trilogi kemiskinan - yb mangunwijaya

5
Y.B. Mangunwijaya: Trilogi Kemiskinan* Jika ada trilogi pembangunan, maka ada pula trilogi kemiskinan yang mencakup: kemiskinan, kriminalitas dan pelacuran. Inilah tritunggal yang ada di kalangan masyarakat bawah. Yaitu suatu dunia yang kejam dan penuh penderitaan. Walaupun demikian, kita masih cenderung melihatnya secara romantic, dengan belas kasihan dan menjadikannya sebagai obyek diskusi ilmiah belaka. Akar Historis Sebenarnya kemiskinan di Asia sekarang ini, masih merupakan kelanjutan dari struktur lama – pribumi dan tradisional – yang telah berlangsung berabad-abad. Bahkan ribuan tahun. Sejak dulu, Asia ini menjadi wilayah kaum bandit. Dengan masuknya kapitalisme barat, maka banditisme ini semakin sistematis, semakin ilmiah dan semakin teknologis. Perpaduan kapitalisme barat dan banditisme Asia pun terjadi di Indonesia. Kita ternyata masih berada dalam hokum rimba, baik hukum rimba pribumi yang telah berumur ribuan tahun, ataupun hokum rimba kapitalisme yang sophisticate. Generasi sekarang ini ingin melawan dan merintis struktur-struktur yang baru. Perintisan ini dapat dilihat melalui proklamasi kemerdekaan dan pembuatan sistem baru. Tapi proklamasi kita itu hanya berumur sepuluh tahun. Setelah itu kembali lagi berlaku banditisme internasional yang berpadu dengan banditisme pribumi Asia. Pemihakan Jika kita pandang secara dialektika historis, untuk merubah struktur lama ini memang akan membutuhkan kurban. Tapi kurban yang terjadi adalah akibat pertentangan antara maksud baik dan maksud buruk, antara mereka yang berada di barisan The New Emerging Forces melawan mereka yang berada di barisan The Old Establishing Forces. Mereka yang berada di barisan lama, memang punya kekuatan yang hebat sekali. Hal ini disebabkan tradisi mereka yang telah mengakar. Dan didukung oleh pusat-pusat kekuasaan dunia. Masalahnya hanyalah, kita berpihak di mana? Kita tahu bahwa Bung Karno berpihak di barisan The New Emerging Forces. Sebenarnya sebagai seorang insinyur adalah wajar jika Bung Karno memihak kepada The Old Establishing Forces. Hatta dan Syahrir pun sebagai seorang profesional bisa melakukan hal yang sama. Tapi mereka justru melawan arus dan berpihak pada The New Emerging Forces. Jika akibat pilihan ini mereka di penjara, ya … bagi mereka tak masalah. Pengalaman eksistensial dan kesadaran pribadi membuat mereka berani melakukan pilihan. Bagaimana dengan kita? Berbagai Cara Dalam konteks kompleks seperti sekarang, perlawanan terhadap struktur lama menuntut berbagai cara. Banyak yang mengatakan cara saya memihak kawan-kawan yang miskin di Kali Code melalui hidup bersama ini bersifat pinggiran dan tidak langsung ke sumbernya. Mereka yang memahami demikian, tidak memahami konteks. Saya memang bukan orang partai, saya tidak punya pasukan bersenjata. Bagi agamawan seperti saya, wajar jika jalur yang ditempuh bertumpu pada kekuatan moral. Tapi jangan dikira kekuatan moral itu tidak lebih kuat dari buldozer. Jelas, tindakan seseorang harus sesuai dengan keahlian dan keterbatasannya. Realistis. Justru filosofi inilah inti dari efektivitas politik praktis. Saya tidak ahli membuat strategi dan organisasi sebagaimana mereka yang

Upload: eets

Post on 12-Jun-2015

1.450 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Adalah cendekiawan yang berumah di pinggir Kali Code. Ia memahami orang miskin tidak sekedar teoritik, tetapi melalui hidup dan kumpul bersama mereka. Ini hasil wawancara di pondoknya di bulan Mei 1986. Berkisah tentang pandangan dan pengalamannya. Dimuat dalam buku Seri Esensia: Transformasi Masyarakat Indonesia dengan editor Denny J.A dan diterbitkan oleh ‘Kelompok Studi Proklamasi’ pada Agustus 1986 dalam kerja sama dengan Asia Foundation – disalin sesuai dengan yang tertulis dalam buku tersebut

