tugas aphasia dan apraksia cika
DESCRIPTION
NeurologiTRANSCRIPT
TUGAS NEURO ANATOMI DAN PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR
AFASIA DAN APRAKSIA
OLEH:
PPDS 1
dr. An Nisaa’ Novrizka Sari
PEMBIMBING
dr. Sri Budhi Rianawati, Sp. S (K)
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015
PEMERIKSAAN AFASIA
Afasia merupakan hilangnya atau terganggunya fungsi berbahasa akibat adanya
kerusakan pada bagian otak khususnya di hemisfer serebral. Lesi di tempat tertentu akan
memberikan gambaran afasia yang berbeda pula sesuai dengan letak kerusakannya.
Apfasia biasanya akan membaik dalam waktu beberapa minggu setelah serangan dan
akan memberikan peningkatan secara bertahap pada 1 tahun pertama.
1. Anatomi dan Fisiologi gangguan berbahasa:
1.1 Hemisfer Dominan dan Kidal/ tidak kidal
Untuk mengetahui hemisfer otak yang dominan dari seseorang, dilihat dari
kebiasaan tangan yang digunakan untuk beraktivitas. 90-99% dari manusia
menggunakan tangan kanan lebih dominan dibandingkan tangan kiri. Pada ±90%
dominan tangan kanan dan 60% dominan tangan kiri, aphasia terjadi setelah adanya
lesi pada hemisfer kiri. Pada beberapa individu didapatkan dominan campuran kedua
sisi hemisfer, yaitu sekitar 15-20%. Namun, pada sebagian kecil dominan tangan
kanan memiliki hemisfer kanan sebagai hemisfer dominannya. Gangguan berbahasa
yang terjadi pada dominan tangan kanan dan lesi terletak pada hemisfer otak sebelah
kanan maka disebut dengan crossed aphasia, namun kasus ini jarang terjadi. Pada
pasien dengan stroke hemiparese kiri, pemulihan afasianya lebih baik pada pasien
dominan tangan kiri dibandingkan dengan pasien dominan tangan kanan.
Terdapat cara lain untuk menentukan dominasi salah satu sisi hemisfer, yaitu
dengan tes Wada. Tes Wada adalah menginjeksi Barbiturat pada salah satu hemisfer
otak untuk menghilangkan fungsi kognisi salah satu sisi otak. Tes Wada dilakukan
dengan memasukkan kateter dari arteri femoralis ditelusuri sampai arteri carotis
interna. Setelah kateter sampai pada arteri carotis interna, barbiturat diinjeksikan.
1
1.2 Macam Berbahasa
Bahasa merupakan fungsi dari korteks serebri. Kemampuan untuk berbahasa
tidak hanya dilakukan oleh otot motorik, namun juga fungsi pengenalan dan
interpretasi dari memori yang teretensi, di-recall dan divisualisasikan yang
dipengaruhi juga oleh ekspresi seseorang.
Hecker menjelaskan terdapat sembilan macam modalitas dari fungsi luhur,
diantaranya: memori, bahasa, praksis, visuospasial, atensi dan konsentrasi, kalkulasi,
judgement dan praksis, reasoning, serta abstaksi. Dimana bahasa merupakan bagian
dari fungsi luhur yang merupakan mekanisme untuk menyampaikan keinginan dan ide
melalui simbol suara (auditoris), tulisan (grafik) maupun gerak (gesture dan
pantomim).
Verbal merupakan penyampaian informasi melalui kata-kata baik lisan
maupun non-lisan. Bahasa verbal dalam komunikasi dibedakan menjadi vokal dan
non-vokal. Verbal vokal termasuk bahasa yang kita ucapkan, sedangkan verbal non-
vokal termasuk komunikasi tertulis melalui bahasa isyarat, pengejaan dengan jari,
Braille, dan lain sebagainya.
