tugas hukum pidana rani

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keyakinan manusia akan hukum kausalitas sudah ada sejak zaman kuno. Bahwa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya mempunyai sebab yang mendahuluinya, dapat kita telusuri sejak peradaban manusia dalam sejarah.Bukti itu dapat kita temui pada abad kelima sebelum masehi, yaitu pada ucapan seorang Filosof Yunani Leucipos. Nihil fit sine causa (tidaka ada satupun peristiwa yang tidak mempunyai sebab). Namun demikian tidak berarti jauh sebelumnya manusia belum mengenal peristiwa sebab akibat. Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian sosial tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun sosial yang terjadi merupakan rangkaian akibat dari peristiwa alam atau sosial yang sudah ada sebelumnya. Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas. 1

Upload: jaka-andhika

Post on 14-Jul-2016

55 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tugas

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Hukum Pidana Rani

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keyakinan manusia akan hukum kausalitas sudah ada sejak zaman kuno.

Bahwa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya

mempunyai sebab yang mendahuluinya, dapat kita telusuri sejak peradaban

manusia dalam sejarah.Bukti itu dapat kita temui pada abad kelima sebelum

masehi, yaitu pada ucapan seorang Filosof Yunani Leucipos. Nihil fit sine causa

(tidaka ada satupun peristiwa yang tidak mempunyai sebab). Namun demikian

tidak berarti jauh sebelumnya manusia belum mengenal peristiwa sebab akibat.

Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian sosial tidaklah

terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun sosial yang terjadi

merupakan rangkaian akibat dari peristiwa alam atau sosial yang sudah ada

sebelumnya. Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa

sosial yang lain, yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu

lingkaran sebab akibat. Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah

sebab akibat atau kausalitas.

Hubungan kausalitas dalam hukum pidana biasanya banyak di bahas dalam

ajaran causalitas (ajaran mengenai sebab dan akibat).Ajaran causalitas ini

bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu

perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dari akibat yang timbul atau dengan

perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan

akibat seberapa jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.

B. Rumusan Masalah

Pembahasan masalah dalam makalah ini dibatasi berdasarkan rumusan

berikut:

1. Mengapa ajaran kausalitas penting dalam hukum pidana?

1

Page 2: Tugas Hukum Pidana Rani

2. Bagaimana ajaran kausalitas dalam KUHP?

3. Apa saja teori-teori dalam ajaran kausalitas?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pentingnya ajaran kausalitas dalam hukum

pidana

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan ajaran kausalitas dalam KUHP

3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan teori-teori dalam ajaran kausalitas

D. Manfaat

Adapun manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Mahasiswa dapat mengetahui Hubungan Kausalitas yang ternyata ada dalam

masyarakat

b. Menguasai berbagai macam metode dan mampu memanfaatkan metode-metode

tersebut menjadi sebuah penalaran yang jelas, efektif dan mudah dimengert

Ketepatan dalam Penalaran Kausalitas.

2

Page 3: Tugas Hukum Pidana Rani

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Ajaran Kausalitas

Ajaran kausalitas adalah ajaran yang mempermasalahkan hingga seberapa

jauh suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan,

atau hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat

dari suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan

tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.

Ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal beberapa jenis delik yang penting

dalam ajaran causalitas adalah perbedaan antara delik formal dan delik materiil.

Yang dimaksud dengan delik formal adalah delik yang telah dianggap penuh

dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu

hukuman.1

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang

melakukan tingkah laku tertentu, artinya dalam rumusan itu secara tegas

disebutnya wujud perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah

yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya

dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah pada perbuatan yang

dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai

pulalah tindak pidana, tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari

perbuatan itu.2

Delik materiil adalah delik yang telah dianggap selesai dengan

ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-

undang. Tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan

melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya

1Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet. III (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 167.2Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Cet. II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 213.

