tradisi malÂmatiyyahrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46437... · 2019. 8. 3. ·...

179
TRADISI MALÂMATIYYAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP TEORI DAN PRAKTEK SUFI TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Oleh: Rifqil Halim NIM: 04.2.00.1.02.01.0072 Pembimbing: Dr. Sri Mulyati, MA SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM 2008 M/1429 H

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • TRADISI MALÂMATIYYAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP TEORI DAN PRAKTEK SUFI

    TESIS

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama

    Oleh: Rifqil Halim

    NIM: 04.2.00.1.02.01.0072 Pembimbing: Dr. Sri Mulyati, MA

    SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM 2008 M/1429 H

  • PENGESAHAN PEMBIMBING

    Tesis dengan judul "Tradisi Malâmatiyyah dan Pengaruhnya terhadap

    Teori dan Praktek Sufi" yang ditulis oleh Rifqil Halim dengan NIM:

    04.2.00.1.02.01.0072 konsentrasi Pemikiran Islam telah disetujui untuk dibawa ke

    sidang ujian tesis.

    Permbimbing,

    Dr. Sri Mulyati, MA

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Tesis dengan judul "Tradisi Malâmatiyyah dan Pengaruhnya terhadap

    Teori dan Praktek Sufi" yang ditulis oleh saudara Rifqil Halim dengan NIM:

    04.2.00.2.02.02.0072 Konsentrasi Pemikiran Islam telah diperbaiki sesuai dengan

    masukan dan kritik dari Tim Penguji dalam sidang munaqasyah pada hari Senin, 8

    September tahun 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan

    memperoleh gelar Magister agama (MA) di bidang Pemikiran Islam.

    Tim Penguji

    Prof. Dr. Suwito, MA Ketua/Merangkap Penguji (……………………………….)

    Prof.. Dr. Abdul Aziz Dahlan (……………………………….) Penguji I

    Dr. Hamid Nasuhi, MA (………………………………) Penguji II

    Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (………………………………) Pembimbing

  • PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi berupa pencabutan gelar sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Ciputat, 5 Juni 2008

    Rifqil Halim

  • ABSTRAK

    Berbicara tentang tradisi spiritual Islam berarti berbicara tentang Sufisme

    seakan-akan sufi adalah satu-satunya tradisi spiritual dalam agama Islam. J. Spencer Trimingham dalam karyanya The Sufi Orders in Islam telah mengemukakan beragam ordo Sufi dan memasukkan Malâmatiyyah sebagai bagian dari Sufi. Padahal tidak semua tradisi spiritual Islam dapat disebut Sufi.

    Tesis ini menolak kesimpulan Trimingham yang memasukkan Malâmatiyyah sebagai bagian dari Sufi. Berdasarkan pendapat `Afîfî dalam karyanya Al-Malâmatiyyah wa al-Shûfiyyah wa Ahl-al-Futuwwah dan Sviri dalam karyanya Hakim Tirmidzi and Malamati Movement, Malâmatiyyah merupakan tradisi unik yang tumbuh pada abad ketiga Hijriyyah di kota Nisafur. Sviri bahkan menolak penggunaan terminologi Sufi kepada seluruh tradisi Islam yang berkembang sebelum abad IV Hijriyyah, khususnya terhadap tradisi spiritual Malâmatiyyah kota Nisafur.

    Berdasarkan pengembangan dari kesimpulan `Afîfî dan Sviri, penelitian ini berkesimpulan bahwa penggunaan istilah Sufi sebagai satu-satunya representasi tradisi spiritual Islam pada dasarnya merupakan hasil dari proses ortodoksi Sufi yang dilakukan oleh para guru spiritual kota Baghdad sejak abad keempat Hijriyyah. Sedangkan tradisi Malâmatiyyah sendiri merupakan tradisi spiritual unik yang dan berbeda dari tradisi Sufi. Bahkan dalam proses ortodoksi, tradisi Malâmatiyyah turut mepengaruhi ajaran Sufi dan memainkan peran yang signifikan dalam menentukan karakteristik ajaran dan praktek institusional sufi (tarekat).

    Sumber utama tesis ini adalah dua buah karya Abû Abdurrahman al-Sulamî, Risâlah al-Malâmatiyyah dan Thabaqât al-Shûfiyyah. Untuk memperkuat analisa, penulis juga menggunakan literatur sufi klasik seperti Al-Luma` karya Abû Nashr Sarrâj, Hilyat al-Awliyâ' karya Abû Nu`aim Ishfahani, Risâlah al-Qusyairiyyah karya Abû Qâsim Qusyairî, Kasyf al-Mahjûb, karya Hujwiri Nafahât al-Uns karya Abdurrahman Jami, serta literatur sejarah. Untuk mengungkapkan pengaruh Malâmatiyyah terhadap ajaran dan praktik sufi, penulis menggunakan pendekatan sejarah.

    Rifqil Halim

  • ABSTRACT The amount of attention to Sufi and Sufism discourse of Islamic spirituality

    has been established an understanding of the Sufi as the only spiritual tradition in Islam. J. Spencer Trimingham in his work, The Sufi Orders in Islam, has described various order of Sufi and inserted Malâmatiyyah as a part of the Sufi tradition. In fact, not all spiritual traditions in Islam can be called with Sufi terminology like Malâmatiyyah tradition.

    This study rejects Trimingham's conclusion that argues Malâmatiyyah as a part of the Sufi. Based on the opinion of `Afîfî in his work, Al-Malâmatiyyah wa al-Shûfiyyah wa Ahl al-Futuwwah, and Sara Sviri in her work Hakim Tirmidzi and Malamati movement, this research concluded Malâmatiyyah as a unique tradition that grew in the third century Hijriyyah in Nisafur. Sviri even rejected for using of Sufi terminology to all spiritual traditions in Islam, especially to the spiritual traditions that grew before forth century of hegira especially Nisaphurian Malâmatiyyah.

    Based on the development of `Afîfî and Sviri conclusions, this research conclude that the using of Sufi terminology as the only representative spiritual traditions in Islam was the result of the Sufi orthodoxy process led by spiritual teachers of Baghdad since fourth centuries of Hegira. While Malâmatiyyah is an Islamic spiritual tradition that is a part from the Sufi one. Even in the orthodoxy process Malâmatiyyah tradition has played a significant role in determining the characteristics of the Sufi teachings and practices of institutional Sufi order (tharîqah).

    The main source of the thesis is two works Abû `Abd al-Rahmân al-Sulamî, al-Risâlah Malâmatiyyah and Thabaqât al-Shûfiyyah. To strengthen the analysis, the authors also use the Classical Sufi literatures such as Al-Luma fi al-Tarikh al-Tashawwuf written by Abû Nashr Sarrâj, Hilyat al-Awliyâ' written by Abû Nu` aim al-Ishfahani, Risâlah al-Qusyairiyyah written by Abû Qâsim Qusyairî, Kasyf al-Mahjûb written by Hujwiri, Nafahât-Uns min Hadlrât al-Quds written by Abd al-Rahmân Jâmî and literatures of Islamic history. To reveal the influence of Malâmatiyyah to Sufi teachings and practices, the author uses the historical approach.

  • KATA PENGANTAR

    Segala puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena

    hanya dengan idzin dan kehendaknya lah penulisan tesis ini dapat penulis

    rampungkan. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan senantiasa kepada Nabi

    terpilih, Muhammad SAW beserta keluarganya yang suci dan generasi al-Salaf al-

    Shâlih (shahâbat, tabi`in dan tabi` al-tabi`in) yang telah menuntun umat manusia

    kepada jalan kebajikan.

    Tesis dengan judul "Tradisi Malâmatiyyah dan Pengaruhnya terhadap

    Teori dan Praktek SufI" ini merupakan sebuah karya yang jauh dari kata

    sempurna. Keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis membuat tulisan ini

    banyak memiliki kekurangan di sana-sini sehingga tetap membutuhkan analisa

    dan kritik dari pembaca untuk memahaminya lebih jauh.

    Penulis juga merasa berhutang budi kepada segenap pihak yang telah turut

    memberikan kontribusi besar bagi proses penyelesaian tesis ini. Tanpa kebaikan

    budi dan kelempangan waktu yang mereka khususkan untuk penulis, mustahil

    kiranya tulisan ini dapat diselesaikan sebagaimana mustinya. Dalam kata

    pengantar ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang tulus dan rasa

    terima kasih yang dalam kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah; Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA

    selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta; Dr. Sri Mulyati yang membimbing penulisa dengan tulus dan sabar;

    Panitia Ujian (Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Hamid

    Nasuhi MA) atas kritik dan sarannya yang sangat berharga dalam penyempurnaan

    tesis ini.

  • Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada sahabat

    Abdul Ghafur Lc, MA, Murtadho, Lc, Aksin Wijaya, MA serta Kang Cecep yang

    sangat membantu menemukan dan mengirimkan kitab Risâlah al-Malâmatiyyah

    dari toko loakan Mesir ke Indonesia. Tak lupa pula Diparakhmawan Alaidrus, MA

    yang banyak berbagi literatur sufi dengan penulis serta seluruh sahabat senasib

    seperjuangan, mahasiswa Konsentrasi Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Ungkapan terima kasih yang tak terkira penulis haturkan kepada ayahanda

    dan ibunda tercinta, H. M. Zaki Har dan Hj. Musyarrafah, Jaddah Mas`udah serta

    Khâl Fathurrahman yang telah mengasuh penulis dengan penuh keikhlasan dan

    kesabaran serta segala dukungan material, moral maupun spiritual selama penulis

    penyelesaikan perkuliahan di kampus ini. Tidak ada lagi kata-kata yang dapat

    penulis haturkan untuk keluarga tercinta kecuali ucapan "Jazakumullah khairal

    Jaza'". Untuk istri tercinta, Nailatul Alawiyah, semoga selalu sabat mendampingi

    penulis sepanjang waktu dan untuk ananda, Askar Bayazid Birlil Atiq, tumbuhlah

    besar sebagai anak yang beriman.

    Ciputat, 5 Juni 2008

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i

    PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………………… ii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………………. iii

    PERNYATAAN……………………………………………………………….. iv

    ABSTRAK……………………………………………………………………… v

    PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………….. viii

    KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ix

    DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xi

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah………………………………………………. 1

    B. Permasalahan ………………………………………………………… 9

    C. Kajian Pustaka…………………………………………………………. 10

    D. Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 12

    E. Manfaat Penelitian………………………………………………..….. 12

    F. Metode Penelitian …………………………………………………… 12

    G. Sistematika Penulisan……………………………………………….. 14

    BAB II : PERKEMBANGAN TRADISI SPIRITUAL ISLAM

    A. Wahyu dan Pribadi Nabi: Dua Sumber Tradisi……………………… 16

    B. Tradisi-tradisi Spiritual Awal……………………………………….. 23

    1. Zuhud……………………………………………………………….. 25

    2. Sufi…………………………………………………………………… 33

    3. Futuwwah…………………………………………………………… 40

  • 4. Malâmatiyyah………………………………………………………… 47

    C. Ortodoksi Sufi……………………………………………………….. 50

    1. Pencarian Legitimasi dan Penyeragaman Tradisi……………….. 54

    2. Kodifikasi dan Seleksi……………………………………………. 58

    3. Interpretasi dan Eliminasi……………………………………….. 59

    BAB III : TRADISI MALAMATIYYAH

    A. Asal Usul Malâmatiyyah dalam Lanskap Spiritualitas Khurasanian.. 65

    B. Ajaran Malâmatiyyah……………………………………………… 76

    1. Teori Ego (Nazhariyyah al-Nafs)………………………………….. 78

    2. Memerangi Ego (Muhârabah al-Nafs')……………………………. 80

    3. Memerangi Riya' (Muhârabah al-Riyâ'')………………………….. 83

    4. Anti Klaim Spiritual (Isqâth al-Da`âwâ)………………………… 89

    5. Mencari Celaan (Thalab al-Malâmah)……………………………. 91

    C. Guru-guru Malâmatiyyah……………………………………………… 98

    1. Abû Yazîd al-Bisthâmî (w. 261 H)………………………………. 93

    2. Abû Hafsh al-Haddâd (w. 264 H)…………………………………. 98

    3. Hamdûn al-Qashshâr (w. 271 H)……………………………….. 102

    4. Abû Utsmân al-Hîrî (w. 298 H)…………………………………. 105

    5. Abdullâh bin Munâzil (w. 329……………………………………108

    BAB IV : PENGARUH MALÂMATIYYAH TERHADAP DUNIA TASAWWUF

    A. Dua Jalur Pengaruh………………………………………………………112

    1. Pengaruh Abû Yazîd al-Bisthâmî……………………………… …….112

    2. Pengaruh Abû `Abd al-Rahmân al-Sulamî……………………. ……118

  • B. Ajaran Sufi yang Terpengaruh Malâmatiyyah……………………. 124

    1. Teori Walâyah dan Karâmah…………………………………… 125

    2. Teori Syathh………………………………………………………133

    3. Paradoks………………………………………………………… 140

    C. Praktik Sufi yang Terpengaruh Malâmatiyyah…………………… 144

    1. Orientasi Spiritual Naqsyabandiyyah……………………………144

    2. Antinomianisme Qalandariyyah…………………………………152

    BAB V: KESIMPULAN……………………………………………………158

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kajian yang mengambil topik sufi atau tasawwuf semakin mendapatkan

    apresiasi yang positif, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Tak terhitung

    berapa banyak penelitian di bidang ini yang telah dilakukan oleh para sarjana

    dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu pengetahuan modern. Sebut saja,