2
Non-verbal merupakan bentuk komunikasi yang tidak melibatkan penggunaan
kata melalui pembicaraan maupun tulisan, sehingga dalam prakteknya, komunikasi
non-verbal menggunakan suara, ruang, objek, gerakan, waktu, dan lima panca indera
untuk menyampaikan maksudnya. Komunikasi non-verbal berfokus pada gerak fisik
dan manipulasinya sehingga sering disebut sebagai communicative behaviour, yang
terdiri atas:
Vokalik (penggunaan suara, namun bukan dalam bentuk kata)
Proksemik (penggunaan spasial, seperti orangtua berdiri di sebelah anaknya)
Artefak (objek yang memberikan informasi tentang sesuatu, misal pakaian
milik seseorang, buku, dll)
Gerakan (misal kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dll)
Kronemik (penggunaan waktu, misal datang tepat waktu/lebih awal
menginformasikan bahwa orang tersebut menghargai pihak lainnya)
Panca indera (penggunaan panca indera untuk menunjukkan maksud, misal
ketika tidak senang maka menambahkan banyak cabe pada masakan
sehingga orang yang memakannya menjadi kepedasan)
1.3 Macam dan istilah Afasia
Gangguan dalam berbicara di bidang neurologi terdiri dari afasia dan disartria.
Afasia merupakan gangguan dalam berbahasa, sedangkan disartria adalah gangguan
dalam produksi suara (artikulasi). Gangguan berbahasa adalah gangguan dalam
menyampaikan memahami pembicaraan (auditoris), gerakan (gesture), maupun
tulisan yang sebelumnya intak, karena kerusakan pada otak. Gangguan dalam
berbahasa disebut dengan afasia.
3
Afasia dapat dibedakan menjadi afasia fluent dan afasia non fluent. Terdapat
delapan jenis sindroma afasia yang umum. Sindroma afasia itu, yaitu afasia Broca,
afasia Global, afasia Wernicke, afasia konduksi, afasia transkortikal campuran, afasia
transkortikal motorik, afasia transkortikal sensorik, dan anomic
1.4 Proses berbahasa Verbal
Proses berbahasa verbal dimulai ketika seseorang mendengarkan perintah,
informasi bahasa tiba pada area Wernicke. Yang terletak dekat korteks auditoris
primer (gyrus Heschl’s) pada girus temporalis transversalis. Impuls kemudian
dilanjutkan melewati girus parietalis melalui fasikulus arkuatus ke area Broca. Pada
area ini impuls dieksekusi, diterjemahkan dan dirubah menjadi gerakan motorik
pada lidah, bibir, laring dah faring.
Proses berbahasa verbal juga dimulai ketika seseorang membaca dengan
suara keras. Pada saat membaca, impuls visual diterima melalui retina dan diteruskan
ke korteks visual primer (area 17) dan sekunder (area 18 dan 19) pada lobus oksipital
kedua hemisfer otak. Kedua regio otak tersebut kemudian mengirimkan impuls ke
area asosiasi lobus parietal kiri (daerah oval, sekitar girus angularis), yang
mengkonversikan teks menjadi bahasa. Impuls yang berasal dari lapang pandang
4
mata kiri yang mana diterima korteks otak kanan, harus terlebih dahulu melalui
korpus kalosum bagian posterior untuk mencapai pusat bahasa. Impuls tersebut
kemudian dilanjutkan melalui fasikulus arkuatus menuju area Broca, dieksekusi,
diterjemahkan dan dirubah menjadi gerakan motorik pada lidah, bibir, laring dah
faring.
1.5 Kortek pusat berbahasa
Secara klasik, pusat berbahasa terletak pada daerah sekitar sulcus sylvii pada
hemisfer dominan. Seperti yang dijelaskan di atas, sebagian besar manusia memiliki
korteks dominan pada hemisfer kiri. Berdasarkan studi meta-analisis yang diakukan
pada tahun 2012 oleh Dewitt dan Rauschecker, ditemukan bahwa area yang
mempengaruhi fungsi persepsi berbahasa pada girus temporalis superior selain bagian
posterior (area Wernicke). Berdasarkan studi ini fungsi untuk penyusunan fonem
terletak pada bagian tengah dari girus temporalis superior, sedangkan penyusunan
kata-kata terletak pada bagian anterior dari girus temporalis superior.
Struktur anatomi khusus yang mengatur fungsi berbahasa, antara lain area
Broca, area Wenicke, fasikulus arkuatus, Girus Angularis dan Exner’s Center.
