uang panai’ fenomena pernikahan adat...
TRANSCRIPT
-
UANG PANAI’:
Fenomena Pernikahan
Adat Bugis
(Dulu dan Kini)
-
ii
UANG PANAI’:
Fenomena Pernikahan
Adat Bugis
(Dulu dan Kini)
Harmita Sari Nurfadilla
Sri Ayu Astuti AP
Ayu Risma
LEMBAGA PENERBITAN DAN PUBLIKASI ILMIAH (LPPI) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO Jl. Jend. Sudirman Km. 03 Binturu
Kec. Wara Selatan Kota Palopo
Telp. (0471)-327429 Fax. (0471)-327429
E-mail: [email protected]
-
iii
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun
mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan system
penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis.
UANG PANAI’ Fenomena Pernikahan Adat Bugis (Dulu dan Kini)
Penulis :
Harmita Sari, Nurfadilla, Sri Ayu Astuti AP, Ayu Risma
Editor :
Puspa Sari
Tata letak :
Rahmawati Nur Annisa
Desain sampul :
Rahmad Solling Hamid
ISBN :
978-623-91725-4-1
Penerbit :
LPPI UM Palopo
Kantor :
Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah Universitas
Muhammaadiyah Palopo
Lt.2 Gedung MCC Universitas Muhammadiyah Palopo Jl. Jenderal
Sudirman Km. 3 Binturu, Palopo, Telp. 0471-327429, e-mail:
Cetakan pertama, Oktober 2019
Hak Cipta©2019 pada Penulis
mailto:[email protected]
-
Foto: phiutografistudio
iv
PRAKATA
lhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT sebagai rasa syukur atas berkat dan rahmat-nya buku yang berjudul “Uang Panai’: Fenomena Pernikahan Adat Bugis
(Dulu dan Kini)”dapat terselesaikan. Penulisan buku ini sebagai bukti upaya kami untuk menggali lebih dalam kebudayaan dan adat istiadat yang ada di Sulawesi-Selatan khususnya pernikahan adat suku Bugis yang bertempat di kota Palopo.
Berawal dari keinginan yang ikhlas untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap adat perkawinan yang ada di sualwesi selatan. Penulis memberikan masukan pemikiran tentang tujuan uang panai’ di kalangan masyarakat suku Bugis serta memberikan wawasan tambahan tentang budaya Bugis khususnya. Penulis berharap melalui buku ini dapat memudahkan masyarakat yang membaca, sehingga dapat memahami makna dan tujuan dari uang panai’ serta, mengetahui adat Bugis tentang uang panai’ (Duli dan Kini). Oleh sebab itu, penulisan buku ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Keberadaan buku ini tidak terlepas dari dukungan keluarga penulis, dukungan para dosen, pegiat budaya, dan dukungan dari para teman-teman mahasiswa (i) Universitas Muhammadiyah Palopo. Kepada semua pihak penulis mengucapkan terima kasih.
Bila buku ini sudah dibaca, dan pembaca masih menemukan kesalahan-kesalahan atau kekurangan, maka penulis akan sangat berterima kasih bila ada kritikan dan saran sebagai upaya dalam penyempurnaan buku ini. Sehingga
A
-
v
kehadirannya akan bermanfaat bagi generasi muda dan tetap mempertahankan eksistensi budaya. Amin
Palopo, 16 Juni 2019
Penulis
-
Foto: phiutografistudio
vi
SAMBUTAN WALIKOTA PALOPO Biamillahi Rahmani Rahim Assalamualaikum wr.wb Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terbitnya buku “Uang Panai’: Fenomena Pernikahan Adat Bugis (Dulu dan Kini)” yang berisi tentang pemahaman masyarakat Bugis tetang uang panai’ . Agar buku ini dapat terbit setiap tahunnya dengan kualitas terbaik. Saya menghimbau semua pihak untuk membantu dalam penyusunan buku yang ditulis oleh penulis dengan cara memberikan informasi yang diperlukan. Pemerintah senantiasa berupaya untuk memberikan data yang terpercaya untuk diinformasikan kemasyarakat dengan tokoh-tokoh adat yang memerlukannya. Saya menyampaikan terima kasih kepada dosen dan mahasiswa (tim penulis) yang telah penyususan buku ini dan seluruh masyarakat khususnya tokoh adat, budayawan, dan akademisi yang telah memberikan informasi kepada penulis. Saya berharap buku ini dapat dimanfaatkan sepenuhnya sebagai sumber informasi bagi masyarakat agar lebih mengetahui budaya adat pernikahan Bugis dan tetap mempertahankan budaya Bugis agar tetap eksis. Wassalamualaiku wr.wb
Palopo, 16 Juni 2019 Walikota Palopo
Drs. H. M. Judas Amir, M.H
-
Foto: phiutografistudio
vii
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO Biamillahi Rahmani Rahim Assalamualaikum wr.wb Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terbitnya buku “Uang Panai’: Fenomena Pernikahan Adat Bugis (Dulu dan Kini)”. Terbitnya buku ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat luar pada umumnya. Memberikan masukan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang uang panai’ yang menjadi fenomena sekarang ini. Memberikan wawasan tambahan tentang budaya Bugis khususnya uang panai’. Harapan kami buku sosial budaya tetang pernikahan Bugis ini dapat berguna bagi masyarakat dan lebih mengetahui tujuan dari uang panai’. Besar harapan kami semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga nilai-nilai luhur budaya bangsa senantiasa dapat diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung terbitnya buku “Uang Panai’: Fenomena Pernikahan Adat Bugis (Dulu dan Kini)”. Wassalamualaiku wr.wb
Palopo, 16 Juni 2019 Rektor Universitas Muhammadiyah Palopo Dr. SALJU, S.E MM
-
Foto: phiutografistudio
viii
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................. iv
SAMBUTAN ............................................................... vi
SAMBUTAN .............................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................. viii
Bab 1 Awal Mula Pernikahan Bugis ..................................................... 1
Bab 2 Mengenal Pernikahan Bugis .................................................... 17
Bab 3 Pandangan Tokoh Mengenai Pernikahan Bugis ............... 41
Bab 4 Pernikahan Bugis Di Masa Kini................................................ 51
Bab 5 Pengaruh Uang Panai’ Terhadap Masyarakat Palopo ... 57
Bab 6 Prosesi Pernikahan Bugis ......................................................... 67
Bab 7 Tujuan Uang Panai’ ................................................................... 75
Bab 8 Uang Panai’; Wajib Atau Gengsi ............................................ 85
Daftar Pustaka ............................................................................................. 113
Glosarium ....................................................................................................... 117
Tentang Penulis ........................................................................................... 127
-
Foto: phiutografistudio
Asal Mula Pernikahan Bugis | 1
1
AWAL MULA PERNIKAHAN BUGIS
ugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku
Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang
migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata
"Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang
terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya,
maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (yang dipertuan di Ware)
adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam
tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi
B
-
2 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
lain di Sulawesi seperti Buton. Dalam perkembangannya,
komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.
Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa,
aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan
Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa,
Sawitto, Sidenreng, dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk
suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya
pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini, orang
Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone,
Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, dan Barru. Daerah
peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba,
Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis
dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan
Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan
Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi
bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)
Masa Kerajaan Kerajaan Bone Di daerah Bone terjadi kekacauan
selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To
Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja
kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka
dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif
yang dikenal dengan istilah ade pitue.
Kerajaan Makassar Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri
kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan
krisis sosial, orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan
Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tetapi,
dalam perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu
menjadi kerajaan Makassar. Kerajaan Soppeng Di saat terjadi
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 3
kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama,
seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri
Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua,
seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya, dua
kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng. Kerajaan Wajo
Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari
berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng
yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural
yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune
tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga
memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke
seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama
setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama
lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.
Konflik antar kerajaan pada abad ke-15 ketika kerajaan
Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai
muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai
dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone
memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa
di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai
Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan
wilayah. Sementara, Soppeng memperluas ke arah barat sampai
di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone
dan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka.
Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe
dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk
-
4 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan
Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng.
Berikutnya, wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai
Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo
kemudian bergeser dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut
beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng.
Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan
Soppeng membuat aliansi yang disebut “tellumpoccoe”.
Penyebaran Islam Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama
Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari
Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang
mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang)
menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro)
yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme Belanda Pertengahan abad ke-17, terjadi
persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di
Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin
La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka
didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang tidak sudi
berada dibawah Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung
oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo,
Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat
mengakibatkan benteng Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini
mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang
merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu
Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 5
konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi
perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-6 setelah
perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La
Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka
masyarakat Bugis-Makassar baru bisa betul-betul ditaklukkan
Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan
Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek
tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan
yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi
berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul
Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI.
Masa Kemerdekaan Para raja-raja di Nusantara
bersepakat membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam
wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya
Sulawesi Selatan disibukkan dengan pemberontakan.
Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis
meninggalkan kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru,
budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar
dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang, generasi muda
Bugis-Makassar adalah generasi yang lebih banyak mengkonsumsi
budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri
akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya
mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana
pemekaran.
Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi
Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua.
-
6 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga
dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas,
malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan
transmigrasi. Mata Pencaharian Karena masyarakat Bugis tersebar
di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari
masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang.
Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan
dan menekuni bidang pendidikan. Bugis Perantauan Kepiawaian
suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal
luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan
terdapat sebuah sumur yang bernama Maccassar, sebagai tanda
penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
Penyebab Merantau Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar
serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19,
menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di
daerah pesisir. Selain itu, budaya merantau juga didorong oleh
keinginan akan kemerdekaan.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih
melalui kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan Pada abad
ke-17 datanglah seorang pemimpin suku Bugis menghadap raja
Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi (Martapura) untuk
diijinkan mendirikan pemukiman di Pagatan, Tanah Bumbu. Raja
Banjar memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang
kemudian menjadi raja Pagatan. Kini sebagian besar suku Bugis
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 7
tinggal di daerah pesisir timur Kalimantan Selatan yaitu Tanah
Bumbu dan Kota Baru. Bugis di Sumatera dan Semenanjung
Malaysia Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada
pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan
Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa
bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi
menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut
terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu.
Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan
keturunan Bugis.
AWAL MULA PERNIKAHAN BUGIS
Pernikahan Bugis awal mulanya berasal dari tradisi para
leluhur terutama kalangan bangsawan namun dengan seiringnya
waktu tradisi ini dianut oleh masyarakat Bugis umum. Jika seorang
laki-laki ingin menikahi seorang wanita yang ia sukai, maka hal
yang pertama dilakukan adalah dengan ma’balocici (secara diam-
diam mendatangi pihak perempuan) dengan alasan kalau
nantinya pihak perempuan menolak maka tidak ada yang
mengetahui. Setelah mendapat persetujuan, dari pihak
perempuan maka langkah selanjutnya adalah mamanu-manu
atau bisa disebut dengan dikirimnya utusan pihak laki-laki ke
rumah pihak perempuan untuk membicarakan mengenai uang
panai’, tanggal pernikahan, dan tempat pernikahan, setelah acara
mammanu-manu kemudian diformalkan dengan acara ma’duta.
Acara ma’duta dilakukan dengan cara memanggil pihak keluarga
dan kerabat lainnya, untuk menyaksikan acara ma’duta dengan
-
8 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
penyerahan uang panai’ yanag telah disepakati bersama
sebelumnya. Sehimgga pada umunya uang panai’ merupakan
biaya penyelenggara pesta pernikahan ( Suaedi, 2019).
Sejarah lahirnya pernikahan budaya Bugis dalam konsep
Islam, pernikahan itu menjadi sunnah Rasul. Sedangkan, dalam
pandangan masyarakat Bugis memperlihatkan pola pernikahan
yang sangat beradab dengan dimulainya dari proses mammanu-
manu atau perkenalan. Jika, mendapat persetujuan dari pihak
perempuan maka melangkah ke proses pelamaran dan
pelaksanaan acara pernikahan (Assad, 2019).
Lahirnya sebuah pernikahan berkaitan erat dengan uang
panai’. Uang panai’ ini merupakan bukti dan wujud
pemartabatan seorang laki-laki kepada wanita yang akan
dipinangnya. Selain itu, juga sebagai pemacu motivasi bagi dirinya
untuk mencukupi uang panai’ tersebut untuk menunjukkan
kepada wanita yang akan dipinangnya agar wanita tersebut
dapat melihat keseriusan laki-laki yang akan meminangnya. Uang
panai’ juga merupakan wujud pemertabatan seorang perempuan
dalam menunjukkan eksistensinya sebagai wanita yang dihargai
(Sehe, 2019).
Sejarahnya lahirnya pernikahan budaya Bugis sudah ada
sebelum lahirnya nabi Muhammad Saw, pernikahan pada
awalnya sudah ada dan memiliki tahap-tahap. Seperti dimulai
dari tahap ma’balao cici kemudian, mammanu-manu setelah
mammanu-manu kemudian acara pelamaran, setelah pelamaran
baru kedua belah pihak keluarga menentukan bagimana acara
selanjutnya. Pada jaman dulu sebelum ijab kabul terlebih dahulu
penyerahan kuasa perwalian dan penyerahan mahar, barulah
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 9
dimulai ijab kabul dan penandatanganan buku nikah dan
dilanjutkan dengan pemberian pallaleng (Andi Adnan, 2019)
Perkawinan merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam kehidupan manusia guna meneruskan
kelangsungan kehidupan di bumi ini. Perkawinan menyebabkan
adanya keturunan dan keturunan akan menimbulkan keluarga
yang nantinya akan berkembang menjadi kerabat dan
masyarakat. Pada umumnya, langkah awal dari perkawianan
tersebut adalah menentukan dan memilih jodoh yang akan hidup
bersama dalam ikatan perkawinan. Setelah mendapatkan jodoh
sesuai dengan pilihan dan petunjuk agama, dilanjutkan ke tahap
selanjutnya yaitu menyampaikan kehendak atau melamar jodoh
yang telah didapatkan itu.
Suatu pertunangan yang telah terjadi mengakibatkan satu
pihak terikat perjanjian dengan pihak lain. Akibat hukum lain
yang timbul disebabkan pertunangan tersebut adalah keharusan
memberikan hadiah yang berbeda-beda menurut adat setempat.
Bilamana tidak ada pemberian hadiah, maka pertunangan
dibatalkan. Begitupun, yang terjadi dalam perkawinan adat suku
bugis Makassar. Perkawinan adat dalam suku Bugis Makassar
disebut pa”bungtingan. Pa”bungtingan merupakan ritual
yang sangat sakral, ritual tersebut harus dijalani oleh semua orang.
Seorang gadis yang telah menginjak usia dewasa seharusnya sudah
menikah. Jika tidak demikian, maka akan menjadi bahan
pembicaraan di kalangan masyarkat luas. Sehingga, terkadang
orang tua mendesak si gadis untuk menikah dengan calon suami
-
10 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
pilihan mereka. Sebelum proses pa”bungtingan dilaksanakan,
ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-
laki. Salah satu diantaranya adalah assuro. Assuro adalah proses
peminagan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada
pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian
uang panai’ yang akan diberikan oleh calon mempelai laki-laki
kepada pihak keluarga calon mempelai wanita apabila lamaran
tersebut diterima (Ikbal. Moh, 2016:2).
Salah satu bentuk kebudayaan yang dimiliki Indonesia
adalah kekayaan suku bangsa, dari sekian banyak suku bangsa
yang ada di Indonesia salah satunya ialah suku Bugis-Makassar
yang ada di Sulawesi Selatan. Salah satu budaya yang masih
dijalankan oleh masyarakat suku Bugis-Makassar yaitu adat
perkawinan. Dilihat dari sudut pandang sosial budaya, maka
perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang
bersangkut paut dengan kehidupan biologisnya. Perkawinan juga
memberi ketentuan akan hak dan kewajiban serta perlindungan
kepada anak-anak, serta upaya memenuhi kebutuhan manusia
akan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi serta
naik kelas masyarakat serta menjaga hubungan baik antar
kelompok–kelompok kerabat tertentu juga sering digunakan
sebagai alasan dari maksud perkawinan tersebut.
Perkawinan merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan menyebabkan
adanya keturunan dan keturunan akan menimbulkan keluarga
yang nantinya akan berkembang menjadi kerabat dan
masyarakat, oleh karena itu keberadaan ikatan sebuah
perkawinan perlu dilestarikan demi tercapai tujuan yang
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 11
dimaksudkan dalam perkawinan itu sendiri. Dalam perkawinan
terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi demi kelancaran
perkawinan tersebut, yaitu rukun dan syarat. Rukun dan syarat
menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari
segi hukum.
Menurut pandangan Islam pernikahan merupakan ikatan
yang suci karena dua insan yang berlainan jenis dapat hidup
bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Tata
cara pernikahan adat suku Bugis-Makassar yang sebagian besar
menganut agama Islam diatur sesuai dengan adat dan agama
sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh
tata-krama dan sopan-santun, serta saling menghargai.
Pengaturan atau tata cara pernikahan diatur mulai dari pakaian
atau busana yang digunakan sampai kepada tahapan-tahapan
pemberlakuan adat perkawinan. Kesemuanya itu mengandung
arti dan makna. Upacara pernikahan secara adat adalah segala
kebiasaan serta kegiatan-kegiatan yang telah disajikan dalam
melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan kesepakatan
bersama yang dianggap lebih baik.
Upacara pernikahan adalah salah satu momentum penting
dalam kehidupan manusia di Indonesia, entah apapun suku
bangsa, agama, ras, dan golongannya. Proses perkawinan bukan
hanya melibatkan pemuda dan pemudi, melainkan dua keluarga
besar. Mulai dari perkenalan secara mendalam, pasangan yang
ingin melanjutkan hubungannya sampai ke jenjang pernikahan
-
12 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
harus melalui berbagai tahapan dan ritual, baik secara agama
maupun budaya.
Seorang laki-laki yang akan menikah lebih banyak
persyaratan yang harus dipenuhi dibandingkan dengan seorang
perempuan. Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati
sebelum pesta pernikahan di langsungkan. Jika keluarga pihak
perempuan memberi lampu hijau, kedua belah pihak kemudian
akan menentukan hari untuk mengajukan lamaran (Ma’duta
atau Assuro) secara resmi. Selama proses pelamaran berlangsung,
garis keturunan, status, kekerabatan, dan harta kedua calon
mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa/sunrang
(mahar) dan jumlah uang antaran (uang panai’) yang harus
diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikahan
pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai
perempuan dan keluarganya.
