tunagrahita tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi
TRANSCRIPT
TUNAGRAHITA
Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi.Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
Lemah pikiran (Feeble Minded)
Terbelakang mental (Mentally Retarded)
Bodoh atau dungu (Idiot)
Pandir (Imbecile)
Tolol (Moron)
Oligofrenia (Oligophrenia)
Mampu Didik (Educable)
Mampu Latih (Trainable)
Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
Mental Subnormal
Defisit Mental
Defisit Kognitif
Cacat Mental
Defisiensi Mental
Gangguan Intelektual
Pengertian Tunagrahita menurut American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20) sebagai berikut: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools
Hati-hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi, keliru
pendekatan dan terapi sangat beresiko menghambat perkembangan intelegensia anak. Tidak
selamanya anak-anak yang sulit berkomunikasi itu adalah anak tuna grahita. Bisa jadi anak yang
bergejala demikian tergolong autisme. Antara autisme dan tuna grahita terdapat perbedaan
mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda.
Menurut Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan SLB Depdiknas, Autisme adalah anak
yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan
sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak
sinkron, ada yang maju pesat sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja.Survey menunjukkan
anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas.
Adapun tuna grahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di
bawah rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-
tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi syarafnya tidak sempurna. Anak-anak
seperti ini lahir dari ibu kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi, tetapi dalam
perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan
sesuatu. Autisme hanyalah satu dari delapan jenis kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran
layanan pendidikan khusus yang kini dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis
kelainan lainnya mencakup tuna netra (gangguan penglihatan), tuna daksa (kelainan pada alat
gerak/tulang, sendi, dan otot), tuna grahita (keterbelakangan mental), dan tuna laras (bertingkah
laku aneh).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang
mengalami kelainan seperti itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru
kurang lebih 50. 000 anak mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU
Sisdiknas, anak berkebutuhan khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak
lainnya. (Disadur dari: Spirit Edisi 8 Tahun I, Desember 2006)
Sangat dipahami oleh semua guru, bahwa anak tunagrahita memiliki IQ yang jauh di bawah rata-
rata normal. Karena IQ di bawah rata-rata inilah mereka dikelompokkan sebagai anak
tunagrahita. Tratment yang diberikan kepada anak tunagrahita lebih difokuskan kepada life skill
dan kemampuan merawat diri. 70% muatan pendidikan bagi anak tunagrahita difokuskan pada
kedua hal tersebut, selebihnya muatan-muatan akademik tetap diberikan untuk melengkapi
kebutuhan hidupnya. Apakah dengan pembagian seperti ini, anak tunagrahita dapat meraih
kesuksesan hidup? Tentu hal ini telah diperhitungkan dengan sangat jeli oleh pakar pendidikan
luar biasa.
Para orang tua anak tunagrahita memiliki kecenderungan untuk berpikir terbalik. Mereka
berharap 70% muatan lebih difokuskan pada kemampuan akademik. Mereka akan sangat
bangga, jika nilai raport anak-anak mereka memiliki nilai yang tinggi. Menjadi persoalan, ketika
nilai yang diperoleh tidak sebanding dengan kemampuan nyata. Lalu orang tua akan ramai-ramai
complaint kepada guru yang mengajarkan anak-anak mereka. Secara berbisik-bisik mereka akan
menjatuhkan judgment bahwa, bapak atau ibu “Fulan” tidak pandai mengajar. Atau anak saya
“si-Fulan” tidak bisa membaca dan berhitung gara-gara diajar oleh pak “Fulan”.
Para bapak dan ibu guru tentu saja tidak mau jadi korban gossip yang tidak jelas ini. Mereka
beramai-ramai akan mengungkapkan alasan-alasan kenapa “si-Fulan” gagal bersama mereka.
Ada baiknya, hal ini tersampaikan sejak awal melalui diskusi bersama antara guru dan orang tua.
Sehingga guru dan orang tua sama-sama memahami batas optimal dari kemampuan anak dan
membuat kesepakatan di dalam memberikan treatment bagi anak didik.
Tuntutan keberhasilan akademik memang bukan murni milik anak tunagrahita. Di luar sana,
masih ditemukan bagaimana orang tua yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus secara
gencar memaksa anak-anak mereka untuk memiliki kemampuan akademik di atas standar kelas.
