tugas ka arma
DESCRIPTION
medicalTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan
kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi antara tingkat cedera servikal
dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi
pula morbiditas dan mortalitasnya.
Pada semua pasien trauma, terutama dengan cedera servikal adalah sangat penting untuk
menjaga potensi jalan nafas. Namun diperlukan suatu metode intubasi yang aman untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut akibat intubasi itu sendiri. Ada banyak metode yang dapat
digunakan namun ada 2 metode yang banyak di anjurkan oleh para ahli seperti metode lightwand
dan awake “anestesi sadar” dengan bronskopi fiberoptik yang flexible yang akan dipaparkan
secara rinci.
BAB II
ISI
A. CEDERA SERVIKAL
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costadan sternum). Fungsi vertebra
yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra padaorang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan
pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.
Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat olehligamen di depan dan
dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yangmempunyai daya absorbsi tinggi
terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifatfleksibel dan elastis. Semua trauma tulang
belakang harus dianggap suatu traumahebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transpotasi ke rumah sakit harusdiperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang dapt mengenai
jaringan lunak berupaligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab
traumatulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%), ,terjatuh
dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.
Leher merupakan bagian spina/tulang belakang yang paling bergerak (mobile), mempunyai tiga
fungsi utama, yaitu:
1. menopang dan memberi stabilitas pada kepala;
2. memungkinkan kepala bergerak di semua bidang gerak;
3. melindungi struktur yang melewati spina, terutamamedula spinalis, akar saraf, dan arteri
vertebra.
Spina servikal menopang kepala, memungkinkan gerakan dan posisi yang tepat. Semua pusat
saraf vital berada di kepala memungkinkan pengendalian penglihatan (vision), keseimbangan
vestibular, arahan pendengaran (auditory) dan saraf penciuman; secara esensial mengendalikan
semua fungsi neuromuskular yang sadar. Untuk itu maka kepala harus ditopang oleh spina
servikal pada posisi yang tepat agar memungkinkan gerakan spesifik untuk menyelesaikan
semua fungsi tersebut.
Kolumna servikal dibentuk oleh tujuh tulang vertebra. Spina servikal, C1-C7, terlihat dari lateral
membentuk lengkung lordosis dan kepala pada tingkat oksipitoservikal membentuk sudut yang
tajam agar kepala berada di bidang horizontal. Apabila dilihat dari anteroposterior maka spina
servikal sedikit mengangkat (tilt) kepala ke satu sisi. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh faset
pada oksiput, atlas (C1) dan aksis (C2) yang sedikit asimetrik.
Spina servikal merupakan persatuan unit fungsional yang saling tumpang-tindih (superimposed),
masing-masing terdiri atas 2 badan, yang dipisahkan oleh diskus intervertebra mulai di bawah
aksis (C2). Unit fungsional spina servikal dibagi atas dua kolumna, yaitu kolumna anterior yang
terdiri atas vertebra, ligamen longitudinal dan diskus di antaranya, serta kolumna posterior yang
meliputi kanal oseus neural, ligamen posterior, sendi zygapophyseal, dan otot erektor spina.3,4
Secara anatomis, foramen intervertebralis terletak di antara kedua kolumna tersebut. Sebenarnya,
otot servikal bagian anterior yaitu fleksor merupakan bagian dari kolumna anterior. Untuk
mengevaluasi secara fungsional maka spina servikal dibagi menjadi segmen servikal atas (di-
atas C3) dan segmen servikal bawah (C3-C7). Setiap segmen itu berfungsi berbeda.
Vertebra C1 dan C2 berbeda dari vertebra yang lain. Atlas (C1) adalah struktur seperti cincin
tanpa badan dengan dua massa lateral yang berartikulasi dengan kondilus oksipitalis di atas dan
aksis (C2) di bawah. Aksis (C2) mempunyai badan, prosesus spinosus yang bifida, dan prosesus
odontoid yang menonjol ke atas yang secara kongenital adalah badan atlas yang menyatu (fused).
Odontoid berartikulasi dengan lengkung anterior atlas. Hubungan normal tersebut
memungkinkan pemisahan <3 mm antara lengkung anterior dan atlas. Sendi tersebut dapat
menjadi lemah oleh karena trauma atau penyakit seperti artritis rheu- matoid (RA). Pemisahan 3
mm atau lebih dalam fleksi dan ekstensi dianggap tidak stabil dan merupakan bukti instabilitas.
Atlas dan aksis dalam kombinasi dengan kranial-oksiput (CO) membantu fleksi, ekstensi dan
rotasi. Artikulasi atlantooksipital (CO-C1) memungkinkan fleksi 10º dan ekstensi 25º. Rotasi
terbanyak di spina servikal terjadi di persendian C1-C2, dengan rotasi 45º ke arah kiri atau
kanan. Sedikit derajat fleksi-ekstensi terlihat juga di persendian C1-C2. Sendi sinovial asli (true
synovial joint) terletak di antara lengkung anterior atlas dan prosesus odontoid.
Vertebra regio servikal bawah masing-masing serupa dalam bentuk dan fungsi dan dapat
dikatakan merupakan unit fungsional yang khas (typical). Vertebra C3-C7 mempunyai badan
kecil dan dimensi terpanjang pada bidang koronal. Prosesus spinosus bifida dari C3 sampai C6,
dan C7 mempunyai prosesus spinosus terpanjang yang mudah teraba pada palpasi. Sendi
zygapophyseal di servikal lebih konkaf dibandingkan di torakal dan lumbal. Orientasi faset di
servikal adalah 45º (dibandingkan 60º di torakal dan 90º di lumbal). Prosesus spinosus, prosesus
transversa dan lamina menjadi daerah perlekatan otot.