3

Page 4: Tugas Hukum Pidana Rani

larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif).3

Contohnya adalah pembunuhan. Terjadinya suatu pembunuhan tidak bergantung

pada selesainya wujud perbuatan, tetapi apakah dari wujud perbuatan itu telah

menimbulkan akibat berupa matinya seseorang atau tidak. Walaupun pada

kenyataannya, seseorang telah menghujamkan pisau kepada perut seseorang,

tetapi orang itu tidak mati, maka hal demikian belum dikatakan telah terjadi

pembunuhan.4

Terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna adalah apabila akibat

terlarang telah timbul dari tingkah laku. Dalam hal terwujudnya tindak pidana

materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu:

a. terwujudnya tingkah laku.

b. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg)-, dan

c. ada hubungan kausal (causaal verband) antara wujud tingkah laku dengan

akibat konstitutif.5

Perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil mempunyai

hubungan yang erat dengan hubungan sebab akibat atau ajaran kausalitas dalam

tindak pidana, terutama pada tindak pidana materiil. Untuk menentukan (dalam

praktik digunakan istilah untuk membuktikan) terwujudnya tingkah laku dengan

terwujudnya akibat, tidaklah terdapat kesukaran. Akan tetapi untuk menentukan

bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya

tingkah laku akan mendapat kesukaran, berhubung seringkali timbulnya suatu

akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang

satu dengan yang lainnya.6

Contohnya, seorang bapak yang mengidap penyakit jantung mengendarai

sepeda motor hendak menyeberang—mengambil jalur yang lain dengan berbelok

ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada

3Ibid., h. 213-214.4Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 105.5Adami Chazawi, Op.Cit., h. 214.6Ibid., h. 215.

4

Page 5: Tugas Hukum Pidana Rani

sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi keadaan seperti itu si

pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara

gesekan ban dijalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut.

Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda motor, namun

tiba-tiba di depan mobil yang telah berhenti dan masih duduk di atas sadel sepeda

motornya, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke

rumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah

jam kemudian meninggal dunia.7

Peristiwa di atas, merupakan satu contoh yang sulit dalam praktik hukum

untuk menentukan ada tidaknya causaal verband antara wujud perbuatan (pada

contoh di atas: mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem)

dengan akibat yang timbul yakni kematian bapak tadi. Apakah yang menjadi

peryebab kematian bapak ini? Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa faktor

yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian

faktor itu ialah:

a. korban berbelok kanan-menyeberang dengan tiba-tiba,

b. pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem,

c. adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan

d. korban terkejut; menyebabkan

e. kambuhnya penyakit jantung korban,

f. tidak segera mendapatkan pertolongan medis.8

Dalam penentuan pertanggung jawaban pidana, mencari dan menetapkan

faktor yang menyebabkan kematian, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran

kausalitas akan menunjukkan perbuatan mana sebenarnya yang harus dianggap

sebagai penyebab dari timbulnya akibat.9

Bahwa ajaran kausalitas selain penting dalam hal mencari dan untuk

menentukan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat dalam 7Ibid.8Ibid., h. 216.9Mahrus Ali, Op.cit., h. 106.

5

Page 6: Tugas Hukum Pidana Rani

tindak pidana materiil, juga penting dalam hal mencari dan menentukan adanya

hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang

dikualifisir oleh unsur akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur

akibatnya ialah suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang

ditambah dengan satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari

perbuatan, baik unsur akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun

menjadi lebih ringan.

Contoh unsur akibat yang menjadikan lebih berat dari bentuk pokoknya yakni

pada penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHP) yang menimbulkan akibat luka

berat (Pasal 351 ayat (2) KUHP), atau menimbulkan kematian (351 ayat (3)

KUHP). Luka berat atau kematian adalah merupakan unsur khusus dari

penganiayaan yang menyebabkan penganiayaan yang dikualifisir oleh unsur

akibat itu menjadi lebih berat daripada bentuk pokoknya .10

B. Ajaran Kausalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana merupakan suatu hal yang

sulit dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada

dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu

akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam

beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu

akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya

Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya

dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh

pembuat menurut Pasal 338 KUHP tersebut. Kemudian Pasal 378 KUHP tentang

perbuatan curang, bahwa penipuan hanya dapat menyebabkan pembuatnya

dipidana bilamana seseorang menyerahkan barang, memberi hutang maupun

10Adami Chazawi, Op.cit., h. 217.

