembuhan luka pada mencit (Mus
musculus albinus). skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Hartono, Elda Arini. 2011. Efek Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) Dalam Mempercepat Durasi Penyembuhan Luka
Sayat Pada Mencit Swiss Webster Jantan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Bandung.
Haryani Yuli., Siti Muthmainah., Saryono Sikumbang. 2013. Uji Parameter Non
Spesifik dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol dari Umbi Tanaman
Dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 1(2) : 43-
46.
Henry Tarcisius. 2007. Perbedaan derajat infeksi dan hitung kuman antara mesh
monofilament dan multifilament makropori serta pure tissue repair. Tesis.
Semarang : Universitas Diponogoro Semarang.
Isgianto, W. A. 2005. Pengaruh Vitamin C Terhadap Jumlah Neutrofil PMN pada
Proses Penyembuhan Luka pada Gingiva Tikus (Rattus norvegiccus)”.
Skripsi. Jember: Universitas Jember Fakultas Kedokteran Gigi.
73 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Iswanti, D.A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksan, Fraksi Etil Asetat,
Dan Fraksi Etanol 96% Daun Ekor Kucing (Acalypha Hispida Burm.
F)Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureusatcc 25923 Secara Dilusi.
[Skripsi] Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta.
Jones, W. P. & A. D. Kinghorn. 2006. Extraction of Plant Secondary Metabolites.
In: Sarker, S. D., Latif, Z. and Gray, A. I., eds. Natural Products Isolation.
2nd Ed. New Jersey: Humana Press, 341-342.
Katili, Abubakar Sidik. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal
Pelangi Ilmu 5 (2), 19-29.
Kasote, Deepak M. 2011. Antioxidant and Alpha-Amylase Inhibitory Activity of
Methanol Extract of Colocasia esculenta Corm. Pharmacologyonline 2,
715-721.
Kiessoun K., Souza A., Meda N.T.R., Coulibaly A.Y., Kiendrebeogo M., Lamien-
Meda A., Lamidi M., Millogo Rasolodimby J., Nacoulma O.G., 2010,
Polyphenol Contents, Antioxidant and Anti-Inflammatory Activities of Six
Malvaceae Species Traditionally used to Treat Hepatitis B in Burkina
Faso. European Journal of Scientific Research, 44(4), 570-580.
Koawara, sutrisno. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian. Southeast Asian
Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center
Reseach and Community Service Institution, IPB.
Kolarsick, Paul A. J., Kolarsick M. A., Goodwin C. 2011. Anatomy and
Physiology of the Skin. Journal of the Dermatology Nurse’s Association, 3
(4), 203-213.
Kozier, B. gtal. 1995. Fundamental of Nursing, Concops, Proccss and Practice.
4th
edition. Addison Wesle. Publishing company Inc. hal 1359-1367.
Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA: Academic Press. Hal,
150-152.
Kumar B; M. Vijayakumar; R. Govindarajan; P. Pushpangadan. 2007.
Ethnopharmacological approaches to wound healing exploring medicinal
plants of India. Journal of Ethnopharmacology 114 (2), 103-113.
Kusmiati., Fitria Rachmawati., Syafrida Siregar., Sukma Nuswantara., Amarila
Malik. 2006. Produksi Beta-1,3 Glukan dari Agrobacterium dan Aktivitas
Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih. Makara, Sains 1(10), 24-
29.
Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi
Industri. Terjemahan Siti Suyatmi. Edisi ketiga. Jakarta: penerbit
Universitas Indonesia, 1081-1117.
Li, Hong Mei., Seung Hwan Hwang., Beom Goo Kang., Jae Seung Hong., Soon
Sung Lim. 2014. Inhibitory Effects of Colocasia esculenta (L.) Schott
Constituents on Aldose Reductase. Molecules (19) : 13212-13224.
Marliana, Soerya Dewi., Venty Suryanti., Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan
Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam
(Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. ISSN: 1693-2242,
Biofarmasi 3 (1), 26-31.
Mathivanan, N., Surendiran, G., Srinivasan, K., Malarvizhi, K. 2006. Morinda
pubescens J.E. Smith (Morinda tinctoria Roxb.) Fruit Extract Accelerates
Wound Healing in Rats. Journal of Medicinal Food 9 (4), 591-593.
74 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mayasari.2003. Sambiloto sebagai Bahan Antibakterial. Universitas Gajah Mada :
Yogyakarta.
McEwan, Ronalda. 2008. Anti-Nutritional Constituent of Colocasia esculenta
(Amadumbe) a Traditional Crop Food in Kwazulu-Natal. Thesis.
Department of Biochemistry and Microbiology, Faculty of Science
University of ZuluJand.
Mc Kay and Miller. (2003). Review: Nutritional Support for Wound Healing.
Alternative Medicine Review 8(4), 359-377.
Meenakshi, V.K; S. Senthamarai; M. Paripoorana Selvi; S. Gomathy; D.
Shanmuga Priya and K. P. Chamundeswari. 2012. Antibacterial Activity
Of Simple Ascidian Ascidia sydneiensis (Family: Ascidiidae) Against
Human Pathogens. Journal of Microbiology and Biotechnology Research,
2 (6), 894-899.