Di perbatasan C2 dan C3 terdapat perubahan bentuk persendian yang menyebabkan perbedaan
bermakna dalam fungsi serta merupakan daerah transisi yang mengubah gerakan dari rotasi ke
fleksi dan ekstensi. Terjadi sekitar 10º fleksi pada masing-masing segmen dengan fleksi terbesar
pada C4-C5 dan C5-C6. Fleksi lateral terjadi terutama di C3- C4 dan C4-C5. Pemindahan
horizontal (horizontal displace-ment) vertebra >3,5 mm saat fleksi dan ekstensi atau deformitas
angular >11º menandakan instabilitas spina. Semua gerakan servikal berpasangan sehingga rotasi
dikaitkan dengan fleksi lateral dan sebaliknya. Pembatasan lingkup gerak (ROM) dalam satu
bidang memungkinkan klinisi mendeteksi segmen yang terlibat terutama letaknya apakah di
regio servikal atas atau bawah.
Vertebra servikal yang tipikal (C3-C7) mempunyai sifat khusus, yaitu bagian anterior lebih lebar
dari posterior, yang menyebabkan lordosis servikal. Permukaan superior berbentuk konkaf dari
ujung ke ujung akibat prosesus uncinatus (uncovertebral bodies) yang juga disebut sendi
Luschka. Sendi tersebut muncul dari tepi posterolateral badan vertebra dan terletak di anterior
akar saraf yang keluar dari foramen intervertebra.6 Sendi itu tidak ada saat lahir, tetapi
berkembang pada akhir dekade pertama kehidupan. Walaupun masih kontroversial, sendi itu
tidak termasuk sendi asli (true joint) karena tidak mempunyai sinovium.7 Artikulasi
uncovertebral disangka berkembang dari celah (clefts) degeneratif atau dari resorpsi jaringan
fibrosa di tepi supraposterolateral. Artikulasi tersebut dapat berdegenerasi mengalami hipertrofi
dan kalsifikasi bersamaan dengan degenerasi diskus. Proses itu dapat mengakibatkan penyem-
pitan foramen intervertebra sehingga menekan akar saraf bahkan medulla spinalis. Permukaan
inferior vertebra C3-C7 berbentuk konkaf anteroposterior dan konveks la-teral. Foramen terletak
di setiap prosesus transversum di setiap sisi badan vertebra. Arteri vertebral melalui foramen itu.
Di antara dua vertebra, mulai di bawah C2, terdapat diskus intervertebralis, yang lebih lebar
anterior diban-dingkan posterior. Setiap diskus terdiri atas annulus dan nukleus, serta
mempunyai struktur dalam yang lunak disebut nukleus pulposus. Diskus intervertebralis
mempunyai suplai vaskuler sejak lahir sampai sekitar dekade kedua dalam kehidupan saat
pembuluh darah mulai terobliterasi dan mulai terjadi kalsifikasi lempeng ujung (endplates)
vertebra. Pada dekade ketiga diskus menjadi avaskuler, dan nutrisi diskus melalui difusi dialisat
melalui endplate serta imbibisi tekanan osmotik (osmotic gradient) ion yang larut di dalam
substansi diskus. Terdapat juga faktor mekanik untuk imbibisi. Pada saat diskus mengalami
penekanan ia mengeluarkan cairan dan saat relaks menyerap cairan, penekanan-relaksasi
bergantian tersebut memungkinkan diskus menyerap (imbibition) seperti busa.
Elastisitas serabut annular dan kompresibilitas nukleus memungkinkan aksi menyerap secara
mekanik. Nukleus berupa gel proteoglikan sangat terhidrasi (80%air) dan mengandung serabut
kolagen yang tersebar (<5%). Gel proteoglikan mengandung banyak kelompok sulfat bermuatan
negatif yang menarik dan mengikat air serta mencegah difusi ke luar. Nukleus secara utuh
terkandung di dalam tabung annular yang mempertahankan tekanan intrinsik.
Serabut kolagen dikelilingi secara esensial terkandung di dalam, lapisan gel proteoglikan yang
terhidrasi, yang memberi lubrikasi dan nutrisi pada fibril kolagen. Caranya serabut annular
melekat di endplate dan interface dengan setiap lapisan memungkinkan gerakan vertebra
berseberangan di unit fungsional memberi gerakan fleksi, ekstensi dan sedikit rotasi. Mobilitas
unit fungsional vertebra servikal dibatasi oleh elastisitas terbatas serabut annular setiap annulus
intervertebral serta ligamen longitudinal anterior dan posterior (yang terikat pada setiap vertebra
dari kranium sampai sakrum).
Fleksi dibatasi oleh ligamen longitudinal posterior,ligamen intervertebra posterior, elastisitas
terbatas fascia otot ekstensor (erektor spina). Fleksi berlebihan melewati batas fisiologis juga
dibatasi oleh ligamen spinosum posterior dan interspinosum serta elastisitas fascia otot erektor
spina. Ekstensi berlebihan dibatasi oleh kontak langsung lamina, faset dan prosesus spinosus
posterosuperior. Gerakan unit fungsional ke arah manapun menyebabkan sedikit distorsi pada
diskus intervertebralis. Pada fleksi ke depan, ruang anterior diskus mengalami penekanan dengan
pemisahan simultan elemen posterior. Juga terjadi gerakan meluncur (gliding) vertebra superior
di atas vertebra berikut yang di bawahnya. Diskus intervertebralis tertekan di anterior serta
melebar di posterior, dan fleksi ini disertai sedikit gesekan (shear) anterior. Pemanjangan
berlebihan serabut annular posterior diskus dalam fleksi juga dibatasi oleh ligamen longitudinal
posterior.