5
Gambar 1 Skema struktur utama pada proses berbahasa. (W: Wernicke;B:Brocca;
A: Angularis; EC:Exner’s writting center; SP: Superior parietal lobus; PCG: Post
central gyrus; T: Pars Triangularis). Sumber: Kaufman’s Clinical Neurology for
Psychiatrics, 7th Ed. 2013. Elsevier Inc.
a. Area Broca
Area Broca terletak pada girus frontalis inferior hemisfer dominan di depan area motorik
primer untuk wajah, bibir dan lidah. Broca terletak pada Area 44 dan berfungsi untuk
merencanakan kata-kata dan mengkoordinasikan gerakan otot bibir, wajah dan lidah.
b. Area Wernicke
Area Wenicke terletak pada girus temporalis superior bagian posterior pada hemisfer
dominan. Wernicke terletak pada daerah 22. Area ini berfungsi untuk komprehensi dari
kata-kata. Gangguan pada area Wernicke akan menyebabkan terganggunya pemahaman
terhadap kata-kata.
c. Fasikulus Arkuatus
Fasikulus arkuatus merupakan serabut asosiasi penting yang menghubungkan antara area
Wernicke dan area Broca, serabut ini membentuk huruf C dan mengelilingi sulkus Sylvii.
Kerusakan pada area ini dapat menyebabkan afasia konduksi.
d. Girus Angularis
6
Girus Angularis terletak pada area 22 di lobus parietalis inferior hemisfer dominan. Area
ini berfungsi untuk mengubah impuls bahasa visual, taktil, dan gesture menjadi impuls
auditoris yang dikenali oleh area Wernicke. Tulisan yang dibaca diubah menjadi impuls
auditorik pada area ini.
e. Exner’s Center
Area Exner adalah area untuk perencanaan menulis. Area Exner terletak pada lobus
frontalis sisi dominan, di superior dari area 8 dan di anterior dari area motorik untuk
gerakan tangan.
Area berbahasa divaskularisasi oleh arteri cerebri media. Arteri cerebri media pada
segmen kedua (M2) terbagi menjadi divisi superior dan inferior. Divisi superior
memvaskularisasi area bahasa anterior, sedangkan divisi inferior memvaskularisasi area
bahasa posterior. Segmen M2 melanjutkan diri sebagai segmen M3 untuk memvaskularisasi
daerah korteks.
2. Teknik pemeriksaan Afasia
7
Penilaian afasia dilakukan pada penderita dengan kecurigaan lesi pada hemisfer
dominan dari otak. Syarat dilakukan pemeriksaan ini adalah pasien kesadaran penuh dan tidak
didapatkan gangguan emosional. Pada penderita yang menguasai beberapa bahasa/ polygot,
fungsi berbahasa diperiksa pada semua bahasa yang dikuasainya. Terdapat enam komponen
yang harus diperiksa dalam menilai fungsi berbahasa, yaitu kelancaran (fluency), pemahaman
(comprehension), pengulangan (repetition), penamaan (naming), membaca (reading), dan
menulis (writing).
Terdapat beberapa instrumen yang dipakai untuk standardisasi pemeriksaan afasia.
Instrumen itu antara lain Boston Diagnostic Aphasia Examination, Western Aphasia Battery,
dan lain-lain.
a. Kelancaran (Fluency)
Fungsi : memeriksa kelancaran berbicara.
Cara : pasien ditanya nama, alamat, berada dimana, dan sebagainya.
Pemeriksa menganalisis apakah pasien menjawab dengan lancar, tidak terbata-bata, dan
spontan.
Hati-hati :
oemotional speech: non fluent aphasia kadang juga bisa memaki saat marah
oautomatic speech: dapat mengucapkan 1 kata, fragmen kata, stereotipi, kadang dapat
mengucapkan respon sosial umum seperti, “halo”, dapat pula berkata 123, abc,
maupun lagu umum.
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan kelancaran berbicara:
a. Parafasia
o fonemik: bunyinya mirip (kursi à kuni), kelainan di anterior
o semantik: (jam à bulat), kelainan di posterior: perisylivian
b. Neologisme: membentuk kosakata baru
8
c. Gangguan berat, px tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun
Pada pasien dengan gangguan kelancaran berbicara kadang masih dapat menggunakan
pantomim, mimik, angguk.
b. Pemahaman (Comprehension)
Cara:
o Pemeriksa memberikan perintah sederhana:“buka mata”, “tutup mata”, “tunjukkan
gigi”
o Bila tidak bisa: beri pertanyaan tertutup, dicoba pada beberapa pertanyaan agar tidak
bias
o Sering terjadi gangguan pemahaman kalimat pasif. “singa dibunuh oleh harimau.
Binatang apa yang mati?”