Mirzal Tawi Rangkang. “Proses Penyembuhan Luka”. Jan 25, 2015.
Morton, J. J. P., Malone M. H. 1972. Evaluation of Vulnerary by An Open Wound
Procedure in Rats. Archive Int Pharmacodyn, 117-128.
Mun’im, Abdul; Azizahwati; dan Ayu Fimani. 2012. Pengaruh Pemberian Infusa
Daun Sirih Merah (Piper cf.fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap
Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet. Departemn Farmasi FMIPA
UI.
Mojab, F., Kamalinejad, M., Ghaderi, N., & Vahidipour, H. R. 2003.
Phytochemical Screening Of Some Species Of Iranian Plants. Iranian
Journal Of Pharmaceutical Research, 77-82.
Mulyata S. 2002. Analisis Imunohistokimia TGF β Indikasi Hambatan
Kesembuhan Luka Operasi Episiotomi pada Tikus Sprague Dawley ; 1st
Indonesian symposium on obstetric anesthesia. Bandung.
Nagori, B.D. and Solanki, R. 2011. Role of Medicinal Plants in Wound Healing.
Research Journal of Medicinal Plant 5 (4), 392-405.
Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A. 2007. Evaluation of the Wound-healing
Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid Based
Complement Alternative Medicine; 6 (3), 351-356.
Nisa, Vina M., Zahara Meilawaty, Pudji Astuti. 2013. Efek Pemberian Ekstrak
Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Proses Penyembuhan Luka
Gingiva Tikus (Rattus norvegicus). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember (UNEJ).
O’leary. 1996. The Physiologic Basic of Surgery 2 th Edition. Philadelphia:
Williams and Wilkins, 118.
Okeke C. U. dan Iweala E. 2007. Antioxidant Profile of Dioscorea rotundata,
Manihot esculenta, Ipoemea batatas, Vernonia amygdalina and Aloe vera.
J Med Res Technol (4) : 4-10.
Onwueme, I.C. 1999. Taro Cultivation in Asia and Pacific (FAO-RAP
Publication No. 1999/16).
Paputungan, Fachrial., Paulina V. Y. Yamlean., Gayatri Citraningtyas. 2014. Uji
Efektifitas Salep Ekstrak Etanol Daun Bakau HItam (Rhizophora
mucronata Lamk) dan Pengujian terhadap Proses Penyembuhan Luka
Punggung Kelinci yang Diinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal
Ilmiah Farmasi – UNSRAT. 3 (1) : 2302 - 2493.
75 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Partogi, Donna. 2008. Tehnik Eksisi. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik/RS. Dr.
Pirngadi Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3404/
1/08E00850.pdf
Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., Bhise, S.D. 2012. Pharmacological evaluation of
ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound
healing using excision and incision wound model. Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine, 646-655.
Prabakti, Y. 2005. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada
Tikus Yang Diberi Infiltrasi Nyeri Levobupivakain dan Yang Tidak Diberi
Levobupivakain. Semarang: UNDIP, 25.
Prajapati, Rakesh. 2011. Colocasia esculenta: A Potent Indigenous Plant.
International Journal of Nutrition, Pharmacology, Neurological Diseases 2
(1), 90-96.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1. Edisi 6. Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit, et al. 2005.
Jakarta: EGC.
Pudjiatmoko. 2008. Talas Jepang Satoimo.
http://atanitokyo.blogspot.com/2008/04/talas-jepang-satoimo.html.,
diakses tanggal 23 Maret 2015.
Purseglove, J. W. 1992. Tropical Crops: Monocotyledons. Longman Group,
Singapore.
Rahayu F, Ade WFW, Rahayu W. 2013. Pengaruh Pemberian Topikal Gel Lidah
Buaya (Aloe chinensis Baker ) terhadap Reepitelisasi Epidermis pada
Luka Sayat Kulit Mencit (Mus Musculus). Jurnal Kesehatan : 1-2.
Rao, R. Ramanatha., P. J. Matthews., P. B. Eyzaguirre., D. Hunter. 2010. The
Global Diversity of Taro: Ethnobotany and Conservation. Roma :
Bioversity International
Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., Yeshmaina, S. 2008. Wound Healing and
Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats. Iranian
Journal of Pharmacology & Therapeutics 1 (7), 49-52.
Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound
Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of
Pharmacy Review & Research 2, 75-78.
Robbins, S. L., Cotran, R. S. dan Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Penyakit.
Edisi 7. Alih bahasa oleh Muhammad Asroruddin, Huriawati Hartanto dan
Nurwany Darmaniyah.Jakarta: EGC.
Robinson. T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah :
Padmawinata, K. Penerbit ITB : Bandung
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Owen, S. C., 2006. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 5th
edition. London : Pharmaceutical Press.
Roxas, Lilibeth A. 2013. Efficacy of Tarin from Colocasia esculenta (L.) Schott
on the Histological Changes of Buffalo Meat (Bubalus bubalis L). Journal
of Arts, Science & Commerce. 4 (3) : 110-116.
