tugas

Upload: alexander-rocky-putra

Post on 12-Oct-2015

116 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab I

TRANSCRIPT

  • 5/22/2018 Tugas

    1/31

    BAB I

    ETIKA PUBLIK DAN PELAYANAN PUBLIK

    Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.

    Konflik kepentingan, korupsi, dan birokrasi berbelit menyebabkan buruknya

    pelayanan publik.

    1.1. Definisi Etika Publik dan LingkupnyaEtika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan

    baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan

    kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.

    Ada tiga fokus yang menjadi perhatian etika publik: (i) berbeda dengan etika

    politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang

    berkualitas dan relevan; (ii) bukan hanya kode etik atau norma, tapi terutama

    dimensi reflektifnya; (iii) fokus pada modalitas etika yaitu bagaimana

    menjembatani antara norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan

    tindakan faktual.

    Etika publik mengatur terutama political society, semua orang yang

    terlibat dilembaga-lembaga negara. Integritas publik menuntut pejabat publik

    untuk memiliki komitmen morla dengan mempertimbangkan keseimbangan

    antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi pribadi, dan kebijaksanaan

    didalam pelayanan publik.

    1.2. Tiga Dimensi Etika Publik dan Fokus pada Etika InstitusionalTiga dimensi etika politik adalah tuuan (policy), sarana(polity), dan aksi

    politik (politics) (B. Sutor, 1991:86). Dari definisi itu, penulis menerjemahkan

    kedalam versi tiga dimensi etika publik: (i) tujuan upaya hidup baik

    diterjemahkan menjadi mengusahkan kesejahteraan umum melalui pelayanan

    publi yang berkualitas dan relevan; (ii) sarana: membangun institusi-institusi

    yang lebih adil dirumuskan sebagai membangun infrastruktur etika dengan

    menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi,

    dan netralitas pelayanan publik; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai

  • 5/22/2018 Tugas

    2/31

    integritas publik untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan

    relevan.

    Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan

    masyarakat yang berarti tersedianya pelayanan publik yang berkualitas dan

    relevan. Dimensi kedua ialah modalitas (sarana, polity) yang memungkinkan

    pencapaian tujuan. Dimensi ini meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar

    pengorganisasian praktik pelayanan publik dengan perhatian khusus pada

    membangun institusi-institusi sosial yang lebih adil. Dimensi ketiga, tindakkan

    politisi dan pejabat publik dituntut memiliki integritas publik. Pelaku

    memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas

    politik terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku).

    1.3. Modalitas Etika Publik dan PertaruhannyaMakna modalitas yang palin sesuai dengan konteks etika publik ini

    adalah prosedur atau syarat-syarat yang memungkinkan norma-norma etika

    bisa dijalankan atau dihormati. A. Giddens, menurut sosiologis Inggris ini,

    modalitas memegang peranan penting karena menentukan di dalam interaksi

    sosial, terumta modalitas menjadi syarat atau prosedur di setiap perubahan

    yang mendasar.

    Ada empat hal yang dipertaruhkan dalam menegakkan etika publik (i)

    menangani masalah korupsi dan konflik kepentingan, namun juga (ii)

    membantu pejabat publik yang sering harus berhadapan dengan dilema etika

    antara prinsip yang mereka yakini, nilai-nilai pribadi, dan tuntutan profesional,

    (iii) bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai etika di dalam proses pengambilan

    keputusan. Integrasi semacam itu semakin sulit karena masalah pluralitas nilaidan kemajuan ilmu-teknologi. Apalagi struktur pemaknaan ekonomi (logika

    pasar) sengat menentukan cara berpikir disegala bidang; (iv) bagaimana

    menghadapai logika pasar yang besar pengaruhnya dalam mengarahkan

    pelayanan publik. Salah satu akibatnya adalah pengaruh logika iklan, yaitu

    pencitraan dijadikan bagian strategi kebijakan publik untuk menarik konsumen

    (warga negara).

  • 5/22/2018 Tugas

    3/31

    1.4. Pelayanan Publik: Prinsip Kesetaraan, Netralitas, dan PartisipasiDefisini pelayanan publik ialah semua kegiatan yang pemenuhannya

    harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh pemerintah, karena diperlukan

    perwujudan dan perkembangan kesaling-tergantungan sosial, dan pada

    hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan

    pemerintah (B. Libois, 2002:139).

    Pengertian baru pelayanan publik perlu memperhitungkan unsur-unsur

    dibawah ini:

    (i) Pelayanan publik merupakan pengambilalihan tanggung jawab oleh

    kolektivitas atas sejumlah kekayaan, kegiatan atau pelayanan dengan

    menghindari logika milik pribadi atau swasta karena tujuannya pertama-

    tama bukan mencari keuntungan (B. Libios, 2007:141).

    (ii) Pelayanan publik mempunyai beragam bentuk organisasi hukum, baik di

    dalam maupun di luar sektor publik. Ada pula yang berbentuk perusahaan

    swasta (BUMN); asosiasi-asosiasi yang berasal dari inisiatif pribadi atau

    swasta diakui memiliki fungsi pelayanan publik (organisasi keagamaan,

    asosiasu nirlaba).

    (iii) Pelayanan publik merupakan lembaga rakyat yang memberi pelayanan

    kepada warga negara, memperjuangkan kepentingan kolektif, dan

    menerima tanggung jawab untuk memberi hasil (J.S. Bowman, 2010:9).

    (iv) Kekhasan pelayanan publik terletak dalam upaya merespon kebutuhan

    publik sebagai konsumen.

    Menurut B. Libios, prinsip pelayanan publik ada tiga, yaitu kontinuitas,

    kesetaraan, dan adaptif (2002:151). Kontinuitas dipahami sebagai tidak boleh

    berhenti sama sekali meskipun ada pemogokan. Kesetaraan berarti tiadanyadiskriminasi dalam hal isi atau yang mengisi hanya atas dasar identitasnya dan

    universalitas dalam mendefinisikan yang masuk kategori publik dan zona

    geografis. Adaptif berarti selalu mengikuti perkembangan kebutuhan sosial,

    bahkan mungkin harus meninggalkan kegiatan-kegiatan tertentu bila dapat

    dijamin dan secara sosial bisa diterima oleh pelaku-pelaku lain. Prinsip adaptif

    pada dasarnya mau menjaga keseimbangan pelayanan publik antara

    kolektivisme dan liberalisme ekonomi (tuntutan pasar) agar bisa mencapai

  • 5/22/2018 Tugas

    4/31

    tujuan kolektif. Prinsip netralitas dimaksudkan untuk mengondisikan

    kegiatannya dan bukan menekankan berfungsinya pelayanan publik.

    1.5. Etika Publik Menuntut TigaPejabat publik, menurut J.S. Bowman, dituntut untuk memiliki

    kompetensi teknis, leadership, dan terutama kompetensi etis. Kompetensi

    teknik merupakan inti profesionalisme pelayanan publik. Kompetensi teknik

    mencakup pengetahuan ilmiah yang dipelukan untuk melaksanakan tugas

    (misalnya bagaimana menjamin penyediaan tabung gas aman), pemahaman

    yang baik tentang hukum yang terkait dengan bidang keahliannya (Bagaimana

    agar kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa sesuai dengan hukum), serta

    manajemen organisasi (J.S. Bowman, 2010:37-38).

    Hubungan antara kompetensi teknik dan kompetensi etika sering

    dirumuskan dalam bentuk dilema antara hasil dan proses. Tujuan utama

    manajemen teknis menekankan agar suatu sistem lebih luwes dan mampu

    menjawab kebutuhan berkat adanya keleluasaan bagi penilaian manajemen (P.

    Bishop, 2003:12). Kompetensi etika ditantang untuk tidak mengorbankan

    efisiensi.

    1.6. Orientasi Baru Manajemen Pelayanan PublikTuntutan tiga kompetensi bagi pelayanan publik di atas memberi

    orientasi baru dalam administrasi publik. Manajemen pemerintahan secara baru

    didefinisikan sebagai pemerintahan yang mengambil pola bisnis dengan

    mengambil alih gagasan-gasaan, instrumen-instrumen, metode-metode,

    institusi-institusinya, dan produk-produknya. Ada setidaknya tujuh unsurpenting dalam manajemen baru pelayanan publik: (i) perampingan dan

    semangat kewirausahaan; (ii) desentralisasi; (ii) penggunaan perencanaan dan

    lingkarangn kontrol (Kolthoff, 2007:2); (iv) organisasi kerja yang lebih luwes,

    berbeda dengan kekakuan hierarki birokrasi model lama; (v) prioritas prosedur

    ograniasi; (vi) ditandai oleh orientasi yang ukuran utamanya adalah

    hasil/kinerja dan pertanggungjawaban, bukan lagi menekankan padan metode

    atau prosedur; (vii) pelimpahan tanggung jawab yang semakin besar kepada

  • 5/22/2018 Tugas

    5/31

    pelayanan publik dalam rangka mencapai ideal etika pelayanan publik, yaitu

    efektivitas, efiesiensi dan penghematan (E. Piron 2002:36-37).

