tugas kelompok shi
DESCRIPTION
bzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzTRANSCRIPT
SISTEM HUKUM INDONESIA
TUGAS PAPER KONSEP HUKUM INDONESIA
KONSEP HUKUM DENGAN KONSEP POSITIVISME
OLEH :
1. INDAH NOVITASARI (125120500111018)
2. NABILAH GHASANI HAMDAN (125120501111026)
3. RANI LAKSWI BAY (125120502111008)
4. ANGGUN SHANDY INA MAZA (125120502111002)
5. CHILFIA APRIANA PUTRI (125120502111006)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang hukum di Indonesia, banyak ahli yang berpendapat tentang
definisi hukum itu sendiri. Namun paling tidak, terdapat konsep hukum yang bisa
diketahui, yaitu bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan yang dibuat oleh badan
yang berwenang, yang bersifat mengikat, yang berisi perintah, larangan, dan
pembolehan untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, dan ada
sanksi bagi orang yang melanggarnya. 1
Dari mata kuliah Sistem Hukum Indonesia yang kami dapat, sebenarnya
hukum tidak sekedar mengenal Undang-Undang dan peraturan saja, tapi mengenal
konsep juga. Ada 5 konsep hukum, yaitu pertama, konsep pra positivisme (konsep
paling klasik), kedua konsep hukum dengan konsep positivisme, ketiga konsep
hukum dengan keputusan hakim, keempat konsep hukum dengan konsep sebagai
pola perilaku sosial, dan yang kelima adalah konsep hukum sebagai simbol-simbol
sebagai hasil interpretasi individual dan kolektif yang intelek.
Dalam paper kali ini, kelompok kami membahas tentang konsep hukum
dengan konsep Positivisme. Mengapa, karena konsep hukum ini yang diterapkan di
Indonesia. Kemudian, menurut kami konsep hukum positivisme adalah konsep yang
paling modern, dimana kata modern ini sangat berbeda dari konsep tradisional yang
menganut azas moralitas dan keadilan. Konsep tradisional atau pra-positivisme,
sangat kental akan hukum metafisis dan moralitas-keadilan juga dijunjung tinggi
oleh masyarakatnya, sehingga apa yang dikatakan oleh pemimpinnya akan dipatuhi
sekalipun itu sangat tidak rasional. Contohnya saja, Prancis sebelum Revolusi
terdapat kekuasaan Raja Louis XIV yang merasa bahwa dirinya adalah penjelmaan
Tuhan yang ada di bumi, sehingga rakyat harus mematuhi perkataannya. Bahkan
terdapat slogan yang terkenal dari raja Louis yaitu “Negara adalah Saya, Hukum
adalah perkataan Saya”.
Sangat berbeda dengan positivisme, yang tidak mengenal azas moralitas dan
keadilan. Baginya, empirisme adalah bagian terpenting, dan metafisis mengalami
1 Definisi ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto dalam CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 38
penurunan derajat. Paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran
hukum yang mendominasi Positivisme yang lahir dalam sistem hukum Eropa
kontinental. Berupa permikiran ahli ilmu sosial Prancis, Henri Saint Simon dan
August Comte, dimana positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan
metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah
norma yang konkrit dan nyata.
Memang mempelajari hukum ini sangat erat kaitannya dengan ilmu filsafat.
Dimana filsafat yang mengenalkan konsep ranah ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Dan dari ranah epistimologi tersebut, lahirlah sebuah paradigma
positivistik dalam hukum, yang kini mulai berangsur menuju pergeseran kepada
post-positivistik.
Positivisme lahir abad 18-19 dI Barat, juga memberikan peran besar bagi
ilmu hukum. Pemikiran hukum menjadi Legal Positivistik, yaitu hukum yang
terpisah dari moralitas, humum yang diterapkan secara resmi melalui legislasi
negara, yang kemudian dikenal dengan teori kegisme sejak masa Napoleon.
Kemudian banyak negara yang mengikuti legal positivistik hingga saat ini. Inilah
pengaruh besar paradigma positivistik dalam bidang hukum dan studi hukum. 2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan konsep Positivisme Hukum?
2. Bagaimana kritik terhadap konsep Positivisme Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
2 Jurnal Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hkum dan Pembangunan Hukum Indonesia, oleh Sri Wahyuni, S.Ag.,M.Ag., M.Hum
A. PERKEMBANGAN KONSEP POSITIVISME HUKUM
Positivisme, adalah kata yang baru kita dengar sewaktu pertama kali kita
masuk dunia perkuliahan dan mempelajari tentang ilmu filsafat. Awalnya memang
susah untuk dipelajari tentang semua ranahnya, ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Namun dari ilmu filsafat yang dipelajari di semester awal itu, kami mengetahui
bahwa ilmu filsafat adalah landasan dari segala ilmu yang ada. Dan ilmu filsafat juga
menelurkan sebuah pemikiran yang disebut Positivisme.
Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagau
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan ppada data
empiris. Sesungguhnya aliran ini menolah adanya spekulasi teoritis sebagai suatu
sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik)3
Menurut August Comte (1789-1857), ada 3 tahap perkembangan dari
positivisme itu sendiri. Tahapnya yaitu;
1. Tahap pertama adalah tahap teologis. Dimana kebenaran berawal dari
politeisme dan monoteisme. Agama dan teologi lebih dominan, dan
persepsi tentang kebenaran masih bersifat fiktif.
2. Tahap yang kedua adalah tahap metafisik. Dimana filasafat menjadi sangat
dominan di era ini. persepsi tentang kebenaran berubah menjadi abstrak,
objek wacana bersifat universal, dan mereka percaya tentang abadi dan adi
kodrati.
3. Tahap ketiga adalah tahap kebenaran (positivis) yang didasari oleh akal
pengetahuan, ilmu kealaman menjadi dominan bukan lagi filsafat.
Kemudian persepsi tentang kebenaran sudah bersifat nyata, dan objek
wacananya sudah bersifat positif, akurat, dan bermanfaat.
Positivisme, juga muncul dalam bidang hukum. Aliran ini diberi nama
positivisme yuridis untuk membedakannya dengan positivisme sosiologis. 4 esensi
dari positivisme hukum adalah bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan
untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan.
3 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat (Surakarta: Muhammadiyah University Press,2005), hal. 604 Positivisme yuridis memandang hukum sebagai suatu gejala sendiri sedangkan positivisme sosiologis hukum diselidiki sebagai suatu gejala sosial melulu, Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ketujuh (Yogyakarta, Kanisius, 1993), hal. 122
Arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah
suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-
peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, membutuhkan peneguhan
dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat
dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah
negara yang bersangkutan (Theo Huijbers, 1991 : 39)
Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19
berusaha menjadikan hukum sebagai produk ilmiah (Hujibers, 1995:33). Tekanan
yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau
pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme hukum. Itu berarti, hukum
hanya dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum
harus mendpatkan pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.
Hukum lalu menjadi karya profesional para pemikir atau ahli hukum tekanan pada
dimensi ilmiah hukum ini, sebagaimana dijelaskan oleh H.L.A. Hart, justru makin
memprkuat makna istilah “hukum positif” yang paling tidak sudah sejak abad ke-14
digunakan terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan
sekaligus mempertentangkannya dengan konsep hukum kodrat. Dengan demikian,
istilah hukum positif yang lazim digunakan dalam konsep hukum untuk menekankan
dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum adalah karya atau ciptaan manusia; dan (2)
hukum dibangun diatas basis ilmiah.
Masuknya istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam
pemikiran tentang hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan
berbagai makna didalamnya. Secara umum istilah positivisme hukum memuat
berbagai makna yang menunjukkan sifat dasar dari aliran pemikiran hukum. Dan
terdapat sekurang-kurangnya 4 pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum
Pertama, positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep hukum
yang mendefinisikan hukum sebagai perintah; pemikiran hukum sebagaimana
diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris, John Austin. Gagasan ini ditolah oleh
H.L.A. Hart, meskipun bersama Austin, Hart dikenal sebagai pendukung utama
positisme hukum. Definisi Austin dipandang tidak cukup memadai terutama
terutama karena definisi seperti itu mengabaikan berbagai peraturan lainnya yang
juga berfungsiu sebagai hukum meskipun tidak harus dalam arti perintah dari
seseorang yang berdaulat sebagaimana dimengerti oleh Austin. Jadi, semua undang-
undang dan konstitusi serta hukum internasional dapat dimasukkan dalam kategori
positivisme. Bahkan, makna istilah ini juga dapat diperluas meliputi berbagai hukum
adat dan hukum yang dibuat oleh seorang hakim dalam proses pengadilan
(yurisprudensi).
