tugas lengkap pkn

25
PERATURAN DASAR PEMBUKAAN BAHWA sejarah menunjukkan, perjuangan Wartawan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, maupun mempertahankan dan mengisinya di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAHWA Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan berlandaskan Pancasila. BAHWA Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta beradab . BAHWA dalam perjuangan Rakyat Indonesia mencapai cita- citanya, Wartawan Indonesia berpegang teguh pada konstitusi negara. BAHWA dengan menyadari peranannya sebagai alat perjuangan bangsa, Wartawan Indonesia bertekad melanjutkan tradisi patriotik dalam semangat demokrasi. BAHWA dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta tanpa membedakan aliran politik, suku, ras, agama dan golongan, Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946 di kota Solo telah menyatukan diri dalam organisasi wartawan nasional bernama Persatuan Wartawan Indonesia disingkat PWI. Berdasarkan Pembukaan ini dan dengan memohon ridho Tuhan Yang Maha Esa, disusunlah Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia, yang berlaku bagi Wartawan Anggota PWI. BAB I

Upload: faizal-fiqri

Post on 09-Nov-2015

241 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

FGF

TRANSCRIPT

PERATURAN DASAR

PERATURAN DASARPEMBUKAANBAHWA sejarah menunjukkan, perjuangan Wartawan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, maupun mempertahankan dan mengisinya di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAHWA Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan berlandaskan Pancasila.

BAHWA Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, merdeka, berdaulat, adil dan makmur serta beradab .

BAHWA dalam perjuangan Rakyat Indonesia mencapai cita-citanya, Wartawan Indonesia berpegang teguh pada konstitusi negara.

BAHWA dengan menyadari peranannya sebagai alat perjuangan bangsa, Wartawan Indonesia bertekad melanjutkan tradisi patriotik dalam semangat demokrasi.

BAHWA dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta tanpa membedakan aliran politik, suku, ras, agama dan golongan, Wartawan Indonesia pada tanggal 9 Februari 1946 di kota Solo telah menyatukan diri dalam organisasi wartawan nasional bernama Persatuan Wartawan Indonesia disingkat PWI.

Berdasarkan Pembukaan ini dan dengan memohon ridho Tuhan Yang Maha Esa, disusunlah Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia, yang berlaku bagi Wartawan Anggota PWI.

BAB INAMA, ASAS, DAN SIFAT

Pasal 1(1) Organisasi ini bernama Persatuan Wartawan Indonesia, (PWI), didirikan di kota Solo pada tanggal 9 Februari 1946 untuk waktu yang tidak ditentukan.(2) PWI berasaskan Pancasila.(3) PWI adalah organisasi wartawan Indonesia independen dan profesional tanpa memandang baik suku, ras, agama, dan golongan maupun keanggotaan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan

Pasal 2

(1) PWI meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.(2) PWI Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;(3) PWI memiliki :

a. Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, dan Kode Etik Jurnalistik;b. Lambang, Panji dan Lencana;c. Hymne dan Mars.(4) Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Jurnalistik, lambang, panji, lencana, hymne dan mars, ditetapkan oleh Kongres.

Pasal 3

(1) PWI menerbitkan Kartu Anggota.(2) Bagi Anggota Biasa dan Anggota Muda, Kartu Anggota juga berlaku sebagai Kartu Pers PWI.(3) Ketentuan ayat (2) Pasal ini tidak berlaku bagi Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan.

BAB IITUJUAN DAN UPAYAPasal 4

Tujuan PWI adalah :(a) Tercapainya cita-cita Rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;(b) Terwujudnya kehidupan Pers Nasional yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab.(c) Terpenuhinya hak masyarakat memperoleh informasi yang benar dan bermanfaat.(d) Terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Pasal 5

(1) Ke dalam, PWI berupaya :a. Memupuk kepribadian wartawan Indonesia sebagai warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan taat pada konstitusi;b. Memupuk kesadaran dan komitmen wartawan Indonesia untuk berperanserta di dalam pembangunan bangsa dan negara;c. Meningkatkan ketaatan wartawan pada Kode Etik Jurnalistik, demi citra. kredibilitas, dan integritas wartawan dan PWI;d. Mengembangkan kemampuan profesional wartawan;e. Memberikan bantuan dan perlindungan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan tugas profesinya;f. Memperjuangkan kesejahteraan wartawan.