    R.A. Nicholson1, Louis Massignon2, A.J. Arberry3, Henry Corbin4, adalah

    beberapa peneliti sufi yang mengkaji tasawwuf dan secara cermat menerjemahkan

    dan memberi komentar terhadap karya-karya para penempuh jalan spiritual Islam

    awal. Tak jarang kesungguhan minat mereka untuk memahami seluk beluk dunia

    1 Reynold Alleyne Nicholson,. Ia Dilahirkan di Inggris pada tahun 1868 dan meninggal pada

    tahun 1945. Nicholson menerjemahkan Matsnawi karya Jalaluddin Rumi, Kasyf al-Mahjûb karya Hujwiri serta Tarjumân Asywâq karya Ibn ``Arabî. http://en.wikipedia.org/wiki/Reynold_A._Nicholson

    2 Louis Massignon lahir di Prancis tahun 1883 dan meninggal pada tahun 1962. Massignon telah meneliti tasawwuf dan menerjemahkan sejumlah manuskrip sufi. Diantara karya-karya dan terjemahan yang dihasilkannya adalah La Passion de Hallaj:Martyr Mystique de L'Islam, L. Massignon Sur L'Islam, Le Dîwân D'Al-Hallâj dan Akhbar Al-Hallâj. http://en.wikipedia.org/wiki/Louis_Massignon#Religious_beliefs lihat juga http://www.dcbuck.com/MassignonBio.html

    3 Arthur John Arberry, guru besar di bidang kajian Arab, Persia dan Islam. Ia Dilahirkan pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1969. Ia menerjemahkan Tadzkirah al-Auliyâ' karya Fariduddin al-Aththâr Di antara karya-karyanya yang lain adalah The Mysteries of Selflessnes, Koran Interpreted dan Sufism and Account of Mistics of Islam. http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_John_Arberry

    4 Henry Corbin adalah seorang filosof, pakar teologi dan guru besar di bidang kajian Islam asal Prancis. Ia dilahirkan pada tahun 1903 dan meninggal pada tahun 1978. Diantara karya-karyanya adalah Avicenna and the Visionary Recital, Creative Imagination in the Sufism of Ibn '`Arabî, Spiritual Body & Celestial Earth, En Islam Iranien: Aspects spirituels et philosophiques, Face de Dieu, Face de l'homme: Hermeneutique et soufisme. The Man of Light in Iranian Sufism, Swedenborg and Esoteric Islam, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques. http://en.wikipedia.org/wiki/Henry_Corbin

    http://en.wikipedia.org/wiki/1868http://en.wikipedia.org/wiki/1945http://en.wikipedia.org/wiki/Louis_Massignon#Religious_beliefshttp://www.dcbuck.com/MassignonBio.htmlhttp://en.wikipedia.org/wiki/Henry_Corbin

  • spiritual ini tidak berhenti pada tuntutan profesionalitas akademik saja, akan

    tetapi juga melibatkan kehidupan pribadi mereka di dunia nyata. Ivan Aguéli5,

    Rene Guenon6, Martin Ling7, dan Titus Burckhardt8 adalah beberapa di antara

    peneliti Barat yang memutuskan memeluk agama Islam dan menerima kehidupan

    tarekat.

    Sementara di luar faktor ketertarikan akademik, banyak kalangan yang

    menganalisa bahwa kehidupan materialistis Barat ternyata tidak mengantarkan

    mereka kepada kebahagiaan, sebaliknya menyisakan kegelisahan yang terpendam

    dalam kesadaran batin mereka. Kegelisahan serupa terus berkembang dari

    individu beralih menjadi gerakan yang lebih besar. Munculnya gerakan “New

    Age” di Barat9 merupakan fenomena sosial yang merefleksikan hasrat masyarakat

    5 Dilahirkan di Swedia pada tahun 1869 dengan nama John Gustaf Agelii setelah memeluk

    agama Islam namanya diganti menjadi Sheikh 'Abd al-Hâdi Aqhilî. Ia menerima tarekat Syadziliyyah dari Shaykh 'Abd al-Rahmân Ilaysh al-Kabîr (1840-1921) dari Mesir. Meninggal pada tahun 1971. http://en.wikipedia.org/wiki/ Ivan_Aguéli

    6 Rene Guenon adalah seorang filosof asal Prancis. Ia dilahirkan pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1904. Ia menempuh jalan sufi dan memutuskan masuk Islam. Nama lainnya adalah Syeikh `Abd al-Wahîd Yahyî. Di antara karya-karyanya, East and West , Insights into Islamic Esoterism and Taoism, Symbols of Sacred Science, Theosophy, the History of a Pseudo-Religion, Traditional Forms and Cosmic Cycles, http://www.cis-ca.org/voices/g/guenon-mn.htm . Guenon

    7 Martin Ling adalah sarjana asal Inggris dilahirkan pada tahun 1909 dan meninggal pada tahun 2005. Ia adalah seorang sarjana di bidang keislaman dan kemudian masuk Islam dengan nama Abû Bakr Sirâj Al-Dîn dan menempuh jalan Sufi. Di antara karya-karyanya, What is Sufism?, The Book of Certainty: The Sufi Doctrine of Faith, Wisdom and Gnosis , Sufi Poems : A Medieval Anthology , Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, The Quranic Art of Calligraphy and Illumination, http://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Lings

    8 Titus Burckhardt adalah seorang sarjana kelahiran Florence. Ia dilahirkan pada tahun 1908dan meninggal pada tahun 1984. Di antara karya-karyanya, An Introduction to Sufi Doctrine, Art of Islam: Language and Meaning, Fez: City of Islam, Mystical Astrology according to Ibn ‘Arabî, http://www.cis-ca.org/voices/b/Burckhardt.htm

    9 Gerakan New Age muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX, mencapai momentumnya pada tahun 1960-an-1980-an. Gerakan spiritual baru ini mengakomodasi berbagai

    http://www.cis-ca.org/voices/g/guenon-mn.htmhttp://en.wikipedia.org/wiki/Martin_Lings

  • Barat untuk mencari kebahagiaan di luar kehidupan materi. Spiritualitas yang

    sebelumnya tercerabut oleh modernitas kemudian dihidupkan kembali dalam

    bentuknya yang baru. Dalam konteks masyarakat yang mengalami kejenuhan

    seperti ini, setahap demi setahap tradisi spiritual Islam menjadi medan magnet

    yang menarik minat masyarakat Barat yang ingin mencicipi oase spiritualitas

    Islam10. Sumber resmi US Embassy mencatat hingga tahun 2005 terdapat sebelas

    ordo tarekat berkembang di Amerika. Kesebelas ordo tarekat tersebut antara lain

    Qadiri, Chisti, Naqsyabandî, Syâdzili, `Alawî, Khalwati, Jerrahî, Ni`matullâhî,

    Rifâ`î dan Uwaysî11. Eksistensi tasawwuf di Barat semakin kokoh ketika

    UNESCO menetapkan tahun 2007 sebagai tahun Rûmi12.

    Di Indonesia sendiri, khususnya dua dekade belakangan, tema Tasawwuf

    mendapatkan ruang apresiasi di berbagai tempat. Buku-buku tentang tasawwuf

    juga ramai dicetak dan dipublikasikan secara massif oleh sejumlah penerbit

    nasional dengan berbagai kategori. Mulai dari buku-buku serius seperti

    terjemahan karya-karya para ulama muslim klasik, terjemahan penelitian para

    orientalis Barat, penerbitan hasil-hasil studi dan penelitian para akademisi

    nasional hingga buku-buku santai seperti kompilasi anekdot atau humor sufi,

    semuanya dengan mudah dapat dijumpai di toko-toko buku di berbagai tempat. spiritualitas agama, termasuk sufisme atau tasawwuf. Terbitan Online http://en.wikipedia.org/wiki/New_Age. (didownload pada 25 Januari 2008)

    10 Catatan tentang persinggungan Tasawwuf dan New Age dan perkembangan tasawwuf mabuk di Eropa dapat dilihat dalam William Chittick, Tasawwuf di Mata Kaum Sufi, h. 64. Mengenai perkembangan ordo-ordo sufi di Amerika lihat Jay Kinney, "Sufism Comes West: An Introduction to Sufism". Terbitan online: http://sufistudies.net/article/sufism-comes-west (didownload pada tanggal 5 April 2003)h. 5.

    11 Lihat SPAN, "Sufi Order in America" Terbitan Online: http://usembassy.state.gov.pdf (didownload pada tanggal 24 April 2007), h.54

    12 Lihat "Whirling Dervishes of Rumi" . Terbitan Online: http://dervishesofrumi.wordpress.com/about/unesco-year-of-rumi/ (didownload pada tanggal 1 Januari 2008)

    http://sufistudies.net/article/sufism-comes-westhttp://usembassy.state.gov.pdf/http://dervishesofrumi.wordpress.com/about/unesco-year-of-rumi/

  • Sementara pada tingkat kehidupan sosial yang lebih nyata, seminar-seminar,

    diskusi-diskusi, ceramah-ceramah serta majlis-majlis dzikir yang berkenaan

    dengan tradisi tasawwuf juga turut mendapatkan apresiasi dari media massa, baik

    cetak maupun elektronik.

    Terlepas dari perbedaan faktor sosial, ekonomi dan politik yang

    melatarbelakangi terjadinya fenomena di atas, fakta-fakta tersebut dapat dijadikan

    indikator terjadinya peningkatan ketertarikan –paling tidak keingintahuan—

    masyarakat terhadap kehidupan spiritual Islam, tepatnya ketika “Tasawwuf”

    menjadi jawaban atas permintaan masyarakat terhadap wacana spiritualitas Islam

    di Indonesia. Pertanyaan kemudian, mengapa harus “tasawwuf” yang diajukan

    sebagai representasi tradisi spiritualitas dalam Islam?

    Jika ditinjau dari perspektif ilmiah, tasawwuf merupakan satu-satunya

    disiplin pengetahuan yang merepresentasikan tradisi spiritual Islam13. Namun

    ketika dipulangkan kembali pada akarnya, yakni tradisi penggunaan pakaian shûf

    (berbahan dasar wol)14, maka bukan lagi satu-satunya tradisi spiritual dalam Islam.

