teknik budidaya udang windu intensif dengan green water system

22
TEKNIK BUDIDAYA UDANG WINDU (P. monodon) INTENSIF DENGAN GREEN WATER SYSTEM MELALUI APLIKASI PUPUK NITRAT DAN PENAMBAHAN SUMBER UNSUR KARBON Oleh : Supito Darmawan Adiwidjaya DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA 2009

Upload: sasa-ahlan

Post on 25-Jul-2015

1.030 views

Category:

Documents


84 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

TEKNIK BUDIDAYA UDANG WINDU (P. monodon)

INTENSIF DENGAN GREEN WATER SYSTEM MELALUI

APLIKASI PUPUK NITRAT DAN PENAMBAHAN

SUMBER UNSUR KARBON

Oleh :

Supito

Darmawan Adiwidjaya

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU

JEPARA

2009

Page 2: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

1

TEKNIK BUDIDAYA UDANG WINDU (P. monodon) INTENSIF DENGAN GREEN

WATER SYSTEM MELALUI APLIKASI PUPUK NITRAT DAN PENAMBAHAN

SUMBER UNSUR KARBON

Oleh :

Supito dan Darmawan Adiwidjaya

Abstrak

Perubahan lingkungan tambak yang drastis akan menyebabkan udang stres dan

lemah serta memacu serangan patogen penyakit. Menjaga kestabilan lingkungan

melalui green water system, yaitu menjaga kestabilan plankton dengan dominasi

Chloropiceae melalui penambahan pupuk nitrat dan penambahan sumber karbon

(tepung tapioka). Ujicoba dilakukan pada pada tambak sebanyak 2 unit dengan

luas masing-masing 1.000 m2.

Kontruksi pematang terbuat dari pasangan batu (concreat) dengan dasar

tambak dari tanah (70%) dan betuk petakan bulat. Lay out tambak menggunakan

sistem tandon/biofilter untuk mengelola air sebelum digunakan untuk petak

pembesaran. Pemasukan air menggunakan pompa submersible dengan saringan

ganda menggunakan planktonet. Aerasi menggunakan kincir dan blower (super

cash). Padat penebaran benih udang windu 50 ekor/m2 dan 50 ekor/m

2.

Penggunaan pupuk Nitrat dosis 0,5 ppm dilakukan bila kecerahan air kurang dari

40 cm. Penambahan sumber karbon tepung tapioka 2 kali tiap minggu dengan

dosis 10-20% dari total protein pakan yang ditebar di tambak. Pada persiapan air

media dilakukan inokulasi Chlorella sp. Kestabilan kemelimpahan plankton

selama pemeliharaan berwarna hijau kecoklatan dengan dominasi klas

Chloropiceae hingga mencapai kepadatan 6,2.106 sel/lt. Parameter kualitas air

lainnya selama pemeliharaan pada kisaran yang normal.

Produksi yang dihasilkan pada kajian/ujicoba ini adalah petak O-1 produksi

810 kg (SR 73% dan size 45 ekor/kg) dan petak O-2 produksi 803 kg (SR 74%

dan size 46 ekor/kg).

Kata kunci: udang windu, P. monodon, green water system, pupuk nitrat dan

sumber karbon (tepung tapioka)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang windu (P. monodon) merupakan udang asli (indigenius) Indonesia hingga

saat ini masih mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas pilihan oleh

pembudidaya untuk dibudidayakan. Beberapa kendala yang masih dihadapi pembudidaya

adalah timbulnya masalah penyakit terutama penyakit virus bercak putih (WSSV—white

spot sydrom virus). Wabah penyakit virus pada udang windu telah menghancurkan

fundamen ekonomi pada masyarakat pesisir. Areal kawasan sepanjang pantai utara pulau

Jawa banyak dijumpai lahan tambak yang ditinggalkan terbengkalai dan tidak terurus

(idle), terutama eks tambak budidaya udang intensif. Beberapa petambak dengan tidak

kenal putus asa mencoba bangkit untuk kembali menebar benih udang windu, tetapi hanya

bertahan satu hingga dua bulan dan kemudian terjadi kematian masal. Sebagian besar

petambak mengalihkan usaha budidayanya dari udang ke ikan yaitu bandeng dan nila

Page 3: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

2

dengan nilai pendapatan yang jauh lebih kecil bila dibandingakan dengan usaha budidaya

udang windu.

Dari hasil indentifikasi permasalahan, terdapat beberapa faktor penyebab tambak

pembesaran udang windu gagal berproduksi, antara lain : kualitas benih yang rendah dan

terinfeksi penyakit viral; lingkungan tempat budidaya yang terkontaminasi dan fluktuasi

lingkungan yang ekstrim akibat eutrifikasi serta sistem tata guna air yang buruk antar

petambak sehingga memudahkan kontaminasi dan infeksi pada petakan tambak dalam

satu kawasan (Supito, et al 2002). Permasalahan yang sering terjadi di lapangan adalah

munculnya serangan penyakit dimulai karena adanya perubahan warna air tambak yang

disebabkan adanya kematian beberapa jenis plankton. Air tambak berubah warna dari

kehijauan (greenist) menjadi coklat tua (dark brown). Kondisi udang terlihat abnormal,

yaitu 1 – 2 hari setelah terjadinya perubahan warna air maka kematian mulai muncul

setelah 2 – 3 hari yang ditandai warna udang pucat (keruh) insang kotor dan muncul

serangan virus bercak putih (WSSV).

Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya

adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara; 2) sebagai

penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator

kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).

Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk

jenis dan kemelimpahannya. Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah

unsur hara makro dan mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat

dimanfaatkan oleh plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi

kemelimpahan plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang.

Rendahnya jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari

banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan

rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%)

dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu

perlu penambahan sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif

untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio.

Filosofi dasar pertumbuhan adalah biota akan tumbuh dan berkembang biak secara

normal apabila hidup pada lingkungan yang nyaman yaitu lingkungan sesuai kebutuhan

biologis dan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan lingkungan yang drastis akan

menyebabkan terjadi tekanan atau stres pada organisme yang dipelihara. Kestabilan

lingkungan tambak pembesaran pada budidaya udang windu intensif merupakan salah satu

kunci keberhasilan (Anonim, 2007).