Asumsi yang berkembang bahwa, anak-anak akan memiliki kesuksesan hidup jika nilai-nilai
akademik mereka tinggi. Secapramana (1999) memberikan catatan penting untuk dicermati,
bahwa: Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ
tinggi dapat
terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ
tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran
bahwa IQ menyumbang paling banyak 20% bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80% ditentukan
oleh faktor lain. Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi
gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak
menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Ini memberikan pemahaman, bahwa anak tunagrahita akan memiliki PELUANG BESAR
UNTUK MERAIH KESUKSESAN HIDUP jika ia mampu mengembangkan kecerdasan-
kecerdasan lain di luar IQ. Lalu siapa yang bertugas mengembangkan kecerdasan-kecerdasan
lain di luar IQ tersebut? Tentu saja guru dan orang tua berpeluang untuk menghadirkan
kesempatan ini. Pandangan baru yang berkembang bahwa ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti
bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang
harus juga dikembangkan.
Salah satu kecerdasan yang selama ini sering diabaikan adalah kecerdasan emosional. Banyak
para guru melihat perkembangan dan kemajuan anak tunagrahita pada saat anak telah mampu
melakukan perubahan aktivitas akademik. Sedangkan hal-hal yang berkaitan
dengan perkembangan dan kemajuan emosional anak tunagrahita kurang mendapat tempat dan
catatan keberartian dalam kemajuan anak.
Apa saja sih yang dapat kita amati dalam memberikan point kecerdasan emosional anak
tunagrahita? Kadang-kadang guru masih kesulitan untuk mendeskripsikannya. Kecerdasan
emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan
dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur
suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk
membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin.
Keterampilan ini dapat diajakan kepada siapapun. Lebih dini diajarkan pada saat seseorang
masih anak-anak. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang
membuat seseorang menjadi lebih manusiawi. Artinya, hal ini pun dapat ditanamkan para guru
dan orang tua dalam aktivitas pembelajaran di sekolah dan di rumah.
Anak tunagrahita memiliki beberapa kecenderungan dalam hal emosi. Anak-anak yang baru
masuk sekolah umumnya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu sebagai wujud interpretasi
emosi. Ada yang amat senang, ada yang merasa cemas berlebihan, ada yang sangat cuek, ada
yang diam tanpa makna. Waktu yang dibutuhkan anak tunagrahita untuk mengalami proses
perubahan amat bervariasi, tergantung suasana sekolah, guru,
kenyamanan belajar, perlakuan teman sebaya, dan lain-lain. Jika hal ini teramati dengan jelas
oleh guru, catatan-catatan diawal yang rinci amat perlu untuk memperjelas posisi kecerdasan
emosional anak.
Hal – hal yang perlu diperhatikan guru adalah :
1. Bagimana pengendalian dirinya?
2. Bagimana semangat dirinya pada saat di sekolah?
3. Bagimana ketekunan belajarnya?
4. Bagimana cara memotivasi diri sendirinya?
5. Bagimana cara dirinya bertahan menghadapi frustrasi?
6. Bagimana kesanggupan dirinya untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi
7. Bagimana mengendalikan kesenangannya?
8. Bagimana mengatur suasana hatinya?
9. Bagimana menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan
berpikirnya
10. Bagimana cara dirinya membaca perasaan terdalam orang lain
(empati)?
11. Bagimana dirinya berdoa?
12. Bagimana kemampuannya dalam menyelesaikan konflik?
13. Bagimana kemampuan memimpinnya?
Perubahan-perubahan yang diharapkan mungkin berlangsung lama dan berlaku sepanjang anak
tunagrahita bersekolah atau sepanjang anak tunagrahita hidup. Itulah salah satu tugas guru,
memberi ruang bagi anak tunagrahita untuk memiliki kecakapan dasariah manusia, seperti
kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan,
menyelesaikan pertentangan dan kerja sama.
Pelatihan untuk menyatakan perasaan negatif (marah, frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi
amat penting. Pelampiasan yang tidak tepat justru menambah intensitas, bukan mengurangi. Cara
berpikir menentukan cara merasa, oleh karenanya berpikir positif sangatlah diperlukan. Tidak
saja anak tunagrahita yang dituntut untuk berpikir positif, gurunya pun harus mampu
mengembangkan kemampuan berpikir positif. Agar perubahan-perubahan yang diharapkan tidak
menjadi beban semua pihak.
Melatih perasaan-perasaan anak dapat disisipkan guru pada semua materi pelajaran akademik.
Sehingga guru tidak saja terfokus pada keberhasilan belajar akademik, tetapi juga diperkaya akan
keberhasilan emosional anak. Bagaimana ia memahami suatu kalimat “aku makan bolu” dalam
bacaan, bukan hanya sekedar anak pandai membaca “aku makan bolu” saja. Tetapi nilai-nilai
yang dapat dikembangkan guru dalam kalimat “aku
makan bolu”. Seperti bagaimana jika bolu itu diminta teman? Bagaimana jika bolu itu dirampas
teman? Bagaimana jika bolu itu lebih dari satu? Bagaimana jika bolu itu tidak enak? Bagaimana
jika bolu itu ... ? Pertanyaan-pertanyaan sepele yang hampir jarang diucapkan.