    1.7. Etika Publik: Membangun Institusi Adil untuk Melawan KorupsiKorupsi yang sudah mengakar itu membuat tugas etika publik untuk

    membangun integritas pejabat publik menjadi semakin tidak mudah.

    Membangun integritas tidak cukup hanya mengandalkan kualitas moral

    seseorang, tetapi harus mulai dengan membangun budaya etika organisasi.

    Maka pelatihan refleksi etika dan penguatan etika institusional harus

    diintegrasikan dalam manajemen organisasi.

    Agar pertimbangan etika bisa efektif, selain teori-teori etika, pejabat

    publik perlu memahami konteks dan pengetahuan kelembagaan. Jadi etika

    publik berupaya mengelaborasi agar norma etika semakin tecermin dalam

    regulasi-regulasi pelayanan publik. Calon tenaga pelayanan publik harus

    memenuhi syarat sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan etika, bahkan

    syarat itu diberlakukan untuk setiap kenaikan jenjang jabatan. Perkembangan

    kesadaran moral seseorang ditentukan oleh reorganisasi cara berpikir dan

    pemahaman dalam menghadapi dilemma moral, maka manajemen nilai

    menjadi sangat penting. Manajemen nilai ini akan sangat menentukan

    bagaimana menerapkan kritera etika di dalam pertimbangan kebijakan publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    6/31

    BAB II

    PENALARAN ETIKA DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

    2.1. Perlunya Kriteria Etika dalam Kebijakan Publik

    Dengan kriteria ini, pemecahan dalam perbedaan pendapat atau

    pengambilan keputsan memprioritaskan pertimbangan kepentingan publik,

    terutama kepentingan mereka yang ada dalam posisi tidak paling beruntung.

    Dasar pemikirannya ialah kesataraan pelayanan publik harus memungkinkan

    semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan prioritas

    diberikan kepada yang paling tidak beruntung karena mereka secara struktural

    sudah dalam posisi lemah. Jadi etika membantu memberi landasan berpikir

    yang peduli terhadap upaya meningkatkan solidaritas sosial dan memerangi

    egoisme yang tidak rasional.

    Prinsip etika publik semacam itu sangat membantu memberi landasan

    pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik dalam

    masyarakat selalu ada pihak yang paling tidak diuntungkan bisa kaum

    miskin, yang tersingkir/kalah di dalam persaingan, kelompok gender atau

    kelompok minoritas.

    2.2. Manajemen Nilai dan Tahap Perkembangan Kesadaran Moral

    Tidak semua orang memiliki kesadaran altruis. Kesadaran moral

    berkembang sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, pelatihan atau

    pembiasaan, dan lingkungannya. Dari perspektif itu, manajemen nilai tidak

    bisa dilepaskan dari perkembangan kesadaran moral seseorang. MenurutLawrence Kohlberg, perilaku etis sesorang tergantung pada pemahaman moral

    dan kemampuan mengidentifikasi serta menalar dalam berhadapan dengan

    dilema moral. Untuk melihat hubungan antara nilai dan tingkat kesadaran

    moral, penjelasan teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg di bawah ini

    akan sangat membantu (1981: Vol. I, 17-28). Kohlberg membagai

    perkembangan kesadaran moral dalam tiga tingkat (Pra-Adat, Adat, dan Paska-

    Adat) yang masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap.

  • 5/22/2018 Tugas

    7/31

    I. Tingkat Pra-AdatPada tingkat ini, aturan budaya, baik/buruk, benar/salah ditafsirkan

    dalam konsekuensi fisik atau hedonis seperti hukuman atau pujian,

    sifatnya masih orientasi pertukaran. Tingkat pra-ada terdiri dari dua tahap,

    yaitu tahap pertama orientasi pada hukuman/ketaatan, dan tahap kedua,

    berorientasi pada keuntungan diri dan kesalingan.

    II. Tingkat AdatTingkat adat dalam perkembangan kesadaran moral terdiri dari dua

    tahap, yaitu tahap ketiga berupa orientasi pada pada harapan, hubungan

    antarpribadi, dan keseragaman; serta tahapan keempat yang mulai

    menyadari kewajiban terhadap masyarakat dan sistem sosial.

    III. Tingkat Paska-AdatPada tingkat paska-adat, sudah mengupayakan untuk

    mendefinisikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang sah dan bisa

    diterapkan terlepas dari pengaruh kelompok atau orang yang memegang

    prinsip-prinsip tersebut, bahkan bila harus mengorbankan acuan

    identifikasinya ke klompok. Tingkat paska-adat meliputi dua tahap, yaitu

    tahap kelima yang menekankan kontrak sosial dan manfaat sosial; dan

    tahap keenam yaitu etika universal.

    Pejabat publik yang profesional seharusnya mengambil keputusan

    berdasarkan standar tertinggi tingkat kesadaran moral. Maka pertimbangannya

    bukan lagi kepentingan diri atau kelompok, tetapi kepentingan publik (bangsa).

    2.3. Etika Individual dan Tipe-Tipe Penalaran Etika

    Etika individual mempunyai objek tindakan manusia sebagai individudengan mempertimbangkan kebebasan dan maksud, atau diarahkan secara

    rasional. Etika individual berperan sebagai faktor stabilisasi tindakan yang

    berasal dari dalam diri pelaku. Ada beberapa tipe penalaran etika: (a) tipe

    deontologi; (b) tipe situasionis atau ekstrinksikalis serta komunitarian; (c) tipe

    teleologis yang aturan-aturannya mendapat pembenaran atas dasar tujuan

    tindakan, maksud atau konsekuensinya harus baik; (d) tipe altruis dalam

    keadilan.

  • 5/22/2018 Tugas

    8/31

    2.4. Etika Institusional dan Budaya Etika

    Etika institusional memperhitungkan pengaruh tempat kerja, organisasi,

    akrena memang benar penilaian standar etika individual sangat berperan, tetapi

    institusi mendefinisikan dan mengontrol situasi dimana keputusan-keputusan

    itu diambil. Tumbuhnya budaya etika di dalam organisasi, menurut Bowman,

    mengandaikan beberapa kemampuan (2010:70): (i) kemampuan membangun

    konsensus moral di dalam lembaga yang bersangkutan; (ii) kemampuan

    mendengarkan dengan baik dan mengomunikasikan kepentingan, dukungan,

    empati kepada semua pihak yang terlibat, (iii) kemampuan untuk mendidik

    semua pihak yang terlibat tentang dimensi-dimensi etika dari situasi tertentu;

    (iv) kecerdasan untuk memberi visi moral bagi semua pihak yang terlibat; (v)

    memahami bagaimana mereprentasikan gagasan-gagasan berbagai pihak

    kepada yang lain; (vi) mampu mendorong setiap pihak untuk

    mengomunikasikan secara efektif gagasan atau kepentingan sehingga di dengar

    dan dipahami pihak lain; (vii) kemampuan untuk mengenali dan menghadapi

    berbagai hambatan dalam komunikasi. Dalam etika institusional kemampuan

    persuasi berperan untuk meyakinkan penerimaan suatu nilai demi mendorong

    tindakan kolektif.

    2.5. Memutuskan Pilihan Etis Kebijakan Publik

    Dalam analisa kebijakan publik, etika seharusnya diperhitungkan

    sebagai dimensi dari setiap langkahnya. Hanya dengan menjadi bagian integral

    dari kebijakan publik yang tercermin dalam lima langkah prosesnya, etika

    mampu meningatkan kualitas pelayanan publik dan mengembalikan

    kepercayaan masyarakat. Kelima langkah analisa kebijakan publik itu, menurutMurger, meliputi (i) rumusan masalah, (ii) seleksi kriteris, (iii) pembandingan

    alternatif dan seleksi kebijakan, (iv) pertimbangan terhadap aspek politik dan

    organisasi, (v) implementasi dan evaluasi program (2000:7-21).

