tugas agama sio
TRANSCRIPT
Santo Andreas Kim Taegon dan Santo paulus Chong Hasang
Martir asal Korea, Santo Andreas Kim Taegon dan Santo Paulus Chong Hasang mewakili 113 umat katolik
yang wafat sebagai seorang martir karena iman mereka di Korea. Bagaimana kisah mereka dalam pewartaan
dan kerelaannya dalam mengorbankan nyawa demi membela iman mereka akan Yesus?
Paus Yohanes Paulus II menyatakan 2 orang Korea yaitu St andreas Kim dan St Paulus Chong sebagai
porang kudus pada tahun 1984 saat paus mengunjungi Korea.
St. Andreas Kim Taegon dan St. Paulus Chong Hasang mewakili kemuliaan serta keberanian umat Katolik
Korea yang telah membayar mahal cinta mereka kepada Kristus. St. Andreas Kim Taegon adalah imam
pertama Korea. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 16 September 1846, hanya satu tahun setelah
ditahbiskan. Ayah St. Andreas Kim telah mendahuluinya menjadi martir pada tahun 1821. St. Paulus Chong
Hasang adalah seorang katekis awam yang pemberani. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 22 September
1846. Sekarang Gereja berkembang pesat di Korea. Karunia iman diterima karena kurban persembahan para
martir telah menjadi pembuka jalan.Santo Andreas Kim Tae Gon dilahirkan 21 Agustus 1821, di Solmoe,
kabupaten Tangjin Gun. Ayahnya bernama Kim Je Jun dan ibunya Ursula Ko. Tahun 1828, keluarga ini pindah
Kolbaemasil Namkokri, daerah Yongin Gun, propinsi Kyungki. Alasannya, keluarga ini jatuh miskin.
Pada tahun 1836, Pastor Maubant memutuskan untuk mengirim 3 orang pemuda Korea ke Makau untuk
belajar tentang peradaban Barat dan Katolik. Satu diantara pemuda itu adalah Kim Tae Gon. Dua lainnya
adalah Choi Yang Up dan Choi Bang Je. Selama belajar di Makau, ketiga pemuda ini sempat juga menimba
ilmu di Filipina. Tahun 1838 Choi Bang Je meninggal dunia. Kim Tae Gon mempelajari tentang teologi, filsafat
dan ilmu pengetahuan Barat. Kim Tae Gon fasih berbicara bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan China.
Selesai dengan studinya. Kim ingin kembali ke negeri asalnya Korea. Namun itu bukan hal mudah. Beberapa
kali ia mencoba menyeberangi perbatasan Cina – Korea, tapi gagal.
Tak kehilangan akal, Kim ke Mongolia dengan harapan dapat bertemu dengan utusan Korea yang datang ke
Beijing. Akhirnya ia berhasil bertemu dengan seorang Katolik Korea. Dari situ ia mendengar bahwa semua
pastor dan orang-orang Katolik di bunuh, Dia juga mendapat kabar bahwa ayahnya juga dibunuh karena
mengirim dia ke Makau, dan ibunya Ursula Ko kini menjadi pengemis. Beberapa penyiksaan memang sudah
berakhir, tetapi orang-orang Katolik masih diliputi perasaan takut dan ngeri, karena banyak dari orang Katolik
yang menjadi tawanan di penjara. Mendengar itu Kim benar-benar ingin masuk ke Korea kembali, tetapi situasi
di Korea sangat tidak memungkinkan dia untuk melewati perbatasan.
Satu saat, akhirnya Kim Tae Gon bertemu dengan Uskup Ferreol di China. Ia kemudian di tahbiskan sebagai
deakon pada bulan Desember 1844 di China dan kemudian ditahbiskan sebagai pastor pada tanggal 17
Agustus 1845 oleh Uskup Ferreol di Shanghai, China.
Pada bulan Januari 1845, dia berhasil tiba di Seoul seorang diri, tapi ia tidak menemui ibunya yang telah
menjadi miskin. Untuk mencegah bahaya ketahuan, ia kembali ke China lagi dengan 11 orang Katolik dari
Korea dengan perahu kecil. Dalam perjalanan panjang di lautan, perahu yang ditumpangi Kim dan
rombongannya kerap diterjang angin topan. Makanan dibuang ke laut untuk membuat perahu menjadi ringan,
hingga mereka tidak mempunyai makanan sedikitpun selama 3 hari 3 malam. Kepada orang-orang di perahu
yang berteriak-teriak ketakutan, Kim Tae Gon mengeluarkan gambar Bunda Maria untuk menenangkan dan
memberikan mereka semangat. Dia sendiripun saat itu sakit dan takut, tetapi itu tidak ditunjukkannya.
Pada 12 Oktober 1845, Kim tiba di Nabawi, daerah Iksan, daerah barat daya bersama Uskup Ferreol dan
Pastor Daveluy. Perjalanan yang melelahkan selama 42 hari menyeberangi Sungai Kuning di ShangHai China,
dilakukan hanya dengan perahu kecil.
Sesampainya di Korea, ia bekerja sebagai pastor di beberapa tempat selama 6 bulan saja.
Di saat yang bersamaan, ia mencoba untuk mengenalkan misionaris dari Perancis yang sedang menunggu di
China untuk masuk ke Korea.
