udang windu

9
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008 ISBN : 978-979-1165-74-7 III-431 ANALISIS KEKERABATAN FILOGENETIK UDANG WINDU BERDASARKAN POLA PITA ISOZIM Dian Bhagawati, Muh. Nadjmi Abulias dan Agus Hery Susanto Fakultas Biologi Universitas Jenderal soedirman Kampus UNSOED Karangwangkal Purwokerto 53122 E-mail : [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kekerabatan udang windu (Penaeus monodon) dari hatchery Cilacap dan tambak di Kabupaten Brebes, Tegal dan Cilacap, berdasarkan analisis isozim ACP, MDH, ADH dan EST. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan teknik pengambilan contoh udang secara purposive sampling. Visualisasi pola pita isozim diperoleh menggunakan teknik elektroforesis gel pati horizontal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi udang windu asal Brebes, Cilacap dan Hatchery Cilacap mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Populasi udang windu Brebes, Cilacap dan Hatchery cenderung berkumpul dalam satu kelompok dan populasi asal Tegal memiliki kekerabatan terjauh dibandingkan dengan ketiga populasi lainnya. Kata Kunci : Udang Windu (Penaeus monodon), kekerabatan filogenetik, isozim. 1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya udang windu yang cukup besar. Produksi udang windu diarahkan terutama kepada peningkatan pendapatan devisa dari hasil ekspor. Berbagai upaya peningkatan produksi untuk mencapai perolehan tersebut telah dilakukan, namun sebaliknya malah terjadi penurunan produksi lebih tajam, terutama disebabkan baik oleh faktor lingkungan dan penyakit, maupun penerapan teknologi yang masih kurang memadai. Mengingat udang windu adalah komoditas andalan perikanan nasional, maka masalah yang dihadapi tersebut merupakan tantangan yang perlu diatasi dengan berbagai intervensi, baik secara teknis sistem budidaya maupun intervensi kebijakan melalui peraturan perundangan yang mendukung terciptanya sistem budidaya tambak dan udang yang berkelanjutan (Rukyani et al., 2001). Salah satu upaya untuk menghindari kegagalan panen udang windu , antara lain adalah dengan memelihara benih unggul , yang tahan serangan penyakit, tahan terhadap perubahan lingkungan dan cepat pertumbuhannya. Untuk menentukan metode pemuliaan agar diperoleh keturunan dengan jenis atau strain yang bermutu dan menghindari terjadinya perkawinan

Upload: veince-silahooy

Post on 14-Aug-2015

123 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Bio molecular

TRANSCRIPT

Page 1: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-431

ANALISIS KEKERABATAN FILOGENETIK UDANG WINDU

BERDASARKAN POLA PITA ISOZIM

Dian Bhagawati, Muh. Nadjmi Abulias dan Agus Hery Susanto

Fakultas Biologi Universitas Jenderal soedirman Kampus UNSOED Karangwangkal Purwokerto 53122

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kekerabatan udang windu (Penaeus monodon) dari hatchery Cilacap dan tambak di Kabupaten Brebes, Tegal dan Cilacap, berdasarkan analisis isozim ACP, MDH, ADH dan EST. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan teknik pengambilan contoh udang secara purposive sampling. Visualisasi pola pita isozim diperoleh menggunakan teknik elektroforesis gel pati horizontal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi udang windu asal Brebes, Cilacap dan Hatchery Cilacap mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Populasi udang windu Brebes, Cilacap dan Hatchery cenderung berkumpul dalam satu kelompok dan populasi asal Tegal memiliki kekerabatan terjauh dibandingkan dengan ketiga populasi lainnya. Kata Kunci : Udang Windu (Penaeus monodon), kekerabatan filogenetik, isozim. 1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya udang windu yang cukup besar.

