teori dharurah dan pengaruhnya

27
Teori Dharurah dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Status Hukum Abdul Qodir Salam, Lc.* Dharurah, sebagaimana maslahat, mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum, karena keduanya memang mempunyai kaitan yang sangat erat. Penulis makalah ini mencoba membahas teori dharurah dengan analisa filsafati terhadap kedudukan beberapa komponen Ushul Fiqh dalam proses istinbath. Dengan analisa filsafat itulah, kajian teoritikal ini semakin menarik dan layak untuk disimak..... mata syariah Islam mempunyai hukum tertentu. Hukum- hukum itu dapat diketahui baik dari nash-nash Al- Qur’an atau dari Sunnah Nabawiyah sebagai dua sumber orisinil hukum Islam. Hukum-hukum tersebut juga dapat diketahui dari ijtihad para ulama dengan memakai metode-metode ijtihad yang telah mereka temukan, seperti qiyas, istihsan dan istishlah lewat upaya istiqra (deduksi) terhadap petunjuk-petunjuk (amarat) dalam nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, yang dalam perkembangan selanjutnya dilegalkan sebagai metode istinbath dalam hukum Islam. Hukum-hukum Islam yang telah diketahui statusnya lewat sumber-sumber orisinil dan dependensinya itu kemudian dalam terminologi keilmuan Islam disebut sebagai al fiqh. Di sisi lain, seluruh umat Islam baik dari kalangan ulama maupun kalangan umum sepakat bahwa jika syari'at Islam dikomparasikan dengan syariat-syariat sebelum Islam, akan semakin nampak betapa syariat Islam adalah syariat yang sangat moderat dan bahkan sangat toleran terhadap umat manusia, elastis dan menempatkan kepentingan (baca: maslahat) umat manusia sebagai dasar dari segala bentuk hukumhukumnya.

Upload: dichyah-el-kalaafah

Post on 22-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

membahas tentang teori dharurot

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Teori Dharurah dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Status Hukum

Abdul Qodir Salam, Lc.*

Dharurah, sebagaimana maslahat, mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum, karena keduanya memang mempunyai kaitan yang sangat erat. Penulis makalah ini mencoba membahas teori dharurah dengan analisa filsafati terhadap kedudukan beberapa komponen Ushul Fiqh dalam proses istinbath. Dengan analisa filsafat itulah, kajian teoritikal ini semakin menarik dan layak untuk disimak.....

mata syariah Islam mempunyai hukum tertentu. Hukum-hukum itu dapat diketahui baik dari nash-nash Al-Qur’an atau dari Sunnah Nabawiyah sebagai dua sumber orisinil hukum Islam. Hukum-hukum tersebut juga dapat diketahui dari ijtihad para ulama dengan memakai metode-metode ijtihad yang telah mereka temukan, seperti qiyas, istihsan dan istishlah lewat upaya istiqra (deduksi) terhadap petunjuk-petunjuk (amarat) dalam nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, yang dalam perkembangan selanjutnya dilegalkan sebagai metode istinbath dalam hukum Islam.

Hukum-hukum Islam yang telah diketahui statusnya lewat sumber-sumber orisinil dan dependensinya itu kemudian dalam terminologi keilmuan Islam disebut sebagai al fiqh. Di sisi lain, seluruh umat Islam baik dari kalangan ulama maupun kalangan umum sepakat bahwa jika syari'at Islam dikomparasikan dengan syariat-syariat sebelum Islam, akan semakin nampak betapa syariat Islam adalah syariat yang sangat moderat dan bahkan sangat toleran terhadap umat manusia, elastis dan menempatkan kepentingan (baca: maslahat) umat manusia sebagai dasar dari segala bentuk hukumhukumnya.

Legalisasi hukum-hukum Islam dalam beberapa hal juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan yang sehat antara individu dan individu, individu dan masyarakat dan individu dengan Tuhannya. Shalat dan puasa umpamanya, antara lain disyariatkan untuk melatih manusia agar disiplin dan menghormati waktu. Haji disyari’atkan untuk memperkenalkan orang Islam akan urgensi persatuan dan kesatuan umat. Zakat disyariatkan sebagai dasar kerjasama antara individu-individu sebuah komunitas masyarakat dalam upaya mengikis feno-mena kemiskinan. Dan perilaku sipil (baca: mu’amalat) disyari’atkan untuk merealisasikan keadilan dan menghindari konflik antar sesama.

Ibn Qayyim dalam bukunya I'lam al-Muwaqqi'in me-ngatakan bahwa dasar pokok dalam uqud (transaksi) adalah keadilan, yaitu sebuah misi yang karenanya para Rasul diutus dan beberapa kitab diturunkan.1) Dari sini

Page 2: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

agaknya jelas bahwa syariat Islam ditetapkan pada dasarnya bukan hanya sekedar untuk turut mengisi aktifitas kehidupan manusia saja, tapi bahkan lebih dari itu juga untuk menggiring manusia ke arah kesempurnaan, kebahagiaan dan kemaslahatan yang didambakan oleh manusia sendiri.

Sasaran-sasaran syariat Islam semacam ini, dalam terminologi hukum Islam disebut sebagai maqasid syariah. Para ulama salaf dalam kaitannya dengan maqashid syariah menetapkan berbagai kaidah ushuliyah sebagai upaya untuk memperjelas jalan ke arah bentuk nyata maqasid itu. Kaidah-kaidah itu juga merupakan satu bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah, toleran dan sederhana.

Kita perhatikan misalnya satu kaidah ushul "Dasar pokok bagi segala sesuatu adalah boleh" atau dalam ungkapan aslinya berbunyi "Al-ashlu fi al-asyya al-ibahah",2) dengan catatan jika tidak ada nash yang turun dalam hal itu. Adapun dalam kondisi adanya nash, maka hukum dalam hal tersebut ikut kepada nash itu. Kaidah ini adalah salah satu dari sekian banyak kaidah yang ditetapkan sebagai upaya untuk mengantarkan manusia ke arah kemaslahatan dan kepentingan mereka. Menurut kaidah ini, manusia bebas berbuat apa saja yang tidak pernah disinggung oleh nash.

