tugas akhir filsafat hukum (nenek minah)
DESCRIPTION
menilik keadilan dalam kasus nenek minahTRANSCRIPT
MENILIK KEADILAN PADA KASUS
NENEK MINAH PENCURI 3 BUAH
KAKAO
TUGAS MATA KULIAHFILSAFAT HUKUM
Oleh:TRI AGUSTINA RAHAYU
PROGRAM MAGISTER HUKUMPASCA SARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONALVETERAN JAKARTA
2013
1
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .....................................................................................................1
DAFTAR ISI...............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG MASALAHAAN....................................................3
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAAN.............................................................4
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN...............................................4
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN....................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI...................................................................................6
2.1 TEORI KEADILAN ARISTOTELES.........................................................6
2.2 TEORI KEADILAN JOHN RAWLS..........................................................7
2.3 TEORI KEADILAN HANS KELSEN........................................................8
2.4 TEORI KEADILAN PLATO......................................................................8
BAB III PEMBAHASAN MASALAH...................................................................11
BAB IV PENUTUP.................................................................................................16
4.1 KESIMPULAN..........................................................................................16
4.2 SARAN......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................18
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia pasti menginginkan keadilan di dalam kehidupannya,
baik secara ekonomi, sosial maupun hukum. Namun keadilan sendiri juga
mengalami perdebatan. Perdebatan tentang keadilan seakan tidak kunjung
berakhir. Perdebatan ini sudah dimulai sejak zaman yunani kuno bahkan
sampai sekarang. Belum ada kesamaan perumusan dari para pakar tentang
keadilan. Sehingga keadilan itu dianggap relative. Adil menurut seorang
belum tentu adil menurut orang lain.
Perdebatan yang sama terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini banyak
kasus hukum yang mengganggu rasa keadilan masyarakat. Kasus Nenek
Minah yang dituduk mencuri 2 buah kakao, kasus pencurian semangka,
kasus seorang buruh pabrik yang dituduh mencuri sandal jepit, kasus
seorang anak yang mencuri pulsa. Kasus-kasus ini dianggap sangat
merugikan atau merusak rasa keadilan dalam masyarakat Indonesia.
Perilaku aparat penegak hukum yang membawa kasus nenek minah yang
miskin ke meja hijau menyulut kemarahan publik. Publik pantas marah
mengingat banyak koruptor yang mencuri uang rakyat tapi dibiarkan
berkeliaran bebas. Di sinilah letak “keadilan” masyarakat.
Keadilan menurut masyarakat ini sangat subtantif. Namun bagi orang
yang berpahan procedural dan positifil, tuntutan masyarakat ini tidak adil.
Kalau orang terbukti mencuri harus dihukum sesuai dengan hukum yang
berlaku. Apabila ini yang terjadi, maka inilah yang oleh kaum posistivis
sebagai keadilan. Akan tetapi, bukankah keadilan yang subtantif ini yang
lebih penting?. Tujuan hukum adalah agar terciptanya keadilan dalam
masyarakat. Keadilan itu sendiri harus memenuhi dua syarat yaitu asas
kepastian hukum dan kemanfaatan.
3
Dalam makalah ini, penulis tertarik untuk menganalisis sisi keadilan
dari kisah Nenek minah.
1.2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai keadilan dalam
kasus Nenek Minah pencuri 3 buah kakao. Bagaimana keadilan kasus
Nenek Minah jika dilihat dari sisi tujuan hukum (keadikan), dilihat dari
sisi hakim sekaligus pengambil keputusan, dan terakhir dilihat dari sisi
moralitas.
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Makalah ini memiliki manfaat untuk dapat dijadikan referensi ilmiah
mengenai teori keadilan menurut para ahli. Tujuan makalah ini sendiri
adalah untuk melihat sisi keadilan dibalik kasus Nenek Minah pencuri 3
buah kakao.
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, rumusan permasalahan,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, serta
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi data hasil tinjauan kepustakaan dan literatur
yang terkait teori keadilan antara lain teori keadilan menurut
Aristoteles, John Rawls, Hans Kelsen, dan Pluto serta asas dari
keadilan itu sendiri.
