tugas etika rumah sakit

15
1.PENGERTIAN INFORM CONCENT Informed Consent Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. [1] Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2] Tiga elemen Informed consent 1. THRESHOLD ELEMENTS Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu. 2. INFORMATION ELEMENTS Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) danunderstanding (pemahaman).

Upload: muhammad-rizky-wirnawan-s

Post on 28-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Etika Rumah Sakit

1.PENGERTIAN INFORM CONCENT

Informed Consent

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.[1]

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.[2]

Tiga elemen Informed consent 

1. THRESHOLD ELEMENTS

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).

Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

2. INFORMATION ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) danunderstanding (pemahaman).

Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.

Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.

Page 2: Tugas Etika Rumah Sakit

Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

3. CONSENT ELEMENTS

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).

Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.

Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

Page 3: Tugas Etika Rumah Sakit

Proxy Consent

Adalah consent yang diberikan oelh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak).

Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.

Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent. Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cassileth menunjukkan bahwa dari 200 pasien pengidap kanker yang ditanyai sehari sesudah dijelaskan, hanya 60 % yang memahami tujuan dan sifat tindakan medis, hanya 55 % yang dapat menyebut komplikasi yang mungkin timbul, hanya 40 % yang membaca formulir dengan cermat, dan hanya 27 % yang dapat menyebut tindakan alternatif yang dijelaskan. Bahkan Grunder menemukan bahwa dari lima rumah sakit yang diteliti, empat diantaranya membuat penjelasan tertulis yang bahasanya ditujukan untuk dapat dimengerti oleh mahasiswa tingkat atas atau sarjana dan satu lainnya berbahas setingkat majalah akademik spesialis.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

o Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

o Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab.

Page 4: Tugas Etika Rumah Sakit

o Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

o Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

2. PENGERTIAN MALPRAKTEK

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidakselalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”,sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebutdipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalamrangka pelaksanaan suatu profesi.Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dariseseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkatkepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawatpasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yangterluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Societyde Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

@. Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan.Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga perawatan berlaku normaetika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanyakesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudutpandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etikadisebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebutyuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesitenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehinggaapabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yangmendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, makaukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethicalmalpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridicalmalpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pastimerupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal

Page 5: Tugas Etika Rumah Sakit

malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidanayakni :a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakanperbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupakesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan(negligence).

_ Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnyamelakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

_ Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnyamelakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informedconsent._ Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kuranghati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalahbersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkankepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

@. Civil malpracticeSeorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpracticeapabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikanprestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpracticeantara lain:a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajibdilakukan.b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukantetapi terlambat melakukannya.c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukantetapi tidak sempurna.d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnyadilakukan.Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual ataukorporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/saranakesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukankaryawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebutdalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

@. Administrative malpracticeTenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrativemalpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggarhukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan policepower, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai

Page 6: Tugas Etika Rumah Sakit

ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagitenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenagaperawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatanyang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum

administrasi.

3.PENGERTIAN APD

No. Dokumen 20/05/2010, No. Revisi A, Halaman 36/1PROSEDUR TETAP PENGENDALIAN INFEKSITanggal Terbit Mei 2010

PENGERTIAN: APD ( Alat Pelindung  Diri )  adalah aklat pelindung  /barier untuk melindungi petugas dari mikroorganisme yang ada pada pasien

TUJUAN  :     1.Agar petugas tidak  tertular mikroorganisme / Virus  dari pasien khususnya  Virus Hepatitis B, C, HIV.2.Memberikian  rasa aman  dan kepercayaan diri pada petugas dalam menjalankan pekerjaan.                              3.Agar kebutuhan APD terpenuhi .

KEBIJAKAN :     Petugas yang melaksanakan Tindakan Medis dan pelayanan Keperawatan . 

PROSEDUR:    1.  Unit / Ruangan mengajukan permohonan kebutuhan  APD ke Komite Dalin 2.  Komite Dalin  merekap semua kubutuhan APD 3.  Direkomendasi  Kabid  Yan Med4.  Komite Dalin mengajukan ke Kasubag RTP 5.  RTP  membelikan / mencarikan  kebutuhan APD 6.  Komite Dalin  meneruskan ke Unit / Ruangan  yang membutuhkan.

