tutorial gangguan dengar

Upload: noventy-sutarman

Post on 16-Jul-2015

346 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

TUTORIAL BLOK 11 SISTEM PENDENGARANPETUNJUK UNTUK MAHASISWA

Tanggal pertemuan pertama Tanggal pertemuan kedua Tema Sub Tema Waktu Penanggung jawab :

:

: Gangguan Pendengaran Akibat Bising. : Trauma akustik. : 2 (dua) kali pertemuan. : Sigit Sasongko, dr, MKes, SpTHT

Skenario

:

Seorang Polisi berusia 35 tahun berdinas di Polres Cirebon datang ke tempat praktek Saudara dengan keluhan pendengaran telinga kanannya berkurang dan berdenging (tinnitus) sejak kejadian ledakan bom bunuh diri di masjid Mapolres Cirebon beberapa saat yang lalu. Saat ledakan tersebut penderita berada di barisan tengah sebelah kiri pelaku peledakan bom saat Sholat Jumat. Setelah kejadian tidak terdapat luka di sekujur tubuh penderita Keluhan tidak disertai nyeri telinga, keluar darah dari telinga maupun rasa pusing berputar Selama ini penderita tidak mempunyai riwayat trauma kepala, kejangkejang , hipertensi maupun penyakit kencing manis (Diabetes mellitus). Pemeriksaan fisik :

Vital sign : Kesadaran komposmentis. Tensi : 110/60 mmHg. Nadi : 80x/m regular. Suhu : 360C, Respiratory rate : 18x/m.

Status generalis Thorax Abdomen

:

: Dalam batas bormal. : Dalam batas bormal.1

Ekstremitas : Dalam batas bormal. Pemeriksaan THT :

Inspeksi dan palpasi aurikula dalam batas normal. Otoskopi CAE Membran timpani : : tenang +/+ sekret -/- serumen -/: intak +/+ reflek cahaya +/+ : : Pada telinga kanan pasien memendek. : (+) positip pada telinga kanan pasien. : Lateralisasi ke telinga kanan pasien.

- Tes pendengarana. Tes Schwabach b. Tes Rinne c. Tes Weber

Sesudah pemeriksaan selesai, Saudara memberikan terapi neurotropik 3x1 tablet, dan setelah diberikan terapi selama 1 bulan serta dievaluasi ulang, fungsi pendengarannya masih belum baik, walaupun gejala mendenging (tinnitus)nya sudah menghilang.

Tugas Dengan menggunakan metoda 7 jump, carilah Learning Issues dari skenario di atas dan buatlah pembahasan yang lengkap untuk dipresentasikan pada pertemuan kedua.

2

PETUNJUK UNTUK TUTOR

TUTORIAL BLOK 11 SISTEM PENDENGARANTanggal pertemuan pertama Tanggal pertemuan kedua Tema Sub Tema Waktu Penanggung jawab : : Gangguan Pendengaran Akibat Bising. : Trauma akustik. : 2 (dua) kali pertemuan. : Sigit Sasongko, dr, MKes, SpTHT :

Sasaran Belajar

:

1. Mengerti klasifikasi gangguan pendengaran akibat bising. 2. Memahami patofisiologi gangguan pendengaran akibat bising. 3. Mengerti gejala dan tanda dari gangguan pendengaran akibat bising. 4. Mengerti 5. Mengerti

faktor-faktor yang pendengaran akibat bising. diagnosis banding pendengaran akibat bising.

berpengaruh dan diagnosis

terhadap kerja dari

gangguan gangguan

6. Mengerti terapi terhadap kasus gangguan pendengaran akibat bising.

7. Memahami cara mencegah agar tidak terjadi ketulian akibat paparan bising.

Skenario

:

Seorang Polisi berusia 35 tahun berdinas di Polres Cirebon datang ke tempat praktek Saudara dengan keluhan pendengaran telinga kanannya berkurang dan berdenging (tinnitus) sejak kejadian ledakan bom bunuh diri di masjid Mapolres Cirebon beberapa saat yang lalu. Saat ledakan tersebut3

penderita berada di barisan tengah sebelah kiri pelaku peledakan bom saat Sholat Jumat. Setelah kejadian tidak terdapat luka di sekujur tubuh penderita Keluhan tidak disertai nyeri telinga, keluar darah dari telinga maupun rasa pusing berputar Selama ini penderita tidak mempunyai riwayat trauma kepala, kejangkejang , hipertensi maupun penyakit kencing manis (Diabetes mellitus). Pemeriksaan fisik :

Vital sign : Kesadaran komposmentis. Tensi : 110/60 mmHg. Nadi : 80x/m regular. Suhu : 360C, Respiratory rate : 18x/m.