(2) Keluar PWI berupaya :a. Memperjuangkan terlaksananya peraturan perundang-undangan serta kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjamin pertumbuhan dan pengembangan pers yang merdeka, profesional, dan bermartabat.b. Menjalin kerja sama dengan unsur pemerintah, masyarakat, dan organisasi pers di dalam dan di luar negeri.

BAB IIIKEANGGOTAANPasal 6PWI beranggotakan Wartawan Indonesia, yang melaksanakan profesi kewartawanan.

Pasal 7Keanggotaan PWI terdiri atas :a. Anggota Biasa;b. Anggota Muda;c. Anggota Luar Biasa;d. Anggota Kehormatan;

Pasal 8(1) Untuk menjadi Anggota Biasa PWI seseorang harus memenuhi persyaratan:a. Sudah menjadi Anggota Muda PWI selama 2 (dua) tahun;b. Melakukan profesi kewartawanan secara aktif;c. Lulus ujian peningkatan status keanggotaan yang diselenggarakan oleh Pengurus PWI.(2) Syarat-syarat menjadi Anggota Muda, adalah :a. Warga negara Republik Indonesia;b. Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun;c. Berijazah serendah-rendahnya SMU (Sekolah Menengah Umum) atau yang sederajat sebelum tahun 2008 dan serendah-rendahanya DIII sesudah tahun 2008.d. Telah diangkat menjadi wartawan oleh media tempat yang bersangkutan bekerja.e. Tidak pernah dihukum oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan martabat dan profesi kewartawanan dan asas serta tujuan PWI.(3) Anggota Biasa yang tidak aktif lagi melakukan kegiatan kewartawanan dapat menjadi Anggota Luar Biasa.(4) Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Kehormatan PWI seseorang (Warga Negara Indonesia) harus berjasa luar biasa bagi perkembangan Pers Nasional, khususnya PWI.

Pasal 9(1) Setiap Anggota PWI berkewajiban :a. Menaati Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI, serta keputusan-keputusan organisasi;b. Menjaga kredibilitas dan integritas wartawan dan PWI.(2) Menaati Kode Etik Jurnalistik.(3) Membayar uang iuran.

Pasal 10Anggota PWI dilarang merangkap keanggotaan organisasi kewartawanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah.

Pasal 11(1) Anggota Biasa berhak :a. Menghadiri Konferensi Cabang/Perwakilan dan Konferensi Kerja Cabang/Perwakilan;b. Mengemukakan pendapat serta mengajukan usul dan saran;c. Memilih dan dipilih menjadi Pengurus jika memenuhi persyaratan;d. Memberikan suara pada pengambilan keputusan yang dilakukan melalui pemungutan suara;(2) Anggota Muda, Anggota Luar Biasa, dan Anggota Kehormatan dapat diundang menghadiri Kongres, Konferensi Cabang/Perwakilan, dan Konferensi Kerja Cabang/Perwakilan, serta dapat mengemukakan pendapat dan mengajukan usul atau saran.(3) Setiap Anggota PWI berhak memperoleh bantuan hukum atas perkara yang dihadapi berkenaan dengan profesi kewartawanannya

BAB IVORGANISASIPasal 12(1) Di tingkat nasional Kongres adalah pemegang wewenang tertinggi organisasi.(2) Di tingkat Cabang/Perwakilan Konferensi Cabang/Perwakilan adalah pemegang wewenang tertinggi.

