tugas makalah udang

Upload: gedeadityapr3555

Post on 14-Jul-2015

806 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I KASUS POSISI

Korban Kecelakaan Garuda Indonesia 22 Tewas 112 Selamat Rabu, 7 Maret 2007 16:35 WIB Jakarta (ANTARA) - PT Garuda Indonesia (Garuda) mengumumkan, korban tewas dalam kecelakaan pesawat GA-200 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, Rabu pagi (7/3), mencapai 22 orang tewas dan 112 lainnya selamat.

Kepala Komunikasi Perusahaan Garuda, Pujobroto, kepada pers di Kantor Pusat Garuda, Jakarta, Rabu, menyebutkan bahwa 22 orang tewas itu 21 di antaranya adalah penumpang dan satu lainnya adalah awak kabin.

Namun, Pujobroto, tidak merinci nama-nama korban yang meninggal, karena dalam proses pendataan dan identifikasi.

Mereka yang meninggal tersebut, terdiri atas 19 penumpang tewas di lokasi kejadian, seorang penumpang di Rumah Sakit Angkatan Udara dan seorang dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Satu orang lainnya adalah salah seorang dari tujuh kru pesawat GA-200. Semuanya dalam proses identifikasi," katanya.

Dijelaskannya, sebanyak 112 penumpang selamat tersebut saat ini sedang menjalani perawatan di beberapa rumah sakit di Yogyakarta, yaitu di Rumah Sakit Panti Rapih (19 penumpang), RS Panti Rini (24B penumpang) dan RS Angkatan Udara (29 penumpang).

Selain itu, RS Betehesda (34 penumpang), RS Internasional Yogyakarta (2 penumpang) dan RS Dr. Sardjito (1 penumpang).

"Dari korban selamat tersebut, satu orang saat ini berada di hotel di Yogyakarta dan dua orang lainnya sudah pulang," kata Pujobroto.

1

Pesawat GA-200 diawaki oleh tujuh orang, yakni Capt M. Marwoto Komar (Pilot in Command), Gagam Saman Rohmana (First Officer), Wiranto Wooryono (Purser), Irawati (Awak Kabin Senior), Mariati (Awak Kabin Senior), Imam Arief Iskandar (Awak Kabin Senior) dan Ratna Budiyanti (Awak Kabin Junior).

Pujobroto menambahkan, Garuda memberikan fasilitas kepada 70 keluarga korban yang dijadwalkan berangkat menuju Yogyakarta menggunakan GA-2022 pada pukul 15.00 WIB (7/3) untuk menemui para korban.

Sedangkan, bagi keluarga korban yang ingin kembali esok (8/3), Garuda juga menyiapkan satu pesawat yang dijadwalkan berangkat dari Yogyakarta pada pukul 19.00 WIB (GA-2152).

Pesawat GA-200 melayani rute Jakarta-Yogyakarta, berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 06.00 WIB dan rencana kedatangan di Yogyakarta pada pukul 06.55 WIB, mengalami musibah terbakar saat mendarat di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.

Pesawat dengan register PK-GZC jenis B 737-400 ini dibuat tahun 1992 oleh Boeing Company dan bergabung dengan armada Garuda sejak 2002. (*)

Editor: Priyambodo RH COPYRIGHT 20111

1

http://www.antaranews.com/view/?i=1173260118&c=NAS&s=, diakses pada tanggal 16 Desember 2011, pukul 17.00

2

BAB II LANDASAN TEORI

Masalah Tanggung Jawab Pada Penerbangan dan Angkutan Udara Para pakar hukum memberi definisi hukum udara sebagai serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara,

pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional. 2 Salah satu aspek dalam rangka perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan udara dan pihak ketiga, yang mungkin menderita kerugian sebagai akibat dari kegiatan penerbangan dan angkutan udara adalah masalah tanggung jawab untuk kerugian-kerugian tersebut. Dalam Hukum Udara Internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan konvensi internasional kedua yang penting setelah konvensi Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan internasional setelah Perang Dunia ke-1 adalah konvensi Warsawa 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan internasional, dan disusul dalam tahun 1933 oleh konvensi Roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga, dipermukaan bumi. Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian digantikan oleh Konvensi Roma tahun 1952.3 Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali diubah dengan beberapa protocol, yaitu Protokol The Hague 1955 dan Protokol Guatemala 1971 dengan Protokol tambahan Montreal 1975 nomor 1 sampai 4. Di samping itu terdapat suatu konvensi Tambahan, yaitu Konvensi Guadalajara 1961, yang mengatur tanggung jawab pada jenis charter tertentu. Konvensi Warsawa sampai sekarang merupakan perjanjian multilateral dalam bidang Hukum Udara Perdata yang paling banyak pesertanya dan diperlakukan pula bagi penerbangan dalam negeri, antara lain di Indonesia, meskipun dengan beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi pengangkutan udara (Staatsblad 1939 no. 100).