Status generalis Thorax Abdomen

:

: Dalam batas bormal. : Dalam batas bormal.

Ekstremitas : Dalam batas bormal.

Pemeriksaan THT

:

Inspeksi dan palpasi aurikula dalam batas normal. Otoskopi CAE Membran timpani : : tenang +/+ sekret -/- serumen -/: intak +/+ reflek cahaya +/+ : : Pada telinga kanan pasien memendek. : (+) positip pada telinga kanan pasien. : Lateralisasi ke telinga kanan pasien.

- Tes pendengaran d. Tes Schwabach e. Tes Rinne f. Tes Weber

Sesudah pemeriksaan selesai, Saudara memberikan terapi neurotropik 3x1 tablet, dan setelah diberikan terapi selama 1 bulan serta dievaluasi ulang, fungsi pendengarannya masih belum baik, walaupun gejala mendenging (tinnitus)nya sudah menghilang.4

Hal-hal yang diharapkan dalam setiap langkah tutorial minimal mengetahui dan memahami butir-butir sebagai berikut :

HARI PERTAMA. STEP 1 : Klarifikasi istilah yang belum dipahami.

a. Trauma akustik. b. Kejang. c. Trauma kepala. d. Hipertensi. e. Diabetes mellitus.f. Vital sign.

g. Kompos mentis.h. CAE.

i. Membran timpani. j. Tes Schwabach, Rinne, Weber. k. Lateralisasi. l. Tuli saraf.

STEP 2 : Menentukan permasalahan :1. Jelaskan klasifikasi gangguan pendengaran akibat bising. 2. Bagaimana patofisiologi gangguan pendengaran akibat bising. 3. Sebutkan

faktor-faktor yang pendengaran akibat bising.

berpengaruh

terhadap

gangguan

4. Sebutkan gejala dan tanda dari gangguan pendengaran akibat bising.

5. Apa diagnosis banding dan diagnosis kerja dari skenario di atas.6. Bagaimana terapi terhadap kasus gangguan pendengaran akibat bising.

5

7. Jelaskan cara mencegah agar tidak terjadi ketulian akibat paparan

bising.

STEP 3 : Curah pendapat : 1. Pengetahuan awal semua anggota diaktifkan 2. Diperlukan penjelasan dan hipotesis sebanyak-banyaknya 3. Ide anggota dikumpulkan tanpa analisis kritis STEP 4 : Menganalisis masalah : 1. Penjelasan dan hipotesis anggota didiskusikan secara mendalam, dan dianalisis secara sistematis 2. Ide hasil curah pendapat diurutkan dan dicari hubugannya satu sama lain

STEP 5 : Merumuskan isu pembelajaran : 1. Hal yang belum jelas ataupun kontradiktif pada analisis, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan 2. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar aktivitas studi 3. Singkatnya : ditentukan mana yang grup tidak tahu, kemudian dijadikan isu pembelajaran, misalnya masalah-masalah yang terdapat pada langkah kedua.

STEP 6 : Belajar mandiri : 1. Anggota grup mencari literatur yang relevan untuk menjawab pertanyaan dalam isu pembelajaran 2. Menyiapkan diri untuk melaporkannya kepada grup 3. Informasi diperoleh dari : text book, jurnal, buku ajar, internet, dan pakar HARI KEDUA : STEP 7 : Melaporkan / berbagi pengetahuan : 1. Laporan hasil belajar mandiri didiskusikan 2. Kemudian disusun sintesis dari berbagai sumber6

3. Presentasi masing-masing kelompok PENJELASAN :1. Jelaskan klasifikasi gangguan pendengaran akibat bising.

Menurut Alberti P.W, 1997 penurunan pendengaran yang disebabkan oleh bising maupun lingkungan kerja dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1. Noise induced temporary threshold shifi (TTS). 2. Noise induced permanent treshold shift (PTS).