  • 5/22/2018 Tugas

    9/31

    BAB III

    INTEGRITAS PUBLIK DAN KONFLIK KEPENTINGAN

    3.1. Definisi dan Prinsip-Prinsip Integritas Publik

    Menurut Dobel, ada tujug prinsip integritas publik yang harus

    dijalankan (1999:7-8): (i) pejabat publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-

    prinsip dasar yang melegitimasi kekuasaan pemerintah yang konstitusional

    dengan menghormati setiap warga negara sebagai yang memiliki martabat,

    hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum; (ii) pejabat publik harus

    menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi dengan menghargai hasil

    dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan pertimbangan

    profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik

    terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tetap kita mempertanggung-

    jawabkannya; (iv) mreka harus bertindak secara kompeten dan efektif dalam

    mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v) mereka harus

    mengindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan tetap

    mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil

    keputusan; (vi) mereka setuju menggunakan dana publik secara hati-hati dan

    efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan

    pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan

    legitimasi lembaga-lembaga negara.

    3.2. Integritas Pribadi dan Infrastruktur Etika

    Integritas pribadi sangat menentukan pembentukan integritas publik(integritas dalam mengemban jabatan publik). Integritas pribadi dipertaruhkan

    ketika berhadapan dengan masalah harus menempati janji dan mengambil

    keputusan dalam kerangka pelayanan publik. Integritas pribadi baru teruji

    sebagai integritas publik ketika berhasil memegang teguh janji untuk menaati

    huku, menjalankan kewajiban-kewajiban yang dituntun oleh jabatan, dan arah

    kebijakannya tepat sasaran dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    10/31

    Infrastruktur etika ada yang sifatnya membangun dari dalam dan ada

    yang membangun dari luar. Infrastruktur yang sifatnya membangun dari dalam

    meliputi: (i) komisi etika yang ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk

    mengangkat masalah etika dalam setiap pertemuan staf; (ii) tersedianya

    konsultasi etika; (iii) mekanisme whistle-blowing (hotlines, komunikasi

    konfidensial); (iv) cara perekrutan anggota dengan standar etika disertai

    pendidikan dan pelatihan etika publik secara berkala; (v) proses evaluasi

    kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etika ; (vi) audit etika.

    Infrastuktur etika yang sifatnya membangun dari luar meliputi: (1)

    akuntabilitas dan pers bebas yang kritis; (ii) adanya rotasi jabatan karena

    merupakan benteng melawan godaan-godaan korupsi dan konflik kepentingan

    (Dobel, 1999:46); (iii) kode etik dan legislasi untuk mencegah konflik

    kepentingan, pembentukan auditor mandiri, sistem pengawasan internal dan

    deawn penasihat etika; (iv) pada tingkat manajerial, kompetensi teknis dan

    kemampuan leadershippejabat publik menopang kompetensi etis.

    3.3. Sistem Integritas Publik: HabitusMoral dan Politik Inklusif

    Kebijakan publik sering menggoyahkan kohesi komunitas politik atau

    bahkan konflik sosial. Maka pejabat publik yang mempunyai integritas harus

    mendorong diterimanya pluralitas atau perbedaan. Fungsi pejabat publik adalah

    penjamin perdamaian dan toleransi, pembuka wacana sosial dan politik yang

    kreatif dan pendukung politik inklusif, bukan pemecah belah atau pelaku

    politik diskriminatif. Politik adalah untuk kesejahteraan bersama, bukan demi

    kekuasaan. Politik kekuasaan cenderung mengabaikan integritas publik, mudah

    menghindar dari tanggung jawab (alibi).

    3.4. Integritas Publik: Alibi Tanggung Jawab dan Pengunduran Diri

    Salah satu bentuk alibi tanggung jawab oleh Dobel disebut

    deindividuation(1999:30), yaitu situasi dimana seseorang merasa terbebas dari

    pembatasan moral dalam dirinya yang menyebabkan bisa kehilangan perasaan

    indentitas diri dan tanggung jawabnya. Bentuk alibi tanggung jawab yang lain

    adalah yang disebut Stanley Milgram, seperti dikutip Dobel, agentic shift

  • 5/22/2018 Tugas

    11/31

    yang terjadi ketika orang menimpahkan tanggung jawab ke pihak lain yang

    dianggap lebih penting seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Ibid. 30).

    Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral karena tanggung

    jawab dan kemandirian hidupnya memungkinkan untuk bertindak disiplin dan

    konsisten terhadap janji-janjnya (Ibid. 100). Integritas moral menunjukkan

    keutuhan dalam pemaknaan hidup dan komitmennya. Mengundurkan diri

    adalah ungkapan tanggung jawab terhadap lembaga karena protesnya berperan

    mengingatkan ada kompetensi yang tidak dipenuhi yang akan memengaruhi

    hasilnya.

    3.5. Konflik Kepentingan dan Pembusukan Hukum

    Konflik kepentingan adalah pintu gerbang korupsi. Konflik kepentingan

    yang terjadi baik disektor publik maupun swasta sangat merugikan pelayanan

    publik. Konflik kepentingan didefinisikan sebagai konflik antara tugas publik

    dan kepentingan pribadi yang dialami pejabat publik padahal pejabat publik

    tersebut memiliki kemampuan atau kekuasaan yang bisa digunakan untuk

    kepentingan diri sehingga melemahkan atau membusukkan kinerjanya dalam

    tugas dan tanggung jawab publik (OECD, 2008:24).

    Konflik kepentingan bisa menggerogoti bekerja mekanisme

    pemerintahan yang demokrasi dengan dua cara (Ibid. 25):

    (i) Melemahkan komitmen pejabat publik pada ideal legitimasi kekuasaan,

    ketidakberpihakan, dan fairness di dalam pembuatan keputusan publik.

    Bentuk pembusukan hukum lainnya seperti penolakan atau pemberian

    uang jaminan pada kasus tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan

    antara kasus tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan antara kasuskriminal besar dan kecil, pembebasan tanpa dasar hukum yang adil,

    impunitas kasus-kasus korupsi, mempercepat atau menunda proses,

    menanggapi atau mengabaikan pelaporan, menghilanganfile(B.I. Spector,

    2005:16-17).

    (ii) Cara pembusukan kedua adalah mengubah aturan hukum, pengembangan

    dan penerapan kebijakan umum, mekanisme pasar dan alokasi sumber

    daya publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    12/31

    3.6. Budaya Etika dalam Organisasi Untuk Integritas Publik

    Untuk menjaga integritas publik perlu melakukan empat upaya

    pencegaha (OECD, 2008): (i) mengidentifikasi risiko penyebab konflik

    kepentingan; (ii) membangun mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal

    yang mudah di akses pleh pemeriksa publik; (iii) pendekatan manajemen yang

    menjamin bahwa pejabat publil mengambil tanggung jawab pribadi, tidak

    menimpakan ke pihak lain, bila ada pelanggaran etika publik; (iv) budaya etika

    organisasi agar tumbuh kepedulian untuk menolah atau menghindari setiap

    bentuk konflik kepentingan. Budaya etika harus mendapat dukungan dari

    masyarakat karena sebagai konsumen pelayanan publik masyarakat merasakan

    langsung dampak baik/burukya kualitas pelayanan publik.

    3.7. Memberdayakan Civi l Society Untuk Integritas Publik

    Luasnya lingkup pelayanan publilk dan tiadanya informasi yang

    memadai membuat wakil rakyat tidak berdaya menghadapi buruknya

    pelayanan publik. maka untuk mengatasi masalah itu diperlukan partisipasi

    langsung masyarakat dengan pemberdayaan civil society secara

    berkesinambungan. Partisipasi masyarakat dalam mendorong akuntabiltas

    pejabat publik ini sangat konkret karena dengan Kartu Pelaporan oleh Warga

    Negara tersbeut bisa memberi masukan tentang tingkat kepuasan pelayanan

    publik di berbagai sektor yang sekaligus bisa digunakan sebagai alat untuk

    mendeteksi atau mengukur tingkat korupsi (Ibid. 235). Bentuk pemberdayaan

    civil society yang lain ialah ikut mengontrol perencanaan anggaran belanja

    daerah dan pelakasanaannya.