Pasal 13(1) Pengurus Pusat PWI terdiri atas:a. Penasihat,b. Dewan Kehormatan PWIc. Pengurus Harian;d. Ketua Departemene. Direktur program(2) Pengurus Pleno Pusat PWI terdiri atas:a. Penasihat,b. Pengurus Harian;c. Departemend. Direktur program(3) Dewan Kehormatan bersifat otonom.(4) Apabila Dewan Kehormatan ikut di dalam rapat pleno Pengurus Pusat PWI, maka disebut rapat paripurna atau rapat pleno plus.

Pasal 14(1) Pengurus Harian Pusat PWI terdiri dari :a. Ketua Umum;b. Ketua Bidang Organisasi dan Daerah;c. Ketua Bidang Pembelaan Wartawan;d. Ketua Bidang Pendidikan dan Litbang;e. Ketua Bidang Kesejahteraan;f. Ketua Bidang Luar Negeri;g. Ketua Bidang Media Cetakh. Ketua Bidang Media Radio dan Televisii. Ketua Bidang Multi Mediaj. Sekretaris Jenderal;k. Wakil Sekretaris Jenderal;l. Wakil Sekretaris Jenderal;m. Bendahara Umum;n. Wakil Bendahara Umum;(2) Personalia Pengurus Harian Pusat PWI dipilih untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, terdiri atas mereka yang sudah menjadi Anggota Biasa PWI sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.(3) Khusus untuk jabatan Ketua Umum, pernah menjadi Pengurus Harian Pusat PWI/Cabang dan atau Anggota Dewan Kehormatan serta bersedia tinggal di Jakarta.(4) Atas usul Ketua Bidang Pembelaan Wartawan, Pengurus Harian dapat membentuk Kelompok Kerja Pembelaan Wartawan yang bersifat permanen atau sementara.(5) Atas usul Ketua Bidang Pendidikan dan Litbang Pengurus Harian dapat membentuk Kelompok Kerja Pendidikan dan atau Litbang yang bersifat permanen atau sementara.(6) Pada akhir masa baktinya Pengurus Pusat PWI harus menyampaikan Laporan Pertanggung-jawaban kepada Kongres.

Pasal 15(1) Departemen dibentuk sesuai dengan kebutuhan.(2) Direktur program ditetapkan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 16(1) Di tiap provinsi dibentuk Cabang PWI.(2) Khusus di Surakarta, tempat lahirnya PWI, dibentuk Cabang PWI.(3) Pengurus Cabang berkedudukan di Ibukota Provinsi, kecuali Cabang PWI Surakarta.

Pasal 17(1) Pengurus Cabang terdiri atas :a. Pengurus Harian;b. Dewan Kehormatan Daerah;c. Ketua Seksi.(2) Pengurus Pleno Cabang PWI terdiri atas:a. Pengurus Harian;b. Ketua Seksi-seksi;c. Ketua PWI Perwakilan(3) Dewan Kehormatan Daerah bersifat otonom.(4) Apabila Dewan Kehormatan Daerah mengikuti rapat Pleno Cabang, maka disebut rapat paripurna atau rapat pleno Cabang plus.(5) Pengurus Harian Cabang PWI terdiri atas :a. Ketua ;b. Wakil Ketua Bidang Organisasi;c. Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan;d. Wakil Ketua Bidang Pendidikan;e. Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan;f. Sekretaris;g. Wakil Sekretaris sebanyak-banyaknya dua orang;h. Bendahara;i. Wakil Bendahara.(6) Ketua Cabang PWI dipilih oleh Konferensi Cabang untuk masa bakti 5 tahun, dengan ketentuan:a. Untuk jabatan Ketua berlaku syarat sudah menjadi Anggota Biasa PWI sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan diutamakan yang pernah menjadi Pengurus Pleno PWI Cabang.b. Untuk jabatan lain berlaku syarat sudah menjadi Anggota Biasa PWI sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.(7) Pada akhir masa jabatannya Pengurus PWI Cabang harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban dalam Konferensi Cabang.(8) Konferensi Cabang menetapkan menerima atau menolak laporan dan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh Pengurus Cabang.(9) Seksi-seksi dibentuk sesuai dengan kebutuhan Cabang