Berdasarkan data-data kondisi budidaya udang windu yang sering mengalami

kegagalan baik ditingkat pembudidaya maupun di tambak BBPBAP Jepara, maka

diperlukan salah satu rekayasa teknologi budidaya udang windu dengan teknik Green

Water System yaitu mempertahankan kestabilan lingkungan budidaya dengan cara

mempertahanan dominasi plankton jenis Chloropiceae dengan aplikasi pupuk Nitrat

(Sodium Nitrat) dan penambahan sumber karbon (tepung tapioka) sebagai unsur untuk

menjaga keseimbangan nilai CN ratio yang optimal.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara sebagai Unit Pelaksana

Teknis Ditjen. Perikanan Budidaya yang mempunyai salah satu tugas dan fungsi untuk

mengembangan perikaanan, yaitu harus mampu menghasilkan paket-paket teknologi

Page 4: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

3

perikanan yang tepat guna. Kegiatan rekayasa teknik budidaya udang windu intensif

dengan green water system melalui aplikasi pupuk nitrat dan penambahan sumber carbon

ini perlu dilakukan pada skala pilot (lapang) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air

Payau Jepara untuk mendapatkan paket teknologi guna menjawab permasalahn yang ada di

masyarakat pembudidaya tambak.

1.2. Kerangka Pikir

Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya

adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara; 2) sebagai

penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator

kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).

Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk

jenis dan kemelimpahannya.

Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah unsur hara makro dan

mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh

plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi kemelimpahan

plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang. Rendahnya

jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari banyaknya

fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi

nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor (80%)

terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu perlu penambahan

sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif untuk

meningkatkan kesimbangan C/N rasio.

Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya

adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan udang yang dipelihara; 2) sebagai

penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator

kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).

Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk

jenis dan kemelimpahannya. Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah

unsur hara makro dan mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat

dimanfaatkan oleh plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi

kemelimpahan plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang.

Rendahnya jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari

banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan

rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%)

dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu

perlu penambahan sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif

untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio.

Filosofi dasar pertumbuhan adalah biota akan tumbuh dan berkembang biak secara

normal apabila hidup pada lingkungan yang nyaman yaitu lingkungan sesuai kebutuhan

biologis dan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan lingkungan yang drastis akan

menyebabkan terjadi tekanan atau stres pada organisme yang dipelihara. Kestabilan

lingkungan tambak pembesaran pada budidaya udang windu intensif merupakan salah satu

kunci keberhasilan (Anonim, 2007).

Page 5: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

4

1.3. Tujuan

Tujuan pada kajian perekayasaan ini adalah untuk mengasilkan teknologi budidaya

udang windu dengan mempertahankan kestabilan lingkungan media pemeliharaan.

2.3. Sasaran

Sasaran dari kegiatan perekayasaan ini adalah selama pemeliharaan 120 hari

diharapkan :

• SR (sintasan) di atas 65% dan berat rata-rata > 20 gram,

• kondisi kemelimpahan plankton dan keseimbangan CN ratio optimal.

II. BAHAN DAN METODA

2.1. Waktu dan tempat

Kegiatan pembuatan produk rancang bangun/perekayasaan skala pilot/lapang untuk

kegiatan teknik budidaya udang windu intensif dengan green water system melalui

aplikasi pupuk nitrat dan penambahan sumber carbon dilaksanakan selama > 4,5 bulan

mulai tanggal 21 Februari s/d 12 Juli 2008. Lokasi kegiatan ujicoba di tambak milik Balai

Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara yang terdiri dari 1 petak tandon biofilter,

1 petak tandon treatmen, 2 petak pemeliharaan. Lay out tambak kegiatan ujicoba terlihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Lay-out tambak kegiatan ujicoba puptk nitran dan sumber carbon

Tandon

Biofilter

Tandon

Sterilisasi

Grow-out Pond Grow-out Pond

Page 6: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

5

2.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan selama kegiatan ini berlangsung tercantum pada

Tabel 1 dan 2 sebagai berikut.

Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan

No. Komponen Bahan Volume Satuan

1 Benih udang windu bebas virus (PL-12) 100.000 Ekor

2 Pakan udang windu 2.650 Kg

3 Ikan segar 100 Kg

4 Desinfektan 150 Kg

5 Moluksida 300 Gram

6 Saponin 50 Kg

7 Kapur (Dolomit) 800 Kg

8 Tepung tapioka 300 Kg

9 Pupuk nitrat (Sodium Nitrat) 100 Kg

10 Pupuk urea, TSP dan NPK 100 Kg

11 Probiotik 20 Liter

12 Feed additive 1 Paket

13 Biofilter 1 Paket

Tabel 2. Sarana dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ujicoba

No. Komponen Alat/Sarana Volume Satuan

1 Wadah ujicoba 4 Petak

2 Pompa submersible 6 dan 8 inchi 2 Unit

3 Kincir air 1 PK 2 Unit

4 Super cash 1 PK 2 Unit

5 Peralatan lapangan 1 Paket

6 Alat pengamatan kualitas air, tanah dan plankton 1 Paket

7 Sarana pendukung lainnya (Lab. analisa) 1 Paket

2.3. Metoda

2.3.1. Persiapan Tambak

Persiapan tambak dilakukan untuk memperbaiki wadah/media pemeliharaan

udang. Rangkaian persiapan tambak yang dilakukan adalah pengeringan, pemberantasan

hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan pH tanah dasar. Pengeringan dilakukan

hingga tanah retak-retak untuk untuk mempercepat proses penguraian bahan organik.

Untuk memudahkan pengeringan dibuatkan parit atau caren keliling dengan lebar 30 cm

dan dalam 20 cm bertujuan untuk menampung air rembesan dari luar sehingga tidak

membasahi tanah pada pelataran dasar.

Pembalikan tanah dasar tambak tidak dilakukan karena hingga pada kedalaman 10

– 15 cm kualitas tanah masih menunjukan nilai yang layak dengan nilai parameter

diantaranya : bahan organik < 12 %; redoks potensial > -50 m.ev dan pH tanah > 6,5.

Page 7: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

6

Hasil pengukuran pH tanah pada saat persiapan adalah 6,8. Aplikasi kapur jenis dolomite

dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan dosis 500 kg/Ha.

Aplikasi pupuk nitrat pada dasar tambak dengan dosis 25 kg/ha. Pemberian pupuk

sodium nitrat dapat dilakukan untuk meningkatan proses penguraian bahan organik.

Aplikasi tepung tapioka dan pupuk nitrat dilakukan pada saat tanah dasar tambak masih

lembek (moisture) agar nitrat dapat masuk pada lapisan tanah yang bawah daerah anaerob

(anaerobic zone). Nitrat dapat digunakan sebagai sumber oksigen untuk aktivitas bakteri.

Nitrat akan melepaskan oksigen ketika kandungan oksigen dalam tanah dan nilai redoks

potensial rendah. Dosis dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat (50 – 100 kg) bila

kandungan C oganik tanah antara 3 – 4% (Boyd, 2003).