Gangguan komprehensif
o Bahasa lisan
o Bahasa tulisan
Pada pasien dengan gangguan kelancaran berbicara kadang masih dapat menggunakan
pantomim, mimik, angguk.
Pemeriksaan yang sering menyebabkan bias:
o Pasien dengan gangguan pemahaman tidak boleh diperiksa dengan perintah rumit
seperti, “ambil kertas dengan tangan kanan, lipat jadi dua, serahkan dengan tangan
kiri” (merupakan pemeriksaan status mental)
o Pasien dengan gangguan pemahaman mungkin dapat meniru gerakan pemeriksa,
sepeti meletakkan telunjuk ke hidung, menjulurkan lidah (bukan fungsi berbahasa
tetapi fungsi di bawah pemahaman)
o Perlu diperiksa disorientasi kanan dan kiri, bagian dari Gertsmann syndrome karena
gangguan pada daerah posterior
9
c. Pengulangan (Repetition)
Cara:
o Diminta mengulang kata atau beberapa kata
o Diminta untuk menirukan urutan angka, tetapi ada satu angka yang sengaja
dilewati agar tidak terjadi automatic speech
o Diminta untuk mengulang kalimat kompleks
Gangguan pengulangan sering terjadi pada gangguan kelancaran dan pengulangan,
sehingga sehingga dilakukan untuk skrining afasia. Ganguan pengulangan dapat berupa
pengabaian kata, parafasia, maupun gangguan urutan kata. Pemeriksaan normal pada
afasia anomik, transkortikal dan subkortikal
d. Penamaan (Naming)
Cara:
o Pemeriksa menanyakan nama benda sederhana dengan menunjukkan pada pasien,
seperti pulpen, kertas, koin, atau kunci. Bila pasien tidak dapat menyebutkan,
ditanyakan fungsi benda tersebut.
o Perintah menamai warna primer (merah, biru, kuning)
o Pemeriksa menanyakan nama benda dengan diberi pilihan pada kertas afasia
kadang dapat menunjuk dengan tepat.
o Diminta untuk menunjukkan benda yang disebut pemeriksa: “jendela”
o FAS test: sebutkan kata yang mengandung F/A/S
o Responsive naming: “dimana guru bekerja?”
Penamaan merupakan satu-satunya modalitas yang terganggu pada afasia anomik,
namun tidak spesifik Kemampuan pasien juga dipengaruhi oleh pendidikan dan
kebudayaan pasien.
e. Membaca (Reading)
10
Cara:
o Pasien diminta menjawab perintah tertulis yang diberikan pemeriksa secara per oral
o Bila tidak dapat, pasien diberi pertanyaan tertulis dengan jawabab ya/ tidak
Kelainan fungsi membaca: aleksia (pada kelainan kogenital disebut sebagai
disleksia). Aleksia dapat terjadi dengan disertai agrafia maupun tanpa agrafia. Aleksia
juga dapat disertai hemianopsia maupun tidak. Kemampuan tergantung pendidikan dan
kebudayaan pasien.
Hati-hati:
o Pemeriksaan untuk membaca bukan perintah untuk membacakan tulisan.
Membacakan tulisan merupakan kemampuan untuk copying-repetition-
transcribing, yang dapat normal pada pasien afasia
f. Menulis (Writing)
Cara:
o Pasien diminta menulis spontan, berupa kata, kalimat, atau paragraf
o Pasien diminta menulis diktasi pemeriksa. Hal ini juga menilai repetisi stimulus
verbal
o Pasien Menulis sesuai contoh
Dapat terganggu bila ada gangguan naming/ parafasia
Menilai koneksi reseptive language area dengan exner writing center
o Menilai naming: ditunjukkan benda, diminta menulis apa namanya
Kelainan dalam kemampuan menulis disebut agrafia. Pasien yang tidak memahami
bicara juga terganggu fungsi menulisnya. Gangguan dalam kelancaran bicara namun
dengan fungsi menulis normal disebut verbal apraxia.
11
3. Analisa pemeriksaan Afasia
12
a. Sindroma Afasia Umum
1. Afasia Broca
Nama lain: non fluent, motorik, anterior, prerolandik, eksekutif
Lokasi gangguan: Area bahasa perisylvii anterior pada daerah posterior frontalis inferior.
Ciri:
13
- Bicara spontan tidak lancar, hanya sedikit (beberapa kata, kalimat pendek, susunan
kalimat terganggu. Kadang disebut telegraphic speech.