3. Trauma akustik. Trauma akustik adalah gangguan dengar yang disebabkan paparan bising keras sesaat pada 1 telinga, yang disebabkan letusan/ledakan. Walaupun yang sering paparan 1 telinga, tetapi telinga yang lain sering juga mengalami penurunan ambang dengar ringan (Sataloff, 1993). 1.1 Fisika Bunyi

Untuk dapat mencapai telinga, maka bunyi harus dirambatkan oleh suatu perantara (medium) yang dapat membawa getaran tersebut, yakni udara. Tetapi medium lain seperti air atau benda padat dapat pula merambatkan bunyi. Gelombang bunyi tidak dirambatkan di ruangan yang hampa udara. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar + 340 meter / detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat 4 kali, dan melalui besi menjadi + 14 kali lebih besar.

7

Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara di sekitarnya dan selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di udara, getaran melakukan pemampatan

(compression) dan perenggangan (rarefaction) yang timbul secara bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan kembali ke keadaan awal (status istirahat) dan penyebaran tekanan yang cepat akan berhenti. Jenis getaran bunyi dapat dibedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak selaras. Frekuensi adalah jumlah getaran per detk. Jika suatu periode berakhir selama 1/100 detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle / siklus) dalam 1 detiknya, dan kita menyebutkan bahwa frekuensinya adalah 100 cycle / detik. Di Eropa, satuan ini disebut dengan Hertz dan disingkat menjadi Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz. Selanjutnya terminologi ini diberlakukan oleh Badan Standar Internasional (International Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang dapat diukur dengan pasti.

1.2

Sifat Gelombang Suara

Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan,8

dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara, ukuran rintangan beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang didifinisikan sebagai suatu permukaan dimana seluruh partikelnya bergetar satu fase. Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka gelombang akan merambat secara bebas. Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya akan dipantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap melalui massa dinding tersebut. Tetapi apabila dindingnya tipis, energi bunyinya akan dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1 / 1000 kali. 1.3 Intensitas Bunyi : Desibel

Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kira-kira 2 / 10.000 dyne / cm2 . Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka dalam cakupan frekuensi itu9

dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik tertentu pada skala penekanan sebagai dasar dan menyatakan titiktitik lain pada skala sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka logaritma tersebut dikalikan 20. Tidak ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan. Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002 dyne/cm2, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai dengan pendengaran terbaik mantisia. Titik awal yang lain adalah ambang rata-rata pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2 (1 mikrobar) sering dipakai sebagai tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon. Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm2 disebut skala tingkat tekanan suara (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB di atas 0.0002 dyne/cm2. Skala berdasarkan ambang pendengaran rata-rata normal disebat skala tingkat ambang dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level = HL). Jadi 60 dB HL berarti tekanan 60 desibel di atas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini. Satu perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik awal fisika (0.0002 dyne/cm2), sedangkan skala HL10

berdasarkan titik awal ukuran psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata. Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya, tingkat tekanan suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar normal tersebut, seperti yang ditetapkan oleh ANSI (American National Standard Institute).

2. Bagaimana patofisiologi gangguan pendengaran akibat bising.

Trauma akustik adalah gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan bising keras sesaat pada 1 telinga, yang kemungkinan disebabkan oleh letusan/ledakan (Sataloff, 1993). Walaupun yang sering paparan 1 telinga, tetapi telinga yang lain sering juga mengalami penurunan ambang dengar ringan. Pada banyak kasus, gangguan dengar yang disebabkan oleh trauma akustik bersifat sementara, hanya beberapa jam sampai beberapa hari dan kemudian kembali ke normal lagi. Sehingga secara umum para penderita trauma akustik tidak mengeluh/berobat ke dokter THT dan seringkali kelainan tersebut terdeteksi pada saat pemeriksaan audiometri. Gangguan dengar yang disebabkan oleh trauma akustik dan trauma kepala umumnya menyebabkan 2 tipe gejala, yakni gangguan dengar11

sementara

dan

gangguan

dengar

permanen

(Sataloff,

1993).

Apabila

penurunan ambang dengar terjadi dalam beberapa minggu, maka gangguan dengar tersebut bersifat permanen, dan bila penurunan ambang dengar mencapai 70 dB serta mencakup pula frekuensi percakapan, maka dipastikan telah terjadi kerusakan pada serabut saraf pendengaran dan telinga dalam sehingga mengakibatkan ketulian permanen (Sataloff, 1993). Pada trauma akustik, pada penderita umumnya paparan oleh bising keras sesaat yang menyebabkan gejala sensasi penuh serta suara berisik (ringing) di telinga. Pada ledakan yang sangat keras dapat terjadi pula ruptur membran timpani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran. Sedangkan trauma akustik yang telah mengenai telinga dalam dapat menimbulkan rasa sensasi penuh, suara mendenging (tinnitus) serta penurunan pendengaran. Pada telinga dalam setelah terjadi paparan trauma akustik, perubahan anatomi yang terjadi sangat bervariasi mulai dari edema sel rambut luar, nukleus mengalami piknosis sampai menghilangnya organ Corti atau