R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2004. Luka. Dalam : Buku-ajar ilmu bedah.
Edisi 2. Jakarta: EGC: 67-8,70-1.
Rubatzky, V. C., and M. Yamaguchi., 1995. Sayuran Dunia I. Prinsip Produksi
dan Gizi. ITB. Bandung.
76 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rukmana. 1998. Budidaya Talas. Kanisius : Yogyakarta.
Rukmana, Rahmat.2002. Ubi Kayu, Budi Daya dan Pascapanen. Cetakan 6.
Kanisius : Yogyakarta. Rukmono. 1996. Patologi. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Sarma & Babu. 2011. Pharmacognostic and Phytochemical Studies of Ocimum
americanum. J. Chem. Pharm. Res., 3(3), 337 – 347.
Schwart, spencer. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Badah. Edisi 6. Jakarta :
EGC.
Schwartz, Shires S., & Daly F. G. 1999. Principles of Surgery. ( 7th Ed.). Volume
1. USA : Mc-Graw Hill, 263-278.
Shahwar D., Shafiq-ur-Rehman, Ahmad N., Ullah S., Raza M.A., 2010,
Antioxidant Activities of the Selected Plants from the Family
Euphorbiaceae, Lauraceae, Malvaceae and Balsaminaceae. African
Journal of Biotechnology, 9(7), 1086-1096.
Sharma P.C., Yelne M.B. and Dennis T.J. 2001. Database on Medicinal Plants
Used in Ayurveda, 369-377.
Sheeba M; S Emmanuel; K Revathi; S Ignacimuthu. 2009. Wound healing activity
of Cassia occidentalis L. in albino Wistar rats. International Journal of
Integrative Biology (IJIB) 1 (8), 1-6.
Sidik, Mahmood, A.A.,K & I. Salmah. 2005. Wound Healing Activity of Carica
papaya L Aqueous Leaf Extract in Rats. International Journal of Moleculer
Medicine and Advance Sciences 1 (4) : 398-401
Soni, Himesh and Akhlesh Kumar Singhai. 2012. A Recent Update of Botanicals
for Wound. Healing Activity. International Research Journal of Pharmacy
(IRJP), 7 (3) : 1-7.
Srivastava, SK. (1992). Modern Consepts in Surgery. New Delhi: Mc Graw Hill,
455-456.
Strauss, M. S.; J. D. Michaud; and J. Arditti. 1979. Seed storage and germination
and seedling proliferation in taro, Colocasia esculenta (L.) Schott. Ann.
Bot. 43, 603-612
Subhash, Chandra; Saklani Sarla; and Jaybardhan. 2012. Phytochemical Screening
of Garhwal Himalaya Wild Edible Tuber Colocasia esculenta.
International Reseach Journal of Pharmacy 3 (3), 181-186.
Takahashi, Makoto; Yonathan Asikin; Kensaku Takara and Koji Wada. 2012.
Screening of Medical and Edible Plants In Okinawa, Japan, for Enhanced
Proliferative and Collagen Synthesis Activities in NB1RGB Human Skin
Fibroblast Cells. Bioscience, Biotechnology, Biochemistry 76 (12), 2317-
2320.
Taylor, C., Lilis C., LeMone. P. 1997. Fundemental of Nursing The Art and
science of Nursing care. 4th
edition. Philadelpia : JB Lippincoff. 699-705.
Telaumbanua, Eka Setiawan Karsa. 2005. Pemanfaatan Tepung Umbi Talas
(Colocasia esculenta L.) dan Solid Dekanter dalam Ransum Terhadap
Performans Itik Peking Umur 1 Hari-84 Hari. Skripsi. Departemen
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu, S.S. 2011. Practices in Wound Healing
Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine, 1-15.
77 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tranggono, R.I., F. Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta : Gramedia.
Ugochukwu, Solomon Charles., Arukwe Uche and Onuoha Ifeanyi. 2013.
Preliminary phytochemical screening of different solvent extracts of stem
bark and roots of Dennetia tripetala G. Baker. Asian Journal of Plant
Science and Research, 3(3), 10-13
Wang, Jaw-Kai. 1983. Taro, a review of Colocasia esculenta and its potentials.
University of Hawaii Press : United States of America.
Wasiatmadja & Syarif. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: UI
Press, 3-8.
Wei, Lee Seong, et al. 2011. Antimicrobial, antioxidant, anticancer property and
chemical composition of different parts (corm, stem and leave) of
Colocasia esculenta extract. Medical University in Lublin 24 (3), 9-16.
WHO. 2011. Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated Infection
Worldwide.http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80135/1/97892415015
07_eng.pdf?ua=1, diakses tanggal 22 April 2015.
WHO. 2014. Rabies. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/#,
diakses tanggal 22 April 2015.
WHO. 5 Juli 2014. Immunization, Vaccines and Biologicals.
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/sur
veillance_type/passive/tetanus/en/, diakses tanggal 22 April 2015.
