tugas rehabj
DESCRIPTION
hTRANSCRIPT
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
“BELL’S PALSY”
Oleh :
Tri Hasnita, S.Ked
04101401020
Pembimbing :
dr. Haidar Nasution
B A G I A N R E H A B I L I T A S I M E D I K
F A K U L T A S K E D O K T E R A N
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
I. Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Bell’s Palasy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non neo-
plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
II. Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah
b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan
rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis
auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa
sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan
kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen
stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
III. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih
tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.
IV. Etiologi
Penyebab adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer umumnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetic.
b. Kongenital
anomali kongenital (sindroma Moebius)
trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
c. Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
Sindroma paralisis n. fasialis familial
Adapun teori yang dihubungkan dengan penyakit Bell’s Palsy, sebagai berikut :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
V. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari
tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang
unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa
mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus
dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah
sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan
2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke
saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus
fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke
atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak
bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak
mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus
stapedius.
VI. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy adalah: adanya
kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan
gerakan-gerakan volunter seperti, (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat
mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut
mencong), sulit mecucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot
yang terkena yaitu m. frontalis, m. orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zygomaticus
dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam
dan asin pada ⅔ lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau
merasakan tebal-tebal di wajahnya.
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut (Chusid ,1983) adalah:
a) Lesi diluar foramen stilomastoideus: Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut
tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam
pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup
atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.
b) Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan gejala sama
seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah
⅔ bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara
pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c) Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus stapedius: Tanda dan
gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah dengan adanya hiperakusis
(pendengaran yang sangat tajam).
d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga
poin diatas, disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang
telinga.
e) Lesi di meatus akustikus internus: Tanda dan Gejala sama seperti kerusakan pada
ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulocochlearis.
f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons: Tanda dan gejala sama seperti di
atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus
vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.
VII.Diagnosa
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis
yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri
pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi
UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(4)
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah
kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka.
Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan
terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat
per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat hanya
setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat
peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
b. Pemeriksaan fisik.
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang
lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan
etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan gambaran
gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti
mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.
c. Pemeriksaan laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan
untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan
kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari
mana virus tersebut berasal.
d. Pemeriksaan radiologi.
Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose Bell’s
palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien dengan
Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada
perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI
mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,
meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus
dilakukan.
VIII. Tatalaksana
Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih
kontroversi. Juga dapat diberikan neurotropik.
Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi
Rehabilitasi Medik
IX. Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy
Program Fisioterapi
Pemanasan
Pemanasan superfisial dengan infra red.
Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
Stimulasi listrik
o Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi
dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
o Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
o Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan
gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek
mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan
sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-
serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
Program Terapi Okupasi
o Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan.
Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita,
jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur,
latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan
menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
Program Sosial Medik
o Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat
kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan
mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain
itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang
merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
Program Psikologik
o Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di
depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
Program Ortotik – Prostetik
o Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan
jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah
menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot
Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
HOME PROGAME
Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
Perawatan mata :
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
X. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas
kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat
diterima oleh pasien.
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau
beberapa otot wajah tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air
mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.
Dysgeusia (gangguan rasa).
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan
stimulus normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil
jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya.
Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak
normal.
Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan
gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai
gerakan volunter ini disebut synkinesis.
XI. Prognosis
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan
gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.(6)
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya
23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada
10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor
N. VII atau tumor kelenjar parotis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.
2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and
Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,
5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George
Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.