tugas kelompok shi

20
SISTEM HUKUM INDONESIA TUGAS PAPER KONSEP HUKUM INDONESIA KONSEP HUKUM DENGAN KONSEP POSITIVISME OLEH : 1. INDAH NOVITASARI (125120500111018) 2. NABILAH GHASANI HAMDAN (125120501111026) 3. RANI LAKSWI BAY (125120502111008) 4. ANGGUN SHANDY INA MAZA (125120502111002) 5. CHILFIA APRIANA PUTRI (125120502111006) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Upload: indha-nica-maharani

Post on 06-Dec-2014

109 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Kelompok SHI

SISTEM HUKUM INDONESIA

TUGAS PAPER KONSEP HUKUM INDONESIA

KONSEP HUKUM DENGAN KONSEP POSITIVISME

OLEH :

1. INDAH NOVITASARI (125120500111018)

2. NABILAH GHASANI HAMDAN (125120501111026)

3. RANI LAKSWI BAY (125120502111008)

4. ANGGUN SHANDY INA MAZA (125120502111002)

5. CHILFIA APRIANA PUTRI (125120502111006)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2013

Page 2: Tugas Kelompok SHI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang hukum di Indonesia, banyak ahli yang berpendapat tentang

definisi hukum itu sendiri. Namun paling tidak, terdapat konsep hukum yang bisa

diketahui, yaitu bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan yang dibuat oleh badan

yang berwenang, yang bersifat mengikat, yang berisi perintah, larangan, dan

pembolehan untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, dan ada

sanksi bagi orang yang melanggarnya. 1

Dari mata kuliah Sistem Hukum Indonesia yang kami dapat, sebenarnya

hukum tidak sekedar mengenal Undang-Undang dan peraturan saja, tapi mengenal

konsep juga. Ada 5 konsep hukum, yaitu pertama, konsep pra positivisme (konsep

paling klasik), kedua konsep hukum dengan konsep positivisme, ketiga konsep

hukum dengan keputusan hakim, keempat konsep hukum dengan konsep sebagai

pola perilaku sosial, dan yang kelima adalah konsep hukum sebagai simbol-simbol

sebagai hasil interpretasi individual dan kolektif yang intelek.

Dalam paper kali ini, kelompok kami membahas tentang konsep hukum

dengan konsep Positivisme. Mengapa, karena konsep hukum ini yang diterapkan di

Indonesia. Kemudian, menurut kami konsep hukum positivisme adalah konsep yang

paling modern, dimana kata modern ini sangat berbeda dari konsep tradisional yang

menganut azas moralitas dan keadilan. Konsep tradisional atau pra-positivisme,

sangat kental akan hukum metafisis dan moralitas-keadilan juga dijunjung tinggi

oleh masyarakatnya, sehingga apa yang dikatakan oleh pemimpinnya akan dipatuhi

sekalipun itu sangat tidak rasional. Contohnya saja, Prancis sebelum Revolusi

terdapat kekuasaan Raja Louis XIV yang merasa bahwa dirinya adalah penjelmaan

Tuhan yang ada di bumi, sehingga rakyat harus mematuhi perkataannya. Bahkan

terdapat slogan yang terkenal dari raja Louis yaitu “Negara adalah Saya, Hukum

adalah perkataan Saya”.

Sangat berbeda dengan positivisme, yang tidak mengenal azas moralitas dan

keadilan. Baginya, empirisme adalah bagian terpenting, dan metafisis mengalami

1 Definisi ini senada dengan definisi yang dikemukakan oleh JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto dalam CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 38

Page 3: Tugas Kelompok SHI

penurunan derajat. Paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran

hukum yang mendominasi Positivisme yang lahir dalam sistem hukum Eropa

kontinental. Berupa permikiran ahli ilmu sosial Prancis, Henri Saint Simon dan

August Comte, dimana positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan

metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah

norma yang konkrit dan nyata.