Wijaya, Bryan Alfonsius., Gayatri Citraningtyas., dan Frenly Wehantouw. 2014.
Potensi Ekstrak Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculenta [L])
Sebagai Alternatif Obat Luka Pada Kulit Kelinci (Oryctolagus cuniculus).
Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT 3 (3), 2302-2493.
Wijaya, Rizky Aris., Latifah., dan Winarni Pratjojo. 2013. Formulasi Krim
Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai Alternatif Penyembuhan Luka
Bakar. Indonesian Journal of Chemical Science 2 (3).
Yendriwati. 2006. Kebutuhan Vitamin C dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan
Tubuh dan Rongga Mulut. Dentika Dental Journal 2 (1): 78-83
Yenti, Revi., Ria Afrianti., Linda Afriani. 2011. Formulasi Krim Ekstrak Etanol
Daun Kirinyuh (Euphatorium odoratum. L) untuk Penyembuhan Luka.
Pharma Medika, 3 (1), 227-230.
78 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alat dan Bahan
Gambar 8. Botol Maserasi
Gambar 9. Vacuum Rotary Evaporator
Gambar 10. Timbangan Analitik
Gambar 11. Tanur tinggi
Gambar 12. Desikator Gambar 13. Ekstrak kental
Gambar 14. Oven (Memmert)
Gambar 15. Umbi Talas Jepang
Gambar 16. Pelarut Etanol 96%
79 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 17. Oven Vakum
Gambar 18. Hot Plate
Gambar 19. Alat Bedah Gambar 20. Krim
Bahan Uji Gambar 21. Reagen Penapisan Fitokimia
80 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Prosedur kerja
Gambar 23. Proses Maserasi
Gambar 24. Proses Penyaringan
Gambar 25. Proses Pengentalan Ekstrak
Gambar 26. Proses Pengeringan ekstrak
Gambar 27. Pembuatan Krim Bahan Uji
Gambar 28. Pembuatan Luka
Gambar 29. Pengolesan Krim Bahan Uji
Gambar 30. Eksisi Jaringan Kulit
Gambar 31. Pengamatan Preparat Histopatologi
81 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Determinasi Tanaman Colocasia esculenta (L.) Schott
82 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Skema Pembuatan Krim Ekstrak Umbi Talas Jepang
Uji Homogenitas Uji organoleptik
KU III (krim dengan konsentrasi
ekstrak 25%)
KU II (krim dengan konsentrasi
ekstrak 5%)
KU I (krim dengan konsentrasi ekstrak
1%)
KN (basis krim tanpa ekstrak/kontrol
negatif)
Standarisasi ekstrak
Parameter non spesifik Pembuatan krim ekstrak etanol umbi
talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
Penguapan dengan rotary evaporator
Ekstraksi
Pencucian, sortasi basah, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyerbukan umbi talas jepang
Tanaman talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dideterminasi di Herbarium Bogoriense-LIPI
Serbuk umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott
var. antiquorum)
Maserat Residu
Ekstrak kental
- Maserasi dengan etanol 96%
- Disaring dengan kapas dan kertas saring
Parameter spesifik
- Identitas
- Organoleptik
- Skrining fitokimia
- Kadar air
- Kadar abu
Pengeringan ekstrak dengan
oven vakum
83 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Alur Penelitian
Hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley
Aklitimasi selama 1 minggu
Pengelompokan tikus secara acak (@6 ekor)
Pembuatan luka
Pengamatan diameter luka selama 14 hari
Pembuatan preparat histopatologi
Pengamatan preparat histopatologi
Keberadaan sel radang dan fibrolas
Neokapilerisasi Kerapatan kolagen
Analisa data
KP (kontrol positif/ krim Lanakeloid-E®)
KN (kontrol negatif)
KU I (ekstrak 1%)
KU II (ekstrak 5%)
KU III (ekstrak 25%)
Pemberian krim ekstrak etanol umbi talas jepang pada tikus
selama 14 hari
Pada hari ke-7, tikus dikorbankan dan
dilakukan eksisi jaringan kulit tikus
84 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Tabel 11. Hasil Penapisan Fitokimia Hasil penapisan
fitokimia Metode Hasil Ket
Identifikasi Alkaloid
Metode Mayer : Ekstrak + 5 mL HCl 2 M + 0,5 gram NaCl, disaring + 3 tetes HCl 2 M + pereaksi Mayer
Endapan +
Metode Wagner : Ekstrak + 5 mL HCl 2 M + 0,5 gram NaCl, disaring