Dengan ungkapan lain, nash telah memagari berbagai hal dengan batas-batas yang jelas dan manusia tidak diperbolehkan menerobos pagar dan batas itu dengan bentuk dan alasan apapun. Tapi ada juga berbagai hal yang dikosongkan oleh nash dan tidak dipagari serta tidak dibatasi. Dalam "wilayah kosong" itu, manusia dibebaskan untuk menyikapi dan memanfaatkannya sesuai dengan kondisi dan kemaslahatannya, bahkan manusia dianjurkan untuk tidak mempertanyakan status wilayah kosong tersebut.

Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya kejahatan orang muslim yang paling besar atas saudaranya (sesama muslim) adalah ketika ia mempertanyakan sesuatu yang tidak diharamkan kemudian menjadi diharamkan hanya karena pertanyaan itu."3) Statemen yang sama juga bisa didapati dari firman Allah dalam surat Al-Maidah 101. Hadits dan ayat tersebut dalam perkembangan selanjutnya oleh para ulama klasik dijadikan sebagai salah satu dasar bagi kaidah ushuliyah di atas.

Mungkin sangat tepat jika kita katakan bahwa kaidah tersebut sebenarnya adalah kaidah yang khusus difungsikan untuk merealisasikan maslahat sebagai salah satu dimensi aktifitas manusia dalam hidupnya. Sedang sisi lain dari dimensi kehidupan manusia yang kita sebut sebagai maf-sadah nampaknya tidak termasuk dalam obyek dan jangkauan kaidah ini.

Page 3: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Padahal maslahat dan mafsadat adalah dua dimensi yang mendapat prioritas sangat istimewa dalam syari’at Islam, sehingga para ulama berpendapat bahwa syari’at Islam di samping memperhatikan unsur perwujudan maslahat juga lebih memperhatikan unsur penghindaran mafsadat. Itulah sebabnya mengapa kemudian lahir satu kaidah ushuliyah yang berbunyi "Dar’u al-mafasid muqaddamun 'ala jalb al-masaalih", menghindari mafsadat itu lebih didahulukan ketimbang mewujudkan maslahat.

Seluruh legalisasi hukum Islam4) baik itu yang secara jelas ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah maupun yang ditemukan oleh para ulama dan mujtahidin cenderung memperhatikan penghindaran mafsadah dan disusul kemudian dengan perwujudan maslahah. Dari kerangka inilah, syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad berbeda dengan syar'iat nabi-nabi sebelumnya, di mana dalam syariat-syariat terdahulu ada beberapa bentuk legalisasi hukum yang andaikata diterapkan dalam Islam, akan mengandung unsur mafsadah bagi umat Islam itu sendiri.

Dalam syariat Nabi Musa umpamanya, sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 54, praktek taubat dari segala bentuk kemungkaran adalah dengan membunuh diri. Dalam syariat terdahulu, praktek menghilangkan najis yang menempel pada pakaian adalah dengan memotong bagian dari pakaian yang terkena najis tersebut dan membuangnya. Zakat harus dikeluarkan sebanyak seperempat dari seluruh harta milik. Shalat tidak boleh dilakukan kecuali di tempat-tempat khusus, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk legalisasi hukum yang relatif berat dibandingkan dengan hukum dan syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad.

Beratnya syariat-syariat terdahulu itu digambarkan oleh firman Allah dalam surat Al-Baqarah 286 yang berarti "... Tuhan, janganlah Engkau bebani kami dengan apa yang tidak bisa kami emban..." Sedang dalam syariat Islam praktek taubat cukup dilakukan hanya dengan berikrar, menghilangkan najis cukup dengan membasuhnya, zakat hanya dengan sebagian harta yang relatif sedikit, dan ibadah shalat bisa dilakukan di belahan bumi manapun.

Singkat kata, Ibnu Qayyim pernah berkata, "Sesungguhnya dasar syariat Islam adalah kemaslahatan, keadilah, rahmat dan hikmah."5) Maqashid Syari’ah; Sentral Kajian Fiqih Maqashid syari'ah, atau biasa juga disebut "maqashid al Syari', adalah tujuan, sasaran dan maksud dari diturunkannya syari'ah. Dua terminologi itu mempunyai arti sama6) yang oleh sebagian ulama dan fuqaha terdahulu disebut sebagai "al-hikmah", seperti yang pernah ditulis oleh Ibnu Farhun, atau "al-’illah" sebagai-mana yang biasa ditangkap bila kita

Page 4: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

mempelajari qiyas, atau al ma'na seperti yang sering disebut- sebut oleh Al-Ghazali dan Al-Thabrani.7)

Seluruh terminologi itu, baik maqashid syari'ah maupun al hikmah, al illah atau al ma'na adalah ungkapan-ungkapan yang berbeda tetapi dengan maksud yang sama, yaitu tujuan, sasaran dan maksud diturunkannya syari'ah. Sebagian sasaran syari'ah tentu sudah menjadi misi ketika Islam diturunkan kepada Rasulullah. Point ini adalah point yang amat prinsip dalam syari'at Islam, dan nampaknya dalam kerangka studi tentang syari'ah, maqashid menempati tempat paling puncak sebagai sentral kajian, sedang tema-tema lainnya seperti teori dharurat dan sejenisnya menempati sub kajian.

Al-Qur’an dan Sunnah tentu saja sangat besar perhatiannya terhadap satu titik penting ini. Hanya saja metode Al-Qur’an dan Sunnah dalam hal ini sepertinya cenderung mengajak orang untuk meneliti, berfikir dan kemudian meneorikan maqashid syari'ah itu. Hal itu memang terjadi dan bila diamati secara seksama akan didapati bahwa Al-Qur’an dan Assunnah hanya sebatas memberikan sinyal-sinyal tentang pentingnya menjaga dan merealisasikan maqashid syari'ah.