2.3.2. Persiapan Air Media

Lay-out dan tata letak tambak kajian/ujicoba adalah menggunakan sistem tandon.

Air dari sumber dimasukan pada petak tandon sebelum digunakan untuk petak pembesaran

udang. Petak tandon juga sebagai petak biofilter karena berfungsi juga sebagai upaya

pencegahan infeksi panyakit. Oleh karena itu, petak tandon ditebari tanaman air berupa

rumput laut (Glacillaria sp) serta ikan karnivor (ikan keting), ikan herbivora (ikan

bandeng) dan ikan omnivora (ikan nila).

Pemasukan air dari petak tandon ke petak pembesaran udang dengan menggunakan

pompa. Untuk mencegah masuknya crustecea liar dan ikan lainya, maka dilakukan

penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm dan plankton net ukuran T-45

dengan mesh size 300-400 mikron. Pengisian air tahap awal mencapai di atas 120 cm.

Penumbuhan plankton dilakukan dengan aplikasi pupuk nitrogen (NaNO3) dengan

dosis 0,5 ppm dan pupuk posfat (TSP) dengan dosis 0,5 ppm. Pupuk dilarutkan dalam air

kemudian disebar merata dalam air tambak. Bibit plankton Chlorella sp dimasukan sebagai

starter. Plankton akan tumbuh setelah 4 – 7 hari. Bila plankton belum tumbuh, maka

dilakukan pemupukan susulan dengan dosis pupuk yang sama sampai plankton tumbuh

dengan indikator diukur dengan kescerahan air mencapai minimal 50 cm. Penebaran

probiotik komersial jenis Bacillus sp dilakukan dengan dosis 10 liter/Ha sebagai starter

dalam petak pembesaran.

Kondisi air media petak pembesaran udang dikatakan siap tebar apabila parameter

air sudah stabil, diantaranya : pH 7,8 – 8,5, TOM < 100 ppm, alkalinitas 90 – 150 ppm,

kecerahan maksimum 50 cm dengan warna plankton hijau kecoklatan dan total vibrio <

102 atau sebanyak maksimum 10% dari total bakteri.

2.3.3. Pemilihan dan Penebaran Benih

Benih udang windu yang digunakan untuk penebaran harus sehat dan tidak

terinfeksi penyakit (sesuai SNI benih udang windu). Pengambilan sampel benih udang

windu yang siap tebar (PL-12) harus dilakukan secara acak dari bak pemeliharaan di

hatchery dan selanjutnya untuk diuji visual, uji ketahanan dan uji PCR guna mengetahui

infeksi patogen virus WSSV. Uji visual meliputi keseragaman ukuran, keseragaman

warna, gerakan dan bersih dari patogen. Melakukan uji ketahanan dengan stress terhadap

salinitas dan perendaman formalin. Melakukan Uji PCR sampel benih yang lemah dari

hasil uji ketahanan. Benih yang sehat dan bebas virus selanjutnya diangkut, ditebar dan

Page 8: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

7

diadaptasikan pada parameter : salinitas, suhu dan pH air tambak untuk mengurangi stres

pada saat penebaran. Perbedaan pada saat adaptasi benih dari bak hatchery ke tambak

adalah untuk salinitas < 5 ppt, suhu < 1oc dan pH < 0,5.

Sebelum benih ditebar dalam tambak, dilakukan pengamatan perbedaan suhu air dalam

kantung plastic pengangkutan benih dan air tambak. Bila terjadi perbedaan suhu lebih dari

1oC, dilakukan aklimatisasi dengan cara mengapungkan kantung plastik dalam air tambak

dalam kondisi kantung masih tertutup agar oksigen tidak lepas ke udara. Benih udang

dalam kantung plastik akan bergerak aktif bila suhu sudah mendekati sama dengan air

tambak atau aklimatisasi dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang. Padat penebaran

benih udang windu pada kajian/ujicoba ini adalah 50 ekor/m2.

2.3.4. Pengelolaan Pakan

Pengelolaan pakan meliputi dosis, ukuran, jumlah, waktu dan frekuensi pemberian

disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pemberian pakan tambahan mulai diberikan

sejak dari penebaran benih hingga panen dengan ukuran dan jumlah pakan disesuaikan

dengan ukuran udang yang diukur (sampling) tiap 7 – 10 hari sekali. Pengamatan nafsu

makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco (feeding tray). Jumlah

pakan pada masing-masing anco adalah 0,8 – 1% dari jumlah setiap pemberian. Jumlah

anco minimal 2 buah per petak. Pemberian feed additive berupa vitamin dan meneral

dilakukan secara periodik setiap 1 minggu dengan cara aplikasi melalui pakan (beruapa

pellet atau ikan segar) untuk meningkatkan ketahanan udang dari serangan patogen

penyakit. Pemberian pakan segar juga dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi

dengan pengelolaan air yang baik. Protokol pemberian pakan (feeding rate) tercantum pada

Tabel 3.

Tabel 3. Dosis, frekuensi dan waktu pengamatan pakan udang

No.

Umur

(hari)

Est. Bobot

(gr)

Dosis Pakan

(%)

Frekuensi

Pakan (x)

Pengamatan

anco (jam)

1 1 – 30 3 – 4 10 – 30 2 2,5

2 31 – 60 5 – 10 6 – 9 3 – 4 2

3 61 – 90 11 – 21 4 – 6 4 – 5 1,5 – 2

4 91 – 120 22 – 33 2 – 4 4 – 5 1 – 1,5

2.3.5. Pengelolaan air

Pengelolaan air yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pergantian air;

pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk anroganik (urea, TSP dan Nitrat) dan sumber

karbon (tepung tapioka) untuk memperbaiki kualitas air. Pengamatan kualitas air harian

meliputi : salinitas, pH, suhu, kecerahan. Pengamatan kualitas air secara periodik

(mingguan) meliputi : bahan organik, nitrit, ammonia dan alkalinitas. Sedangkan

pengamatan kualitas tanah secara periodik (2 minggu sekali) meliputi : redoks potensial,

pH dan bahan organik.

a. Salinitas

Salinitas air tambak diamati secara rutin terutama pada saat akan dilakukan

penambahan atau pergantian air tambak. Pengamatan salinitas menggunakan salinometer

Page 9: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

8

atau hand refraktometer. Namun demikian penambahan atau pergantian air tidak merubah

salinitas harian secara drastis (> 3 ppt) dengan tujuan untuk menghindari stres pada udang.