Salah satu rukun pernikahan dalam mazhab maliki adalah
mahar (mazhab lain syarat). Mahar yaitu pemberian wajib calon
suami kepada calon istri sebagai perwujudan ketulusan hati dan
kerelaan, atau menunjukkan keseriusan calon suami dalam
mendapatkan calon istrinya. Menikah atau pernikahan dalam
tradisi Bugis-Makassar bukanlah hal yang sederhana. Calon suami
wajib mempersiapkan terlebih dahulu uang panai’ sebagai salah
satu prasyarat utama sebelum melamar calon istrinya. Uang
panai’ merupakan pemberian sejumlah uang dari calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan
untuk keperluan mengadakan pesta, belanja pernikahan, dan
sosialisasi.
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 13
Uang panai’ bukanlah mahar, kedudukannya sebagi uang
adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh
kedua pihak keluarga mempelai. Uang panai’ juga akan semakin
berat ketika pihak mempelai wanita meminta Sompa/Sunrang
(harta tidak bergerak seperti sawah atau kebun), erang-erang
(aksesoris resepsi pernikahan). Dan belum lagi ketika meminta
beras, sapi/kerbau, gula, terigu, dan kelengkapan lainnya.
Besarnya uang panai’ sangat dipengaruhi oleh status sosial
yang akan melaksanakan pernikahan, baik dari pihak laki-laki
maupun pihak perempuan. Tingkat pendidikan, strata sosial,
faktor kekayaan, dan faktor ketokohan menjadi dasar utama.
Semakin tinggi status seorang wanita Bugis-Makassar semakin
tinggi tuntutan uang panai’ yang akan diberikan. Tidak jarang,
banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak
bertemunya keinginan dua belah pihak. Uang panai’ puluhan juta
atau bahkan ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih
lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru
(punya gelar adat seperti karaeng, andi, opu, puang, dan petta)
ataupun tingginya tingkat pendidikan calon mempelai
perempuan maka uang panai’ yang akan diberikan akan semakin
melangit.
Pengambilan keputusan akan besarnya uang panai’
terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan
(saudara Ayah ataupun saudara Ibu). Besarnya uang panai’ yang
terkadang tidak mampu diberikan oleh calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai wanita membuat calon mempelai laki-
laki melakukan tindakan di luar dari tradisi Bugis-Makasar yaitu
-
14 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
silariang (kawin lari). Ada pendapat yang mengatakan bahwa
uang panai’ bukan lagi menjadi mahar melainkan candu dalam
sebuah pernikahan. Uang panai’ kerap menjadi momok bagi
pemuda yang akan menikahi gadis Bugis-Makassar sebab
jumlahnya sering kali mencekik.
Pernikahan adalah sunnah. Sunnah pernikahan termasuk
prosesnya, melaksanakan sunnah tentu mendapatkan pahala di
sisiNya. Bahkan Rasulullah SAW bersabda “Pernikahan adalah
sunnahku, siapa yang berpaling dari sunnahku, maka dia
bukanlah ummatku”. Maka, menghalangi pelaksanaan suatu
yang disunnahkan tentu dilarang oleh agama. Jika uang panai’,
menjadi penghalang dalam proses pernikahan, maka uang panai’
itu adalah makruh bahkan bisa menjadi haram. Tetapi, jika
jumlah uang panai’ disepakati oleh kedua keluarga calon
mempelai dan tidak mengandung unsur paksaan maka hukum
uang panai’ adalah mubah atau boleh. Kultur dan sosial
masyarakat di Kelurahan Pattalassang Kabupaten Takalar masih
dipengaruhi oleh etnis budaya Bugis-Makassar. Keragaman kultur
sosial budaya merupakan pembentukan etnis dan budaya lokal.
Secara umum, masih tergolong dalam suku Makassar. Perbedaan
dalam hal budaya umumnya terletak pada dialek, sistem upacara
adat dan ritual keagamaan serta bentuk bangunan. Pada
umumnya, fakta-fakta mengenai uang panai’ masih dipengaruhi
oleh adat istiadat dan sosial budaya Bugis-Makassar yang
notabene sepintas terlihat seperti sangat kaku pada pedoman dan
petuah dari nenek moyang terdahulu yang cenderung terkesan
melenceng dari syari’ah Islam. Islam mengajarkan, pernikahan
sebuah kewajiban tanpa ada unsur memberatkan kedua pihak
-
Asal Mula Prnikahan Bugis | 15
dalam segala apapun. Pemberian uang panai’ dalam proses
pernikahan suku Bugis-Makassar menjadi sebuah persaingan sosial,
besaran uang panai’ sering juga menjadi standar kemakmuran
mempelai pria dan juga kualitas mempelai wanita. Sehingga,
ketika seorang wanita dinikahi oleh seorang pria dengan uang
panai’ yang kecil dapat membuatnya malu dengan teman atau
keluarganya yang mendapat uang panai’ yang lebih besar. Seperti
itulah persepsi dari sebagian besar masyarakat Suku Bugis-
Makassar.
Adat pemberian uang panai’ diadopsi dari adat
perkawinan suku bugis-Makassar asli yang merupakan warisan
dari nenek moyang turun-temurun. Uang Panai’ bermakna
pemberian sejumlah uang dari pihak calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai biaya
resepsi pernikahan, sebagai anggaran belanja kebutuhan yang
diperlukan dalam pernikahan dan juga sebagai syarat sahnya
pernikahan menurut hukum adat.
Sejatinya sebagai salah satu masyarakat yang dikenal
paling kuat identitas keIslamannya di Nusantara, seharusnya lebih
mementingkan nilai kewajiban syariat Islam dari pada wajiban
menurut adat. Kewajiban uang panai’ dalam syariat Islam
merupakan hal yang masih perlu ditinjau lebih jauh, sedangkan
kewajiban memberikan uang panai’ menurut adat, terutama
dalam hal penentuan jumlah uang, merupakan konstruksi dari
masyarakat itu sendiri (Kamal Reski, 2016: 1-6).
-
16 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
-
Foto: phiutografistudio
Mengenal Pernikahan Bugis | 17
2
MENGENAL PERNIKAHAN BUGIS
i Indonesia, terdapat sebuah suku yang bernama Suku
Bugis dalam adat istiadatnya, secara garis besar upacara
perkawainannya dimulai dengan mappaenre’ balanca
yaitu sebuah prosesi mempelai laki-laki disertai rombongan dari
kaum kerabatnya, pria dan wanita, tua maupun muda dengan
membawa macam-macam makanan, seperangkat pakaian
wanita, buah-buahan (seperti kelapa, pisang, dan lain-lin), dan
maskawin. Sampai di rumah mempelai wanita, maka
dilangsungkan upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan
pesta perkawinan. Pada pesta ini para tamu dari luar diundang,
memberi kado atau uang sebagai sumbangan (saloreng). Pada
masyarakat Bugis, dalam menetukan mahar mereka mempunyai
patokan tersendiri, adat Bugis di daerah Sulawesi Selatan dalam
proses perkawinannya meskipun sudah menggunakan syariah
Islam sebagai landasan dasar serta syarat-syarat perkawinan
dalam kebiasaanya, tetapi pada tahap prosesi baik menjelang
maupun dalam dan setelahnya masih menggunakan adat istiadat
setempat sebagai salah satu syarat pelaksanaan perkawinan.
D
-
18 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
Sebagai contoh, dalam Islam kita mengenal istilah mahar yang
sudah sedikit disinggung sebelumnya. Dalam adat Bugis dikenal
dengan istilah sunrang atau sompa’. Sompa atau sunrang itu besar
kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang dan
dihitung dalam nilai rella (real) alah nominal Rp2,-. Maskawin
yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella dapat saja terdiri
dari sawah, kebun, keris pusaka, perahu, dan sebagainya yang
semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan. Di lain sisi, dalam adat istiadat Bugis sebelum acara
pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula
beberapa syarat harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut
paenre’. Ia adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh pihak
mempelai wanita kepada calon mempelai pria untuk mengetahui
kerelaan atau kemampuan sang calon mempelai untuk menjadi
bagian keluarga mereka. Uang belanja ini digunakan untuk
membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Besaran
paenre’ atau panai’ lagi-lagi sangat beragam dan sangat
tergantung pada status sosial si calon mempelai wanita. Semakin
tinggi status sosial calon mempelai wanita maka tentunya akan
semakin tinggi. Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga
saat ini menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah
Kabupaten Bulukumba, yang dalam prosesi perkawinannya baik
sebelum maupun di dalamnya masih mempertahankan adat
istiadat tersebut. Dari sudut pandang etnografis, adat istiadat yang
masih dipertahankan hingga kini tersebut tentunya mempunyai
maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang
secara tersirat mempunyai makna filosofis yang terkandung di
dalamnya (Asyraf, 2015: 6-8).
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 19
Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi
harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-
tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau
martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan
tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau
dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini.
Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota
keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan
tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih
dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak
seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi. Pesta
pernikahan bagi orang Bugis bukan sekadar upacara perjamuan
biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin
meriah sebuah pesta, maka semakin tinggi status sosial seseorang.
Oleh karena itu, tak Jarang sebuah keluarga menjadikan pesta
pernikahan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial
mereka.
Bagi orang Bugis proses peminangan yang harus dilakukan
oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk
menghargai kaum wanita dengan meminta restu dari kedua
orang tuanya. Penghargaan terhadap perempuan juga dapat
dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan
dui balanca yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan
isyarat atau tanda kemuliaan perempuan (Hardianti, 2015: 43-44).
Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan yang paling ketat
dalam soal perkawinan adalah laki-laki bisa kawin dengan
-
20 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
perempuan mana pun yang memiliki status setara ataupun lebih
rendah dari dirinya, namun tidak boleh menikah dengan
perempuan berstatus lebih tinggi. Dalam sistem kekerabatan
bilateral, pernyataan kemudian timbul: jika laki-laki “berdarah
putih” kawin dengan perempuan “berdarah merah”, lalu
bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat bugis
menjawabnya dengan membangun sistem status berdasarkakn
percampuran darah, yang dianologikan seperti percampuran
logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan dipaparkan
berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati
oleh para ahli silsilah. Status tertinggi disebut anak ana ma’tola,
yakni anak (ana’) yang berhak mewarisi (ma’tola) tahta orang
tuanya sebgai penguasa tertinggi kerajaan. Tingkatan itu terbagi
laki menjadi dua sub bagian yakni ana’ sengngeng dan
ana’raje’ng. Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar.
Status derajat seorang anak, hasil perkawinan lelaki berderajat
tinggi seperti di atas dengan perempuan berstatus lebih rendah,
akan berada di lapisan tengah di antara status kedua orang
tuanya.
Jadi, ana’ ma’tola dari salah satu sub-status kawin dengan
perempuan biasa, anaknya akan menjadi ana’cera’siseng (anak
berdarah lapisan pertama). Pernikahan cera’siseng dengan
perempuan biasa, menghasilkan cera’ dua (anak berdarah lapisan
kedua) perempuan dengan keturunan mereka dengan
perempuan keturunan biasa menjadi cera’tellu (cera’ lapisan
ketiga). Ketiga lapisan ana cera’ mengisi posisi lapisan bangsawan
menengah. Selanjutnya, perkawinan dari keturunan bangsawan
dari lapisan ketiga ini dengan perempuan biasa akan melahirkan
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 21
akan membuahkan bangsawan terendah: ampo’cinaga,
ana’karung ma’dara-dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat
orang biasa (tau sama’) atau orang bebas (tau ma’radeka)
bahkan di kalangan mereka sekalipun masih dibedakan antara
yang leluhurnya masih terhitung bangsawan, betapa rendah pun
lapisan dan berapa jauh pun pertautannya (tau tongeng karaja)
dan yang benar-benar turunan orang biasa (tau
marade’kama’tanete’lampe).
Pola piramid dalam sistem seperti itu mengingatkan
kepada pola piramid dalam sistem kekerabatan; tingkat sepupu
diperhitungkan bedasarkan dekat-tidaknya pertautan mereka
dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi
antara kerajan atasan dengan bawahan (yang akan dibahas
berikutnya). Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua
sisi tersebut ikut menentukan status hierarki kebangsawanan
seseorang. Bangsawan yang beristri beberapa perempuan
berstatus yang berbeda-beda akan memperolah anak-anak yang
berbeda-beda pula statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri
dari lapisan bangsawan sederajat, yang keturunannya kelak
dapat menggantikan posisinya, para penguasa Bugis pun sering
mengawini perempuan lebih rendah guna memeroleh keturunan
ganda. Keturunan dari perempuan lebih rendah tersebut kelak
bisa mengisi jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai
jadi ahli waris tahta. Selain itu, bangsawan tersebut juga akan
memeroleh dukungan dari mertuanya, entah dia orang biasa yang
memilliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaiknya,
pihak mertua tertarik menikahkan anak perempuannya dengan
-
22 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
penguasa karena adanya peluang bagi turunan mereka untuk
mendaki strata sosial yang lebih tinggi. Namun, kecenderungan
dari tingkat ini perlahan-lahan menyusutkan jumlah bangsawan
tinggi, sehingga bahkan jabatan arung di beberapa tempat
terpaksa diisi oleh bangsawan derajat relatif rendah yang
kemudian memanfaatkan posisi yang mereka duduki itu untuk
mengaku sebagai bangsaawan yang lebih tinggi dari status
mereka yang sebenarnya.
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala’ saling
mengambil satu sama lain. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal
balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda,
setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra. Hanya saja
perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata
akan tetapi, suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua
keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya
dengan maksud kian mempereratnya (mepasiddepe’ mabelae
atau mendekatkan yang sudah jauh). Di kalangan masyarakat
biasa, perkawinan umumnya berlangsung antar keluarga dekat
atau antarkelompok patronasi yang sama, sehingga mereka sudah
saling memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yang
berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih
dekat lagi dengan orang yang telah mereka kenal baik melalui
jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan adalah cara
terbaik membuat orang menjadi “bukan orang lain” (Tania tau
laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha
yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau
menjodohkan anak mereka sejak kecil.
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 23
Idealnya, perkawianan dilangsungkan dengan keluarga
sendiri. Perkawianan antar sepupu, sepupu parallel (yaitu
keduanya dari sisi Ibu atau melalui sisi Bapak) ataupun sepupu
silang yaitu satu dari sisi Ibu dan satunya lagi dari sisi Bapak,
dianggap sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat
dikalangan masyarakat Bugis tentang lapisan sepupu keberapa
yang boleh dan tidak boleh dikawini. Banyak yang menganggap
bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan
semacam ini disebut siala marola) “terlalu panas” sehingga
hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali di kalangan
bangsawan tertinggi. “darah putih” yang mengalir dalam tubuh
mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal
itu, sebagaimana halnya tokoh-tohoh dalam cerita La Galigo.
Sementara masyarakat biasa lebih menyukai perkawinan dengan
sepupu kedua (siala memeng), lalu sepupu ketiga dan keempat.
Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak
menikah tidak boleh bersal dari generasi atau angkatan yang
berbeda. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya berasal dari
generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman
dan kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-laki
dilarang, dan hubungan badan antara mereka akan dianggap
sebagai salimara (hubungan sumbang, inses). Sementara itu,
perkawinan dengan anak sepupu keberapa pun sebaiknya
dihindari. Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan
ini ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi
pelanggaran. Mengingat seringnya parabangsawan, begitu pula
anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusia jauh
-
24 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
lebih muda dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan
yang sebaya usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak
ada paman/bibi yang kawin dnegan kemenakan mereka
walaupun usia mereka sebaya.
Bagi kaum bangsawan, faktor lain yang harus
diperhatikan yang paling penting, adalah keseuaian derajat
antara pihak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan
bangsawan laki-laki yang diperbolehkan kawin dnegan
pasanagan berstatus lebih rendah, bangsawan perempuan sama
sekali tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang lebih
rendah derajatnya. Semakkin tinggi status kebangsawanan
seseorang, maka semakin ketat pula aturan yang diberlakukan.
Hal itu masih tetap berlaku hingga kini. Namun, dikalangan
bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung terjadi.
Istri utama pria bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama)
biasanya memilliki derajat kebangsawanan yang sama dengan
suaminya. Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangan
lebih rendah, atau bahkan orang biasa.
Selama sistem polok Bugis tradisional berlaku, prinsip ini
tetap dipegang teguh, karena akan berdampak terhadap status
keturunan mereka dan hak pewarisan tahta. Namun demikian,
pertimbangan harta kekayaan sewaktu-waktu bias
menyebabkan diabaikannya prinsip tersebut. Dahulu, khususnya
dikalangan orang Wajo’, laki-laki dari keluarga kaya acapkali
diizinkan mengawini perempuan berstatus lebih tinggi, setelah
melalui proses mang’elli dara atau ‘membeli darah’, yakni
membeli derajat (kebangsawanan).
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 25
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus
memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri
atas dua bagian. Pertama, sompa (secaraharfiah berarti
“persembahan” dan sebetulnya beerbeda dengan mahar dalam
islam) yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella
(yakni rial, mata uang portugis yang sebelumnya berlaku, antara
lain di Malaka). Rella ditetapkan sesuai status perempuan dan
akan menjadi hak miliknya. Kedua dui’ menre secara harfiah
berarti uang naik) adalah uang hantara pihak pria kepada
keluarga pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta
perkawinan. Besarnya dui’ menre ditentukan oleh keluarga pihak
perempuan. Selain itu ditambahkan pula lise’kawing (hadiah
perkawinan) dalam Islam disebut mahar atau hadiah kepada
mempelai perempuan biasanya dalam bentuk uang. Akhir-akhir
ini mahar kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran.
Sebelum masa penjajahan belanda, pria dari luar wilayah tempat
tinggal perempuan harus membayar pajak pa’lawa tana (secara
harfiah penghalang tanah) kepada penguasa setempat yang
besarnya sesuai sompa. (Arsuka,2019: 178-180)
Perkawinan suku Bugis dipandang sebagai suatu hal yang
sakral, religius dan sangat dihargai. Oleh sebab itu, lembaga adat
yang telah lama ada mengaturnya dengan cermat. Sesuai dengan
kenyataan dalam masyarakat, suku Bugis yang terbesar
menganut agama Islam sehingga pernikahan bukan saja berarti
ikatan lahir dan bathin antara seorang pria atau seorang suami
dengan seorang wanita sebagai isteri, tetapi lebih dari pada itu,
pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara
-
26 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
pihak pria dan pihak wanita yang akan membentuk rukun
keluarga yang lebih besar lagi. Suku Bugis berasal dari Sulawesi
Selatan dikenal sebagai perantau, hingga sampailah ke tanah
Melayu terutama di desa Sanglar Kecematan Reteh Kabupaten
Indragiri Hilir Riau. Masyarakat Bugis penganut adat istiadat yang
sangat kuat dan bahkan kedudukannya makin kukuh dalam
masyarkat hingga kini terutama dalam upacara perkawinan yang
disebut mappabotting dengan persyaratan awalnya meminta
Uang Panai’. Sistem perkawinan adat Bugis dikenal sebagai salah
satu sistem perkawinan yang kompleks karena mempunyai
rangkaian prosesi yang sangat panjang dan syarat-syarat yang
sangat ketat, ini tidak lepas dari budaya malu yang diberlaku di
suku Bugis yang disebut budaya siri’ (rasa malu atau merasa harga
diri dipermalukan). (Agustar, 2018:3)
Budaya perkawinan masyarakat di daerah Bone pada
garis besarnya mempunyai persamaan-persamaan dengan
budaya perkawinan di daerah Sulawesi Selatan lainnya.