Memang mempelajari hukum ini sangat erat kaitannya dengan ilmu filsafat.

Dimana filsafat yang mengenalkan konsep ranah ontologi, epistemologi dan

aksiologi. Dan dari ranah epistimologi tersebut, lahirlah sebuah paradigma

positivistik dalam hukum, yang kini mulai berangsur menuju pergeseran kepada

post-positivistik.

Positivisme lahir abad 18-19 dI Barat, juga memberikan peran besar bagi

ilmu hukum. Pemikiran hukum menjadi Legal Positivistik, yaitu hukum yang

terpisah dari moralitas, humum yang diterapkan secara resmi melalui legislasi

negara, yang kemudian dikenal dengan teori kegisme sejak masa Napoleon.

Kemudian banyak negara yang mengikuti legal positivistik hingga saat ini. Inilah

pengaruh besar paradigma positivistik dalam bidang hukum dan studi hukum. 2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan konsep Positivisme Hukum?

2. Bagaimana kritik terhadap konsep Positivisme Hukum?

BAB II

PEMBAHASAN

2 Jurnal Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hkum dan Pembangunan Hukum Indonesia, oleh Sri Wahyuni, S.Ag.,M.Ag., M.Hum

Page 4: Tugas Kelompok SHI

A. PERKEMBANGAN KONSEP POSITIVISME HUKUM

Positivisme, adalah kata yang baru kita dengar sewaktu pertama kali kita

masuk dunia perkuliahan dan mempelajari tentang ilmu filsafat. Awalnya memang

susah untuk dipelajari tentang semua ranahnya, ontologi, epistimologi dan aksiologi.

Namun dari ilmu filsafat yang dipelajari di semester awal itu, kami mengetahui

bahwa ilmu filsafat adalah landasan dari segala ilmu yang ada. Dan ilmu filsafat juga

menelurkan sebuah pemikiran yang disebut Positivisme.

Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagau

satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan

dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan ppada data

empiris. Sesungguhnya aliran ini menolah adanya spekulasi teoritis sebagai suatu

sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme

khususnya idealisme Jerman Klasik)3

Menurut August Comte (1789-1857), ada 3 tahap perkembangan dari

positivisme itu sendiri. Tahapnya yaitu;

1. Tahap pertama adalah tahap teologis. Dimana kebenaran berawal dari

politeisme dan monoteisme. Agama dan teologi lebih dominan, dan

persepsi tentang kebenaran masih bersifat fiktif.

2. Tahap yang kedua adalah tahap metafisik. Dimana filasafat menjadi sangat

dominan di era ini. persepsi tentang kebenaran berubah menjadi abstrak,

objek wacana bersifat universal, dan mereka percaya tentang abadi dan adi

kodrati.

3. Tahap ketiga adalah tahap kebenaran (positivis) yang didasari oleh akal

pengetahuan, ilmu kealaman menjadi dominan bukan lagi filsafat.

Kemudian persepsi tentang kebenaran sudah bersifat nyata, dan objek

wacananya sudah bersifat positif, akurat, dan bermanfaat.

Positivisme, juga muncul dalam bidang hukum. Aliran ini diberi nama

positivisme yuridis untuk membedakannya dengan positivisme sosiologis. 4 esensi

dari positivisme hukum adalah bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan

untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan.

3 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat (Surakarta: Muhammadiyah University Press,2005), hal. 604 Positivisme yuridis memandang hukum sebagai suatu gejala sendiri sedangkan positivisme sosiologis hukum diselidiki sebagai suatu gejala sosial melulu, Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cetakan ketujuh (Yogyakarta, Kanisius, 1993), hal. 122

Page 5: Tugas Kelompok SHI

Arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah

suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-

peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, membutuhkan peneguhan

dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat

dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah

negara yang bersangkutan (Theo Huijbers, 1991 : 39)

Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19

berusaha menjadikan hukum sebagai produk ilmiah (Hujibers, 1995:33). Tekanan

yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau

pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme hukum. Itu berarti, hukum

hanya dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum

harus mendpatkan pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.

