tugas ect
DESCRIPTION
rahasiaTRANSCRIPT
TUGAS ECT DAN TILIKAN
Oleh :Frengki Christoria, S.Ked
FAA 110 030
Pembimbing :dr. Yulinar Nuryagus Siringo, M.Sc, Sp.KJ
Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Jiwa / Psikiatri
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF PSIKIATRIRUMAH SAKIT JIWA KALAWA ATEI
PALANGKARAYA2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Pada awal abad ini tidak banyak cara pengobatan yang dapat dilakukan
untuk penderita psikosis. Beberapa upaya telah diujicobakan, antara lain
pengobatan demam (malarial therapy) yang menyebabkan Wegner Rider von
Jauregg sebagi satu-satunya psikiater yang mendapat hadiah nobel, yaitu pada
tahun 1927, dan terapi koma insulin.
Terapi kejang pertama kali diperkenalkan oleh Von Meduna pada tahun
1934 untuk mengobati skizofrenia. Munculnya ide Von Meduna untuk
menggunakan kejang sebagai suatu modus terapi, berangkat dari dua
pengamatan : (1) banyak pasien mental yang menghilang gejalanya setelah
mengalami kejang oleh sebab apapun, dan (2) bahwa insiden skizofrenia
sangat jarang pada penderita epilepsy. Von Meduna pada mulanya
menggunakan suntikan intramuskuler campuran camphor dalam minyak,
kemudian larutan camphor sintetik pentyllenetetrazol (metrazol) ini 10%
secara intravena yang ternyata hasilnya lebih baik (Ernaldi Bahar, 1994).
Tahun 1938 Hugo Carletti dan Lucino Bini menggantikan kejang-obat
dengan kejang listrik, dan dimulailah masa terapi kejang listrik
(Electroconvulsive therapy ; ECT) untuk skizofrenia dan psikosis pada
umumnya, sampai kemudian ditemukannya neuroleptika pada tahun 1950-an.
Sampai belasan tahun setelah itu ECT kehilangan popularitasnya, tetapi
belakangan ini ternyata cukup banyak kasus, terutama yang menahun, yang
tidak dapat ditolong dengan neoruleptik apapun tetapi dapat ditolong dengan
ECT. Kasus-kasus darurat psikiatrik, misalnya depresi berat dengan upaya
bunuh diri, skizofrenia katatonik, gaduh-gelisah manik, dimana kontrol segera
sangat diperlukan (onset efek terapeutik neuroleptika baru terlihat setelah dua
sampai empat minggu pemakaian), dan sangat tertolong dengan ECT. Tak
jarang pula ditemukan pasien dengan gangguan psikotik menahun yang telah
mendapatkan bebagai neuroleptika namun tetap sering kambuh, meminta
sendiri ECT karena pengalamannya yang menunjukkan bahwa ECT yang
2
dapat mengatasi kekambuhannya. Dengan demikian, hingga kini ECT masih
tetap diperlukan, walaupun tidak sebanyak di tahun 1940-1950-an, dan tetap
dianggap sebagai suatu modus terapi yang tak dapat ditinggalkan dalam
psikiatrik.
Sesungguhnya penatalaksanaan penderita gangguan jiwa tidak terlepas
dari peranan keperawatan, yaitu tentang hal-hal yang mendasari terjadinya
perubahan perilaku serta keterlibatan emosional dan kemampuan komunikasi
efektif perawat itu sendiri. Peran perawat dalam penanganan pasien sangat
besar. Untuk dapat melaksanakan tugas sebaik mungkin perlu kiranya perawat
juga mengetahui indikasi, kontraindikasi, persiapan yang dilakukan pada
terapi ECT dan cara kerja terapi ECT. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai terapi ECT serta relevansinya dengan peran perawat.
II. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tenaga medis dapat memahami perannya dalam pelaksanaan tindakan
ECT.