- kesalahan parafasia fonemik, misalnya pasien berkata “parket” meskipun maksudnya
karpet.
- Pemahaman baik
- Tidak dapat mengulang
- Dapat identifikasi obyek, tetapi tidak dapat menamai
- Tidak dapat membaca keras.
- Tidak dapat menulis, meskipun pada tangan non paresis. Bila fungsi menulis normal,
disebut verbal apraksia.
Kelainan yang dijumpai pada area Broca:
Apraxia of Speech (AOS), disebut juga apraksia verbal, mini-Broca, Broca area’s
aphasia, disartria kortikal atau baby-Broca. AOS merupakan kelainan pada area Broca
dimana kelainan pada kontrol berbicara, bukan berbahasa. Pasien mengalami
gangguan kelancaran berbicara (tetapi fungsi bicara emosi dan autonom normal,
kemampuan penyusunan kalimat juga baik), pemahaman baik, pengulangan terbatas,
dan fungsi menulis baik.
Sindroma Infark Area Broca: ditandai dengan mutisme yang segera membaik menjadi
apraksia, gangguan kelancaran berbicara tanpa gangguan berbahasa.
Berdasarkann gambaran imaging dan patologi klinik terbaru, kelainan pada area Broca lebih
dominan berupa AOS ataupun sindroma infark area Broca, sedangkan afasia Broca muncul
apabila terjadi gangguan pada area Broca disertai gangguan pada substansia alba di
bawahnya. Pasien dengan lesi luas biasanya dapat mengalami afasia Broca persisten.
2. Afasia Wernicke
14
Nama lain: afasia fluent, reseptive, sensoris, posterior, atau post rolandic
Lesi: Regio posterior lobus Temporalis Superior yang mengenai korteks asosiasi auditoris,
girus angularis dan girus supramarginal.
Ciri:
- Kelancaran berbicara dengan parafasia dan neologisme
- Gangguan pemahaman
- Gangguan membaca
- Sering disertai gangguan lapang pandang, tanpa hemiparese.
- Pasien dapat teragitasi, dengan bicara yang tidak jelas, sehingga sering dianggap
sebagai kelainan psikotik.
Kelainan ringan pada pemahaman, berupa sedikit parafasia, disebut mini Wernicke. Kelainan
berat disebut Jargon afasia.
Gambar 8. Area lesi afasia Broca (warna merah muda), afasia Wernicke (warna coklat),
dan afasia global (dibatasi garis putus-putus). Sumber: Campbell, William W. DeJong’s The
Neurologic Examination 7th Edition. 2013. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.
3. Afasia Global
Nama lain: afasia total, ekspresif-reseptif, atau afasia komplit.
Lesi: luas, pada seluruh area bahasa peri-sylvii, atau lesi terpisah yang mengenai lobus
frontalis inferior posterior dan lobus temporalis superior posterior. Disebabkan oklusi arteri
carotis interna atau pada proksimal arteri cerebri media.
Ciri:
15
- Gangguan kelancaran dan gangguan pemahaman
- Disertai hemipegi dan gangguan lapang pandang
Lesi afasia global dapat meninggalkan gejala sisa yang mirip afasia Broca.
4. Afasia Konduksi
Lesi: jaras yang menghubungkan Wernicke dengan Broca. Sering pada substansia alba pada
girus supramarginal yang mengenai fasukulus arkuatus maupun fasikulus penghubung antar
pusat bahasa anterior-posterior lainnya. Dapat terjadi pada kelainan korteks saja, bila terjadi
emboli pada ujung arteri cerebri media.
Ciri:
- Gangguan pengulangan, dengan fungsi lain relatif normal.
- Terdapat gangguan komprehensif ringan, tidak seperti afasia Wernicke
- Bicara lancar, tetapi dengan parafasia
- Kesulitan membaca keras
- Kesulitan menulis dengan ejaan
- Kadang terdapat hemiparese ringan
Afasia konduksi sering disebabkan oleh emboli pada cabang terminal arteri serebri media.
Gambar 9. Area lesi afasia konduksi (area warna biru)
5. Afasia Anomik
16
Nama lain: afasia amnestik, atau afasia nominal
Lesi: dapat nonlocalizing syndrome, diduga pada bagian inferior lobus temporal, namun bila
disertai gangguan sindroma Gertsmann, maka lesi pada girus angularis.