    Sebab jika dikaji kembali, sejarah Islam tidak pernah sepi dari pribadi-pribadi yang

    berupaya keras untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui tradisi-tradisi

    tertentu, mulai dari generasi sahabat ketika Nabi masih hidup, generasi sahabat

    sepeninggal Nabi, hingga generasi selanjutnya. Hanya saja kehidupan spiritual

    tersebut dalam perkembangannya mengambil pola, karakter dan corak yang

    multi-ragam di berbagai tempat dan kawasan.

    13 Ibn Khaldûn , salah seorang sejarahwan dan pemikir Islam, hanya menyebutkan tasawwuf

    dalam bahasannya tentang perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ibn Khaldûn , Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h.467-475)

    14 Chittick menyepakati bahwa tasawwuf berasal dari tradisi penggunaan pakaian yang terbuat dari wol kasar (shuf) sebagai simbol kesadaran ruhani dan membatasi diri dari kecenderungan terhadap kemewahan duniawi. Lihat Chittik, Tasawwuf di Mata Kaum Sufi, h.45

  • Walaupun belum dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap

    keberagaman corak dan karakter kehidupan spiritualitas Islam ini namun sudah

    ada beberapa sumber yang dapat dijadikan sandaran, baik sumber yang berasal

    dari masa pembukuan teori-teori tasawwuf maupun yang bersumber dari para

    peneliti modern. Junaid dari Baghdad, umpamanya, pernah mengeluarkan

    pernyataan bahwa “Kejujuran di Khurasan, kedermawanan di Syam, dan kefasihan

    lidah di Baghdad”15, satu kalimat pendek yang menegaskan perbedaan

    karakteristik spiritual Muslim di tiga kawasan (Khurasan, Syam dan Baghdad).

    Para peneliti modern juga telah menemukan adanya dua polarisasi tradisi

    spiritualitas Islam di sepanjang abad ketiga Hijriyah yang diidentifikasi sebagai

    Madzhab Baghdad dan Madzhab Khurasan. Baghdad diasosiasikan dengan

    “shahw” (sadar/tidak mabuk) sedangkan Khurasan diasosiasikan dengan “sukr”

    (mabuk spiritual). Nasr melukiskan pada abad ketiga Hijriyyah muncul

    perkembangan tradisi spiritual yang bersifat sementara antara dua madzhab

    Sufisme yang paralel dan bertarung yang kelak dikenal sekarang ini sebagai

    madzhab Khurasan dan Baghdad. Namun demikian Nasr menambahkan bahwa

    perbedaan dua tradisi spiritual ini bukan lah pertarungan antara Arab dan Persia

    dalam Sufisme16.

    Tampaknya Nasr berupaya sangat berhati-hati agar pembaca tidak sampai

    tergiring menghadap-hadapkan Arab dan Persia sebagai dua entitas yang saling

    bersaing sebab hal tersebut memang menjadi senjata bagi para penulis Barat dalam

    memisahkan sufisme dari Islam. Namun demikian, ungkapan Nasr tersebut

    15 Qusyairi, Al-Risâlah al-Qusyairiyah (Mesir: Dar al-Khair, t.th.), h.226 16 Sayyed Hosen Nasr, "Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia" dalam Lewisohn

    (ed.), Warisan Sufi: Buku Pertama. Terjemahan Gafna Raizha Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002) Cetakan kedua, h.33

  • menyuguhkan sebuah fakta bahwa terdapat keragaman tradisi spiritual Islam di

    periode awal pembentukan sufisme hanya terjadi dalam tataran intelektual dan

    spiritual, tidak dapat diartikan sebagai persaingan ras atau peradaban17.

    Masih dalam konteks kemultiragaman tradisi spiritual Islam, penelusuran

    cermat terhadap karakteristik dan perbedaan corak tradisi spiritual Islam awal

    telah dilakukan oleh Syaibî . Dalam penelitiannya ini, Syaibî menunjuk Kufah,

    Bashrah, Syam, Khurasan, dan Mesir sebagai tempat persemaian tradisi spiritual

    Islam awal. Sekaligus menegaskan “Zuhd”18, “Shûfi”, “Ahl al-Futuwwah” 19 dan

    “Malâmatiyyah” 20 sebagai tradisi spiritual Islam yang khas dan memiliki sejarah

    dan keunikannya sendiri21. Sangat disayangkan Syaibî masih mempertahankan

    penggunaan terminologi Sufi sebagai rumah besar tradisi spiritual Islam di tengah

    keberagaman tradisi spiritual Islam lain yang ia ketengahkan dalam tulisannya

    tersebut. Padahal terdapat batasan-batasan tertentu yang dapat mengidentifikasi

    keragaman tradisi spiritual tersebut.

    17 Lihat Sayyed Hosen Nasr, "Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia" dalam

    Lewisohn (ed.), Warisan Sufi …, h. 33 18 Secara etimologi berarti meninggalkan kecenderungan terhadap sesuatu. Sementara dalam

    kajian Tasawwuf istilah ini diartikan sebagai sikap meninggalkan kecenderungan mencintai dunia. Lihat Jurjâni, Abu al-Hasan, al-Ta`rîfât (Beirut: Dâr al-`Ilmiyah, 2003) Cetakan kedua, h.93

    19 Secara etimologi Futuwwah dapat diartikan sebagai kekesatriaan, kedermawanan dan kemuliaan sedangkan dalam kajian Tasawwuf istilah Ahl al-Futuwwah sering diartikan sebagai orang yang menempuh tradisi spiritual dengan jalan selalu mementingkan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri lihat Qusyairi, Qusyairi, Al-Rissalah al-Qusyairiyah, h. 102

    20 Orang-orang yang tidak menampakkan kualitas batin mereka serta berupaya keras untuk menggapai kesempurnaan ikhlas. Lihat Jurjâni, Ta`rîfât, h. 227. Lihat juga Qusyairi, Al-Rissalah al-Qusyairiyah, h. 226-231

    21 Menurut Baldick, legenda tokoh-tokoh terhormat sufisme abad ke-8 sebenarnya tidak menampilkan mereka itu sebagai sufi, melainkan sebagai zâhid dan `âbid. lihat Julian Baldick, Islam Misitik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawwuf (Jakarta: Serambi, 2002), h. 42. Lihat juga penjelasan mengenai perbedaan zuhd dan sufi dalam `Abd al-Karim Khatib, Nasy'at al-Tasawwuf (Kairo: al-Maktab al-Fanni li al-Nasyr, 1860), h. 16

  • Apa yang dilakukan Syaibî dengan tetap mempertahankan terminologi sufi

    sebagai arus besar tradisi spiritual Islam yang mencakup seluruh tradisi spiritual

    sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di kalangan para peneliti

    modern. Ketika dalam naskah-naskah klasik ditemukan adanya pernyataan yang

    meneguhkan kualitas spiritual tradisi tertentu lebih tinggi dari kaum sufi,

    Trimingham tidak dapat menjelaskannya dengan baik bahkan merasa

    kebingungan dengan status Malamatiyyâh yang disebut-disebut oleh Sulamî

    secara spiritual berada di atas status kaum Sufi. Berikut petikan prernyataan

    Trimingham yang dimaksud:

    Juga berkaitan adalah perbedaan antara kaum sufi dan Malamati. Persoalan ini selama ini agak membingungkan. Abû `Abd al-Rahmân al-Sulamî (w. 412/1021) menganggap orang-orang yang patut disalahkan) sebagai peringkat tertinggi hamba-hamba Tuhan yang berada di atas kaum legalis (fuqahâ') dan kaum teosofis, `ahl al-ma`rifah ([baca: Sufi).22

    Menurut hemat penulis, kecenderungan memasukkan Malamatiyyâh ke

    dalam Sufi dan kebingungan yang dialami Trimmingham disebabkan oleh

    besarnya pengaruh kodifikasi ajaran sufi yang dimulai sejak abad keempat

    Hijriyyah23. Di satu sisi, proses kodifikasi ajaran Sufi ini merupakan langkah para

    sufi Baghdad untuk menangkal serangan-serangan dari kalangan anti-sufi di masa

    itu sekaligus kemajuan besar kaum sufi dalam menempatkan tasawwuf sebagai

    disiplin pengetahuan agama yang disebut dengan istilah tasawwuf24. Namun di sisi

    lain, keberhasilan yang dicapai ini menciptakan terjadinya ortodoksi sufi yang

    memiliki dampak adanya dominasi salah satu tradisi dan dalam batas-batas

    22 lihat J. Spencer Trimmingham, Madzhab Sufi (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999) h.275-276

    23 Lihat Sviri, "Hakim Tirmidhi and Malamati Movement" dalam Leonard Lewisohn (Ed.) Warisan Sufi… , h. 592-593

    24 Ibn Khaldûn memandang tasawwuf sebagai disiplin pengetahuan (ilmu), lihat Ibn Khaldûn , Muqaddimah, h. 432

  • tertentu mengarah pada penyeragaman ke dalam satu tradisi, tepatnya ketika

    tradisi-tradisi spiritual yang sebelumnya beragam tersedot ke dalam mainstream

    sufi Baghdad.25 Dengan kata lain proses ortodoksi Sufi ini telah meletakkan tradisi

    sufi Baghdad sebagai tradisi pusat (center) sedangkan tradisi-tradisi spritual yang

    lain (termasuk Malâmatiyyah) sebagai tradisi pinggiran (periphery).

    Namun dibalik keberhasilan tersebut, ternyata masih ada tradisi spiritual

    yang melakukan resistensi dalam batasan-batasan tertentu terhadap dominasi

    komunitas sufi Baghdad. Tradisi tersebut bernama Malâmatiyyah, sebuah tradisi

    spiritual Islam yang diidentifikasi telah bergerak di kota Nisafur-Khurasan.

    Sulamî, salah seorang penulis hagiografi sufi awal, menulis satu kitab dengan

    judul Risalah Malâmatiyyah, sebuah kitab khusus yang menampilkan ujaran-

    ujaran para guru spiritual Khurasan, khususnya guru-guru Malâmatiyyah kota

    Nisafur. Besar kemungkinan penulisan kitab ini merupakan salah satu bentuk

    resistensi kaum Malâmatiyyah Nisafur terhadap orotodoksi sufi abad keempat

    Hijriyyah.

    Yang patut disayangkan, eksistensi tradisi spritual Malâmatiyyah ini

    kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari para peneliti modern. Banyak

    peneliti tasawwuf modern yang membahas tema Malâmatiyyah sekedar pelengkap

    dari kajian mereka. Namun belum ada, setidaknya dalam pembacaan penulis,

    kajian khusus untuk menelusuri jejak tradisi Malâmatiyyah ini dan pengaruhnya

    25 Baldick menyarankan untuk menghindari penggunaan istilah kata-kata yang dipinjam

    dari Kristen: "ortodoksi", "Heresi (bid'ah)", "kependetaan", dan "santo" dalam kajian tasawwuf. Baldick, Islam Mistik, h. 17. Namun karena alasan khusus yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya, penulis memutuskan untuk mempertahankan penerapan istilah tersebut dengan batasan tertentu.

  • di kemudian hari terhadap perkembangan dunia tasawwuf secara lebih

    komprehensif.

    Umumnya para peneliti modern memandang tradisi Malâmatiyyah sebagai

    bagian dari tradisi sufi. Tidak banyak yang menegaskan Malâmatiyyah sebagai

    sebuah tradisi yang mandiri dan terpisah dari tradisi sufi. Padahal jika ditelaah

    kembali, tradisi Malâmatiyyah tumbuh seiring dengan atau keberlangsungan dari

    tradisi spiritual Islam itu sendiri. Bahkan terdapat sejumlah sumber-sumber sufi

    yang dapat mengungkapkan bahwa ternyata tradisi Malâmatiyyah memiliki

    pengaruh ganda yang keduanya terus membekas dalam dunia tasawwuf hingga

    hari ini, baik pengaruh pada level teoritis maupun praksis. Penelitian ini

    berupaya untuk menegaskan kemandirian tradisi Malâmatiyyah dari sufi sekaligus

    untuk membuktikan pengaruh Malâmatiyyah terhadap sufi dan tasawwuf.