Produksi udang windu diarahkan terutama kepada peningkatan pendapatan devisa dari hasil

ekspor. Berbagai upaya peningkatan produksi untuk mencapai perolehan tersebut telah

dilakukan, namun sebaliknya malah terjadi penurunan produksi lebih tajam, terutama

disebabkan baik oleh faktor lingkungan dan penyakit, maupun penerapan teknologi yang masih

kurang memadai. Mengingat udang windu adalah komoditas andalan perikanan nasional, maka

masalah yang dihadapi tersebut merupakan tantangan yang perlu diatasi dengan berbagai

intervensi, baik secara teknis sistem budidaya maupun intervensi kebijakan melalui peraturan

perundangan yang mendukung terciptanya sistem budidaya tambak dan udang yang

berkelanjutan (Rukyani et al., 2001).

Salah satu upaya untuk menghindari kegagalan panen udang windu , antara lain adalah

dengan memelihara benih unggul , yang tahan serangan penyakit, tahan terhadap perubahan

lingkungan dan cepat pertumbuhannya. Untuk menentukan metode pemuliaan agar diperoleh

keturunan dengan jenis atau strain yang bermutu dan menghindari terjadinya perkawinan

Page 2: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-432

sekerabat maka perlu mengetahui asal–usul serta latar belakang genetik induk yang akan

dipijahkan.

Menurut Suryani et al. (2001) perkawinan sekerabat dapat menurunkan mutu benih,

karena dapat meningkatkan jumlah homozigositas dalam suatu populasi. Tingginya peluang

homozigositas memungkinkan ada alel yang hilang. Alel-alel yang yang hilang ini

dikhawatirkan adalah alel penting seperti alel pengontrol pertumbuhan, ketahanan individu

terhadap penyakit dan ketahanan terhadap lingkungan

Terjadinya penurunan variasi genetik di hatchery dapat disebabkan oleh penggunaan

induk yang terlalu sedikit, polimorfisme lokus, heterozigositas dan jumlah alel per lokus. Hal

ini dapat dilihat dari menurunnya polimorfisme lokus dan heterosigositas (Permana et al. ,

2001). Menurut Nugroho, et al. (2001), induk merupakan bahan awal untuk pembentukan

suatu galur . Dijelaskan pula bahwa untuk melakukan karakterisasi latar belakang genetik induk

atau stok dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode.

Perbaikan kualitas benih (keturunan) dapat dilakukan dengan pendekatan genetik

melalui seleksi induk dan perkawinan silang. Benih yang berkualitas dapat diperoleh melalui

pemijahan induk yang berasal dari populasi yang memiliki keragaman genetik tinggi dan tingkat

kekerabatannya rendah.

Evaluasi karakter dari suatu populasi dapat dilakukan dengan studi analisis protein

(protein elektroforesis) ataupun melalui studi morfometrik. Kedua cara tersebut dapat

digunakan untuk menentukan keragaman genetik dalam struktur populasi (Taniguchi &

Sugama,1990).

Untuk mempelajari keragaman genetik dapat menggunakan analisis isozim. Menurut

Tanskley dalam Indriani et al (2002), isozim merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas

berbagai molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda, tetapi mengkatalisis

reaksi kimia yang sama. Adams (l983) menyatakan bahwa melalui analisis isozim dapat

dideterminasi kebenaran dari hasil persilangan buatan dan membantu seleksi untuk sifat-sifat

penting secara ekonomis.

Berkaitan dengan upaya untuk memunculkan dan mendapatkan varietas induk yang

unggul, maka telah dilakukan penelitian mengenai hubungan kekerabatan udang windu yang

berasal dari tambak di Kabupaten Brebes, Tegal, Cilacap serta asal Hatchery, berdasarkan

analisis isozim ACP, ADH, EST dan MDH. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi

tentang tingkat kekerabatan udang windu asal tambak dan hatchery di tiga kota tersebut ,

dalam rangka perbaikan mutu benih dan manajemen induk.