Pasal 18Di Cabang dibentuk Tim Pembelaan Wartawan, dengan ketentuan:a. Tim diketuai oleh Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan;b. Jumlah anggota Tim disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 19(1) Pengurus Cabang PWI dapat membentuk Perwakilan PWI di wilayah Kabupaten/Kota.(2) Perwakilan PWI dapat dibentuk di dan untuk satu wilayah Kabupaten/Kota, atau untuk gabungan dari dua atau lebih Kabupaten/Kota yang berdekatan dan minimal mempunyai 5 orang anggota berstatus biasa dengan ketentuan bukan di Ibukota Provinsi.(3) Pembentukan Perwakilan PWI disahkan oleh Pengurus Cabang PWI dan dikukuhkan oleh Pengurus Pusat PWI.(4) Struktur organisasi Cabang PWI DKI Jakarta diatur secara khusus oleh Pengurus Pusat.(5) Pengurus Perwakilan PWI dipilih dari Anggota Biasa yang ada untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, terdiri atas minimal 3 orang pengurus, masing-masing Ketua, Sekretaris dan Bendahara.(6) Ketua Perwakilan dipilih oleh Konferensi Perwakilan, dengan ketetntuan :a. Untuk Ketua Perwakilan berlaku syarat sudah menjadi Anggota Biasa PWI sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.b. Untuk jabatan-jabatan lain berlaku syarat sudah menjadi anggota PWI.

Pasal 20(1) Seseorang tidak boleh menduduki jabatan yang sama dalam kepengurusan PWI lebih dari dua kali masa jabatan secara berturut-turut,(2) Pengurus tidak boleh menduduki jabatan rangkap dalam struktur organisasi PWI.(3) Pengurus PWI di Pusat maupun di Cabang dan Perwakilan tidak boleh merangkap jabatan pengurus partai politik dan organisasi yang terafiliasi.

Pasal 21(1) Di tingkat Pusat dibentuk Dewan Kehormatan.(2) Di tingkat Cabang dibentuk Dewan Kehormatan Daerah.(3) Dewan Kehormatan maupun Dewan Kehormatan Daerah bersifat otonom (dapat menggunakan Cap dan Kop Surat sendiri yang secara operasional tetap berkoordinasi dengan DK PWI).(4) Anggota Dewan Kehormatan maupun Anggota Dewan Kehormatan Daerah terdiri atas Anggota PWI yang telah menjadi Anggota Biasa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan sudah berusia 40 tahun yang diutamakan pernah menjadi pengurus PWI.(5) Dewan Kehormatan beranggotakan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, termasuk Ketua dan Sekretaris.(6) Ketua Dewan Kehormatan dipilih oleh Kongres untuk masa bakti sampai Kongres berikutnya.(7) Ketua Dewan Kehormatan Daerah dipilih oleh Konferensi Cabang. Dewan Kehormatan Daerah beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, untuk masa bakti sampai Konferensi Cabang berikutnya.

BAB VPERMUSYAWARATANPasal 22(1) Kongres diadakan sekali dalam 5 tahun.(2) Kongres mendengar dan menilai laporan pertanggungjawaban Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan.(3) Kongres menetapkan menerima atau menolak laporan pertanggungjawban Pengurus Pusat(4) Kongres menetapkan :a. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga;b. Kode Etik Jurnalistik PWI;c. Lambang, panji, lencana, himne dan mars PWI;d. Kartu Anggota/Pers;e. Keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.(5) Kongres memilih :a. Ketua Umum Pusat PWI;b. Ketua Dewan Kehormatan;c. Formatur;(6) Organisasi dapat menyelenggarakan Konvensi Nasional Wartawan Indonesia yang dihadiri oleh utusan dari media massa.(7) Organisasi dapat mengadakan Kongres Luarbiasa.(8) Diantara 2 Kongres organisasi mengadakan sekurang-kurangnya satu kali Konferensi Kerja Nasional.

