trensains senior high school tebuireng jombang

12
TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS) Ali Makhrus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Urwatul Wutsqo Jombang Bulurejo, Diwek, Jombang, 61471 [email protected] Abstrak: Krisis akan keberadaan ilmuan sains kealaman menimpa umat Islam selama berabad-abad sejak memudarnya masa keemasan agama ini (1258 M). Sebagian besar tokoh-tokoh yang menemukan dan mengembangkan berbagai teori berbasis ilmu kealaman dan dikenal secara mendunia sudah bukan lagi berasal dari kalangan agama Muhammad. Sejumlah usaha untuk menggerakkan keterlibatan umat Islam secara aktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan terus ditekankan setelah negara-negara berpenduduk muslim lepas dari cengkeraman penjajah. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia turut andil dalam melaksanakan usaha tersebut dan memiliki posisi strategis untuk menjawab kekosongan keberadaan ilmuan sains yang menguasai ilmu agama Islam secara matang dengan proyek ‘penyegaran’ kurikulum dan manajemen pondok pesantren. Sebagai lembaga original khas Indonesia, pondok pesantren diharapkan terus bertransformasi menjadi laboratorim calon-calon sainstis kealaman yang religius. Wacana itu telah dimulai oleh Pondok Pesantren Tebuireng dengan pendirian SMA Trensains. Institusi ini menginisiasi “identitas baru“ di lingkungan NU dengan kurikulum sistemik berbasis Al Quran dan sains. Artikel ini mengkaji SMA Trensains Tebuireng sebagai “wacana pengarusutamaaan sains” yang terheterodoksi dari pakem- pakem resmi pesantren NU dengan mengumpulkan data dari vidio yang ditayangkan di youtube dan konten website resmi SMA Trensains. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) Norman Fairclough (1995). Hasil penelitian menunjukkan SMA Trensains didirikan sebagai bentuk kepedulian akan krisis perhatian terhadap perkembangan sains di lingkungan pesantren NU dengan mengaplikasikan pembelajaran sains secara matang dalam bidang praktik, bukan hanya teori, yang dilaksanakan secara berdampingan dengan pembahasan ayat- ayat Al Quran yang sesuai dengan topik yang dipelajari. Dalam rangka memperkuat wacana tersebut, Gus Sholah dan para penggagas sekolah tersebut mengangkat realitas historis intelektual muslim masa lalu untuk mendorong kuatnya pembelajaran sains di kalangan pesantren dan masyarakat muslim. Kata Kunci: SMA Trensains, Sains Kealaman, Pesantren NU, AWK Abstract:: The crisis in the existence of Muslim natural scientists occurred for centuries since waning the golden age of this religion (1258 AD). Most of the worldly figures discovering and developing various theories based on natural science are no longer from Muhammad’s faith. Many efforts to mobilize Muslims’ active involvement for improving science continued to be emphasized after

Upload: others

Post on 02-Feb-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL

DISCOURSE ANALYSIS)

Ali Makhrus

Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Urwatul Wutsqo Jombang Bulurejo, Diwek, Jombang, 61471

[email protected] Abstrak: Krisis akan keberadaan ilmuan sains kealaman menimpa umat Islam selama berabad-abad sejak memudarnya masa keemasan agama ini (1258 M). Sebagian besar tokoh-tokoh yang menemukan dan mengembangkan berbagai teori berbasis ilmu kealaman dan dikenal secara mendunia sudah bukan lagi berasal dari kalangan agama Muhammad. Sejumlah usaha untuk menggerakkan keterlibatan umat Islam secara aktif dalam perkembangan ilmu pengetahuan terus ditekankan setelah negara-negara berpenduduk muslim lepas dari cengkeraman penjajah. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia turut andil dalam melaksanakan usaha tersebut dan memiliki posisi strategis untuk menjawab kekosongan keberadaan ilmuan sains yang menguasai ilmu agama Islam secara matang dengan proyek ‘penyegaran’ kurikulum dan manajemen pondok pesantren. Sebagai lembaga original khas Indonesia, pondok pesantren diharapkan terus bertransformasi menjadi laboratorim calon-calon sainstis kealaman yang religius. Wacana itu telah dimulai oleh Pondok Pesantren Tebuireng dengan pendirian SMA Trensains. Institusi ini menginisiasi “identitas baru“ di lingkungan NU dengan kurikulum sistemik berbasis Al Quran dan sains. Artikel ini mengkaji SMA Trensains Tebuireng sebagai “wacana pengarusutamaaan sains” yang terheterodoksi dari pakem-pakem resmi pesantren NU dengan mengumpulkan data dari vidio yang ditayangkan di youtube dan konten website resmi SMA Trensains. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) Norman Fairclough (1995). Hasil penelitian menunjukkan SMA Trensains didirikan sebagai bentuk kepedulian akan krisis perhatian terhadap perkembangan sains di lingkungan pesantren NU dengan mengaplikasikan pembelajaran sains secara matang dalam bidang praktik, bukan hanya teori, yang dilaksanakan secara berdampingan dengan pembahasan ayat-ayat Al Quran yang sesuai dengan topik yang dipelajari. Dalam rangka memperkuat wacana tersebut, Gus Sholah dan para penggagas sekolah tersebut mengangkat realitas historis intelektual muslim masa lalu untuk mendorong kuatnya pembelajaran sains di kalangan pesantren dan masyarakat muslim. Kata Kunci: SMA Trensains, Sains Kealaman, Pesantren NU, AWK Abstract:: The crisis in the existence of Muslim natural scientists occurred for centuries since waning the golden age of this religion (1258 AD). Most of the worldly figures discovering and developing various theories based on natural science are no longer from Muhammad’s faith. Many efforts to mobilize Muslims’ active involvement for improving science continued to be emphasized after