    B. Permasalahan

    Setiap penelitian selalu bertitik tolak dari masalah yang harus dihadapi dan

    perlu dipecahkan. Arikunto berpandangan bahwa masalah itu sendiri merupakan

    bagian dari kebutuhan seseorang yang harus dipecahkan. Seseorang hanya ingin

    mengadakan penelitian jika ia berhasrat mendapatkan jawaban dari masalah yang

    dihadapinya26. Sementara Moleong menerjemahkan masalah sebagai keadaan yang

    bersandar dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi

    membingungkan. Faktor yang menghubungkan tersebut, dapat berupa konsep,

    data empiris, pengalaman atau unsur lainnya. Jika kedua faktor itu didudukkan

    26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka,

    1996), h. 25

  • secara berpasangan akan menghasilkan sesuatu yang dipahami atau tidak dapat

    diterangkan pada waktu itu27.

    Adapun masalah utama dalam penelitian ini adalah: Apakah Malâmatiyyah

    merupakan bagian dari Sufi atau tradisi spiritual islam lain yang justru turut

    mempengaruhi teori dan praktek Sufi?

    C. Kajian Pustaka

    Sedikit jumlah penelitian modern yang menjadikan tradisi spiritual

    Malamatiyyâh sebagai fokus kajian mereka. Diantaranya adalah kitab

    Malâmatiyyah wa al-Shûfiyyah wa Ahl al-Futuwwah karya `Abû al-`Alâ `Afîfî

    yang diterbitkan oleh Musthafâ Bâb al-Halabi di Kairo tahun 1945. Dalam

    karyanya ini, `Afîfî membahas tradisi Malâmatiyyah secara ringkas dan kurang

    mendalam. Namun demikian, yang membuat karya `Afîfî ini menjadi istimewa

    adalah karena di dalamnya dikutip salinan lengkap kitab Risalah Malâmatiyyah

    karya Abû `Abd al-Rahmân Sulamî.

    Selain karya `Afîfî, terdapat juga beberapa tulisan lain yang walaupun

    tidak membahas Malâmatiyyah secara khusus namun memberikan informasi dan

    analisa yang cukup penting. Diantara tulisan yang dimaksud adalah “Hâkim

    Tirmidhî and the Malâmatî Movement” karya Sviri dalam The Heritage of Sufism:

    Classical Persian Sufism from its Origin to Rumi (700-1300) yang diterbitkan oleh

    Oneworld Oxford di England pada tahun 199928. Dalam tulisannya ini, Sviri

    memberikan analisa yang tegas dan cermat dalam memetakan perbedaan tradisi

    Malâmatiyyah dan Sufi. Akan tetapi, karena tulisan Sviri ini hanya berupa tulisan

    27 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya Offset, 1994), h.62

    28 Dalam penelitian ini penulis menggunakan edisi terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Warisan Sufi: Buku Pertama terbitan Yogyakarta: Pustaka Sufi , 2002 Cetakan kedua

  • pendek dan lebih terfokus pada pembahasan hubungan antara Hakim Tirmidzi

    dan Malâmatiyyah, maka ulasannya tentang tradisi Malâmatiyyah dan

    pengaruhnya terhadap dunia tasawwuf menjadi kurang mendalam.

    Karya lain yang juga penting untuk dikemukakan adalah Al-Shilat bain al-

    Tashawwuf wa al-Tasyayyu` karya Mushtafa Syaibî yang cetakan keduanya

    diterbitkan di Mesir oleh Dar al-Ma`arif. Karya Syaibî ini memberikan informasi

    penting tentang perbedaan corak dan ragam tradisi spiritual Islam di sejumlah

    kawasan Islam. Analisanya terhadap asal-usul perkembangan Malâmatiyyah dan

    Futuwwah menyumbangkan kesimpulan-kesimpulan yang ganjil dan perlu dikaji

    kembali. Namun sebagaimana yang terlihat dari judulnya, Syaibî mengkhususkan

    kajiannya terhadap hubungan Tasawwuf dan ideologi Syi`ah sehingga menjadikan

    pembahasan tradisi Malâmatiyyah hanya sebagai pelengkap. Dalam karyanya ini,

    Syaibî juga masih menganggap Malâmatiyyah sebagai bagian dari Sufi.

    Selain ketiga karya di atas, terdapat juga The Sufi Orders in Islam karya J.

    Spencer Trimmingham yang diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun

    197129. Walaupun Trimingham tidak secara spesifik mengkaji Malâmatiyyah tapi

    memberi informasi tentang keterkaitan tradisi asal kota Khurasan ini dengan

    perkembangan tarekat-tarekat institusional. Sementara karya-karya lain semisal

    Islamic Dimension of Islam yang ditulis oleh Annemarie Schimmel, Sufism: An

    Account of Mystics of Islam karya A.J. Arberry walaupun tidak meluangkan bab

    khusus tentang Malâmatiyyah tapi cukup berguna sebagai bahan perbandingan

    dan analisa dalam mengkaji masalah Malâmatiyyah.

    D. Tujuan Penelitian

    29 Dalam penelitian ini penulis menggunakan edisi terjemahan bahasa Indonesia dengan

    judul Madzhab Sufi terbitan Bandung: Penerbit Pustaka, 1999 Cetakan pertama

  • Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan

    sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

    1. Tujuan umum

    Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji tradisi spiritual

    Malâmatiyyah dan pengaruhnya terhadap teori dan praktek sufi.

    2. Tujuan Khusus

    2.1. Mengungkapkan asal usul Malâmatiyyah dalam sejarah perkembangan

    tradisi spiritual Islam awal.

    2.2. Mengkaji ajaran Malâmatiyyah

    2.3. Mengkaji pengaruh Malâmatiyyah terhadap ajaran dan praktek sufi

    E. Manfaat Penelitian

    1) Penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca tentang keragaman tradisi

    dan teori spiritual Islam

    2) Penelitian dapat menambah informasi mengenai sejarah, ajaran dan pengaruh

    tradisi spiritual Malâmatiyyah yang selama ini masih belum banyak diketahui.

    3) Penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pemerhati dan peneliti sufi,

    khususnya yang tertarik untuk mengkaji masalah Malâmatiyyah.

    F. Metode Penelitian

    1. Metode dan Pendekatan Penelitian

    Dalam penelitian serta penulisan tesisi ini, penulis menggunakan metode

    penelitian kualitatif yang mengandalkan informasi berbagai macam teori yang

    bersumber dari kepustakaan sebab pada dasarnya penelitian ini lebih menekankan

  • pada pencarian data dan informasi.30. Sedangkan pendekatan yang digunakan

    dalam tulisan ini adalah pendekatan interpretasi sejarah, sebuah pendekatan yang

    merekonstruksi sejarah dengan mencari episode-episode atau keteraturan-

    keteraturan yang sejajar (analog) dengan cara membandingkan dua peristiwa atau

    lebih, yakni yang berhubungan secara kausalitas maupun tidak31.

    2. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Hal

    ini ditujukan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi masalah terutama

    dalam mencari rumusan teori atau konsep agar penelitian yang dilakukan

    mendapatkan hasil yang obyektif serta dapat dipertanggungjawabkan secara

    akademis. Studi literatur lebih menuntut kejelasan peneliti serta menekankan

    pada aspek analisa dan kajian teks, yang melalui kajian teks tersebut peneliti dapat

    lebih mudah menentukan hipotesa ketika berhubungan dengan literatur primer

    dan skunder.

    Muhajir membedakan studi pustaka menjadi dua; pertama, studi

    kepustakan yang memerlukan alasan uji ketermaknaan empiris di lapangan.

    Kedua, kajian kepustakaan yang lebih memerlukan alasan filosofik dan teoritik

    daripada uji empirik32. Dalam penelitian ini, penulis lebih cenderung kepada jenis

    studi kepustakaan yang kedua.

    3. Sumber Data

    Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yakni data

    yang berupa konsep-konsep, teori-teori serta rumusan-rumusan yang relevan

    30 Lihat Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 14 31 Basri MS, Metodologi Penelitian Sejarah, h. 17 32 Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, h.296

  • dengan penelitian. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

    dapat diklasifikasikan menjadi dua:

    3.1. Sumber Primer

    Data primer yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah karya yang

    ditulis antara lain; (i) Risâlah Malâmatiyyah Sulamî yang terdapat dalam

    Malâmatiyyah wa al-Shûf iyyah wa Ahl al-Futuwwah karya Abû al-`Alâ `Afifi

    dan (ii) Thabaqât al-Shûfiyyah yang juga karya Sulamî.

    3.2 Sumber Sekunder

    Selain sumber primer di atas, penulis juga menggunakan sumber sekunder.

    Sumber sekunder yang dimaksud mencakup kitab, buku, hasil penelitian, jurnal

    serta artikel yang memiliki keterkaitan dengan kajian yang penulis angkat dalam

    tesis ini.

    4. Teknik Analisa Data

    Dalam mengungkap pengaruh Malâmatiyyah terhadap teori dan praktek

    sufi ini, penulis menggunakan teknik analisa deskriptif-analitis, yakni dengan

    mendeskripsikan data-data temuan kemudian dianalisa secara cermat dan

    selanjutnya diambil kesimpulan.

    G. Sistematika Penulisan

    Sistematika pembahasan dalam penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab

    yang saling terkait, namun masing-masing memiliki fokus berbeda sesuai dengan

    tuntutan penulisan karya ilmiah. Bab I mendeskripsikan permasalahan yang

    hendak dibahas secara menyeluruh, mencakup: Latar Belakang Masalah,

    Permasalahan, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode

    Penelitian, serta Siematika Penulisan. Bab II membahas Perkembangan Tradisi

  • Spiritual Islam yang mencakup Al-Qur'an dan Hadis: Dua Sumber Tradisi, Tradisi-

    tradisi Spiritual Islam (Zuhud, Sufi, Futuwwah dan Malâmatiyyah), serta

    Ortodoksi Sufi. Bab III mengkaji Tradisi Malâmatiyyah yang mencakup Asal Usul

    Malâmatiyyah dalam Lanskap Spiritualitas Khurasanian, Ajaran Malâmatiyyah

    serta Guru-guru Malâmatiyyah. Bab IV menguraikan Pengaruh Malamatiyyâh

    terhadap dunia Tasawwuf yang mencakup dua jalur keterpengaruhan

    Malamatiyyah, teori dan praktek sufi yang terpengaruh Malâmatiyyah serta Bab

    V yang berisi kesimpulan penelitian.

  • BAB II PERKEMBANGAN TRADISI-TRADISI SPIRITUAL ISLAM

    A. Wahyu dan Pribadi Nabi: Dua Sumber Tradisi

    Al-Qur'an, sebagaimana diyakini oleh seluruh umat Islam, merupakan

    wahyu Allah yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia33 sekaligus

    pembentuk pandangan hidup (world view) dan prilaku ummat Islam. Hal ini juga

    berlaku bagi kalangan spiritualis Muslim. Hanya saja, kaum spiritualis Muslim

    memaknai al-Qur'an tidak sekedar berangkat dari makna tektual al-Qur'an.

    Mereka berkeyakinan jauh di seberang rangkaian kata-kata yang terdapat dalam

    al-Qur'an, tersimpan makna esoteris (ma`nâ bâthin) yang mengantarkan

    kesadaran bagi dan hanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang memiliki

    kepekaan ruhani. Penekanan makna esoteris ini selanjutnya menginspirasikan

    kesadaran religius bagi para spiritualis Muslim walaupun mereka juga tidak

    menyalahkan metode pemahaman al-Qur'an pada umumnya34.