2. Tujuan Khusus
Tenaga medis dapat memahami tentang pengertian, indikasi,
kontraindikaasi, persiapan yang dilakukan pada terapi ECT dan
pelaksanaan tindakan ECT
Tenaga medis dapat melaksanakan peran dalam tindakan ECT, antara
lain mengumpulkan data sebelum pengobatan, pendidikan kesehatan,
memonitor efek samping obat, melaksanakan prinsip-prinsip
pengobatan psikifarmakologi, melaksanakan program pengobatan
berkelanjutan, menyesuaikan dengan terpai non farmakologi, serta ikut
berperan dalam riset klinik interdisipliner
3
BAB II
LANDASAN TEORI
I. DEFINISI
Menurut Dr. Demitris Popolos (2007) Electroconvulsive therapy (ECT)
adalah suatu perawatan medis yang halnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang terampil seperti perawat di bawah pengawasan langsung seorang
dokter spesialis jiwa (psikiater). Dengan kata lain, ECT merupakan suatu
perawatan yang dilakukan seorang psikatrik dengan cara melintaskan listrik
ke otak seorang pasien gangguan jiwa.
ECT adalah salah satu cara pengobatan pasien gangguan jiwa dengan
menggunakan arus listrik yang dialirkan ke tubuh pasien melalui kedua
pelipis dengan menggunakan alat tanpa menggunakan obat-obatan (Tim
Keperawatan Jiwa PSIK FK Unsri, 2005).
II. INDIKASI
ECT diindikasikan untuk pasien (Tim Kep Jiwa PSIK Unsri, 2005)
a. Depresi berat
Depresi merupakan reaksi yang normal jika berlangsung dalam waktu
pendek dengan faktor pencetus yang jelas dan lama. Bila keadaan
kesedihan ini berlangsung dalam waktu yang lama maka individu yang
bersangkutan dapat berkembang ke depresi (Stuart and Sundden, 1998)
Depresi adalah suatu gangguan perasaan dengan ciri-ciri semangat
berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan
tidur dan makan. Karena manusia bereaksi secara holistic, maka pada
depresi terdapat juga komponen psikologi dan komponen somatic.
Gejala-gejala psikologi yang mungkin timbul ialah menjadi pendiam,
rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul berkurang,
tidak dapat mengambil keputusan, muncul pikiran bubuh diri.
Sedangkan gejala-gejala somatik yang mungkin timbul ialah klien
terlihat tak senang, lelah, tidak bersemangat atau apatis. Terdapat
4
anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian),
insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi (Maramis, 1990)
b. Mania
Mania adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan kegembiraan yang berlebihan dan kegiatan motorik yang
meningkat (Stuart and Sundden, 1998)
c. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai.
Meskipun demikian, pengetahuan tentang sebab musabab dan
patogenesisnya sangat kurang. Menurut Kreapelin pada penyakit ini
terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya, oleh karena itu
disebut demensia (kemunduran intelegensi) prekox (muda;sebelum
waktunya).
Pembagian skizofrenia menurut Kreapelin digolongkan menurut gejala
utamanya. Pembagian tersebut yaitu :
1. Skizofrenia simpleks : sering muncul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utamanya ialah kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan.
2. Jenis hebefrenik (skizofrenia hebefrenik atau hebefrenia).
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gannguan proses pikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi atau doublepersonality.
3. Jenis katatonik (skizofrenia katatonik atau katatonia). Muncul
pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
didahului oleh stress emosional. Mungkin juga terjadi gaduh-gelisah
atau stupor katatonik.
a. Stupor katatonik. Pada stupor katatonik [enderita tidak
meninjukkan perhatian sama sekali tergadap lingkungannya.
Emosinya sangat dangkal. Gejala psikomotor yang mungkin
yaitu :
mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
5
muka tanpa mimik, seperti topeng
stupor, klien tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang
lama, beberapa hari bahkan kadang-kadang sampai beberapa
bulan
bila diganti posisinya, klien menentang : negativisme
makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul
di dalam mulut dan meleleh keluar
terdapat grimas dan katalepsi
b. Gaduh-gelisah katatonik. Terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi
tidak disertai emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.
4. Jenis paranoid. Skizofrenia paranoid agak berbeda dar jenis-jenis
yang lain. Jenis skizofrenia ini sering muncul sesudah usia 30 tahun.