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

834

Muslim-populated countries were freed from the grip of the colonialists. As a country with a majority Muslim population, Indonesia has taken part in carrying out these struggles and has a strategic position to answer the void in the existence of natural scientists mastering Islamic religious knowledge thoroughly with a project to "refresh" the Pesantrens curriculum and management. As an original Indonesian institution, Pesantren hopefully transforms to be a laboratory for candidates of religious scientists. The discourse has been started by Pondok Pesantren Tebuireng with the establishment of Trensains senior high school. This institution initiated a "new identity" within NU with a systemic curriculum based on the Quran and science. This article investigated Trensains as a "science mainstreaming discourse" which is heterodoxy from the official standards of the NU pesantren by collecting data from videos broadcast on YouTube and the content of the school’s official website. This research was a qualitative descriptive study using the Critical Discourse Analysis (AWK) approach by Norman Fairclough (1995). The results showed that Trensains was founded as a form of concern for the crisis of attention to the development of science in the NU pesantren environment by applying practical scientific learning carefully, not only discussing the theory, which is carried out side by side with the discussion of the Quranic verses related to the topic being studied. . To strengthen this discourse, Gus Sholah and the school's initiators raised the historical realities of past Muslim intellectuals to encourage the strength of science learning among Islamic boarding schools and the Muslim community. Keywords: Trensains High School, Natural Science, NU Islamic Boarding School, CDA PENDAHULUAN

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang sejak pendiriaanya pada tahun 1899 hingga sekarang, telah melahirkan sejumlah lulusan yang terbukti memberikan dampak positif bagi Indonesia. Sejumlah lulusan tersebut telah mampu melakukan transformasi sosial dan pendidikan keagamaan secara masif di kampung halaman mereka masing-masing dengan membawa bekal ilmu pengetahuan agama dari pesantren ini. Corak Pondok Pesantren Tebuireng mampu menjadi role model bagi pondok pesantren lainnya di berbagai tempat dalam berbagai hal, baik secara managemen kelembagaan maupun konten keilmuan1. Meski demikian, Pondok Pesantren Tebuireng belum merasa cukup dalam memberikan kontribusi perubahan fundamental bagi tradisi pegembangan kependidikan di pesantren, terutama terkait hubungan Islam dan Sains. Sehingga, pada tahun 2014, Yayasan Teburireng menginisiasi berdirinnya SMA Trensains Tebuireng, sebuah intitusi pendidikan formal yang menggabungkan perpaduan kurikulum khas pesantren dan sains kealaman.

Dalam menganalisis Tebuireng sebagai wacana untuk melihat dampak pesantren terhadap perubahan sossial dan transformasi kelembagaan, dapat dilacak setidaknya pada aspek sistem pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung pada tahun 1934-an. Sejak kepulangan Kyai Wahid Hasyim ke tanah air dari Makkah, beliau membawa wacana tentang penyegaran pada bidang

1 M Ali Haidar, Profil Pesantren Tebuireng, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011), hlm 3

Ali Makhrus |

835

kurikulum pesantren dengan konsep modern yang menggunakan model kelas. Dorongan yang beliau berikan untuk penguasaan bahasa asing dan ilmu-ilmu kealaman telah memicu kontroversi di kalangan tokog-tokoh NU kala itu. Inisiasi madrasah Nidzamiah adalah saksi kerasnya dogma pesantren yang mengharuskan santrinya untuk hanya belajar tentang persoalan peribadatan, hukum, akidah, dan tasawuf.

Tidak hanya itu, pada tahun sesudahnya, Tebuireng juga menginisiasi penyetaraan madrasah dengan sekolah binaan negara atau sekolah non pesantren lain. Artinya, madrasah di bawah naungan pesantren didorong untuk mengadopis kurikulum non agama sebagai pengembangan wawasan para santri. Penolakan terhadap gagasan Kyai Wahid Hasyim dalam merekonstruksi pondok pesantren pun terjadi. Sehingga, hampir dipastikan pada saat itu, madrasah di hampir sebagian lingkungan NU, masih berkutat pada kajian-kajian keagamaan semata.

Selang beberapa tahun, pada tahun 2014, Tebuireng mengembangkan Trensains gagasan tokoh Muhammadiyah, Agus Purwanto di Sragen, Jawa Tengah, dengan membangunnya di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng dengan nama SMA Trensains Tebuireng. Meskipun pada aspek kemandirian santri dan lulusan pondok pesantren sudah tidak diragukan, kehadiran Trensains Tebuireng di linkungan inti Nahdlatul Ulama sangat layak didudukkan sebagai wacana pengarusutamaan sains di lingkungan pesantren NU. Sebagai generasi ketiga dari Hadratus Syeikh Hasyim As’ary, posisi Tebuireng di bawah komando Kyai Sholahudin Wahid sangatlah siginifikan dalam proses agensi kebudayaan dan efektifitas wacana yang akan terbangun. Topik ini menjadi penting untuk dikaji mengingat keterbatasan eksistensi pendidikan formal yang berdiri di lingkungan NU, yang memadukan konsep pembelajaran pesantren dan sains kealaman secara mendalam, sistematis dan terstruktur dengan baik. SMA Trensains Tebuireng Sebagai Kajian Analisis Wacana Kritis