    Banyak sumber-sumber sejarah yang memberikan informasi kepada kita

    bahwa cara memahami al-Qur'an serupa sebenarnya bukan sesuatu yang baru,

    sebaliknya sudah dilakukan sejak abad pertama Islam. Pada abad pertama Islam

    terdapat beberapa sahabat yang dikenal memiliki kemampuan menyingkap makna

    esoteris yang dimaksud. Ibn Mas`ûd (w. 32 H), umpamanya, mengakui bahwa

    `Alî bin Abû Thâlib adalah orang yang memiliki pemahaman terhadap dua makna

    33 Q.S. 2: 185; Q.S. 3:4 34 Rumi melukiskan perbedaan dalam memaknai al-Qur'an ini sebagai berikut: "The Koran

    is a double-sided brocade. Some enjoy one side, and some the other. Both are true, since God desires that everyone should gain benefit from it…. ". Jalâl uddin Rumi, Discourses of Rumi or Fihi Ma Fihi terjemahan A.J. Arberry (Iowa: Omphaloskepsis, 2000), h. 145-146

  • al-Qur'an (makna eksoteris dan esoteris)35. Demikian pula dengan Ibn `Abbas,

    sahabat sekaligus sepupu yang didoakan oleh Nabi menjadi ahli tafsir36.

    Terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa suatu ketika Umar

    mendatanginya bersama beberapa orang veteran Perang Badar (Ahl Badar). Umar

    bertanya kepada Ahli Badar: "Apakah pendapat kalian tentang firman Allah

    Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan?"37. Sebagian menjawab: "Kita

    diperintah untuk memuji Allah dan meminta ampunan kepada-Nya ketika Ia

    memberikan pertolongan dan kemenangan". Sebagian yang lain terdiam. Lalu

    Umar berkata: "Apakah engkau juga berpendapat begitu, wahai Ibn `Abbâs?" Aku

    (Ibn `Abbâs) menjawab: "Ayat itu bermakna ajal Rasulullah SAW yang

    diberitahukan kepadanya. Allah berfirman: Jika telah datang pertolongan Allah

    dan kemenangan maka itu adalah tanda ajalmu (Muhammad) maka hendaklah

    engkau bertasbih dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampunlah kepada-Nya.

    Sesungguhnya Ia maha penerima taubat38". Kemudian Umar berkata: "Aku tidak

    mengetahui kecuali apa yang engkau katakan"39.

    Perenungan atas makna esoteris al-Quran serupa kemudian dilanjutkan

    oleh para tokoh spritual Islam yang pada gilirannya nanti sangat berpengaruh bagi

    pembentukan pandangan hidup, ajaran-ajaran tentang kesalehan individu ataupun

    cara membangunkan kesadaran spiritual para murid mereka. Hal ini tampak jelas

    35 Lihat Abû Nu`aim, Hilyat al-Awliyâ' (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h. 33 36 Hadis tentang do'a Nabi terhadap Ibn Abbas ini dapat dilihat dalam Hakim, Mustadrak

    `Ala Shahîhain (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) Hadis nomor 2348, juz 19, h. 391; Thabrani, Mu`jam al-Kabir, hadis nomor 10435, 10436, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th) juz 9, h. 95

    37 (Q.S. 110:1) 38 (Q.S. 110: 3) 39 Abû Nu`aim, Hilyat al-Awliyâ' Juz 1, h. 168. Riwayat tentang tafsir esoteris Ibn

    `Abbas ini juga digunakan Suyuthi sebagai legitimasi metode tafsir esoteris yang dalam disiplin ilmu al-Qur'an dikenal dengan istilah Tafsîr Isyârî. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî `Ulûm al-Qur'ân (Beirut, Dâr al-Fikr, t.th.), juz 1, h. 452

  • dengan adanya sejumlah tafsir esoteris yang ditulis oleh para tokoh spiritual Islam

    sebagai bentuk perenungan mereka terhadap kitab suci al-Qur'an. Nasr juga

    menyebutkan terdapat lembaran-lembaran tafsir esoteris yang ditulis oleh Ja`far

    al-Shâdiq (w. 145 H), Sahl bin `Abdullâh al-Tustâri (w. 283 H), Maybûdi (w. 520

    H) dan kitab tafsir Misykât al-Anwâr karya Ghazâli40. Demikian pula ensiklopedi

    tafsir Sulamî (w. 412 H), Lathâ'if al-Tafsîr, yang berisi kompilasi penafsiran

    esoteris para guru spiritual Muslim awal41. Abû al-Qâsim al-Qusyairî mengarang

    tafsir esoteris dengan judul Lathâ'if al-Isyârât42 dan Ibn `Arabî (w. 637)

    memberikan banyak komentar esoterik terhadap ayat-ayat al-Qur'an dalam dua

    buah karyanya, Futûhât al-Makkiyyah dan Tafsîr Ibn `Arabî. Banyaknya karya

    tafsir yang ditulis oleh para spiritualis muslim menunjukkan betapa besar

    perhatian mereka terhadap kitab suci al-Qur'an yang sekaligus juga berarti betapa

    besar pengaruh al-Qur'an terhadap diri mereka. Dalam konteks inilah, al-Qur'an

    dapat dikatakan sebagai sumber pertama sekaligus yang paling utama dalam

    proses pembentukan alur tradisi spiritual Islam di sepanjang sejarah.

    Di lain sisi, munculnya pemahaman esoteris terhadap al-Qur'an bukanlah

    semata-mata berangkat dari penghayatan personal yang dilakukan para spiritualis

    Muslim secara sepihak. Di luar faktor kecenderungan subyektif para spiritualis

    Muslim, Al-Qur'an sendiri memuat ayat-ayat yang secara literal sangat terbuka

    untuk ditafsirkan secara esoterik seperti kalimat "nahnu aqrab ilaih min habl al-

    40 Nasr, "Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia" dalam Leonard Lewisohn (ed)

    Warisan Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), h.36. 41 Kenneth Honerkamp, "A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on a Treatise

    by Abû `Abd al-Rahmân al-Sulamî" Terbitan online http://hnrkmp.myweb.uga.eduItineraryJISfootnotesfin.pdf (didownload pada 25-03-2007) h. 7; lihat juga Jalâluddin al-Suyûthi, Thabaqât al-Mufassirîn (Mesir: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.), Juz 1 h.17

    42 Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Thabaqât al-Mufassirîn, juz 1 h. 12

    http://hnrkmp.myweb.uga.eduitineraryjisfootnotesfin.pdf/

  • warîd" dalam Q.S. 50: 16; "fa'ainama tuwallû fa tsamma wajhullah dalam Q.S.

    2:115; "in huwa illâ wahyun yûhâ" dalam Q.S.53:4; dan ayat-ayat yang lainnya.43

    Sumber kedua tradisi spiritual Islam setelah al-Qur'an adalah pribadi dan

    ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW yang biasa disebut dengan hadis

    atau sunnah44. Bagi kalangan spiritualis Muslim, Nabi yang di dalam Al-Qur'an

    disebutkan sebagai personifikasi wahyu Tuhan45 pada hakikatnya adalah pribadi

    yang penuh dimensi spiritual. Peristiwa-peristiwa kenabian seperti bermeditasi

    (tahannuts), menerima wahyu46, menempuh perjalanan di malam hari (Isra') dan

    bertemu Tuhan dalam peristiwa mi'raj47 merupakan pengalaman-pengalaman

    spiritual yang paling agung sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi orientasi

    religius para spiritualis Islam di kemudian hari. Demikian juga halnya dengan

    personalitas Nabi, yang disifati dengan seluruh sifat-sifat yang mulia (akhlâq al-

    karîmah) sekaligus manusia paripurna (ma`shûm), mendapat perhatian yang

    sangat besar kalangan spiritualis Muslim48.

    43 Hal ini juga diakui oleh para peneliti Barat. Arberry, umpamanya, menyebutkan

    sejumlah ayat al-Qur'an yang sering digunakan sebagai dasar-dasar ajaran para spiritualis muslim awal, antara lain ayat yang menjelaskan hubungan manusia dan Tuhan (Q.S.2:186; Q.S.50: 16; Q.S.29:20; Q.S.2:115; Q.S.24: 35-42; Q.S. 53:4-18); tugas-tugas manusia (Q.S. 7:172; Q.S. 96: 19); Kerelaan dan cinta antara hamba dan Tuhan (Q.S.5: 119; Q.S.5:54). untuk lebih lengkapnya lihat A.J. Arberry, Sufism and Account of Mistics of Islam, h. 7-15

    44 Istilah Hadis atau Sunnah seringkali digunakan dalam pengertian yang sama, yakni setiap ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi.

    45 (Q.S. 53: 4) 46 (Q.S. 53:1-11) 47 (Q.S. 17:1); (Q.S. 53:13-18) 48 Para spiritualis muslim awal banyak yang mendekatkan pengalaman pribadinya dengan

    pengalaman kenabian Rasulullah. Abû Yazîd, umpamanya, walaupun dengan derajat yang tidak lebih tinggi dari pengalaman spiritual kenabian, namun mengaku melakukan Mi`râj Rohani. Lihat Farîd al-Dîn al-Aththâr, Muslim Saints and Mistics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliyâ' terjemahan A.J. Arberry (Iowa: Omphaloskepsis, 2000). h.126-132). Konsep Insân al-Kâmil Jîlî tampaknya menggunakan konsep ma`shûm yang terdapat dalam doktrin kenabian sebagai sumber inspirasi.

  • Demikian halnya dengan ajaran-ajaran Nabi. terdapat hadis-hadis yang

    benar-benar terbuka untuk memotivasi kalangan spiritualis muslim dalam

    menempuh perjalanan spiritual mereka. Salah satu hadis yang populer di

    kalangan para spiritualis muslim adalah hadis yang mengungkap hubungan cinta

    yang misterius antara seorang hamba dan Tuhannya. Hadis yang dimaksud adalah:

    "Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka aku akan mengumandangkan peperangan kepadanya. Tidak ada yang lebih aku cintai dari hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku kecuali apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Tidak henti-hentinya hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan mengerjakan [ibadah] nawâfil sehingga Aku pun mencintainya. Ketika Aku mencintainya maka Akulah Pendengaran yang digunakannya untuk mendengar, Pengelihatan yang digunakannnya untuk melihat, Tangan yang digunakannya untuk bertindak, Kaki yang digunakannya untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberikannya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya..."49

    Di samping hadis di atas, terdapat hadis lain yang menunjuk nama Uways

    al-Qarni50 sebagai seorang yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan dan dipercayai

    sebagai kekasih Tuhan oleh para spiritualis muslim. Uways adalah seorang yang

    hidup semasa dengan Nabi namun tidak pernah berjumpa dengan Nabi sebab Ia

    sendiri disibukkan mengabdi kepada ibunya. Walaupun tidak pernah bertemu

    sama sekali akan tetapi Nabi mengetahui keistimewaan Uways di sisi Allah. Nabi

    49 Lihat Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Hadis nomor 6021, juz 2, h.158; Ahmad bin Hanbal,

    Musnad Ahmad, hadis nomor 24997 juz 53, h. 155; Thabrâni, Mu`jam al-Kabir, hadis nomor 12551, juz 10, h. 291; Ibn Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, hadis nomor 348, juz 2, h. 185

    50 Tidak ada sumber yang dapat memastikan tahun kelahiran Uways, sedangkan untuk tahun meninggal Uways al-Qarni, terdapat sejumlah versi yang berbeda. Ada versi yang menyebutkan jika Uways gugur di Perang Shiffin; meninggal di Herat; gugur di Damaskus dan gugur di Armania pada masa Umar bin Khaththab. Manawi, Al-Kawâkib al-Dzurriyyah fî Tarâjim Sâdât al-Shûfiyyah (Mesir: Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turâts), juz 1, h.155

  • memerintahkan Umar dan umat Islam untuk meminta do'a kepada Uways agar

    Allah mengampuni dosanya dan dosa seluruh ummat Islam51.