b. Suhu

Kondisi suhu air media tergantung pada musim dan ketinggian air. Suhu sangat

berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme yaitu laju komsumsi pakan dan optimalisasi

pertumbuhan dan sintasan. Pengamatan suhu menggunakan thermometer. Suhu optimal

untuk pertumbuhan udang 28,0 – 32oC (Anonim, 1985 dan Anonim, 2007). Pada suhu

kurang dari 26oC laju komsumsi pakan pada udang windu menurun hingga 50% dan

pertumbuhan cenderung terhambat. Untuk mempertahankan kestabilan suhu dapat

dilakukan dengan mengatur kedalaman air sekitar minmal 80 cm dan memperhatikan

kepadatan plankton.

c. Kecerahan dan Warna Air

Kecerahan diukur dengan piring sechi disk. Kecerahan menunjukan tingkat

kepadatan suspensi terlarut dan plankton. Kecerahan diukur secara rutin pada pagi hari

jam 09.00 dan sore hari jam 15.00 WIB. Kecerahan air dipertahankan pada kisaran 30 – 40

cm dengan warna air hijau yang didominasi plankton Chloropiceae. Untuk mempertahan

kestabilan plankton dan kecerahan air dapat dilakukan dengan cara pemupukuan susulan

menggunakan pupuk Nitrat dan pupuk posfat dengan dosis masing-masing 1 ppm secara

rutin tiap minggu.

d. Bahan organik

Nilai parameter total bahan organik (TOM) pada air tambak yang baik adalah

kurang dari 90 ppm. Pengamatan parameter bahan organik dapat dilakukan tiap minggu.

Solusi untuk mengatasi nilai bahan organik air tambak yang tinggi, yaitu dengan

pengenceran atau penambahan air baru yang telah diendapkan pada petak tandon.

Pergatian air dilakukan bila nilai parameter kualiatas air media pemeliharaan udang sudah

menurun dengan air baru dari petak tandon yang nilai parameternya lebih baik. Pergantian

air dilakukan bila air pekat dengan kecerahan kurang dari 20 cm. Sebaliknya bila nilai

parameter air masih dalam kisaran yang normal cukup dilakukan penambahan air dari

petak tandon untuk mempertahankan ketinggian air minimal selama pemeliharaan.

Penambahan sumber karbon (tepung tapioka) untuk meningkatkan C/N rasio dalam

tambak dihitung berdasarkan jumlah protein dari pakan yang dimasukan dalam tambak.

Dosis penambahan sumber karbon diberikan dalam tambak yaitu minimal 10% dari

jumlah total bobot protein (crude protein) dari pakan yang sudah digunakan. Aplikasi

sumber carbon mulai dilakukan pada umur pemeliharaan setelah 30 hari dengan frekuensi

pemberian 1 kali seminggu. Pada umur pemeliharaan bulan ke 3 – 4 alplikasi sumber

karbon dengan dosis yang sama dilakukan dengan frekuensi 2 kali seminggu.

e. pH

Pengamatan pH air tambak menggunakan pH meter dilakukan tiap hari pada waktu

pagi sekitar jam 05.00 dan sore sekitar jam 16.00 WIB. pH air dipertahankan pada kisaran

yang optimum yaitu 7,5 – 8,5 dengan fluktuasi harian pagi dan sore tidak lebih dari 0,2 –

0,6. Bila pH air turun dari 7,8 dilakukan penambahan kapur dengan dosis 3 – 5 ppm.

Sebaliknya bila pH air tinggi diatas 9 dilakukan aplikasi molase (tetes tebu) dengan dosis 2

– 3 ppm.

Page 10: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

9

f. Alkalinitas

Alkalinitas diamati tiap 1 – 2 minggu sekali. Nilai alkalinitas dipertahankan pada

kisaran >90 ppm. Nilai alkalinitas yang rendah menyebabkan sulit untuk menumbuhkan

plankton dan fluktuasi nilai pH air harian pagi dan sore tinggi (>0,5). Nilai alkalinitas

yang rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan carbonat dengan aplikasi kapur

dolomit 3 – 5 ppm yang dilakukan tiap 3 - 5 hari sekali hingga mencapai minimal >90

ppm. Penambahan kapur dolomit tidak dapat menaikan pH air secara dratis, namun

minimal dapat mempertahankan kestabilan pH air media.

2.3.6. Pengamatan pertumbuhan dan kondisi udang

Pengamatan kondisi kesehatan udang meliputi gerakan, warna, kondisi usus dan

nafsu makan dan ini dilakukan setiap hari dengan mengamati udang dari anco (feeding

tray). Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan pakan

dilakukan setiap 10 hari sekali. Pengambilan contoh sampel udang menggunakan jala tebar

dengan teknik diambil beberapa titik sample yang dianggap mewakili.

2.3.7. Panen

Pemanenan hasil dapat dilakukan apabila target umur pemeliharaan sudah cukup

dan ukuran udang sudah mencapai size pasar yang ekonomis. Namun pada umumnya

udang windu dapat dipanen setelah mencapai ukuran berat rata-rata individu minimal 20

gram (> 3 bulan).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Pertumbuhan dan Sintasan (SR) Udang

Hasil pengukuran pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 115 hari pada

petak tambak O-1 adalah berat rata-rata 22,2 gram dengan laju pertumbuhan 0,16 – 0,28

gram/hari (rata-rata laju pertumbuhan harian 0,23 g/hari). Petak tambak O-2 adalah berat

rata-rata 21,7 gram dengan laju pertumbuhan antara 0,15 – 0,27 gram/hari (rata-rata laju

pertumbuhan 0,22 gram/hari). Berdasarkan grafik pertumbuhan mutlak dan laju

pertumbuhan, udang windu pada kedua petak ujicoba tidak menunjukan perbedaan yang

signifikan (Gambar 2).

Grafik laju pertumbuhan mulai umur 45 hari cenderung meningkat hingga umur

pemeliharaan 95 hari. Kondisi parameter lingkungan yang cukup stabil dengan adanya

pertumbuhan dan kemelimpahan plankton stabil, terutama fitoplankton dari kelompok

Chloropiceae diduga mampu memberikan kondisi lingkungan yang nyaman. Fitoplankton

dalam perairan merupakan produsen primer yang mampu menyerap hasil perombakan

bahan organik dalam bentuk nutrien (unsur hara) dan menghasilkan oksigen melalui proses

fotosintesa pada siang hari (Anonim, 1985 dan Anonim, 2007).

Sintasan atau kelangsungan hidup (SR) udang windu selama pemeliharaan hingga

115 hari terlihat cukup baik, yaitu pada petak O-1 : 73,0% dan O-2 : 74,0% (Tabel 4).