Sebagai sebuah lembaga formal yang menggunakan kata “sains” secara tersurat dalam terminolog penamaannya, SMA Trensains menjadi sebuah teks yang menarik untuk dikaji menggunakan teori Critical Discourse Analysis (CDA) atau biasa disebut dengan Analisis Wacana Kritis (AWK) guna memahami fenomena dibalik keberadaan sekolah tersebut dan dampak dari eksistensinya. Fairclough2 berpendapat bahwa CDA merupakan usaha penyatuan analisis teks, analisis produksi, distribusi, dan konsumsi teks beserta analisis sosio kultural dari praktik wacana tertentu. Fairclough menambahkan bahwa teks dapat dijelaskan dan dikaji dengan melihat tiga unsur, yaitu: representasi, relasi dan identitas.

Kajian wacana dipergunakan untuk menganalisis suatu teks dalam memahami pesan yang terkandung. Kajian Wacana, terang Renkema3, adalah disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara bentuk dan fungsi suatu teks dalam membentuk komunikasi verbal (baik lisan maupun tulisan). Lebih dari itu, Eriayanto4, menekankan bawa dalam Analisis Wacana Kritis, aspek konstelasi

2 Norman Faircloug, 1995, Critical Discourse Anaysis: The Critical Study of Languange,

USA: Longman Group, Ltd. 23 3 Reinkema, 2004, 1 4 Eriyanto, 2001, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS. 6

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

836

kekuatan yang mengiringi proses produksi dan reproduksi makna menjadi poin yang sangat diperhatikan yang bermakna bahwa sebuah teks tidak bebas ditafsiri oleh peneliti berdasarkan pikirannya sendiri karena setiap teks memiliki pengaruh dan hubungan dengan kekuatan sosial yang tumbuh dalam masyarakat.

Analisis Wacana Kritis (AWK) berfungsi untuk memberikan keberpihakan bagi representasi yang terpinggirkan dalam problematika kehidupan. AWK juga menjadi sebuah sarana untuk mengungkap apa yang tidak terlihat dalam analisa tingkat individu, institusional dan sosial. Menjadikan SMA Trensains Tebuireng sebagai bahan kajian analisis wacana kritis merupakan cara untuk mengangkat eksistensi institusi pendidikan ini yang keberadaannya tidak banyak dikaji oleh peneliti lain, meski pengaruhnya terhadap pengarusutamaan science kealamaan di lingkungan pesantren NU sangat perlu diapresiasi.

Terkait penerapan konsep CDA, Benwell5 menyatakan bahwa CDA secara implisit mengungkapkan bahwa sebuah identitas tertentu dipengaruhi oleh idiologi yang bekerja di sekitarnya. Dia juga menambahkan bahwa CDA digunakan untuk menginvestigasi peran teks atau bahasa dalam transmisi ilmu pengetahuan, konsolidasi dari diskursus yang hegemoni dan pengorganisasian sebuah institusi. Para ahli AWK bersepakat bahwa interaksi antara wacana dan masyarakat harus dimulai dengan penggabungan pendekatan sosial dan bahasa6. Mengkaji bagaimana seseorang mengungkapkan gagasannya melalui cara tertentu dan menghubungkannya dengan kondisi sosial dan budaya di sekitarnya, akan membangun komunikasi yang konstruktif guna membangun gagasan atau ide baru.

Konsep CDA berfokus untuk mengetahui hubungan suatu teks terhadap berbagai komponen dan konsekuensi dari pengaruh kekuatan kekuatan kelompok atau dominan di sekitarnya, baik terkait pola dari akses yang diberikan oleh kelompok dominan tersebut, kontrol terhadap konteks tertentu, genre, bentuk teks, dan juga berbagai strategi berkelanjutan yang diterapkan7. Oleh karena itu, konsep CDA sesuai karena artikel ini berusaha mengulas pengaruh nilai-nilai yang diyakini oleh Pesantren Tebuireng sebagai pondok pesantren Nahdhatul Ulama terhadap penerapan pendidikan sains kealamana terutama di SMA Trensains Tebuireng.

Dalam melaksanakan kajian analisis wacana kritis, penelitian ini menggunakan kerangka teori Critical Discourse Analysis (CDA) yang digagas oleh Fairclough8. Dia menjelaskan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara analisis teks dengan analisi sosial budaya yang berkembang di lingkungan teks tersebut diproduksi. Dalam menganalisis teks, bahan yang dikaji merupakan sesuatu yang tertulis atau muncul dalam teks tersebut. Sedangkan sesuatu yang

5 Benwell, B. & Stokoe, E. (2006). Discourse and identity, Edinburgh: Edinburgh

University Press. 6 Roma Ulinnuha, Wening Udasmoro, Yahya WIjaya. Critical Discourses Anaysis: Theory

and Method in Social and Literary Framework, Indonesian Journal of Applied Linguistcs, Vol. 2, No 2, January 2013, pp. 262-274

7 Van Dijk, T.A. (2010). Critical Discourse Analysis. Retrieved on August 31, 2010, from:

http://semiotics.nured.uowm. gr/pdfs/Critical_discourse_analysis_ TEUN_A_VAN_DIJK.pdf. 8 Fairclough, N. & Chiapello, E. (2002). Discourse and society, London: Sage.