Ciri: Pada afasia anomik, hanya terdapat gangguan penamaan dimana fungsi-fungsi lain
masih baik. Pasien berbicara lancar, memiliki pemahaman yang baik, dan mampu mengulang
kata. Kalimat yang terucap oleh pasien mungkin terasa kurang berisi dan berputar-putar, hal
ini mungkin disebabkan karena kesulitan dalam menemukan kata yang diinginkan.hanya
gangguan penamaan tanpa defisit fungsi bahasa lainnya.
Afasia anomik merupakan afasia yang paling sering ditemukan, namun juga merupakan jenis
afasia yang paling tidak spesifik
Gangguan penamaan ringan disebut dysnomia.
6. Afasia Transkortikal
Lesi: border zone infarction, semua lobus frontal, temporal maupun fasikulus arkuatus
normal.
Ciri: pasien afasia dengan fungsi pengulangan yang baik. Pasien hanya mengulang-ngulang
kata-kata pemeriksa. Pasien mungkin masih memiliki kemampuan pengulangan yang sangat
baik, sehingga selalu mengulang apapun yang ia dengar (echolalia). Afasia transkortikal
dibagi menjadi tiga:
- Afasia transkortikal campuran: komprehensif jelek, fluency jelek
- Afasia trankortikal motorik: komprehensif baik, fluency jelek
- Afasia transkortikal sensoris: komprehensif jelek, fluency baik
17
Gambar 10. Afasia transkortikal. TCM = transkortikal motorik, MTC = transkortikal
campuran, TCS = transkortikal sensorik, con = afasia konduksi. Sumber: Campbell,
William W. DeJong’s The Neurologic Examination 7th Edition. 2013. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins.
g. Afasia Subkortikal
Lesi vaskuler pada thalamus, nucleus caudatus, putamen,, substansia alba peri ventrikel, atau
capsula interna pada hemisfer dominan. Pada single-photon emission CT, didapatkan
hipoperfusi kortikal.
a. Anterior syndrome (afasia striatocapsular atau afasia caudatus)
- Bicara disartria lambat
- Kalimat baik, tidak telegrafik
- Pemahaman baik
- Gangguan penamaan
- Repetisi baik
- Disertai hemiplegi
b. Posterior syndrome (afasia thalamus)
- Bicara lancar tanpa disartria
- Pemahaman jelek
- Penamaan jelek
18
- Repetisi baik
- Disertai hemiplegi
h. Gangguan Bahasa Pada Hemisfer Non Dominan
Gangguan bahasa pada hemisfer non dominan menyebabkan gangguan dalam
memberikan irama, penekanan, emosi pada kata-kata. Kelainan berupa hiperprosodi,
hipoprosodi, atau aprosodi. Pasien juga mengalami gangguan dalam memahami
pengertian implisit.
Tabel 2 Jenis Afasia Menurut Benson, Geschwind pada Boston Aphasia Research Centers
Jenis Afasia Fluently Compre-
Hensive
Repetition Naming Reading Writing Lesi
Motorik/
Broca/
Ekspresif
Tak
Lancar
Baik Terganggu Terganggu Bervariasi Terganggu Frontal
Inferior
Posterior
Wernicke/
Reseptif
Lancar
Isi jelek
Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Temporal
Superior
posterior
Global Tak
Lancar
Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Fronto
Temporal
Konduksi Lancar Baik Terganggu Bervariasi Baik Baik Fasikulus
arkuatus girus
supramarginal
Anomik Lancar Baik Baik Terganggu Baik Terganggu Girus angular
Temporal
superior
posterior
Transkortikal
motorik
Tak
Lancar
Baik Baik Terganggu Bervariasi Terganggu Peri-silvian
anterior
Transkortikal
sensorik
Lancar Terganggu Baik Terganggu Terganggu Terganggu Peri-silvian
posterior
Transkortikal
campuran
Terganggu Terganggu Baik Terganggu Terganggu Terganggu
Apraksia
Verbal
Terganggu Baik Terganggu Terganggu Terganggu Baik
19
PEMERIKSAAN APRAKSIA
Apraksia adalah ketidakmampuan melakukan suatu keahlian atau gerakan-gerakan
kompleks, walaupun tidak terdapat paralisis ataupun gangguan fungsi motorik.