6

Page 7: Tugas Hukum Pidana Rani

menghapuskan piutang karena terpengaruh oleh rangkaian kebohongan dan tipu

muslihat pembuat sebagaimana tersebut dalam pasal itu.11

Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya

delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat

tertentu, yaitu:

a. Delik materiil, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penipuan (Pasal

378 KUHP).

b. Delik culpa, misalnya karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain

(Pasal 359 KUHP), karena lalainya menyebabkan lukanya orang lain (Pasal

360 KUHP).12

Ada pula yang berupa syarat yang memperberat pidana dengan terjadinya

akibat tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena

akibatnya, misalnya penganiayaan yang berunsurkan luka berat (Pasal 351 ayat

(2) KUHP) dan matinya orang lain (Pasal 351 ayat (3) KUHP), Pasal 187 ayat (3)

KUHP yang mengandung unsur timbulnya bahaya terhadap nyawa orang lain dan

mengakibatkan matinya orang.

Tentang keadaan luka berat dan matinya orang lain inilah yang dapat disebut

sebagai keadaan yang secara obyektif memperberat pidana, artinya dalam

keadaan biasa yang pembuat sengaja menganiaya orang lain maka sanksi

pidananya hanya maksimal dua tahun delapan bulan penjara atau pidana denda

paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 351 ayat (1) KUHP). Tetapi

apabila dalam keadaan yang secara obyektif, maka sanksi pidananya menjadi

lebih berat yakni yang mengakibatkan luka-luka berat menjadi paling lama lima

tahun penjara (Pasal 351 ayat (2) KUHP) dan yang mengakibatkan matinya orang

lain menjadi paling lama tujuh tahun penjara (Pasal 351 ayat (3) KUHP). Kalau

kesengajaan pembuat memang tertuju pada luka beratnya orang lain, maka yang

dikenakan ialah sanksi yang tersebut pada Pasal 354 KUHP dengan maksimum

11Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 175.12Ibid.

7

Page 8: Tugas Hukum Pidana Rani

sanksi delapan tahun penjara. Jikalau sengajanya memang tertuju kepada

kematian orang lain, maka ia dapat dikenakan sanksi menurut Pasal 338 KUHP

yaitu maksimum lima belas tahun.13

Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formil yang tidak

mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu (Pasal 242

KUHP), pemalsuan surat-surat (Pasal 263 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP),

penghasutan (Pasal 160 KUHP), pemalsuan meterai dan merek (Pasal 253

KUHP), dan sebagainya. Dalam hal delik formil ini, ajaran kausalitas tidak

diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.14

C. Macam-macam Ajaran Kausalitas

Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3

teori yang besar, yaitu: 1) teori conditio sine qua non, 2) teori-teori yang

mengindividualisir (individualiserede theorien), dan 3) teori-teori yang

menggeneralisir (genaraliserende theorien).

1. Teori Conditio Sine Qua Non

Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, seorang ahli

hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtsgericht

(Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hukum ialah (l)

Uber Kausalitat und deren Verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ibre

strafrechtliche Beziebungen.15

Menurut Von Buri, bahwa semua faktor, yaitu semua syarat yang turut serta

menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht)

dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab)

akibat itu. Tiap faktor yang dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-

faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak

diberi nilai. Sebaliknya, tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan (niet 13H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 207.14Andi Hamzah, Op.cit., h. 176.15Adami Chazawi, Loc.cit., h. 218.

8

Page 9: Tugas Hukum Pidana Rani

weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk

terjadinya akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua faktor

itu adalah sama dan sederajat.Karena adanya faktor-faktor yang tidak dapat

dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, maka teori Von

Buri disebut dengan teori conditio sine quanon.16

Teori conditio sine qua non juga dinamakan teori ekuivalensi dan

bedingungtheorie. Disebut teori ekuivalensi, karena menurut pendiriannya, tiap-

tiap syarat adalah sama nilainya. Semua faktor sama pentingnya terhadap

timbulnya suatu akibat. Disebut bedigungtheorie, karena baginya tidak ada

perbedaan antara syarat (bedingung) dan musabab atau penyebab.17

Secara teoretis teori conditio sine qua non yang dikemukakan oleh Von Buri

merupakan satu-satunya teori kausalitas yang sangat sistematis dan rasional.