    Hadis Qudsi dan hikayat Uways al-Qarni di atas mengukuhkan eksistensi

    hamba Allah yang memiliki keistimewaan karena kedekatan hubungannya

    dengan Tuhan dibanding dengan hamba-hamba Allah yang lain. Bagi kalangan

    spiritualis muslim, kedekatan serupa bukan saja sekedar motivasi untuk beribadah,

    akan tetapi lebih jauh lagi memberikan inspirasi mencapai derajat sebagaimana

    yang tertera di dalam hadis tersebut.

    Sebagian pengkaji Barat sempat mengecilkan eksistensi al-Qur'an dan Nabi

    sebagai faktor utama yang menentukan pertumbuhan tradisi spiritual Islam. Entah

    sebab kekurangpahaman mereka terhadap tradisi spiritual Islam atau karena

    adanya unsur kesengajaan. Banyak spekulasi teoritis para pengkaji Barat terlalu

    berambisi membuktikan keterpengaruhan tradisi spiritual yang berkembang di

    dunia Islam dengan tradisi-tradisi non-Islam. Idries Syah menyebutkan sejumlah

    kesimpulan para sarjana yang memiliki kecenderungan ini. Ada yang

    berpandangan tradisi spiritual Islam merupakan penyimpangan ajaran Kristen,

    terpengaruh Vedanta Hindu. reaksi melawan intelektualisme Islam. bekas

    Samanisme Asia Tengah. dipengaruhi oleh Neoplatonisme, inisiasi monastisime

    Kristen, berasal dari Manichaeism atau sebagai sekte kecil Persia52.

    Beberapa kajian Sufi mutakhir memusatkan perhatiannya pada

    kecenderungan para orientalis dalam menulis kajian mereka tentang tradisi

    51 Manâqib Uways diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, antara lain: Muslim, Shahîh

    Muslim, hadis nomor 4612, juz 12 h. 372; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, hadis nomor 15377 Juz 32 h. 129; Baihaqi, Dalâ'il al-Nubuwwah, hadis nomor 2659-2664, juz 7, h. 191-198; Abû Nu`aim, Ma`rifat al-Shahâbah, hadis nomor 939-941, juz 3, h. 204-206; Hakim, Mustadrak `alâ Shahîhain hadis nomor 5730-5752, Juz 13, h. 186-200

    52 Idries Shah, The Sufis, h. 11

  • spiritual Islam ini. Dalam tulisannya "Sufism in the Light of Orientalism",

    Uždavinys sampai pada sebuah kesimpulan bahwa upaya mengait-ngaitkan tradisi

    spiritual Islam, khususnya tradisi sufi, dengan unsur-unsur non-Islam adalah

    sesuatu yang sangat bias. Menurutnya, bias dalam kajian tradisi spiritual Islam

    tersebut adakalanya lahir dari stereotype Barat terhadap Islam atau sebagai

    dampak semangat Romantisisme Eropa53. Dari sudut pandang berbeda, Carl W.

    Ernst mengungkapkan sebuah fakta lain ketika upaya memisahkan tradisi spiritual

    Islam dengan agama Islam ternyata memiliki hubungan dengan sejarah

    Imperialisme Barat. Pada tahun 1800, Sir John Malcolm yang merupakan duta

    besar British East India Company ketika itu, secara eksplisit melakukan pemisahan

    Sufism dan Islam dalam karyanya. Ia juga berafiliasi dengan otoritas Aga

    Mohamed Ali membujuk Raja Persia untuk mendukung pencekalan terhadap

    pemimpin Sufi dengan alasan bahwa mereka merupakan representasi

    penyimpangan moral dan perusakan agama.54

    Oleh sebab itu, sudah seharusnya bagi para pemerhati dan peminat kajian

    spiritual Islam untuk berlaku kritis dan selektif terhadap kajian-kajian ilmiah yang

    dilakukan oleh peneliti Barat. Sebab tidak menutup kemungkinan di balik kajian

    ilmiah tentang tradisi spiritual Islam terdapat sikap yang sejatinya kurang

    bersahabat terhadap Islam meskipun mengabaikan kajian mereka sama sekali

    bukanlah sikap yang bijak karena terdapat juga sejumlah orientalis yang sangat

    berhati-hati dalam menyikapi masalah ini. Browne dalam Davis, secara jujur

    53 Lihat Algis Uždavinys, "Sufism in The Light of Orientalism" Uždavinys, Algis, "Sufism in

    The Light of Orientalism" Terbitan Online http://leidykla.eu/fileadmin/ Acta_Orienatalia_Vilnensia/6_2_/Algis_Uzdavinys.pdf (di download pada tanggal 05 Juli 2007), h.116-118

    54 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliyah Tasawwuf. Terjemahan Arif Anwar (Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 12-13

    http://leidykla.eu/fileadmin/%20Acta_Orienatalia_Vilnensia/6_2_/Algis_Uzdavinys.pdfhttp://leidykla.eu/fileadmin/%20Acta_Orienatalia_Vilnensia/6_2_/Algis_Uzdavinys.pdf

  • mengakui bahwa spekulasi teoritis seputar masalah persoalan asal usul tradisi

    spiritual Islam ini sangat rumit dan seluruh asal usul tradisi spiritual Islam ini

    belum dapat dikatakan dapat dipertanggungjawabkan55. Nicholson juga

    berpandangan sama dengan Browne, bahkan ini menekankan untuk tidak

    membesar-besarkan masalah keterpengaruhan ini56. Sementara Hodgson

    berpendapat bahwa tradisi spiritual Islam diakuinya sebagai sesuatu yang benar-

    benar Islami. Konversi agama para rahib Kristen yang kemudian menjadi bagian

    dari komunitas spiritual Islam tidak menularkan kekristenan mereka, sebaliknya

    meninggalkan kekristenan itu sendiri57.

    B. Tradisi-tradisi Spiritual Awal

    Tradisi spiritual Islam sudah berkembang seusia dengan perkembangan

    agama Islam itu sendiri. Satu hal yang layak mendapatkan perhatian khusus,

    bahwa pada masa-masa awal (abad I hingga III Hijriyyah) tradisi spiritual Islam

    tidak lahir dalam bentuk yang seragam. Sebaliknya, ia mengambil corak dan

    karakteristik yang unik di setiap penggal waktu dan di sejumlah kawasan.

    Demikian juga tradisi spiritual –setidaknya hingga abad ketiga Hijriyah- tidak

    memiliki nama tunggal. Sejumlah sumber menyebutkan istilah-istilah berbeda

    untuk mengidentifikasi sejumlah tradisi spiritual yang dikenal memiliki kegigihan

    luar biasa dalam menempa kehidupan keagamaan dan spiritual mereka. Nama-

    55 Lihat Hadland Davis, Wisdom of The East: The Persian Mystics Jalâluddin Rumi

    (London: John Murray Albemarle Street, 1912), h.11 56 Lihat Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di Dalam Mencari

    Keridhaan Allah terjemahan R. Soerjadi Djojopranoto (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) Cetakan kedua, h. 18

    57 Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia: Buku Kedua terjemahan Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002), h. 207

  • nama tradisi spiritual tersebut antara lain: fuqarâ'58, zuhhâd59, Ahl-al-

    Mahabbah60, Jû`iyyah61, Sufi62, Futuwwah63 dan Malâmatiyyah64.

    Diantara nama-nama tersebut ada yang hanya berbeda pada tataran

    sebutan saja namun ada juga yang berbeda dari segi orientasi dan ajaran spiritual

    dalam menghayati kehidupan keagamaan mereka. Fuqâra', Zuhhâd dan Jû`iyyah

    adalah tiga nama yang dapat dikategorikan ke dalam rumpun zuhud. Ketiganya

    masih murni menekankan tradisi beribadah praksis (`amaliyyah) sebagai jalan

    mendekatkan diri kepada Tuhan. Ahl al-Mahabbah dapat dimasukkan ke dalam

    rumpun Sufi karena kental dengan orientasi mistik. Sementara Futuwwah dan

    Malâmatiyyah dapat dikatakan sebagai dua tradisi yang memiliki corak dan

    langgam tradisi yang berbeda, baik dari tradisi zuhud maupun sufi.

    Perlu juga ditekankan di sini, bahwa apa yang dikemukakan penulis

    mengenai pembagian tradisi-tradisi spiritual Islam ini sifatnya relatif dan tidak

    bersifat absolut. Sebab masing-masing tradisi spiritual Islam tidak pernah sama

    58 Dinisbatkan kepada kaum Muhajirin yang rela meninggalkan harta dan keluarga mereka

    walaupun harus menanggung kemiskinan demi Hijrah bersama Nabi (Q.S. 59: 8) 59 Dinisbatkan kepada Ahl al-Shuffah, sahabat yang hidup di beranda masjid Nabi

    Madinah. Abd al-Hakim, Madzâhib al-Shûfiyyah wa Madârisuha (Kairo: Maktabah Madbuli, 1999) Cetakan kedua, h. 48

    60 Kemungkinan dinisbatkan kepada para pengikut Râbi`ah al-Adawiyah dari Bashrah. 61 Dinisbatkan kepada komunitas spiritual kota Syam yang hanya sedikit sekali makan dan

    menghabiskan waktu mereka untuk beribadah. Qusyairi, Risâlah Qusyairiyah, h. 117 lihat juga Kalabadzî , al-Ta`rruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993) h. 11-12

    62 Terdapat silang pendapat mengenai asal usul penggunaan istilah ini. Keterangan mengenai asal usul Shufiyah akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.

    63 Dinisbatkan kepada komunitas spiritual kota Khurasan yang menekankan sifat keksatriaan, kedermawanan serta meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. lihat Abû al-`Alâ `Afîfî, Al-Malâmatiyyah wa al-Shûfiyah wa Ahl al-Futuwwah (Kairo: Dâr al-Ihya' al-Kutub al-``Arabîyyah, 1945), h. 14

    64 Dinisbatkan kepada komunitas spiritual kota Nishafur yang menempuh "jalan kesalahan" sebagai Jalan spiritualitas mereka. `Afîfî, Al-Malâmatiyyah...h, 1

  • secara keseluruhan namun juga tidak pernah berbeda secara keseluruhan. Artinya,

    terdapat persinggungan antar-tradisi yang menjadikannya memiliki kesamaan

    namun tetap unik. Belum lagi jika ditambah dengan faktor individualitas yang

    dominan dan sangat menentukan keunikan masing-masing komunitas spiritual

    pada tingkat yang lebih detil65.

    1. Zuhud

    Tradisi spiritual tertua sekaligus sumber dari seluruh tradisi spiritual Islam

    adalah asketisme yang lebih dikenal dengan Zuhud (zuhd). Jurjani mendefinisikan

    zuhud sebagai "meninggalkan kecenderungan terhadap sesuatu"66. Sementara

    dalam Lisân al-`Arab, zuhud jika dihubungkan dengan dunia berarti lawan kata

    dari rughbah (gemar) dan harsh (rakus)67. Dengan kata lain, zuhud dapat diartikan

    sebagai orientasi hidup yang meninggalkan keterikatan terhadap dunia/materi

    demi hal-hal yang bersifat ukhrawi atau spiritual.

    Walaupun dasar-dasar penggunaan term zuhud dalam pengertian ini tidak

    terdapat dalam al-Qur'an68 akan tetapi ayat-ayat yang menekankan kesadaran

    untuk melepaskan diri dari keterikatan terhadap hal-hal yang bersifat materi

    (dunia) dan mengutamakan kehidupan ukhrawi dengan mudah dapat dicarikan

    dasarnya. Di antaranya adalah ayat "Allah meluaskan rezeki dan

    menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan

    65 Menyadari besarnya pengaruh individu dalam pembentukan tradisi spiritual ini,

    Hujwiri mengklasifikasi komunitas sufi berdasarkan pada nama-nama guru spiritual mereka, Lihat Hujwiri, The Kashf al-Mahjûb: The Oldest Persian Treatise on Sufiism terjemahan Reynold A. Nicholson (London: Luzac & CO, 1911), h. 176-266

    66 Lihat Jurjâni, Ta`rîfât, h. 37 67 Lihat Afriqi, Lisân Al-`Arab (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) Juz 3, h. 196. 68 Satu-satunya ayat yang menyebutkan derivasi dari kata zuhud adalah Q.S. 12:20.