1. Anatomi dan Fisiologi Apraksia
1.1 Proses/ jalur fungsi luhur motorik
Lesi pada berbagai area korteks (girus supramarginal, regio lobus parietalis dan
oksipitalis, korteks premotor, dan area Broca 44-45), serabut asosiasi yang menghubungkan
seluruh area kortikal ini, dan lesi korpus kalosum dapat menyebabkan beberapa jenis apraksia.
Diantaranya adalah ketidakmampuan gerak yang sudah pernah dipelajari, dengan manifestasi
bervariasi dari kecerobohan menulis dan menggambar hingga agrafia, yakni suatu kondisi
dimana subjek tidak dapat menulis.
Gambar 8. Area asosiasi lobus parietalis, oksipitalis, dan temporalis. Ketiga lobus ini
berhubungan di regio girus angularis. Area Broca dan Wernicke ditunjukkan tampak pula
jaras asosiasi sekunder tersier, dan dari area asosiasi tersier ke area korteks premotor untuk
20
bahasa dan untuk wajah serta tangan.
Yang kedua, adalah ketidakmampuan melakukan serangkaian gerak motorik yang
kompleks (sering disebut apraksia transmisif), misal subjek yang biasanya bisa menyikat gigi
sendiri, menyisir rambut sendiri, mencuci muka, menali sepatu, tidak bisa melakukan itu
semua dalam rangkaian spesifik ketika diperintahkan (lesinya di girus supramarginalis).
Yang ketiga, hilangnya kemampuan artikulasi (kadang disebut afasia oral) dengan
tidak adanya abnormalitas pada otot-otot bicara seperti ldah, bibir, laring, dan palatum.
Subjek hanya menggunakan sedikit kata dalam percakapan dan mengalami salah eja pada
kata-kata yang umum digunakan atau mengulangi kata-kata tersebut berulang kali (lesinya di
area Broca 44 dan 45 dan di regio lainnya).
1.2 Macam Apraksia dan Letak Topis Gangguan
Apraksia ideomotor: Apraksia yang paling umum terjadi. Pada apraksia ini terjadi
ketidakmampuan mengubah sebuah ide menjadi suatu aksi. Contohnya, pasien
dengan apraksia ideomotor tidak dapat melakukan pantomim walaupun ia
memahami perintah dan memiliki kemampuan fisik yang normal. Letak lesinya
adalah pada lobus frontal atau lobus parietal hemisfer kiri. Beberapa peneliti
mengatakan bahwa apraksia jenis ini terjadi karena ada lesi yang memutus
hubungan antara area kognitif atau bahasa dengan area motorik.
Apraksia ideasional: Pada apraksia ini, lesi di temporoparietal hemisfer dominan
merusak perencanaan dan inisiasi aktivitas motorik yang kompleks. Pasien tidak
dapat melakukan serangkaian langkah-langkah atau mungkin tetap dapat
melakukannya namun tidak memahami makna atau tujuan gerakan tersebut.
Misalnya, pasien tidak bisa diminta berpura-pura melipat surat dan
menempatkannya ke dalam amplop lalu menulis alamat pada amplop tersebut dan
21
menempel perangko. Berlawanan dengan apraksia ideomotor yang berhubungan
dengan afasia nonfluent, apraksia jenis ini hampir tidak terpisahkan dari dementia.
Bahkan, apraksia ideasional adalah khas dari dementia frontotemporal yang
merefleksikan disfungsi eksekutif.
Apraksia bucofasial: Ketidakmampuan untuk melakukan perintah berupa gerakan
kompleks yang melibatkan bibir, mulut, muka, tanpa ada kelemahan dari bibir,
mulut, dan muka.
22
Apraksia simpatetik: Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan motorik yang
kompleks pada anggota gerak yg normal (non paretic limb).
Apraksia kinetik ekstremitas: Ketidakmampuan untuk melakukan/ kontrol
gerakan motorik halus. Jarang ditemukan.
Apraksia konstruksional: Ketidakmampuan memahami hubungan spasial.
Apraksia komseptual: Gangguan pengetahuan tentang cara menggunakan/memilih
benda dengan benar.
Dressing apraksia: Kehilangan kemampuan berpakaian dengan benar. Bagian dari
neglect syndrome.
2. Teknik Pemeriksaan Apraksia
Liepmann mengelompokan berbagai jenis apraksia secara sistematis.