Periodisasi maqashid syari'ah bisa dibagi menjadi tiga fase. Pertama, fase kenabian Muhammad. Fase ini adalah fase pengenalan maqashid syari'ah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk sinyal-sinyal beku yang belum tercairkan, atau hanya dalam bentuk pandangan-pandangan tersirat yang belum diteorikan.

Fase kedua adalah fase sahabat ra. dan para tabi'in ter-kemuka. Fase ini dimulai de-ngan putusnya wahyu sejak meninggalnya Rasulullah saw dan berakhir dengan masuknya abad kedua Hijriah atau sebelum jatuhnya dinasti Umayyah. Dalam fase ini diperkirakan ada 130 sahabat dan tabi'in bahkan lebih yang ahli tentang hukum Islam dengan standar pemahaman yang berbeda-beda. Umar ibn Khathab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Mas'ud, Abdullah ibn Abbas, Aisyah, Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, menduduki jajaran terkemuka dan terdepan dalam pemahaman hukum-hukum Islam, tentunya dengan tidak menafikan bahwa para sahabat dan tabi'in lainnya yang juga sangat ahli dalam bidang itu. Fase ini adalah titik tolak (starting point) dan peletakan batu pertama bagi pesatnya perkembangan teorisasi ilmu syari'ah pada abad kedua sam-pai abad keempat.

Fase ketiga atau fase terakhir ialah fase teorisasi maqashid syari'ah. Pada fase ini pandangan-pandangan tentang maqashid syari'ah mulai sangat subur dan semarak, apalagi setelah diciptakan disiplin ilmu baru yaitu ilmu ushul fiqh

Page 5: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

sebagai modal dasar memahami ilmu fiqh dan segala problematikanya, oleh Imam Syafi'i (wafat 204)8) yang dirangkum dalam buku monumentalnya bertitel Al-Risalah.

Lahirnya Al-Risalah bisa dikatakan sebagai lahirnya teori syariah dan teori fiqh atau lahirnya sebuah kreasi besar ummat Islam yang masih tetap otentik sampai berabad-abad lamanya. Perhatian para ulama terhadap maqasid syariah mulai lebih serius ketika Al-Rrisalah itu lahir dan terus berkembang sampai pasca Al-Risalah se-lama kira-kira dua abad lamanya. Meskipun teorisasi maqasid menjadi sangat subur, kehadiran Al-Risalah ternyata menimbulkan pro dan kontra. Namun masing-masing kubu tidak pernah lepas dari pe-nawaran teori tentang maqa-sid.

Hasil-hasil karya tentang maqasid dan masalah sekitar-nya kemudian bermunculan. Hanya saja sangat disesalkan bahwa hasil-hasil karya para ulama besar yang membahas masalah maqosid dari abad III sampai abad IV itu dinyatakan hilang atau menghilang dari peredaran, selain Al-Risalah, seperti Al-Furuq hasil karya Abu Abdullah Muhammad ibn Ali dan buku-buku ushul fiqh lainnya hasil karya para ulama seperti Al-Maturidi (Wafat tahun 333 H.), Al-Qaffal (wafat tahun 365 H.) dan Al-Baqilani (Wafat tahun 403 H.)9) yang terkenal dengan sebutan Syaikh al- Ushuliyyin karena berhasil menyatukan kutub Madinah (ahlu al hadits) dan kutub Iraq (Ahlu al ra-'yi) dari polemik berkepanjangan seputar syariah dalam bukunya yang berjudul Al-Taqrib wa al-Irsyad.

Studi tentang maqasid terus berkesinambungan dan bahkan semakin semarak pada pasca Al-Baqilani atau pasca Al-Taqrib yang juga bisa di sebut sebagai era baru bagi umat Islam dalam memasuki dunia keilmuan yang lebih bersih dari polemik. Pada pasca Al-Taqrib lahirlah Imam Al-Juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam Al-Haramain (Wafat tahun 478 H.). Imam Al-Juwaini kemudian melahirkan seorang Imam legendaris yang kita kenal dengan nama Imam Al-Ghazali, penulis buku Al-Mustashfa yang juga membahas usul fiqh.

Puncak keseriusan dan kesemarakan studi tentang maqasid syariah itu sebenarnya terjadi pada masa Imam Al- Juwaini. Masa ini oleh beberapa kalangan disebut sebagai terminal besar (al mahaththah al kubra) studi maqasid pada khususnya dan studi usul fiqh pada umumnya. Al-Burhan, buku usul fiqh hasil karyanya itu menjadi pegangan pokok bagi generasi berikutnya, sebagaimana Al-Risalah pernah menjadi buku pegangan pokok kajian usul fiqh pada abad III dan IV. Namun bukan berarti kelahiran Al-Burhan menyisihkan Al-Risalah, tetapi sebaliknya kedua buku itu justru kemudian menjadi saudara kembar yang saling mendukung dan melengkapi.

Page 6: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Al-Juwaini pergi, namun kepergiannya tidak menjadikan studi maqasid turut pergi.

Setelah Al-Juwaini datang Fakhr Al-Diin Muhammad ibn Umar Al-Razi (Wafat Tahun 606 H.) yang menyambung Al-Burhan dan turut menyemarakkan studi tentang maqasid. Al-Razi tidak puas dengan Al-Burhan, ia berusaha mengolahnya, menambah dan mengurangi. Al-Burhan yang pernah menjadi simbol kejeniusan usul fiqh itu dirangkum dalam bukunya yang berjudul Al-Mahshul.