    Namun kata zuhud dalam ayat tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan zuhud sebagai tradisi spiritual.

  • kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan

    akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)".69 "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya

    kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan

    dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya

    harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;

    kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning

    kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan

    ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain

    hanyalah kesenangan yang menipu".70 "Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan

    senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya

    kehidupan, kalau mereka mengetahui". 71

    Sebagaimana disepakati oleh seluruh pakar, kemunculan tradisi zuhud

    sudah dimulai di masa diturunkannya al-Qur'an dan bertalian langsung dengan

    pribadi Nabi72. Banyak sumber-sumber sejarah yang menunjukkan sikap

    kezuhudan Nabi dan anjuran mempraktikkan pola hidup zuhud, demikian halnya

    dengan para Sahabat73. Dalam sumber-sumber tersebut, Rasulullah dideskripsikan

    sebagai penempuh jalan asketik sepanjang waktu. Beliau mengedepankan pola

    69 Q.S. 13: 2670 Q.S. 57:2071 Q.S. 29:46) 72 "It is asserted by Muslims that Sufism had its rise in Muhammad himself, and that all

    the religious orders trace their lines of succession back to him" . Lihat John A Subhan, Sufism Its Saints and Shrines: An Introduction to the Study of Sufism with Special Reference to India (Lahore: Lucknow Publishing, 1938), h. 7

    73 Musthafâ bin `Abdullâh al-Hanafî, menyebutkan bahwa ajaran dan praktik zuhud yang bersumber dari Nabi ini termuat dalam kompilasi khusus yang ditulis oleh sejumlah ulama, antara lain: `Abdullah bin al-Mubârak (w. 180), Ahmad bin Hanbal (w. 241), Muhammad bin Ahmad al-Sya`bî, Hisyâm bin Sarî (w. 243), (w. 234), Waki` bin Jarrâh, Abû Dâwûd, Ibn Abî al-Dunyâ, Imam Baihaqî (w. 458), dan Ahmad bin Harb al-Nîsâbûrî . Qistanthini, Kasyf, al-Zhunûn (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) Juz 2, h. 1422

  • hidup sederhana, baik dalam sandang, pangan, maupun papan. Aisyah, salah

    seorang istri Nabi, mengaku bahwa ia dan Nabi pernah dua bulan makan hanya

    dengan kurma dan air (aswadân)74. Nabi juga menambal sandalnya, menjahit

    pakaiannya yang robek, menimba dengan tangan sendiri75 serta tidak

    meninggalkan harta yang cukup berharga ketika meninggal dunia76. Dalam

    kehidupan kesehariannya, Nabi menjalin persahabatan yang hangat dengan Ahli

    Shuffah, sekelompok sahabat yang mengabdikan waktunya untuk beribadah

    kepada Allah di serambi Masjid Nabawi Madinah. Mereka makan dan tidur di

    masjid tanpa berniaga akan tetapi Nabi sangat menyayangi mereka, duduk dan

    makan bersama mereka serta menganjurkan umat Islam untuk menghormati dan

    mengenali keutamaan mereka77.

    Sikap Zuhud yang ditampilkan Nabi ini memiliki dampak besar bagi para

    sahabat, terutama sahabat yang memiliki hubungan dekat dengan beliau. Abû

    Bakar al-Shiddiq, diriwayatkan selama enam hari dalam seminggu selalu dalam

    keadaan lapar. Ia pernah berkata: "Jika seorang hamba begitu terpesonakan oleh

    sesuatu hiasan dunia, Allah membencinya sampai dia kehilangan perhiasan itu".78.

    Sarrâj mengemukakan bahwa Umar bin Khattab pernah berkhutbah di hadapan

    ummat Islam sambil mengenakan pakaian dengan 12 tambalan79. Sedangkan

    74 Lihat Bukhâri, Shahîh Bukhârî (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hadis nomor 5978, juz 2, h.93.

    lihat juga Muslim, Shahîh Muslim (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) hadis nomor 5258, juz 3 h.312 75 Ibn Hanbal, Kitab Al-Zuhd (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), h.17 76 Muslim, shahih Muslim, hadis nomor 3087, juz 2, h.74. Dalam versi lain Ibn Abbas

    berkata:. Ibn Hanbal, Kitâb al-Zuhd, h.17 77 Menurut Abd al-Hakim, dari Ahl Shuffah ini istilah zâhid digunakan sebagai sebutan

    untuk para penempuh jalan asketik di seluruh kawasan Islam. Lihat Abd al-Hakim, al-Madzâhib al-Shûfiyyah wa Madârisuhâ, h. 48)

    78 Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung, Penerbit Pustaka, 1997) Cetakan kedua, h. 48

    79 Sarrâj, Al-Lumâ` fî Târîkh al-Tashawwuf, h.134

  • Utsman sekalipun termasuk sahabat yang kaya akan tetapi lebih menyukai

    mendermakan hartanya ketimbang menumpuknya. Utsman membekali pasukan

    Nabi pada masa paceklik dan ia juga membeli sumur seorang Yahudi yang

    melarang umat Islam menimba air dari sumur itu. Ia pernah berkata "Andai saja

    aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang yang dapat ku tutup

    dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya".80 Demikian halnya

    dengan Ali bin Abî Thâlib. Ali dipandang figur yang paling tegas dalam

    menjalankan kehidupan zuhud. Suatu ketika ia pernah berkata kepada Umar bin

    Khattab "Seandainya engkau akan menemui seorang sahabat, tamballah bajumu,

    perbaikilah sandalmu, ciutkan harapanmu dan makanlah tidak sampai kenyang"81.

    Tradisi kezuhudan tampaknya sudah menjadi karakteristik umum pada

    generasi pertama Islam (baca: Sahabat). Kezuhudan dalam periode ini muncul

    sebagai spirit religiusitas dalam melakukan beribadatan murni kepada Allah,

    meninggalkan hawa nafsu dan kemaksiatan, menjaga diri dari segala sesuatu yang

    haram, meninggalkan berlebih-labihan dalam hal-hal yang diperbolehkan

    (mubâh) karena kenikmatan duniawi tidak pernah kekal sedangkan kenikmatan

    ukhrawi abadi tidak akan pernah sirna. Adakalanya zuhud di masa ini bersamaan

    dengan kefakiran dan adakalanya bersamaan dengan kekayaan. Artinya, zuhud

    merupakan laku hati (`amal al-qalbî) melepaskan kecenderungan hati kepada

    80 Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 50 81 Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, h. 52. Sarrâj juga menyebutkan sederetan nama

    sahabat yang dikenal karena tingkat kedisiplinannya yang tinggi dalam menjalani hidup zuhud, mereka antara lain Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khaththab, `Utsman bin `Affan, `Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin `Abdullah, Mu`adz bin Jabal, Salman al-Farisi, Abu Darda', Abu Dzar al-Ghifari, Habib bin Maslamah, Abu `Ubaidah, `Abdullah bin Mas`ud, `Abdullah bin `Abbas, Anas bin Malik, `Abdullah bin `Umar dan Hudzaifah bin al-Yaman. Lihat Al-Sarrâj, Al-Lumâ` fî Târîkh ak-Tashawwuf, h. 130-150

  • kenikmatan duniawi82. Sebaliknya, mencintai dunia dipandang sebagai sesuatu

    yang asing. Hal ini dapat dilihat dari keterkejutan Ibn Mas`ud, tentang adanya

    sebagian ummat Islam yang mencintai dunia ketika diturunkannya ayat Q.S. 3:152

    menyusul kekalahan ummat Islam di Perang Uhud83..

    Sepeninggal Nabi Muhammad, tradisi zuhud ini masih terus dipraktikkan

    oleh umat Islam. Empat khalifah pertama secara disiplin tetap menempuh jalan

    kezuhudan bahkan ketika mereka telah menjadi penguasa tertinggi ummat Islam

    dengan daerah kekuasaan yang sangat luas. Umar, ketika menjadi Khalifah,

    pernah berkhutbah di hadapan publik mengenakan pakaian dengan 12 tambalan84.

    Usman bin Affan selalu menjamu orang-orang dengan hidangan yang biasa

    disuguhkan untuk penguasa kemudian ia sendiri masuk ke dalam rumahnya dan

    hanya memakan cuka dan buah zaitun85.

    Namun menurut pendapat `Abd al-Hakim, seiring dengan penaklukan di

    periode Khulafâ al-Râsyidîn, khususnya pada periode Umar bin Khaththab, mulai

    terjadi pergeseran praktik kezuhudan di kalangan umat Islam. Kemenangan-demi

    82 Hamid Ahmad Thahir dalam Muqaddimah Kitab al-Zuhd karya Ahmad bin Hanbal, h.7.

    Syaibî menganalisa kezuhudan di abad pertama Islam pada hakikatnya adalah upaya Nabi dalam memangkas budaya aristokrasi Quraisy (lihat Syaibî, al-Shilat bain al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu` (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, t.th) Cetakan kedua, h. 240

    83 Ketika itu, Ibn Mas`ud berkata: "Aku sama sekali tidak menyangka diantara kami terdapat seseorang yang menginginkan dunia sehingga turun ayat "Sebagian dari kalian terdapat orang-orang yang menghendaki dunia dan sebagian lagi terdapat orang-orang yang menghendaki akhirat!" . Lihat Abû Thâlib al-Makkî, Qûth al-Qulûb (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) Juz 1, h. 551

    84 Sarrâj, Al-Lumâ`, h. 134. Hujwiri menyebutkan 40 tambalan. Lihat Hujwîrî, The Kashf al-Mahjûb…, h. 45

    85 Sya`rani , Al-Thabaqât al-Kubrâ (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), juz 1. h. 19 Dalam melukiskan kezuhudan yang ditekuni oleh mayoritas umat Islam dalam periode ini Syabi menyatakan "…umat Islam awal hingga para khalifah mereka menggunakan pakaian dari katun, makan makanan yang sederhana. Hal tersebut bukanlah dilakukan sebagai ibadah tambahan atau sesuatu yang dihubungkan dengan keimanan khusus akan tetapi semata-mata karakteristik agama Islam yang meresap ke dalam jiwa mereka…". Syaibî, al-Shilat…, h.241

  • kemenangan yang juga berarti rampasan perang membuat sebagian umat Islam

    mulai mencintai kesenangan kehidupan duniawi. Kenyataan ini memicu sebagian

    pribadi dan sekelompok kecil umat Islam untuk menjaga spiritualitas agama

    mereka dengan jalan mengasingkan diri dan memutus interaksi sosial. Salah

    seorang sahabat yang terkenal paling ekstrem dalam melakukan pengasingan diri

    ini adalah Abû Dzar al-Ghifârî86.

    Faktor lain yang turut berperan meningkatkan penyebaran tradisi zuhud di

    abad pertama Islam ini adalah terbunuhnya Utsmân bin `Affân dan `Ali bin Abî

    Thâlib yang berdampak pada disintegrasi sosial-politik umat Islam, menyebarnya

    fitnah, pengkhianatan, kebohongan serta pertumpahan darah. Kondisi yang tidak

    kondusif ini semakin meningkatkan jumlah umat Islam yang membatasi

    kehidupan sosial demi menjaga kesalehan agama mereka87. Populasi komunitas-

    komunitas religius tersebut semakin meningkat ketika kondisi politik di bawah

    kekuasaan Dinasti Bani Umayyah berkuasa. Sebuah kekhalifahan yang sejak awal

    kurang mendapatkan legitimasi dari kalangan umat Islam88. Kelaliman dan gaya

    hidup glamour para penguasa dan pejabat dinasti ini –kecuali Umar bin `Abd al-

    `Aziz89- memiliki dampak yang sangat besar yang memicu meluasnya asketisme di

    tubuh umat Islam.