UNIT TERKAIT   :    Tim  Hospital Disaster  Rumah Sakit 

Page 7: Tugas Etika Rumah Sakit

4.Infeksi nosokomial

Peralatan dalam ruang operasi dapat menjadi sumber infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah infeksi yang

tidak dideritapasien saat masuk ke rumah sakit melainkan setelah ± 72 jam berada

di tempat tersebut.[1][2] Infeksi ini terjadi bila toksin atau agen penginfeksi

menyebabkan infeksi lokal atau sistemik.[1] Contoh penyebab terjadinya infeksi

nosokomial adalah apabila dokter atau suster merawat seorang pasien yang

menderita infeksi karena mikroorganisme patogen tertentu kemudian

mikroorganisme dapat ditularkan ketika terjadi kontak.[2] Selanjutnya,

apabila suster atau dokter yang sama merawat pasien lainnya, maka ada

kemungkinan pasien lain dapat tertular infeksi dari pasien sebelumnya.[2] Ada

beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi

nosokomial, yaitu pencegahan infeksi dari kateter untuk saluran urin, kontrol infeksi

pada pekerja rumah sakit, pencegahan infeksi intravaskuler, isolasi pencegahan di

rumah sakit, pencegahan pneumonia dari rumah sakit, serta pencegahan infeksi dari

peralatan operasi.[1]

5.KOMPONEN-KOMPONEN RUMAH SAKIT

Dokter umum Dokter spesialis Paramedis

-Bidan-Perawat-Farmasi/Apoteker

Pasien Pegawai dan staf Cleaning service

6.KEWASPADAAN UNIVERSAL

Page 8: Tugas Etika Rumah Sakit

Apa Kewaspadaan Universal Itu?

Ada berbagai macam infeksi menular yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh lain seseorang, di antaranya hepatitis B dan C – dan HIV. Mungkin juga ada infeksi lain yang belum diketahui – harus diingat bahwa hepatitis C baru ditemukan pada 1988. Sebagian besar pasien dengan infeksi tersebut belum tahu dirinya terinfeksi.

Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi.

Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.

Bagaimana Kewaspadaan Universal Diterapkan?

Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak, petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan SEMUA pasien, dengan melakukan tindakan berikut:

Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung tangan

Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali pakai

tidak boleh dipakai ulang Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur Buang limbah sesuai prosedur

Apakah Ada Pilihan Lain?

Sebelum kewaspadaan universal pertama dikenalkan di AS pada 1987, semua pasien harus dites untuk semua infeksi tersebut. Bila diketahui terinfeksi, pasien diisolasikan dan kewaspadaan khusus lain dilakukan, misalnya waktu bedah. Banyak petugas layanan kesehatan dan pemimpin rumah sakit masih menuntut tes HIV wajib untuk semua pasien yang dianggap anggota ‘kelompok berisiko tinggi’ infeksi HIV, misalnya pengguna narkoba suntikan. Namun tes wajib ini tidak layak, kurang efektif dan bahkan berbahaya untuk beberapa alasan:

Page 9: Tugas Etika Rumah Sakit

Hasil tes sering baru diterima setelah pasien selesai dirawat Bila semua pasien dites, biaya sangat tinggi Jika hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites, infeksi HIV pada pasien yang

dianggap tidak berisiko tidak diketahui Hasil negatif palsu menyebabkan kurang kewaspadaan saat dibutuhkan Hasil positif palsu menyebabkan kegelisahan yang tidak perlu untuk pasien dan

petugas layanan kesehatan Tes hanya untuk HIV tidak melindungi terhadap infeksi virus hepatitis dan kuman lain

dalam darah termasuk yang belum diketahui, banyak di antaranya lebih menular, prevalensinya lebih tinggi dan hampir seganas HIV

Tes tidak menemukan infeksi pada orang yang dalam masa jendela, sebelum antiboditerbentuk

Tes HIV tanpa konseling dan informed consent melanggar peraturan nasional dan hak asasi manusia

Bila kewaspadaan universal hanya dipakai untuk pasien yang diketahui terinfeksi HIV, status HIV-nya pasti diketahui orang lain, asas kerahasiaan tidak terjaga, dengan akibat hak asasinya terlanggar.

Mengapa Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan?

Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk:

Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan

dan masker Penyediaan pasokan tersebut kurang Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’ Dianggap Odha harus ‘mengaku’ bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan dapat

dilakukan

Tambahannya, rumah sakit swasta enggan membebani semua pasien dengan ongkos kewaspadaan yang pasien anggap tidak dibutuhkan.

Apakah Risiko Jika Kewaspadaan Universal Kurang Diterapkan?

Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata) petugas layanan kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.