5. Episode skizofrenia akut. Gejala skizofrenia muncul mendadak
sekali dan keadaan ini seperti dalam keadaan mimpi. Dalam keadaan
ini muncul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri
berubah, semuanya sekan-akan mempunyai suatu arti yang khusus
baginya.
6. Skizofrenia residual. Yaitu keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala
primernya Bleuer, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder.
Keadaan ini muncul sesudah beberpa kali serangan skizofrenia.
7. Jenis skizo-afektif. Disamping gejala-gejala skizofrenia terdapat
gejala yang menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi
(skizo-depresif) atau gejala-gejala mania (skizo-mania).
d. Lain-lain
psikosis episodik
psikosis stipikal
gangguan obsesif-konfulsif. Istilah obsesif menunjuk pada suatu ide
yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah konfulsif menunjuk pada
dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan
sesuatu. Kompilsi ialah suatu tindakan yang dilakukan berkali-kali,
misalnya mencuci tangan, enghitung nomor-nomor atau mengatur
6
barang-barang tertentu ke dalam posisi tertentu. Kadang-kadang
perbuatan kompulsi sangat kompleks.
III. KONTRAINDIKASI
Hampir semua kontraindikasi tidaklah terhadap aliran listruik itu sendiri,
akan tetapi bagi konvulsi yang muncul konvulsi ini berat untuk system
kardiovaskuler dan tulang-tulang. Dekompensasi cordis dan anerisma aorta
serta penyakit tulang dengan bahaya fraktur merupakan kontraindikasi untuk
ECT, tetapi boleh saja diberikan jika dipakai suntikan oabat pelemas otot
(derivat kurare), sehingga tidak terjadi konvulsi (Ernaldi Bahar, 1994).
1. Tumor otak.
Kontraindikasi mutlak ialah tumor otak, karena listrik yang masuk
meningkatkan permeabilitas kapiler otak, sehingga terjadi sedikit edema.
Hal ini dapat menjadi fatal pada tumor otak yang memang sudah
menyebabkan edema dan meningkatkan tekanan intrakranial, karena
terjadinya inkarserasio (terjepitnya batang otak atau abgian otak
lainnya).
2. Infark miokard akut
Bila ada tuberculosis pulmonal, thrombosa koroner, hipertensi atau
gangguan yang lain pada system kardiovaskuler kita tidak hanya harus
mempertimbangkan keadaan setiap pasien, tetapi juga beratnya penyakit
jiwa yang dapat membertakan penyakitnya bila pasien terus gelisah.
IV. CARA KERJA ECT
Secara pasti tidak diketahui bagaimana ECT dapat mengobati pasien
jiwa, tetapi menurut Papolos (2007), kerja ECT pada tubuh manusia
diperkirakan sama dengan kerja antidepresan yang merangsang pengeluaran
monoamin ssp (termasuk dopamine, norepineprin dan serotonin) yang
berperan penting pada keadaan tidur dan bangun. Monoamin ini diduga
dihasilkan di dalam badan sel neuron dan disebarkan dalam vesikel-vesikel
melalui aliran aksoplasma menuju ujung saraf.
7
Telah terbukti melalui teknik pewarnaan histofluoresensi bahwa sistem
distribusi seluruh monoamin dalam SSP berasal dari badan sel yang terdapat
dalam batang otak. Lintasan norepineprin dan serotonin diproyeksikan
keatas (ke berbagai bagian otak) dan bawah otak (ke medulla spinalis),
sedangkan lintasan dopamine hanya ke atas saja. Lintasan dopamine dan
norepineprin diyakini merangsang keadaan terjaga yang disadari. Jaras
norepineprin yang bertanggung jawab atas tidur gerakan mata cepat (rapid
eye movement). Kerusakan lokus seruleus (badan sel yang mengandung
norepineprin) dalam batang otak dapat menekan tidur REM. Jaras serotonin
yang berasal dari nuclei rafe batang otak akan menghambat perangsangan
RAS dan mempercepat tidur REM maupun Non-REM. Kerusakan nuclei ini
akan menimbulkan insomnia. Beberapa agen farmakologi yang merangsang
atau menghambat monoamin dapat mengubah keadaan terjaga dan tidur.