+ 3 tetes HCl 2 M + pereaksi Wagner
Endapan +
Uji Penegasan
Ekstrak + amonia 25% hingga pH 8-9 + kloroform, diuapkan + HCl 2M,
disaring + pereaksi Mayer Endapan +
Ekstrak + amonia 25% hingga pH 8-9 + kloroform, diuapkan + HCl 2M,
disaring + pereaksi Dragendorff Endapan +
Identifikasi Flavonoid
Metode Bate Smith-Metchalf : Ekstrak + heksana Residu + 20
mL etanol + 0,5 mL HCl pekat dipanaskan
Perubahan warna merah tua sampai
ungu +
85 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode Wilstater : Ekstrak + heksana Residu + 20 mL etanol +
logam Mg Perubahan warna +
Identifikasi Saponin
Metode Forth : Ekstrak + 10 mL akuades dikocok selama 30 detik
Terbentuknya busa yang mantap (tidak hilang selama 30
detik)
+
Uji Penegasan
Ekstrak + heksana residu + kloroform diaduk 5 menit + Na2SO4 anhidrat disaring +
ditetesi anhidrat asetat + H2SO4 pekat diaduk
Terbentuknya cincin merah sampai coklat
+
Identifikasi Terpenoid
Ekstrak + 2 ml kloroform + 3 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati
Terbentuknya warna coklat
kemerahan pada antarmuka dalam
larutan
+
Identifikasi Steroid
Ekstrak + 2 ml asam asetat anhidrat + 2 ml H2SO4 pekat
perubahan warna dari violet menjadi
biru atau hijau +
Identifikasi Tanin dan Polifenol
Ekstrak + akuades panas didinginkan + 5 tetes NaCl 10%
disaring + 3 tetes FeCl3 Perubahan warna +
86 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak + akuades panas didinginkan + 5 tetes NaCl 10%
disaring + garam gelatin Perubahan warna -
Identifikasi Glikosida Jantung
Metode Keller Kelliani : Ekstrak + heksana Residu dipanaskan +
3 mL FeCl3 + 1 mL H2SO4 P
cincin merah bata menjadi biru atau
ungu +
87 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Tahapan Pengukuran Diameter Luka dengan Aplikasi ImageJ
a) Buka aplikasi ImageJ, klik “File” dan “Open” pada menubar
b) Pilih foto yang digunakan
c) Klik “Straight” pada menu toolbar dan buat garis lurus sepanjang 1 cm pada penggaris
d) Klik “Analyse” dan “Set Scale” pada menubar
e) Ketik ukuran panjang penggaris pada kolom “ Known Distance”, dalam penelitian ini adalah 1, kemudian satuannya dalam kolom “ Unit of Length” dalam penelitian ini adalah cm dan klik “Ok”
f) Buat garis lurus sepanjang diameter luka
88 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g) Klik “Analyse” kemudian klik “Measure” pada menubar
h) Muncul halaman baru “Result” dan data yang digunakan terdapat pada kolom “Length”
i) Lakukan langkah “a” sampai”h” untuk mengukur diameter luka hewan uji lainnya, halaman “Result” dapat disimpan dengan cara klik “File” kemudian klik “Save”
89 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Pemeriksaan Parameter Ekstrak
1. Perhitungan Randemen
% Randemen= Bobot Ekstrak yang didapatbobot serbuk simplisia yang diekstraksi
× 100%
% Randemen= 168,859 g1600 g
× 100%
% Randemen= 10,554%
2. Pemeriksaan Kadar Air
Bobot wadah kosong (W0) = 20,474 g
Bobot ekstrak + wadah sebelum pemanasan (W1) = 21,538 g
Bobot ekstrak + wadah setelah pemanasan (W2) = 21,356 g
%Kadar air = 21,538 g−21,356 g21,538 g−20,474 g
x 100%
%Kadar air = 0,1821,064
x 100%
%Kadar air = 17,105%
3. Pemeriksaan Kadar abu
Berat krus kosong (W0) = 60,815 g
Berat krus kosong + berat ekstrak sebelum dikeringkan (W1) = 63,053 g
Berat krus kosong + berat ekstrak setelah dikeringkan (W2) = 60,899 g
%Kadar Abu = W2−W0W1−W0
x 100%
%Kadar Abu = 60,899 g−60,815 g63,053 g−60,815 g
x 100%
%Kadar Abu = 0,0842,238
x 100%
%Kadar Abu = 3,753%
90
Lampiran 9. Luka Tikus Mulai Hari Ke-0 Hingga Hari ke-14
Tabel 12. Foto Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14
No Kelompok Hewan Uji
Pengamatan Penyembuhan Luka Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-8
Hari ke-9
Hari ke-10
Hari ke-11
Hari ke-12
Hari ke-13
Hari ke-14
1 Kelompok
Kontrol Positif
1
2
3
4
5
6
Pembuatan Preparat Histopatologi
2 Kelompok