Prinsip-prinsip Tanggung Jawab

2

Diedriks-Verschoor, Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1991), hal. 7. 3 E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung: Penerbit Alumni, 1984), hal. 75.

3

Dari konvensi Warsawa 1929 dan konvensi-konvensi lain mengenai tanggung jawab dapat kita simpulkan adanya prinsip-prinsip tanggung jawab sebagai berikut: 1. Prinsip presumption of liability 2. Prinsip presumption of non liability 3. Prinsip absolute liability atau strict liability 4. Prinsip limitation of liability Prinsip yang pertama adalah prinsip presumption of liability. Berdasarkan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugiankerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi (tercatat) yang diangkutnya. Dalam keadaan biasa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa perlu diperhatikan apakah ada alasan hukum untuk tanggung jawab tersebut, misalnya apakah ada suatu tindakan melawan hukum atau apakah ada suatu kesalahan dalam bentuk apapun. Prinsip presumption of liability oleh beberapa penulis disebut juga presumption of fault atau presumption of negligence. Meskipun dalam aplikasinya pada akhirnya sama hasilnya sama, ada suatu perbedaan, yaitu bahwa dengan presumption of liability pengangkut dianggap bertanggung jawab, tanpa mempersoalkan apakah ada kesalahan atau tidak, tanggung jawab dibatasi. Dengan presumption of fault ada kemungkinan timbul masalah apakah suatu kesalahan dapat diduga ada dan apakah atas dugaan saja seseorang pengangkut dapat dipertanggungjawabkan, karena justru dengan prinsip presumption of liability ini, dasar tanggung jawab tidak usah dibuktikan. Prinsip yang kedua adalah prinsip presumption of non-liability. Prinsip ini hanya berlaku untuk bagasi tangan. Dengan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada bagasi tangan, yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang. Perbedaan yang principal antara bagasi tercatat dan bagasi tangan adalah bahwa bagasi tercatat diserahkan ke dalam pengawasan pengangkut, sedangkan bagasi tangan tidak. Oleh karena itu prinsip tanggung jawabnya pun harus kebalikannya, yaitu bahwa untuk bagasi tangan pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab. Prinsip yang ketiga adalah prinsip absolute liability atau strict liability. Secara umum istilah ini berarti bahwa tanggung jawab ini berlaku secara mutlak, tanpa ada kemungkinan membebaskan diri, kecuali dalam hal kerugian disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri.

4

Prinsip yang keempat adalah prinsip limitation of liability. Dalam konvensi Warsawa 1929 dan konvensi-konvensi lain dalam bidang Hukum Udara, apapun prinsip yang dipergunakan selalu disertai dengan prinsip limitation of liability, yaitu bahwa pada dasarnya tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara dibatasi sampai jumlah tertentu. 4

Sistem-sistem Tanggung Jawab

Sistem Warsawa Sistem tanggung jawab yang disebut sistem Warsawa dipergunakan dalam konvensi Warsawa 1929, Protokol the Hague 1955 yang berisikan amandemen pada konvensi Warsawa dan juga dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatsblad 1939: 100), yang dapat dikatakan merupakan Konvensi Warsawa diperlakukan bagi pengangkutan udara dalam negeri dengan beberapa tambahan dan perubahan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam sistem Warsawa adalah suatu kombinasi dari prinsip presumption of liability dan limitation of liability untuk tanggung jawab penumpang, bagasi (tercatat) dan barang muatan atau cargo dan suatu kombinasi dari prinsip presumption of non-liability dan limitation of nonliability untuk bagasi tangan (bagasi tidak tercatat, unchecked baggage, hand baggage). Dalam sistem tanggung jawab dalam konvensi Warsawa 1929, dan juga dalam Hague Protokol 1955 dan Ordonansi Pengangkutan Udara yang ditetapkan sebagai pihak yang bertanggungjawab adalah pengangkut. Pengangkut adalah setiap pihak yang mengadakan perjanjian angkutan dengan pihak penumpang atau pengirim/ penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang atau pengirim barang.5

Sistem Roma Prinsip-prinsip yang digunakan dalam konvensi Roma 1952 yang mengatur masalah tanggung jawab operator pesawat udara untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi, dipergunakan kombinasi prinsip absolute liability dan limitation of liability. Berdasarkan prinsip absolute liability4

5

Ibid, hal. 75-78. Ibid, hal. 78-79.