Ligamen pada spina servikal adalah:
a. ligamen transversum; menahan prosesus odontoid kedalam notch yang terletak posterior di
pusat lengkung anterior, memungkinkan kepala dan atlas rotasi ke kiri dan kanan. Selain itu
mempertahankan prosesus odontoid di daerah anterior kanal spina serta memberi ruangan
cukup bagi medulla spinalis. Apabila terjadi kerusakan pada ligamen, prosesus odontoid
dapat bergerak ke posterior dan menekan medulla spinalis. Pemeriksaan radiografik dapat
memperlihatkan aspek lateral spina servikal pada fleksi ke depan, atau dengan pencitraan
MRI. Derajat penekanan dapat dilihat secara klinis dengan pemeriksaan neurologik yang
menunjukkan tanda upper motor neuron.
b. ligamen alar; membatasi rotasi dan membatasi gerakan lateral prosesus odontoid, Apabila
salah satu ligamen alar rusak, dapat menyebabkan kepala dan atlas subluksasi ke lateral.
c. ligamen accessory atlantoaksial; membatasi derajat rotasi kepala terhadap atlas dan atlas
terhadap aksis, Kerusakan salah satu ligamen tersebut dapat menyebabkan gerakan
berlebihan ke sisi berlawanan. Dapat dilihat melalui pencitraan mulut terbuka (open mouth)
dengan rotasi kepala ke dua arah. Ligamen alar dan accessory adalah ligamen pendek yang
terikat pada duastruktur tulang berdekatan sehingga mudah cedera, misalnya karena rotasi
berlebihan, tiba-tiba atau paksa (forceful).
Saraf servikal dengan formasi pleksus servikobrakhial dan saraf ke kepala berperan penting pada
fungsi ekstremitas atas dan juga terlibat dalam produksi nyeri serta kecacatan. Semua saraf
servikal mengandung serabut sensoris dan motorik kecuali saraf C1 yang hanya mempunyai
serabut motorik.8 Akar saraf servikal atas (C1-C2 dan cabang dari C3) mempersarafi kepala dan
wajah. Akar saraf C2 juga disebut greater occipital nerve adalah sumber utama nyeri kepala dan
wajah apabila terjebak, tertekan, atau teregang, atau encroached. Hunter dan Mayfield
mempostulasikan bahwa saraf C2 terjebak di antara arkus posterior aksis (C1 vertebra) dan
lamina aksis (C2). Oleh karena itu dapat dirusakapabila terjadi ekstensi berlebihan dari kepala
dengan rotasi simultan ke sisi.9 Namun demikian, secara anatomik tidak feasible.10 Akar saraf
C2 juga disangka terjebak dalam perjalanannya melalui membran atlantoaksial posterior; juga
saat saraf ini menjadi saraf perifer ketika melalui daerah kecil yang dibentuk oleh situs
perlekatan kondilus oksipital otot trapesius atas dan otot sternokleidomastoid. Saraf greater
occipital (C2 ke C3) keluar di antara percabangan kedua otot di atas dan ditahan di dalam sling
bernama Schultze’s bundle.
Di segmen servikal bawah (C3-C8) cabang sensoris dan motorik bersatu membentuk akar saraf
yang kemudian masuk foramen intervertebra. Saat memasuki foramen, akar ventral (motorik)
saraf spinal sangat dekat dengan sendi von Luschka, sedangkan akar dorsal (sensoris) terletak
dekat prosesus artikulasi dan simpai sendi. Secara normal akar saraf spinal menempati hanya
seperlima-seperempat dari foramen, dilindungi oleh penutup dan selubungnya. Setiap akar,
mengandung serabut sensoris dan motorik, diberi nomor menurut tingkat eksit dari spina servikal
serta distribusi terakhir ke ekstremitas atas. Setiap akar saraf berjalan turun anterior dan lateral
ke dalam foramen intervertebra terkandung di dalam selubung dura yang selanjutnya
mengandung serabut saraf otonomik segmental, kapiler, venules, limfatik, serabut saraf
nervosum, dan cairan spinal.
Saraf servikal keluar melalui kanal akar saraf sambil membagi diri menjadi : ramus anterior,
yang mensuplai otot prevertebra dan paravertebra serta membentuk pleksus brachialis untuk
ekstremitas atas; ramus posterior, yang membagi menjadi cabang muskular, kutan, dan artikular
untuk struktur leher posterior termasuk otot postvertebral.
Ada dua komponen sistem saraf simpatetik yang mempengaruhi daerah spina servikal.
Semuanya terlibat dalam efek sirkulasi, kelenjar keringat, dan folikel rambut, tetapi bagaimana
mereka terkait dengan nyeri dari dan dalam daerah servikal masih kontroversial. Komponen
tersebut adalah rantai simpatik (sympathetic chain) dan saraf vertebralis (vertebral nerve). Semua
ramus saraf servikal adalah saraf postganglionic kelabu (gray) tak bermielin (unmyelinated) yang
telah muncul pada sinaps di ganglia, dengan serabut preganglionic dari spina torasik. Ramus
kelabu tersebut berlanjut dalam tiga arah:
a. mendampingi akar saraf ke dalam ramus primer anterior dan posterior ke tujuan (sensoris dan
motorik) di jaringan servikal posterior dan ekstremitas atas (ekstraforamina)
b. bersinaps dengan serabut postganglionic yang berlanjut ke mata, saraf cranial, arteri kepala
dan leher, dan ke pleksus kardiak (ekstraforamina)
c. mendampingi cabang sensoris akar saraf spinal membentuk saraf sinuvertebral (saraf
Luschka atau saraf meningeal rekuren) untuk kembali melalui foramen intervertebra kedalam
kanalis spinalis. Saraf tersebut dianggap sebagai saraf sensoris ke dura, ligamen longitudinal
posterior, dan serabut diskus annular luar (intraforamina)
2. ETIOLOGI
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namunmempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal
yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempatyang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak
juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertaikerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekananRetak dapat terjadi pada tulang seperti halnya
pada logam dan bendalain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon
tentarayang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang. Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang
normal kalau tulang tersebutlunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat
rapuh.