Kontrol Negatif
1
Pembuatan Preparat Histopatologi
2
3
91
4
5
6
3
Kelompok Uji I
(ekstrak 1%)
1
2
3
4
5
Pembuatan Preparat Histopatologi
6
4
Kelompok Uji II
(Ekstrak 5%)
1
2
92
3
4
5
6
Pembuatan Preparat Histopatologi
5
Kelompok Uji III
(Ekstrak 25%)
1
2
3
4
5
Pembuatan Preparat Histopatologi
6
93
Lampiran 10. Diameter luka seluruh kelompok hewan uji
Tabel 13. Diameter, Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok
Pengamatan
Diameter Luka Kelompok Hewan Uji (cm)
Kontrol Positif Kontrol Negatif Kelompok Uji I (1) Kelompok Uji II (5) Kelompok Uji III (25)
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Hari ke-0
d1 0,96 1,00 0,89 1,21 1,10 1,14 1,03 1,06 0,92 1,03 1,15 1,12 1,16 1,05 1,13 1,08 1,03 1,16 1,04 1,06 1,23 1,21 0,92 1,14 1,28
d2 1,01 1,09 0,81 1,08 1,04 0,97 0,96 0,81 0,89 0,97 1,15 0,93 1,06 1,05 1,11 0,95 1,12 1,12 1,09 0,90 1,06 1,13 0,96 1,15 0,93
d3 1,01 0,99 0,86 1,11 1,01 1,04 0,93 0,83 0,86 0,88 1,15 1,05 1,10 0,94 1,10 0,96 0,95 1,11 1,11 0,93 1,08 1,05 0,90 1,01 1,09
d4 0,85 1,17 0,81 1,10 1,01 1,01 0,92 0,85 0,84 0,85 1,15 0,95 1,03 1,03 1,02 0,97 1,04 1,09 1,09 0,98 1,06 1,15 0,85 1,08 1,09 Diameter rata-rata 0,95 1,06 0,84 1,13 1,04 1,04 0,96 0,89 0,87 0,93 1,15 1,01 1,09 1,02 1,09 0,99 1,03 1,12 1,08 0,97 1,11 1,14 0,91 1,09 1,09
Luas luka 0,72 0,89 0,56 0,99 0,85 0,85 0,72 0,62 0,60 0,68 1,04 0,81 0,93 0,81 0,93 0,77 0,84 0,99 0,92 0,73 0,96 1,01 0,65 0,94 0,94
Hari ke-3
d1 0,83 0,78 0,69 1,10 1,00 1,28 0,83 1,07 1,59 0,96 1,14 0,97 1,09 1,16 1,25 0,93 0,99 1,19 1,11 1,25 1,22 1,07 1,18 1,10 0,97
d2 1,02 1,03 0,74 0,80 0,79 1,21 0,88 0,90 0,92 1,12 1,08 1,01 1,08 1,06 0,96 1,11 0,79 1,07 1,08 1,08 1,04 1,02 1,01 1,04 0,96
d3 0,87 0,96 0,73 0,87 0,86 1,10 0,96 1,00 1,19 0,98 1,08 0,98 1,04 1,07 0,97 0,93 0,92 1,03 1,02 1,04 1,10 1,03 1,00 1,05 0,92
d4 0,85 0,82 0,74 0,89 0,81 1,13 0,86 0,86 1,12 1,03 1,10 0,92 1,11 1,11 0,97 0,99 0,86 1,08 1,12 1,15 1,05 1,18 1,02 1,08 1,08 Diameter rata-rata 0,89 0,90 0,72 0,91 0,86 1,18 0,88 0,96 1,20 1,02 1,10 0,97 1,08 1,10 1,04 0,99 0,89 1,09 1,08 1,13 1,10 1,07 1,05 1,07 0,98
Luas luka 0,62 0,63 0,41 0,66 0,59 1,10 0,61 0,72 1,14 0,82 0,95 0,74 0,91 0,95 0,84 0,77 0,62 0,93 0,92 1,00 0,95 0,90 0,87 0,90 0,75 %
penyembuhan 6,57 15,49 13,94 18,69 16,92 -13,56 7,99 -7,83 -37,72 -9,75 4,20 4,24 1,13 -7,88 5,00 -0,28 13,99 2,74 0,23 -16,79 0,61 5,59 -15,67 2,49 10,42
Hari ke-6
d1 0,90 0,73 0,53 0,75 0,81 0,99 0,72 0,62 2,17 1,00 0,66 0,64 0,82 0,83 0,78 0,85 0,82 0,95 1,03 0,86 0,90 1,28 0,82 0,82 0,65
d2 0,42 0,50 0,47 0,69 0,80 0,81 0,41 0,41 1,07 0,62 0,51 0,63 0,72 0,67 0,51 0,49 0,96 0,57 0,65 0,70 0,67 0,82 0,65 0,59 0,63
d3 0,62 0,60 0,48 0,60 0,73 0,86 0,75 0,61 1,70 0,89 0,49 0,64 0,77 0,76 0,64 0,77 0,91 0,74 0,87 0,67 0,72 1,14 0,76 0,79 0,67
d4 0,63 0,73 0,48 0,58 0,81 0,88 0,52 0,57 1,60 0,81 0,64 0,72 0,73 0,78 0,59 0,64 0,90 0,69 0,73 0,72 0,67 1,03 0,81 0,73 0,62 Diameter rata-rata 0,64 0,64 0,49 0,65 0,79 0,88 0,60 0,55 1,64 0,83 0,57 0,66 0,76 0,76 0,63 0,69 0,90 0,74 0,82 0,74 0,74 1,07 0,76 0,73 0,64
Luas luka 0,32 0,32 0,19 0,33 0,49 0,61 0,28 0,24 2,10 0,54 0,26 0,34 0,45 0,45 0,31 0,37 0,63 0,43 0,53 0,43 0,43 0,89 0,45 0,42 0,32
94
% penyembuhan 32,61 39,56 41,53 42,02 24,25 27,63 37,57 37,63 -87,07 10,88 50 35,27 30,17 25,44 42,21 30,41 13,12 34,05 24,39 23,69 33,21 6,18 16,50 33,23 41,54
Hari ke-9
d1 0,40 0,30 0,13 0,28 0,21 0,67 0,25 0,25 1,72 0,17 0,45 0 0,44 0,33 0,35 0,26 0,56 0,48 0,34 0,24 0,12 0,61 0,53 0,31 0,46
d2 0,22 0,21 0,09 0,10 0,19 0,40 0,23 0,16 0,73 0,15 0,33 0 0,45 0,12 0,23 0,21 0,31 0,19 0,16 0,17 0,16 0,45 0,32 0,11 0,38
d3 0,33 0,21 0,10 0,18 0,18 0,49 0,20 0,20 1,12 0,15 0,28 0 0,37 0,24 0,27 0,31 0,40 0,36 0,23 0,24 0,11 0,41 0,40 0,20 0,36