  • 5/22/2018 Tugas

    13/31

    BAB IV

    AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI:

    MODALITAS ETIKA PUBLIK

    Dari pemaknaan etimologi, prioritas etika publik bukan pertama-tama

    menekankan norma-norma perilaku, namun terutama pada modalitas etika, artinya

    bagaimana bisa bertindak baik atau berperilaku sesuai dengan standar etika. Jadi

    keprihatinan utama diarahkan pada cara bagaimana etika bisa berfungsi atau

    bekerja, struktur seperti apa yang mampu mengorganisasi tindakan agar sesuai

    dengan etika, atau infrasturktur semacam apa yang dibutuhkan agar etika publik

    berfungsi.

    Modalitas etika itu memperhitungkan modalitas interaksi sosial yang meliputi

    (i) kerangka penafsiran baru yang dibentuk berkat budaya etika dalam organisasi,

    pelatihan etika, komisi etika, evaluasi kerja yang fokus pada audit etika; (ii) norma

    yang dirumuskan dalam hukum, atauran atau kebiasaan, bisa berupa sanksi yang

    tegas, hukum antikorupsi, kode etik hotlines, ombudsman; (iii) pengawasan dalam

    bentuk audit internal, audit independen, mekanisme whistle-blowing, rotasi jabatan,

    media dan kontrol.

    4.1. Definisi dan Tujuan Akuntabilitas

    Akuntabilitas berarti pemerintah harus bertanggung jawab secara moral,

    hukum, dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat.

    Akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau menilai apakah mandat rakyat

    dijalankan dengan baik. Akuntabilitas menunjuk pada pertanggungjawaban

    pejabat publik atas kekuasaan yang dipercayakan oleh warga negara untuk

    menjalankan pelayanan publik.Ada tiga bentuk akuntabilitas, menurut Guy Peters (Ibid. 16):

    (i) Akuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap

    organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah

    dilakukan.

    (ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggung ajwab, yaitu menjamin

    perilaku pejabat agar seuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan

    publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    14/31

    (iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespons kebutuhan publik

    atau kemampuan pelayanan publik bertanggung jawab terhadap

    pemimpin politiknya.

    4.2. Transparansi, Proses Akuntabilitas dan Tipe-Tipenya

    Pada dasarnya akuntabilitas merupakan prinsip masyarakat yang

    transparan. Transparansi dipahami bahwa organisasi pemerintah bisa

    mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberi

    informasi yang relevan atau laporan yang terbuka terhadap pihak luar atau

    organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan publikasikan. Transparansi,

    yang dipahami sebagai bentuk akuntabilitas ini, merupakan prinsip yang sangat

    rasional dalam menghadapi sistem ekonomi dan administrasi. Jadi akuntabilitas

    tidak hanya terbatas pada masalah administrasi publik, tetapi merupakan

    prinsip dasar regulasi dan harapan di semua hubungan sosial.

    Akuntabilitas dibagi dalam empat tipe:

    (i) Akuntabilitas birokrasi secara formal berjalan melalui hierarki organisasi

    birokrasi.

    (ii) Akuntabilitas hukum ini terkait dengan tindakan publik untuk

    menentukan proses perundangan atau hukum melalui legislator,

    keputusan badan pemerintah yang berhak mengatur atau komisi

    pelayanan publik.

    (iii) Akuntabilitas politik berjalan dengan keterlibatan berbagai pihak dalam

    rangka sistem demokrasi.

    (iv) Akuntabilitas profesional terkait dengan kompetensi teknis dan leader-

    ship.

    4.3. Peran DPR dalam Mengobtrol Akuntabilitas Pemerintah

    Dalam upaya menjamin akuntabilitas pemerintah, DPR memegang

    peranan sangat penting entah dalam bentuk dukungan atau pengawasan.

    Pertama, peran yang berbentuk dukungan, DPR akan mendukung pemerintahan

    yang kuat dan responsif. Caranya dengan membuat perundangan dalam waktu

    yang tepat, menjaga atau menjamin pelaksanaan kekuasaan dan pelayanan

  • 5/22/2018 Tugas

    15/31

    publik sehingga pemerintah lebih responsif dan peka terhadap kebutuhan

    masyarakat (P.G. Thomas, 2008:45). Kedua, DPR berfungsi dan mengoreksi

    pemerintah.

    4.4. Akuntabilitas: Peran Civil Society dan E-Governance

    Akuntabilitas yang menuntut pemerintah untuk terbuka terhadap

    pemeriksaan dari pihak luar organisasi itu bisa menjadi saran auntuk

    mengidentifikasi, mempertanyakan kebijakan dan tindakan pemerintah serta

    beroperasinya birokrasi. Keterlibatan civil societydi dalam proses pengambilan

    kebijakan publik dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik semakin

    besar dengan kemajuan teknologi karena modernisasi pelayanan publik

    mengembangkan E-Governance. T. Bergman membedakan istilah

    government dari governance. Goverment dipahami sebagai serangkaian

    institusi untuk pembuatan kebijakan publik, sedangkan governance adalah

    proses kebijakan publik yang berlangsung sebagian di dalam institusi-institusi

    tersebut, tetapi juga menuntut keterlibatan hubungan antar warga negara dan

    politisi (K. Strom, 2003:110).

    Intesifikasi interaksi antara lembaga-lembaga negara dengan civil

    societyberkat E-Governance itu ikut meningkatkan empat fungsi civil society

    di dalam memajukan akuntabilitas pelayanan publik seperti dikutip Jenkins: (i)

    meningkatkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan; (ii)

    menonitor dan mengkaji ulang kebijakan-kebijakan publik; (iii) mengusahakan

    perbaikan atau ganti rugi yang diderita publik karena kebijakan pemerintah

    yang keliru; dan (iv) mendorong penciptaan mekanisme akuntabilitas yang

    formal (R. Jenkins, 2007:159).

    4.5. Prinsip Subsidiaritas dan Hambatan Akuntabilitas

    Prinsip subsidiaritas berabrti bahwa bila instansi (kelompok) yang lebih

    kecil atau lebih rendah dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa

    menyelesaikan masalah, instansi (kelompok) yang lebih tinggi atau lebih besar

    tidak perlu campur tangan. Prinsip subsidiaritas ini memberdayakan dan

    mendorong partisipasi atau inisiatif. Prinsip subsidiaritas hanya berjalan bila (i)

  • 5/22/2018 Tugas

    16/31

    atasan memahami dengan baik bawahan atau instansi dibawahnya, termasuk

    kompetensi teknis, leadership, dan etisnya; (ii) terjalin komunikasi yang baik

    di antara mereka.

    4.6. Good Governancedan Infrastruktur Akuntabilitas

    Good governancedipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan

    bagaimana mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut. Jadi good

    governance dilihat sebagai proses dan stuktur yang mengarahkan hubungan-

    hubungan politik dan sosial-ekonomi (K. Q-I Elahi, UNDP On Good

    Governance, dlm. International of Social-Economics, 2009:36 (12), 1167-

    1180).

    Asumsi good governance adalah bahwa warga negara merupakan

    subjek pemerintah yang memilik hak atas pilihan bebas. Jadi kriterianya adalah

    partisipasi dalam pengembilan kebijakan publik dan pengawasan, berorientasi

    pada konsensus, ada akuntabilitas, responsif terhadap kepentingan warga

    negara karena efektif dan efisien, peduli terhadap keadilan serta inklusif, dan

    menghormati aturan hukum (Ibid. 62). Keprihatinan utama dalam good

    governacnce adalah bagaimana pelayanan publik menjadi efektif dan efisien

    melalui budaya etis dalam pelayanan publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    17/31

    BAB V

    TRANSPARANSI MENGHADAPI KONFLIK KEPNTINGAN DAN

    KORUSPI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA

    5.1. Transparansi: Definisi, Lingkup dan Kriteria

    Transparansi membuka akses ke informasi agar ada persaingan yang

    fair dan meungkinkan pengawasan efektif. Maka transparansi dalam

    pengadaan barang/jasa publik menurut lima syarat:

    (i) Memungkinkan akses ke informasi tentanga aturan-aturan dan prosedur-

    prosedur serta tentang kesempatan pengadaan barang/jasa tertentu.

    (ii) Informasi harus jelas, konsisten, dan relevan sehingga calon penyedia dan

    kontraktor memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak

    merasa dipermainkan dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil.

    (iii) Standarisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui

    benchmark.

    (iv) Keputusan-keputusan penting di dalam pengadaan barnag/jasa

    terdokumentasi dengan baik dan mudah di akses.

    (v) Penerapan sistem teknologi informasi dalamE-Procurement menjadi alat

    tnraparasi karena sistem itu meninggalkan jejak untuk memudahkan audit,

    yang sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan

    pengadaan barang/jasa.