BAB III PEMBAHASAN MASALAH
Bab ini berisi pembahasan kasus Nenek Minah pencuri 3
buah kakao dan menganalisis sisi keadilan dari kasus tersebut.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah
dilakukan sehingga diharapkan hasil pembahasan dapat
4
memberikan saran bagi kasus-kasus serupa yang ada di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Banyak sekali pendapat dari para ahli tentang teori keadilan. Namun dalam
bab ini, penulis hanya akan menjabarkan mengenai teori keadilan menurut
Aristoteles, John Rawls, Plato dan Hans Kelsen.
2.1. TEORI KEADILAN ARISTOTELES
Berdasarkan filsafat hukumnya, Aristoteles berpendapat bahwa
“Hukum hanya dapat ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan harus dipahami dalam pengertian
kesamaan. Kesamaan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kesamaan numerik
Kesamaan ini mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit.
Kesamaan ini juga dianut oleh Negara Indonesia yaitu terdapat dalam
pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
2. Kesamaan proporsional
Kesamaan ini memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Keadilan distributif
Keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut prestasinya.
2. Keadilan komutatif
Keadilan yang memberikan sama banyaknya tanpa membedakan
prestasinya. Keadilan ini berkaitan dengan peranan tukar menukar
barang dan jasa. Contoh dari keadilan ini adalah sistem barter yang
diterapkan pada jaman dulu.
6
2.2. TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori
keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair
equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat
yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan sebuah aturan
sehingga menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini
terjadi jika dua syarat dipenuhi, yaitu:
1. Situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan
orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian
rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin
dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil.
2. Ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua
orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang
sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan
antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang
bersifat primordial, harus ditolak.
John Rawls juga mengemukakan bahwa penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan,
yaitu:
1. Memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
2. Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi
sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik
(reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari
kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Setiap keadilan pasti ada tujuannya. John Rawls mendeskripsikan
bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal:
7
1. Melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang
dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial,
ekonomi, dan politik yang memberdayakan.
2. Setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk
mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-
adilan yang dialami kaum lemah.
2.3. TEORI KEADILAN HANS KELSEN
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan
adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya.
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-
nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang
mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan
dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Keadilan menurut Hans
Kelsen merupakan keadilan yang bersifat subyektif.
2.4. TEORI KEADILAN PLATO
Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia
biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.
Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan,
yaitu:
1. Pemilihan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi
oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara
tegas dengan domba manusia.
2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian
khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada
persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan
pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi
kepentingan-kepentingan anggotanya.
8
Tugas untuk mewujudkan keadilan masyarakat adalah tugas Negara.
Keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan
individu dan Negara. Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin
Negara seharusnya manusia super yaitu the king of philosopher.
Dari pendapat para ahli diatas dapat diambil benang merah bahwa keadilan itu
bersifat relatif. Dalam hal ini, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar
kemampuan manusia biasa yang artinya manusia tidak akan bisa memberikan
keadilan bagi semua orang karena adil menurut sebagian orang belum tentu adil
bagi sebagian orang lainnya. Namun Aristoteles, John Rawls, Hans Kelsen, dan
Plato sependapat bahwa keadilan harus ditegakan untuk memenuhi kebahagiaan
didalamnya.
Keadilan erat kaitannya dengan keuntungan dimana keuntungan itu sendiri
erat kaitannya dengan manfaat ekonomis, mengacu pada prinsip the difference
principle oleh John Rawls yaitu keadilan harus memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Prinsip the difference principle
ini juga berkaitan dengan keadilan substantif yaitu keadilan yang melihat kepada
rasa keadilan masyarakat. Dalam perkembangan hukum Indonesian, hakim
seharusnya tidak sepenuhnya berpegangan pada keadilan prosedural yang melihat
keadilan menurut pasal dalam Undang-undang melainkan juga harus melihat
keadilan secara substantif karena keadilan itu sendiri dapat terjadi jika memenuhi
dua syarat yaitu kepastian hukum yang terdapat dalam keadilan prosedural dan
kemanfaatan yang terdapat dalam keadilan substantif.