Kedua, istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai
perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh dua ciri utama: (1)
hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan politik. Hukum harus netral terhadap
moral dan politik. Asalkan dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori
hukum murni yang dikembangkan Hans Kelsen; dan (2) hukum tidak berurusan
dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum yang ada. Pemisahan
ini tentu saja penting karena pertimbangan kepastian hukum. Akan tetapi, pemisahan
bagi positivisme juga dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pertanyaan
moral yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral. Objek studi
hukum ilmiah, sebagaimana dijelaskan Hart, adalah klarifikasi makna hukum serta
analisis berbagai konsep fundamental dalam hukum seperti hak, kewajiban,
kepemilikan, dan person hukum, termasuk istilah hukum itu sendiri. Jadi secara
umum tekanan studi hukum terletak pada pentingnya yurisprudensi analitis.
Ketiga, positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam
proses judisial di mana hakim mendasarkan keputusannya pada peraturan hukum
yang ada. Di sini keputusan judisial semata-mata merupakan deduksi perarursn
hukum. Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir
logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses
pengadilan di mana keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald Dworkin,
secara mekanistis. Hart menyebut konsep judisial seperti ini sabagai automatic atau
slot-machine (Andre Ata Ujan, 2009: 67).
Keempat, positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang berpendapat
bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus dapat dilakukan dengan
menunjukkan bukti-bukti faktual atau argumen rasional. Kesan seperti seperti ini
cukup kuat muncul terutama dalam pandangan Joseps Raz melalui gagasannya
tentang “mitos moralitas bersama” (the myth of common morality), pandangan yang
beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya moralitas yang
diterima oleh anggota masyarakat. Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai
positivisme sosiologis, yang sangat menekankan watak ilmiah dari hukum (Andre
Ata Ujan, 2009: 67).
Kelima, istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada pandangan
yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak adil, harus dipatuhi.
Dengan kata lain, bagi positivisme hukum tidak tergantung pada validitas moral
sebagaimana yang dituntut oleh teori hukum kodrat. Hukum hanya tidak berlaku
atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu sendiri. Namun, harus
ditambahkan bahwa pandangan seperti itu tidak berarti para penganut positivisme
hukum tidak menghargai nilai atau prinsip moral. Hart atau Kelsen, misalnya, adalah
dua pemikir hukum yang sangat menghargai nilai moral meskipun tidak harus
dicampuradukkan dengan norma hukum.
Selain itu Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum dapat dimaknai
sebagai berikut:
a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara
eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku
saat ini.
b. Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika
berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh
sebuah instrument didalam sebuah negara9
9 Ibid, Hal. 71
Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:
a. suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar
kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena
bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena
dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk
positifnya dalam instansi yang berwenang.
b. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk
hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
c. Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum
d. karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.10
B. KRITIK TERHADAP KONSEP POSITIVISME HUKUM.
Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang
berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel
mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan
menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan
semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan
juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. 16
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah
karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak
fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup
karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan
baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.17
Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni
hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang
tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Hukum merupakan bagian dari karya cipta
manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak
menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang
sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan
manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk
rasio, tetapi bagian dari intuisi.
Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi
keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.18 Aliran Positivisme hukum ini
sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence, Sosiological Yurisprudence
adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen
Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada
pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-
keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma
hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk
mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.
Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum
yang terpenting bukanlah kehendak penguasa, tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini
Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny, tetapi ia menggunakan istilah yang
lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Menurut tokoh ilmu hukum realisme F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional pengertian-
pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah
adalah putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai
bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum dalam
istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan realisme dalam
ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan idealisme
membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya akibat hukum
secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis sebagai Pound,
Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends
Of Law). Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat
istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki
kehidupan sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.
Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial
yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.
10 Ibid, Hal. 73
16Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 12517Op Cit, Sabian Usman, 21918Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan
sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-
norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat.
Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan
positivisme dalam dunia hukum.
Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi
hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat
untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa
living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga
perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai
hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan
pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.
Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk
mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti
perkembangan masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi
terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam
aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga
untuk melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan
masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-
tantangan zaman. Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-
sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu
dengan lainnya.
Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni
menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni
menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur
hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya
sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya
hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh
dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar
semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran
budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal
structure.
Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas,
tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam
berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang
belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat
penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa
aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan
keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu
(person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum.
Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan
boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam
kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang
sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai
pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya
yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang
sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan
ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam
positivisme hukum.
Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari
positivisme hukum adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang
hidup didalam masyarakat karena yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah
yang dikeluarkan oleh penguasa. Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan,
antara keadilan menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum
dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus bersumber
dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk
menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2008
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &
Huma, Jakarta, 2002
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan
Penerbit BinaCipta, Bandung