    Tugas pengadaan barang dan jasa, menurut Westring, mencakup

    setidaknya tujuh bidang/lingkup, yaitu (i) perincian tentang jenis dan jumlah

    barang atau jasa; (ii) pemeriksaan pasar penyedia dan kontrak dengan

    penyedia-penyedia barang/jasa yang mungkin; (iii) membuat pemesanan atau

    kontrak, termasuk negoisasi tentang syarat-syaratnya; (iv) mengawasi

    penyerahan kiriman dan kinerjanya; (v) melakukan tindakan-tindakan yang

    diperlukan bila pekerjaan tidka beres; (vi) melakukan pembayaran; (vii)

    mengurusi penyelesaian bila muncul perkara (Ibid. 7).

    Kewajiban hukum dan persetujuan-persetujuan yang disepakati

    ditentukan oleh kerangka kebijakan yang jelas yang mencakup empat

    ketentuan (Ibid.8); (i) kebijakan umum (misalnya prioritas penyedia dalam

  • 5/22/2018 Tugas

    18/31

    negeri) dan regulasi (hukum, statuta, keputusan menteri); (ii) dana untuk

    pengadaan barnag dan jasa apakah dari pemerintah, bila demikian, audit

    pemerintah diperbolehkan untuk menyelidiki kegiatan-kegiatan pengadaan

    barang dan jasa; (iii) apakah pemerintah merukana instansi paling bertanggung

    jawab akan kewajiban-kewajiban terhadap pihak ketiga; (iv) apakah badan

    pemerintah yang mengadakan kontrak ditentukan oleh statuta atau disamakan

    dengan perusahaan swasta.

    5.2. Transparansi: Aturan dan Prosuder Harus Jelas dan Fair

    Agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan, maka

    semakin banyak kontraktor yang ikut serta, akan semakin bisa memilik yang

    terbaik. Untuk menarik minat banyak kontraktor, aturan dan prosedur harus

    terbuka dan fair. Untuk tujuan itu, ada tiga cara (Fighting Corruption and

    Promoting Integrity in Public Procurement, 2005-25):

    (i) Pemerintah mengumumkan persaingan terbuka. Maka perlu ada publikasi

    melalui media atau pemberitahuan on-line.

    (ii) Pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan

    standar yang sama.

    (iii) Sebelum berlaku efektif, aturan-aturan itu dipublikasikan lebih dahulu

    untuk mendapatkan masukan atau perbaikan dari pihak-pihak yang

    berkepentingan.

    Transparansi berarti menjamin akses ke hukum dan regulasi, keputusan-

    keputusan administratif dan hukum, klausal standar kontrak, sarana, metode

    dan proses pengadaan barang/jasa karena itualah syarat-syarat yang

    mendefinisikan, mengatur dan menentukan kontrak (OECD Principles for

    Integrity in Publik Procurement, 2009:22).

    Prosedur mitigasi. Pemerintah sebaiknya juga menentukan prosedur

    mitigasi bila ada risiko-risiko yang mungkin bisa terjadi seperti bencana alam,

    kecelakaan besar, krisis moneter atau musibah lain. Prosedur mitigasi efektif

    bila pemerintah menjamin administrasi efisien sehingga tidak dipermainkan

    oleh kontraktor rekanan. Penanggung jawab keputusan kunci setidaknya

    dipegang dua atau tiga orang untuk pengawasan dan menghindari

    kesewenangan atau tindakan sepihak.

  • 5/22/2018 Tugas

    19/31

    5.3. Lubang-Lubang Korupsi dan Tanda-Tandanya

    Ada dua belas gejala yang patut dicurigai adanya korupsi atau konflik

    kepentingan dalam proses pengadaan barang/jasa:

    (i) Kontrak diberikan selalu kepada penyedia yang sama tanpa ada

    kompetisi, sering dengan harga lebih tinggi dari harga pasar;

    (ii) Adanya perantara dalam kontrak padahal dia tidak menambah mutu atau

    kinerja kontrak;

    (iii) Pejabat yang bertanggung jawab menerima pemberian, fasilitas uang dan

    nampak lebih kaya padahal tidak sesuai dengan gaji yang diperolehnya.

    (iv) Mutu barang/jasa atau pekerjaan yang diberikan rendah.

    (v) Mantan pejabat atau keluarga, teman atau yang memiliki hubungan

    pribadi bertindak sebagai penyedia barang/jasa.

    (vi) Keluhan dari penawar dianggap sebagai sumber informasi penting

    adanya penipuan atau korupsi.

    (vii) Petunjuk pertama terkait dengan masalah harga.

    (viii) Teknik lain ialah skala perbedaan harga terlalu mencolok antara

    pemenang tender dan penawar lain.

    (ix) Kecurigaan perlu diarahkan pada prosedur.

    (x) Tanda lain yang patut dicurigai adalah perbaikan penawaran disaat-saat

    terakhir penyerahan atau sesudah penyerahan.

    (xi) Mundurnya calon penawar yang memiliki kualifikasi bisa memberi

    petunjuk adanya tekanan entah dari pejabat publik atau kolusi dengan

    penawaran lain (Ibid. 303).

    (xii) Sistem rotasi untuk mendapatkan kontrak di antara para penawar atau

    alokasi pasar sehingga mereka tidak perlu bersaing mendapatkan tender.

    5.4. Perusahaan Facadedan Gejala Manipulasi

    Cara korupsi yang cukup canggih ialah dengan mendirikan perusahan

    facade, yang berfungsi untuk menutupi pengaruh ilegal dalam pemenangan

    kontrak, korupsi atau pencucian hasil uang korupsi (G.T. Ware, 2007:304-305).

    Perusahaan semacam ini hanya digunakan untuk memanipulasi tender atua

    menekan peserta tender yang lain. Perusahaan facade dipakai untuk

  • 5/22/2018 Tugas

    20/31

    pembayaran oleh pemenang tender sehingga seakan-akan uang tersebut adalah

    pembyaran atas prestasi atau pekerjaan yang disubkontrakkan, misalnya,

    mensuplai data teknik dengan harga 30% dari nilai kontrak.

    Beberapa ciri yang mencurigakan adnaya perusahan facade untuk

    manipulasi tender dalam menutupi korupsi (Ibid, 305): (i) perusahaan yang

    sebelumnya tidak dikenal karena tidak memiliki track record ambil bagian

    dalam tender mengajukan sebagai subkontraktor terhadpa penawaran utama;

    (ii) perusahaan subkontraktor tidak memiliki prasarana atau fasilitas, bahkan

    sering alamatnya bukan kantor tapi rumah tinggal, atau seandainya kantor tidak

    ada kegiatan yang berarti; (iii) keluarga pejabat publik yang menangani

    pengadaan barang/jasa menjadi pemilik atau masuk dalam manajemen

    perusahaan yang menang tender; (iv) pejabat tersebut sering kelihatan muncul

    di kantor pemenang tender atau ketemu pemilik perusahaan pemenang tender

    di tempat lain.

    Distorsi sejak awal proyek ini akan menyeret ke penawaran yang

    manipulatif, penuh kolusi dan korupsi. Gejalan-gejalan sudah bisa dikenali

    dalam hal: (i) proses persetujuan proyek tidak terlalu jelas, tidak ada kriteria

    objektif dalam memilih proyek seperti pilihan tempat atau bentuk tidak

    didasarkan atas kebutuhan publik; (ii) prakiraan harga tidka sesuai dengan rata-

    rata harga pasar atau pemecahan alternatif harga yang lebih murah ditiadakan;

    (iii) pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memonitor. Rancangan

    pengadaan barang/jasa mengandalkan persaingan lokal; (iv) tidak ada

    rancangan alternatif antikorupsi di dalam desan proyeknya (Ibid. 309).

    Gejala adanya manipulasi kelihatan: (i) ketika membuat undangan

    penawaran tender tidak diiklankan secara luas; (ii) tidak memberi informasi-informasi memadai tapi sulit diakses atau harus dengan password; (iii)

    undangan diberikan atau diumumkan dalam tenggang waktu yang tidak

    memungkinkan membuat persiapan yang mencukupi; (iv) formulir dokumen-

    dokumen penawaran tidak menggunakan standar resmi sehingga

    memungkinkan penggunaan kriteria evaluasi yang sewenang-wenang untuk

    menentukan syarat-syarat kontrak demi peserta yang dikehendaki; (v) dokumen

    penawaran tidak memberi instruksi jelas tentang bagaimana mempersiapkan

  • 5/22/2018 Tugas

    21/31

    penawaran atau struktur harga penawarannya; (vi) tenggat waktu yang

    diberikan antara penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran publik

    tidak umum atau ada perubahan tempat penyerahan penawaran tanpa

    diberitahukan kepada semua peserta.