3. PATOFISIOLOGI
Berbagai macam mekanisme trauma yang dapat menimbulkan ceedera pada tulang servikal ialah
ttrauma pembebanan gaya aksial, trauma hiperfleksi, dan trauma cambuk (whiplash injury).
Mekanisme trauma tersebut dapat menyebabkan berbagai patologi yaitu tipe vertikel, tipe
kompresi, dislokasi faset sendi intervertebral unilateral atau bilateral. Menurut Black dan
Matassarin (1993) serta Patrick dan Woods (1989). Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan
di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah
terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan
hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang
mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai
dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit.
Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cidera, tahap inimenunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang
terbentuk bisamenyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian
merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah
yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematon menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudianmenstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasmahilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema. Edema yangterbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa
menyebabkan syndroma comportement.
4. GEJALA KLINIK
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klnik fraktur adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,
tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur
dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang
kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
Patah tulang atlas
Gejala klinik yang didapatkan yaitu keluhan nyeri leher bagian atas atau neuralgia oksipitalis
dan mungkin tortikolis. Kadang penderita merasa tidak dapat mempertahankan kepala dalam
posisi tegak atau adanya perasaan instabilitas sehingga kepala harus ditopang terus-menerus
dengan kedua tangan. Sangat jarang terjadi gangguan neurologi karena terdapat disproporsi yang
besar antara medula spinalis dan kanalis spinalis pada vertebra servikal bagian atas. Bila terdapat
kelumpuhan, biasanya dalam bentuk pentaplegia yang berakibat fatal sehingga penderita tidak
sempat masuk rumah sakit.
Patah tulang odontoid
Gejalanya yaitu keluhan nyeri pada setiap gerakan leher serta nyeri pada leher bagian belakang
yang dikenal sebagai neuralgia oksipitalis. Gejala lain adalah tortikolis dan instabilitas
oksipitoservikal sehingga, pada setiap pergerakan leher, penderita menggunakan kedua tangan
untuk menyangga kepala. Gangguan neurologik pada fraktur odontoid timbul akibat
terangsangnya saraf oksipital mayor yang menimbulkan neuralgia oksipitalis berupa rasa tebal
atau anestesi pada daerah oksipital. Penyulit yang lebih serius adalah pentaplegia akibat
penekanan batang otak oleh odontoid yang sering berakhir dengan kematian.
Patah tulang servikal bawah
Gejala klinik yang biasanya adalah nyeri leher pasca trauma disertai kaku leher dan gangguan
gerak karena spasme otot paravertebral. Cedera medula spinalis dapat berupa sindrom medula
anterior, sindrom Brown Sequard, jejas lintang komplet, atau sindrom medula sentral, yang
masing-masing memberikan gejala klinis yang berbeda.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologik. Menurut Hanson dkk, kemungkinan besar terjadi fraktur servikal jika
ditemui:
a. Parameter mekanisme cedera
KLL dengan kecepatan yang tinggi, Tabrakan pejalan kaki dengan kendaraan, jatuh dari
ketinggian lebih dari 10 kaki
b. Parameter penilaian pasien
Fraktur tengkorak, Perdarahan intracranial, Tanda neurologis yang mengarah ke spinal,
Penurunan kesadaran pada saat pemeriksaan
Pada penderita dilakukan pemeriksaaan neurologis lengkap, menentukan kekuatan motorik dan
derajat kelumpuhan bila ada juga lokasi cedera. Juga dilakukan pemeriksaan sensorik
(eksteroseptif dan propioseptif ) guna menentukan topik segmen medulla spinalis yang terkena.
Penentuan topik dan lokasi sangat perlu sehingga arahan pemeriksaan radiologis dapat dilakukan
dengan akurat dan dapat menentukan prognosis penderita.
Pemeriksaan X foto cervical merupakan pemeriksaan rutin di IGD yang dilakukan pada pasien
dengan riwayat nyeri atau trauma di leher. Pemeriksaan radiologi pada cedera leher meliputi:
X foto servikal 3 posisi : AP, lat dan odontoid (open mouth view), dan bila tidak tampak
kelainan yang jelas, dibuat foto dinamik vertebra servikal denga leher dalam posisi fleksi dan
posisi ekstensi. Dengan cara ini, dapat dipastikan ada tidaknya instabilitas.
CT Scan dari basis cranii sampai torakal atas (T1-2), potongan axial 1 mm
MRI untuk mengevaluasi medulla spinalis
Pemeriksaan CT scan dapat mendeteksi fraktur servikal pada pasien yang beresiko tinggi sekitar
10 %. Dengan pemeriksaan fisik dapat dideteksi adanya fraktur servikal sebanyak 0,2% pada
pasien yang beresiko rendah. Sepuluh persen pasien dengan fraktur di basis cranii, wajah atau
torakal bagian atas mengalami fraktur servikal.
Pada masa akut dapat terjadi spinal shock. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya somatic
motor, sensorik dan fungsi simpatetik otonom karena cedera medulla spinalis. Makin berat
cedera medulla spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi spinal shock makin lama dan
makin besar pula. Spinal shock ini timbul beberapa jam sampai beberapa bulan setelah cedera
medulla spinalis. Untuk mencegah keraguan apakah gejala yang ditemukan akibat spinal
shock atau bukan, direkomendasikan guideline :
1. Berasumsi bahwa somatik motor dan defisit sensorik yang berhubungan dengan spinal
shock hanya terjadi kurang dari 1 jam setelah cedera.