TRANSCRIPT

Page 1: Trilogi Kemiskinan - YB Mangunwijaya

Y.B. Mangunwijaya: Trilogi Kemiskinan*

Jika ada trilogi pembangunan, maka ada pula trilogi kemiskinan yang mencakup: kemiskinan,

kriminalitas dan pelacuran. Inilah tritunggal yang ada di kalangan masyarakat bawah. Yaitu suatu

dunia yang kejam dan penuh penderitaan. Walaupun demikian, kita masih cenderung melihatnya

secara romantic, dengan belas kasihan dan menjadikannya sebagai obyek diskusi ilmiah belaka.

Akar Historis

Sebenarnya kemiskinan di Asia sekarang ini, masih merupakan kelanjutan dari struktur lama

– pribumi dan tradisional – yang telah berlangsung berabad-abad. Bahkan ribuan tahun. Sejak dulu,

Asia ini menjadi wilayah kaum bandit. Dengan masuknya kapitalisme barat, maka banditisme ini

semakin sistematis, semakin ilmiah dan semakin teknologis.

Perpaduan kapitalisme barat dan banditisme Asia pun terjadi di Indonesia. Kita ternyata

masih berada dalam hokum rimba, baik hukum rimba pribumi yang telah berumur ribuan tahun,

ataupun hokum rimba kapitalisme yang sophisticate.

Generasi sekarang ini ingin melawan dan merintis struktur-struktur yang baru. Perintisan ini

dapat dilihat melalui proklamasi kemerdekaan dan pembuatan sistem baru. Tapi proklamasi kita itu

hanya berumur sepuluh tahun. Setelah itu kembali lagi berlaku banditisme internasional yang

berpadu dengan banditisme pribumi Asia.

Pemihakan

Jika kita pandang secara dialektika historis, untuk merubah struktur lama ini memang akan

membutuhkan kurban. Tapi kurban yang terjadi adalah akibat pertentangan antara maksud baik dan

maksud buruk, antara mereka yang berada di barisan The New Emerging Forces melawan mereka

yang berada di barisan The Old Establishing Forces. Mereka yang berada di barisan lama, memang

punya kekuatan yang hebat sekali. Hal ini disebabkan tradisi mereka yang telah mengakar. Dan

didukung oleh pusat-pusat kekuasaan dunia. Masalahnya hanyalah, kita berpihak di mana? Kita

tahu bahwa Bung Karno berpihak di barisan The New Emerging Forces. Sebenarnya sebagai seorang

insinyur adalah wajar jika Bung Karno memihak kepada The Old Establishing Forces. Hatta dan

Syahrir pun sebagai seorang profesional bisa melakukan hal yang sama. Tapi mereka justru

melawan arus dan berpihak pada The New Emerging Forces. Jika akibat pilihan ini mereka di

penjara, ya … bagi mereka tak masalah. Pengalaman eksistensial dan kesadaran pribadi membuat

mereka berani melakukan pilihan. Bagaimana dengan kita?

Berbagai Cara

Dalam konteks kompleks seperti sekarang, perlawanan terhadap struktur lama menuntut

berbagai cara. Banyak yang mengatakan cara saya memihak kawan-kawan yang miskin di Kali Code

melalui hidup bersama ini bersifat pinggiran dan tidak langsung ke sumbernya. Mereka yang

memahami demikian, tidak memahami konteks. Saya memang bukan orang partai, saya tidak punya

pasukan bersenjata. Bagi agamawan seperti saya, wajar jika jalur yang ditempuh bertumpu pada

kekuatan moral. Tapi jangan dikira kekuatan moral itu tidak lebih kuat dari buldozer. Jelas, tindakan

seseorang harus sesuai dengan keahlian dan keterbatasannya. Realistis. Justru filosofi inilah inti dari

efektivitas politik praktis. Saya tidak ahli membuat strategi dan organisasi sebagaimana mereka yang

