tugas rehabj

21
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SENIOR “BELL’S PALSY” Oleh : Tri Hasnita, S.Ked 04101401020 Pembimbing : dr. Haidar Nasution B A G I A N R E H A B I L I T A S I M E D I K F A K U L T A S K E D O K T E R A N

Upload: hyudaristy

Post on 05-Dec-2015

235 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

h

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Rehabj

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

“BELL’S PALSY”

Oleh :

Tri Hasnita, S.Ked

04101401020

Pembimbing :

dr. Haidar Nasution

B A G I A N R E H A B I L I T A S I M E D I K

F A K U L T A S K E D O K T E R A N

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

Page 2: Tugas Rehabj

I. Definisi

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa

penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang

tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.

Bell’s Palasy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non neo-

plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian

nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang

mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

II. Anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator

palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan

lakrimalis.

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba

dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik

wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan

rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis

auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,

yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa

sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut

sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan

kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.

Page 3: Tugas Rehabj

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan

serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral

nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena

posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII

dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke

meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan

dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak

ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum

untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus

superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang

dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang

melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

Page 4: Tugas Rehabj

III. Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun

sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy

rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih

tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan

terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan

trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih

tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang

dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar

19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering

terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas

maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara

dingin atau angin berlebihan.

IV. Etiologi

Penyebab adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer umumnya dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

a. Idiopatik

Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s

palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain :

sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,

hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan

imunologik dan faktor genetic.

b. Kongenital

anomali kongenital (sindroma Moebius)

trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

Page 5: Tugas Rehabj

c. Didapat

Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

Sindroma paralisis n. fasialis familial

Adapun teori yang dihubungkan dengan penyakit Bell’s Palsy, sebagai berikut :

1. Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.

2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV  (khususnya tipe 1).

3. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

V. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi

salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang

menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari

saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari

tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang

menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang

Page 6: Tugas Rehabj

unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa

mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi

supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras

kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah

somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan

kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.

Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus

dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di

sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus

dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah

sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis

fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau

gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul

bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan

2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama

Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke

saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus

fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)

Page 7: Tugas Rehabj

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot

wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat

ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke

atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak

bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar

sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada

karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak

mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus

stapedius.

VI. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy adalah: adanya

kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan

gerakan-gerakan volunter seperti, (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat

mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut

Page 8: Tugas Rehabj

mencong), sulit mecucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot

yang terkena yaitu m. frontalis, m. orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m. zygomaticus

dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis, asam

dan asin pada ⅔ lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau

merasakan tebal-tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut (Chusid ,1983) adalah:

a)       Lesi diluar foramen stilomastoideus: Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut

tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam

pada wajah  menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup

atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.

b)       Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan gejala sama

seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah

⅔ bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara

pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c)        Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus stapedius: Tanda dan

gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah dengan adanya hiperakusis

(pendengaran yang sangat tajam).

d)       Lesi yang mengenai ganglion genikuli: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga

poin diatas, disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang

telinga.

e)       Lesi di meatus akustikus internus: Tanda dan Gejala sama seperti  kerusakan pada

ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus

vestibulocochlearis.

f)         Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons: Tanda dan gejala sama seperti di

atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus

vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.

Page 9: Tugas Rehabj

VII.Diagnosa

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis

yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri

pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi

UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.(4)

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka

menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah

kelemahan pada salah satu sisi wajah.

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.

Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis

muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka.

Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air

mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan

terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat

per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat hanya

setengah bagian lidah yang terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat

peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

Page 10: Tugas Rehabj

b. Pemeriksaan fisik.

Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang

lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan

etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari

nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus

facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan gambaran

gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke

wajah bagian lateral.

Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak

sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang

diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang

diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas

nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan

dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,

frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti

mengenai pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak

meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis

Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan

untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan

kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari

mana virus tersebut berasal.

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose Bell’s

palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasien-pasien dengan

Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada

perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI

Page 11: Tugas Rehabj

mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,

meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus

dilakukan.

VIII. Tatalaksana

Terapi medikamentosa     :  Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih

kontroversi. Juga dapat diberikan neurotropik.

Terapi operatif                 :  Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi

Rehabilitasi Medik

IX. Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy

Program Fisioterapi

Pemanasan

Pemanasan superfisial dengan infra red.

Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy

Stimulasi listrik

o Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi

dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang

tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih

fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan

perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.

Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

o Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa

mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan

mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca

dengan konsentrasi penuh).

o Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan

maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle

massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek

mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus

otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan

gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek

Page 12: Tugas Rehabj

mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan

sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-

serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan

perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung

dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

Program Terapi Okupasi

o Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan

diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan.

Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita,

jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur,

latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan

menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

Program Sosial Medik

o Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan

sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.

Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat

kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak

banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan

mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain

itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang

merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

Program Psikologik

o Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa

cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau

penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di

depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

Program Ortotik – Prostetik

o Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang

sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan

Page 13: Tugas Rehabj

reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan

jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah

menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot

Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.

HOME PROGAME

Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah

yang sehat

Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum

dengan sedotan, mengunyah permen karet

Perawatan mata :

Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

X. Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas

kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat

diterima oleh pasien.

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang

merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami

regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau

beberapa otot wajah tersebut.

Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air

mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa).

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan

stimulus normal).

Page 14: Tugas Rehabj

c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan

regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil

jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya.

Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak

normal.

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan

involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan

gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai

gerakan volunter ini disebut synkinesis.

XI. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh

dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang

berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko

tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya

memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan

gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung

meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme

hemifasial.(6)

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya

23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada

10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor

N. VII atau tumor kelenjar parotis.

Page 15: Tugas Rehabj

DAFTAR PUSTAKA

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.

2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.

3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and

Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.

4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,

5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.

6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George

Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.