Logika yang dibangun Buri dalam mencari penyebab dari timbulnya suatu akibat

sangat rasional, sistematis, dan logis. Sekalipun demikian, di dalam perspektif

hukum pidana teori ini mengandung kelemahan yang sangat mendasar, karena

dengan dalil yang dibangunnya itu, hubungan kausalitas terbentang tanpa akhir,

mengingat tiap-tiap sebab hakikatnya merupakan akibat dari sebab yang terjadi

sebelumnya.18

Kelemahan mendasar lain teori ini adalah memperluas pertanggungjawaban

dalam hukum pidana. Teori ini jika digunakan akan berimplikasi pada

kemungkinan terjadinya pemidanaan terhadap orang-orang yang seharusnya tidak

boleh dipidana baik berdasarkan rasa keadilan maupun berdasarkan konsep

hukum pidana. Sebab, orang baru bisa dijatuhi sanksi pidana jika memenuhi dua

syarat pokok, yaitu orang tersebut melakukan tindak pidana, dan pada saat

melakukannya orang tersebut merupakan orang yang dapat

16Andi Hamzah, Op.cit., h. 177.17C.S.T Kansil, Latihan Ujian: Hukum Pidana, Cet. III (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 119.18Mahrus Ali, Loc.cit., h. 107.

9

Page 10: Tugas Hukum Pidana Rani

dipertanggungjawabkan secara pidana, dalam arti patut dicela atau memiliki

kesalahan.19

Dalam perkembangannya, teori Von Buri banyak menimbulkan berbagai

tanggapan dari kalangan ahli hukum, oleh karena beliau tidak memperhatikan hal-

hal yang sifatnya kebetulan terjadi. Di antaranya Prof. Mr. D. Simons. Beliau

mengemukakan antara lain sebagai berikut.

“...suatu perbuatan tertentu baru dapat ditetapkan sebagai suatu sebab dari

suatu akibat bila umumnya menurut pengalaman manusia, ada kemungkinan

bahwa akibat itu akan timbul dari perbuatan itu sendiri. Apabila akibat itu terjadi

karena bantuan keadaan-keadaan dan faktor-faktor luar biasa yang tidak

berhubungan dengan perbuatan itu, hubungan kausal (sebab-akibat) harus

dianggap tidak ada.”20

Berikut ini contoh kasus dimana terdapat hal-hal yang sifatnya kebetulan. A

hendak menghukum seorang muridnya yang nakal dengan memasukkannya ke

dalam sebuah kamar yang terkunci dari luar. Tujuan hukuman tersebut adalah

supaya muridnya itu menjadi sadar akan kesalahannya. Tetapi tiba-tiba terjadi

gempa yang memporak-porandakan kamar termasuk murid yang tertimpa balok

sebab tidak dapat melarikan diri mengingat kamar terkunci dari luar, dan akhirnya

tewas.21

Dari contoh kasus ini dapat menimbulkan pertanyaan apakah perbuatan

memasukkan murid ke dalam kamar dapat dianggap sebagai causa (sebab)

kematiannya? Menurut Von Buri perbuatan itu dapat dianggap sebagai

penyebabnya. Tetapi hal tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan sebab

Von Buri tidak memperhatikan faktor gempa yang datang dengan tiba-tiba

sebagai sesuatu yang kebetulan terjadi.22

19Ibid.20Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. VII (Jakarta: Sinar Grafika,

2012), h. 41.21Andi Hamzah, Loc.cit., h. 178.22Ibid.

10

Page 11: Tugas Hukum Pidana Rani

Untuk mengatasi kelemahan Von Buri ini, maka Van Hamel salah seorang

penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambahkan ajaran kesalahan

ke dalam ajaran Von Buri.Menurut van Hamel ajaran von Buri sudah baik, akan

tetapi haruslah dilengkapi lagi dengan ajaran tentang kesalahan (schuldleer).

Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara

rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang

harus bertanggung jawab atas timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri si

pembuatnya dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapat unsur kesalahan

baik kesengajaan maupun kealpaan.23

Berdasarkan pendapat van Hamel ini maka dalam contoh di atas tadi, yang

menurut ajaran von Buri si A harus bertanggung jawab atas murid tersebut, Tetapi

menurut ajaran van Hamel si A tidak perlu dipertanggungjawabkan atas kematian

murid itu, karena pada peristiwa itu tidak ada unsur kesalahan (kesengajaan

maupun kealpaan). A sebenarnya hanya berniat untuk menghukum muridnya saja,

tidak ada niat untuk menjadikan muridnya mati tertimpa balok.