2. Berasumsi bahwa refleks dan komponen otonom dari spinal shock dapat terjadi beberapa hari
sampai beberapa bulan, tergantung beratnya cedera medulla spinalis
3. Menyimpulkan bahwa defisit motorik dan sensorik yang menetap lebih dari 1 jam setelah
cedera disebabkan oleh perubahan patologis jarang karena efek fisiologis dari spinal shock.
6. PENATALAKSANAAN
Didalam penatalaksanaan trauma spinal, ada dua hal yang sangat penting, yaitu: instabilitas dari
columna vertebralis (Spinal Instability) dan kerusakan jaringan saraf baik yang terancam maupun
yang sudah terjadi (actual and potential neurologic injury).
Instabilitas kolumna vertebralis
Yang dimaksud dengan instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya
hubungan normal antara strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi
perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini
juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic
neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan
atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen-
komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat
terjadi secara bersamaan.
White dan Panjabi membuat check list instabilitas pada Lower cervical spine, dikatakan tidak
stabil bila (+) 5 point:
Terdapat anterior collum destruksi
Angulasi sagital >110
Pada sagital plane translasi > 3,5 mm
Positif stretch test atau gangguan spinal cord timbul (disc 1,7 mm, angulasi 7,50) >
unstable
Terdapat gangguan radix atau penyempitan discus
Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal :
a. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit
gawat darurat. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan
menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita
dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan
cara ”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
b. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/tetraplegia.
Periksa vital signs
Pasang ’nasogastric tube’
Pasang kateter urin
Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi
jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA
(analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic shock.
Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam
setelah kecelakaan dapat memperbaiki kontusio medula spinalis.
c. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong
dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan denganbeban yang lebih
ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan cara tertutup ini
gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.
Untuk fraktur atlas dan proccesus odontoid tindakan bedah ditujukan untuk stabilisasi dan
imobilisasi dengan menggunakan modifikasi halo treatment.Indikasi operasi pada cedera medulla
spinalis adalah :
Perburukan progresif karena retropulsi tulang diskus atau hematoma epidural
Untuk restorasi dan realignment kolumna vertebralis
Dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan
Vertebra yang tidak stabil.
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ’bladder
training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik
dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. Rehabilitasi untuk fraktur servikal
memerlukan waktu yang lama, beberapa bulan sampai tahunan, tergantung beratnya cedera.
Terapi fisik dapat dilakukan latihan untuk menguatkan kembali daerah leher dan memberikan
tindakan pencegahan untuk melindungi cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk
mengubah gaya hidup yang dapat menyebabkan fraktur servikal. Mandi air hangat dan kompres
hangat dapat digunakan untuk mengurangi rasa tidak enak di leher. Kadang digunakan kantong
es atau ice massage. Setelah penggunaan neck splint, surgical collaratau spinal brace selama
beberapa bulan, fisio terapist membantu menggerakkan leher kembali , dengan menggunakan
gerakan terbatas dan pijatan yang lembut, ketika dianggap aman untuk itu. Dianjurkan juga
untuk menggunakan bantal yang dapat memberikan sokongan yang khusus untuk leher.
7. KOMPLIKASI
Komplikasi sekunder dari fraktur dan dislokasi servikal bagian bawah dibagi menjadi 2 kategori
besar: (1) fraktur/dislokasi dengan penyulit dan (2) trauma medula spinalis atau dengan penyulit
termasuk masalah paru-paru (seperti, pneumonia, atelektasis, emboli pulmoner), masalah
gastrointestinal (seperti, stress ulcers), masalah urologi, masalah kulit (dekubitus), DVT (deep
vein trombosis), dan masalah psikologis.
8. PROGNOSIS
Fraktur atlas dapat sembuh dan memberikan prognosis yang baik jika tidak disertai cedera
medulla spinalis. Prognosis untuk fraktur odontoid tidak sebaik fraktur atlas, karena segmen
fraktur dapat menyebaban pergeseran, yang menyebabkan cedera medulla spinalis lebih dari
10%. Kurang dari 5 % pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika
paralysis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0 %.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih terdapat
beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari 50%. Sembilan
puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali kerumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu sampai 6 bulan
paska cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan Bila terjadi pergerakan
penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan mempengaruhi medulla spinalis sehingga
memperberat kerusakan. Fraktur atlas juga memberikan prognosis yang baik. Tapi adanya
dislokasi fraktur ke posterior yang sudah menyebabkan foramen magnum menyempit
memberikan prognosis yang buruk. Hal ini disebabkan karena di dekat foramen magnum.
B . METODE INTUBASI PADA CEDERA SERVIKAL
Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan
kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi antara tingkat cedera servikal
dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi
pula morbiditas dan mortalitasnya.
Pada semua pasien trauma, terutama dengan cedera servikal adalah sangat penting untuk
menjaga potensi jalan nafas. Namun diperlukan suatu metode intubasi yang aman untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut akibat intubasi itu sendiri. Ada banyak metode yang dapat
digunakan namun ada 2 metode yang banyak di anjurkan oleh para ahli seperti metode lightwand
dan awake “anestesi sadar” dengan bronskopi fiberoptik yang flexible yang akan dipaparkan
secara rinci.
a. Intubasi dalam keadaan sadar dibawah anestesi local
Tujuan teknik ini adalah untuk menganestesi jalan nafas bagian atas menggunakan anestesi local
untuk memungkinkan intubasi trakea dengan berbagai tehnik. Tehnik ini menghindari
diperlukannya anestesi umum dan muscle relaxant untuk memudahkan intubasi. Baik intubasi
nasal atau oral dapat dilakukan, walaupun jalur nasal, walaupun ada perdarahan seringkali lebih
mudah. Jalur oral lebih menimbulkan rangsangan dan mungkin lebih sulit. Tehnik ini
memerlukan pasien yang kooperatif dan pengalaman ahli anestesi.
Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan bronksop fleksibel fibertopik atau fiberskop
direk. Pasien dipersiapkan dengan diberi penjelasan penuh mengapa mereka akan menjalani
intubasi dalam keadaan sadar. Atropin 500 mcg atau glikopirolat 200 mcg harus diberikan
intramuscular setengah jam sebelum intubasi untuk mengeringkan membran mukosa,
memperbaiki kerja anastesi lokal dan visibilitas. Oksigen 2-3 liter/menit harus diberikan melalui
kateter nasal kanul selama tindakan ini dilakukan (kateter suction dapat dimodifikasi untuk
tujuan yang sama). Pasien dapat sedasi perlahan-lahan selama tindakan ini dengan menggunakan
diazepam dosis kecil (2 mg) atau sedasi intravena lain. Opiodid dosis kecil mungkin juga
bermanfaat
Terdapat berbagai metode anastesi local. Hati-hati dengan dosis total anastesi local yang
digunakan. Biasanya dianjurkan maksimal 4 mg/kg lignokain. Metode-metode anastesi yang
dapat digunakan meliputi :
1. “Spray as you go”. Lignokain 2-4 % disemprotkan pada mukosa jalan nafas bagian atas
saat mukosa terpapar pada proses intubasi berlangsung. Ini dapat dilakukan melalui
sebuah dispenser khusus, atau menggunakan bolus kecil berulang dari sebuah spuit
dengan kanula (bukan jarum) yang dipasang erat. Beberapa ahli anestesi memberikan
injeksi 2 ml lignokain 2 % melalui membrane krikotiroid. Ini akan menimbulkan anestesi
pada trakea dan permukaan bawah plika vokalis.
2. Jika pasien direncanakan menjalani intubasi nasal, kokain (hindari penggunaannya pada
pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik) merupakan agen anestesi pilihan untuk
mukosa hidung karena kokain merupakan vasokonstriksi aktif dan mengurangi insiden
perdarahan nasal. Kokain dalam bentuk pasta diletakkan dalam hidung menggunakan lidi
kapas.
3. Beberapa ahli anestesi menggunakan lignokain nebulasi (4 ml lignokain 4%) dan tehnik
ini dikatakan sebagai tehnik yang bermanfaat. Namun biasanya tehnik ini memerlukan
suplementasi topical dan tidak begitu bagus untuk intubasi nasal.
Setelah berhasil dilakukan anestesi jalan nafas, pasien dapat diintubasi dengan sejumlah cara.
Intubasi Oral
Pasien-pasien yang dipersiapkan baik dengan anestesi baik seringkali dapat diintubasi
dengan menggunakan laringoskop standar, tetapi laringoskop standar sangat menimbulkan
rangsangan kecuali jika persiapannya sangat baik. Jika struktur laring mudah terlihat pada
laringoskopi dalam keadaan sadar,dapat dilakukan induksi anestesi umum dan pasien
diintubasi secara konvensional. Namun pasien-pasien yang sulit diintubasi biasanya
memerlukan tehnik yang berbeda. Intubasi fiberotik dalam keadaan sadar melalui mulut
biasanya lebih sulit daripada melalui hidung karena terjadi angulasi pada saat melalui bagian
belakang lidah dan sekitar epiglottis. Disamping itu, pasien mungkin menggigit endoskop
kecuali digunakan suatu penghalang (bite block).
Intubasi nasal
Intubasi nasal adalah metode terbaik intubasi dalam keadaan sadar dengan menggunakan
bronkoskop fiberoptik atau fiberskop intubasi lain melalui hidung. Instrumen dimasukkan
melalui hidung dan kedalam trakea dengan membawa pipa endotrakeal. Setelah instrumen
masuk ke dalam trakea, pipa endotrakeal didorong ke bawah sampai mencapai posisi yang
diinginkan. Alat ini memerlukan keahlian dan latihan serta tidak tersedia di banyak tempat di
dunia ini dan tidak akan dibahas lebih lanjut dalam artikel ini. Namun, harus diingat bahwa
ada sejumlah variasi skop fiberoptik fleksibel tipis yang dapat digunakan untuk intubasi
dalam keadaan sadar, termasuk sitoskop.
Beberapa ahli anestesi dapat melakukan tehnik intubasi nasal membuta dimana pipa
endotrakeal nasal secara hati-hati dimasukkan melalui hidung ke arah laring. Suara nafas
akan terdengar dan pipa diarahkan kepada suara nafas terkeras dengan menggerakkan kepala
pasien sampai pipa masuk kedalam laring. Tehnik ini memerlukan keterampilan dan keahlian
besar dan tidak dapat dilakukan jika kepala dan leher tidak dapat digerakkan.
Intubasi retrograd
Intubasi retrograde adalah tehnik yang pertama kali dilakukan di Negara Nigeria untuk
mengintubasi pasien dengan cancrum oris. Sebuah kawat atau kateter epidural dimasukkan
melalui membrane krikotiroid dengan arah cephalad (menuju ke kepala)sampai keluar dari
hidung atau mulut. Pada beberapa pasien kateter dalam mulut perlu dipegang dengan
sepasang forceps Magills).Pada saat ini terjadi maka terdapat kawat dari trakea sampai jalan
nafas bagian atas pasien. Pipa endotrakeal kemudian diselipkan sepanjang kawat ini menuju
jalur nasal atau oral. Pastikan bahwa oksigenasi adekuat selama prosedur ini.