Ketidakpuasan Al-Razi terhadap Al-Burhan mendorongnya untuk memasukkan unsur-unsur kejeniusan sederet ulama usul fiqh lainnya. Dipilihlah kemudian Al-Mustashfa, hasil karya Al-Ghazali, anak didik Al-Juwaini penulis Al-Burhan.Di samping Al-Mustashfa, Al-Razi juga mengadopsi Al-Mu'tamad hasil karya Abu Husain Al-Basri Al-Mu'tazili dan Al- 'Amdu hasil karya Al-Qadhi Abdul Jabbar. Al-Mahsul kemudian lahir sebagai rangkuman dari empat buku induk dalam usul fiqh hasil karya empat ulama besar dan terkemuka.

Studi tentang maqasid terus berlanjut dan berkesinambungan dengan lahirnya ulama-ulama besar seperti Al-Amidi (Wafat tahun 631 H.), Ibn Hajib (Wafat tahun 646 H.) murid dari Al-Amidi, Al-Baidhowi (Wafat tahun 685 H.) penulis buku Al-Minhaj, Al-Asnawi (Wafat tahun 772 H.) penulis buku Nihayat al-Sul yang merupakan satu-satunya buku usul fiqh yang dipilih oleh Al-Azhar menjadi muqarrar selama berpuluh-puluh tahun lamanya sampai sekarang, Ibn Al-Subki (Wa-fat tahun 771 H.), Izzuddin ibn Abdussalam (wafat tahun 660 H.) penulis buku Al-Ahkam dan Ibnu Taimiyyah (Wafat tahun 728 H.)10.)

Dalam disiplin ilmu fiqh, maqasid menempati tempat paling puncak dalam kerangka studi fiqh. Hal ini terjadi karena maqasid adalah sentral dari perkembangan dan stagnasi fiqh, juga sentral dinamis dan statisnya. Dan barangkali tidak salah kalau kita katakan bahwa elastisitas syariah Islam banyak tercermin dari realisasi maqasid syariah secara tepat dan benar.

Begitulah kira-kira pentingnya sisi maqasid dalam studi fiqh, sehingga mendorong Ibn Qoyyim me-nyebutnya dalam bukunya I'laam al-Muwaqqi'in sebagai Al-fiqh al- hay atau fiqh yang hidup, yang berarti bahwa mati dan hidupnya fiqh sangat bergantung kepada statis dan dinamisnya interpretasi maqa-sid syariah. Bahkan Syaikh Muhammad Thahir ibn 'Asyur pernah mengatakan bahwa "Melupakan pentingnya sisi maqasid dalam syariah islam adalah faktor utama penyebab terjadinya stagnasi pada fiqh."11)

Page 7: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Untuk lebih mudah memahami maqasid dan mengetahui batas-batasnya, akan lebih baik kalau disinggung sejenak pembagian maqasid yang menurut para ulama ada tiga bagian pokok. Namun sebelum itu akan lebih baik lagi kalau diingat kembali bahwa yang dimaksudkan dengan maqasid syariah ialah tujuan, sasaran dan maksud dari diturunkannya syariah kepada umat manusia.

Tiga bagian maqasid itu ialah: Pertama, maqasid 'ammah. Maksudnya ialah sasaran dan tujuan syariah yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara umum. Oleh 'Alal Al-Fashi dan syaikh Ibn 'Asyur maqasid jenis ini dicontohkan seperti melestarikan sebuah sistem yang bermanfaat, menjaga kemaslahatan, menghindari kerusakan, merealisasikan persamaan hak antar manusia dan melaksanakan Syari'ah sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Kedua, maqasid khashshah. Jika maqasid 'ammah adalah sasaran Syari'ah yang mencakup kepentingan manusia secara umum, maka dapat dipahami bahwa maqasid khashshah adalah sasaran Syari’ah yang sifatnya lebih khusus dan mencakup kepentingan-kepentingan manusia secara khusus seperti perihal keuangan, pengadilan, kesaksian dan sejenisnya.

Ketiga, maqasid juz’iyyah, yaitu beberapa hal yang dimaksudkan oleh Syari'ah dari masing-masing hukum Syar'i yang lima: seperti maksud Syari'ah mewajibkan shalat dan puasa, mengharamkan zina dan arak, membolehkan jual beli, memakruhkan yang makruh dan memandubkan yang mandub12)

Pembagian maqasid syariah menjadi tiga macam, baik yang 'ammah maupun yang khassah dan juziyyah, kesemuanya berpangkal pada tujuan dan sasaran syari'ah yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia, atau dengan kata lain tujuan dan sasaran final Syari'ah adalah mengejawantahkan maslahat untuk manusia dengan menggunakan sarana-sarana yang telah ditetapkan oleh syari'ah, seperti melestarikan sebuah sistem dalam maqasid 'ammah atau menciptakan sistem keuangan dalam maqasid khassah, atau juga menciptakan sistem eko-nomi dalam maqasid juz'iyyah.

Dari kerangka singkat ini, barangkali dapat dipahami bahwa maqasid sangat identik dengan maslahat, dan bahwa merealisasikan maslahat berarti merealisasikan maqasid syari'ah berikut segala macamnya sebagaimana tersebut di atas. Kemaslahatan manusia oleh syari'at Islam dicerminkan dalam tiga hal pokok sebagai tingkatan prioritas kemaslahatan secara berurutan.

Tiga hal pokok itu merupakan terminologi yang amat populer bagi kita semua yaitu al-dharuriyyat, al-hajjiyyat dan al-tahsiniyat. Dalam berbagai kondisi,

Page 8: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

al-dharuriyyat ditempatkan pada urutan pertama sebelum al-hajjiyyat dan al-tahsiniyyat. Dharuriyyat adalah beberapa hal yang oleh karenanya sebuah kemaslahatan mutlak dapat diwujudkan, baik kemaslahatan dunia maupun akhi-rat13)

Beberapa hal itu menurut Imam Syafi'i ada lima, yaitu memelihara agama (hifdz al-din), jiwa, akal keturunan dan harta. Sedang menurut Imam Al-Qarrafi, dharuriyyat itu ada enam, dengan menambahkan pembelaan kehormatan atau hifz al-'irdh. Sedangkan hajiyyat adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari hal-hal yang diduga akan menjadi hambatan pada aktifitas manusia. Adapun tahsiniyyat adalah proses penggunaan atau pemanfaatan tradisi-tradisi yang baik dan penolakan tradisi-tradisi yang buruk.