Dalam perkembangan selanjutnya, timbul banyak ajaran tentang hubungan

sebab akibat ini, yang pada pokoknya teori-teori ini berusahan mencari dan

menentukan faktor mana yang merupakan syarat dan faktor mana yang menjadi

penyebab. Teori-teori yang berkembang stelah Von Buri ini dapat dikelompokkan

ke dalam dua teori besar, yaitu teori yang mengindividualisir dan teori yang

menggeneralisir.

2. Teori-teori yang Mengindividualisir

Teori ini dikemukakan oleh Schepper. Secara garis besar terdapat dua hal

yang menjadi inti dari teori mengindividualisir. Pertama, membicarakan masalah

kausalitas harus dipisahkan dengan membicarakan masalah pertanggungjawaban

pidana. Sebab, persoalan kausalitas adalah bagian dari masalah perbuatan pidana.

Pentingnya pemisahan tersebut agar tidak terjadi kerancuan dalam kesimpulan 23Adami Chazawi, Loc.cit., h. 220.

11

Page 12: Tugas Hukum Pidana Rani

hukum. Apabila tidak dipisahkan, kerancuan tersebut dikhawatirkan dapat

berimplikasi pada terjadinya pemidanaan terhadap orang yang seharusnya tidak

boleh dipidana. Kedua, menurut Schepper, sebab adalah kelakuan yang menurut

logika objektif atau berdasarkan ilmu pengetahuan pada saat kasus terjadi, dapat

simpulkan bahwa kelakuan itulah yang mengadakan faktor perubahan secara

langsung menuju pada suatu keadaan berupa terjadinya akibat yang dilarang

hukuum.24

Teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor

penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada

atau terdapat setelah perbuatandilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu

beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori

ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara sekian rangkaian faktor yang terkait

dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor

penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau

mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan

faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.

Pendukung teori yang mengindividualisir ini antara lain Birkmeyer dan Kari

Binding.25

Menurut Birkmeyer (teorinya disebut dengan de meest werkzame factor):

tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor

penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah

peristiwa itu terjadi secara konkret (post factum) adalah merupakan faktor yang

paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut

pendapat ini pada contoh bapak yang mengidap penyakit jantung, setelah

peristiwa terjadi beserta akibatnya, maka dicari dan dinilai di antara rangkaian

faktor yang berkaitan dengan kematian itu. Kiranya faktor serangan penyakit

jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian itu. Apabila

24Mahrus Ali, Op.cit., h. 110.25Adami Chazawi, Op.cit., h. 221.

12

Page 13: Tugas Hukum Pidana Rani

ajaran Birkmeyer digunakan pula pada peristiwa ini, maka perbuatan pengendara

mobil menginjak rem dengan kuat yang menimbulkan suara keras dari gesekan

ban dengan aspal, bukanlah sebagai faktor penyebab matinya orang itu, tetapi

sebagai faktor syarat saja. Karenanya dari sudut hukum pidana dia tidak

bertanggung jawab atas kematian itu.26

Demikian juga Kari Binding, yang teorinya disebut dengan ubergewichts

tbeorie, yang menurut beliau bahwa di antara berbagai faktor itu, faktor

penyebabnya adalah faktor yang terpenting dan seimbang atau sesuai dengan

akibat yang timbul. Bahwa dalam peristiwa yang menimbulkan akibat, akibat itu

terjadi oleh karena faktor yang positif yaitu faktor yang menyebabkan timbulnya

akibat lebih unggul daripada faktor yang negatif atau faktor yang bertahan/

meniadakan akibat. Yang disebut sebab adalah syarat-syarat positif dalam

mengungguli (in ihrem Ubergerwicht) terhadap syarat-syarat yang bertahan

(negatif). Satu-satunya faktor sebab (causa) adalah faktor syarat terakhir yang

menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif tadi.

Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang

mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua

hal, yaitu:

1) dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh

yang paling kuat, dan

2) dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama

kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.

Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa

ketidakpuasan bagi sebagian ahli hukum terhadap teori-teori yang

mengindividualisir, maka timbullah teori-teori yang menggeneralisir.27

3. Teori-teori yang Menggeneralisir

26Ibid.27Ibid., h. 222.