rupturnya membran Reissner. Tetapi tidak terdapat perubahan pada struktur tulang, saraf, pembuluh darah, stria vaskularis, ligamentum spiralis, limbus atau membrana basilaris (Davis et al, 1953). Apabila intensitas suara meningkat maka akan terjadi edema stria vaskularis dan akan menetap dalam beberapa hari (Duvall et al, 1974). Edema stria vaskularis diduga akibat peningkatan ion Kalium dalam perilimf karena adanya invasi dari cairan endolimf ke dalam perimfatic space (Bohne, 1976). Penelitian Beck dan Beck12

(1958) menunjukkan adanya penurunan kadar protein dan RNA pada sitoplasma sel rambut luar setelah terjadi trauma akustik, dan apabila tekanan suaranya meningkat maka kadar protein dan RNA pada sel rambut dalam juga menurun. Volsteen (1957) menyatakan bahwa paparan bising nada murni dengan intensitas 75 - 85 dB selama 2 hari akan menimbulkan penurunan enzim SDH di dalam mitokondria. Corti (1961), menemukan penurunan asetil kolin esterase pada kokhlea babi Guinea setelah paparan bising selama 3 - 4 jam dengan intensitas suara sebesar 90 dB. Zordi dan Boriani (1958) menyatakan setelah paparan bising selama 30 menit dengan intensitas 50 dB tidak didapatkan kadar glikogen dalam sel-sel rambut. Glikogen merupakan sumber energi dalam proses glikogenolisis secara anaerob. Penelitian Covel dan kawan-kawan (Davis et al, 1953 ; Eldrege et al, 1958 1961) menetapkan skala derajat kerusakan di dalam telinga dalam, yakni :

1. Nilai 1 2. Nilai 2

: Normal. : Masih dalam batas normal. Edema ringan dan piknosis sel rambut, pergeseran sel rambut, pembentukan vakuola pada sel-sel

3. Nilai 3 dan 4 : ringan nukleus

penyangga, pergeseran mesotelial dengan pembentukan lapisan tipis sel di atas membran basalis.

13

4. Nilai 5 dan 6 :

Edema

makin

hebat,

hilangnya

sebagian

sel

mesotelial, pembentukan giant cilia. 5. Nilai 7 : Sebagian sel rambut hancur/hilang, sel mesotelial hilang,

sel- sel penyangga terlepas dari membran basalis. 6. Nilai 8 : Seluruh Reissner. 7. Nilai 9 : Seluruh organ Corti kolaps, sehingga terpisah dari sel rambut dalam hilang, ruptur membran

membran basalis. Selama paparan trauma akustik, jaringan di telinga dalam memerlukan oksigen dan nutrisi lain dalam jumlah besar. Oleh sebab itu terjadi penurunan tekanan O2 di dalam kokhlea, sehingga konsumsi O2 akan meningkat (Misrahy et al & Maass et al, 1976). Peneliti lain mengatakan pada kondisi tersebut akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah di dalam kokhlea (Hawkins, 1973). Sel-sel rambut luar adalah sel-sel yang paling rentan terhadap suatu trauma akustik, sehingga akan terjadi kelayuan (floopy) dari sel-sel serabut sensoris (stereocilia). Apabila trauma akustik berlangsung lebih hebat akan menyebabkan kerusakan dan hilangnya stereocilia tersebut serta dapat merembet ke arah kerusakan sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang pada organ corti (Dobie RA, 1998). Suatu trauma akustik dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan rusaknya sel-sel rambut bagian basal, sedangkan trauma akustik dengan frekuensi rendah akan mengakibatkan rusaknya sel-sel rambut bagian apex.14

