triple bottom line

23
A. TEORI TRIPLE BOTTOM LINE Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007). a. Profit (Keuntungan) Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah 1

Upload: adrian-israni

Post on 07-Feb-2016

1.219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Triple Bottom Line

A. TEORI TRIPLE BOTTOM LINE

Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya konsep CSR

tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR ini. Salah satu

yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi pandangan bahwa jika

sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut

harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus

memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut

berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).

a. Profit (Keuntungan)

Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan usaha.

Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit

dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk tanggung jawab

ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh

untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan

efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen

kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat

waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan

menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusuf

wibisono, 2007).

1

Page 2: Triple Bottom Line

b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)

People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi perusahaan,

karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan

perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya

memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa

operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan

perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat

(Yusuf wibisono, 2007).

c. Planet (Lingkungan)

Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam kehidupan

manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup selalu

berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan seluruh

peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian besar dari

manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak

ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.

Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar.

Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana menghasilkan uang

sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk melestarikan lingkungan. Padahal

dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan memperoleh keuntungan yang lebih,

terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di samping ketersediaan sumber daya yang lebih

terjamin kelangsungannya (Yusuf wibisono, 2007). 

2

Page 3: Triple Bottom Line

B. PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE

Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja,

tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap perusahaan

berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan kepentingan

sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang

berkelanjutan bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan hanya peningkatan nilai

pemegang saham. Namun yang paling baik adalah dicapai melalui kerangka kerja yang luas

di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai etika serta tujuan bersama yang

melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai pemangku kepentingan.

Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Zu (2009) dalam Sandra

(2011) mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu,

ekonomis, sosial dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang lebih luas

dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu ekonomi, lingkungan

dan sosial. Hal ini berarti memperluas kerangka kerja pelaporan sederhana untuk

memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan disamping kinerja keuangan. Ini juga

menangkap esensi pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dengan

mengukur dampak ketiga aspek tersebut dari kegiatan operasi perusahaan.

Konsep disampaikan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa pengenalan konsep

sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep triple

bottom line selanjutnya. Sebagai contoh the organization for economic cooperation and

development (OECD merumuskan”kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta

adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian kepada

para pemegang saham, upah bagi karyawan dan pembuatan produk serta jasa bagi para

3

Page 4: Triple Bottom Line

pelanggan melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal

yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat”.

Solihin (2008) juga menyatakan paparan tentang triple bottom line. Yaitu menyatakan

bahwa semua konsep ini sebagai adopsi dari atas konsep sustainability development, saat ini

perusahaan secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang dikenal dengan

sustainability report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi perusahaan terhadap

ekonomi, sosial, lingkungan. Salah satu model awal yang digunakan oleh perusahaan dalam

menyusun suistanability report mereka adalah dengan mengadopsi metode akuntansi yang

dinakaman triple bottom line. Menurut John Elkington (1997) dalam Solihin (2008) konsep

triple bottom line merupakan perluasan dari konsep akuntansi tradisional yang hanya

membuat single bottom line tunggal yakni hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi

perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington menjelaskan triple bottom line sebagai berikut.

“The three lines of the triple bottom line represent society , the economy and the

environment. Societ depend on the global ecosystem, whose hearh represents ultimate bottom

line. The three line are not stable; they are in constant flux, due to social, political, economic

and environmental pressures, cycle and conflicts.”

Dari pengertian dan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas perusahaan

yang berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkaitan dengan masyarakat.

Terutama pada aktivitas sosial dan lingkungan sesuai dengan definisi OCED dan dari John

Elkington (1997) dalam Sandra (2011) tersebut bahwa tidak ada pengembalian secara

langsung yang dapat dirasakan oleh perusahaan. Oleh karena itu pengungkapan TBL sangat

penting diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan.

C. TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit

4

Page 5: Triple Bottom Line

Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan menghentikan

pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas. Alasan mereka adalah

dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan kehidupan satwa, mengurangi

kemampuan penyerapan karbon dioksida yang merupakan salah satu penyebab utama

perubahan iklim global yang lebih dikenal dengan global warming.

Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga

didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni 2009,

Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah. Mereka

menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara ilegal di

Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material yang mereka beli

benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan mungkin saja tuduhan tersebut

benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia gempar dengan kasus bunuh diri di

pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.

Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa

perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington tahun

1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P – People,

Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur nilai kesuksesan

suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring

perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak

digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan

tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu

bentuk implementasi TBL.

5

Page 6: Triple Bottom Line

Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan

kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang

dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).

Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai

suatu program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa

perusahaan menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan dari

masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan

lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi

tentang penyajian pelaporannonfinansial.

Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya

yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate

Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah melakukan riset dan

mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi

perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan

menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin

mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab

dipotong lebih dulu.

D. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM

LINE

Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa kajian mengenai pengungkapan triple

bottom line yaitu pengungkapan ekonomi sosial dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi

6

Page 7: Triple Bottom Line

pengungkapan triple bottom line dalam penelitian dapat dianalisa dari 3 sisi yaitu: karaktristik

perusahaan, struktur kepemilikan, dan good corporate governance.

Dalam analisa mengenai pengaruh kerakteristik perusahaan terhadap pengungkapan

TBL diukur dengan beberapa variabel antara lain, leverage, profitabilitas, likuiditas, dan jenis

industri. Dan pada masing-masing variabel jenis pengukurannya juga berbeda-beda. Sehingga

masing-masing variabel diharapakan bisa menjelaskan keterkaitan antara karakteristik

perusahaan dan pengungkapan TBL.

Pengungkapan TBL selanjutnya juga dipengaruhi oleh struktur kepemilikan

perusahaan. Dan bagaimanapun juga struktur kepemilikan perusahaan berhubungan langsung

dengan aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan TBL dilaporan

tahunan perusahaan. Karakteristik kepemilikan perusahaan dapat diukur dengan beberapa

variabel yaitu, kepemilikan asing, kepemilikan manajemen, dan kepemilikan institusional.

1. Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya

monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan untuk

tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk membayar. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan mempunyai tingkat utang yang

tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan kegiatan dalam rangka penungkapan

triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki tingkat leverage

yang tinggi cenderung untuk menurunkan pelaporan pengungkapan triple bottom line. Faktor

tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.

2. Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

7

Page 8: Triple Bottom Line

Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga

perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan itu

dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen yang

memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan pengungkapan

ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaporannya. Hal ini sesuai dengan penelitian

Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan bahwa profitabilitas mendukung keyakinan

kepada perusahaan agar melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial. Hubungan

profitabilitas dalam kinerja keuangan dengan tanggung jawab sosial saling berkaitan.

Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan

kegiatan dan pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan dengan

profit yang dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba yang dihasilkan

perusahaan dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan memiliki laba yang

tinggi, manajemen juga harus memberikan akstifitas sosial dan lingkungannya sebagai

perwujudan kontrak sosial yang terjadi dalam interaksi dimasyarakat.

3. Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang

dilakukan perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya sangat

memperhatikan status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer perusahaan

sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor (prinsipal) antara lain

dengan meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga kelangsungan operasi perusahaan

dengan menjaga likuiditasnya agar perusahaan dapat bertahan lama. Perusahaan dengan

tingkat likuiditas yang tinggi selalu menciptakan nilai berupa image positif terhadap

prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk memperluas pegungkapkan seluruh

informasi tentang perusahaan, terutama tentang triple bottom line. Perusahaan sangat likuid

8

Page 9: Triple Bottom Line

mungkin memiliki insentif yang kuat untuk memberikan rincian lebih lanjut dalam

pengungkapan perusahaan mereka tentang kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban

jangka pendek keuangan. Sehingga semakin tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin luas

pula pengungkapan triple bottom line perusahaan.

4. Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan

pengungkapan informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi dan

pengungkapannya. Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high profile.

Perusahaan dengan kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan informasi yang

cenderung lebih luas. Hal ini dilakukan perusahaan untuk melegitimasi kegiatan usahanya

agar mengurangi tekanan dari masyarakat. Senada dengan pernyataan tersebut Anggraini

(2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis industri berpengaruh terhadap

pengungkapan triple bottom line.

5. Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan asing

adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal yaitu investor

asing dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan.

Dalam penelitian indah (2009) menyebutkan bahwa kepemilikan asing tak berpengaruh

terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial atau triple bottom line, padahal dalam fakta

sekarang banyak investor yang mensayaratkan adanya laporan sosial pada perusahaannya.