Page 2: Trilogi Kemiskinan - YB Mangunwijaya

mengaku berpolitik praktis lainnya. Saya hanya meneladani rohaniwan seperti Mahatma Gandhi

ataupun Marthin Luther King, yang berjuang tanpa kebencian dan kekerasan. Saya hanya kancil

penunjuk jalan. Harimau dan Ular silahkan menggunakan kesempatan ini. Namun jangan

mengharapkan Kancil meraung-raung seperti Harimau. Jangan mengharap saya berbuat melebihi

kapasitas saya. Tidak bisa

Dan memang menangani kemiskinan yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilihat secara teknis

praktis. Karena kemiskinan itu sendiri adalah permukaan dari lautan yang begitu luas. Hal ini sangat

menyulitkan, terutama dalam kebudayaan kita. Menolong orang miskin bukanlah tradisi nenek

moyang kita. Itu adalah hal yang baru. Orientasi masyarakat kita adalah ke atas. Orang besar dalam

sejarah kita selalu minteri orang kecil. Mereka tidak menolong, bahkan menarik upeti dan menipu.

Terus terang saja, jika ada gerakan menolong orang miskin di masyarakat kita sekarang ini, itu bukan

lahir dari kebudayaan kita. Kita harus akui bahwa gerakan itu datang dari Barat. Apakah misalnya,

kerajaan Mataram pernah punya kebutuhan mendirikan palang merah? Jika ada panglima yang tak

bisa merebut Batavia, maka ia dibunuh oleh Sultan Agung. Itulah cirri kebudayaan lama kita.

Perikemanusiaan adalah konsep yang datang dari Barat. Nilai-nilai luhur dalam Pancasila, memang

dirumuskan pribumi, tapi pribumi yang telah dididik oleh pendidikan modern. Pancasila tidak datang

dari keratin.

Karena kompleksitas masalah kemiskinan tersebut, penanggulangannya pun kompleks pula

yang mencakup berbagai cara. Para ekonom, politisi, teknikus dan rohaniawan terlibat dalam

caranya sendiri-sendiri. Yang penting, orang-orang miskin itu menjadi subyek perubahan pula. Bukan

sebagai obyek yang didekati melalui angka-angka.

Namun ekonom, politisi, teknikus dan rohaniawan yang kita harapkan adalah posisi mereka

sebagai pribadi. Bukan dalam golongan atau kelas. Karena, golongan atau kelas itu tidak homogen.

Ada yang baik dan buruk. Memberi analisis atau menaruh harapan pada golongan atau kelas

hanyalah mempermudah analisis situasi. Yang selalu berlaku sebagai pejuang adalah pribadi-

pribadi. Yaitu para sahabat dan handai taulan yang berada dalam mata rantai The New Emerging

Forces.

Masalah Sistem

Perdebatan tentang kemiskinan umumnya selalu dihubungkan dengan sistem sosial yang

melingkupinya. Perdebatan ini biasanya hanya menjadi sport intelektual atau cenderung

mengarah pada klobotisme. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kebijaksanaan resmi yang tidak

terlalu memperhatikannya. Terlebih lagi dari pihak yang berwenang terlalu gemar dengan etiket

permukaan. Pohon kelapa diberi etiket pohon rambutan. Jika kit abaca etiketnya, memang kita

berkesimpulan bahwa itu pohon rambutan. Tapi jika kita lihat batangnya, daunnya, buahnya,

ternyata sebenarnya itu pohon kelapa. Sistem yang berlaku dalam masyarakat kita dikatakan

bersandar pada nilai-nilai luhur Pancasila. Tapi jika kita teliti lebih dalam, kok mirip-mirip sistem

kapitalisme yang ganas, bahkan ditambah pula sistem politik politik yang ketat. Slogan-slogan itu

ternyata memang bukan realitas.

Pengembangan Masyarakat

Page 3: Trilogi Kemiskinan - YB Mangunwijaya

Kita menyaksikan banyaknya Lembaga Pengembangan Masyarakat yang terjun langsung ke

golongan miskin. Mereka melibatkan cendekiawan ataupun mahasiswa yang memang concern

terhadap pengembangan masyarakat tersebut.

Saya tergerak pula melakukan hal yang serupa melalui cara yang saya mampu dan saya

yakini. Barangkali cara yang saya tempuh berbeda dengan cara yang ditempuh organisasi formal

seperti lembaga-lembaga pengembangan masyarakat tersebut.

