tugas presentasi mata kuliah lbhk
TRANSCRIPT
TUGAS PRESENTASI MATA KULIAH LBHK
(PT ASIAN AGRI)Dosen Pengampu: Diah Retno Wulandari, M.B.A.
Disusun oleh:
1. Desiyanti Eka Pratiwi (010/MPA-XIXA/058)
2. Paciolo David (010/MPA-XIXA/062)
3. Puspita Dewi P.S. (010/MPA-XIXA/063)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2010
PROFIL PT ASIAN AGRI
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan
mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan
lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific
Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri
International, dan Pacific Oil & Gas. Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar
lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT
AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19
pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah selain tiga pabrik minyak
goreng. Asian Agri Group (GAA) adalah sub kelompok Raja Garuda Mas (RGM) Group
milik taipan Sukanto Tanoto. Tanoto adalah salah satu rakyat negara terkaya di tahun
2006 menurut Majalah Forbes. Menurut majalah tersebut, keluarga Tanoto memiliki aset
senilai US $ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). RGM International memiliki aset senilai
US $ 8 miliar (sekitar Rp 72,5 triliun).
The GAA memiliki anak perusahaan yang beroperasi di sektor agribisnis dan
perkebunan. Ini adalah kedua terbesar sub-grup dari grup RGM, yang juga memiliki
APRIL dan Tech PEC sub kelompok. The GAA dengan induk perusahaan PT Asian
Agri memiliki unit di sektor agribisnis dan perkebunan. Ini juga memiliki 200.000 hektar
perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, dan perkebunan kakao di Indonesia, Filipina,
Malaysia, dan Thailand. Asian Agri adalah salah satu produsen terbesar minyak sawit
mentah (CPO) di Asia. Perusahaan memiliki 19 pabrik pengolahan CPO dan pabrik
minyak goreng.
PEC-Tech memiliki unit usaha di sektor logistik dan layanan. Ini adalah pemasok
teknologi yang melayani perusahaan yang beroperasi di pulp kertas, minyak sawit, rayon,
minyak dan gas dan sektor energi. Menawarkan jasa dari desain untuk logistik. Ini
beroperasi di Indonesia, Cina, dan Brasil. Produsen serat viscose dan pulp larut berbasis
di Shanghai, Cina. Pabrik memiliki kapasitas untuk memproduksi 115.000 ton dari
melarutkan pulp dan 60.000 ton serat viscose. Kapasitas sedang diperluas untuk 365.000
ton melarutkan pulp dan 120.000 ton serat viscose. Pacific Oil & Gas beroperasi di China
dan Indonesia melakukan eksplorasi minyak dan gas dan produksi di Jambi-Merang dan
blok Kisaran.
I. LATAR BELAKANG
Pada akhir tahun 2006 bulan terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT
AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG
di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent
saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG yang mengetahui seluk-
beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke
Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke
Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam
pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan
diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS
sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang
dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital. Salah satu dokumen
tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under
Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara
menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan
afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk kemudian dijual kembali
ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa
ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian
membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini
bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
II. PERUMUS AN MASALAH
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu:
1. Ditemukan bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Akibat dari ini, negara diperkirakan mengalami
kerugian pajak penghasilan sebesar Rp 786,3 miliar.
2. Hasil penyidikan terhadap 14 perusahaan menunjukkan yang berada di bawah Asian
Agri, kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu
diduga telah memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan pajak sepanjang tiga
tahun sejak 2002. Modusnya antara lain melalui:
a. Penggelembungan biaya (Rp 1,5 triliun)
b. Pembengkakan kerugian transaksi ekspor (Rp 232 miliar)
c. Menciutkan hasil penjualan (Rp 889 miliar). Tujuannya meminimalkan profit
untuk menekan beban pajak. Akibat rekayasa semacam itu, negara diduga
telah dirugikan paling sedikit Rp 794 miliar. Dalam pemeriksaannya, aparat
pajak telah pula memeriksa sembilan kontainer berisi 1.373 kotak data terkait
dengan kasus itu. Sumber informasi penggelapan berasal dari seorang
controller keuangan yang ditangkap karena penggelapan keuangan dan telah
divonis 11 tahun oleh Mahkamah Agung.
A. Analisis Kasus Transfer Pricing PT Asian Agri Group (AAG)
PT Asian Agri adalah induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas.
Perusahaan ini milik Sukanto Tanoto, orang terkaya pada tahun 2006 versi majalah Forbes.
Kerugian negara akibat kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri telah
mencapai Rp 1,3 Triliun. Perhatian penuh pemerintah pun diberikan untuk menangani kasus
pajak terbesar sepanjang sejarah perpajakan negeri ini.