Kematian tertinggi diduga terjadi pada awal penebaran karena proses adaptasi. Hal ini

dapat dilihat dari hasil pengamatan pertumbuhan dan pendugaan populasi selama

pemeliharan tidak menunjukan penurunan poplasi yang drastis. Estimasi penggunaan

Page 11: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

10

pakan cukup efisien yaitu dapat dilihat dari FCR pakan sekitar 1,65 berbanding 1.

Udang hasil panen pada kajian ini dengan mempunyai figment coklat kehijauan dan

sekitar 30% berwarna biru (blue). Udang yang berwarna biru tidak dikehendaki pembeli

karena diduga mengandung antibiotik. Beberapa penyebab udang berwarna biru adalah : 1)

faktor genetika/keturunan; 2) udang yang stress akibat kandungan antibiotik atau fluktuasi

parameter lingkungan; 3) air media akibat plankton yang terlalu pekat pada akhir

pemeliharaan; dan 4) media dasar tambak.

Grafik pertumbuhan Udang Windu

0

5

10

15

20

25

45 55 65 75 85 95 105 115

(hari)

Bobot (g)

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

ADG (g/hr)

O1

O2

ADG O1

ADG O2

Gambar 2. Grafik pertumbuhan udang windu dengan green water system

Tabel 4. Data produksi udang windu hasil ujicoba

No. Uraian Petak O-1 Petak O-2

1 Penebaran (ekor) 50.000 50.000

2 Umur (hari) 115 115

3 Berat Udang rataan (g) 22,2 21,7

4 Sintasan (%) 73,0 74,0

5 Biomassa (kg) 810 803

6 FCR 1,65 1,67

3.2. Parameter Kualitas Air

3.2.1. Kemelimpahan dan Dominasi Plankton

Plankton merupakan produsen primer yang mampu menyerap nutrien hasil

degradasi bahan organik oleh mikroba serta dapat menghasilkan oksigen. Plankton

berfungsi sebagai penyetabil kualitas air (water stability). Keberadaan plankton dan

kestabilan kemelimpahan plankton dalam air media akan berpengaruh terhadap parameter

kualitas air. Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan organisme, khususnya

jenis fitoplankton yang menguntungkan dan persentase dominansi (keseimbangan)

sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragaman maupun kemelimpahannya. Fungsi

dan peran plankton pada air media pemeliharaan diantaranya adalah : 1) sebagai pakan

Page 12: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

11

alami untuk pertumbuhan organisme yang dipelihara; 2) sebagai Penyangga (buffer)

terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai bio-indikator kestabilan lingkungan air

media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2008).

Pembudidaya tambak sering melaporkan bahwa permasalahan budidaya udang

windu di tambak baik teknologi sederhana hingga intensif diawali oleh perubahan warna

air tambak, dari warna kehijauan (greenist) menjadi coklat pekat atau kemerahan. Udang

yang dipelihara terlihat minggir dan bahkan posistif terinfeksi penyakit dan biasanya

terjadi setelah 2 – 3 hari setelah warna air berubah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

perubahan warna air tambak disebabkan perubahan kondisi plankton yang ada pada

perairan. Perubahan kemelimpahan plankton yang terjadi dapat disebabkan perubahan dan

keterbatasan ketersediaan nutrien pada air media pemeliharaan, sehingga beberapa jenis

plankton tidak tercukupi unsur haranya. Kurang stabilnya kemelimpahan plankton pada air

media pemeliharaan udang/ikan juga dapat disebabkan oleh kondisi parameter kualitas air

yang masih fluktuatif (Anonim, 2007).

Hasil pengamatan dominasi jenis plankton yang dilakukan tiap minggu pada kedua

petak pemeliharaan menunjukkan pada tahap penyiapan air media hingga pada umur

pemeliharaan 30 hari hampir merata. Jenis plankton berasal dari kelompok Bacillariaceae,

Chlorophyceae dan Cyanophyceae dengan dominasi 20% hingga 40%. Kemudian

dominasi jenis plankton berubah pada umur pemeliharaan 31 hingga umur pemeliharaan

45 hari (pengamatan III – IX) dengan dominasi Bacillariaceae (Gambar 3 dan 4).

Setelah dilakukan aplikasi/penambahan sumber karbon (tepung tapioka) pada umur

pemeliharaan 45 hari, maka jenis plankton didominasi oleh Clorophycea hingga panen.

Hasil pengamatan di lapangan warna air hijau hingga panen. Untuk menghindari terjadinya

blooming plankton dilakukan pergantian air antara 5 – 20% per hari setelah umur di atas

60 hari.

Prosentase Class Pada tambak O1

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI

Pengamatan Ke-

(%)

Bacillariaceae Chlorophyceae Cyanophyceae CiliataDinoflagellata Crustaceae Rotifera

Gambar 3. Dominasi jenis plankton Chlorophyceae petak O-1

Page 13: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

12

Prosentase Class plankton pada tambak O2

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI

Pengamatan Ke-

(%)

Bacillariaceae Chlorophyceae Cyanophyceae CiliataDinoflagellata Crustaceae Rotifera

Gambar 4. Dominasi jenis plankton Chlorophyceae petak O-2

Hasil pengamatan kemelimpahan plankton menunjukan peningkatan jumlah/

populasi setelah umur 45 hari (Gambar 5). Hal ini diduga akibat penambahan sumber

karbon (tepung tapioka) sehingga menyebabkan peningkatan keseimbangan C/N rasio.

Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar antara 5 –

40%. Dari data yang ada diketahui bahwa nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan

dan udang adalah 13% carbon, 29% nitrogen, dan 16% posfor. Rendahnya jumlah karbon

sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data

ini menunjukkan rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti

nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech dan Ritvo,

2003).

Untuk menjaga keimmbangan unsur carbon tersebut diperlukan penambahan

sumber karbon organik seprti tepung tapioka, sehingan diharapkan C/N rasio dapat

seimbangan pada media pemeliharaan udang. Pada perairan yang mempunyai

keseimbangan C/N ratio yang baik akan meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri

Heterotrop (TBH) yang akan mempercepat proses penguraian limbah organik. Dari

beberapa jenis bakteri heterotrop ini diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu

bakteri yang dalam proses metabolismenya menguraikan bahan organik tidak

menggunakan oksigen sebagai sumber energi (Widiyanto, 2002). Dengan kondisi ini,

diduga dengan tumbuhnya bakteri ini akan mampu menguraikan limbah organik pada

lumpur dasar tambak pada kondisi anaerob.