Ali Makhrus |

837

tidak muncul dalam teks, akan dapat menjadi bahan kajian analisis sosial budayanya. Dalam arti lain, sesuatu yang tidak dimunculkan oleh pembuat teks, juga bisa bermakna penting dalam kajian analisis wacana kritis. Fairclough menekankan bahwa penggunaan bentuk tertentu dalam sebuah teks merupakan bagian dari praktik sosial di sekitarnya, bukan semata-mata hasil fikiran penulis atau pengarangnya ataupun refleksi dari situasi yang temporer belaka.

Fairclough berpendapat bahwa sebuah teks dibentuk bukan hanya untuk me-‘representasi’-kan kondisi sosial di sekitarnya, namun juga menjadi ‘penanda’ tertentu dari lingkungan sosial tersebut. Dia menyebutkan bahwa analisis wacana kritis memberikan tiga pemahaman penting terkait identity, relational dan ideational.

Identity berkaitan erat dengan bagaimana kondisi sosial mempengaruhi identitas yang dimunculkan dalam sebuah teks (social identities) dan posisi subject (subject position) dalam lingkungan sosial tersebut. Hal ini dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana identitas SMA Trensains di lingkungan Pesantren Tebuireng sebagai area sosial yang dominan di sekitarnya, sejauh mana nilai-nilai Nahdatul Ulama mempengaruhi proses pembelajarannya dan membentuk karakter sekolah tersebut sebagai sekolah berbasis science, serta sejauh mana sekolah tersebut memiliki posisi di tengah pesantren Tebuireng dan pengaruhnya terhadap sekolah formal lainnya.

Relational berkaitan dengan hubungan antar individu. Konsep ini dapat digunakan untuk mengkaji hubungan antara para penggagas dan pendidik SMA Trensains dengan individu lainnya di sekitarnya, baik dengan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng maupun masyarakat sekitar yang selanjutnya mempengaruhi konsep pembelajaran di SMA Trensains. Selanjutnya, konsep ideational digunakan untuk mengkaji bagaimana cara konstruksi pengetahuan di SMA Trensains Tebuireng.

Selanjutnya, dalam konsep Fairclough9, sebuah teks dipengaruhi oleh berbagai praktik sosial, baik itu ekonomi, politik, budaya dan ideologi yang berkembang. Hal tersebut dapat mempengaruhi identitas teks, hubungan sosial dan sistem pengetahuan dan kepercayaan (system of knowledge and belief) yang berkembang. Dalam konteks ini, melakukan analisis wacana kritis terhadap eksistensi SMA Trensains juga dapat dilakukan dengan mengkaji pengaruh kondisi ekonomi, politik, budaya dan ideologi yang berkembang di lingkungan Pesantren Tebuireng yang selanjutnya mempengaruhi cara konstruksi pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief) dalam pembelajaran di sekolah tersebut.

Hal-hal lain yang juga mempengaruhi sebuah teks adalah kolonialisasi (colonialization), penyesuaian (appropriation), globalisasi (globalization), lokalisasi (localization), refleksi (reflexivity), ideologi (ideology), identitas (identity) dan pembeda (difference). Komponen tersebut sangat dipengaruhi oleh pengaruh kekuasaan (power) dari lingkungan dominan disekitarnya dan penggabungan berbagai unsur (hybridity).

9 Fairclough, N. & Chiapello, E. (2002). Discourse and society, London: Sage. Hal. 193-194.

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

838

Ortodoksi dan Heterodoksi Pesantren di Internal NU Kajian analisis wacana kritis terhadap SMA Trensains Tebuireng akan dapat

ditarik ke dalam analisis konsepsi ortodoksi dan heterodoksi. Istilah ortodoksi awalnya megacu pada konsepsi ajaran yang menekankan ketaatan kepada yang resmi, sedangkan heterodoksi berlaku sebaliknya, yakni penyimpangan kepatuhan kepada yang kekuatan resmi10. Sementara itu, tokoh terkemuka, Arkoun mendefinisikan ortodoksi sebagai ajaran yang menjadi kesadaran kelompok mayoritas, sementara ajaran yang lain yang tidak mengacu kepada kelompok mayoritas tersebut disebut sebagai heterodoks11. Hal ini secara jelas terdapat dalam Islam itu sendiri, semisal istilah mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah, Sunnah dan bid’ah, mu’tamad dan ghoiru mu’tamad, dan lain sebagainya12.

Konsepsi ortodoksi dan heterodoksi menarik untuk dikaji di internal Pondok Pesantren NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pondok Pesantren NU mengidentifikasikan diri sebagai pelanjut tradisi pengkaji kitab kuning, sementara pembelajaran non kitab kuning tidak diidentikkan sebagai tradisi pondok pesantren NU13. Selain itu, penolakan terhadap bahasa asing sebagai komunikasi belajar dan mengajar di lingkungan NU masih sangat mudah dijumpai, kecuali penggunaan bahasa Arab yang dianggap bahasa surga14. Pengajaran fikih, teologi, dan tasawuf menjadi ciri lebih khusus lagi bagi pesantren15 untuk menunjukkan bahwa institusi ini didirikan hanya untuk mengkaji ilmu agama. Sehingga, semisal ada pesantren yang mengembangkan model yang tidak demikian, cenderung dianggap menyimpang dari pakem-pakem resmi dunia pondok pesantren16. Apalagi sampai menghilangkan materi-materi keagamaan tersebut. Belum lagi, pemahaman ilmu wajib dan tidak wajib, atau ilmu ukhrawi atau duniawi17, juga menjadi garis yang cukup tajam untuk menamai sebuah pondok pesantren apakah masih memegang teguh ciri khas aslinya sebagai institusi berbasis ukhrowi atau tidak.

Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), penggagas madrasah nizamiyah di Tebuireng yang didirikan pada 1934, pun mengalami kesulitan merealisasikan ide-ide baru terkait modernitas pesantren, termasuk lantaran mendapat

10 Sheilla Mc. Donough, “Orthodoxy and Heterodhoxy, dalam Mircea Eliade (ed), The

Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1993), hlm, 124-129. 11 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru, (Jakarta: INIS, 1994), hlm 264 12 Fazlur Rahman, Islam, (New York: Anchor Books, 1968), 236-237. 13 Martin Van Bruenessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading

Publishing, 2015), hlm 85. 14 Mohammad As’ad, Pembaharuan Pendidikan Islam K.H Hasyim As’ari”, Journal

Tsaqofaf, Vol. 8 (1), 2012, hlm 120. 15 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun

Modern, Jakarta: LP3ES, 1986), hlm 14. Lihat juga Martin Van Bruenessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2015). Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan, Jakarta: LP3ES, 2011).

16 17

Ali Makhrus |

839

pertentangan (ketidakberkenaan) dari ayahandanya, Kiai Hasyim Asy’ari. Dikatakan bahwa Ayahanda beliau mengkhawatirkan terjadinya distorsi di antara pimpinan pesantren yang belum dapat menerima sepenuhnya, tentang tugas utama pondok pesantren sebagai gerakan dakwah Islam. Selain itu, gagasan tersebut dianggap mengadopsi (tasyabbuh) tradisi penjajah yang kafir, yang mana para tokoh-tokoh Islam telah mengharamkan sikap meniru-niru gaya atau apapapun dari penjajah18. Saat itu, Madrasah Nizamiyah nyata-nyata mengurangi pengajaran ilmu-ilmu agama hingga 30%, dengan menekankan 70 % sisanya sebagai pembelajaran campuran bahasa asing dan ilmu non agama (sains kealaman)19. Rintisan Kiai Wahid Hasyim tersebut baru kemudian dikembangkan oleh pemerintah sejak tahun 1975 hingga sekarang.

Kondisi tersebut mendalilkan betapa kuatnya ortodoksi di internal NU, sehingga hal-hal yang berbau inovasi atau pembaharuan yang langsung ke jantung NU atau Pondok Pesantren akan disebut heterodoks. Kondisi tersebut masih berkaitan pula dengan perseteruan antara NU dan Muhammadiyah pada masa awal-awal kelahiran dua ormas tersebut. Ahmad Najib Burhani menyebutkan bahwa konflik tersebut bermula pada penggunaan istilah ortodoksi (construction of orthodoxy) dimana masing-masing ormas menyampaikan tuduhannnya kepada yang lainnya, yakni NU dengan sebutan pengamal takhayul, bid’ah, dan khurafat, sementara Muhammadiyah dianggap sebagai “Kristen Putih”. Sehingga, kedua ormas ini disebut sama-sama ortodoks, yakni merasa benar dan abash dalam Islam (Sharing Orthodoxy). Ortodoksi NU didasarkan kepada kekukuhannya akan pengacuan kepada tradisi dan kita kuning (ortodhoxy base on consensus), sementara Muhammadiyah lebih banyak mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (orthodoxy base on scripture)20.

Namun demikian, baik ortodoksi maupun heterodoksi akan berlaku hukum berbalik21. Pada dasarnya, proses-proses akan berkerja dalam dimensi raung dan waktunya dalam rangka menjawab keterbalikan. Kondisi saling berubah posisi inilah yang dalam bahasa Michael Foucaul, kutip Ankersmit22, disebut sebagai ‘proses yang bekerja’ (“on going proses“) sebagai sebuah “wacana”, ruang dialog, diskusi, dan polemik, yang mana masing–masing pihak saling berkepentingan merebut kuasa kebenaran. Pada konteks Tebuireng, kolaborasi Yayasan Hasyim Asy’ari melalui Gus Sholahuddin Wahid sebagai representasi NU dengan Agus Purwanto, sebagai penemu konsep Trensains, yang merupaka representasi Muhammadiyah, adalah lilin kecil yang akan mengurangi kekeraskepalaan masing-masing dalam menyonsong peradaban Islam di Indonesia, terkhusus pada

18 Mohammad As’ad, Pembaharuan Pendidikan Islam K.H Hasyim As’ari”, Journal

Tsaqofaf, Vol. 8 (1), 2012 19 Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim, Jombang: Pustaka Tebuireng,

2015, hlm 20 Ahmad Najib Burhani, Benturan antara NU dan Muhammadiyah, 15 Juli 2016.

https://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-kemasyarakatan-dan-kebudayaan/45-benturan-antara-nu-dan-muhammadiyah. Diakses pada tanggal 25 Maret 2021.

21 Dadang Darmawan, Ortodoksi Dan Heterodoksi Tafsir, Journal Refleksi, Vol 13, Nomor 2, April 2012, p. 179-200.

22 F.R. Ankersmit, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 309.

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

840

bidang pengarusutamaan ilmu pengetahuan (red: sains kealaman) di lingkungan lembaga pendidikan masing-masing.