Azas kemanfaatan dalam suatu keadilan dapat melihat pendapat J. Bentham
yaitu “By utility is meant that property in any object, whereby it tends to produce
benefit, advantage, pleasure, good, or happiness, (all this in the present case
comes to the same thing) or (what comes again to the same thing) to prevent the
happening of mischief, pain, evil, or unhappiness to the party whose interest is
considered: if that party be the community in general, then the happiness of the
community: if a particular individual, then the happiness of that individual” yang
berarti Utilitas berarti apapun yang ada pada sebuah object, di maksudkan untuk
9
menghasilkan manfaat, keuntungan, kesenangan, kebaikan, dan kebahagiaan, serta
untuk mencegah terjadinya ketidakmanfaatan, kerugian, kejahatan, dan kerugian
secara komunitas/masyarakat ataupun perseorangan.
Jadi, keadilan dalam hukum bukan hanya untuk menegakan hukum itu sendiri
atau untuk mencari kepastian hukum melainkan juga harus memperhatikan azas
kemanfaatan yaitu keadilan yang memberikan manfaat, keuntungan, kesenangan,
kebaikan, dan kebahagiaan, serta untuk mencegah terjadinya ketidakmanfaatan,
kerugian, kejahatan, dan kerugian secara komunitas/masyarakat ataupun
perseorangan.
10
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Pada tahun 2009 ada kasus yang cukup menarik perhatian masyarakat yaitu
kasus pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA)
yang dilakukan oleh Nenek Minah yang berusia 55 tahun. Kejadian ini bermula
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao
yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya
untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu
tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA.
Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos,
Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu
tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minah
meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3
Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah
berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset.
Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia
mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai
akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan
Negeri (PN) Purwokerto.
Muslih Bambang Luqmono SH menjatuhi hukuman 1 bulan 15 hari penjara
untuk kasus Minah tersebut. Muslih selaku pimpinan majelis hakim pun merasa
agak ragu terhadap putusan yang diambil dan dia merasa bahwa kasus ini sudah
melukai banyak orang. Dari kasus ini, penulis melakukan analisis dengan melihat
kasus tersebut dari sisi keadilan, penulis membagi menjadi tiga, yaitu:
1. Dilihat dari tujuan hukum itu sendiri
Hukum itu bukan hanya dilihat dari pasal per pasal, namun juga harus
dipahami tujuan dari hukum itu sendiri. Salah satu tujuan hukum adalah
menegakan keadilan. Keadilan dapat terjadi jika memenuhi dua syarat yaitu
11
kepastian hukum dan kesebandingan/ kemanfaatan. Berdasarkan tinjauan
yuridis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.
247/PID.B/2009/PN.PWT terhadap kasus Nenek Minah, putusan tersebut
diambil berdasarkan 3 norma:
a. Normatif
Secara normatif, terdakwa secara sah dan menyakinkan melanggar pasal
362 KUHP yaitu melakukan tindak pidana pencurian berupa 3 buah kakao
yang nilainya secara relatif sangat kecil.
b. Sosiologis
Secara sosiologis, terdakwa sudah lanjut usia dan termasuk orang miskin.
Terdakwa mengambil 3 buah kakao dengan maksud untuk dijadikan benih
untuk ditanam. Selain itu terdakwah kooperatif dalam persidangan dan
menghadiri persidangan berkali-kali dari awal hingga akhir
c. Filosofis
Secara filosofis, tidak tepat seumuran terdakwa harus menjalani pidana
penjara di lembaga permasyarakatan dan secara kerugiannya tidak
sebanding dengan kerugian atas perbuatannya.
Dari putusan tersebut, majelis hakim telah mengambil putusan yang cukup
bijak baik bagi terdakwa maupun pelapor. Namun membawa kasus Nenek
Minah ke proses hukum dan penjatuhan sanksi seperti putusan pengadilan
sangat tidak adil. Seperti diketahui, Nenek minah diproses hukum layaknya
seorang penjahat kelas berat, seperti koruptor, pengedar narkoba, dll. Secara
leterlek, Nenek minah memang terbukti melakukan pencurian. Apabila
melakukan pencurian ya tentu dihukum. Namun, ada pertimbangan keadilan
di sini. Usia lansia, kondisi ekonomi (lihat teori-teori diatas), dan jumlah
kerugian akibat perbuatan Nenek minah. Penyidik dan Jaksa Penentun Umum
(PU) dalam kasus ini menerapkan UU secara kaku. Pasal 364 KUHP
memberikan batasan mengenai tindak pidana ringan apabila barang yang
dicuri nilainya tidak lebih dari Rp 250. Kalau melihat angka rupiah dalam
pasal ini, pencurian yang dilakukan Nenek minah memang tidak termasuk
12
dalam pencurian ringan, sehingga dikenakan Pasal Pencurian dalam Pasal 362
KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun. Dengan pasal kaku ini,
penyidik dan PU memproses kasus Nenek Minah di depan majelis hakim.