Fungsi penting lain dari monoamin ssp adalah pengaturan tingkah laku
emosional melalui jaras yang diproyeksikan ke hipotalamus dan sistem
limbic. Mekanisme yang mempengaruhi pengaturan ini belum banyak
diketahui dan dimengerti. Obat sedatif utama yang dapat mempengaruhi
emosi seseorang dianggap berpengaruh terhadap sistem neuronal monoamin
ssp (Coffey CE, et all, 1991).
V. FREKUENSI DAN JUMLAH
Frekuensi dan jumlah ECT tergantung pada penderita. ECT dapat diberikan :
1. Secara “block” : 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
2. 2-3 kali seminggu.
3. ECT “maintenance” : sekali setiap 2-4 minggu.
4. Sebelum zaman obat psikotropik, ECT diberi paling sedikit 12 kali, bila
perlu sampai 20 kali tetapi sekarang bila diberi bersama obat psikotropik,
maka ECT dihentikan setelah pasien menunjukkan perbaikan yang jelas
(tidak sampai 12 kali) dan dilanjutkan dengan obat saja.
8
VI. REAKSI PENDERITA
Konvulsi yang timbul mirip serangan epilepsy jenis grand mal dengan
fase tonik kira-kira 10 detik oleh fase klonik yang lebih lama (30-40 detik).
Sesudah fase klonik timbul fase relaksasi otot dengan pernapasan yang
dalam dan keras. Kebanyakan pasien tidur sesudah konvulsi, beberapa
penderita menjadi sangat binggung sesudahnya (kebingungan postkonvulsi).
VII. RISIKO DAN EFEK SAMPING YANG MUNGKIN MUNCUL
Walaupun ECT terapi yang biasanya aman, namum ada juga risiko dan
efek samping yang dapat ditemui menurut Dwork AJ, et all (2004), yaitu :
a. Efek samping Positif
Perilaku klien lebih asertif, hal ini sangat sesuai bila dikaitkan dengan
cara kerja ECT, dimana ECT akan merangsang keluarnya monoamine
susunan saraf pusat khususnya serotonin yang berpengaruh terhadap
hypothalamus dan limbic system sehingga akan terjadi perubahan
perilaku yang lebih diharapkan (asertif)
b. Efek Samping Negatif
Pasien mengalami kebingungan
Terjadi peningkatan denyut jantung, tekanan darah
ECT dapat mempengaruhi memori. Menurut Guyton, 2002 Keadaan
kelelahan perjalanan sinaps akibat perangsangan kecepatan tinggi maka
akan mengurangi kelebihan keadaan eksitabilitas untuk sementara
waktu, contohnya selama kejang pada ECT. Mekanisme keadaan
kelelahan ini terutama disebabakan oleh kelelahan ujung sinaps untuk
mentimpan bahan tranmiter terutama karena ujung serabut eksitasi pada
banyak neuron, dapat menyimpan bahan eksitasi hanya untuk sekitar
10.000 perjalanan sinaps normal, karena itu bahan transmitter dapat
habis dipakai dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit setelah
perangsangan yang cepat. Sebagian proses kelelahan juga disebabkan
oleh beberapa faktor :
1. Banyak reseptor membran post sinaps menjadi semakin inaktif
9
2. Lambatnya pembentukan ion dalam sel neuron postsinaps dengan
kadar abnormal sehingga timbul penghambatan pada neuron
postsinaps sehingga dapat menimbulkan kehilangan memori jangka
pendek.
VIII. TEKNIK DAN ALAT
Alat elektrokonvulsi (atau elektrokonvulsator) yang mengeluarkan aliran
lsitrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran simusoid
tersebut, sehingga pasien menerima aliran listrik yang terputus-putus.
Pada konvulsator terdapat pengatur tekanan lsitrik (voltasi) dan juga
pengatur waktu yang secara otomatis memutuskan aliran listrik yang
keluar sesudah waktu yang ditetapkan. Pada permulaan (untuk konvulsi
yang pertama kali bagi pasien) biasanya dipakai 100-150 V dan 0,2 - 0,3
detik dengan konvulsator yang pertama dan 4 J dengan 2-3 detik dengan
konvulsator yang kedua (Hardiman dkk, 1995).