13

Page 14: Tugas Hukum Pidana Rani

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa)

dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya

akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar

dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu

akibat. Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada

faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada

umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto,

tidak secara inconcreto.28

a. Teori Adequat Subjektif

Teori ini dipelopori oleh J. Von Kries, yang berpendapat bahwa yang menjadi

sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik,

hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu yang sebelumnya telah dapat

diketahui oleh pembuat.29

Faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah

adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana

diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan

akibat tersebut. Jadi dalam teori ini faktor subjektif atau sikap batin sebelum si

pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan

kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan

dilakukan itu adalah adequat untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan

kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.30 Oleh

karena ajaran von Kries dalam mencari faktor penyebab itu adalah pada

dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori

subjective prognose (peramalan subjektif).

Pada contoh di atas tentang meninggalnya bapak pengidap penyakit jantung

tadi, menurut teori adequat subjektif, maka pengendara mobil tidaklah dapat

dipersalahkan atas kematian bapak tadi, karena faktor menginjak rem dan dengan 28Ibid.29H.A. Zainal Abidin, Loc.cit., h. 211.30Adami Chazawi, Op.cit., h. 223.

14

Page 15: Tugas Hukum Pidana Rani

demikian menimbulkan suara (gesekan ban dengan aspal) tidak dapat

dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian orang.

b. Teori Adequat Objektif

Berbeda dengan teori dari von Kries yang dalam hal mencari faktor penyebab

itu pada kesadaran si pembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya faktor

itu layak atau sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequat

objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum

berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa

senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif)

faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam

pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan

bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, apakah

faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.31

Teori ini dipelopori Rumelin yang ajarannya disebut dengan teori obyectif

nachtragliche prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari

causa dari suatu akibat pada faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan

akibat. Teori Rumelin mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah

faktor objektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan

dengan terwujudnya delik setelah delik terjadi.32

Tolok ukur teori tersebut bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu

akibat. Jadi akibat itu walau bagaimana pun harus tetap terjadi dengan cara

mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah terjadinya delik.

Tolok ukur tersebut merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam

yang objektif.33

Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu

pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada

pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan 31Ibid., h. 224.32H.A. Zainal Abidin, Op.cit., h. 211-212. 33Andi Hamzah, Loc.cit., h. 180.

15

Page 16: Tugas Hukum Pidana Rani

racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat

yang telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien.34

Menurut ajaran von Kries (adequat subjektif), karena juru rawat tidak dapat

membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimasukkannya racun pada obat

yang dapat menimbulkan kematian jika diminum, maka perbuatan meminumkan

obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan

obat dengan kematian tidak ada hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat.

Lain halnya apabila dipandang dari teori Rumelin (adequat objektif). Karena

perbuatan orang lain memasukkan racun ke dalam obat tadi menjadi

pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun tidak diketahui

oleh juru rawat, perbuatan juru rawat meminumkan obat yang mengandung racun

adalah adequat terhadap matinya, karena itu ada hubungan kausal dengan akibat

kematian pasien.35

BAB III

KESIMPULAN

1. Ajaran kausalitas adalah ajaran yang mempermasalahkan hingga seberapa jauh

suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu keadaan, atau

hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari

suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan tindakan

tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.

34Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. VII (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 111.35Ibid.

16

Page 17: Tugas Hukum Pidana Rani

2. Di dalam KUHP, pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk

menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya

menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu

diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap

pembuat, seperti misalnya Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa.

Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila

seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut Pasal 338 KUHP tersebut.

3. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3

teori yang besar, yaitu: teori conditio sine qua non, teori-teori yang

mengindividualisir (individualiserede theorien), dan teori-teori yang

menggeneralisir (genaraliserende theorien). Teori conditio sine qua non

menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat

dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat. Teori ini tidak membedakan mana

faktor syarat dan yang mana faktor penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Andi Hamzah. 2010. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

C.S.T Kansil. 2007. Latihan Ujian: Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

H.A. Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.

17

Page 18: Tugas Hukum Pidana Rani

Leden Marpaung. 2012. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Teguh Prasetyo. 2012. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Press.

18