Jika merujuk pada konsepsi Firclough23, kolaborasi dua tokoh NU dan Muhammadiyah ini, bukan hanya sebagai representasi (represent) akan geliat kedua ormas besar di Indonesia ini dalam menyongsong peradaban baru terkait penajaman pembelajaran sains di lingkungan pesantren, namun juga menandai (signify) bahwa keduanya telah memandang penting bahwa pesantren harus terlibat aktif dalam proses perubahan teknologi di era globalisasi ini. Pesantren telah dianggap penting untuk ikut andil menyiapkan generasi penerus yang tidak hanya berkutat pada ilmu agama saja, namun juga harus menguasai sains kealaman yang menjadi kunci untuk menjadi agen perubahan dalam era modern. SMA Trensain Tebuireng dan Pengarusutamaan Sains Kealaman di Lingkungan Pesantren NU

Dalam sebuah acara televisi swasta, pada tanggal 31 Maret 2016, Sholahuddin Wahid mengisi tausiah dengan tema Islam dan Ilmu Pengetahuan sebagai kultum episode ketujuh. Dia membeberkan sebuah fakta dengan berkata,

Al-Qur’an terdapat sekitar 800-an ayat yang mengupas tentang alam semesta. Di dalam al-Qur’an juga terdapat sekitar 200-an ayat yang terkait hukum ataupun fiqih.

Statemen Gus Sholah yang mengungkapkan perbandingan ayat-ayat tersebut memberikan refleksi ‘identitas sosial’ (social identity)24 umat Islam, khususnya NU, yang masih mengeyampingkan pendalaman ayat-ayat semesta yang secara kuantitas jauh lebih banyak dari ayat-ayat hukum. Hal ini ditunjukkan dengan lebih banyaknya upaya mengkaji ayat-ayat hukum yang tertuang dalam Al Quran, yang dibahas secara mendalam dan berulang-ulang. Sementara ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta, yang jumlahnya jauh lebih banyak tersebut, masih sedikit mendapat perhatian untuk dikaji secara matang di sekolah-sekolah formal di lingkungan pondok pesantren.

Dalam merespon isu ini, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal Mahfud, juga tidak menafikan pesantren yang memang mulanya melulu bertujuan pada pendalaman ilmu-ilmu kegamaan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan, namun lambat laun juga mau beradaptasi secara bertahap untuk melaksanakan pembelajaran ilmu-ilmu science. Namun, Mahfud juga kekeh dengan hubungan prioritas dengan tetap berpegangan pada kebiasaan hukum ‘fardu ain’ untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama, sementara hukumnya ‘fardu kifayah’ dalam mempelajari ilmu-ilmu selain agama25. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran sains di lingkungan pesantren masih belum dapat diterima secara penuh karena masih dianggap belum setara kewajibannya sebagaimana mempelajari ilmu agama. Pandangan ini tentu berpengaruh terhadap totalitas managemen sekolah dalam mengelola pembelajaran sains.

23 Fairclough, N. & Chiapello, E. (2002). Discourse and society, London: Sage 24 Firclough, Ibid 25 Sahal Mahfudz, Pesantren dan Pengembangan Sains, dipublis ulang oleh NU Online,

pada 26 Agustus 2014.. https://www.nu.or.id/post/read/54057/pesantren-dan-pengembangan-sains. Diakses pada tanggal 26 Maret 2021.

Ali Makhrus |

841

Terkait kuantitas pondok pesantren di Indonesia, RMI mencatat, pada tahun 2013, jumlah pesantren tradisional tetap menduduki posisi teratas dibanding pesantren modern atau kombinasi tradisional-modern. Istilah tradisional mengacu kepada pembelajaran yang mengedepankan kitab kuning, dan menomor duakan lembaga pendidikan formal semacam madrasah atau sekolah26. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pesantren masih belum beranjak dari kebiasaan lama yang lambat dalam merespon isu global dan modernisasi, serta masih kuatnya pemahaman resmi pesantren yang hanya fokus berurusan dengan ilmu agama dan ilmu kegamaan.

Selain itu, Gus Sholah juga menyinggung kejamakan kaum muslim yang hanya berkonsentrasi kepada ayat-ayat yang beririsan dengan fikih, dengan statemen sebagai berikut:

Begitu banyak buku, entah berapa puluh ribu yang ditulis mengenai tentang ayat-ayat yang 200 tadi, ayat hukum dan fikih, tapi tidak banyak buku-buku yang ditulis berkaitan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Itu menunjukkan bahwa perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan tidak tinggi.

Keprihatinan beliau lagi, adalah persoalan orang-orang barat yang justru berlomba-lomba dalam mempelajari dan mengkaji lebih serius terhadap al-Qur’an. Sebagaimana statemennya sebagai berikut,

Ini kemudian yang membuat banyak ilmuan barat yang tertarik mempelajari al-Qur’an, bukan dalam masalah aqidah ataupun masalah hukum, tetapi ingin mencari isyarat-isyarat untuk dapat memecahkan ilmu pengetahuan, supaya mereka bisa memperoleh penemuan-penemuan yang baru dan kalau beruntung mendapatkan hadiah Nobel. Di sini, kita melihat bahwa kita umat Islam wajib untuk juga mempelajari Ilmu pengetahuan yang kita kenal sebagai sains dan teknologi.