Page 10: Tugas Etika Rumah Sakit

Apa yang Dapat Dilakukan Jika Ada Kecelakaan?

Fasilitas layanan kesehatan harus mempunyai prosedur tetap yang dipakai bila ada kecelakaan. Satu pilihan untuk mencegah infeksi HIV setelah diselidiki adalah untuk menawarkan profilaksispascapajanan (PPP – lihat Lembaran Informasi 156).

Bagaimana Kita Dapat Mendorong Penerapan Kewaspadaan Universal?

Jelas penerapan kewaspadaan universal yang tidak sesuai dapat menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang dihadapi oleh Odha. Jadi kita harus mengerti dasar pemikiran kewaspadaan universal dan terus menerus mengadvokasikan untuk penerapannya. Kita harus mengajukan keluhan jika kewaspadaan universal diterapkan secara pilih-pilih (‘kewaspadaan Odha’) dalam sarana medis. Kita harus protes dan menolak bila ada tes HIV wajib sebelum kita diterima di rumah sakit. Kita mungkin juga harus beradvokasi pada pemerintah daerah melalui KPAD dan pada DPRD agar disediakan dana yang cukup untuk menerapkan kewaspadaan universal dalam sarana medis pemerintah.

7.PORSI KERJA DARI KOMPONEN RUMAH SAKIT

Dokter umum-Memeriksa pasien sesuai kemampuan atau kompetennya-Merujuk pasien apabila sudah diluar kemampuannya atau diluar kompetennya

Dokter spesialis-Melakukan tugasnya sesuai pendidikan yang di laluix(spesialisnya)-Merujuk pasien kedokter spesialis lain bila penyakit yang didapatkan tidak mengarah pada spesialisnya

Paramedis-Membantu kinerja dari dokter sesuai kompetennya masing-masing

8.CONTOH KASUS

-Pasien dengan GCS 15

-Keluarga pasien marah

-Perawat senior marah

-Dan kita sedang melakukan tindakan terhadap pasien tersebut

*Apa yang harus kita lakukan dalam kondisi atau keadaan tersebut ?

@Yang harus kita lakukan adalah tetap bersikap profesional,maksudx kita tetap dalam keadaan tenang dalam menyikapi situasi yang ada.

@Karena kondisi pasien dalam kasus tersebut dalam keadaan tidak emergensi jika di lihat dari penilaian GCS ada.

Page 11: Tugas Etika Rumah Sakit

@Biarpun perawat senior atau keluarga pasien sedang marah,kita tidak harus ikut cemas dengan keadaan pasien.Karena mereka secara teori tidak tahu keadaan pasien dengan GCS tersebut,kita cukup menjelaskan keadaan pasien sesuai teoti yang ada yang kita tahu

9.PENGERTIAN K3

K3 merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Pelaksanaan K3 di Fasilitas Kesehatan mencakup upaya K3 di berbagai tempat kerja Fasilitas Kesehatan,

seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Poli-klinik Rumah Bersalin, Balai Kesehatan, Laboratoruim dan Klinik

Perusahaan. Pemeliharaan K3 di Fasilitas Kesehatan sangatlah penting untuk mendukung baik bagi masyarakat

pekerja, manajemen maupun pengunjung agar dapat hidup dan bekerja secara aman, sehat serta nyaman.

Tujuannya:

Umum:

Meningkatnya kemampuan hidup sehat dan aman bagi masyarakat umum dan masyarakat pekerja di Fasilitas Kesehatan guna mencapai derajat kesehatan yang optimal dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia untuk meningkatkan produktivitas kerja di seluruh Fasilitas Kesehatan.

Khusus:

Meningkatnya kesadaran dan sikap kerja yang sehat dan aman. Meningkatnya dukungan Manajemen Rumah Sakit dan Puskesmas dalam pelaksanaan K3 di

tempat kerjanya Meningkatnya perlindungan K3 di seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas. Meningkatnya penerapan K3 secara mandiri di seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas . Mengembangkan kebijakan K3 sesuai kemajuan Iptek melaui penerapan SMK3 di Fasilitas

Kesehatan.

SASARAN

1. Seluruh masyarakat pekerja di Fasilitas Kesehatan, khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas2. Pimpinan/manajemen dan pengelola Fasilitas Kesehatan, khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas3. Petugas Pembina K3 di Fasilitas Kesehatan, khususnya Rumah sakit dan Puskesmas.