Page 14: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

13

Kemelimpahan plankton pada tambak O1dan O2

2634209

308533

25197707

12212930

1312006

62058924941761

5830700

5095288922526694148

620733

902267

297543

267101

0

5000000

10000000

15000000

20000000

25000000

30000000

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI

Pengamatan ke-

Kem

elim

pahan p

lankto

n (sel/lite

r)

kemelimpahan palnkton O1

Kemelimpahan plankton O2

Gambar 5. Grafik kemelimpahan total plankton pada petak pembesaran udang

(petak O-1 dan O-2)

3.2.2. Oksigen Terlarut

Penyediaan kelarutan oksigen terlarut digunakan aerasi berupa kincir air masing-

masing petak 1 buah dan blower 1 buah untuk 2 petak. Untuk efeisien energi pada siang

hari digunakan blower dan pada malam hari ditambah kincir. Berdasarkan hasil

pengukuran kandungan oksigen terlarut pada pagi hari hingga umur pemeliharaan 40 hari

menunjukan nilai yang rendah kurang dari 3 ppm (Gambar 6). Setelah penggunaan blower

dan kincir dihidupkan pada malam hari kandungan oksigen terlarut menunjukan nilai yang

optimal di atas 3 ppm. Sementara pada petak tandon atau biofilter (Petak J7 dan J8)

kandungan oksigen lebih rendah.

Grafik DO Tambak O1-2 dan J7-8

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

I II III IV V VI VII VIII IX

O1

O2

J7

J8

Gambar 6. Fluktuasi oksigen terlarut pada petak tandon dan pemeliharaan

Page 15: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

14

3.2.3. Kandungan Bahan Organik Total (TOM) Air

Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharaan antara 101 – 127 ppm

dan masih diagga layak untuk kegiatan pembesaran udang. Berdasarkan hasil pengamatan

kandungan bahan organik pada petak tandon dan pembesaran udang terlihat perubahan

yang sama, artinya peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran (bahan

organik) sementara belum dapat mengurangi bahan organik (Gambar 7).

Avnimelech et al., (2004) menyebutkan bahwa akumulasi bahan organik yang

berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob, tingginya kebutuhan oksigen

pada sedimen. Terjadinya penurunan mutu lingkungan yang pada akhirnya berdampak

pada respon pertumbuhan kultivan yang rendah. Pada petak tandon ditanamani rumput laut

Glacillaria sp dengan tujuan untuk dapat menyerap nutrient hasil perombakan bahan

organic. Namun demikian fungsi ini belum maksimum karena rumput laut yang ada mulai

mati karena salinitas yang turun akibat musim hujan.

Grafik Bahan Organik Tambak O1-2 dan J7-8

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

I II III IV V VI VII VIII IX

O1

O2

J7

J8

Gambar 7. Grafik kondisi bahan organik air

3.2.4. Salinitas

Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 15 ppt. Selanjutnya salinitas turun

karena musim hujan hingga 4 ppt dan kemudidan meningkat mencapai 24 ppt pada saat

menjelang panen (umur > 100 hari). Namun demikian perubahan harian salinitas tidak

lebih dari 3 ppt sehingga masih layak untuk pertumbuhan udang. Diduga salinitas air

tambak pada kajian ini berpengaruh terhadap dominasi jenis plankton. Dominasi plankton

ke arah Chlorophyceae setelah salinitas naik menjadi 14 ppt hingga 25 ppt (Gambar 8).

Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu atau jenis udang

lainnya akan banyak efek yang kurang menguntungkan, diantaranya : 1) agak sulit untuk

ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan

perkembangan; 2) kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi jenis udang

memerlukan energi (kalori) yang melebihi dari nutrisi yang diberikan; 3) bakteri atau

vibrio cenderung tinggi; 4) ikan/udang pada umumnya lebih sensitif terhadap goncangan

parameter kualitas air yang lainnya dan mudah stres; dan 5) jenis udang umumnya sering

mengalami lumutan (Adiwidjaya, et al, 2008).

Page 16: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

15

Grafik Salinitas Tambak O1-2 dan J7-8

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

I II III IV V VI VII VIII IX

O1

O2

J7

J8

Gambar 8. Perubahan salinitas selama pemeliharan

3.2.5. Temperatur

Hasil pengamatan temperatur rat-rata harian selama pemeliharaan berkisar antara

26 – 300C. Temperatur air terendah terjadi pada awal pemeliharaan, karena terjadi pada

musim hujan yaitu pada awal penembaran hingga umur 45 hari, yaitu antara 25 – 270C

.

Namun selanjutnya temperatur harian meningkat antara 28 – 300C (Gambar 9).

Grafik Temperatur Tambak O1-2 dan J7-8

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

31.00

I II III IV V VI VII VIII IX

O1

O2

J7

J8

Gambar 9. Temperatur air tambak selama pemeliharaan

Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme terutama laju komsumsi

pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan dengan laju komsumsi oleh udang

dengan cara mengontrol pakan pada anco (feeding tray). Jumlah pakan dianco adalah 0,6 –

1% dari julah total pemeberian dan lama pengamatan antara 1 – 2 jam. Bila pakan di anco

tidak habis, maka jumlah pakan yang diberikan segera dikurangi hingga 20 – 40%.

Sebaliknya bila pakan habis sebelum waktu pengamatan, maka jumlah pemnberian pakan

ditambah sekitar 20%. Dengan cara seperti ini dapat menghindari kelebihan pakan yang

akan menyebabkan peningkatan kotoran pada dasar tambak dan penggunaan pakan akan

semakin efisien dan efektif.

Dengan kondisi suhu air yang tidak tepat dan salinitas tinggi akan membawa

dampak terhadap beberapa komoditas yang dipelihara dan organisme mudah stres/lemah,

yang akhirnya pertumbuhan terhambat dan akan mudah terserang oleh penyakit. Pada

Page 17: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

16

kondisi suhu yang ekstrim (tidak optimal) umumnya sering terjadi kemelimpahan bakteri

dan vibrio yang berlebihan (Adiwidjaya, et al. 2008). Suhu optimal untuk pemeliharaan

udang windu di tambak antara 28,0 – 31,00C (Anonim, 1985).

3.2.6. pH Air

Nilai pH air akan mempengaruhi proses kimia pada air media dan menghasilkan

reaksi tingkat nilai tukar kation air dan selanjutnya akan berdampak pada kehidupan dan

pertumbuhan udang (Anonim, 1985 dan Ahmad, 1991). Hasil pengamatan pH air selama

pemeliharaan menunjukan nilai yang sangat stabil, yaitu berkisar antara 7,8 – 8,6 dengan

fluktuasi harian pada pagi dan sore antara 0,2 – 0,5 (Gambar 10). Kestabilan nilai pH

diduga karena buffer terhadap nilai pH yang dapat diukur dari alkalinitas cukup tinggi (>90

ppm) serta pertumbuhan plankton dalam air yang baik yang relative stabil. Plankton akan

mampu menyerap CO2 pada proses fotosintesa sehingga akan mampu membuat stabil nilai

pH air (Boyd, 2003). Ada kencederungan dengan peranam plankton ini akan menyebabkan

pH air cenderung kearah basa namun demikian fluktuasi harian rendah.