Ketekunan, kendali dorongan hati dan emosi, penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri
sendiri demi suatu sasaran, kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain
(empati), dan manajemen diri merupakan hal yang dapat dipelajari anak tunagrahita. Tentu saja
dibantu oleh guru. Pada saat anak tunagrahita mengembangkan skill-nya hal ini membutuhkan
ketekunan, semangat, pengendalian dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi
suatu sasaran. Biasanya anak tunagrahita kelas pemula ingin menyelesaikan tugas dengan
terburu-buru atau lamban sekali, kasar, tidak focus, mudah teralihkan, dan sebagainya. Menilai
ketekunan, semangat, pengendalian dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi
suatu sasaran anak tunagrahita membutuhkan proses yang panjang. Namun hal ini jangan sampai
terabaikan. Keberhasilan anak tunagrahita dalam hal ketekunan, semangat, pengendalian
dorongan hati dan emosi, dan penundaan pemuasan demi suatu sasaran bisa suatu saat bisa
menjadi kunci kesuksesan hidupnya.
Banyak diantar kita yang rancu membedakan antara autis dan tuna grahita. Tulisan ringkas ini mungkin bisa menambah informasi kita untuk lebih memahami dua hal tersebut, walaupun gejala-gejala yang diderita oleh anak autis dan tuna grahita memiliki kemiripan.
Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Tanda - tanda Autisme
Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
Serasa dia punya dunianya sendiri
Tidak suka berbicara dengan orang lain
Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain
Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella )bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder.
Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.
Tunagrahita
Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi. dan rahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
Lemah fikiran ( feeble-minded) Terbelakang mental (Mentally Retarded) Bodoh atau dungu (Idiot) Pandir (Imbecile) Tolol (moron) Oligofrenia (Oligophrenia) Mampu Didik (Educable) Mampu Latih (Trainable) Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat Mental Subnormal Defisit Mental Defisit Kognitif Cacat Mental Defisiensi Mental Gangguan Intelektual
American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes, yang muncul sebelum usia 16 tahun, yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku. Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
Untuk terapi autis, dikenal ada 4 metode terapi:
Terapi Perilaku Terapi Wicara Terapi Biomedik Terapi Integrasi sensoris
SEKITAR 4000 lebih penderita tuna grahita di Bali. Mereka baru terserap 5% di Sekolah Luar
Biasa (SLB) C dan SD Luar Biasa di Bali. Kebanyakan orangtua yang memiliki anak tuna
grahita merasa malu dan tertekan oleh stigma dari lingkungan. Ironisnya, mereka
memperlakukan anak dengan tidak baik, bahkan menyembunyikannya. Sikap ini justru akan
membuat anak tuna grahita tidak mampu mengembangkan diri. “Penyandang tuna grahita masih
dapat diberi bekal keterampilan demi masa depannya. Dengan syarat, anak tersebut terdeteksi
sejak dini sehingga dapat segera dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa dan dikem-bangkan
bakatnya,” ujar Made Gintil Muliartha, Kepala Sekolah SLB C Denpasar.
Ia mengatakan, keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna grahita sering menimbulkan
kekhawatiran orangtua dan masyarakat. Program SLB C diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan penyandang tuna grahita pada orang lain. Salah satu tujuan pendidikan
penyandang tuna grahita adalah menyiapkan peserta didik untuk memperoleh pekerjaan sesuai
kemampuan dan minatnya.
Ia menyatakan, spirit pertama yang harus diterima penyandang tuna grahita dari orang terdekat,
terutama orangtua. “Tiap orang dapat memberi kepercayaan bahwa mereka juga memiliki
kemampuan seperti orang lain untuk berkarya,” ujarnya.
Tiga Kategori
Penyandang tuna grahita adalah individu yang diidentifikasikan psikolog memiliki kelambanan
dalam berpikir dan belajar serta kesulitan dalam berbicara. Hal itu diukur dengan level IQ di
bawah 70, dan semua gejala itu muncul sebelum usia 18 tahun.
Menurut Gintil, kategori penyandang tuna grahita yang mampu diterima di SLB kategori C IQ
50-70 disebut mampu didik . Mereka ini dapat menerima materi pelajaran dalam bentuk
sederhana. Kategori C1 IQ 25-50 disebut mampu latih. Walaupun mereka sudah diklasifikasikan
siswa SMA Luar Biasa mereka tetap tidak bisa membaca. Kategori IQ di bawah 25 (idiot), tidak
dapat diterima di SLB C. Mereka tidak mampu menerima rangsangan. Mereka hanya duduk atau
terlentang.