Jika bevel (lengkungan) pipa endotrakeal berada di anterior, pipa akan tersangkut pada
laring. Bevel harus berada di posterior agar pasase kedalam laring dapat berjalan selancar
mungkin. Pipa dapat mengalami obstruksi pada ketinggian epiglotis ataau plika vokalis. Ada
sejumlah tehnik untuk mengatasi hal ini. Kawat transtrakeal dapat digunakan untuk
memandu bronkoskop fiberoptik kedalam trakea dan kemudian pipa endotrakeal diletakkan
diatas skop tersebut. Sebuah kateter berongga yang berukuran lebih besar dapat diletakkan
diatas kawat kedalam trakea dan pipa endotrakeal dimasukkan diatas kateter. Dilator ureterik
sekali pakai yang memiliki rongga dan ujung akhir menipis adalah alat yang ideal untuk
prosedur ini.
Selama melakukan tehnik ini, jika intubasi nasal diperlukan tetapi kawat keluar dari
mulu,letakkan sebuah kateter lain melalui hidung, tarik keluar melalui mulut, ikat kateter
pada kawat, dan kemudian tarik kawat melalui hidung.
Intubasi retrograde baru-baru ini berhasil digunakan untuk jalan nafas yang mengalami
trauma dan penggunaan tehnik konvensional mengalami kegagalan serta terdapat sebuah
laporan baru yang mengatakan bahwa membrane krikoid dan cincin trakea pertama juga
dapat digunakan.
Trakeostomi dalam keadaan sadar yang dilakukan dibawah anestesi local adalah pemecahan
terbaikjika pasien tidak mungkin diintubasi, dan anestesi regional bukan pilihan yang praktis.
Tehnik ini tidak berbelit-belit kecuali pada anak-anak, jika sedasi dengan ketamin digunakan
untuk memudahkan pelaksanaan tehnik ini.
Jalan nafas Masker Laring adalah alat yang sering digunakan dalam anestesi local adalah
dalam anestesi dan seringkali dapat menyediakan jalan nafas yang baik pada pasien-pasien
dimana sulit dilakukan intubasi. Setlah pemasangan LMA ahli anestesi dapat menggunakan
LMA untuk mempertahankan jalan nafas selama anestesi, atau dapat menggunakannya
sebagai jalur intubasi trakea.
Sebuah bougie elastic dari karet yng didorong kebawah sepanjang marker laring seringkali
akan masuk kedalam trakea. Pipa nasal berukuran 6 kemudian dapat dimasukkan melalui
masker, sepanjang bougie, dan masker ditarik saat pipa memasuki trakea. Sayangnya, pada
beberapa keadaan pipa endotrakeal terhalang oleh fenetrasi pada ujung akhir masker laring.
Tehnik ini paling baek dilakukan bersama dengan bronkoskop fiberoptik.
Setelah mamasukkan pipa melalui masker, trakea dapat diidentifikasi dan bougie tampak
melewati plika vokalis. Skop dan LMA kemudian ditarik keluar dan sebuah pipa
endotrakeal dimasukkan dengan cara yang normal. Alternatifnya, skop dapat dimasuukan
kedalam trakea dan pipa berukuran 6,0 dimasukkan sebelum LMA dikeluarkan. Untuk
memudahkan manuver ini telah dibuat sebuah LMA intubasi khusus (Intavent Medical UK).
Laringoskop McCoy didesain dengan ujung yang dapat digerakkan yang memungkinkan
untuk mengangkat epiglottis dan membuat intubasi lebih mudah. Laringoskop ini dibuat
oleh Penlod UK ltd.
Light wand adalah sebuah alat fleksibel panjang dengan cahaya terang pada ujung akhirnya
dan dapat diarahkan kedalam trakea dengan membawa pipa endotrakeal. Saat alat ini masuk
kedalam trakea, cahaya dapat terlihat bersinar melalui kulit. Tehnik ini memerlukan ruang
yang gelap dan lebih sulit dilakukan pada pasien-pasien dengan obesitas.
Pipa combi adalah sebuah pipa yang dapat dimasukkan secara membuta dan digunakan
untuk ventilasi pasien pada keadaan darurat. Alat ini didesain sedemikian rupa sehingga
pipa dapat digunakan untuk ventilasi baik pipa tersebut masuk kedalam esophagus ataupun
trakea.
Saat dimasukkan pipa biasanya masuk kedalam esophagus, balon berukuran besar
dikembangkan, dan pasien mendapat ventilasi melalui lubang-lubang dalam faring. Jika pipa
berada dalam trakea maka ventilasi dilakukan melalui pipa ini setelah cuff dikembangkan.
Gastroskop oral dapat digunakan jika tidak ada bronskoskop. Gastroskop oral digunakan
untuk menemukan laring dan mengarahkan stilet kedalam trakea diikuti oleh pipa
endotrakeal. Alternatifnya sebuah kawat dapat dilewatkan melalui gastroskop oral kedalam
laring dan pipa dilewatkan diatas kawat tersebut.
Induksi anestesi dengan inhalasi dalam menggunakan oksigen dan halotan atau eter adalah
tehnik yang telah digunakan luas untuk pasien-pasien yang diperkirakan sulit diintubasi.