Grafik pH Tambak O1-2 dan J7-8

7.20

7.40

7.60

7.80

8.00

8.20

8.40

8.60

8.80

I II III IV V VI VII VIII IX

Pengamatan Ke-

O1

O2

J7

J8

Gambar 10. Grafik kondisi pH air selama pemeliharaan

3.2.7. Alkalinitas

Hasil pengamatan alkalinitas selama pemeliharaan berkisar antara 83 – 154 ppm.

Nilai alkalinitas cukup tinggi dan baik sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga

(buffer) pH air. Perlakukan yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah

aplikasi kapur dolomite (CaMgCO3) secara rutin tiap 3 – 4 hari dengan dosis antara 3 – 5

ppm. Aplikasi kapur dolomite juga dilakukan setelah terjadi hujan dengan tujuan untuk

menghindari penurunan pH maupun alkalinitas akibat pengenceran air hujan.

Disamping sebagai penyangga nilai pH, alklainitas juga berfungsi sebagai indikator

kesuburan perairan. Dari data kondisi alkalinitas ini dapat dihubungkan dengan

kemelimpahan plankton, yaitu pada alkinitas lebih dari 100 ppm kemelimpahan plankton

dapat meningkat dan stabil. Data kondisi alkalinitas selama pemeliharaan terlihat pada

Gambar 11.

Page 18: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

17

Grafik Alkalinitas Tambak O1-2 dan J7-8

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

I II III IV V VI VII VIII IX

Pengamatan ke-

O1

O2

J7

J8

Gambar 11. Grafik kondisi nilai aklinitas air

3.2.8. Ammonia dan Nitrit

Nilai ammonia (NH3) tertinggi selama masa pemeliharaan adalah 0,008 ppm, nilai

ini sangat rendah. Ammonia sangat beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai

pH di atas 9 (Hargreaves, et al, 2004). Diduga peranan penambahan sumber karbon tepung

tapioka mampu mereduksi pembentukan ammonia. Hari et al., (2004) telah melakukan

percobaan pembesaran udang skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang

pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan

karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia nitrogen)

dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air maupun di sedimen.

Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan amonia yang dihasilkan olek

ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan. Setiap 0,1 ppm ammonia dapat

diturunkan dengan tepung tapioka 20 gram/m3 air (Avnimelech, 1999).

Hasil pengamatan nitrit selama pemeliharaan berkisar antara 0,005-0,032 ppm

(Gambar 12), dan nilai ini masih dibawah batas ambang yang menyebabkan kematian

udang. Nitrit merupakan senyawa dari amonia menjadi nitrat dan akan terbentuk bila

kondisi tambak anaerob. Diduga karena oksigen terlarut dalam air tambak yang selalu

tinggi menyebabkan tidak terbentuknya nitrit yang berlebihan.

Grafik NH3 dan NO2 O1-O2

0.000

0.010

0.020

0.030

0.040

0.050

0.060

I II III IV V VI VII VIII IX

Pengamatan Ke

HH3 Tbk O1

NH3 Tbk O2

NO2 Tbk O1

NO2 Tbk O2

Gambar 12. Grafik Amonia dan Nitrit

Page 19: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

18

3.2.9. Kemelimpahan Bakteri

Hasil pengamatan kemelimpahan bakteri selama pemeliharaan adalah 104 hingga

106. Aplikasi bakteri probiotik (bakteri pengurai) dilakukan mulai pada tahap persiapan air

tambak hingga menjelang panen dengan menggunakan probiotik komersial jenis Bacillus

sp dosis antara 0,5 – 1,0 ppm. Aplikasi sumber karbon berupa tepung tapioka secara rutin

dapat meningkatan keseimbangan C/N rasio dan diduga akan merangsang pertumbuhan

dan perkembangbiakan bakteri pengurai secara optimal. Untuk mempertahankan

pertumbuhan bakteri pengurai tesebut perlu dilakukan aplikasi suplemen bahan atau media

secara rutin selama pemeliharaan udang windu (Poernomo, 2004).

Beberapa pendapat menganggap bakteri vibrio merupakan pathogen untuk udang.

Dominasi dan kemelimpahan bakteri Vibrio sp yang tidak stabil pada tambak menunjukkan

kondisi yang beresiko terhadap masalah kesehatan udang. Beberapa kajian lapangan

fluktuasi vibrio dapat menjadi perangsang/pemicu (triger) timbulnya penyakit WSSV

(bercak putih --- white spot). Berdasarkan hasil pengamatan bakteri vibrio selama

pemeliharaan dominasinya berkisar antara 102 – 10

3 sel/CFU dan masih layak untuk

pertumbuhan udang (Gambar 13). Beberapa data hasil pengamatan di lapangan

menunjukkan tambak udang yang terserang WSSV mengandung total bakteri Vibrio sp

>104 sel/CFU (Taslihan et al, 2001).

Kemelimpahan dan Fluktuasi Bakteri di Tambak O1-2

1.00E+00

1.00E+01

1.00E+02

1.00E+03

1.00E+04

1.00E+05

1.00E+06

I II III IV V VI VII VIII IX

Pengamatan Ke

T.Vib. O1 T.Vib. O2 T.Bact. O1 T.Bact. O2

Gambar 13. Grafik fluktuasi bakteri

3.3. Kualitas Tanah

Redoks potensial dapat dijadikan parameter kualitas sedimen, mengingat potensi

redoks menggambarkan sejumlah senyawa yang potensial teroksidasi atau tereduksi.

Semakin besar nilai positif redoks suatu sedimen menunjkan proses oksidasi dan reduksi

suatu senyawa oleh oksigen atau pelepasan elektron dapat berjalan dengan optimal. Salah

satu parameter kualitas tanah yang diamati pada ujicoba ini adalah redoks potensial yang

dilakukan tiap 2 minggu sekali.