Klasifikasinya tetap digunakan hingga saat ini, membagi apraksia menjadi apraksia
ideasional dan apraksia ideomotor yang terutama mengenai sistem motorik. Dalam
pemeriksaa apraksia, pasien harus memiliki kemampuan komperhensi yang utuh dan
mampu kooperatif dan attentif terhadap perintah. Pada ideomotor, biasanya
pemeriksaan dimulai dengan memeriksa gerakan buccofacial dan gerakan tungkai
pasien. Setelah itu, pemeriksa menyuruh pasien melakukan pantomim, pertama pada
objek yang pura-puranya ada, lalu berikutnya pada objek yang sesungguhnya. Pasien
apraksia tidak dapat melakukan perintah yang belum dicontohkan oleh pemeriksa,
dan hanya bisa melakukan perintah bila objek yang diberikan benar-benar ada.
3. Analisis Pemeriksaan Apraksia (ciri tiap jenis apraksia)
Apraksia ideomotor: tidak dapat melakukan perintah kompleks, namun bisa
menirukannya. Contoh : Tes menyisir rambut, cara menyisir rambut dengan
memakai jari-jari tidak dengan sisir.
23
Apraksia ideasional: tidak dapat melakukan beberapa rangkaian aktivitas yang tepat
untuk menuju ke suatu tujuan. Misalnya dapat melakukan satu bagian perintah dari
serangkaian yang ada, namun tidak dapat melakukan seluruh rangkaian tersebut
dengan benar. Tes : mengirim surat tapi tidak bisa urut-urutannya.
Apraksia buccofasial: Tidak mampu mengerjakan perintah yang melibatkan area
buccofacial. Gerakan spontan (+). Tes: bersiul, batuk, mengeluarkan lidah,
mengerutkan bibir.
Apraksia simpatetik: Penderita mengerti perintah & tidak ada kelemahan pada
tangan satu sisi tapi tidak bisa melakukan krn hemisfer motorik sisi kontrallateral
tidak menerima impuls perintah. Tes: pasien diperintah untuk melambaikan tangan
yang sehat ( pd pasien hemiplegi / hemiparese). Interpretasi: px tidak bisa
melambaikan tangan walaupun tidak ada kelemahan motorik.
Apraksia konstruksional: Keterampilan visuospasial terganggu. Tidak bisa
menggambar bangun ruang (1,2, atau 3 dimensi). Test pemeriksaan sederhana:
gambar segiempat, menggambar 2/3 dimensi, ex: rumah dengan atap dan cerobong
asap.
Apraksia konseptual: Tidak dapat menginat kembali spesifikasi alat dan cara
menggunakannya. Tidak mampu mendeskripsikan fungsi suatu alat.
Dressing apraksia: Dites dengan cara memakai baju à Tampak ada bagian tubuh
yang tidak tertutupi baju. Tali sepatu tidak tertali dengan baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Biller, Jose. 2011. DeMyer’s The Neurologic Examination, 6th Ed. McGraw-Hill.
USA.
2. Daroff, Robert B. 2012. Bradley’s Neurology in Clinical Practice, 6th Ed. ch12A:
131-148. Elsevier Inc. USA.
3. Kaufman, David M. 2013. Kaufman’s Clinical Neurology for Psychiatrics, 7th Ed.
ch8: Aphasia and Anosognosia. Elsevier Inc. USA.
4. Campbell, WilliamW. 2013. De Jong’s the Neurologic Examination:
Incoporation the Fundamental of Neuroanatomy and
Neurophysiology 7ed. Lipincott William & Wilkins. USA.
5. Buck, Rossy et VanLear, Arthur C. 2002. Verbal and Nonverbal Communication:
Distinguishing Symbolic, Spontaneous, and Pseudo-spontaneous Nonverbal
Behaviour. Journal of Communication, p522-541. International Communication
Association.
6. Purves, Dale et al. 2003. Neuroscience, 3rd Ed. Sinauer Associates Inc. Publisher.
Sunderland, Massachusetts.
7. Benson, D. Frank. 1996. Aphasia: A Clinical Perspective. Oxford University Press.
England.
8. Noback, Charles R. 2005. The Human nervous System, Structure and Function, 6th
Ed. Humana Press. Totowa, New Jersey.
9. Baehr, M. Dan Frostcher, M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology 4th Ed.
Georg Thieme Verlag, Stuttgart.
25