Bohne et al, dalam penelitiannya mendapatkan kerusakan pada sel-sel rambut bagian apex akibat trauma akustik dengan frekuensi rendah, dan apabila trauma akustik berlangsung terus terjadi kerusakan pula pada sel rambut bagian basal (Dobie RA, 1998). Suatu nada murni akan mengalami perjalanan gelombang suara mulai dari foramen ovale ke arah apex kokhlea, dan tiap frekuensi mempunyai lokasi khusus pada kokhlea. Frekuensi tinggi mempunyai lokasi di basal kokhlea dan frekuensi rendah di apex kokhlea. Bila kerusakan akibat frekuensi nada tinggi akan di dekat foramen ovale, dan frekuensi nada rendah di daerah apex (Wittmaack, 1907). Lokasi kerusakan terletak 10 15 mm dari foramen ovale yakni pada reseptor frekuensi 4000 Hz. Gambaran audiogramnya dikenal sebagai Boilermaker's notch atau C5-dip, dan secara anatomis area ini sesuai dengan kedudukan sel rambut luar. Bila paparan berlangsung terus menerus, notch tersebut akan lebih dalam dan lebar sehingga membentuk temporal plateau. Ini menandakan sebagian sel rambut luar telah rusak.

15

Scanning electron micrograph dari sel-sel rambut dalam kucing yang disebabkan oleh bising (Dobie R.A, 1998)3. Sebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan

pendengaran akibat bising. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar akibat bising, yakni : a. Lama paparan bising. b. Frekuensi paparan bising. c. Tingkatan/besar paparan. d. Usia. e. Jenis kelamin dari penderita.4. Sebutkan gejala dan tanda dari gangguan pendengaran akibat

bising. Gejala (symptom) :a. Penurunan fungsi pendengaran (bisa reversibel atau menetap).

b. Tinnitus. c. Kadang-kadang vertigo. Tanda (sign) :

16

a. Tes garpu tala kadangkala normal, bisa juga tuli saraf pada telinga yang terganggu. b. Pada pemeriksaan audiometric didapatkan gambaran tuli saraf pada frekuensi 4000 Hertz.

Gambaran audiogram tipe C-5 dip bilateral yang khas untuk trauma akustik (Sataloff, 1993) Hal ini terjadi karena respon telinga manusia rentan/lemah terhadap bunyi yang keras pada frekuensi 2000 8000 Hertz.

Grafik persamaan tingkat kekerasan (Equal Loudness Contour) suara tiap frekuensi pada manusia 5. Apa diagnosis banding dan diagnosis kerja dari skenario di atas.17

Diagnosis banding : a. Trauma akustik. b. Noise induce hearing loss. Diagnosis kerja : Trauma akustik.6. Bagaimana

terapi

terhadap

kasus

gangguan

pendengaran

akibat bising. a. Hindari paparan bising. b. Neurotropik. c. Vasodilator perifer. d. Terapi simptomatik. 7. Jelaskan cara mencegah agar tidak terjadi ketulian akibat paparan bising. Sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan Bangsa Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Pelita IV yang

mengarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan usia harapan hidup (Rencana PJP VII Bidang Kesehatan 1999 - 2004). Dalam kehidupan sehari-hari upaya peningkatan sumber daya manusia untuk kecerdasan dan produktifitas kerja tidak terlepas dari unsur audiovisual termasuk kesehatan telinga dan pendengaran. Salah satu faktor penting diantaranya adalah gangguan pendengaran atau ketulian.18

Perlindungan terhadap fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan (enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu- individu yang paparan oleh trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi efek paparan trauma akustik. Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni :a. Bentuk sumbat (Plug), yang dimasukkan ke dalam kanalis akustikus

eksternus secara tepat sesuai dengan ukuran masing-masing. Contohnya adalah kapas (acoustic wool), karet lunak, neopren, plastik dan sebagainya.b. Bentuk bantalan (Muff) yang dipegang dengan tali kepala dan

melingkari telinga, dimana berguna untuk menutupi telinga luar. Intensitas suara dan waktu yang diperbolehkan menurut

Occupational Safety and Health Act (OSHA), adalah sebagai berikut : Intensitas suara dan waktu yang diperbolehkan (OSHA, 1974) Duration per day (hours) Sound level (dBA)

9 6 4 3 2 1.5 1

90 92 95 97 100 102 10519

0.5 0.25

110 115

Pada grafik di bawah ini digambarkan perbandingan efektifitas antara ear plug dan ear muff atau kombinasi keduanya terhadap frekuensi.

Perbandingan efektifitas ear plug, ear muff dan kombinasi keduanya (Brenda L, 1993) Sumbat telinga (ear plug) dapat menurunkan efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan sungkup telinga (ear muff) merupakan alat protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat kebisingan yang tinggi penggunaan sumbat telinga (ear plug) saja tidak begitu baik dan disarankan untuk menggunakan kombinasi sumbat telinga (ear plug) dan sungkup telinga (ear muff) ( Brenda L et al, 1993).