Sebagai penutup pembahasan tentang maqasid, ada baiknya jika disebutkan beberapa catatan penting sekitar maqasid syari'ah yang pernah disinggung oleh sebagian besar ulama ushul fiqh.

Catatan pertama: bahwa pembagian maslahat menjadi dharuriyyat, hajjiyyat dan tahsiniyyat sebenarnya bukan berdasarkan nash Al-Qur'an atau Sunnah, dan juga tidak berdasarkan Ijma' para ulama. Dalam arti bahwa nash Al-Qur'an dan Sunnah tidak pernah menyebutkan adanya pembagian maslahat kepada tiga bagian sehingga beberapa ulama tidak pernah menyebutkan hal yang sama. Pembagian maslahat itu oleh ulama ushul fiqh ditetapkan berdasarkan istiqra' terhadap sinyal-sinyal nash Al-Qur'an dan Sunnah.

Catatan kedua: bahwa perhatian ulama terdahulu dalam kaitannya dengan maqasid syari'ah lebih banyak tercurahkan kepada konteks manusia sebagai individu, sedangkan konteks manusia sebagai kelompok tidak banyak mendapat perhatian. Ini juga berarti bahwa persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan hanya mendapat sedikit perhatian jika dibandingkan dengan perhatian mereka terhadap kontek manusia sebagai individu.

Barangkali hal ini berangkat dari satu kenyataan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak lebih dari sekedar individu-individu yang berkelompok. Individu adalah salah satu unsur dalam masyarakat, dan berkumpulnya unsur-unsur individu dalam satu tempat berarti terbentuknya satu masyarakat yang bersosial, sehingga persoalan yang di-hadapi oleh masyarakat juga merupakan persoalan yang dihadapi oleh individu-individu masyarakat itu.

Catatan ketiga: maqasid syari'ah sejak zaman Rasulullah dan masa sesudahnya telah banyak dijadikan ukuran bagi legalisasi hukum Islam, di

Page 9: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

mana perubahan maqasid akan juga mempengaruhi perubahan hukum. Ini berarti bahwa maqasid memberikan warna kepada hukum sesuai dengan warna yang ada pada maqasid ketika itu. Bisa dicontohkan dengan sikap Rasulullah sendiri yang dalam beberapa momentum menerima pendapat seorang sahabat tentang permasalahan tertentu tapi menolak pendapat tersebut dalam permasalahan yang sama pada momentum yang berbeda. Itulah beberapa catatan penting seputar maqasid.

Yang perlu digaris bawahi ialah bahwa dalam rangka mengantarkan manusia ke arah perwujudan maqasid syari'ah dengan penuh kemudahan, Syari' menetapkan beberapa kaidah dan prinsip dasar dalam syari'at Islam yang menggambarkan bahwa syari'at Islam adalah syari'at yang gampang dan ringan. Di antara kaidah terpenting yang ditetapkan oleh legislator ialah kaidah tentang "al-dharurah",15) yaitu kaidah yang banyak berbicara di seputar kemudahan (atau taysir dalam terminologi Arabnya) dan pengaruhnya terhadap kemungkinan bergesernya status hukum-hukum Islam bersamaan dengan adanya masyaqqah atau hambatan.

Konsep Dharurah;Unsur Elastisitas Syari’ah Islam Di samping sebagai kaidah yang sengaja ditempatkan untuk mengantarkan manusia ke arah pencapaian maqasid syariat dengan segala kemudahan, dharurah juga dipandang sebagai salah satu unsur elastisitas syari'at Islam. Sebab, paling tidak ada empat unsur yang dipandang sebagai unsur elastisitas syari'at Islam dan dharurah termasuk salah satu dari unsur itu.16)

Pertama, unsur Al-'afwu, yaitu beberapa wilayah yang kosong dari ketetapan hukum dan tidak ada nash tentangnya, baik nash yang menyatakan wajib dengan shighah amar, ataupun nash yang menyatakan haram dengan shighah nahi. Wilayah itu benar-benar kosong dari nash dan status hukum agar dapat menjadi lahan bagi para mujtahidin dalam berijtihad, dengan tetap memperhatikan maqasid syari'ah secara penuh sebagai-mana yang telah digariskan oleh legislator. Para mujtahidin dibebaskan mengelola lahan kosong itu untuk diisi dan digarap sesuai dengan kondisi di mana mereka sedang berada.

Oleh Rasulullah wilayah kosong atau al-'afwu ini pernah diisyaratkan dalam sabdanya, "Sesungguhnya Allah telah menentukan beberapa batasan (hudud), maka janganlah kalian melanggar hudud itu, dan mewajibkan beberapa hal maka janganlah kalian meninggalkannya, dan mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melakukannya, serta "diam" dalam beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu dan bukan karena lengah, maka janganlah kalian mencoba-coba untuk mencaricari status hukumnya".17)

Page 10: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Sedang isyarat Al-Qur'an tentang al-'afwu ini termaktub dalam firman Allah pada surat Al-Mai'dah ayat 101. Kata diam (atau sakata dalam kata aslinya pada Hadits tersebut) berarti bahwa wilayat itu memang didiamkan atau dikosongkan dan status hukumnya adalah boleh atau mubah. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah memperingatkan agar manusia tidak perlu mempertanyakan status hukum wilayah kosong itu yang dalam terminologi lainnya kita sebut sebagai al-'afwu berdasarkan sabda Rasullah yang berbunyi "...Dan tentang apa yang ia "diam" maka itu adalah 'afwu..."