d4 0,29 0,21 0,09 0,16 0,20 0,44 0,18 0,18 1,13 0,14 0,32 0 0,43 0,20 0,31 0,24 0,43 0,47 0,24 0,22 0,12 0,46 0,41 0,15 0,36 Diameter rata-rata 0,31 0,23 0,10 0,18 0,20 0,50 0,21 0,20 1,18 0,15 0,35 0 0,42 0,22 0,29 0,26 0,43 0,37 0,24 0,22 0,12 0,48 0,41 0,19 0,39
Luas luka 0,07 0,04 0,01 0,03 0,03 0,19 0,04 0,03 1,09 0,02 0,09 0 0,14 0,04 0,07 0,05 0,14 0,11 0,05 0,04 0,01 0,18 0,13 0,03 0,12 %
penyembuhan 67,78 78,23 87,66 83,96 81,23 52,09 77,66 77,69 -34,46 83,64 69,96 100 61,17 78,32 73,38 73,99 58,75 66,58 77,85 77,37 88,83 57,50 54,49 82,42 64,24
Hari ke-12
d1 0 0 0 0 0 0 0 0 1,68 0 0 0 0,16 0 0,21 0,19 0,15 0 0 0 0 0,30 0,56 0 0
d2 0 0 0 0 0 0 0 0 0,62 0 0 0 0,14 0 0,10 0,09 0,15 0 0 0 0 0,12 0,21 0 0
d3 0 0 0 0 0 0 0 0 0,95 0 0 0 0,12 0 0,19 0,15 0,13 0 0 0 0 0,16 0,34 0 0
d4 0 0 0 0 0 0 0 0 1,25 0 0 0 0,12 0 0,17 0,14 0,15 0 0 0 0 0,18 0,32 0 0 Diameter rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 1,12 0 0 0 0,14 0 0,17 0,14 0,15 0 0 0 0 0,19 0,36 0 0
Luas luka 0 0 0 0 0 0 0 0 0,99 0 0 0 0,01 0 0,02 0,02 0,02 0 0 0 0 0,03 0,10 0 0 %
penyembuhan 100 100 100 100 100 100 100 100 -28,45 100 100 100 87,53 100 84,46 85,49 85,84 100 100 100 100 83,35 60,39 100 100
Hari ke-14
d1 0 0 0 0 0 0 0 0 1,37 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,21 0 0
d2 0 0 0 0 0 0 0 0 0,48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0 0
d3 0 0 0 0 0 0 0 0 0,90 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,11 0 0
d4 0 0 0 0 0 0 0 0 0,75 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,09 0 0 Diameter rata-rata 0 0 0 0 0 0 0 0 0,87 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,12 0 0
Luas luka 0 0 0 0 0 0 0 0 0,60 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,01 0 0 %
penyembuhan 100 100 100 100 100 100 100 100 -0,06 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 86,89 100 100
95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Hasil Analisa Statistik Persentase penyembuhan luka
Paired Sample T-Test
Tujuan : untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan dari rata-rata
persentase penyembuhan luka antara dua kelompok sampel yang berpasangan
(berhubungan)
Hipotesis :
Ho = Data persentase penyembuhan luka tidak berbeda signifikan
Ha = Data persentase penyembuhan luka berbeda signifikan
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi > 0,05 berarti Ho diterima
Jika nilai signifikansi 0,05 berarti Ho ditolak
Kelompok Kontrol Positif
a. Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 14. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-0 dan 3
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_positif_0 -
kontrol_positif_3 -1.43212E1 4.67240 2.08956 -20.12275 -8.51965 -6.854 4 .002
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif
pada hari ke-0 dan ke-3 berbeda signifikan.
b. Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 15. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-3 dan 6
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_positif_3
kontrol_positif_6 -2.16738E1 8.18511 3.66049 -31.83696 -11.51064 -5.921 4 .004
96 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif
pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan.
c. Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 16. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-6 dan 9
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_positif_6 -
kontrol_positif_9 -4.37780E1 8.41605 3.76377 -54.22790 -33.32810 -11.631 4 .000
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif
pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan.
d. Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 17. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-9 dan 12
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_positif_9 -
kontrol_positif_12 -2.02270E1 7.54976 3.37635 -29.60126 -10.85274 -5.991 4 .004
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif
pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan.