Pada saat persiapan tambak nilai redoks antara –100 s/d – 150 m.V. Hasil

pengukuran dan pengamatan selama kegiatan ujicoba cenderung meningkat, yaitu pada

petak O-1 berkisar antara – 171 s/d – 312 m.V dan pada petak O-2 berkisar antara – 219

s/d – 30l m.V. Nilai redoks potensial dasar tambak pada umur pemeliharaan 15 hari

Page 20: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

19

cenderung menurun dan selanjutnya meningkat pada mulai umur pemliharaan 45 hari s/d –

175 m.V dan akhirnya menjadi stabil hingga akhir pemeliharaan dengan kisaran antara –

160 s/d – 300 m.V (Gambar 14). Kondisi ini dapat diduga telah terjadi proses perombakan

bahan organik di dasar tambak oleh bakteri pengurai serta kalarutan oksigen yang tinggi

menyebabkan nilai redoks potensial tidak terus menurun. Sementara nilai pH tanah selama

ujicoba berlangsung tidak terlalu mengalami fluktuasi yang berarti, yaitu berkisara antara

6,88 – 7,35. Demikian pula dengan kandungan bahan organik tanah masih dalam kondisi

yang cukup optimal, yaitu antara 11,85 – 12,15%.

Grafik Redoks Potensial Tambak O1-2

-350.00

-300.00

-250.00

-200.00

-150.00

-100.00

-50.00

0.00

I II III IV V VI VII

Pengamatan Ke-

O1

O2

Gambar 14. Grafik nilai redok pontensial dasar tambak

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi udang dan kondisi kualitas lingkungan pada

kajian/ujioba ini dapat disimpulkan seba bikut :

• Produktivitas udang per hektar mencapai 8.100 kg dengan pertumbuhan mutlak

udang antara 21,7 - 22,2 g/ekor (laju pertumbuhan rata-rata --- ADG sekitar 0.22,5

g/hari sera tingkat kelangsungan hidup 73 – 74%. Kualitas udang hasil panen 70%

berwarna normal (baik) dan 30% berwarna biru. Wana udang yang biru diduga

disebabkan oleh lingkungan media pemeliharaan yang berwarna hijau pekat.

• Penambahan pupuk nitrat dan sumber karbon (tepung tapioka) pada tambak udang

windu intensif dapat mempertahankan dominasi plankton dari kelompok

Chlorophiceae untuk media pemeliharaan udang windu dan keseimbangan CN

ratio yang optimal ( 1 : 15).

• Parameter kualitas air selama pemeliharaan menunjukan nilai yang yang cukup

optimal untuk perumbuhan udang dan mempunyai fluktuasi yang rendah.

• Dengan aplikasi probiotik dan penambahan sumber karbon diduga mampu

mempertahankan perkembangan dakestalan bakteri pengurai paa media

pemeliharaan.

4.2. Saran

Berdasarkan hasil kajian/ujicoba ini dapat disarankan sebagai berikut :

• Masih diperlukan kajian lanjutan dengan pemanfaatan sumber karbon dan sumber

nitrat dari jenis pupuk lain.

Page 21: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

20

• Perlu dilakukan kajian pengaruh lingkungan media air pemeliiran dengan

figmentasi warna udang.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, D., I Kade Ariawan, Erik Sutikno dan Supito, 2002. Peningkatan Produktifitas

Tambak Melalui Budidaya Udang Sistem Tertutup. Departemen Kelautan dan

Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan

Budidaya Air Payau. Jepara. 16 p.

Adiwidjaya D., Dwi Sulistinarto, Erik Sutikno, Supito, I Kade Ariawan, Triyono dan

Herman, 2004. Budidaya Udang Sistem Tertutup Ramah Lingkungan dan

Berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 38 p.

Adiwidjaya A., Tri Supratno, KP dan Slamet Riyadi. 2008Teknologi Budidaya Air Payau

Yang Baik : Dengan Penerapan Strategi Musim Tanam Dapat Meningkatkan

Produktivitas Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal

Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 18 p.

Ahmad. T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang

Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 38 p.

Anonim, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya

Air Payau. Jepara. 225 p.

Anonim,. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang

Windu (Penaeus Monodon Fabricius) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan

Perikanan. Ditjen. Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air

Payau. Jepara. 68 p.

Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems.

Aquaculture 176, 227-235.

Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic

fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-

xxx.

Boyd, C.E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond Aquaculture. Department of Fisheries

and Allied Aquaculture. Auburn University. Alabama. 348 hal.

Boyd, CE., 2003. Bottom Soil and Water Quality Management in Srimp Ponds.

Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Auburn University. Journal of

Appliet Aquaculture (Food Product Press an imprint of the Haworth Press. Inc) Vol

3 No.1/2. page 11-33

Bachtiar, B. 1994. Pengaruh limbah organik tambak udang intensif terhadap kualitas

lingkungan perairan pesisir (studi kasus pada PP TIR Karawang) Thests S-2 IPB

Bogor.

Hargreaves, J.A., and Tucker, C.S,. 2004. Managing Amonia in Fish Pond, Suthern

Regional Aquaculture Center (SRAC), SRAC Publication No. 4603.

Hari, B.; B.M. Kurup; J.T Varghese; J.W Scrama and M.C.J Verdegem, 2004. Effects of

carbohydrate addition on production in extensif shrimp culture. Aquaculture 241,

179-194.

Page 22: Teknik Budidaya Udang Windu Intensif Dengan Green Water System

21

Leano, E.E., Lavila-Pitogo, C.R., Parner, M.G., 1998. Bacterial flora in the hepatopancreas

of pond-reared Penaeus monodon juvenils with luminius vibriosis. Aquaculture

164, 367-374.

Pitogo.L., C.R. Leano, E.M. Parner, M.G., 1998. Mortalities of pond-culture juvenil

shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of luminescent vibrios in the

rearing environment, Aquculture 164, 337-349.

Poernomo A., 2004. Teknologi Probiotik untuk Mengatasi Permasalahn Tambak Udang

dan Lingkungan Budidaya. Paper Presented in The National Symposium on

development and Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, Semarang,

January 27 – 29, 2004. 24 p.

Supito, Sutikno, E., Taslihan A., dan Callinan R.B., 2006, Penerapan BMP (Best

Management Practices) pada tingkat petambak udang Makalah disampaikan pada

workshop dengan tema ’PENERAPAN TEKNOLOGI BMP UNTUK

MENDUKUNG REVITALISASI BUDIDAYA UDANG’ yang merupakan bagian

dari proyek kerjasama antara Indonesia – Australia di Surabaya

Taslihan A., dkk. 2001. Monitoring dan Pengendalian Penyakit Udang pada tambak Udang

Sistem Tetutup. Laporan Tahunan. Ditjenkan Budidaya. Balai Besar

Pengembangan Budidaya Air Payau. 12 p

Tendencia, E.A., dela Pena, M.R., 2003. Investigation on some component of the

greenwater culture system which makes it effective in the initial control of luminius

bacteria. Aquaculture 218, 115-119.