Sumbangan pemikiran Islam terhadap peradaban dunia telah diakui secara terbuka, obyektif, dan simpatik oleh sarjana barat, dan yang menarik para ilmuan tersebut mempunyai pandangan yang mengisyaratkan ‘kesatupaduan’ antara ilmu, iman dana mal. Spirit agama berhasil membangun suatu kontinuitas intelektual muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan27.

Sementara, Ismail Raji al-Faruqi28 menganggap kemunduran umat Islam pada bidang iptek ditengarai oleh banyak faktor, salah satu faktor tersebut ialah

26 Agus Muhammad, pewarta. Mahbib Khoiron, Jumlah Pesantren Tradisional Masih

Dominan, publis 8 Maret 2013. https://www.nu.or.id/post/read/42981/jumlah-pesantren-tradisional-masih-dominan. Diakses pada tanggal 26 Maret 2021. Tahun 2013 sejumlah 13.447 dari 24.000 pesantren dengan ragam model. Dan bertambahu menjadi 28.194 dengan total 5 juta-an santri mukim. Akan tetapi bila dengan santri bolak-balik rumah ke pondok pesantren, dan pendidikan al-Qur’an dan Madrasah, maka terdapat 18 juta an santri, 1,5 pengajara, ternag Kementrian Agama, Fachrul Razi, pada Rabu, 08 Juni 2020. https://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/460465/dukungan-bagi-santri-era-kenormalan-baru. tanggal 26 Maret 2021.

27 Mulyadhi Kartanegara, 2000) hlm 12 28 Norliala, Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi, al-Banjari, Vol. 7, No. 1,

(Januari 2008), 34.

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

842

pandangan dikotomis terhadap keilmuan melalui pendidikan yang sekuler. Sholahuddin Wahid pun mengkritik dalam konteks Indonesia yang mengelompokkan ilmu-ilmu sains sebagai dunia, sedangkan yang berurusan dengan fikih, tauhid dan ilmu kegaamaan lain lazimnya di pesantren NU, sebagai ilmu akhirat. Sholahuddin Wahid menyayangkan hal tersebut dengan berkata,

“Di Indonesia masih ada yang mempertentangkan antara ilmu agama dengan ilmu non agama atau disebut ilmu umum. Bahkan masih ada yang mengatakan bahwa ilmu agama adalah ilmu akhirat dan ilmu umum adalah ilmu dunia.

Hal ini tentu saja sangat tidak tepat bila pengkategorisasian atau pemisahan tersebut diperkeruh secara berlarut-larut. Sebab, bagi Sholahuddin Wahid, parameter dunia dan akhirat bukan pada ilmu sains atau agamanya, melainkan dari niat, dorongan serta kemanfaatannya bagi manusia. Sholahuddin Wahid berkata,

Menurut saya, semua ilmu berasal dari Allah, dan tidak ada sifat duniawi ataupun ukhrawi. Sifat duniawi atau ukhrawi itu tergantung kepada niat kita mempelajari ilmu itu. Kalau kita mempelajari ilmu agama dengan niat untuk kepentingan diri sendiri, supaya dianggap orang yang alim, supaya dikagumi orang, mungkin juga untuk memperoleh pendapatan, maka ilmu agama itu kemudian beralih menjadi ilmu duniawi. Tetapi kalau kita belajar ilmu kedokteran misalkan, atau ilmu kimia untuk mendapatkan penemuan-penemuan yang baru yang dapat memperpanjang usia manusia, dan dilandasi dengan niat untuk kemanusiaan dan memperoleh ridha Allah. Maka ilmu dunia tadi berubah menjadi ilmu ukhrawi. Itu yang saya pahami

Ian G Barbour, kutip Maimun Syamsuddin29, menyebutkan bahwa tipologi relasi agama dan sains ada yang bersifat konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Sementara di banyak pesantren Indonesia masih belum sepenuhnya atau bahkan setengah hati dalam reaksi arus ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan cenderung mengkonflikkannya. Secara ideologis, al-Qur’an tidaklah membedakan antara ilmu agama dan non agama, semua itu karena manusia mengidentifikasi ilmu berdasar objeknya30. Oleh karena perdebatan yang tidak berkesudahan tersebut, Sholahuddin Wahid menghendaki agar sudah tidak lagi dipertentangakan antara agama dan ilmu pengetahuan, dengan berkata:

Kita ingin kedepannya tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, kedua-kedua-nya perlu kita pelajari. Karena kalau tidak, kita tidak akan bisa mengejar ketertinggalan kita. Kita tertinggal banyak sekali, mungkin puluhan tahun dibanding negara-negara lain. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali meningkatkan perhatian

29 Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama & Sains: Analisis Sains Islam al-

Attas dan Mehdi Golshani, (Yogyakarta: IRCicod, 2012), hlm 35. 30 Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan

Multi Iman, Pendidikan Agama Moral, Achmad Suthi Chatib (ed), (Jakarta: UIN Jakarta: Press, 2005), 454-455.

Ali Makhrus |

843

kita, meningkatkan keseriusan kita untuk mempelajari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum, sains maupun teknologi.