Perkawinan sendiri menurut adat perkawinan Bugis untuk
semakin mempererat hubungan kekeluargaan (kekerabatan).
Sebab itu, ada 5 (lima) jenis perjodohan yang dianggap ideal oleh
masyarakat Bugis, yaitu sebagai berikut:
1. Assialang-Marola (perjodohan yang sesuai), yaitu
perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik
dari pihak Ayah maupun pihak Ibu. (paralel ataupun
croscousin).
2. Assialanna-Memeng (perjodohan yang semestinya), yaitu
perjodohan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 27
Ayah maupun Ibu.
3. Siparewekenna (perjodohan yang sesungguhnya), yaitu
perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari
Ayah maupun Ibu.
4. Ripaddeppe-Mabelae (mendekatkan yang jauh), yaitu
perkawinan antara sepupu keempat kalinya dan sepupu
baik dari ayah maupun dari pihak ibu.
5. Assiteppa-teppangeng (perjodohan dari luar kerabat), yaitu
perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang
laki-laki di luar rumpun keluarga mereka.
Menurut Sayyid Sabiq: “...peminangan dilakukan dengan
cara-cara yang umum berlaku dalam suatu masyarakat. Oleh
karena itu, cara peminangan terdapat perbedaan antara satu
daerah dengan daerah lain karena perbedaan kultur atau
budaya masyarakat”. Kelima jenis perjodoh masyarakat Bugis
Bone tersebut, kenyataanya sekarang sudah bergeser
disebabkan situasi dan kondisi akibat pengaruh budaya dari luar
dan hubungan muda mudi tidak dapat dielakkan. Ketika orang
tua si laki-laki sekeluarga dan anak laki-lakinya yang akan
dijodohkan dengan perempuan yang dipilihnya sebagai calon
menantunya telah disepakati, maka dimulailah kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan perjodohan itu. Acara
peminangan masyarakat Bugis dimulai dari: paita atau mattiro,
mappese-pese atau mammanu‟-manu‟ dan massuro atau
madduta, serta mappasiarekeng atau mappettu ada yang
merupakan langkah awal sebelum memasuki upacara
perkawinan.
-
28 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
1. Paita atau Mattiro
Melihat, memantau, dan mengamati dari jauh atau
mabbaja laleng (membuka jalan). Paita merupakan langkah
pertama atau langkah pendahuluan peminangan, yaitu
calon pengantin laki-laki datang ke rumah si gadis atau
rumah tetangganya yang tidak jauh dari rumah gadis untuk
melihatnya. Kalau si jejaka telah melihat dan menyenangi
gadis tersebut, maka dilanjutkan dengan langkah berikutnya,
yaitu dengan melakukan suatu penyelidikan secara diam-
diam dan tidak boleh diketahui oleh keluarga si gadis yang
diselidiki. Jika gadis yang akan dilamar mempunyai
hubungan kekerabatan dan sudah dikenal dengan baik,
maka kegiatan paita ditiadakan. Demikian pula jika gadis
atau calon mempelai perempuan tersebut termasuk pilihan
orang tua, maka dengan sendirinya tidak diperlukan
kegiatan paita, karena laki-laki harus menerima perempuan
yang ditetapkan oleh orang tuanya.
2. Mappese-pese’ atau Mammanu’-manu’
Merupakan penyelidikan lebih jauh pihak laki-laki
kepada gadis yang akan dilamar. Orang yang tepat
melakukan tugas mammanu‟-manu‟ adalah orang yang
dekat dengan keluarga laki-laki dan keluarga si gadis. Di
samping itu, dianggap cakap untuk melakukan penyelidikan.
Hal ini penting karena dalam tradisi masyarakat Bugis,
keluarga pihak lelaki malu apabila terang-terangan disebut
namanya, apalagi jika lamarannya tidak diterima kelak. Oleh
karena itu, pada tahap mammanu’-manu’ orang yang diberi
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 29
amanah bertugas untuk mengetahui dan memastikan bahwa;
(1) gadis yang akan dilamar belum dilamar oleh orang lain. (2)
menyelidiki (mappese’-pese’) dan menelusuri kemungkinan
lamarannya diterima. (3) mengutarakan keinginan pihak laki-
laki untuk melakukan pelamaran. Setelah maksud pelamaran
disampaikan kepada pihak keluarga perempuan, maka
orang tua keluarga pihak perempuan bermusyawarah
dengan keluarganya dan memberitahukan hasil musyawarah
tersebut kepada pihak keluarga pihak laki- laki. Jika maksud
pelamaran diterima oleh pihak perempuan, maka kegiatan
pelamaran dilanjutkan kepada tahap selanjutnya, yaitu
massuro atau madduta.
Mammanu’-manu’ atau mappese'-pese' dalam
peminangan menurut budaya masyarakat Bugis Bone dipandang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perkawinan Islam.
Dikatakan demikian, karena mammanu'-manu' pada dasarnya
dimaksudkan untuk mengetahui keadaan perempuan yang
meliputi kepribadian dan tidak dalam keadaan dipinang oleh
orang lain. Hal ini penting karena dalam budaya masyarakat
bugis, meminang orang yang sedang dipinang oleh orang lain
merupakan aib besar dan pantangan yang harus dihindari.
3. Massuro atau Madduta
Meminang dalam bahasa Bugis disebut massuro atau
madduta. Biasanya utusan pihak laki-laki datang kepada
pihak perempuan untuk memperjelas maksud
kedatangannya sebelumnya saat mammanu’-manu’.
-
30 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
Setelah pihak perempuan melakukan pertemuan atau
dengan keluarganya dan setuju untuk melanjutkan
pembicaraannya, maka utusan dari pihak laki-laki tersebut
langsung menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu
meminang si perempuan. Pada acara massuro, pihak
keluarga perempuan mengundang keluarga terdekatnya,
utamanya keluarga yang pernah diundang massita-sita
(bermusyawarah) pada waktu dilakukan pembicaraan
mammanu’-manu’ serta orang-orang yang dianggap dapat
memberikan pertimbangan dalam peminangan.
Pada acara madduta atau massuro, pihak
perempuan mempersiapkan acara penyambutan pihak
laki-laki. Inti pembicaraan dalam prosesi madduta/massuro
adalah: (1) pihak laki-laki mengutarakan maksud
kedatangannya setelah dipersilahkan oleh pihak perempuan
secara resmi. (2) menyatakan kesepakatan antara pihak
perempuan dan pihak laki-laki untuk melanjutkan kepada
proses selanjutnya, yakni acara mappasiarekeng atau
mappettu ada.
Berikut ini adalah contoh beberapa dialog yang biasa terjadi saat
seorang to madduta (orang yang melakukan tugas meminang)
mengemukakan maksud kedatangannya dengan kata-kata yang
halus yang bersifat ungkapan-ungkapan yang bermakna.
Sementara orang yang menerimanya (to riaddutai) menggunakan
kata-kata yang halus pula serta penuh makna simbolis.
• To Madduta : Iyaro bunga puteta-tepu tabbaka toni,
engkanaga sappona. (Bunga putih yang sedang mekar,
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 31
apakah sudah memiliki pagar?)
• To Riaddutai : De’ga pasa ri kampotta, balanca ri liputta
mulinco mabela? (Apakah ada pasar di kampung yang
jualan ditempat anda, sehingga anda pergi jauh?)
• To Madduta : Engka pasa ri kampokku, balanca ri lipukku,
naekiya nyawami kusappa. (Ada pasar di kampungku yang
jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah hati yang
suci/budi pekerti yang baik)
• To Riaddutai : Iganaro maelo ri bunga puteku,
temmakkedaung, temmakkecolli‟ (Siapakah yang minat
terhadap bunga putiku, tidak berdaun, tidak pula
berpucuk)
Bagi masyarakat Bugis Bone pinangan seseorang dianggap
sah apabila telah diutarakan secara jelas dan tegas pada acara
madduta atau massuro. Oleh karena itu, madduta pada
prinsipnya wadah pelamaran secara langsung dari pihak laki-laki
dan sekaligus penerimaan atau penolakan dari pihak perempuan.
Dengan demikian, madduta pada prinsipnya sejalan dengan
tuntunan Islam dalam melakukan peminangan.