Selanjutnya investor asing sebagai pemegang saham dihadapkan pada besarnya tingkat

informasi asimentri, sehingga untuk menghindari potensi kerugian yang ditimbulkan dengan

9

Page 10: Triple Bottom Line

adanya asimetri informasi, berlandaskan teori agensi maka perusahaan juga harus

memperhatikan faktor ini.

6. Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk melakukan

program tanggung jawab sosial perusahaan. Rawi (2010) juga mengatakan bahwa

kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program tanggungjawab

sosial dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada suatu titik yang mana

mengurangi nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan hubungan negatif.

Hal ini berhubungan dengan kepemilikan saham perusahaan. Akan berbeda jika prinsipalnya

adalah orang-orang yang duduk dalam manajemen perusahaan itu sendiri. Bila dihubungkan

dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi satu pihak yang tidak terpisahkan.

Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat semaunya sendiri. Oleh karena itu, luas

pengungkapan triple bottom line pasti rendah. Informasi pengungkapan yang disampaikan

juga berbeda bila penerima informasi bukan orang yang menyampaikan informasi tersebut.

7. Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh karena

itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab sosial dan

lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal dalam hal ini

dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga pengungkapan triple

bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki kekuatan dan pengalaman

serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good corporate governance untuk

mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang saham sehingga mereka menuntut

perusahaan melakukan komunikasi secara transparan oleh manajemen. Oleh karena itu,

10

Page 11: Triple Bottom Line

kepemilikan institusional dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pengungkapan triple

bottom line. Hal ini berarti kepemilikan institusional dapat mendorong perusahaan untuk

meningkatkan pengungkapan triple bottom line.

8. Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur

independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik

terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu perusahaan

jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan perusahaan,

karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam aktivitas

managemen perusahaan.

Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas

melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi pengawasan

dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.

9. Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.

Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat dilakukan oleh

manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme perusahaan. Salah satu aspek

dari pelaksanaan good corporate governance adalah pembentukan komite audit. Dasar

pembentukan komite audit juga berdasarkan atas keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-

29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki

oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang

berasal dari anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten

atau perusahaan publik.

11

Page 12: Triple Bottom Line

Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan

manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan

komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam hal ini

diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol manajemen. Sehingga

biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih dapat diminimalkan. Hal ini

juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang menyatakan bahwa ukuran komite

audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.

Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki tanggung

jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama kali

diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals With

Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan agar dunia

usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja keuangan (berapa besar

deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga dengan pengaruh terhadap

perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana mereka beroperasi. Disebut

triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: Economic, Environmental,

Social (EES) atau istilah umumnya 3P: “Profit-Planet-People”.

Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi

Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR

berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana

ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus

mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan

atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat

ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, dunia usaha, masyarakat, dan

12

Page 13: Triple Bottom Line

sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan.

CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia usaha

saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan melakukan tanggung

jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1) perusahaan terhindar dari

reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa

memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan, (2) kerangka kerja etis yang kokoh

dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan

lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa

hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya

dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, (4) perilaku etis perusahaan aman dari gangguan

lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar.

 Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi

perusahaan dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar pelaksanaan

tanggung jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam megimplemetasikan

CSR, oreantasi perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba maksimal tetapi juga menjadi

suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki

kesadaran sosial dan rasa memiliki tidak hanya pada lingkungan organisasi melainkan juga

pada lingkungan sosial dimana perusahaan berada. Meskipun kegiatan tampak sederhana dan

cakupan masalah sempit tetapi memiliki dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat

sekitar perusahaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk

meraih sustainability, perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan alam sekitar (natural

environment), hak-hak pegawai, perlindungan konsumen, corporate governance, dan

pengaruh perilaku bisnis terhadap isu-isu sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan,

13

Page 14: Triple Bottom Line

kemiskinan, pendidikan, perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan

profit.

Berangkat dari perspektif CSR di atas ada pertanyaan tantangan yang harus dijawab

yaitu “bagaimana perusahaan meraih profit semakin banyak dengan mengerjakan hal-hal

yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan (environmental) dan

sosial kemasyarakatan dengan lebih baik lagi?”.

14

Page 15: Triple Bottom Line

DAFTAR REFERENSI

Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia.

Jakarta: Elex Media Computindo.

Elkington, John. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century

Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers

http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN, STRUKTUR KEPEMILIKAN,

DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN

TRIPLE BOTTOM LINE DI INDONESIA oleh ADHY KARYO NUGROHO

15