Pertama-tama yang saya lakukan adalah hadir dan hidup bersama mereka. HADIR! Itulah

yang utama. Yang lainnya itu sekunder. Sebenarnya saya pun bisa melakukan aksi ekonomi dan

sebagainya, tapi kemudian tidur di tempat yang mewah dan empuk. Tapi saya memilih hidup di

pinggir Kali Code ini bersama mereka, dan sekedar hadir.

Sesudah hadir, kita lalu membuat yang kecil-kecil saja. Dan saya memang punya resep

sendiri. Jika kita mulai dengan kotbah tentang pembangunan, perubahan besar-besaran, itu hanya

berakhir dengan ngomong-ngomong saja. Saya justru memulai dengan mendekati anak-anak di

sini. Mereka diasuh, diberikan pelajaran, dibuatkan lomba dan sebagainya. Tapi melalui anak-anak,

saya bisa langsung mengambil hati ibunya. Dan langsung pula mengambil perhatian ayahnya. Orang

tua mereka disini banyak yang bandit dan pelacur. Tapi walaupun mereka di sini banyak yang bandit

dan pelacur, toh … tetap sayang dengan anak-anak mereka sendiri. Terlebih lagi mereka menjadi

bandit dan pelacur bukanlah semata-mata pilihan bebas mereka. Justru lebih banyak dipaksa

keadaan. Ketika anak-anak membuat kegiatan, ora tua mereka pun akhirnya turut berpartisipasi.

Dan akhirnya antara saya dan orang tua mereka pun terjalin hubungan batin. Hubungan batin itulah

kunci untuk mendekati. Karena, melalui hubungan batin ini lahirlah kepercayaan dan cinta. Saya

tidak dianggap orang asing yang mau minteri mereka.

Setelah itu saya buatkan suasana agar dalam kehidupan sehari-hari, mereka melakukan

musyawarah. Musyawarah! Untuk mengusahakan ini susahnya bukan main. Dari pengalaman saya

sendiri, hal ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Karena, bandit dan pelacur di sini paling

tidak suka musyawarah.

Untuk keperluan tersebut, yang pertama saya lakukan adalah membangun permandian

umum. Ternyata cukup efektif. Ketika mereka antri untuk mandi, mereka mulai berbicara satu

sama lain. saling bicara mulai dari utang-piutang, gossip dan sebagainaya. Lalu muncul kebutuhan

untuk komunikasi.

Permandian umum punya fungsi lain pula. Di tempat ini kekecewaan kehidupan sehari-hari

dan tekanan batin bisa tersalur secara wajar. Melalui gosip, mereka bisa keluarkan uneg-uneg yang

mengganjel,baik gosip tentang suaminya, pacarnya dan segala macam. Setelah selesai mandi, tubuh

dan perasaan mereka bisa rileks kembali. Tak perlu psikiater.

Begitu pula tentang sex. Orang-orang miskin ini kan susah menyalurkan gairah sex mereka.

Padahal hiburan utama orang yang berangkat dewasa adalah sex. Mereka mau nonton bioskop, ya …

ngga punya uang. Mau nonton deklamasi penyair, ya … sekarang mesti bayar. Paling hebat ya …

mendengar radio dan nonton televisi umum. Jika gairah sex ini begitu tegang, ditutup-tutupi, wah …

justru berbahaya.

Page 4: Trilogi Kemiskinan - YB Mangunwijaya

Di permandian umum ini, anak-anak muda dapat melihat bokong lawan jenisnya. Ini hiburan

mereka dan alamiah. Sehingga tak perlu pendidikan sex bagi anak-anak. Ini bukan lagi problem

mereka. Itu problem kaum intelektuil dan orang kaya saja. Di permandian umum ini, karena mereka

biasa melihat susu wanita, ketegangan akan tersalur alami. Dan kemudian menjadi biasa. Anak-anak

tidak perlu mencari buku porno, karena mereka sudah tahu bentuk wanita dan laki-laki itu, ya …

begitu. Buat apa lagi/

Singkatnya, banyak ketegangan kawan-kawan miskin disini akan tersalur di permandian

umum. Tapi yang utama adalah, permandian umum mempercepat kebutuhan komunikasi.