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, anestesi dapat dihentikan dan pasien disadarkan. Selama
induksi, jika pasien telah berada dalam keadaan anestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi
direk. Jika laring dapat terlihat maka pasien dapat diintubasi langsung atau diberi muscle
relaxant dan diintubasi. Jika laring sulit terlihat, tetapi jalan nafas mudah ditangani dan
ventilasi dengan masker wajah tidak berbelit-belit, maka dapat diberikan satu dosis muscle
relaxant (jika mungkin suksametonium). Kemudian dapat dicoba intubasi secara normal,
jika tidak berhasil, ventilasi diteruskan menggunakan masker wajah. Jika jalan nafas
mengalami obstruksi dan tidak bisa dibersihkan, maka tindakan terbaik adalah menyadarkan
pasien. Jika ada kemungkinan terjadi aspirasi, induksi paling baik dilakukan dengan posisi
kepala menghadap kebawah, posisi lateral kiri.
Metode ini adalah tehnik pilihan untuk menjaga jalan nafas pada anak-anak dengan
obstruksi jalan nafas bagian atas akut, terutama mereka dengan croup atau epiglotis.
Merencanakan Anestesi
Jika terdapat kemungkinan intubasi sulit dilakukan maka perencanaan yang baik penting
agar anestesi dapat berlangsung dengan aman. Jika anestesi umum harus dilakukan dan
anestesi regional bukan merupakan suatu pilihan, ahli anestesi harus memutuskan apakah
pasien dapat dianestesi dengan aman sebelum intubasi dilakukan. Jika ada kemungkinan
jalan nafas menimbulkan masalah maka intubasi dalam keadaan sadar adalah pilihan terbaik
sebelum induksi anestesi umum. Selama anestesi umum pasien tidak boleh diberi muscle
relaxant kecuali ahli anestesi yakin dapat melakukan ventilasi pasien.
Jika ahli anestesi menghadapi kesulitan yang tidak diperkirakan sebelumnya saat
melakukan intubasi maka prioritasnya adalah memastikanventilasi masker dan oksigenasi
pasien yang adekuat. Percobaan intubasi endotrakeal berulang dapat menyebabkan
perdarahan dan edema jalan nafas bagian atas sehingga makin mempersulit intubasi.
Seringkali lebih baik menerima bahwa intubasi gagal dilakukan setelah beberapa kali
percobaan intubasi dan melakukan urutan tindakan yang telah direncanakn sebelumnya jika
terjadi kegagalan intubasi.
Kegagalan intubasi
Jika intubasi tidak mungkin dilakukan, ahli anestesi harus mempertimbangkan apakah
pasien disadarkan atau operasi diteruskan dibawah anestesi regional atau apakah operasi
dihentikan. Dalam situasi dimana operasi bersifat mendesak mungkin anestesi umum dapat
dilakukan dibawah anestesi menggunakan masker wajah selama jalan nafas mudah
dipertahankan. Jika jalan nafas tidak dapat dipertahankan dan pasien menjadi hipoksik,
maka perlu dilakukan krikotiroidotomi darurat. Jika waktu memungkinkan dapat
dipertimbangkan trakeostomi darurat.
Kegagalan ventilasi masker wajah
Kegagalan ventilasi masker wajah terjadi jika pasien telah dianestesi dan biasanya
mengalami paralysis serta ventilasi masker wajah ternyata tidak dapat dilakukan. Dalam hal
ini maka prioritasnya adalah memastikan oksigenasi dengan sejumlah tindakan menjaga
jalan nafas darurat. Ahli anestesi harus mencoba berbagai maneuver termasuk chin lift,
pemasangan jalan nafas oral dan/atau nasofaringeal, dan jaw thrust dengan kedua tangan.
Jika tehnik-tehnik ini tidak menghasilkan ventilasi efektif, maka LMA harus dipasang . (jika
LMA tidak tersedia, dapat digunakan pipa Combi). Jika ventilasi masih gagal maka harus
dilakukan krikotiroidotomi untuk memberi oksigen kepada pasien. Gunakan kanula
intravena berukuran besar yang dihubungkan dengan system oksigen tekanan tinggi.
Peralatan untuk hal ini telah tersedia secara komersial (cook Critical Care Products).
Krikotiroidotomi harus dilanjutkan menjadi trakeostomi darurat sesegera mungkin
(maksimal 10-15 menit) atau pasien harus disadarkan dan memulihkan jalan nafas sendiri.
Ekstubasi pasien yang sulit diintubasi harus dialakukan dengan sangat berhati-hati. Ada
kemungkinan pasien memerlukan re-intubasi jika terjadi kesulitan dengan ekstubasi, dan re-
intubasi ini mungkin sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan. Pasien harus selalu dalam
keadaan sadar, kooperatif, dan dapat mempertahankan jalan nafas dan ventilasinya sendiri
sebelum dipertimbangkan untuk melakukan ekstubasi. Jika ada keraguan mengenai jalan
nafas, cara teraman untuk melakukan ektubasi adalah dengan memasukkan bougie atau
kawat pemandu melalui pipa endotrakeal dan melakukan ekstubasi. Pipa endotrakeal dapat
dipasang lagi diatas bougie jika pasein memerlukanre-intubasi. Beberapa bougie dibuat
khusus untuk tujuan ini (cook Critical Care endotracheal tube changer bougie) dan memiliki
sejumlah lubang untuk mengirim oksigen saat pergantian pipa.
Prosedur Praktis
Pembawa pipa endotrakeal darurat dapat dibuat menggunakan kawat yang cukup kaku (seperti
kawat gantungan baju) yang dimasukkan kedalam pipa nasogastrik. Ujung kawat harus dibuat
tumpul atau ditekuk sebelum diletakkan dalam pipa.
Pipa nasogastrik bertindak sebagai pelapis non traumatic untuk kawat pembawa ini. Lubang-
lubang pada bagian akhir juga dapat digunakan untuk mengirim oksigen jika alat ini harus
digunakan sebagai pengganti pipa. Alat ini mudah dilepaskan untuk pembersihan,
pembersihan harus dilakukan dengan seksama.
DAFTAR PUSTAKA