Hukum lalu menjadi karya profesional para pemikir atau ahli hukum tekanan pada

dimensi ilmiah hukum ini, sebagaimana dijelaskan oleh H.L.A. Hart, justru makin

memprkuat makna istilah “hukum positif” yang paling tidak sudah sejak abad ke-14

digunakan terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan

sekaligus mempertentangkannya dengan konsep hukum kodrat. Dengan demikian,

istilah hukum positif yang lazim digunakan dalam konsep hukum untuk menekankan

dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum adalah karya atau ciptaan manusia; dan (2)

hukum dibangun diatas basis ilmiah.

Masuknya istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam

pemikiran tentang hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan

berbagai makna didalamnya. Secara umum istilah positivisme hukum memuat

berbagai makna yang menunjukkan sifat dasar dari aliran pemikiran hukum. Dan

terdapat sekurang-kurangnya 4 pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum

Pertama, positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep hukum

yang mendefinisikan hukum sebagai perintah; pemikiran hukum sebagaimana

diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris, John Austin. Gagasan ini ditolah oleh

H.L.A. Hart, meskipun bersama Austin, Hart dikenal sebagai pendukung utama

positisme hukum. Definisi Austin dipandang tidak cukup memadai terutama

terutama karena definisi seperti itu mengabaikan berbagai peraturan lainnya yang

juga berfungsiu sebagai hukum meskipun tidak harus dalam arti perintah dari

Page 6: Tugas Kelompok SHI

seseorang yang berdaulat sebagaimana dimengerti oleh Austin. Jadi, semua undang-

undang dan konstitusi serta hukum internasional dapat dimasukkan dalam kategori

positivisme. Bahkan, makna istilah ini juga dapat diperluas meliputi berbagai hukum

adat dan hukum yang dibuat oleh seorang hakim dalam proses pengadilan

(yurisprudensi).

Kedua, istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai

perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh dua ciri utama: (1)

hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan politik. Hukum harus netral terhadap

moral dan politik. Asalkan dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori

hukum murni yang dikembangkan Hans Kelsen; dan (2) hukum tidak berurusan

dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum yang ada. Pemisahan

ini tentu saja penting karena pertimbangan kepastian hukum. Akan tetapi, pemisahan

bagi positivisme juga dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pertanyaan

moral yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari  moral. Objek studi

hukum ilmiah, sebagaimana dijelaskan Hart, adalah klarifikasi makna hukum serta

analisis berbagai konsep fundamental dalam hukum seperti hak, kewajiban,

kepemilikan, dan person hukum, termasuk istilah hukum itu sendiri. Jadi secara

umum tekanan studi hukum terletak pada pentingnya yurisprudensi analitis.

Ketiga, positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam

proses judisial di mana hakim mendasarkan keputusannya pada peraturan hukum

yang ada. Di sini keputusan judisial semata-mata merupakan deduksi perarursn

hukum. Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan berpikir

logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial menunjuk pada proses

pengadilan di mana keputusan hakim diambil, menurut istilah Ronald Dworkin,

secara mekanistis. Hart menyebut konsep judisial seperti ini sabagai automatic atau

slot-machine (Andre Ata Ujan, 2009: 67).

Keempat, positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang berpendapat

bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus dapat dilakukan dengan

menunjukkan bukti-bukti faktual atau argumen rasional. Kesan seperti seperti ini

cukup kuat muncul terutama dalam pandangan Joseps Raz melalui gagasannya

tentang “mitos moralitas bersama” (the myth of common morality), pandangan yang

beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya moralitas yang

Page 7: Tugas Kelompok SHI

diterima oleh anggota masyarakat. Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai

positivisme sosiologis, yang sangat menekankan watak ilmiah dari hukum (Andre

Ata Ujan, 2009: 67).