Page 3: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-433

2. METODE PENELITIAN

2.1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah daging udang windu dan kemikalia. Udang windu yang

digunakan berasal dari hatchery dan tambak di Kapupaten Brebes , Tegal dan Cilacap. Bahan

kimia yang digunakan untuk elektroforesis meliputi buffer pengekstrak, buffer elektroda, buffer

gel, bromphenol blue, pati untuk pembuatan gel dan pewarna enzim fosfatase (ACP), malat

dehidrogenase (MDH), alkohol dehidrogenase (ADH) dan esterase (EST). Alat yang digunakan

adalah electrophoresis stray, cetakan gel, pompa vakum, microwave dan lemari pendingin.

2.2. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dan pengambilan sampel udang

windu dilakukan secara purposive sampling. Data yang diamati diperoleh dari hasil visualisasi

pola pita izosim berdasarkan teknik elektroforesis gel pati horisontal jaringan daging.

2.3. Cara Kerja

Cara kerja untuk ekstraksi enzim, bufer gel dan elektrode, pembuatan gel pati,

pemakaian elektroforesis, pewarnaan dan pembuatan zimogram mengikuti metode dari

Nuryanto et al (2003 ) dan Sugama (dalam Suryani et al., 2001).

Gel pati dibuat dengan cara melarutkan 10 % pati dalam buffer gel. Pati dilarutkan dalam

sepertiga bagian buffer gel dan dikocok sampai homogen, kemudian ditambahkan lagi buffer

gel yang sudah dipanaskan sebanyak dua pertiga bagian dan dikocok. Selanjutnya campuran

pati dipanaskan lagi dalam microwave sampai mendidih dan terbentuk gel yang jernih. Gel

divakum untuk menghilangkan gelembung udara. Gel dituang ke dalam cetakan yang

sebelumnya telah divaslin agar gel tidak lengket pada dasar cetakan. Gel ditutup plastik dan

disimpan dalam lemari pendingin selama 24 jam. Gel dilubangi sesuai jumlah sampel yang

akan diuji.

Ekstraksi enzim dilakukan dengan cara menggerus 5 gram daging udang sampai halus

dengan menggunakan pasir kuarsa dan 0,5 ml buffer pengekstrak. Pemuatan enzim ke dalam

gel dilakukan dengan cara memasukkan potongan kertas saring Whatman 0,5 cm ke dalam

ekstrak daging. Potongan kertas saring diangkat dan dibersihkan menggunakan kertas tisue,

kemudian potongan kertas saring tadi disisipkan ke dalam gel pati yang telah disediakan dan

diberi lubang. Untuk mengontrol laju migrasi enzim, pada salah satu lubang bagian tepi gel

disisipkan kertas saring yang telah dicelupkan dalam bromphenol blue. Cetakan gel yang telah

disisipi kertas sampel dimasukkan ke dalam electrophoresis tray yang berisi buffer elektroda

dan dihubungkan dengan medan listrik pada tegangan 100 volt dan arus kuat 18 miliampher

selama ± 4 jam, kemudian gel diwarnai dengan pewarna EST, MDH, ACP, dan ADH.

Page 4: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-434

Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air mengalir sampai bersih dan difiksasi menggunakan

campuran gliserol : etanol (1:1), kemudian dilakukan pengamatan dan pemotretan.

2.4. Analisis Data

Kekerabatan filogenetik dapat diketahui dari analisis kluster menggunakan metode

UPGMA cluster analisys melalui program Numerical Taxonomy and Multivariate System