4. Mappasiarekeng atau Mappettu Ada
Tahapan ini yakni menguatkan dan memutuskan
pembicaraan pada acara massuro. Oleh karena itu,
pembicaraan tentang lamaran dan segala hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan, seperti: sompa
(mahar), doi menre (uang belanja), dan tanra esso (hari
-
32 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
jadinya pesta), pakaian dan lain sebagainya, akan diputuskan
dalam kegiatan mappasiarekeng atau mappettu ada. Dalam
acara mappasiarekeng sudah tidak ada lagi perselisihan
pendapat karena memang telah dituntaskan segala
sesuatunya sebelum acara ini dilaksanakan secara
musyawarah dan penuh kesepakatan kedua calon pihak
mempelai. Sekalipun ada versi lain yang memisahkan antara
mappasiarekeng dengan mappettu ada dan mappenre doi,
seperti halnya A. Muh. Ridwan, mengatakan bahwa: Acara
mappasiarekeng didahulukan dari pada acara mappettu ada
dan pelakasanaannya pun terpisah, disebabkan kata
mappasiarekeng dengan mappettu ada mempunyai arti yang
berbeda. Kata mappasiarekeng mengandung arti
mengukuhkan pembicaraan yang telah disepakati di antara
kedua belah pihak, dengan alasan di dalam lontara
disebutkan bahwa “rusa pattaro arung terrusa pattaro ade‟,
rusa pattaro ade‟ terrusa pattaro anang, rusa pattaro anang
tenrusa pattaro tau maega (batal ketetapan adat, tidak batal
ketetapan keluarga, batal ketetapan keluarga, tidak batal
ketetapan adat, batal kesepakatan adat tidak batal
kesepakatan perorangan batal kesepakatan perorang tidak
batal kesepakatan orang banyak)”. Sedangkan kata
mappettu ada berarti memutuskan perkataan. Jadi acara
mappettuada, dilakukan untuk mengumumkan hasil
kesepakatan oleh utusan di antara kedua belah pihak ketika
acara massuro atau madduta dilakukan. Acara mapettu ada
merupakan acara adat yang dilaksanakan sejak dahulu
sampai sekarang dengan mengundang keluarga,
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 33
tokoh/sesepuh masyarakat, tetangga dan lain sebagainya,
untuk mendengarkan hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan perkawinan berdasarkan kesepakatan antara
utusan dari kedua belah pihak.
Tradisi doi menre sendiri dalam literatur maupun buku-
buku tidak ada yang menjelaskan secara lengkap. Bahkan
beberapa manuskrip tua di perpustakaan tidak menceritakan
asal mula tradisi doi menre. Namun, dapat dipastikan tradisi
ini muncul sejak kebiasaan kawin-mawin masyarakat Bugis
berlangsung, khusunya pada proses peminangan.
Tradisi doi menre ini terjadi karena tidak adanya batas
perkawinan antara kaum Bangsawan dan rakyat biasa.
Sehingga Rahmatunnair menuturkan, doi menre dulunya
sebagai pangelli dara (pembeli darah) bagi laki-laki biasa
yang ingin menikahi seorang perempuan keturunan
bangsawan. Namun sekarang, doi menre hanyalah (sekadar)
bantuan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk
pengadaan pesta pernikahan (mappabotting) sesuai dengan
kesepakatan kedua pihak. Jumlah nominalnya doi menre pun
dapat melampaui jumlah sompa (mahar) tergantung
seberapa besar pesta pernikahan yang ingin diadakan.
Andi Najmuddin menambahkan bahwa tradisi doi
menre atau doi balanca dalam proses peminangan
masyarakat Bugis Bone telah ada jauh sebelum ajaran Islam
masuk di Sulawesi. Masyarakat Bugis Bone zaman dulu
menyebut doi menre sebagai tradisi Mette’, yakni harta
-
34 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
pangelli dara’ di mana ketika hendak melamar gadis
keturunan bangsawan, pihak laki-laki memberi sarung sutera
dan baju bodo atau waju tokko’ yang di dalamnya diselipkan
uang tunai atau rella’ (mata uang Bugis Kuno). Peralihan
tradisi mette’ lalu berubah penyebutan menjadi doi menre
atau doi balanca hingga mengalami akulturasi dengan ajaran
Islam, diperkirakan terjadi pada masa Raja Bone ke-13 La
Maddaremmeng. Saat itu, agama Islam terus berkembang
dan sosialisasi ajaran Islam terhadap masyarakat Bugis Bone
saat itu gencar dilakukan oleh kerajaan Gowa-Tallo. Praktik
mappenre doi seperti sekarang ini, merupakan hasil
pertemuan antara ada’ (adat) dan syariat Islam
Prosesi Mappenre Doi
Sebelum tahun lima puluhan, acara mappetu ada atau
mappasiarekeng dilakukan secara terpisah dengan kegiatan
mappenre doi (menaikkan/memberi doi menre), oleh karena
penggunaan dan pemaknaannya yang berbeda disertai dengan
fanatisme ade’ to riolo (adat pendahulu). Setelah terkikisnya
fanatisme pada ade‟ to riolo, acara mappettu ada atau
mappasiarekeng dan mapenre doi disatukan. Dengan demikian,
acara seperti ini biasanya cukup disebut dengan mappenre doi
saja, terkadang juga disebut mappettu ada atau
mappasiarekeng saja.
Penggabungan ketiga kata/istilah tersebut didasarkan
atas kesepakatan antara pihak keluarga calon mempelai laki-laki
dengan pihak keluarga calon mempelai perempuan pada tahap-
tahap peminangan, mengingat masalah efektivitas dan efisiensi
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 35
waktu serta resiko yang akan mungkin terjadi dapat terhindarkan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Andi Yushan bahwa pada tahun
lima puluan ke atas, acara mappetuada atau mappasiarekeng,
dan mappenredoi, masing-masing terpisah. Karena, mempunyai
penggunaan dan pemaknaan tersendiri, yaitu upacara
mappettuada dilakukan setelah acara mappese-pese dan massuro
atau madduta mendapatkan respon yang positif (lamaran telah
diterima) dari orang tua calon mempelai perempuan, namun
doi menre (uang belanja) dan sompa (mahar) belum disepakati.
Karena doi menre orang Bugis Bone sangat sensitif dan merupakan
salah satu syarat diterima atau ditolaknya suatu lamaran, apabila
pihak laki-laki tidak sanggup memenuhi permintaan pihak
perempuan. Olehnya itu, pada saat acara mapettuada akan
dilakukan rombongan pihak laki-laki disertai dengan beberapa to
warani (orang berani; preman) dan diiringai genrang tellu (tiga
gendang) yang bertalu-talu sepanjang jalan bagaikan pasukan
kerajaan akan menghadapi peperangan, sehingga pihak
perempuan berpikir untuk mengabulkan lamaran pihak laki-laki
secara resmi, sebab kalau tidak diterima lamaran tersebut
lantaran doi menre (uang belanja), maka kemungkinan akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tindakan kriminal
karena pihak laki-laki menganggap ri pakasiri’ (dipermalukan).
Karena prinsip orang Bugis Bone ketika ri pakasiri’, nyawa
taruhannya. Sedangkan acara mappasiarekeng dilakukan setelah
pembicaraan antara duta pihak laki-laki dengan duta pihak
perempuan telah sepakat diterimanya lamaran pihak laki-laki
beserta sompa (mahar), doi menre (uang belanja), tanra esso (hari
-
36 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
pernikahan), pakaian dan lain sebagainya dalam acara massuro
atau madduta tersebut. Jadi, acara mappasiarekeng ini
merupakan acara formalitas upacara saja untuk mengumumkan
kepada keluarga kedua belah pihak yang hadir pada acara ini
mengenai hasil kesepakatan kedua duta tersebut. Lain halnya
dengan mappenre doi, dilakukan pada saat pengantin laki-laki
diantar ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan
akad nikah. Akan tetapi, pada saat sekarang terkadang doi
menre (uang belanja) tersebut diserahkan pada saat
mappasiarekeng agar keluarga calon mempelai perempuan tidak
terbebani sehingga acara mappasiarekeng atau mappettu ada
sering juga disebut mappenre doi (menaikkan/memberikan doi
menre). Pada prosesi upacara mappenre doi, rombongan pihak
laki-laki datang ke rumah pihak mempelai perempuan dengan
membawa pakaian sebagai berikut:
Lipa sabbesilampa (sarung sutra satu lembar) dan waju tokko
silampa (baju bodosatu lembar). Makna bahwa baju (pakaian)
dan sarung merupakan busana yang berfungsi untuk menutup
aurat. Dengan diserahkannya pemberian kepada pihak
perempuan, mengisaratkan bahwa kedua pihak dan mempelai
saling menjaga kehormatan dan saling memelihara.
Ciccing ulaweng sibatu (cincin emas satu buah). Cincin ditandakan
sebagai ikatan kedua belah pihak, yakni sang wanita telah diikat,
dan mereka (muda-mudi) dapat memperoleh berkah, motivasi
dan jodoh dari kalangan tamu yang hadir. Rombongan pemuda-
pemudi dari pihak laki-laki nantinya berpakaian adat layaknya
(mempelai) pengantin dengan perlengkapannya, yaitu:
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 37
a. Waju tokko (baju bodo);
b. Lipa‟ botting (sarung pengantin);
c. Simpolong tettong (sanggul rambut berdiri);
d. Jas tutup (bagi laki-laki);
e. Songkok Recca atau Songkok Bone (bagi laki-laki);
Kelengkapan rombongan persembahan laki-laki berupa
pakaian adat beserta aksesorisnya merupakan simbol harapan
agar sempurna dan bahagia dikehidupan selanjutnya baik dalam
membina rumah tangga dan melakukan kegiatan sehari-hari.
Bilangan 7 (tujuh) bagi masyarakat Bugis Bone mempunyai
makna tersendiri, yaitu mattuju yang berarti selalu dalam
keadaan yang menguntungkan. Itu berarti bahwa bilangan 7
(tujuh) merupakan tafaul (sennung-sennungeng) sebagai harapan
dan doa agar kedua pihak selalu mendapat keberuntungan
dalam kehidupannya. Selain itu, angka 7 (tujuh) mempunyai
makna simbolis sebagai penuntun hidup, yaitu dua mata yang
gunanya untuk melihat mana yang baik dan mana yang buruk,
dua telinga yang gunanya untuk mendengar mana yang baik dan
mana yang buruk; dua lubang hidung gunanya untuk mencium
bau yang harum dan bau yang busuk; satu mulut gunanya untuk
mengucapkan yang mana baik dan menghindari yang buruk.