IX. PERSIAPAN PASIEN
Persiapan yang dilakukan oleh perawat yaitu :
Pasien / keluarga diberi penjelasan tentang mafaat dan akibat ECT
Pemeriksaan fisik lengkap
Pemeriksaan TTV pasien
Pemeriksaan penunjang : EKG & ECG
Puasakan pasien. Bila ECT akan dilakukan pagi hari, pasien
dipuasakan semalaman (mulai jam 10 malam sebelumnya) dan tidak
diberikan makan paginya. Bila akan dilakukan di siang hari, maka
pelaksanaan ECT dijarakkan 4-6 jam dari makan siang hari.
Segera sebelum ECT dilaksanakan pasien disuruh buang air (vasica
urinaria dan rectum sebaiknya dikosongkan.
10
X. PERSIAPAN ALAT
Persiapan yang dilakukan oleh petugas yaitu :
Menyiapkan ECT yang dipakai dengan aliran listrik dasar 125 volt,
tekanan 0,6 Ampere, 80 Watt, mempunyai transformator sampai
mencapai 450 Volt dengan timer 0,1 - 0,8 second.
Sebuah knop untuk mengisi aliran.
Elektroda bundar berdiameter 5 - 6 cm dengan pemegang yang tidak
merambatkan aliran.
Karet/plastik tebal berbentuk bujur dengan ukuran 10 x 6 cm atau tebal 3
mm untuk mengganjal gigi dan dibungkus dengan bahan lembut untuk
menahan agar gigi pasien tidak menggigit lidah atau bibirnya.
Tempat tidur berkasur, pengikat tangan dan kaki.
Tabung oksigen dan peralatannya.
Alat penghisap lendir.
Alat suntik dan obat-obatan untuk persiapan emergensi (adrenalin,
kortisone).
XI. PELAKSANAAN
Dilakukan oleh petugas ECT menurut :
Perawat mencatat vital sign pasien.
Pasien diantar ke kamar untuk ECT.
Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan berpakaian
longgar.
Bantalan gigitan dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada rahang
bawah. Perawat lainnya menahan bagian bahu, pinggul dan lutut, secara
fleksibel agar tidak terjadi gerakan yang mungkin menimbulkan
dislokasi atau fraktur akibat terjadinya kejang.
Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan kanan yang
telah dilapisi kassa yang telah dibasahi dengan air garam. Pada hitungan
ke tiga, tekan tombol ECT sehingga lampu alat menyala. Selang
beberapa detik lampu alat ECT padam secara otomatis dan elektroda
terlepas.
11
Amati reaksi pasien, jika gagal (tidak mengalami kejang maka tunggu
beberapa menit untuk mengantisipasi munculnya kejang yang bereaksi
lambat). Jika berhasil, sesaat setelah aliran listrik diberikan akan terjadi
kejang-kejang yang didahului oleh fase kejang tonik dan kemudian
diikuti kejang tonik klonik dan muncul apnea sesaat lalu baru terjadi
kembali pernapasan spontan.
Bila apnea berlangsung terlalu lama maka perlu diberikan bantuan
oksigen dan pernapasan buatan atau tindakan lainnya.
Miringkan kepala pasien ke samping kiri/ kanan dengan posisi mulut
lebih rendah dari saluran kerongkongan dan tenggorok untuk
mengalirkan air ludah yang mungkin akan menyumbat saluran napas.
Lakukan fiksasi agar pasien tidak terjatuh dari tempat tidur.
Evaluasi hasil tindakan, jika pasien gelisah setelah dilakukan ECT segera
laporkan ke dokter.