Unsur kedua: adalah unsur metode nash dalam menelorkan produk hukum. Nash membedakan antara hukum yang tetap (tsabit) dan hukum yang berubah-ubah (mutaghayyir). Dalam menyikapi hukum yang tsabit, nash turun dalam bentuk yang sudah rinci dan final serta tidak mungkin untuk diperinci kembali lebih dari apa yang telah ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Hal sedemikian ini dengan pertimbangan bahwa status hukum yang tsabit adalah hukum final yang tidak menerima segala bentuk perubahan apapun dengan alasan apapan juga. Hukum itu sudah final, dan karena kefinalan itulah ia disebut sebagai hukum yang tsabit. Berbeda halnya ketika menyikapi hukum-hukum yang mutaghayyir, nash turun bukan dalam bentuk yang sudah final, sebab dengan begitu berarti akan menghilangkan unsur elastisitas hukum-hukum Islam. Oleh karenanya, nash turun hanya dalam bentuk dasar-dasar moral dan kaidah-kaidah umum saja sehingga masih terus dapat diinterpretasikan dan diaplikasikan sesuai dengan kondisi yang akan selalu berubah.

Dalam masalah jual beli umpamanya, Al-Qur'an hanya menyebutkan garis-garis besar sebagai prinsip moral dan kaidah umum, itupun hanya dalam empat ayat. Prinsip moral dan kaidah umum ini pada gilirannya akan menjadi titik sentral pengembangan teori-teori atau undang-undang jual beli bila diperlukan, sesuai dengan kondisi yang sedang berlaku. Mesir termasuk salah satu negara yang telah berhasil mengembangkan empat ayat Al-Qur'an tentang jual beli menjadi lebih dari 100 ayat undang-undang sipil Mesir.

Sedang dalam hal sewa-menyewa juga telah dikembangkan lebih 100 ayat undang-undang sipil dari tiga ayat Al-Quran yang mengatur masalah itu. Dan masalah etika berekonomi, Al-Qur'an hanya menyebutkan satu ayat saja, yaitu bahwa seorang fakir mempunyai hak dari harta yang telah didapatkan oleh seorang yang kaya.18)

Unsur ketiga: ialah unsur nash yang memungkinkan untuk dipahami secara plural atau dengan kata lain, unsur pluralitas pemahaman nash. Artinya, satu

Page 11: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

nash tertentu bisa difahami oleh seorang manusia dengan pemahaman yang berbeda-beda dan tentunya akan menghasilkan penerapan hukum yang berbeda pula.

Pemahaman seorang ulama terhadap nash biasanya banyak dipengaruhi oleh kondisi alam, kondisi miliu dan perkembangan pemikiran di sekitarnya, sehingga wajar kalau ulama Madinah dalam hal ini sebagai ahlul hadits cenderung konservatif (dalam pengertian yang positif) dan ulama Irak sebagai ahl al ra'yi cenderung lebih liberal (juga dalam pengertian yang positif). Hal ini tidak lain karena perbedaan sosio-kultural yang sangat mencolok antara dua kutub pemikiran itu. Irak lebih banyak merasakan adanya gesekan-gesekan peradaban dari ideologi-ideologi yang variatif. Di negara ini pernah tersebar peradaban dan ideologi Parsi kemudian ideologi Kristen dan selanjutnya ideologi Islam.

Kondisi semacam itu menuntut para ulama Irak untuk mengolah nash serta dikondisikan dengan masyarakat Irak yang plural seperti itu. Dengan demikian maka corak pemikiran ulama Irak kemudian terpola menjadi lebih liberal. Kondisi seperti ini tidak ditemui oleh ulama Madinah. Di samping ahlul hadits dan ahlul ra'yi, lahir juga sederet ulama dengan corak dan pola pemikiran yang berbeda sebagai akibat dari pluralitas pemahaman nash. Lahirlah Ibn Umar, dan dari arah yang berbeda lahirlah Ibn Abbas. Lahir Daud Al-Zhahiri, dan dari arah yang berbeda lahirlah Imam Amad ibn Hanbal. Demikianlah seterusnya, nash selalu dapat dipahami secara berbeda se-suai dengan kondisi yang ada dalam setiap ruang dan waktu.

Unsur keempat : ialah unsur "dharurat". Pembahasan ini secara lebih mendetail dikupas lewat delapan buah kaidah Fiqh yang semuanya berbicara masalah dharurat dengan segala variasinya yang ada. Delapan kaidah dharurat itu adalah pengembangan dari satu buah kaidah sentral dari dharurat, "Al-dhararu yuzaa-lu" (bahaya itu mesti dihilang-kan).19) Kaedah sentral itu ditetapkan atas dasar sabda Rasulullah yang berbunyi "Laa Dharara wa la Dhirara", tidak diperbolehkannya suatu hal yang akan mengakibatkan bahaya kepada orang lain.

Kata al-dharurat itu sendiri diambil dari kata al-dharar yang berarti bahaya. Dharurat juga berarti masyaqqah atau kondisi sulit. Dalam mendefinisikan dharurat, sejumlah ulama, baik ulama terdahulu maupun kontemporer, banyak bersilang pendapat walaupun tidak terlalu berjauhan. Ada definisi Al- Jashshash, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Abu Zahrah, ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah. Seluruh defenisi yang jumlahnya tidak sedikit itu memang saling

Page 12: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

berlainan dan mempunyai standar jami' dan mani' yang berbeda, namun mempunyai arah yang hampir bersamaan.