Rombongan terdiri atas sekelompok laki-laki dewasa dan
perempuan dewasa. Kelompok laki-laki dewasa memakai jas
tutup warna hitam, sarung sutra (lipa garusu/lipa toriolo) dan
songko‟ recca pamiring ulaweng atau songko‟ to Bone.
Sedangkan, kelompok perempuan dewasa memakai waju tokko
-
38 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
(baju bodo), sarung sutra atau lipa garusu/lipa to riolo dengan
dandanan rambutnya yang dihiasi kembang disebut simpolong.
Namun, pada saat sekarang pakaian yang dipakai ke acara
mappasiarekeng/mappettu ada atau mappenre doi tersebut
bervariasi, ada yang berpakaian adat, ada pula yang berpakaian
lain, seperti jas biasa dan topi hitam atau topi putih bagi laki-laki,
sedangkan bagi perempuan memakai busana muslimah.
Demikian pula, pihak perempuan telah menyiapkan kelompok
laki-laki dewasa dan perempuan dewasa yang berpakaian adat,
dengan penuh kegembiraan menjemput tamunya (rombongan
pihak laki-laki). Setelah para tamu dari pihak lai-laki datang, lalu
dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah
disiapkan.
Pada acara mappettu ada/mappasiarekeng atau
mappenre doi, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan
mengundang keluarga dan kerabatnya atau pemuka masyarakat
dan pemuka agama untuk menghadiri dan meramaikan acara.
Acara ini di samping untuk melaksanakan pengikatan janji, juga
bersifat pengumuman kepada keluarga, kaum kerabat, dan
masyarakat sekitar yang turut hadir dalam acara tersebut.
Tradisi doi menre atau doi balanca hukumnya boleh
(mubah) dalam hukum Islam karena kedudukannya adalah
sebagai hadiah (hibah). Ditinjau secara umum, perkawinan
masyarakat Bugis Bone dapat dipastikan sarat dengan ajaran
Islam yang dipadukan dengan nilai-nilai budaya dan adat-
istiadat. Mulai dari proses awal peminangan sampai kepada acara
mappenre doi (pemberian doi menre). Dengan demikian,
-
Mengenal Prnikahan Bugis | 39
keseluruhan budaya perkawinan masyarakat Bugis Bone, pada
prinsipnya dapat diakomodasi dalam sistem perkawinan Islam. Itu
artinya bahwa keseluruhan prosesi budaya perkawinan
masyarakat Bugis Bone, dipandang tidak bertentangan dengan
syariat Islam. (Rahman, 2012: 9-32).
-
40 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
-
Foto: phiutografistudio
Pandangan Tokoh Mengenai Pernikahan Bugis | 41
3
PANDANGAN TOKOH MENGENAI PERNIKAHAN BUGIS
erkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa
perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina,
dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan
yang rukun dan damai. Karena, nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut
serta menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat
yang bersangkutan dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan
perkawinan harus diatur dengan tata tertib adat agar dapat
terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan
yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan
keluarga dan kerabat yang bersangkutan. Menurut Van Dijk
sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady, perkawinan menurut
hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan keluarga,
masyarakat, martabat, dan pribadi. Berbeda dengan perkawinan
masyarakat Barat (Eropa) modern bahwa perkawinan hanya
merupakan urusan mereka yang akan kawin saja.
P
-
42 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling
mengambil satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan
timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda,
setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja,
perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata,
akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua
keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya
untuk mempereratnya (ma’pasideppe’ mabelae atau
mendekatkan yang sudah jauh). Hal ini juga sering ditemukan
dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan
turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.
Perkawinan (mappabotting) bagi masyarakat Bugis-Makassar
adalah sesuatu yang sangat sakral dan merupakan simbol status
sosial yang dihargai. Diiringi aturan adat serta agama sehingga
membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh tata krama,
dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. (Asraf,
2015: 43-45).
Pada hakekatnya, mensakralkan prosesi pernikahan itu
tidak masalah ketika pelaksanaanya sesuai dengan syariat Islam.
Jangan sampai hanya karena persoalan uang panai’ yang kurang,
lantas membuat pernikahan tersebut batal. Yang perlu dipahami
adalah sebenarnya kita perlu memperbaiki bahwa uang panai’ itu
sebagai gengsi keluarga, jika uang panai’nya tinggi maka acara
akan semakin ramai dan derajatnya naik, padahal itu bukan
tujuan dari pernikahan (Suaedi, 2019).
Pernikahan Bugis dilaksanakan dengan beberapa adat
antara lain, yang pertama adalah jika seorang laki-laki dan
seorang wanita ingin dijodohkan atau ingin berjodoh sendiri maka
-
Pandangan Tokoh Mengenai pernikahan Bugis | 43
hal yang pertama dilakukan adalah ma’balaocici setelah
ma’balaocici masuk ke tahap mammanu-manu kemudian
selanjutnya maaduta atau dijaman dulu disebut sebagai
mapaenre balanca, dan sekarang lebih dikenal dengan uang
panai’ (Kaddiraja 2019).
Foto penulis bersama ketua adat Luwu, pada saat wawancara tentang
padangan para tokoh masyarakat mengenai “uang panai” (Foto: Puspa Sari)
Pernikahan adat Bugis sampai saat ini dapat dikatakan bahwa di
suku Bugis memperlihatkan sebuah pola pernikahan yang sangat
beradab, saling menghargai, dengan mengikuti pola adat Bugis
saat ini yang masih mempertahankan nilai-nilai kebudayaan
bahwa pendekatannya tidak melupakan syariat Islam,
memperlihatkan pola pernikahan yang sangat beradab dengan
dimulainya dari proses mammanu-manu atau perkenalan. Jika
mendapat persetujuan dari pihak perempuan, maka melangkah
-
44 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
ke proses pelamaran dan pelaksanaan acara pernikahan (Assad
2019).
Konteks kekinian pernikahan adat Bugis sampai hari ini
sudah memperlihatkan pernikahan yang modern yang dulunya
masih dengan cara tradisional, dan sekarang sudah dipengaruhi
oleh faktor kemajuan zaman dan teknologi. Adapun, dalam
pelaksaan pesta pernikahan dari yang biasa sampai dengan yang
mewah tergantung dari kesanggupan kedua belah pihak
pengantin (Sehe 2019).
Sebelum melangkah ke acara pernikahan sebelumnya,
calon mempelai pria telah melihat bagaimana silsilah dari
calonnya dan bagaimana karakternya. Setelah membuat
keputusan bersama, barulah pernikahan dimulai dengan melewati
beberapa tahap seperti dimulai dari tahap ma’balao cici
kemudian, mammanu-manu setelah mammanu-manu
selanjuntya acara pelamaran, setelah pelamaran barulah kedua
belah pihak keluarga menentukan bagimana acara selanjutnya.
Pada jaman dulu sebelum ijab kabul terlebih dahulu penyerahan
kuasa perwalian dan penyerahan mahar, barulah dimulai ijab
kabul dan penandatanganan buku nikah dan dilanjutkan dengan
pemberian pallaleng (Andi Adnan, 2019).
Perkawinan suku Bugis dipandang sebagai suatu hal yang
sakral, religius, dan sangat dihargai. Oleh sebab itu, lembaga adat
yang telah lama telah mengaturnya dengan cermat. Sesuai
dengan kenyataan dalam masyarakat, suku Bugis yang terbesar
menganut agama Islam sehingga pernikahan bukan saja berarti
ikatan lahir dan batin antara seorang suami dengan seorang
wanita sebagai istri, tetapi lebih dari pada itu. Pernikahan
-
Pandangan Tokoh Mengenai pernikahan Bugis | 45
merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak pria
dan pihak wanita yang akan membentuk rukun keluarga yang
lebih besar lagi.
Suku Bugis berasal dari Sulawesi Selatan dikenal sebagai
perantau, hingga sampailah ke tanah Melayu terutama di desa
Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Riau.
Masyarakat Bugis penganut adat istiadaat yang sangat kuat dan
bahkan kedudukannya makin kukuh dalam masyarakat hingga
kini terutama dalam upacara pernikahan yang disebut
mappabotting dengan persyaratan awalnya meminta uang
panai’.
Sistem perkawinan adat Bugis dikenal sebagai salah satu
sistem perkawinan yang kompleks karena mempunyai rangkaian
prosesi yang sangat panjang dan syarat-syarat yang sangat ketat,
ini tidak lepas dari budaya malu yang diberlakukan di suku Bugis
yang disebut budaya siri’ (rasa malu atau merasa harga diri
dipermalukan)
Besaran uang panai’ juga akan semakin berat ketika
keluarga mempelai perempuan meminta sompa (harta tidak
bergerak seperti sawah atau kebun), pembayaran uang panai’ ini
dapat dilakukan pada saat lamaran telah diterima atau
penentuan hari perkawinan atau pada saat appanaik belanja
(hari pemberian uang belanja) ataupun pada saat akad nikah
dilangsungkan. Adapula yang melakukan pembayaran sekaligus
dan ada yang melakukan pembayaran sebagian atau diselesaikan
pada saat akad nikah dilangsungkan. Tetapi jika melihat realitas
yang ada, arti uang panai’ ini sudah bergeser dari maksud
-
46 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
sebenarnya, uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi untuk
memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan, tak
jarang untuk memenuhi permintaan uang panai’ tersebut maka
calon mempelai pria harus berutang, karena apabila prasyarat
uang panai’ tersebut tidak memenuhi akan dianggap sebagai rasa
malu atau “siri” (rasa malu atau merasa harga diri dipermalukan).