(NTSYS) versi 2.0.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Hadiati et al. (2002), untuk menghitung koefisien kemiripan genetik dan

hubungan kekerabatannya dilakukan berdasarkan pada enzim yang bersifat polimorfik. Pada

penelitian ini, dari empat enzim (ACP, ADH, EST dan MDH) yang dianalisis dan terdeteksi

pola pitanya, hanya ADH-1 dan MDH-2 yang polimorfis. Dengan demikian perhitungan

koefisien kemiripan genetik dan hubungan kekerabatannya dilakukan berdasarkan pada lokus

tersebut. Hubungan kekerabatan udang windu atas dasar ADH-1, MDH-2 dan gabungan

keduanya tersaji pada Gambar 1

Untuk enzim alkohol dehidrogenase (ADH) yang terdiri atas ADH-1 dan ADH-2,

populasi udang windu dari Brebes, memiliki dua pola pita yaitu satu sampel dengan ADH-1

yang terdiri atas dua pita dengan jarak migrasi 2 cm sampel lainnya pada ADH-1 berupa satu

pita dengan jarak migrasi 2 cm serta ADH-2 berupa satu pita yang berjarak 3 cm. Populasi

Tegal mempunyai satu pola pita yang terdiri atas satu pita, yaitu ADH-1 dengan jarak migrasi 2

cm dan ADH-2 dengan jarak migrasi 3 cm. Populasi Cilacap dan Hatchery mempunyai dua

pola pita yang sama, yaitu satu pola pita terdiri atas dua pita pada ADH-1 dan satu pita pada

ADH-2, sedangkan pola pita lainnya, yaitu baik ADH-1 maupun ADH-2 terdiri atas satu pita.

Dengan demikian, berdasarkan isozim ADH-1 dapat diasumsikan bahwa udang windu asal

Brebes, Cilacap dan Hatchery mempunyai genotipe heterozigot dan menunjukkan adanya

keanekaragaman genetik. Sedangkan populasi Tegal mempunyai genotipe homozigot dan tidak

menunjukkan adanya keanekaragaman genetik.

Page 5: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-435

BREBES

CILACAP

HATCH

TEGAL

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00

Coefficient

Gambar 1. Dendogram Hubungan Kekerabatan Udang Windu asal Brebes, Tegal, Cilacap dan Hatchery Berdasarkan Isozim ADH-1.

Berdasarkan isozim ADH-1 yang bersifat polimorfis maka diperoleh informasi bahwa

populasi udang windu asal Brebes, Cilacap dan Hatchery berada dalam satu kelompok

(kelompok I) dengan tingkat kemiripan ketiga populasi tersebut 100 % sedangkan populasi

Tegal berada pada kelompok yang lain (kelompok II) (Gambar 1.). Koefisien kekerabatan

antara kelompok I dan kelompok II sebesar 0,00 yang dapat diartikan kedekatan hubungan

antara kedua kelompok tersebut sangat jauh.

Populasi udang windu Hatchery mempunyai pola pita enzim malat dehidrogenase

(MDH) yang berbeda dibandingkan dengan populasi yang berasal dari Brebes, Tegal dan

Cilacap. Udang windu Hatchery mempunyai satu pola pita yang terdiri atas dua pita dengan

jarak migrasi 3 cm, sedangkan udang windu asal Brebes dan Cilacap mempunyai satu pola pita

dengan jumlah satu pita serta jarak migrasi 1 cm. Udang windu asal Tegal mempunyai dua pola

yang masing-masing terdiri atas satu pita dengan jarak migrasi 1 cm sedangkan lainnya terdiri

atas satu pita dengan jarak migrasi 2 cm.

Page 6: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-436

BREBES

TEGAL

CILACAP

HATCH

0.00 2499.75 4999.50 7499.25 9999.00

Coefficient

Gambar 2. Dendogram Hubungan Kekerabatan Udang Windu asal Brebes, Tegal, Cilacap dan Hatchery Berdasarkan Isozim MDH-2

Atas dasar enzim MDH ini maka yang dapat dihitung koefisien kemiripan genetik dan

hubungan kekerabatannya hanya MDH-2. Udang windu asal Hatchery bersifat polimorfik dan

berada dalam satu kelompok yang terpisah (kelompok II), sedangkan populasi Brebes, Tegal

dan Cilacap tidak bersifat polimorfik berada dalam satu kelompok lainnya (kelompok I).