Bagi kondisi dahulu, barangkali defenisidefenisi itu cukup bisa dikatakan valid, jami' dan mani', namun bagi kondisi sekarang nampaknya definisi itu tidak lagi tepat, melihat bahwa definisi-defi-nisi itu bila kita amati lebih jauh, hanya terbatas pada dharurat min al-juu’. Al-Jashsshash atau Al-Zarkasyi, Al-Suyuti atau Abu Zahrah hanya mendefinisikan dharurat dari sisi pangan saja, sementara sisi lainnya tidak disinggung sama sekali. Dr. Wahbah Al-Zuhaily menawarkan definisi baru terhadap dharurah yang sepertinya cukup menjelaskan arti dharurah secara komprehensif dan tidak cukup dengan melihat dharurah dari satu sisi dan melupakan sisi-sisi yang bisa jadi akan lebih penting.

Dharurah dalam definisi Al-Zuhaily adalah "kondisi yang menimpa seseorang, di mana kondisi itu diduga akan mengakibatkan bahaya pada jiwa atau anggota badan atau kehormatan atau akal atau harta. Dengan kondisi itu seseorang diperbolehkan melakukan hal-hal yang sebenarnya haram atau meninggalkan hal-hal yang sebenarnya wajib" 20)

Namun dharurat tentu saja mempunyai general rule tertentu dan strandar minimal yang membuat suatu kondisi akan disebut sebagai dharurat dan dengan demikian akan mempunyai pengaruh terhadap perubahan status hukum.

Diantara general rule dharurat itu antara lain: 21)

1. Dharurat itu sudah merupakan suatu peristiwa yang telah terjadi, bukan yang ditunggu atau diharapkan untuk terjadi.

2. Dharurat itu secara positif (yaqiny) dapat dipastikan sebagai dharurat yang cukup mendesak. Seperti seseorang yang dalam kondisi sangat khawatir akan keselamatan jiwanya umapamanya.

3. Seseorang yang sedang dalam kondisi darurat tidak melanggar dasar-dasar pokok syariat Islam, seperti menjaga hak-hak asasi orang lain, memelihara keadilan, menjaga amanat dan menghindari hal-hal yang merugikan orang lain. Dari kerangka ini bisa difahami bahwa zina, pem-bunuhan dan kekufuran adalah hal- hal yang tetap haram dan tidak dapat ditolerir dengan alasan dharurat apapun.

4. Orang yang sedang dalam kondisi darurat tidak ber-lebihan di dalam mempergunakan keringanan yang ia dapatkan. Atau dengan kata lain, cukup diperbolehkan dengan mempergunakan keringanan sebatas kebutuhan.

Page 13: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

5. Orang yang sedang dalam kondisi dharurat disyaratkan tidak menjumpai barang hal yang boleh ia pergunakan dan lain-lain.

Adapun beberapa kondisi yang termasuk dalam kriteria kondisi dharurat antara lain adalah kelaparan, kehausan, sakit keras, lupa, kondisi serba rumit, bepergian dan cacat. Apabila salah satu kondisi dari kondisi-kondisi itu dialami oleh seseorang, maka ia berarti termasuk dalam orang-orang yang sedang dalam kondisi dharurat sehingga diperbolehkan untuk memanfaatkan keringanan-keringanan yang telah ditetapkan oleh legislator, dan dengan tetap memperhatikan ukuran, standar dan general rule di atas dalam mempergunakan keringanan yang didapatkan itu. Ini berarti bahwa status hukum akan da-pat berubah seiring dengan keberadaan dharurat pada hukum itu, dan status hukum akan kembali kepada status semula jika dharurat itu telah teratasi.

Kembali kepada kaidah dharurat. Bahwa kaedah dharu-rat pada dasarnya hanya ada satu, sebagai kaidah sentral, yaitu kaedah yang berbunyi "Al-dharuratu yuzaa-lu", dharurat itu harus dihilangkan. Tetapi kemudian kaidah sentral ini melahirkan delapan sub kaidah dharurat yang secara tematis membahas dharurat dengan berbagai kondisinya.

Delapan sub kaedah dharurat itu ialah : 22)

6. Al-masyaqqatu tajlibu al Taisir, kondisi rumit atau sulit itu mendatangkan kemudahan (baca: kemudahan hukum).

7. Idza dhaqa al-amru ittasa'a, segala sesuatu jika menyempit akan menjadi lapang (di mata syari'ah).

8. Al-dharuratu tubihu al-mahdhuraat, dharurat itu memperbolehkan hal-hal yang terlarang.

9. Al-dharurat tuqaddar biqadriha, dharurat itu yang ditolelir sebatas kebutuhan.

10. Ma jaaza li 'udzrin yabtul bizawalihi, sesuatu yang diperbolehkan karena halangan akan kembali kepada status semula dengan hilangnya halangan itu.

11. Al-maysur laa yasquthu bi al ma'suur, kemudahan itu tidak bisa dikalahkan oleh kesulitan (baca: kesulitan dalam hukum).

12. Al-Idhthirar laa yusqithu haqqa al-ghair, dharurat itu tidak bisa menghilangkan hak asasi orang lain.

13. Al-hajatu tunazzilu manzilata al-dharurah, hajat/-kebutuhan dapat menempati posisi dharurat.

Page 14: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

Mengenai kaidah pertama, di antaranya ditetapkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185 yang berarti "Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu sekalian", juga berdasar-kan sabda Rasulullah yang berarti "Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah agama yang hanifiyah samhah". Hanifiyah berarti benar dan samhah berarti toleran terhadap kesulitan yang dihadapi oleh para pengikutnya. Kondisi sulit dalam syariat Islam masih dibagi menjadi dua macam, yaitu kondisi sulit yang mu'taddah (ordinal) dan ghair mu'taddah (nonordinal).

Jenis pertama seperti sulitnya melaksanakan ibadat sholat wajib pada musim dingin, atau melaksanakan ibadah puasa pada musim panas. Dan jenis kedua atau kondisi non ordinal adalah semua kondisi yang di atas kemampuan normal manusia, di mana manusia diduga tidak akan mampu untuk menanggulanginya dengan kekuatan naturalnya. Kondisi ini kita contohkan seperti seseorang yang sedang dalam kondisi sangat khawatir akan keselamatan jiwa atau raganya.