Bahkan tak jarang permintaan uang panai’, dianggap sebagai
senjata penolakan pihak perempuan bagi pihak laki-laki tersebut
tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan dengan modus
meminta uang panai’ yang setinggi-tingginya yang mereka
anggap bahwa laki-laki yang bermaksud meminang tersebut
tidak mampu memenuhi permintan uang panai’ tersebut
(Agustar, 2018:3).
Menurut pemahaman masyarakat Bugis, rumah memiliki
makna simbolis. Bentuk rumah memperlihatkan suatu gambaran
strata sosial masyarakat. Atap rumah yang dibuat bersusun tiga
menadakan orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan.
Begitu pula dengan adat istiadat perkawinannya, bahwa
masyarakat yang berasal dari kalangan bagsawan akan
membentangkan kain putih ditangga ketika mempelai wanita
atau laki-laki datang.
Strata sosial masyarakat juga bisa dilihat pada acara
mappaci, calon mempelai didudukkan di atas tikar pandan yang
bulat dilengkapi dengan alat kebesaran keluarganya yang
biasanya terdiri dari: lellu’ yang dipegang oleh 4, 6, 8 orang
tergantung dari strata sosial mempelai itu sendiri. Disamping itu
pula, duduk indo’ pasusu sekuarang-kurangnya 2 orang. Acara ini
dimeriahkan pula dengan iringan gendang bali sumange. Acara
-
Pandangan Tokoh Mengenai pernikahan Bugis | 47
macceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai
perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara
perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.
Untuk kalangan bangsawan mahar yang akan dibawah ke
tempat mempelai wanita biasanya dipayungi dan pembawa
payung berasal dari keluarga dekat mempelai laki-laki sendiri.
Meskipun tradisi ini telah mengalami perubahan, tetapi masih ada
beberapa golongan bangsawan di Desa Pakkasalo yang
mempertahankan tradisi perkawinan dengan menggunakan tata
cara lama. Ada pembawa tempat sirih, dilengkapi dengan tempat
meludah, lengkap dengan beberapa budak mereka zaman
dahulu yang mengenakan jas puti
Orang Bone membagi masyarakatnya dalam beberapa
tingkatan menurut derajat kebangsawanan seseorang. Tingkatan
pertama adalah lapisan ana’ matoala atau anak penerus,
tingkatan kedua anak arung atau anak-anak dari arung,
tingkatan ketiga adalah tau deceng atau orang-orang baik.
Golongan keempat adalah golongan tau ammeng atau maradeka
yakni orang-orang merdeka dan golongan kelima terdiri atas para
budak.
-
48 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
Gambar 1. Rumah dengan Bumbungan Tiga Susun
(Foto: www.kompasiana.com)
Gambar 2. Rumah Masyarakat Biasa
(Foto: www.kompasiana.com)
Bumbungan tiga susun di Desa Pakkasalo dahulu
menandakan rumah tersebut milik masyarakat bangsawan. Bisa
dibandingkan dengan rumah masyarakat bisa saat ini tidak
memiliki bumbungan tiga susun seperti pada gambar di bawah ini.
Apabila terjadi peristiwa, keluarga bangsawan menikahi golongan
di bawahnya, maka akan terjadi penurunan derajat
kebangsawanan. Apabila mempelai laki-laki berasal dari
golongan bangsawan dan perempuan berasal dari golongan
ketiga, maka kelak anak yang lahir masih bisa menyandang status
bangsawan. Hal berbeda ketika mempelai wanita yang berasal
http://www.kompasiana.com/http://www.kompasiana.com/
-
Pandangan Tokoh Mengenai pernikahan Bugis | 49
dari golongan bangsawan dan mempelai laki-laki berasal dari
golongan ketiga, maka kelak anak yang lahir tidak bisa
menyandang gelar bangsawan sama dengan Ibunya karena gelar
tersebut mengikut pada garis keturunan laki-laki (Mutia, 2012: 54-
57).
-
50 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
-
Foto: phiutografistudio
Pernikahan Bugis Di Masa Kini | 51
4
PERNIKAHAN BUGIS DI MASA KINI
ernikahan merupakan bersatunya seorang pria dan
wanita sebagai suami istri yang nantinya akan
mempunyai keturunan untuk meneruskan kelangsungan
hidup manusia. Tentu di dalam sebuah pernikahan ada adat
tersendiri, tidak terkecuali suku Bugis. Bagi suku Bugis pernikahan
merupakan sesuatu yang sakral, pelaksanaannya terdapat prosesi
yang sudah ada sejak zaman dahulu. Hanya saja, seiring
perkembangan zaman prosesi adat ini mulai terkerut oleh zaman
yang hampir semua serba praktis. Prosesi adat Bugis yang tadinya
masih dipertahankan di masyarakat kini mulai ada perubahan.
Hal ini juga dikemukakan oleh informan (pegiat budaya)
menyatakan:
“Adat penikahan Bugis masih banyak yang mempertahankan,
tetapi kini mulai tergerus oleh zaman karena informasi sudah
mulai banyak. Kedua ketika terjadi perbedaan suku yang
menikah maka bisa saja terjadi kesepakatan baru. Misalnya
mereka di suku lain itu tidak perlu proses adat seperti itu dan dia
P
-
52 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
sepakat ya sudah prosesi pernikahan model Bugis itu hilang.
Misalnya tadi ma’manumanuyang secara tradisi adalah proses
diam-diam, bisa jadi dihilangkan. Karena, kedua calon mempelai
saling mengenal lewat media sosial dan diumumkan ke publik,
jadi salah satu prosesi adat pernikahan adat Bugis sudah hilang.
Tetapi, prosesi adat itu ada yang masih mempertahankan tapi
sudah mulai sedikit saja” (Suaedi, 2019).
Adapun alasan lain, yang membuat beberapa masyarakat
sudah sangat jarang melakukakan prosesi adat pernikahan Bugis,
dikarenakan banyak masyarakat yang tidak mau mengambil
pusing akan hal-hal tersebut. Ada alasan-alasan tertentu, misalnya
dalam adat Bugis sebelum lanjut ketahap pernikahan ada proses
yang dilalui seperti ma’balaocici, ma’manumanu, ma’duta semua
proses itu memakan biaya sehingga banyak masyarakat yang
tidak sanggup melakukannya. Mereka hanya mengambil jalan
yang praktis seperti tidak lagi melakukan yang namanya proses
ma’balaocici dan ma’manumanu tetapi, demi menghemat biaya
mereka lansung melakukan proses yang namanya ma’duta.
Sebagai contoh saja, proses adat mappacci harus dilakukan
dengan serangakan acara dan juga mengadakan berbagai atribut
yang biayanya tidak sedikit. Mulai dari sewa pakaian calon
pengantin, dekorasi rumah dengan brbagai atribut adatnya yang
berbiaya cukup mahal, melakukan berbagai rapat keluarga,
biaya konsumsi tamu undangan yang hadir di acara dan tentu
saja dokumentasi acara. Hal ini bias jadi beban finansial bagi
beberapa masyarakat yang meskipun sangat ingin melakukan
prosesi ini namun terkendala biaya.
-
Pernikahan Bugis Di Masa Kini | 53
Selain biaya, masalah waktu juga menjadi pertimbangan
untuk melakukan proses adat ini. Beberapa keluarga yang
domisilinya jauh tentu harus minta izin kantor untuk menghadiri
acara keluarga ini. Namun jika berkali-kali harus izin tentu akan
jadi masalah juga. Sementara dalam filosofi adatnya, kehadiran
sanak family sangat menentukan kesuksesan acara karena jadi
symbol kebeesaran keluarga dan sekaligus ajang silaturahmi dan
saling mengenalkan keluarga.
Pernikahan dengan pola adat Bugis saat ini adalah
pernikahan yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang
pendekatanya sesuai dengan syariat agama Islam. Adapun, adat-
adat atau ritual yang tadinya melenceng dari ajaran agama kini
masyarakat mulai menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Meskipun adat Bugis sudah berbaur modernisasi tapi tahap inti
dalam proses adat ini masih dipertahankan masyarakat. Dan
hingga saat ini masih eksis diberbagai wilayah terutama di wilayah
Sulawesi Selatan.
Pada beberapa acara adat sebagai rangkaian proses
pernikahan, sering muncul pertanyaan apakah yang dilkaukan ini
tidak bertentangan dengan syariat agama, terutama agama Islam
sebagai agama mayoritas masyarakat Bugis. Misalnya
mengoleskan pacci ke tangan calon mempelai wanita. Niatnya
adalah agar pengantin bersih, suci dari kehidupan di masa lalu
dan akan menghadapi kehidupan masa depan. Pacci yang
digunakan adalah simbol, karena memiliki asosiasi nama dengan
mapaccing (bersih). Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan
doa untuk kebaikan calon mempelai dan keluarganya kelak. Hal
-
54 | UANG PANAI’: Fenomena Pernikahan Bugis (Dulu dan Kini)
ini tentu saja memiliki makna yang baik dalam sudut pandang
agama. Itu sebabnya beberapa acara menghadirkan ulama untuk
menberikan pencerahan agama agar tidak keliru dalam
menjalankan prosesi adat.
Pernikahan merupakan salah satu acara sakral ketika dua
orang saling mengikat janji dengan memenuhi ketentuan agama,
norma hukum, dan norma sosial yang berlaku. Upacara