Dendogram hubungan kekerabatannya tersaji pada Gambar 2.

Antara populasi Brebes, Tegal dan Cilacap yang tidak memiliki keanekaragaman

genetik mempunyai keofisien kemiripan tinggi (0,9999). Sedangkan hubungan kekerabatan

antara kelompok I dan kelompok II mempunyai koefisien kekerabatan sebesar 0,00 yang dapat

diartikan kedekatan hubungan antara kedua kelompok tersebut sangat jauh.

Apabila kedua isozim yang bersifat polimorfik tersebut digabungkan dan dilakukan

penghitungan terhadap koefisien kemiripan genetik dan hubungan kekerabatannya, maka

hasilnya seperti yang tercantum dalam Gambar 3.

Page 7: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-437

BREBES

CILACAP

HATCH

TEGAL

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00

Coefficient

Gambar 3. Dendogram Hubungan Kekerabatan Udang Windu asal Brebes, Tegal, Cilacap dan Hatchery Berdasarkan Gabungan antara Isozim ADH-1 dan MDH-2.

Dari Gambar 3 tersebut dapat diketahui bahwa berdasarkan isozim ADH-1 dan MDH-2,

keempat populasi udang windu itu terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok I terdiri atas

Brebes dan Cilacap, kelompok II Hatchery dan kelompok III populasi Tegal. Udang windu asal

Brebes dan Cilacap mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi (1,00), sedangkan pada tingkat

kemiripan ± 0,70 terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok I dan kelompok II. Kelompok

III atau populasi Tegal cenderung memisah dan mempunyai tingkat kemiripan yang jauh dengan

dua kelompok lainnya (0,00). Adanya kenyataan tersebut, sangat mungkin terjadi mengingat

sumber dari udang windu yang ditebar di tambak Brebes, Tegal dan Cilacap merupakan benur

asal Hatchery Cilacap.

Rendahnya tingkat polimorfisme lokus pada populasi udang winduTegal itu,

menunjukkan rendahnya tingkat keanenekaragaman genetik populasi tersebut. Tidak adanya

keanekaragaman genetik pada populasi udang windu di Tegal diduga berkaitan dengan

menurunnya ukuran populasi dan adanya isolasi geografis yang menghalangi berlangsungnya

aliran gen (gene flow) dari sumber genetik lain. Menurut Hasting dalam Sulistyono (2003),

terjadinya penurunan keanekaragaman genetik ditentukan oleh berkurangnya polimorfisme

lokus, heterozigositas dan jumlah alel per lokus, yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah

individu dalam suatu populasi sehingga sejumlah induk berkurang. Keanekaragaman genetik

yang menurun dan reduksi alel tertentu pada udang dapat menghambat pertumbuhan

populasinya, meningkatkan kerentanan terhadap serangan penyakit dan perubahan lingkungan

yang tidak menguntungkan.

Moffe & Caroll (1994) dalam Hadie (2001) menyatakan bahwa keanekaragaman

genetik dapat diasumsikan sebagai fitness (daya tahan). Makin tinggi keanekaragaman genetik

Page 8: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-438

suatu spesies, makin tinggi pula peluangnya untuk dapat melangsungkan kehidupan. Sifat-sifat

yang berkaitan dengan fitness seperti pertumbuhan, daya hidup (viabilitas) dan fertilitas dapat

juga menyebabkan terjadinya fluktuasi keanekaragaman genetik populasi udang windu tersebut

Berdasarkan isozim ADH-1 dan MDH-2 serta tingkat kekerabatan udang windu asal

Brebes, Tegal, Cilacap dan Hatchery tersebut, dapat diperoleh informasi bahwa berkaitan

dengan upaya mendukung pemunculan varietas unggul induk penjenis perlu dilakukan aliran

gen dari sumber genetik yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar peluang terjadinya silang luar

(outbreeding) menjadi lebih besar dan diharapkan dengan semakin banyaknya silang luar, maka

keanekaragaman genetik udang windu akan meningkat. Hadie (2001) menyatakan bahwa

keanekaragaman genetik yang rendah, jika digunakan dalam program pemulihan populasi, akan

cenderung menurunkan heterozigositas pada populasi berikutnya. Keadaan itu akan diikuti pula

dengan rendahnya fitness.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai

berikut.