Sekali lagi, ini tidak adil dan aparat penegak hukum sangat kaku dan positivis.
Angka Rp 250 sudah disesuaikan oleh pemerintah melalui Peraturan
perundang-undangan Nomor 16 dan Nomor 18 Tahun 1960. Kedua perpu
tersebut (yang kemudian disahkan menjadi UU) mewajibkan aparat penegak
hukum menyesuaikan kembali jumlah-jumlah uang yang ada dalam KUHP
dengan nilai mata uang sesuai dengan perkembangan zaman, baik karena
inflasi, deflasi, atau karena hal lain. Apabila disesuaikan dengan nilai yang
sekarang, maka seharusnya kasus Nenek minah ini termasuk tindak pidana
ringan. Untuk kasus tindak pidana ringan ini KUHAP menyediakan hukum
acara yang berbeda yang sederhana dan cepat yang menguntungkan negara
dan pelaku. Hal ini diatur dalam Bab XVI bagian keenam Paragraf kesatu
KUHAP, pasal 205 sampai dengan pasal 2010. Dengan acara cepat tersebut
sidang dapat dilakukan tanpa JPU, persidangan dilakukan dengan hakim
tunggal, dan putusan tidak harus dibuat cukup dicatatkan dalam data perkara.
Inti ketidakadilan dalam konteks ini, kasus Nenek minah tidak diproses secara
cepat, tetapi malah diproses secara biasa layaknya mengadili penjahat kelas
berat seperti koruptor, pengedar narkoba, dan pembunuh. Hal inilah yang
dimaksudkan kesamaan yang proporsional menurut Aristoteles. Menurut
Aristoteles, setiap orang harus diberi apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Proses hukum terhadap kasus
Nenek Minah harus diterapkan secara proporsional. Nenek Minak tidak bisa
disamakan dengan para koruptor, pengedar narkoba, dan penjahat lainnya.
Kasus nenek minah seharusnya ditangani dengan cara cepat seperti yang
dijelaskan dalam makalah ini.
13
2. Dilihat dari sisi hakim sebagai pengambil keputusan
Dalam kasus tersebut sebenarnya majelis hakim agak ragu dengan putusan
yang diberikan kepada Nenek Minah. Untuk menghilangkan keragu-
raguannya, hakim dapat berpegangan pada dua hal yaitu:
a. Azas In Dubio Pro Reo yaitu azas yang menyatakan apabila hakim ragu
mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang
menguntungkan bagi terdakwa.
b. Restorative justice merupakan langkah hukum progresif yang dilakukan
aparat hukum khususnya hakim dalam rangka menyeimbangkan
penerapan undang-undang (kepastian hukum) dengan kepentingan
masyarakat (keadilan dan kemanfaatan) dan bukan untuk menghukum
masyarakat.
3. Dilihat dari sisis moral
Dari kasus ini, tidak salah jika kita berpendapat bahwa Negara ini adalah
Negara yang berorientasi pada uang dan kekuasaan dimana sesorang yang
memiliki uang atau kekuasaan dapat mendapatkan previllage dalam hukum.
Mari kita lihat kasus yang belakangan ini terjadi yaitu kasus Rasyid Rajasa.
Dalam kasus tersebut hakim, korban, dan terdakwa memilih menggunakan
Restorative justice atau menggunakan cara damai untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Mengapa dalam kasus Nenek Minah, sang korban dan
hakim tidak mau menggunakan Restorative justice? Apakah karena
Restorative justice hanya untuk orang-orang yang mempunyai uang/
kekuasaan? Dalam hal ini, penulis menyerahkan pendapat kepada para
pembaca.
Dilihat dari sisi moralnya juga, seharusnya Nenek Minah yang berumur 55
tahun tidak perlu menempuh jarak sejauh 30 km untuk sampai ke tempat
sidang jika permasalahan ini dapat diselesaikan secara damai/ Restorative
justice.