    Pengadaan barang/jasa memperhitungkan syarat-syarat yang menopang

    transparansi. Syarat-syarat itu setidaknya meliputi tiga hal di bawah ini: (i)

    kompetensi, integritas pejabat publik dan perjanjian integritas; (ii) dana

    digunakan sesuai dengan tujuan dan pengembangan mekanisme kontrol; (iii)

    peran media, civil societydan whistle-blowers.

    5.5. Transparansi: Kompetensi Pejabat Publik dan Perjanjian Integritas

    Untuk mencegah konflik kepentingan di dalam pengambilan keputusan

    publik, pihak pejabat publik diminta membuat pernyataan tentang empat hal:

    (i) pejabat publik harus menyadari situasi dan menyaring hubungan-hubungan

    yang berisiko; (ii) membuat laporan daftar kekayaan secara berkala supaya bisa

    dinilai apakah ada peningkatan kekayaan yang bisa menjadi petunjuk

    mencurigakan adanya konflik kepentingan atau korupsi (Bribery in Public

    Procurement, 2007:58). (iii) pejabat publik diminta untuk membuat pernyataan

    tertulis bahwa tidak memberikan informasi konfidensial atau favoritisme

    kepada kontraktor; (iv) peserta tender juga harus menyerahkan pernyataan

    bahwa dirinya tidak berusaha mencari bocoran informasi konfidensial dan bisa

    menunjukkan bahwa ia bersih atau tidak mendapatkan bocoran.

    Kompetensi leadership menuntut bahwa pejabat publik memiliki

    keterampilan dan perancangan, negoisasi serta cepat menentukan perubahan

    manajemen agar mudah menumbuhkan kepercayaan. Untuk menginjgatkanpentingnya standar etika, pejabat publik dan rekanan swasta diminta untuk

    membuat Perjanjian Integritas sebagai alat komitmen integritas yang bisa

    dipercaya. Tujuannya adalah menjamin agar baik pemerintah maupun

    kontraktor tidak bermain curang atau korupsi di dalam proses pengadaan

    barang/jasa. Perjanjian integritas ini merupakan perjanjian antara pemerintah

    dan semua peserta tender untuk tidak membayar, menawarkan, meminta atau

  • 5/22/2018 Tugas

    22/31

    menerima suap, atau melakukan kolusi antarpesaing dalam rangka

    mendapatkan kontrak atau dalam pelaksanaan kontrak.

    Pemerintah harus meminta standar integritas yang jelas kepada pihak

    swasta. Bentuk standar integritas itu ialah ada catatan umpan balik, evaluasi

    tentang pengalaman, dan memilik sejarah positif sebagai penyedia barang/jasa.

    Pemerintah harus tegas dan jelas menentukan standar integritas dalam seluruh

    proses pengadaan barnag/jasa dengan mendasarkan pada kriteria objektif dan

    diketahui pihak-pihak yang ambil bagian di dalam tender.

    5.6. Tujuan Dana Publik dan Pengembangan Mekanisme Kontrol

    Pemerintah harus menjadi bahwa dana publik yang digunakan di dalam

    pengadaan barang/jasa sesuai dengan tujuan-tujuan yang dimaksudkan (OECD

    Principles, 2009:11). Kriterium menjawab kebutuhan publik dipakai untuk

    melokalisir konflik kepentingan yang dihadapi pejabat publik. Alokasi dana

    bisa disalahgunakan untuk kepentingan kelompok, partai politik, organisasi

    keagamaan atau organisasi alumninya. Sasaran proyek perlu di evaluasi secara

    ketat. Pemborosan-pemborosan atau alokasi dana sangat rawan korupsi dan

    kolusi, terutama pada akhir tahun anggaran dimana sasaran sering kali tidak

    tepat, atau ada kecenderungan asal menghabiskan anggaran.

    Pengawasan manajemen keuangan harus relevan dan optimal oleh

    lembaga audit internal, dan juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan serta DPR.

    Pemeriksaan tidak hanya dibatasi dalam scope memverifikasi aspek legilitas

    dari keputusan pembelanjaan saja, tetapi juga harus memeriksa apakah

    perencanaan sungguh menjawab kebutuhan publik. Mekanisme kontrol akan

    efektif bila memperhitungkan tiga hal: laporan jelas, menggunakan sistemelektronik, dan budget mudah dikontrol (Ibid. OECD, Principles, 29).

    Pengembangan mekanisme kontrol untuk menjamin transparansi itu

    akan semakin mempunyai dampak yang luas bila memperhitungkan kekuatan

    media. Media sangat berperan mendukung bekerjanya mekanisme whitstle-

    blowing. Whistle-blower akan lemah bila tidak mendapat dukungan media.

    Umpan balik masyarakat sangat dibutuhkan karena sekaligus berfungsi sebagai

    pengawasan dan penilaian terhadap pelayanan publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    23/31

    5.7. Transparansi Berkat Media, Civi l Society, dan Whistle-Brown

    Media elektronik dan komputer memungkinkan pertukaran informasi

    dalam waktu riil yang singkat. Penggunaan teknologi informasi di dalam

    adminitrasi publik sangat membantu memecahkan banyak masalah, terutama

    memungkinkan pemerintah untuk mereorganisasi prosedur, membuat informasi

    semakin mudah diakses, dan mengurangi biaya operasional (OECD, Fighting

    Corruption and Promoting Integrity in Publik Procurement, 2005:90). E-

    Procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik

    dengan menggunakan internet sebagai mekanisme untuk memfasilitasi atau

    menyelesaikan transaksi (Ibid. 223).

    Civil societymemegang peran penting sebagai salah satu sumber dalam

    mendefinisikan kebutuhan publik dan tuntutan-tuntutan yang perlu

    dikonsultasikan. Mereka juga diikutsertakan di dalam pengawasan dan evaluasi

    pengiriman atau penyelesaian barang/jasa/pekerjaan. Peran civil societysangat

    besar di dalam upaya pemberantasan korupsi yang menggerogoti pengadaan

    barang/jasa. Kelompok civil societytertentu akan lebih cocok mengawasi tahap

    tertentu pengadaan barang/jasa.

    Peran whistle-blowersangat penting untuk memecah situasi kerahasiaan

    atau tutup mulut yang dipaksakan oleh tindak korupsi atau konflik kepentingan

    (J.L. Fleishman, 1981:206-218). Di dalam upaya meniupkan peluit itu,

    sebetulnya ada tiga hal yang mau disingkap, yaitu ada ketidaksepakatan

    pelanggaran loyalitas, dan tindakan menuduh. Jadi dengan penyingkapan itu

    informasi yang masuk mau mengingatkan adanya tanda risiko korupsi atau

    konflik kepentingan.

    Untuk mengubah budaya diam, secara internal pemerintah harusmembangun mekanisme perlindungan whistle-blowers dengan menggariskan

    prosedur yang mudah diikuti. Dengan belajar dari rekomendasi Komisi Standar

    Kehidupan Publik Pemerintahan Inggris, akan sangat bermanfaat untuk

    regulasi perlindungan whistle-blowers bila kita mencermati beberapa

    langkahnya (OECD Working Papers, 2000:14): (i) harus ada pernyataan tegas

    bahwa pelaporan pelanggaran korupsi akan ditanggapi serius dalam organisasi

    asal indikasinya bisa dipertanggungjawabkan; (ii) konfidensialitas pelapor

  • 5/22/2018 Tugas

    24/31

    dilindungi karena informasinya memang diharapkan dan memberi kesempatan

    mengemukakan keprihatinan itu diluar jalur sturktur manajemem; (iii) sanksi

    akan diberikan terhadap siapa saya yang membuat laporan palsu atau tuduhan

    jahat; (iv) memberi indikasi cara yang baik bagaimana keprihatinan itu akan

    diangkat di luar organisasi.

    5.8. Transparansi Menghadapi Korupsi Kartel-Elite

    Korupsi kartel-elite biasanya mendapat dukungan jaringan politik

    (partai politik), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi

    dalam situasi sosial-politik yang ditandai dengan ciri-ciri (M. Johnston,

    2005:89): (i) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga-

    lembaga yang masih lemah; (ii) sistem peradilan penuh kompromi atau korup;

    (iii) partai politik tidak benar-benar mengakar dalam masyarakat, tapi lebih

    mewakili elite yang bersaing; (iv) birokrasi terlau besar dan rentan korupsi.