Kelompok Kontrol Negatif
a. Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 18. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-0 dan 3
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_negatif_0 -
kontrol_negatif_3 -1.59860 3.57458 1.59860 -6.03703 2.83983 -1.000 4 .374
97 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif
pada hari ke-0 dan ke-3 tidak berbeda signifikan.
b. Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 19. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-3 dan 6
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_negatif_3 -
kontrol_negatif_6 -2.11428E1 15.30923 6.84650 -40.15173 -2.13387 -3.088 4 .037
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif
pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan.
c. Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 20. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-6 dan 9
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_negatif_6 -
kontrol_negatif_9 -3.54756E1 26.51654 11.85856 -68.40024 -2.55096 -2.992 4 .040
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif
pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan.
d. Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 21. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-9 dan 12
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kontrol_negatif_9 -
kontrol_negatif_12 -2.17830E1 17.22704 7.70417 -43.17319 -.39281 -2.827 4 .047
98 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif
pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan.
Kelompok Uji I (ekstrak 1%)
a. Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 22. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-0 dan 3
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_I_0
kelompok_uji_I_3 -2.91280 2.20509 .98614 -5.65078 -.17482 -2.954 4 .042
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak
1%) pada hari ke-0 dan ke-3 berbeda signifikan.
b. Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 23. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-3 dan 6
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_I_3
kelompok_uji_I_6 -3.37042E1 7.99605 3.57594 -43.63260 -23.77580 -9.425 4 .001
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak
1%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan.
c. Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 24. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-6 dan 9
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_I_6
kelompok_uji_I_9 -3.99504E1 18.28848 8.17886 -62.65855 -17.24225 -4.885 4 .008
99 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan :Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%)
pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan.
d. Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 25. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-9 dan 12
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_I_9
kelompok_uji_I_12 -1.78304E1 12.24968 5.47822 -33.04038 -2.62042 -3.255 4 .031
Keputusan :Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%)
pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan.
e. Hari ke-12 dan hari ke-14
Tabel 26. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-12 dan 14
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_I_12 -
kelompok_uji_I_14 -5.60220 7.74778 3.46491 -15.22234 4.01794 -1.617 4 .181
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak
1%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.
100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok Uji II (ekstrak 5%)
a. Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 27. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-0 dan 3
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_II_0 -
kelompok_uji_II_3 -3.39340 6.03703 2.69984 -10.88937 4.10257 -1.257 4 .277
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak
5%) pada hari ke-3 dan ke-6 tidak berbeda signifikan.
b. Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 28. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-3 dan 6
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_II_3 -
kelompok_uji_II_6 -2.17396E1 13.11058 5.86323 -38.01853 -5.46067 -3.708 4 .021
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak
5%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan.
c. Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 29. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-6 dan 9
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_II_6 -
kelompok_uji_II_9 -4.57740E1 8.68509 3.88409 -56.55797 -34.99003 -11.785 4 .000
101 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak
5%) pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan.
d. Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 30. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-9 dan 12
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_II_9 -
kelompok_uji_II_12 -2.33588E1 8.02975 3.59101 -33.32905 -13.38855 -6.505 4 .003
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak
5%) pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan.
e. Hari ke-12 dan hari ke-14
Tabel 31. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-12 dan 14
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_II_12
kelompok_uji_II_14 -5.73420 7.85285 3.51190 -15.48480 4.01640 -1.633 4 .178
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak
5%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.
102 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok Uji III (ekstrak 25%)
a. Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 32. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-0 dan 3
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_III_0 -
kelompok_uji_III_3 -3.82060 4.28166 1.91482 -9.13698 1.49578 -1.995 4 .117
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak
25%) pada hari ke-0 dan ke-3 tidak berbeda signifikan.
b. Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 33. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-3 dan 6
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_III_3 -
kelompok_uji_III_6 -2.23092E1 13.78156 6.16330 -39.42126 -5.19714 -3.620 4 .022
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak
25%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan.
c. Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 34. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-6 dan 9
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_III_6 -
kelompok_uji_III_9 -4.33658E1 13.25652 5.92849 -59.82594 -26.90566 -7.315 4 .002
103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak
25%) pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan.
d. Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 35. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-9 dan 12
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_III_9 -
kelompok_uji_III_12 -1.92512E1 11.85603 5.30218 -33.97241 -4.52999 -3.631 4 .022
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak
25%) pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan.
e. Hari ke-12 dan hari ke-14
Tabel 36. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-12 dan 14
Paired Differences
t df Sig. (2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 kelompok_uji_III_12 -
kelompok_uji_III_14 -8.63120 12.32135 5.51028 -23.93018 6.66778 -1.566 4 .192
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak
25%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.