Dalam agama islam, ada cerita yang cukup terkenal dan cerita ini juga
berkaitan dengan restorative justice yaitu cerita Khalifah Umar bin Khattab.
Dahulu Khalifah Umar bin Khattab mengadili pencuri yang akan dipotong
14
tangannya, lalu beliau bertanya, 'Kenapa Anda mencuri?' Si pencuri beralasan
karena untuk makan. Lalu, Umar membebaskan si pencuri itu. Bahkan, si
pencuri dibekali sesuatu agar dia tetap bisa makan. Dalam masa kekhalifahan
Umar mungkin belum ada Restorative justice, namun dengan menggunakan
hati nurani dan logika Khalifah Umar bin Khattab mengambil keputusan ini.
Perbuatan Khalifah Umar bin Khattab dapat menjadi contoh bagi penegak
hukum di Indonesia untuk mengambil suatu putusan dan juga tentu dengan
melihat peraturan-peraturan yang berlaku.
Dari kasus ini akan menambah rasa kepercayaan masyarakat bahwa keadilan
bukan milik rakyat kecil melainkan orang-orang besar yang memiliki harta
dan kekuasaan. Paradigm ini akan membuat masyarakat semakin tidak
percaya terhadap penegakan hukum yang ada Indonesia.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Putusan dalam kasus Nenek Minah dirasa sudah memenuhi asas
kepastian hukum dan kemanfaatan, karena walau nenek minah dihukum
selama 1 bulan 15 hari namun Nenek Minah tidak perlu dipenjara. Namun
tetap saja ada solusi yang terbaik bagi kasus ini yaitu dengan menerapkan
restorative justice yaitu penyelesaian secara damai tanpa harus pergi ke
meja hijau.
Selain itu hukuman yang diberikan oleh Nenek Minah tidak
memenuhi asas kemanfaatan seperti yang diungkapkan J. Bentham yaitu
“By utility is meant that property in any object, whereby it tends to
produce benefit, advantage, pleasure, good, or happiness, (all this in the
present case comes to the same thing) or (what comes again to the same
thing) to prevent the happening of mischief, pain, evil, or unhappiness to
the party whose interest is considered: if that party be the community in
general, then the happiness of the community: if a particular individual,
then the happiness of that individual”. Prinsip ini dapat dijadikan pedoman
bagi majelis hakim bahwa untuk menciptakan keadilan melalui hukum
harus memenuhi asas kemanfaatan ini pula, sehingga keadilan dapat
tercipta terutama untuk orang yang kurang beruntung seperti Nenek
Minah.
4.2. Saran
Hakim sebagai penentu hukum dalam suatu pengambilan haruslah
bersikap bijak agar tidak luput dari hak-hak para korban maupun
tersangka. Semakin berkembangnya hukum Indonesia, seharusnya hakim
tidak hanya melihat keadilan sebagai keadilan prosedural melainkan juga
16
melihat keadilan sebagai keadilan substantif sehingga asas kepastian
hukum dan kemanfaatan dalam keadilan dapat tercapai keduanya.
Hakim haruslah membuat keputusan secara adil. Oleh karena itu,
hakim haruslah menggunakan asas-asas dibawah ini:
1. Unus Testis Nullus Testis yaitu hakim harus melihat suatu persoalan
secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang,
dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi. Atau juga,
keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus, tidak
dapat dinilai sebagai saksi.
2. Audit et Atteram Partem yaitu hakim haruslah mendengarkan para
pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.
3. Azas In Dubio Pro Reo yaitu azas yang menyatakan apabila hakim
ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan
yang menguntungkan bagi terdakwa.
17
DAFTAR PUSTAKA
Fanani, Ahmad Zaenal. 2008. Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat
Hukum dan Islam. Program Doktor Ilmu Hukum, UII Yogyakarta.
Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis.
Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
Kelsen, Hans. 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan
oleh Rasisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media.
Rawls, John. 2011. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://news.detik.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-
buah-kakao-Nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari diakses tanggal 2
April 2013 pukul 09.35
http://hukum.kompasiana.com/2012/01/08/kasus-sandal-jepit-dan-buah-
kakao-ketidakadilan-bagi-masyarakat-kecil-425813.html diakses tanggal 3
April 2013 pukul 14.33
18