Pasal 23(1) Di tingkat Cabang, organisasi mengadakan :a. Konferensi Cabang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali;b. Konferensi Kerja Cabang, sekurang-kurangnya satu kali dalam setiap periode kepengurusan.(2) Konferensi Cabang mendengar dan menilai laporan pertanggungjawaban Pengurus Cabang.(3) Konfrensi cabang menetapkan menerima atau menolak laporan pertangungjawaban pengurus cabang(4) Konferensi Cabang menetapkana. Program kerja;b. Ketua Cabang;c. Ketua Dewan Kehormatan Daerah;d. Formatur.(5) Di tingkat Cabang dapat diadakan Konferensi Luar Biasa Cabang

Pasal 24

(1) Di tingkat Perwakilan, organisasi mengadakan Konferensi Perwakilan setiap 3 (tiga) tahun sekali.(2) Konferensi Perwakilan mendengar dan menilai laporan pertanggungjawaban Pengurus, serta menetapkan program kerja, dan memilih Ketua Perwakilan.

BAB VIKEKAYAAN ORGANISASIPasal 25(1) Kekayaan organisasi terdiri atas harta bergerak dan harta tidak bergerak.(2) Keuangan organisasi diperoleh dari :a. Uang iuran;b. Usaha-usaha yang sah dan tidak bertentangan dengan tujuan serta martabat PWI;c. Sumbangan yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan tujuan dan martabat PWI.

BAB VIILAIN-LAINPasal 26(1) Pembukaan, Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga merupakan kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.(2) Perubahan Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Jurnalistik PWI, lambang, panji, lencana, mars, hymne, dan kartu anggota, ditetapkan oleh Kongres.

Pasal 27(1) Pembubaran organisasi ditetapkan oleh Kongres.(2) Apabila terjadi pembubaran organisasi, Kongres menentukan penggunaan kekayaan organisasi.

Pasal 28Hal-hal lain yang tidak atau belum diatur di dalam Peraturan Dasar ini diatur dalam Peraturan Rumah Tangga.

KEBEBASAN PERS DAN ANCAMAN HUKUM TERHADAP PERS

KEBEBASAN pers pada kenyataannya sedang di persimpangan jalan. Dunia pers mengklaim kebebasan untuk tidak dituntut oleh pengadilan kriminal: kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi tanpa hambatan dari pihak mana pun.

Undang-Undang (UU) No 40/1999 tentang Pers menyebutkan, "Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum".

Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers.

Istilah "Kebebasan Pers" sebenarnya dikonsepkan melalui suatu konklusi dari ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan (3) UU No 40/1999 beserta penjelasannya, yang pada intinya menyatakan pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan dalam upaya mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, makna kemerdekaan pers lebih luas dari makna kebebasan pers yang dipersepsikan oleh insan pers.

Pers dan kemerdekaan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat yang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam zaman reformasi ini. Namun, pada kenyataannya harus disadari pula bahwa pers kita menjadi pers yang lebih sering beretorika (meminjam istilah Satjipto Rahardjo) sehingga terkadang menyalahgunakan kebebasan sendiri (abuse of liberty).

Bahkan pers lebih pintar membeberkan omongan-omongan, pernyataan-pernyataan belaka tanpa diskusi tentang "ketuntasan". Pers hanya mencari-cari dan memburu berita-berita konsumtif mengenai ketidakberdayaan, kebobrokan dan kesensasionalan bahkan gosip tanpa memberi jalan keluar.

Olah karenanya, pers dalam media massa tidak menghasilkan informasi yang mendidik masyarakat, tetapi lebih banyak menjadi sumber provokasi. Pers yang demikian adalah pers yang retorik, yang bisa merusak bekerjanya institusi pers sesuai dengan otentitasnya yang baku. Dalam kondisi yang demikian, pers berperan besar dalam membangun bangsa yang selalu "bertindak dengan retorika" belaka.

Pers pada prinsipnya sudah menjadi kekuatan yang sangat besar mempengaruhi masyarakat, oleh karena itu beban yang dipikul pers adalah bertanggung jawab atas kebenaran dari beritanya dan dampak yang timbul dari pemberitaannya.