    Maka suasana politik penuh risiko dan ketidakpastian.

    Korupsi kartel-elitebukan hanya masalah penyalahgunaan kepercayaan

    oleh kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi korupsi

    jenis ini menjadi cara yang dipakai elite untuk menggalang dukungan politik

    dari masyarakat serta memenangkan kerjasama dengan lembaga legislatif,

    penegak hukum, dan birokrasi (F. London, 2008:10). Korupsi jenis ini biasanya

    juga menggunakan strategi komunikasi politik yang canggih untuk merekayasa

    opini publik. Dalam setiap investigasi terhadap dugaan korupsi jenis kartel-

    eliteini, akhirnya yang dijadikan kambing hitam hanya oknum atau salah satu

    pengurusnya, bahkan lebih sering mereka dilindungi. Oleh karena itu harus ada

    transparansi politik, manajemen, dan hukum.

  • 5/22/2018 Tugas

    25/31

    BAB VI

    AKUNTABILITAS DAN INTEGRITAS

    POLITISI WAKIL RAKYAT

    6.1. Prosedur Akuntabilitas Wakil Rakyat

    Akuntabilitas wakil rakyat bisa dilihat dari sisi prosedur dan hasil. Dari

    sisi prosedur, akuntabilitas politik mengacu ke mekanisme yang melibatkan

    hubungan setidaknya dua pihak, yaitu pihak wakil yang membuat pilihan atua

    keputusan untuk kepntingan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk memberi

    sanksi atau imbalan (K.S Strom, 2003:62).Pertama, seorang wakil rakyat bisa dikatakan akuntabel bila memiliki

    hubungan kesalingan dengan masyarakat yang diwakilim artinya (i) dia mampu

    bertindak demi sekelompok warga negara yang diwakilinya, dan (ii) yang

    diwakili mempunyai kemampuan untuk memberi sanksi atau imbalan atas

    kinerjanya. Akuntabilitas, menurut K. Strom, mengandung arti bahwa yang

    diwakili (rakyat) memiliki dua hak terhadap yang mewakili, yaitu hak untuk

    meminta informasi dan memberi sanksi. Sanksi bisa dalam bentuk (a)

    mengahalangi, menolak, atau mengoreksi keputusan; (b) mencabut mandar,

    tidak memilih lagi, membatasai kekuasaannya atau menutut pemimpin partai

    untuk melakukan recallterhadapnya; (c) menjatuhkan sanksi tertentu, misalnya

    membayar ganti rugi, memproses melalui demonstrasi, memboikot

    aktivitasnya, memublikasi catatan negatif kinerja (Ibid. 62). Kedua, dalam

    tugasnya mengontrol pemerintah, menurut R.D. Behn, wakil rakyat harus

    memeriksa pilihan-pilihan tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan,

    kemudian pada akhir tahun fiskal, mengevaluasi pencapaian tujuan-tujuan

    tersebut (2001:105)

    6.2. Akuntabilitas Melalui Kinerja

    Akuntabilitas wakil rakyat yang diukur dari kinerjanya bisa diamati dari

    cara menyusun prioritas regulasi. Kita bisa menilai sejauh mana undang-

    undang memfokuskan pada pelayanan publik yang relevan, yaitu bila

    menjawab kriteria ini: (i) usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan; (ii)

  • 5/22/2018 Tugas

    26/31

    upaya menciptakan iklim yang mendukung investasi, meski tetap

    memperhatikan perlindungan pekerja; (iii) usaha memperkuat institusi-institusi

    untuk melawan korupsi; (iv) upaya mengurangi defisit dan utang negara,

    termasuk mengawal hasil pajak, kekayaan negara dan sumber pendapatan

    negara lainnya; (v) usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan; (vi) upaya

    memajukan daerah tertinggal. Kalau wakil rakyat bisa memberikan prioritas

    pembuatan perundangan pada hal yang merupakan keprihatinan utama

    masyarakat, dinamika politik bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap

    politisi. Regulasi yang tarkiat dengan upaya memajukan daerah tertinggal

    tergantung pada kepekaan wakil rakyat. Kalau akuntabilitas wakil rakyat

    didasarkan pada prioritas regulasi, prestasi akan dinilai dari dampak

    regulasinya.

    Anggapan umum dalam sistem demokrasi representatif ialah bahwa

    DPR bertugas mempresentasikan opini dan kepentingan konstituen. Dalam

    tataran praktis, konsep representasi itu diterjemahkan dalam bentuk kegiatan-

    kegiatan parlementer yang melibatkan mereka untuk memasukkan rancangan

    undang-undang; mendesain amandemen yang akan menguntungkan konstituen

    dan juga secara lebih luas menguntungkan bangsa; terlibat dalam diskusi dan

    debat di komisi-komisi; kalau perlu harus campur tangan dalam urusan-urusan

    birokrasi demi memperjuangkan kepentingan konstituen; masa reses digunakan

    untk menyerap aspirasi konstituen melalui kunjungan dan dialog dengan

    mereka.

    6.3. Mengantisipasi Akuntabilitas Sebelum Mandat dan dalam Masa Jabatan

    Cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas harus mulai jauh sebelumpelaksanaan suatu mandat, artinya harus mulai dari saat rekrutmen. Bertitik

    tolak dari gagasan Arthur Lupia tentang sarana untuk membantu menjamin

    akuntabilitas (2003:45-51). Proses ini memperhitungkan mekanisme sebelum

    mandar diberikan (dua sarana pertama yang akan disebut di bawah ini) dan

    selama pelaksanaan tugas (dua sarana kedua di bawah ini):

    (i) Desain kontrak. Sarana ini merupakan persetujuan antara wakil rakyat

    dan konstituen tentang tugas dalam janga waktu tertentu yang harus

  • 5/22/2018 Tugas

    27/31

    dipenuhi, misalnya, setelah masa bakti dua tahun tidak berhasil

    memperjuangkan upaya perbaikan fasilitas pendidikan atau penciptaan

    lapangan kerja di daerah mereka, mandat akan dilihat kembali.

    (ii) Mekanisme penyaringan dan seleksi. Mekanisme penyaringan berjalan

    asal ada kompetisi dari beberapa kandidat. Ada tiga kemungkinan dalam

    proses penyaringan ini: a) konstituen mengorganisir diri untuk bisa

    memberi informasi kepada partai politik tentang catatan calon wakil

    rakyat; b) kompetisi tidak berhasil karena informasi yang tidak cukup

    tentang kandidat yang sudah tersaring, bahkan meski sudah mencari

    informasi dari pihak ketiga; c) seleksi kurang informasi atau ada unsur

    manipulasi sehingga mereka yang memenuhi tuntutan kompetensi justri

    tidak terpilih, sedangkan yang tidak kompeten justru terpilih karena

    faktor kapital sosial (koneksi) atau nepotisme.

    (iii) Monitor dan pelaporan. Partai politik akan meningkatkan kepercayaan

    rakyat bila memiliki komisi etika yang akan memberi pelatihan etika

    publik, memberi arahan tertulis tentang dimensi etika di dalam kebijakan

    publik, membantu menjamin akunbtabilitas dan mengawasi anggota

    partai yang menjadi wakil rakyat atau pejabat publik.

    (iv) Pengecekan secara institusional. Komisi Etik, Komisi Kerja, DPP

    Partainya merupakan lembaga-lembaga yang berperan juga untuk

    menuntut akuntabilitas wakil rakyat.

    Antisipasi dalam akuntabilitas berarti partai politik harus mulai dengan

    rekrutmen yang ketat. Cara ini berarti peduli pada bentuk pengawasan dari

    dalam diri pelaku. Akuntabilitas tidak bisa dilepaskan dari kemampuan partai

    menyeleksi calon anggota legislatif yang berkualitas, melatih, danmendampingin.