5

operator pesawat udara bertanggung jawab secara mutlak untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi, sehingga ia tidak dapat bebas dari tanggung jawab dengan dalih apa pun juga kecuali kalau kerugian disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri atau pegawai-pegawainya. Akan tetapi sebagai imbalannya prinsip itu dikombinasikan dengan prinsip limit ganti rugi yang cukup tinggi setelah limit tersebut dinaikkan dengan Protokol Montreal 1978. Pihak yang bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi adalah operator: pesawat udara, yaitu orang yang mempergunakan pesawat udara pada saat kerugian ditimbulkan. Orang yang terdaftar sebagai pemilik pesawat udara kecuali kalau ia dapat membuktikan bahwa seorang lain yang menjadi operator ketika kerugian terjadi. Pengertian operator lebih luas dari pengertian pengangkut, karena operator adalah juga orang atau badan hukum yang tidak bergerak dalam bidang angkutan udara tetapi misalnya sekolah penerbangan, perkumpulan olah raga atau perusahaan penyemprot hama.6

Sistem Guadalajara Prinsip-prinsip yang digunakan dalam sistem Guadalajara, meskipun tercantum dalam suatu konvensi tersendiri, yaitu konvensi Guadalajara 1961, yaitu yang mengatur tanggung jawab pada angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak yang bukan pihak yang mengadakan perjanjian angkutan (actual carrier dan contracting carrier), sebenarnya hanya merupakan suatu sub-sistem dari konvensi Warsawa 1929. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen pada Konvensi Warsawa 1929 dan memperlakukan konvensi Warsawa bagi jenis-jenis charter tertentu atau hubungan tertentu antara perusahaan-perusahaan penerbangan, yang sebelum ini agak sulit menentukan siapa yang bertanggung jawab. Dalam konvensi-konvensi Gudalajara sebagai pihak yang bertanggung jawab ditetapkan ditetapkan contracting carrier dan actual carrier. Contracting carrier adalah pengangkut yang mengadakan perjanjian angkutan dengan penumpang atau pengirim barang sedangkan actual carrier adalah pengangkut yang atas dasar kuasa dari pengangkut pertama melaksanakan perjanjian angkutan tersebut. Penumpang atau pengirim barang yang menderita kerugian dapat menuntut actual carrier atau contractual carrier atau keduanya. Hubungan hukum antara actual carrier dan

6

Ibid, hal. 81-82.

6

contractual carrier tidak akan dipengaruhi oleh konvensi ini, kecuali bahwa dalam hal hanya salah satu yang digugat, pengangkut yang lain dapat dimintanya untuk turut digugat.7

Sistem Guatemala Prinsip-prinsip yang digunakan dalam protokol Gutemala yang diadakan dalam tahun 1975 merupakan protokol amandemen pada konvensi Warasawa 1929, dan berisikan perubahan-perubahan yang prinsipil. Yang terpenting adalah bahwa ada perubahan pada sistem tanggung jawab untuk penumpang, yaitu tidak dipergunakan lagi prinsip presumption of liability akan tetapi prinsip absolute liability, sistem tanggung jawab ini berlaku bukan saja untuk penumpang, tetapi juga untuk bagasinya, baik bagasi tercatat maupun bagasi tangan. Untuk barang atau cargo tetap berlaku prinsip presumption of liability demikian pula untuk kelambatan, baik penumpang, bagasi maupun barang, diperlukan prinsip ini.8

Tanggung Jawab Hukum dalam Hukum Nasional Tanggung jawab hukum pengangkut berdasarkan hukum nasional diatur di dalam Staatsblad 1939 Nomor 100 (Stb. 1939-100),9 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 83 Tahun 195810, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992,11 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 199512 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 200913.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tanggung jawab hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1365 KUH Perdata yang biasa disebut perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaan) setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan78

Ibid, hal. 83-84. Ibid, hal. 84. 9 Stb.1939-100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara. 10 Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687. 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481. 12 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Pengangkutan Udara, Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3610. 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896.

7

kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian. Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang harus bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut harus bertanggungjawab untuk membayar ganti kerugian yang diderita. Menurut pasal 1367 KUH Perdata, tanggung jawab hukum (legal liability) kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilan yang bertindak untuk dan atas namanya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut.14

Ordonansi Pengangkutan Udara Stb. 1939-100 Tanggung jawab hukum sebagaimana diatur dalam Stb. 1939-100 dapat dijelaskan berdasarkan konsep tanggung jawab hukum dalam transportasi udara. Dalam transportasi udara terdapat tiga macam konsep tanggung jawab hukum, yakni tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability); tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability), dan tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault atau strict liability atau absolute liability).15 Konsep tanggung jawab atas dasar praduga bersalah diterapkan dalam Stb. 1939-100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara. Menurut konsep tersebut, perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan perusahaan penerbangan harus membayar kerugian yang diderita oleh penumpang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah (beban pembuktian terbalik). 16