Pada bagian ini adalah standing point untuk transformasi pondok pesanten di lingkungan NU. Hal tersebut setidaknya dengan menguatkan keberpihakan terhadap pengembangan dan kemajuan sains kealaman (red: iptek). Pondok Pesantren sudah tidak perlu berusasah paya, kata Fazlur Rahman31, membuat rencana, dan bagaimana menciptakan ilmu Islami. Lebih baik memanfaatkan waktu, energi dan uang untuk kreatif. Baik-buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral. Oleh karena itu, perdebatan tentang relasi ini suda saatnya berakhir.

Sebagai sebuah institusi formal yang didirikan di lingkungan NU, yang menekankan pembelajaran sains kealaman dengan menggunakan ayat-ayat Al Quran, keberadaan SMA Trensains Tebuireng dapat menjadi sumber yang segar sebagai upaya pengarusutamaan sains di lingkungan pesantren NU yang terbukti masih lemah dalam hal aplikasi dan action di lapangan dalam hal mengembangkan pembelajaran sains kealamaan. Jika merujuk pada konsepsi Firclough, kolaborasi dua tokoh NU (Kyai Sholahuddin Wahid) dan Muhammadiyah (Agus Purwanto), bukan hanya sebagai representasi (represent) akan geliat kedua ormas besar di Indonesia ini dalam menyongsong peradaban baru terkait penajaman pembelajaran sains di lingkungan pesantren, namun juga menandai (signify) bahwa keduanya telah memandang penting bahwa pesantren harus terlibat aktif dalam proses perubahan teknologi di era globalisasi ini. Pesantren telah dianggap penting untuk ikut andil menyiapkan generasi penerus yang tidak hanya berkutat pada ilmu agama saja, namun juga harus menguasai sains kealaman yang menjadi kunci untuk menjadi agen perubahan dalam era serba cepat ini. Sara-saran Mengingat masih terbatasnya sekolah di lingkungan NU yang mengkaji dan menekankan pembelajaran sains secara mendalam sejak usia remaja, peneliti menyarankan adanya kajian-kajian yang masif dari berbagai sisi terhadap SMA Trensains Tebuireng agar dapat menjadi inspirasi sekolah lain dalam mengembangkan pembelajaran sains kealaman di sekolah-sekolah NU. Daftar Pustaka Ankersmit, (1987). Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick

Hartoko, Jakarta: Gramedia. Arkoun, M. (1994). Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru, Jakarta: INIS. As’ad, M. (2012). Pembaharuan Pendidikan Islam K.H Hasyim As’ari”, Journal

Tsaqofaf, Vol. 8 (1). Bakar, A. A.. (2015). Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim, Jombang: Pustaka

Tebuireng Benwell, B. & Stokoe, E. (2006). Discourse and identity, Edinburgh: Edinburgh

University Press.

31 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm 420.

| TRENSAINS SENIOR HIGH SCHOOL TEBUIRENG JOMBANG: MAINSTREAMING SCIENCE IN NU PESANTREN (A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)

844

Bruenessen, M. V (2015). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing.

Burhani, A. N. (2016). Benturan antara NU dan Muhammadiyah, 15 Juli 2016. https://ipsk.lipi.go.id/index.php/kolom-peneliti/kolom-kemasyarakatan-dan-kebudayaan/45-benturan-antara-nu-dan-muhammadiyah. Diakses pada tanggal 25 Maret 2021.

Darmawan, D. (2012). Ortodoksi Dan Heterodoksi Tafsir, Journal Refleksi, Vol 13, Nomor 2, p. 179-200.

Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan, Jakarta: LP3ES

Dijk T.A.V. (2010). Critical Discourse Analysis. Retrieved on August 31, 2010, from: http://semiotics.nured.uowm. gr/pdfs/Critical_discourse_analysis_ TEUN_A_VAN_DIJK.pdf.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS. 6 Faircloug, N. (1995). Critical Discourse Anaysis: The Critical Study of Languange,

USA: Longman Group, Ltd. 23. Haidar, M Ali. (2011). Profil Pesantren Tebuireng, Jombang: Pustaka Tebuireng Mahfudz, S. (2014). Pesantren dan Pengembangan Sains, dipublis ulang oleh NU

Online, pada 26 Agustus 2014.. https://www.nu.or.id/post/read/54057/pesantren-dan-pengembangan-sains. Diakses pada tanggal 26 Maret 2021.

Mc. D, S. (1993). “Orthodoxy and Heterodhoxy, dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, New York: Simon & Schuster Macmillan, hlm, 124-129.

Muhammad, A. (2013). Jumlah Pesantren Tradisional Masih Dominan, publis 8 Maret 2013. https://www.nu.or.id/post/read/42981/jumlah-pesantren-tradisional-masih-dominan. Diakses pada tanggal 26 Maret 2021.

Nata, A. (2005).Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama Moral, Achmad Suthi Chatib (ed), Jakarta: UIN Jakarta: Press, 454-455.

Nata, A. (2003). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Mizan Norliala. (2008). Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi, al-Banjari, Vol.

7, No. 1 Rahman, F. (1968). Islam, New York: Anchor Book. Hal. 236-237. Steenbrink, K. A. (1968). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam

Kurun Modern, Jakarta: LP3ES Syamsuddin, M. (2012). Integrasi Multidimensi Agama & Sains: Analisis Sains

Islam al-Attas dan Mehdi Golshani, Yogyakarta: IRCicod. Ulinnuha, R, Wening Udasmoro, & Yahya WIjaya. (2013). Critical Discourses

Anaysis: Theory and Method in Social and Literary Framework, Indonesian Journal of Applied Linguistcs, Vol. 2, No 2, pp. 262-274