Yang terjadi sejauh ini terkadang pers gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasan pers seperti pornografi, penyebaran berita bohong, provokatif, sampai pada character assassination. Tidak jarang pers sengaja menciptakan opini (opiniered) terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat dengan membawa kepada opini kebersalahan (culperend).

Bagaimana kita terkadang harus mengakui, pers Indonesia tak jarang keluar dari koridor perofesionalisme dan etika jurnalistik. Kemerdekaan pers masih berjalan dalam tatanan artifisial; karena kebebasan itu banyak diterjemahkan sebagai kebebasan untuk memberitakan apa saja dengan gaya apa saja: sensasional, bombastis, provokatif, dan menyerang.

Bahkan ada anggapan bahwa pers sekarang sebagai conflict intensifier masalah SARA dan politik. Kita juga tidak dapat menutup mata melihat media yang kebablasan, cabul, bahkan terlampau liberal. Kita juga banyak menyaksikan sekelompok wartawan bodreks menggunakan pers untuk melakukan pemaksaan dan pemerasan terselubung. Ini semua adalah kekurangan dunia pers kita.

UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya.

Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya.

Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.

Hak-hak Sipil

Kebebasan pers erat kaitannya dengan hak-hak sipil masyarakat. Ada banyak kasus yang merekam tentang pelanggaran hak-hak sipil warga negara oleh pers yang diselesaikan melalui pemberitaan di Dewan Pers, misalnya kasus Djaja Suparman dan Ir Laksamana Sukardi.

Pemberitaan tentang kaburnya Laksamana adalah salah satu dari sekian banyak pemberitaan retorik yang diembuskan oleh pers. Pemberitaan-pemberitaan demikian tanpa klarifikasi dari objek berita apalagi pemberitaan yang tidak benar, maka hak-hak sipil warga negara sangat dirugikan. Oleh karena itu ancaman hukum terhadap pers bukan suatu yang ditabukan, tetapi merupakan satu sarana kontrol terhadap bekerjanya pers.

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa di balik kebebasan yang besar, pers juga memiliki tanggung jawab yang besar. Tanggung jawabnya tidak saja terletak pada kualitas pemberitaannya, tetapi juga terhadap dampak dari pemberitaan tersebut. Pemberitaan yang berlebihan bisa saja membawa dampak yang luar biasa pula.

Mencap seorang sebagai pemulung besar, bisa sangat berbahaya. Laiknya kejadian di sebuah pasar, seorang yang diteriaki maling, bisa saja berakibat buruk karena dapat saja dihakimi massa beramai-ramai. Orang yang bersalah pun bisa jadi korban. Pers bukanlah pribadi qualified privilege sehingga bebas dari hukum karena siapapun juga dapat dituntut bila melanggar hukum.

Dalam viktimisasi pers, dikenal yang namanya korban tanpa adanya si pelaku atau victims without crimes, karena korban yang terjadi akibat adanya interrelationship atau dual relationship antara pemberitaan pers dengan masyarakat.

Meminjam istilah JE Sahetapy, pers dalam hal ini bisa dikategorikan sebagai pelaku invisible criminal karena dampak pemberitaan bisa merugikan masyarakat (seperti keresahan, balas dendam, main hakim sendiri dan lain-lain) tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal karena ada hak jawab atau hak koreksi.

Oleh karena itu ahli viktimologi Schafer berpendapat untuk hal-hal seperti ini diperlukan tanggung jawab fungsional (functional responsibility) yang jauh lebih besar dari sekadar tanggung jawab pers sebagai alat reformasi ataupun demokrasi.

Tertib hukum hanya dapat diperoleh bila hukum itu sendiri dapat juga menjaga adanya freedom of the individual dan protection of the community, antara kebebasan dan social control sekaligus menjamin adanya persamaan hak bagi setiap orang menurut undang-undang (equality before the law).