    86 Abd al-Hakim, Madzâhib al-Shûfiyyah… h. 54 87 Abd al-Hakim, Madzâhib al-Shûfiyyah…, h. 56 88 Ketika menjabat sebagai Khalifah, Mu`awiyah bin Abî Shofyan melaksanakan Khutbah

    sebelum shalat (hari raya) karena jika khutbah dilaksanakan setelah sholat ia takut khutbahnya tidak didengar oleh ummat Islam. Maqdisi, Kitâb al-Bad' wa al-Tarîkh, Juz 6, h. 6

    89 Pengecualian Umar bin `Abdul Aziz ini besar kemungkinan disebabkan oleh kesalehan pribadi dan hubungan dekatnya dengan para zahid. Dan para zâhid pun tampak memberi penghormatan besar kepadanya. Sofyan al-Tsauri meletakkan namanya sejajar dengan Khalifah al-Rasyidin dalam pernyatannya: (Khalifah hanya ada lima, Abû Bakar, Umar, Usman, Ali dan Umar bin Abd al-Aziz). Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthîî, Târîkh al-Khulafâ' (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.) h. 93. Umar bin Abd al-Aziz juga berguru dan menjalin persahabatan yang kental dengan kaum

  • Gaya hidup istana Dinasti Umayyah di Damaskus telah memutarbalikkan

    citra lembaga kekhalifahan yang sebelumnya telah dicontohkan oleh Khulafâ' al-

    Râsyidîn sebagai lembaga yang ditandai dengan praktik kezuhudan dan

    kesederhanaan menjadi lembaga yang hidup dalam kemewahan dan berlebih-

    lebihan. Para penguasa Umayyah telah tenggelam ke dalam kehidupan duniawi

    dan melupakan kesalehan sebagai perhiasan para khalifah. Yazîd bin Mu`âwiyah

    adalah khalifah pertama yang suka mabuk-mabukan sehingga dijuluki Yazîd al-

    Khumûr, Yazîd Arak. Yazîd minum setiap hari, Al-Walid I minum dua kali sehari,

    Hisyam minum setelah salat Jum`at, `Abd al-Malik minum sekali dalam sebulan,

    Yazîd II tergila-gila kepada dua biduwanitanya, Salamah dan Habibah dan gelar

    peminum terhebat dipegang oleh Al-Walid II yang keras kepala dan suka berfoya-

    foya90. Sementara di luar kehidupan istana, perlawanan ideologis tak kenal lelah

    datang dari kelompok-kelompok Khawarij91 dan Syi`ah92. Keterlibatan sejumlah

    kota dalam gejolak politik merebutkan kekuasaan ini mengakibatkan

    meningkatnya angka kemiskinan di beberapa kota sepanjang kekuasaan Banî

    Umayyah.

    spiritualis muslim bahkan ketika ia terpilih menjadi khalifah, Umar memanggil guru-guru spiritualnya untuk minta nasihat. lihat Fariduddin Aththâr, Muslim Saints and Mystics…, h. 58

    90 Hitti, Philip K., History of The Arab. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi, 2006) Cetakan kedua, h. 184

    91 Khawârij secara harfiyah berarti orang-orang yang keluar. Dinisbatkan kepada pasukan yang semula mendukung Ali tapi setelah terjadinya Arbitrase (tahkîm) merasa kecewa dan berbalik memusuhinya. Kelompok ini mengkafirkan `Alî, bin Abî, `Utsman, orang yang terlibat pada Perang Jamal, orang yang terlibat dalam arbitrase, dan kewajiban menentang penguasa yang lalim. Lihat Abû al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Farq bain al-Firaq (Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, t.th) h. 55. Lihat juga Sahristâni, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002) Cetakan kedua, h. 28-29

    92 Syi`ah secara harfiyah berarti pendukung. Dalam disiplin teologi Islam, term ini dinisbatkan kepada para pendukung fanatik `Ali bin Abî Thalib yang berkeyakinan bahwa pasca meninggalnya Nabi, hak kepemimpinan agama dan politik ummat Islam (imâmah) jatuh kepada Ali dan keturunannya. Lihat Syahristâni, al-Milal wa al-Nihal, h. 39

  • Dalam situasi seperti ini, para zahid yang banyak mengkhususkan

    waktunya untuk beribadah secara perlahan menggantikan para khalifah sebagai

    simbol kesalehan agama. Figur zâhid terbesar di periode Umayyah ini adalah

    Hasan al-Bashrî (w. 110 H) yang menempuh jalan asketik. Sebelumnya Hasan

    adalah anak seorang budak di Madinah dan dibesarkan di lingkungan keluarga

    Nabi. Setelah menetap di Bashrah, Hasan menjadi seorang ulama yang sangat

    terkenal karena kesalehannya. Ia merenungkan semangat al-Qur'an dan

    menunjukkan hasil-hasilnya dalam tingkah lakunya yang jujur dan tidak

    mengenal takut. Tak segan-segan untuk mengkritik pemerintahan Umayyah,

    ketika ia pikir mereka salah93. Bagi kalangan spiritualis Muslim, Hasan Bashrî

    merupakan salah satu figur yang otoritatif dalam mengukuhkan ajaran mereka.

    Menurut Subhan, motivasi para zahid awal dalam memutus kesenangan

    duniawi lebih disebabkan oleh perasaan berdosa, rasa takut terhadap Allah dan

    pengadilan-Nya kelak94. Hasan dilukiskan sebagai seorang yang seringkali

    menangis karena takut akan siksa Allah. Dikisahkan suatu ketika Hasan ditanya

    kenapa ia menangis, Hasan pun menjawab: "Aku takut Ia melemparkanku ke

    dalam api neraka"95 Yang perlu digarisbawahi dari tradisi spiritual yang sudah

    berkembang sejak periode awal Islam ini adalah, jalan spiritualitas ditempuh

    dengan jalan melaksanakan seluruh peribadatan, baik yang sifatnya wajib maupun

    sunnah, menjaga diri dari kecenderungan untuk mencintai harta, berpola hidup

    sederhana serta melakukan seluruh amal kebajikan kepada sesama manusia serta

    menghiasi diri dengan budi pekerti terpuji (al-akhlâq al-karîmah).

    93 Hodgson, The Venture of Islam…, h. 22-23 94 Lihat John A Subhan, Sufism its Saints and Shrines…. h. 8-9 95 Ibn Jauzi, Shifat al-Shafwah (Iskandaria: Dâr Ibn Khaldûn , t.th) Juz 2, h. 612

  • 2. Sufi

    Tradisi kedua yang lahir di tengah masyarakat Islam adalah tradisi sufi.

    Sebagaimana halnya zuhud, istilah sufi tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun

    Hadis Nabi. Mengenai asal usul kata ini, terjadi silang pendapat di kalangan para

    pakar96. Menurut Ibn Khaldûn , tasawwuf berasal dari kata shûf karena sebagian

    besar mereka mengenakannya untuk membedakan diri dengan masyarakat umum

    yang menggunakan pakaian yang bagus. Hal ini didukung oleh pendapat Ibn

    Taimiyyah dalam Abû al-Karim Khatib, yang berpandangan bahwa kata shûfiyyah

    dinisbatkan kepada pakaian shûf .97

    Penisbatan istilah sufi dengan kata shûf (pakaian yang terbuat dari bulu

    domba) merupakan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan. Hujwiri dalam

    96 Pendapat mengenai varian makna istilah sufi dapat dilihat dalam Sarrâj, Al-Luma…,, h.

    27-29; Qusyairi, Risâlah al-Qusyairiyah, h. 126-128 , Kalabadzî , al-Ta`arruf….h. 9-21. Sementara varian definisi tentang sufi dan tasawwuf yang terdapat dalam teks-teks klasik, menurut Schimmel, mungkin dimaksudkan sebagai paradoks yang dimaksudkan untuk mengejutkan pendengar, untuk menyulut pembicaraan, untuk membingungkan kemampuan berpikir logis sehingga bisa menimbulkan suatu pemahanan non logis tentang makna kata itu sebenarnya. Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003) Cetakan kedua, h.13. Schimmel juga berpendapat bahwa varian definisi tentang sufi dan tasawwuf yang terdapat dalam teks-teks klasik mungkin dimaksudkan sebagai paradoks yang ditujukan untuk mengejutkan pendengar, menyulut pembicaraan, membingungkan kemampuan berpikir logis sehingga bisa menimbulkan suatu pemahanan non-logis tentang makna kata itu sebenarnya. Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, h.13

    97 Abû Karim Khatib, Nasy’ah al-Tashawwuf, h.37-38. Ibn Jauzi juga menyebutkan sejumlah spekulasi teoritis tentang asal sulu sufi. teori tentang asal usul Shufi . Pertama, tasawwuf dinisbatkan kepada kata shûfah sebagai julukan Ghaits bin Murri, seorang ahli ibadah di Masjid al-Haram di masa pra Islam; kedua, berasal dari Ahl al-Shuffah , para sahabat yang tidak memiliki harta dan sanak saudara kemudian berdomisili di serambi masjid Nabi Madinah; ketiga, berasal dari Shufânah, orang-orang yang merasa cukup dengan hanya memakan tetumbuhan gurun; keempat, berasal dari Shûfat al-Qafa, syair berima yang biasa digunakan oleh kaum sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memalingkan diri dari manusia; kelima, berasal dari shûf , komunitas spiritualis muslim yang biasa mengenakan pakaian dari benang wol namun ia juga berkesimpulan sama dengan Ibn Khaldûn . Ibn Jauzi, Talbîs al-Iblîs (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2006) Cetakan ketiga, h.176-177).

  • Kasyf al-Mahjûb-nya menegaskan bahwa kaum sufi memang selalu penggunakan

    pakaian wol sebagai pakaian kebesaran bagi komunitas mereka dan nyaris tidak

    meninggalkannya kecuali karena beberapa alasan. Mereka berpandangan pakaian

    wol adalah pakaian para nabi dan rasul serta pakaian yang dikenakan oleh para

    Sahabat dan Tabi`in.98

    Adapun figur pertama yang digelari al-Shûfi adalah Jâbir bin Hayyân al-

    Shûfi, Abû Hâsyim al-Shûfi dan `Abdak al-Shûfi. Namun yang dapat dipastikan

    memiliki peran besar terhadap perkembangan pengenaan pakaian wol sebagai

    tradisi spiritual adalah Abû Hâsyim al-Shûfi (w.150 H) dari kota Kufah.99 Gelar

    sufi dilekatkan kepadanya karena Abû Hâsyim selalu mengenakan pakaian terbuat

    dari bulu domba (wol) yang panjang seperti para pendeta. Ajaran-ajarannya

    tentang muhâsabah (introspeksi diri) juga berpengaruh terhadap guru sufi

    Baghdad al-Muhâsibî100. Abû Hâsyim juga guru spiritual Sufyân al-Tsaurî, seorang

    asketik sekaligus kaum legalis (fuqahâ) terkemuka kota Bashrah101.

    Zâhid lain yang berperan penting dalam pertumbuhan tradisi Sufi adalah

    Ibrâhîm bin Adham (w. 161 H) dari Khurasan, seorang asketik sejati yang

    98 Hujwîrî, The Kashf al-Mahjûb…..., h. 46-47 99 Untuk alasan Abu Hâsyim lebih tepat dikaitkan dengan tradisi spiritual sufi dapat

    dilihat dalam Qursyî, Syubhât al-Tashawwuf (Mesir: Dâr al-Hudâ, t.th), h. 21-23 Lihat juga `Abd al-Rahmân Jâmî, Nafahât al-Uns, h.66-69

    100 Mengenai pengaruh Abû Hâsyim terhadap kitab Ri`ayah fi Huquq Allah karya Muhâsibî dapat dilihat dalam Muhammad Jalâl Syaraf, Al-Tashawwuf al-Islamî fî Madrasah Baghdâd h. 83-84

    101 Sufyân al-Tsauri mengakui pendidikan spiritual yang diberikan Abû Hâsyim ke