tugas sejarah so 1 maret

15
TUGAS SEJARAH NAMA = Dwi Retno Dewati KELAS = 8 A NO.ABSEN = 09

Upload: dwi-retno-dewati

Post on 24-May-2015

217 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas sejarah so 1 maret

TUGAS SEJARAH

NAMA = Dwi Retno Dewati

KELAS = 8 A

NO.ABSEN = 09

Page 2: Tugas sejarah so 1 maret

SMP N 1 PIYUNGANTahun pelajaran 2009/2010

Monumen Serangan Umum 1 Maret ( di dekat Alun-alun Lor kraton Yogyakarta )

Page 3: Tugas sejarah so 1 maret

Dalam agresi militer II, Belanda berhasil menangkap para pemimpin politik

dan menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Belanda ingin menunjukkan kepada dunia

bahwa pemerintahan RI telah dihancurkan dan TNI tidak memiliki kekuatan lagi.

Menghadapi tindakan Belanda tersebut, TNI menyusun kekuatan untuk melawan

Belanda. Puncak serangan TNI adalah serangan umum terhadap kota Yogyakarta

pada tanggal 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelumnya, Letkol

Soeharto mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Sri Sultan Hamengku

Buwono IX selaku Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI

memakai Sistem Wehrkreise.

Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara

terkoordinasi yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di

wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pimpinan pemerintah

sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk

membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat,

sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan

yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk

mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional

bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk

Page 4: Tugas sejarah so 1 maret

mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade

X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Untuk memudahkan penyerangan, maka dibentuk beberapa sektor yaitu:

a. sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual,

b. sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor Sardjono,

c. sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno,

d. sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.

Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan telah merayap

mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Pagi hari tanggal 1 Maret

1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, serangan dilancarkan dari segala

penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin penyerangan dari sektor Barat

sampai batas Jalan Malioboro. Rakyat membantu memperlancar jalannya

penyerangan dengan memberikan bantuan logistik. Dalam waktu enam jam kota

Yogyakarta berhasil dikuasai TNI. Pada pukul 12.00 WIB tepat, pasukan TNI

mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan rencana yang ditentukan sejak awal.

Bersamaan dengan itu bantuan Belanda tiba dengan kendaraan lapis baja serta

pesawat terbang. Belanda melakukan serangan balasan. Meskipun demikian, serangan

umum telah mencapai tujuannya.

Berikut ini tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949.

a. Ke dalam

1) Mendukung perjuangan yang dilakukan secara diplomasi.

2) Meninggikan moral rakyat dan TNI yang sedang bergerilya.

b. Ke luar

Page 5: Tugas sejarah so 1 maret

1) Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk

mengadakan ofensif.

2) Mematahkan moral pasukan Belanda.

Untuk mengenang para pejuang dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 maka

pemerintah Yogyakarta membangun “Monumen Yogya Kembali”.

LATAR BELAKANG

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan

pada bulan Desember 1949, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan

balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak

jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang

menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan

Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan

medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar,

mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.

KERUGIAN DI KEDUA BELAH PIHAK

Di pihak Belanda, 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota

polisi; selain itu 14 orang luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan

serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tentram kembali. Kesibukan lalu-

lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya

keadaan tetap tentram..

Page 6: Tugas sejarah so 1 maret

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial

merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-

Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock

(Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan

keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai

berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat

dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret

1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan

luka-luka.

JALANNYA SERANGAN UMUM

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak

dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah

Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama

Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III

Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan

Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga

dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo,

guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan

bantuan ke Yogyakarta

PERKEMBANGAN SETELAH SERANGAN UMUM 1 MARET

Page 7: Tugas sejarah so 1 maret

Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi

menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap

dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia

terhadap Belanda. Berita itu menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di

India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika

bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.

Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi dari Republik Indonesia

dan mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak

lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Kota Solo yang

menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena

membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan

penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke

tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan “Kavelerie”, persenjataan berat

- artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah

yang “menyegel” nasib Hindia Belanda untuk selamanya.

KONTROVERSI DALAM SERANGAN UMUM 1 MARET PADA ERA ORDE

BARU

Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang

terlampir dalam tulisan tersebut, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan

serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan

di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan

beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari

Page 8: Tugas sejarah so 1 maret

Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa

TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan

demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang

berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

KONTROVERSI DALAM SERANGAN UMUM 1 MARET PADA ERA

REFORMASI

Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan

tersebut datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku

Buwono IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX

memberi perintah kepada Suharto untuk melaksanakan serangan atas kota

Yogyakarta, dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret

1949. Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi

dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang

berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan

untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan

pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia

saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari atasan; apalagi

memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat. Dengan

demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang

berada di luar garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi

memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa

melibatkan atasan.

PERKEMBANGAN KONTROVERSI SERANGAN UMUM 1 MARET

Page 9: Tugas sejarah so 1 maret

Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI

waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari

20 tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan

fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan

tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis

secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan

sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada

tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.

Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1,

diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi

III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan

tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah diwawancarai

beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang disampaikan serta

kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.

Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak

dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun

tampaknya buku tersebut dibuat khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang sudah

menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan

merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa,

negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang berperan

bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR cikal bakal TNI melainkan juga dalam

perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Peran mereka

dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat peran Suharto,

Page 10: Tugas sejarah so 1 maret

yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya melaksanakan perintah

atasan.

Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater

Hutagalung, yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah

dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember

tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998;

Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis

oleh Sabam Siagian). Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto

menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997,

dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan

kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk

memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut

diterbitkan, dan menulis kata sambutan.

Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di

Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi

kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa

tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan

penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa

serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah

final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana

suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.