Dari hasil penyelidikan petugas diketahui bahwa kapal induk bisnis terbesar kedua
dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat Pemeberitahuan (SPT)
Tahunan pajak selama tiga tahun, yakni sejak tahun 2002 hingga 2005. Modus yang
dilakuakan oleh PT Asian Agri adalah dengan mennggelembungkan biaya, memperbesar
kerugian transaksi ekspor, dan menciutkan hasil penjualan. Tujuannya dalam meminimalkan
profit untuk menekan beban pajak. direktorat Jenderal Pajak telah menemukan bukti kuat
Asian Agri menggelapkan pajak. perusahaan ini terbukti menggelembungkan biaya
perusahaan sebesar Rp 1,5 Triliun, membesarkan kerugian transaksi ekspor sebesar Rp 232
Miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp 899 Miliar.
Berdasarkan bukti yang ada, hasil penghematan jumlah pajak yang harus disetor
kepada kas negara itu dialirkan dari Indonesia ke sejumlah perusahaan afiliasi PT Asian Agri
di luat negeri, seperti Hongkong, Makao, Mauritius, dan British Virgin Island lewat sejumlah
transaksi. Menariknya lagi, terungkapnya kasus pengelapan pajak yang dilakuakan Asian
Agri ini disebabkan oleh laporan dari Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial
Controller Asian Agri. Vincentius melaporkan bekas perusahaan tempatnya bekerja tersebut
karena tidak mendapatkan pengampunan dari sang taipan atas aksinya membobol rekening
PT Asian Agri senilai US$ 3,1 juta di Bank Fortis, Singapura. Terkait dengan aksinya ini, PT
Asian Agri telah melanggar beberapa ketentuan yang dimuat dalam beberapa pasal dalam
KUHP dan KUP.
Pasal 263 ayat 1 KUHP berbunyi ;
“ Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu. Diancam, jika pemakai tersebut dapat menimbulkan kerugian
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun”
Dalam hal ini PT Asian Agri telah dengan sengaja melakukan pemalsuan surat yang
diperuntukkan sebagai bukti pelaporan penghitungan dan/atau pembayaran pajak. Surat yang
dipalsu oleh PT Asian Agri adalah Surat Pemberitahuan. Menurut pasal 1 angka 11 UU KUP,
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan
pemalsuan ini, penerimaan negara rugi Rp 1,3 Triliun.
Selain memalsukan surat dalam hal ini SPT PT Asian Agri juga sekaligus sebagai pihak
pengguna surat yang telah dipalsukan tesebut, sehingga PT Asian Agri juga telah melakukan
pelanggaran terhadap pasal 263 ayat 2 KUHP yang berbunyi:
“ diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya
tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.”
Selain melanggar pasal-pasal berkenaan dengan pemalsuan surat tersebut, PT Asian Agri juga
melanggar ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan, yakni KUHP pasal
372 yang berbunyi ;
“barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi
yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.”
Pengakuan barang milik sendiri disini yang terjadi dalam PT Asian Agri adalah sejumlah uang
yang sebenarnya merupakan pajak. Pajak tersebut seharusnya dibayarkan kepada kas negara dan
menjadi milik negara untuk kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terkait dengan penggelapan pajak ini, PT Asian Agri dapat dituntut dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh juta rupiah.
Pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana penggelapan adalah pasal 374 KUHP yang
berbunyi:
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau karena mendapatkan upah untuk itu,
diancam denga pidana pejara paling lama lima tahun.”
Selain pelanggaran yang dijerat dengan pasal-pasal KUHP sebagai lex generalis di atas, PT
Asian Agri juga melanggar ketentuan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai
lex specialis. Dalam pasal 39 UU KUP 1984 berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap, sehinga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit
2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4(empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Berdasarkan pasal 39 UU KUP 1984 ini, PT Asian Agri data dituntut dengan pidana
tersebut di atas. Dengan begitu, pokok pajak dan sanksi yang harus dibayarkan oleh PT Asian
Agri adalah sekitar Rp 3,9 T – Rp 6,5 T.
Dari kasus Asian Agri ini, kita dapat mengetahui bagaimana suatu kasus itu sangat
tersusun rapi dan terstruktur. Seandainya tak ada yang melaporkan, mungkin kasus ini akan terus
dilakukan dan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Kasuskasus seperti ini sungguh
sangat menarik perhatian
A. Analisis Penanganan Kasus
Meskipun pemerintah telah menargetkan kasus PT Asian Agri selesai akhir Maret 2008,
tetapu kenyataannya sampai bulan Februari 2009 masih belum ada keputusan pengadilan
mengenai penyelesaian kasus ini. Di lain pihak, upaya penyelesaian kasus-kasus perpajakan juga
harus mempertimbangkan efisiensi waktu penyelidikian. Jika waktu penyelidikan terlalu lama,
sementara bukti sulit ditemukan untuk dibawa ke pengadilan, tentunya upaya penyelesaian kasus
ini akan tidak efisien. Untuk kasus semacam ini, Direktorat Jenderal Pajak menyelesaikannya di
luar pengadilan atau out of court settlement. Penyelesaian di luar pengeadilan tersebut
dipertimbangkan mengingat aspek kecepatan waktu dan penyelamatan pendapatan negara.