20

DAFTAR PUSTAKA

Alberti P.W. 1997. Noise and the ear. Dalam : Scott Brown's Otolaryngology. Sixth edition, Edited by Alan G Kerr. Butterworth-Heinemann. London. Halaman : 2/11/7-2/11/18. Anggraeni R. 1993. Gangguan Pendengaran Akibat Bising Pada Siswa-siswa STM IV Jurusun Mesin Di Bandung. Dalam : Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis I FK UNPAD Bandung. Anggraeni R. 1999. Fungsi pendengaran dan berbagai penyebab gangguan pendengaran. Dalam : Seminar mini perkembangan dalam pengelolaan ketunarunguan. Bandung. Ballenger J.J. 1996. Audiology. Dalam : Disease of The Nose, Throat, Ear, Head and Neck.13th

Ed. Lea and Fabiger. London. Halaman 274.

Brenda L et al. 1993. Auditory Dysfimctionftom Excessive Sound Stimulation Dalam Otolaryngology-Head and Neck Surgcry. Second Edition. Edited by Charles W Cummings. Baltimore. Halaman 2897-98. Cox H.J et al. 1995. Hearing loss associated with weapon noise exposure : when to investigate an asymmetrical loss. Dalam : PMID : 7782682 (PubMed-indexed for MEDLINE). J Otolaryngol. Apr; 109(4):291-5.

21

Dancer A et al. 1992. Effectiveness of ear plugs in high-intensity impuls noise. Dalam : PMID 1564203 (PubMed-indexed for MEDLINE). J Acoust Soc Am. Mar; 91(3):1677-89. Dobie R.A. 1998. Noise Induce Hearing Loss. Dalam : Head and Neck SurgeryLaryngology. Second edition. Edited by Byron J Bailey. Lippincott-Raven Publishers. Philadelphia. HAlaman: 2155-2156. Hall J.W. 1998. Assesment of Pheriphenol and Central Auditory Function. Dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Edited by Bailey J.J. Lippincott-Raven Pub. Philadelphia-New York. Hal : 1915. Meyer S. Fox. 1985. Industrial Noise Exposure and Hearing Loss. Dalam : Disease of the Noise, Throat, Ear, ilead and Neck. 13th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Halaman: 1062-1083. Mills JH, Adkins Jr WY, Weber PC. 1998. Anatomy and physiology of hearing. Dalam : Head & Neck surgery-otolaryngology. Vol. 2. Edited by Byron J. Bailey. Second ed. Phi lade] phia-New York Lippincott-Raven publisher. Halaman: 1869-1887. Pelausa EO et al. 1995. Prevention of noise induced-hearing loss in the Canadian military. Dalam : PMID : 8537985 (PubMed-indexed for MEDLINE). J Otolaryngol. Oct; 24(5):271-80.2nd

Ed.

22

Petikan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. 1978. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja dan kebisingan di tempat kerja. S.E. Nomor 01/MEN/1978. Tanggal 7 Februari 1978. Pickles J.O. 1997. Physiology Edited of by hearing. Kerr Dalam Vol.l. : Scott 6"' Brown's London:

Otolaryngology.

A.G.

ed.

Butterworth-Heineniann. Halaman: 1/2/6 - 1/2/30. Sataloff TR and Sataloff J. 1993. Sensorineural Hearing Loss : Diagnostic Criteria. Dalam : Hearing Loss. Second Edition. Copyright by Mercel Dekker, Inc. New York. Halaman 253-257. Spirov A. 1982. Blast injuries of the aer in military artillerymen. Dalam : PMID 6964906 (PubMed-indexed for MEDLINE). Zb Voinomed Ak-ad. 24: 28-30. Ylikoski J, 1987. Audiometric configurations in acute acoustic trauma caused by firearms. Dalam : PMID : 3432989 (PubMed-indexed for MEDLINE). Scan audiol. 16(3):115-20. Ylikoski J et al. 1987. The efficiency of earmuffs against impulse noise from firearm. Dalam : PMID : 3629173 (PubMed-indexed for NEDLINE). Scan audiol. 16(2):85-8. 2497-2521. Ylikoski J. 1989. Acute acoustic trauma in Finnish conscripts. Etiological factors and characteristic of hearing impairment. Dalam : PMID : 2814330 (PubMed-indexed for MEDLINE). Scan audiol. 18(3):161-5.

23

24