XII. PERAN PERAWAT DALAM TINDAKAN ECT
1. Peran perawat sebelum tindakan ECT
a. Persiapan Diri Perawat
Pengetahuan tentang ECT, meliputi definisi, indikasi, kontraindikasi,
komplikasi, efek samping dan penatalaksanaan (Tim Keperawatan
Jiwa PSIK UNSRI, 2005).
b. Persiapan Alat yang dapat Dilakukan oleh Perawat
Persiapan ini dapat dilakukan oleh perawat setelah perawat
memahami ECT itu sendiri. Adapun peralatan yang dipersiapkan
menurut Marramis (1990) :
Siapkan ECT yang dipakai dengan aliran listrik dasar 125 volt,
tekanan 0,6 Ampere, 80 Watt, mempunyai transformator
sampai mencapai 450 Volt dengan timer 0,1 - 0,8 second.
Sebuah knop untuk mengisi aliran.
Elektroda bundar berdiameter 5 - 6 cm dengan pemegang yang
tidak merambatkan aliran.
12
Larutan garam untuk mengisi aliran.
Karet/ plastik tebal berbentuk bujur dengan ukuran 10 x 6 cm
atau tebal 3 mm untuk mengganjal gigi dibungkus bahan
lembut untuk menahan agar gigi pasien tidak menggigit lidah
atau bibirnya.
Tempat tidur berkasur, pengikat tangan dan kaki.
Tabung oksigen.
Pengikat tangan dan kaki.
Sampiran.
c. Persiapan Pasien
Adapun peran perawat disini adalah sebagai berikut (Tim Keperawatan
Jiwa PSIK UNSRI, 2005) :
Mengumpulkan data yang diperlukan berupa riwayat penyakit
pasien, diagnosa medis, diagnosa keperawatan, hasil pemeriksaan
penunjang (laboratorium, EEG, kondisi muskuloskletal).
Pengumpulan data ini ditujukan agar asuhan keperawatan yang
diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu-kesatuan.
Perawat memberikan penjelasan kepada klien mengenai apa itu
ECT, manfaatnya, akibat dan efek samping. Hal ini merupakan
hak klien yang harus diperhatikan oleh perawat dimana dalam hal
ini sangat berkaitan dengan salah satu inti peran perawat yaitu
sebagai advokat, selain itu diharapakan klien menjadi lebih
kooperatif dalam tindakan ECT, seperti pentingnya klien
dipuasakan 3 - 6 jam sebelum dilakukan ECT untuk menghindari
terjadinya asfiksia akibat masuknya makanan ke jalan napas dan
berpakaian longgar.
Perlu bagi perawat untuk memastikan bahwa klien tidak
menggunakan gigi palsu. Apabila klien menggunakan gigi palsu
penting bagi perawat untuk menjelaskan kepada klien untuk
melepaskan gigi palsunya agar tidak menutupi jalan nafas.
13
d. Persiapan Lingkungan
Dalam pelaksanaan ECT, perawat memasang sampiran dan
mendekatkan alat-alat ke tempat tidur.
2. Pelaksanaan
Dilakukan oleh petugas ECT menurut American Psychiatric
Association (2001):
Petugas ECT datang ke ruangan
Mencatat vital sign pasien.
Pasien diantar ke kamar untuk ECT.
Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan
berpakaian longgar.
Bantalan gigitan dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada
rahang bawah, perawat lainnya menahan bagian bahu, pinggul dan
lutut, secara fleksibel agar tidak terjadi gerakan yang mungkin
menimbulkan dislokasi atau fraktur akibat terjadinya kejang.
Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan kanan
yang telah dilapisi kassa yang telah dibasahi dengan air garam.
Pada hitungan ke tiga, tekan tombol ECT sehingga lampu alat
menyala. Selang beberapa detik lampu alat ECT padam secara
otomatis dan elektroda terlepas.
Mengamati reaksi pasien, jika gagal (tidak mengalami kejang maka
tunggu beberapa menit untuk mengantisipasi munculnya kejang
yang bereaksi lambat).
Jika berhasil, sesaat setelah aliran listrik diberikan akan terjadi
kejang-kejang dan didahului oleh fase kejang tonik dan kemudian
diikuti kejang tonik klonik dan muncul apnea sesaat, baru terjadi
kembali pernapasan spontan. Kepala pasien dimiringkan ke
samping kiri/ kanan dengan posisi mulut lebih rendah dari saluran
kerongkongan dan tenggorok untuk mengalirkan air ludah yang
mungkin akan menyumbat saluran napas.