    6.4. Warga Negara Kompeten: Daya Tawar untuk Menuntut Akuntabilitas

    Wakil rakyat cenderung mengabaikan aspirasi konstituennya bisa

    dilihat dari berbagai sebab: (i) biasanya pimpinan partai lebih berpengaruh

    terhadap wakil rakyat dalam menentukan agenda partai untuk perjuangannya di

    parlemen dalam rangka pembuatan legislasi, kontrol terhadap penyelenggaraan

  • 5/22/2018 Tugas

    28/31

    Negara oleh eksekutif, masalah pelanggaran atau kebijakan lain; (ii) lingkaran

    dalam pendukungnya, terutama yang menyumbang dana kampanye dan

    pengorganisasian pemenangan, lebih masuk dalam pertimbangan wakil rakyat

    daripada konsituennya (J. Gastil, 2003:3); (iii) wakil rakyat setelah terpilih

    akan lebih memikirkan kepentingan mereka sendiri atua agenda kelompoknya

    (agama, suku, asosiasi lain) daripada kepentingan konstituen; (iv) wakil rakyat

    menghadapi ketidakjelasan identitas konstituennya, dalam arti tidak cukup

    informasi tentang apa yang sebetulnya dikehendaki oleh konstituen, bahkan

    informasi kabur atau bertentangan. Keempat sebab itu melemahkan daya tawar

    politik warga negara atau civil society dalam upaya menuntut akuntabilitas

    wakil rakyat.

    Kalau warga negara dianalogikan dengan konsumen, akan kelihatan

    penyebab yang melemahkan warga negara, terutama sebagai akibat dari sistem

    representasi. Politik adalah arena yang menghasilkan produk-produk berupa

    masalah, program, analisa, komentar, konsep (UU, hukum), dan peristiwa.

    Warga negara dianggap kompeten bila memiliki sikap politik yang

    mendasarkan pada informasi yang memadai dan koheren. Untuk sampai ke

    situ, ada tiga syarat (J. Gastil, 2000:33-34): (i) pandangannya mendasarkan

    pada informasi yang memadai, artinya memperhitungkan fakta suatu masalah

    dan mampu melihatnya dari berbagai segi; (ii) penilaian terhadap kebijakan

    publik disebut koheren bila berhubungan secara logis satu dengna yang lain

    dengan tetap mengacu pada nilai-nilai yang sama yang mendasarinya; dan (iii)

    posisi opininya tentang suatu masalah tidak berlawanan dengan posisinya

    ketika berhadapan dengan masalah lain. Jalur wakil rakyat ini apakah efektif,

    bisa dilihat dari beberapa pertimbangan: (i) sejauh mana wakil rakyat dipilihsecara bersih dan apakah prosedur yang ditempuh sesuai dengan perundangan;

    (ii) mekanisme ini membantu untuk membaca kecenderungan loyalitas wakil

    rakyat.

    Ada faktor hubungan timbal balik antara wakil rakyat dan warga negara

    (konstituen, bangsa) yang menentukan responsif-tidaknya wakil rakyat. Ada

    tiga faktor, menurut Mezey, yang harus diperhitungkan agar tuntutan warga

    negara terhadap akuntabilitas wakil rakyat efektif: (i) konstituen teroganisir

  • 5/22/2018 Tugas

    29/31

    baik sehingga memiliki informasi yang mencukupi untuk merumuskan

    kepenitngan mereka dilingkup kebijakan publik; (ii) membangun mekanisme

    dan sarana yang efektif untuk memonitor tindakan wakil mereka sehingga bisa

    mengarahkan agar fokus pada kepenitngan konsituenl (iii) ada sanksi yang

    efektif dan berguna bila wakil rakyat dianggap bertidak tidak sesuai dengan

    kepentingan konstituen (2008:35).

    6.5. Akuntabilitas, Pendidikan Politik, dan Konflik Kepentingan

    Dalam dinamika politik, menurut Mezey, kemampuan kelompok-

    kelompok kepentingan untuk memengaruhi kebijakan publik sangat konkret

    berkat organisasi yang efektif dan efisien (2008:146): (i) mereka memiliki

    opini tentang kebijakan publik yang terartikulasi secara jelas untuk

    kepentingan anggota-anggota organisasinya; (ii) kelompok-kelompok itu,

    melalui pemimpinnya menghubungkan wakil rakyat dengan anggota-anggota

    kelompoknya, termasuk mengomunikasikan kepentingan mereka; (iii) mereka

    memiliki orang-orang yang secara profesional menguasai prosedur dan labirin

    politik sehingga mampu memonitor proses pembuatan perundangan,

    menempatkan orang untuk memberi informasi tentang perkembangannya,

    membentuk tim untuk memengaruhi agar memperhitungkan kepentingan

    mereka, dan terutama menyumbang dana kampanye atau keperluan lain bukan

    hanya untuk wakil rakyat, tetapi juga untuk partai politiknya.

    Dalam situasi konflik kepentingan, wakil rakyat sulit menolak

    mengikuti kepentingan kelompok-kelompok tersebut karena memberi

    kemudahan, fasilitas, pelayanan, dan keuntungan finansial/materi, bahkan

    menolong untuk bisa terpilih kembali. Maka dibutuhkan semacam kode etikyang memberi pegangan cara bertindak wakil rakyat karena sangat membantu,

    terutama menghadapi konflik kepentingan supaya faktor fasilitas, pelayanan,

    keuntungan material dan finansial tidak terlalu memengaruhi pembuatan

    undang-undangan dan keputusan kebijakan publik.

  • 5/22/2018 Tugas

    30/31

    6.6. Korupsi, Gratifikasi, dan Peran Komisi Etika

    Untuk menciptakan budaya etika tersebut, (i) perlu adanya komisi yang

    mengatur, memberlakukan dan mengawasi hukum, aturan dan standar etika;

    (ii) perlu diorganisir secara berkala suatu pendidikan danpelatihan etika publik

    untuk meningkatkan kesadaran moral dan belajar memecahkan masalah-

    masalah dilema etika yang dihadapi wakil rakyat; (iii) komisi etika perlu selalu

    memberi pengarahan tertulis, pendampingan, dan evaluasi dari segi etika

    publik terhadap cara atau prosedur bagaimana para wakil rakyat menghadapi

    masalah-masalah kebijakan publik; (iv) dibuat aturan yang memungkinkan

    Komisi Etika untuk memberi sanksi dengan mempertimbangkan informasi

    yang menunjukkan adanya pelanggaran wakil rakyat, bahkan bila tidak ada

    keluhan atau laporan, jika ternyata menganggu kinerja tugasnya; maka perlu

    subkomisi investigasi lintas fraksi untuk mengumpulkan fakta (wawancara

    saksi, memeriksa dokumen, meninjau lokasi) agar bisa menentukan benar

    tidaknya pelanggaran tersebut.

    6.7. Mengintegrasikan Nilai Etika ke dalam Manajemen Organisasi

    Memang tidak mudah menciptakan budaya etika dalam lembaga negara

    karena kuatnya konflik kepentingan, peran partai-partai politik dan pertarungan

    kekuasaan. Upaya memberlakukan secara efektif harus dengan

    mengintegrasikan ke dalam manajemen organisasi dikegaitan sehari-hari,

    artinya; (i) dalam menyusun kode etik harus mengikutsertakan anggota-

    anggota yang cukup respresentatif sehingga ad apartisipasi dan memungkinkan

    membentuk khazanah istilah atau konsep yang sama. Dengan demikian akan

    meningkatkan rasa memiliki dan komitmen pada aturan yang dibuat; (ii)memasukkan komisi etika agar berperan dalam pengambilan keputusan untuk

    mengangkat masalah etika dalam setiap pertemuan staf dengan selalu

    merumuskan dampak etikanya sebelum setiap keputusan penting diambil; (iii)

    disediakan konsultasi etika dan dibangun saluran pelaporan untuk membantuk

    membahas masalah-masalah etika, menetapkan prosedur menyalurkan keluhan,

    ketidakpuasan atau protes mekanisme whitsle-blowing (hotlines, komunikasi

    konfidensial), sistem perlindungan bagi pelapor untuk mencegah balas dendam,

  • 5/22/2018 Tugas

    31/31

    dan ombudsman (Bowman, 2010:88); (iv) manajemen personalia diseuaikan

    dengan tuntutan etika publik, termasuk merevisi cara perekrutan calon anggota

    legislatif; pendidikan dan pelatihan etika publik secara berkala; proses evaluasi

    kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etikanya (Ibid. 88); (v) audit

    etika secara berkala mliputi: melihat kembali dokumen-dokumen, menilai

    kerentanan masalah, wawancara dan survei karyawan, dan evaluasi terhadpa

    sistem yang ada; (vi) meningkatkan sosialisasi kesadaran etis dengan

    memasang kode etik disetiap berkumpul, mencetak dan memuat secara tematik

    kode etik yang sedang aktual dimedia internal; menciptakan program award

    untuk kasus-kasus yang bisa dijadikan contoh yang sering menyumbang

    budaya etika organisasi (Ibid. 88).