John Austin pernah mengatakan, how to do things with words yang kemudian menjadi judul bukunya yang terkenal (1962). Austin mempelajari, bagaimana mempelajari pragmatik bahasa yang berkaitan antara tanda bahasa dan para pemakai bahasa. Menurut Austin, orang harus memperhatikan aspek perlokusioner bahasa yang menyangkut dampak kemasyarakatan yang ditimbulkan.

Dalam dunia pers, aspek perlokusioner bahasa pers mempunyai dampak yang sangat besar kepada masyarakat karena dilakukan secara luas ke masyarakat.

Untuk melindungi hak-hak sipil masyarakat, ancaman hukum perdata dan pidana terhadap pers merupakan hal yang wajar dan merupakan keharusan. Penyelesaian kasus sengketa dengan pemberitaan oleh Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers, bukanlah kewajiban undang-undang sehingga kita tidak bisa melarang orang untuk datang ke pengadilan perdata maupun pidana.

Dunia pers tidak bisa mengklaim secara sepihak bahwa norma norma KEWI merupakan norma hukum yang berlaku untuk sengketa pers karena sengketa pers erat kaitannya dengan masyarakat umum.

Dalam penyelesaian sengketa pers di pengadilan, maka yang kita kenal selama ini adalah pertanggungjawaban pidana dan perdata. Untuk pertanggungjawaban pidana, dunia pers dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.

Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310 ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318 KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).

Sementara untuk pertanggungjawaban perdata maka pasal 1365 jo pasal 1372 tentang perbuatan melawan hukum dengan penghinaan yang menyebabkan kerugian pada orang lain.

Terhadap perbuatan pidana yang berhubungan dengan pers, seyogianya penetapan pertanggungjawabannya berdasarkan sistem organisasi pers itu sendiri dengan mengikuti model pertanggungjawaban "siapa yang bertanggung jawab, maka ia yang berbuat".

Jadi jika pemberitaan suatu media dinilai mencemarkan nama baik seseorang, maka yang bertanggung jawab adalah siapa yang secara organisatoris bertanggung jawab di bidang pemberitaan tersebut.

Persoalan yang perlu menjadi perhatian dalam kasus pers adalah penegakan hukum perdata dan pidana terhadap dunia pers harus proporsional. Selain agar tidak bertabrakan dengan asas-asas hukum lain yang berlaku, juga agar tidak sampai membangkrutkan pers itu sendiri atau menjadikan pers itu mandul dan tidak berfungsi.

Hal itu tentu saja menjadi perhatian dari para hakim-hakim kita yang terhormat.

KODE ETIK JURNALISTIKPasal 1Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsirana. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

PenafsiranCara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsirana. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsirana. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsirana. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsirana. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Penafsirana. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsirana. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsirana. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsirana. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsirana. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Sanksi Apa Bila Melanggar Kode Etik Jurnalistik

DELIK PERS (JIKA JURNALIS MANGKIR)

+ Membocorkan rahasia negara = ancaman hukuman 7 tahun (Pasal 112).

+ Membocorkan rahasia Hankam = ancaman hukuman 4 tahun (Pasal 113)

+ Penghinaan terhadap presiden dan Wapres = ancaman hukuman lima tahun pidana.

+ Penghinaan terhadap raja atau wakil negara sahabat = 5 tahun

+ Penghinaan terhadap wakil negara asing = sembilan bulan

+ Permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah = paling lama 7 tahun.

+ Pernyataan kebencian, permusuhan dan penghinaan golongan = maksimal 4 tahun

+ Permusuhan, penodaan dan penyalahgunaan agama = maks 5 tahun

+ Penghasutan = maks 6 tahun

+ Penawaran tindak pidana = ancaman 9 bulan pidana

+ Penghinaan terhadap penguasa dan badan umum = 6 bulan

+ Pelanggaran kesusilaan = 1 tahun 6 bulan

+ Pencemaran nama baik seseorang = 9 bulan

+ Pemberitaan palsu = ancaman 4 tahun

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:

1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat. (Disunting oleh Asnawin)

WIKI SOURCE