Lakukan fiksasi agar pasien tidak terjatuh dari tempat tidur.
14
Evaluasi hasil tindakan, jika pasien gelisah setelah dilakukan ECT
segera laporkan ke dokter.
Ukur kembali tanda vital setelah 15 menit.
15
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2001. The Practice of ECT: Recommendations for Treatment, Training, and Privileging. Washington, DC: American Psychiatric Press Inc.,
Anna, Budi.1999. Asuhan Klien Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta : FIK-Universitas Indonesia.
Ann, Isaack. 2004. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Jakarta : EGC
Coffey CE, et all. 1991.: Brain anatomic effects of ECT: A prospective Magnetic resonance imaging study. Archives of General Psychiatry
Dwork AJ, et all. 2004. Absence of histological lesions in primate models of ECT and magnetic seizure therapy. American Journal of Psychiatry.
Hardiman, dkk. 1995. Pelatihan Tehnik ECT dengan Premedikasi. Semarang : RS Jiwa Pusat Semarang
Konferensi Nasional Keperawatan Jiwa III. 2006. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Semarang : Konferensi Nasional III
Maramis, WE. 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Universitas Airlangga
Popolos, Demitris. 2007. Electroconvulsive Therapy. http : www.wikipedia net.id. (Diperoleh 24 Maret 2007)
Rasmun.2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi dengan Keluarga. Jakarta : PT. Fajar Interpratama.
RS Jiwa Daerah Profinsi Sumatera Selatan. 2004. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Jiwa. Palembang : RS Jiwa Daerah Profinsi Sumatera Selatan
Stuart, GW dan Sundeen, SJ. 1995. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 5th ed. St. Louis : Mosby Year Book
Stuart, GW dan Laraia, MT. 1998. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 5th ed. St. Louis : Mosby Year Book
Townsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatrik : Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC.
16
TILIKAN (INSIGHT)
Tilikan adalah kemampuan pasien untuk mengerti peyebab sebenarnya dan
arti dari satu situasi( sekumpulan gejala)
Secara umum tilikan adalah derajat kesadaran dan pengertian pasien
bahwa mereka sakit. Pasien mungkin menunjukan penyangkalan penyaitnya atau
mungkin menunjukan suatu kesadaran bahwa meraka sakit tetapi melemparkan
kesalahan pada orang lain, pada faktor eksternal,atau faktor organik
Mereka mungkin mengetahui bahwa mereka menderita penyakit tetapi
menggambarkannya sebagai suatu yang tidak diketahu atau misterius didalam diri
mereka
Tilikan dibagi menjadi:
• Tilikan intelektual : mengeri kenyataan objektif tentang suatu keadaan
tanpa kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam cara yang
berguna untuk mengatasi situasi tersebut
• Tilikan sesungguhnya : mengerti kenyataan objektif tentang suatu situasi,
yang kemudian ditindak lanjuti dengan motivasi dan daya pendorong
(impetus) secara emosional untuk mengatasi situasi tersebut
• Tilikan yang terganggu: menghilangnya kemampuan untuk mengerti
kenyataan objektif dari suatu situasi
Tingkatan dari Tilikan itu sendiri dibagi menjadi :
1. Penyangkalan penyakit sama sekali
2. Agak menyadari bahwa mereka asalah sakit dan membutuhkan bantuan,
tetapi dalam waktu yang bersamaan menyangkal penyakitnya
3. Sadar bahwa mereka adalah sakit tetapi melemparkan kesalahan kepada
orang lain
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui
pada diri pasien
5. Tilikan intelektual ; menerima bahwa dirinya sakit dan bahwa gejala atau
kegagalan dalam penyesuaian sosial adalah disebabkan oleh perasaan
irrasional atau gangguan tertentu dalam diri pasien sendiri tanpa
menerapkan pengetahuan tersebut untuk pengelaman dimasa depan
17
6. Tilikan emosional sesungguhnya; kesadaran emosional tentang motif dan
perasaan didalam diri pasien dan orang yang penting dalam keidupannya
yang dapat meyebabkan perubahan dasar dalam perilaku .
18