Dia mempersiapkan peta perjalanan dan sebagainya, dan pergi ke pulau Yonpyong untuk menghubungi
nelayan China yang bisa mengawal mereka dan memberitahukan mereka tentang Gereja Korea kepada
misionaris dari Perancis saat di China.
Kim ditangkap di pulau Sunwido dan dikirim ke Haeju dan kemudian ke Seoul. Hidup Kim TaeGon berakhir di
usia 25 tahun. Hidup yang sangat singkat tapi ia dipuja-puja dimana-mana dan dicintai karena pengetahuannya
yang luar biasa, keyakinannya yang sangat kuat dan kotbahnya yang menyakinkan. Pastor Kim Tae Gon
dihukum mati pada tanggal 15 September 1846 atas perintah langsung raja. Ia dipenggal dan kepalanya di
pertontonkan di Sae Naem To pada16 September 1846.
Sebelum ia dipenggal, ia memberikan pesan singkatnya:
"Saat terakhir hidup saya ada di tangan. Dengarlah saya baik-baik. Ini demi kebaikan Gereja dan Tuhan bahwa
saya berhubungan dengan orang-orang asing. Sekarang saya mati menurut Kehendak Tuhan. Dan saya akan
memulai kehidupan baru saya. Menjadi seorang Kristiani adalah jika kamu ingin memperoleh kehidupan yang
abadi setelah kematianmu. Tuhan akan menghukum mereka yang tidak mengenal dan mencinta Dia."
Para algojo kemudian melucuti pakaian Pastor Kim, menusuk telinganya dengan panah, menyiraminya dengan
air dan melempari mukanya dengan bubuk gips, meletakkan tongkat diantara tangannya yang terikat
kebelakang dan mengangkatnya ke bahu mereka dan mengelilinginya dengan tiga lapis tentara. Mereka
memaksa Pastor Kim untuk berlutut dan menarik rambutnya melalui lubang pada tiang bendera. Ketika tali di
tarik, kepala Pastor Kim terangkat. Pastor Kim mengatakan pada para algojo. "Apakah posisi kepala saya
sudah tepat untuk di penggal? Jika ya, saya sudah siap, penggallah kepala saya." Segera setelah beliau
selesai bicara, ke 12 algojo menari mengelilingi dia dengan pedang di tangan seakan-akan seperti sedang
berperang. Satu persatu menebas leher Pastor Kim dan kepalanya jatuh ke tanah pada tebasan yang ke
delapan. Kepala seorang kriminal biasanya digantung di ujung tiang dan tubuhnya dibiarkan disamping tiang
selama 3 hari sesuai dengan peraturan pemerintah setempat saat itu. Tapi itu tidak dilakukan untuk jasad Kim.
Tubuh Pastor Kim segera dikuburkan di tempat pemenggalan itu dan dijaga oleh para tentara
Tigapuluhtiga hari kemudian, Min Sik Yi yang tinggal di dekat sana di daerah Kolbaemasil di daerah Yong-In,
berhasil menggali kubur Pastor Kim pada malam hari, dengan di awasi oleh para tentara. Dia menggendong
jenasah Pastor Kim ke Mirinae, desa tempat asalnya. Perjalanan yang berjarak 60 km itu memakan waktu 7
hari, karena ia hanya bisa melakukannya saat malam hari.Dia adalah putera dari Martir Augustinus Chong
Yakjong, salah satu dari orang-orang Katolik Korea perdana, yang menulis katekismus Gereja Katolik yang
pertama di Korea (dengan judul "Jugyo Yoji").
Ketika Yakjong bersama abang dari Hasang gugur sebagai martir, isteri Yakjong dan anak-anaknya yang
tersisa dibiarkan hidup dan menyingkir ke daerah pedesaan; Hasang baru berusia tujuh tahun.
Setelah dewasa, Hasang memutuskan untuk menjadi pelayan seorang petugas penerjemah pemerintah; hal ini
memungkinkannya untuk berulang kali melakukan perjalanan ke Beijing. Di sana, dia meminta Uskup Beijing
untuk mengutus imam-imam ke Korea, dan menulis surat kepada Sri Paus Gregorius XVI via Uskup Beijing,
meminta didirikannya sebuah keuskupan di Korea. Peristiwa ini terjadi pada 1825.
Beberapa tahun kemudian, Uskup Laurent-Marie-Joseph Imbert dan dua orang imam diutus. Di mata uskup,
Hasang adalah orang berbakat, gigih, dan berbudi luhur; maka Hasang pun diberinya pelajaran bahasa Latin
serta teologi, dan hendak ditahbiskannya ketika tiba-tiba timbullah penganiayaan atas umat Kristiani di Korea.
Hasang tertangkap lalu menyerahkan pernyataan tertulis yang membela ajaran Katolik kepada hakim. Setelah
membacanya, hakim berkata, "Anda benar dalam hal apa yang telah anda tulis; tetapi raja melarang agama ini,
anda wajib untuk meninggalkannya." Hasang menjawab, "Saya telah mengatakan kepada anda bahwa saya
adalah seorang Kristen, dan saya akan tetap seorang Kristen sampai mati."
Setelah itu Hasang melewati serangkaian penyiksaan dengan roman muka yang tetap tenang. Akhirnya dia
diikat pada sebuah salib di atas sebuah gerobak dan menjemput ajalnya dengan suka cita pada usia 45 tahun.