Setelah mereka terbiasa bertukar pengalaman ketika antri mandi, lalu pelan-pelan saya

bangun balai pertemuan RT. Setiap ada masalah yang dihadapi bersama, mereka dibiasakan

memecahkan bersama. Lama-lama mereka punya kebutuhan bertemu periodik, misalnya sebulan

sekali, untuk memecahkan masalah bersama. Itulah awal lahirnya demokrasi di kalangan mereka,

yang penting sekali.

Problem Ekonomi

Problem ekonomi di sini, bagi saya bukanlah nomor satu. Itu masalah nomor tiga atau

nomor empat. Mereka masih bisa mengangkut sampah. Mereka tidak akan menganggur karena

persediaan sampah masih banyak sekali. Problem mereka selanjutnya – setelah masalah di atas –

adalah masalah harga diri. Jika sudah bangkit rasa harga diri mereka, maka mereka tidak akan

melakukan hal-hal yang justru menurunkan harga diri mereka.

Salah satu cara yang dilakukan di samping pendidikan rohani, adalah dalam bidang kesenian.

Saya beli seperangkat gamelan dan saya minta seorang seniman mengajari mereka. Ketika mereka

bermain gamelan, mereka bangga bahwa mereka pun mampu. Punya keahlian. Perasaan bangga diri

ini penting.

Pendidikan rohani yang diberikan juga bukan dalam arti agama formil. Tapi lebih ke prinsip

moral untuk hidup bersama, rukun dan saling menghormati. Agama dalam artian ritual tidak terlalu

mereka butuhkan. Itu jika kita jujur.

Juga dibuatkan perpustakaan. Melalui buku dan media cetak lainnya, maka berkenalan

dengan dunia di luar lingkungan mereka.

Dan sekarang ini muncul masalah yang tak kalah gawatnya, yaitu para lintah darat (rentenir)

mulai masuk ke sini. Mereka meminjamkan hutang namun dengan bunga yang tinggi. Hutang ini

akhirnya dapat menjerat penduduk di sini. Seluruh pendapatan akan masuk kantong rentenir.

Untuk melawan ini, rohaniawan setempat member kredit murah. Tapi penduduk setempat

tidak membayarnya kembali karena muncul keyakinan bahwa jika ia tidak bayar tidak apa-apa. Toh

ini uang rohaniawan yang penuh kasih.

Kondisi ini tidak baik buat kemandirian mereka sendiri. Lalu saya usulkan untuk membuat

rentenir tandingan. Kita bina orang-orang yang gayanya seperti rentenir yang sebelumnya tidak

dikenal oleh penduduk di sini. Kita buat mereka lebih terpikat oleh rentenir tandingan ini. Jika ini

terjadi maka, rentenir asli akan kalah saingan. Dan penduduk setempat tidak akan dililit bunga,

Page 5: Trilogi Kemiskinan - YB Mangunwijaya

karena rentenir tandingan ini memang bukan rentenir. Mereka adalah orang-orang kita yang

memberikan pinjaman dengan cara pengembalian pinjaman yang serendah mungkin.

Penutup

Inilah pengalaman saya yang sederhana, sesuai dengan kemampuan serta keyakinan saya.

Saya pun sadar bahwa yang saya hadapi sebenarnya hanyalah akibat dari model

pembangunan yang dipilih. Jika ada sekelompok aparat yang menggusur kawan-kawan miskin di

pinggir Kali Code ini, aparat tersebut toh hanyalah pekerja yang disetir oleh model pembangunan

dan undang-undang yang agung.

Barangkali usaha yang saya lakukan untuk melawan penggusuran sepihak dan membina

komunitas di sini akan kalah, atau akan menang. Kita tak tahu …

*) Adalah cendekiawan yang berumah di pinggir Kali Code. Ia memahami orang miskin tidak sekedar teoritik, tetapi melalui hidup dan

kumpul bersama mereka. Ini hasil wawancara di pondoknya di bulan Mei 1986. Berkisah tentang pandangan dan pengalamannya. Dimuat

dalam buku Seri Esensia: Transformasi Masyarakat Indonesia dengan editor Denny J.A dan diterbitkan oleh ‘Kelompok Studi Proklamasi’

pada Agustus 1986 dalam kerja sama dengan Asia Foundation – disalin sesuai dengan yang tertulis dalam buku tersebut oleh

ndaru@politikana, kudos nagawulan@politikana atas buku-bukunya