Dalam pengajaran di SLB C, para guru memegang peranan penting. Mereka dituntut kesabaran
tinggi dengan tingkat emosi anak yang berbeda-beda. Namun, kata Gintil, para orangtua di
Denpasar tampaknya makin sadar tentang pentingnya memberikan keterampilan kepada para
penyandang tuna grahita.
Saat ini jumlah siswa SLB C di Denpasar 240 orang, dengan jumlah guru negeri 27 orang dan
guru honorer 7 orang. Perbandingan jumlah guru dan siswa itu, kata Gintil, belum berimbang.
Namun, tidak mudah mencari guru yang mau mengabdi di sekolah luar biasa. “Selain memiliki
keterampilan mengajar khusus, mereka harus memiliki kesabaran yang tinggi,” ujar Gintil.
Special Olympics Indonesia
Dalam upaya memberdayakan para penyandang tuna grahita, kini telah dibentuk special
olympics yakni sebuah gerakan global yang memberdayakan penyandang tuna grahita melalui
pelatihan dan kompetisi olahraga. Disebut special olympics karena kekhususannya telah diakui
international olympics committee (IOC) sebagai satu-satunya organisasi olahraga khususnya
tuna grahita. Special olympics didirikan tahun 1966 oleh Eunice Kennedy Shriver. Program
special olympics telah menyebar ke seluruh dunia dan memberdayakan banyak penyandang tuna
grahita hingga menjadi manusia yang lebih produktif di masyarakat. Indonesia bergabung
menjadi anggota tahun 1989, dan tahun 1999 masuk ke Bali.
Menurut Ketua SO Ina Bali A.A. Gde Oka, B.Sw, dalam pelantikan pengurus SO Ina Bali
Periode 2009-2013 di Aula Kantor Disdikpora Bali, Selasa (28/10), program utama SO Ina;
pelatihan dan kompetisi olahraga sepanjang tahun. Ada tujuh cabang olahraga yang telah dibina
yakni atletik, bulu tangkis, tenis meja, sepak bola, bola basket, renang, dan bocce. Bagi atlet tuna
grahita kategori low ability yang tidak dapat mengikuti kegiatan olahraga seperti biasa, dapat
mengikuti motor activites training program. Kompetisi diadakan mulai tingkat kabupaten/kota
hingga nasional. Program pendukung SO Ina di antaranya, pemeriksaan kesehatan atlet meliputi
kesehatan mata, kesehatan gigi dan mulut, telinga, fisoterapi, kesehatan kaki dan tulang. serta
pendidikan kesehatan, dan pelatihan kepemimpinan.
Ia mengatakan Bali cukup berbangga, karena prestasinya termasuk 5 besar nasional. Tahun 2004
atlet Bali meraih juara I loncat jauh dan lari 100 meter, yang diwakili SLB Tabanan. Tahun
2007 siswa SLB Karangasem menjuarai tenis meja tingkat nasional dan memperkuat tim
nasional ke Shanghai dan berhasil meraih juara harapan II tingkat dunia.
Ketua Umum SO Ina dr. Pudji Hastuti M.Sc. mengungkapkan istilah mental retardation (cacat
mental) saat ini tidak boleh digunakan karena dinilai akan makin merendahkan mental anak.
Untuk itu dipakai istilah baru yakni keterbatasan intelektual. Ia mengatakan, anak-anak tuna
grahita memunyai potensi besar jika dibina. Pendidikan olahraga adalah media utama bagi
mereka. “Kegiatan ini jangan dipandang kegiatan pelengkap,” tegas Dokter Pudji. Ia berharap
pengurus baru lebih solid dan para pengurusnya mementingkan jiwa kesukarelawanan yang
berbasis kekeluargaan.
Prgram unified sports adalah kombinasi atlet special olympics dengan atlet bukan tuna grahita
dalam teman seregu untuk pelatihan dan kompetisi. “Ini akan membuat dampak positif dan
memperbaiki pemahaman tuna grahita di kalangan masyarakat,” jelasnya. Ia menegaskan,
orangtua adalah alat bantu seumur hidup sehingga keterlibatan orangtua sangat penting.
YKI Peduli
Yayasan Kemanusiaan Indonesia (YKI) sebagai salah satu lembaga sosial yang gencar
memberikan pelayanan kesehatan mata gratis turut mendukung program SO Ina. Pilot Project
manager YKI Drs I Wayan Sukajaya yang juga salah seorang pengurus SO Ina Bali
mengatakan, selain dalam pelayanan kesehatan, YKI bekerja sama dengan para relasi turut
dalam penggalian dana. Program kesehatan YKI juga akan menyasar para penyandang tuna
grahita. Hal ini, kata Sukajaya, merupakan komitmen dan kepedulian YKI kepada para
penyandang cacat, agar mereka dapat eksis bersosialisasi di masyarakat. –ast