Penyelesaian kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri akan membutuhkan
waktu yang lama apabila diselesaikan melalui pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan
dalam menemukan bukti tindakan transfer pricing dengan menjual CPO dengan harga di bawah
harga pasar dunia yang berbuntut pada penggelapan pajak. jika kasus-kasus pajak yang sulit
dibuktikan di pengadilan tetap dipaksakan, justru potensi penerimaan negara dapat hilang. Jalur
pengadilan pajak sangat bergantung pada temuan-temuan kantor pajak. namun, jika sulit
dibuktikan, bisa jadi pengadilan justru memutuskan tidak ditemukan unsur kerugian negara.
Dugaan atau indikasi adanya transfer pricing tersebut harus didukung dengan data-data
secara detail dan akurat mengenai berapa harga pasti penjualan CPO dalam transaksi yang
dilakukan PT Asian Agri ini bisa dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik
pemeriksaan sebagaimana yang telah diberikan, misalkan dengan menggunakan metode harga
pasar sebanding. Tidak dibenarkan tindakan asal tuding, melainkan harus ada data yang pasti.
Harga CPO dunia ditentukan atau berpatokan dengan harga pasar dunia di Rotterdam. Kesulitan
pembuktian transfer pricing ini disebabkan harga minyak sawit dunia selalu berubah-ubah
sehingga sulit dicari patokan harga, termasuk membandingkannya dengan harga pasar CPO di
Rotterdam. Ketika kontrak ekspor terjadi, bisa saja harga pasar dunia di Rotterdam sedang tinggi,
tetapi eksportir menjual lebih murah. Belum lagi biaya angkut, pajak ekspor, asuransi, dll.
Beberapa ahli, mengatakan bahwa permasalah kasus Asian Agri ini seharusnya dapat
diselesaikan apabila PT Asian Agri mau membayar utang pokok pajak dan dendanya sebesar
400% atau senilai total 6,5 Triliun rupiah. Ancaman pidana hanyalah sebagai solusi terakhir jika
WP tetap ingkar. Kasus ini pada akhirnya tetap dilimpahkan ke pengadilan dan dirjen Pajak serta
kejagung setuju bahwa masalah ini adalah kasus pidana.
Berikut ini adalah history singkat kasus Asian Agri sejak awal :
Desember 2006
Vincentius A. Susanto menyerahkan data-data dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke Komisi
Pemberantasan Korupsi.
16 Januari 2007
Tim pajak mengerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta
14 Mei 2007
Direktorat jenderal Pajak menyatakan telah menemukan bukti awal pidana pajak. kerugian
negara Rp 786 M. lima direktur jadi tersangka. Tim pajak kemudian menemukan 1.133 dus
dokumen Asian Agri di pertokoan Duta Merlin, Jakarta
25 September 2007
Direktorat jenderal Pajak mengumumkan telah menemukan bukti-bukti asli. Kerugian negara
menjadi Rp 794 M. Pemanggilan tersangka dimulai.
25 April 2008
Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara ke Kejaksaan Agung Tim pajak menetapkan 12
tersangka dan menyerahkan tujuh berkas pemeriksaan ke Kejagung. Total kerugian negara
ditaksir Rp 1,3 T.
Mei 2008
Kejaksaan mengembalikan berkas perkara ke DJP. Alasannya, masih harus diperjelas soal
pembuktian kerugian negara.
12 Juni 2008
Asian Agri mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan atas penyitaan yang
dianggap tidak sah.
1 Juli 2008
Pengadilan Jakarta Seatan mengabulkan gugatan Asian Agri dan menganggap penyitaan tidak
sah.
16 September 2008
Pajak menyita ulang tujuh truk dokumen ke kantor Asian Agri, tetapi ditolak.
Oktober 2008
Tim pajak kembali menyerahkan 14 berkas pemeriksaan, termasuk tujuh hasil revisi ke
kejaksaan agung.
November 2008
Kejaksaan agung untuk kedua kalinya mengembalikan tujuh berkas perkara pertama ke DJP.
Desember 2008
Tim pajak menyerahkan empat berkas perkara baru ke kejaksaan agung.
Januari 2009
Tim pajak menyerahkan tiga berkas perkara terakhir ke kejaksaan agung.
Maret 2009
Kejaksaan mengembalikan semua berkas hasil pemeriksaan ke tim pajak.
3 April 2009
Gelar perkara Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung
Demikianlah pembahasan kami mengenai kasus Asian Agri yang telah diperiksa sekian lama dan
telah berakhir 2009 silam