1. Populasi udang windu asal Brebes, Cilacap dan Hatchery Cilacap mempunyai hubungan

kekerabatan yang dekat.

2. Populasi udang windu Brebes, Cilacap dan Hatchery cenderung berkumpul dalam satu

kelompok dan populasi asal Tegal memiliki kekerabatan terjauh dibandingkan dengan

ketiga populasi lainnya.

3. Untuk meningkatkan keanekaragaman genetik udang windu pada keempat populasi tersebut

perlu adanya aliran gen dari sumber genetik yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Hadiati, S. murdaningsih, A., Baihaki & N. Rostini. 2002. Variasi Pola Pita dan Hubungan Kekerabatan Nanas Berdasarkan Analisis Isozim. Zuriat Vol.13 (2) : 65-72.

Hadie, W. 2001. Konservasi : Strategi Etik dan Pendekatan Analisis Genetika Molekuler, Kasus

pada Lele Lokal Clarias batrachus di Pulau Jawa. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca sarjana IPB, Bogor.

Indriani, F.C., Lita, S , Sudjindro & Arifin, N.S. 2002. Keragaman Genetik Plasma Nutfah

Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dan Beberapa Species yang Sekerabat Berdasarkan Analisis Isozim. Biosain. Vol. 2 1, April 2002.

Nugroho, E., Husni, A & Sukadi, F. 2001 Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.7 No.4,

2001.

Page 9: Udang Windu

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008

Universitas Lampung, 17-18 November 2008

ISBN : 978-979-1165-74-7 III-439

Nuryanto, A, Soemarjanto & Indarmawan. 2003. Analisis Kekerabatan Filigenetik Bekicot (Achatina sp) dari Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto.

Permana, I.G.N., S.B. Morita, Haryati & K. Sugama. 2001. Pengaruh Domestikasi terhadap

Variasi Genetik pada Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) yang Dideteksi dengan Allozyme Electrophoresis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.7 (1) : 25-29.

Purwaningsih, S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Penebar Swadaya. Jakarta. Richardson, B.J., P.R. baverstock & M. Adams. 1986. Allozyme Electrophoresis; A Handbook

for Animal Systematic and Population Studies. Academic Press, North Ryde. Rukyani, A., Sudradjat, A., Suwidah, Anggraeni, M.S., & Taukhid. 2001. Kebijakan Penerapan

Teknologi Budidaya Udang Windu yang Bertanggung Jawab. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Sugama, K, Haryanti & F. Cholik . 1996. Biochemical Genetics of Tiger Shrimp Penaeus

monodon : Description of Electrophoretic Detectable Loci. IFR Journal Vol II (1) 19 – 28.

Sulistiyono, A. Skrining Beberapa Enzim untuk Identifikasi Anguilla sp di Kawasan Segara

Anakan Cilacap. Tidak Dipublikasikan, Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto. Suryani, S.A.M., Sukoso & Sugama. 2001. Hubungan Kekerabatan Tiga Species Ikan Kerapu

Sunu (Plectropomus spp) Atas Dasar Variasi Genetik. Biosain. Vol.1 No.3, Desember 2001.

Taniguchi, N & K. Sugama. 1990. Genetic Variation and Population Structur of Red Sea Bream

in The Coastal Waters of Japan and The East China Sea Nipon Suisan Gakkaishi : Formerly Bull. Japan Soc. Sci. Fish 56(7)