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Secara yuridis asuransi penerbangan pertama kali diatur dalam UndangUndang Nomor 33 Tahun 1964, disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. Menurut pasal 3 ayat (1) huruf a. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 setiap penumpang yang sah dari pesawat udara perusahaan penerbangan nasionalK. Martono, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 278. 15 Ibid, hal. 285. 16 Ibid, hal. 287.14

8

wajib membayar iuran wajib melalui perusahaan penerbangan yang bersangkutan untuk menutup kerugian akibat kecelakaan selama penerbangan berlangsung. Iuran wajib tersebut akan digunakan untuk memberi santunan apabila terjadi kerugian yang menyebabkan kematian atau cacat tetap akibat kecelakaan pesawat udara.17

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan diatur dalam pasal 43, 44, dan 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 mengattur tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan/atau pengirim barang. Menurut pasal tersebut perusahaan penerbangan yang melakukan kegiatan transportasi udara komersial bertanggung jawab (liable) atas kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; kelambatan transportasi penumpang dan/atau barang yang diangkut. Tanggung jawab hukum sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (1) huruf a dan huruf b menggunakan konsep praduga bersalah (presumption of liability), sedangkan kelambatan penumpang maupun barang sebagaimana diatur dalam pasal 43 ayat (1) huruf c, berlaku konsep hukum tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Penumpang dan/atau pengirim harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan.18

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept) seperti halnya berlaku pada konvensi Warsawa 1929 dan konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability), khususnya mengenai bagasi kabin (cabin baggage). Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 141 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap misalnya kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang memengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi teracatat hilang, musnah, atau rusak yang17 18

Ibid, hal. 290. Ibid, hal. 291.

9

diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut sesuai dengan pasal 144 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut berdasarkan pasal 145 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009.19

19

Ibid, hal. 293.

10

BAB III ANALISIS

Apabila kita mencermati kasus kecelakaan pesawat GA-200 di Bandara Adi Sucipto, maka terdapat permasalahan hukum disini. Siapakah yang bertanggung jawab atas segala kerugian baik jatuhnya korban jiwa yang meninggal, luka ataupun barang-barang penumpang pesawat yang hilang maupun rusak? Dalam Bab II sudah diuraikan mengenai pertanggungjawaban hukum perusahaan penerbangan baik dari hukum internasional maupun hukum nasional. Sudah diuraikan juga berbagai macam konvensi dalam hukum internasional maupun peraturan perundang-undangan dalam hukum nasional yang mengatur mengenai pertanggungjawaban dalam hukum udara. Baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional terdapat kesamaan dalam prinsip-prinsip yang digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban hukum dalam hukum udara. Dalam kasus ini pengangkut (actual carrier maupun contractual carrier) dan operator adalah PT. Garuda Indonesia. Sehingga apabila kita menggunakan prinsip hukum praduga bersalah (presumption of liability) yang dianut oleh prokol Guatemala, Stb. 1939-100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun tentang Penerbangan maka yang PT. Garuda Indonesia dalam hal ini wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami oleh penumpang terutama untuk kerugian, nyawa, cacat badan, bagasi tercatat, dan kargo yang hilang akibat kecelakaan tersebut. Pertanggungjawaban disini sangat penting dalam upaya untuk memberikan ganti rugi kepada para korban kecelakaan GA-200 di Bandara Adi Sucipto. Dalam hal ini karena PT. Garuda Indonesia adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut maka mereka wajib memberikan ganti rugi terhadap para korban. Tulisan ini hanya akan membatasi pada masalah pertanggungjawaban dan siapa yang bertanggung jawab, tidak sampai kepada ranah mekanisme pemberian ganti rugi dan besaran ganti rugi yang diberikan.

11

DAFTAR PUSTAKA Verschoor, Diedriks. Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. 1991.

Suherman, E. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Bandung: Penerbit Alumni. 1984.

Martono, K. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2011.

Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi Indonesia, Stb.1939-100 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Pengangkutan Udara, Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3610.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896.

Internasional, Convention Relating to International Aerial Navigation, signed at Paris on 13 October 1919.

Internasional, Convenyion for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air, signed at Warsaw on 12 October 1929.

12

Internasional, Convention for Damage Caused by Foreign Aircraft to the Third Parties on the Surface, signed at Rome on 7 October 1952.

Internasional, Convention Supplementary to the Warsaw Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air Performed a Person Other than the Contracting Carrier, signed in Guadalajar, on 18 September 1961.

13