Kelima, istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada pandangan

yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak adil, harus dipatuhi.

Dengan kata lain, bagi positivisme hukum tidak tergantung pada validitas moral

sebagaimana yang dituntut oleh teori hukum kodrat. Hukum hanya tidak berlaku

atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu sendiri. Namun, harus

ditambahkan bahwa pandangan seperti itu tidak berarti para penganut positivisme

hukum tidak menghargai nilai atau prinsip moral. Hart atau Kelsen, misalnya, adalah

dua pemikir hukum yang sangat menghargai nilai moral meskipun tidak harus

dicampuradukkan dengan norma hukum.

Selain itu Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum dapat dimaknai

sebagai berikut:

a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara

eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku

saat ini.

b. Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika

berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh

sebuah instrument didalam sebuah negara9

9 Ibid, Hal. 71

Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:

a. suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar

kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena

bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena

dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk

positifnya dalam instansi yang berwenang.

Page 8: Tugas Kelompok SHI

b. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk

hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.

c. Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum

d. karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.10

B. KRITIK TERHADAP KONSEP POSITIVISME HUKUM.

Hukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang

berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel

mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan

menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan

semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan

juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. 16

Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah

karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak

fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup

karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan

baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.17

Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni

hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang

tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Hukum merupakan bagian dari karya cipta

manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak

menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang

sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan

manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk

rasio, tetapi bagian dari intuisi.

Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi

keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.18 Aliran Positivisme hukum ini

sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence, Sosiological Yurisprudence

adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen

Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada

pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-

keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma

Page 9: Tugas Kelompok SHI

hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk

mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.

Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum

yang terpenting bukanlah kehendak penguasa, tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini

Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny, tetapi ia menggunakan istilah yang

lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Menurut tokoh ilmu hukum realisme F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional pengertian-

pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah

adalah putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai

bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum dalam

istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan realisme dalam

ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan idealisme

membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya akibat hukum

secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis sebagai Pound,

Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends

Of Law). Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat

istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki

kehidupan sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.

Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang

terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial

yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada.

10 Ibid, Hal. 73

16Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 12517Op Cit, Sabian Usman, 21918Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat

yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan

sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-

norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat.

Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan

positivisme dalam dunia hukum.

Page 10: Tugas Kelompok SHI

Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi

hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat

untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa

living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga

perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai

hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan

pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.

Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk

mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti

perkembangan masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi

terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam

aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga

untuk melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan

masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-

tantangan zaman. Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-

sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu

dengan lainnya.

Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni

menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni

menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur

hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya

sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya

hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh

dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar

semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran

budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal

structure.

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas,

tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam

berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang

belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat

penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa

aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.

Page 11: Tugas Kelompok SHI

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan

keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu

(person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum.

Page 12: Tugas Kelompok SHI

Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan

boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam

kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang

sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai

pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya

yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang

sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan

ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam

positivisme hukum.

Aliran positivisme banyak menuai kritik dari para ahli hukum. Tujuan dari

positivisme hukum adalah kepastian hukum. Hukum terpisah dari norma-norma yang

hidup didalam masyarakat karena yang dikatakan hukum adalah peraturan yang sah

yang dikeluarkan oleh penguasa. Sehingga terjadinya deviasi nilai-nilai keadilan,

antara keadilan menurut hukum dan keadilan menurut masyarakat. Sejatinya hukum

dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hukum harus bersumber

dari norma-norma yang hidup dimasyarakat, karena tujuan hukum adalah untuk

menciptakan ketertiban dan keadilan ditengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum

Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010

Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010

Page 13: Tugas Kelompok SHI

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009

Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya

Paramita, Jakarta, 2008

Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,

Jakarta, 1985

Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &

Huma, Jakarta, 2002

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,

Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan

Penerbit BinaCipta, Bandung