Di mata hukum (baca: hukum Islam), kondisi pertama atau kondisi ordinal sama sekali tidak mempunyai tempat dalam proses pergeseran status hukum yang diakibatkan oleh keadaan dharurat. Karenanya, shalat atau puasa akan tetap wajib dilaksanakan walaupun di musim dingin atau musim panas yang panjang. Sedang kondisi kedua, di mata hukum turut mempengaruhi perubahan sta-tus hukum dengan memper-hatikan jenis kondisi kesulitan yang mempengaruhi perubahan hukum. Jika hukum itu hukum yang bersifat prinsipil dalam syariat Islam seperti kewajiban shalat, maka jenis kondisi kesulitan yang mempunyai pengaruh dalam perubahan status shalat (takhfif, umpamanya) adalah kondisi sulit yang diperkirakan setara dengan posisi hukum shalat sebagai hukum yang prinsip.

Demikian juga sebaliknya, hukum yang tidak terlalu prinsip seperti shalat jama'ah distandarkan dengan kondisi sulit yang juga tidak terlalu prinsip dalam proses perubahan status hukum. Berkenaan dengan kaidah ketiga, Izzuddin ibn Abdis-salam yang terkenal dengan sebutan sultanu al 'ulama pernah mengatakan bahwa dharurat itu identik dengan justifikasi hal-hal yang terlarang sebagai realisasi kemaslahatan manusia, seperti halnya kriminalitas itu identik dengan pidana sebagai realisasi penghindaran mafsadat.23)

Dalam upaya aplikasi kaidah tersebut pada masalah politik dan kenegaraan, Ibnu Taimiyah juga pernah berpendapat bahwa kursi kepala negara bisa diisi oleh orang yang kurang berkompeten (dalam kacamata hukum Islam) untuk

Page 15: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

menjadi kepala negara demi kemaslahatan, terutama dalam kondisi di mana tidak dijumpai orang yang mampu mengisi kursi kepresidenan.24)

Lebih jauh, hal-hal terlarang (mahzhuraat) tersebut dalam kaidah ini oleh bebe-rapa ulama dicontohkan seperti makan bangkai, mengucapkan kata kufur, mencuri harta milik orang lain dan membaiat pemimpin yang kurang mampu. Hal-hal yang terlarang itu karena daruratakan dapat berubah status hukumnya dari terlarang menjadi diperbolehkan. Memakan bangkai diperbolehkan dalam kondisi kelaparan dan tidak ada makanan kecuali bangkai. Mengucapkan kata kufur diperbolehkan dalam kondisi terpaksa (atau dipaksa). Mencuri harta orang lain diperbolehkan dalam kondisi pemilik harta menolak membayar hutangnya kepada yang bersangkutan. Dan membaiat pemimpin yang kurang mampu, diperbolehkan karena darurat.

Kaidah keempat, berarti bahwa apabila seseorang dalam kondisi darurat dan ia terpaksa mengerjakan sesuatu yang mahzhurat, maka ia hanya diperbolehkan melanggar peraturan secukupnya. Dengan artian bahwa ia tidak diperkenankan terus menerus berada dalam kondisi dharurat tanpa berusaha untuk keluar dari kondisi tersebut, disamping juga tidak diperkenankan berlebihan dalam mempergunakan kesempatan dalam kesempitan dimaksud.

Kaidah kedelapan, berarti bahwa hajat mempunyai fungsi dan otoritas seperti yang dimiliki oleh dharurat dalam proses pergeseran status hu-kum, dan bahwa keberadaan hajat dianggap mewakili keberadaan dharurat, mengingat bahwa pengertian hajat lebih umum dari pada dharurat. Hajat itu sendiri dibagi menjadi dua jenis, hajat umum dan hajat khusus.

Hajat yang bersifat umum adalah hajat yang sudah menjadi kebutuhan seluruh manusia secara umum seperti pertanian, produksi, perdagangan dan sistem politik yang adil. Sedang hajat yang bersifat khusus ialah hajat yang dibutuhkan oleh sekelompok manusia secara khusus dan terbatas, seperti dibolehkannya memakai sutera bagi seorang lelaki yang mengidap penyakit kulit. Dua jenis hajat ini mempunyai otoritas dan fungsi merubah status hukum sebagaimana dharurat.

Terakhir dan sekaligus sebagai penutup, ada beberapa terminologi yang nampaknya sangat perlu untuk dipresentasikan berkaitan dengan dharurat sebagai tema pembahasan ini. Beberapa terminologi itu ialah al-dharurat itu sendiri, al-hajat, al-manfaat, al-zinah dan al- fudhl.

Al-dharurat sebagaimana menurut definisi Wahbah Al-Zuhaily ialah satu kondisi yang menimpa seseorang, di mana kondisi itu diperkirakan akan

Page 16: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

mengakibatkan bahaya pada jiwa atau anggota badan atau kehormatan atau akal atau juga harta. Sedangkan al-hajat ialah satu kondisi di mana seseorang sedang berada dalam keadaan serba sangat sulit, tetapi diduga tidak akan menyebabkan bahaya terhadap jiwa dan raganya. Adapun al-manfaat ialah kebutuhan pri-mer. Dan al-zinah ialah ke-butuhan sekunder.

Sementara al-fudhl ialah kondisi berlebih-an atau kebutuhan tersier. Dharurat mempunyai pengaruh dalam proses perubahan status hukum seperti telah disinggung secara singkat di atas dan pengaruh itu sangat besar. Sedang al-hajat juga mempunyai pengaruh dalam proses perubahan status hu-kum itu, hanya saja kadar pengaruhnya berada di bawah dharurat. Atau dalam kata lain, dharurat dan hajat adalah dua hal yang sama-sama mempunyai pengaruh dalam perubahan status hukum, namun secara formatif dharurah berada di atas hajat dalam besar kecilnya pengaruh itu.

Adapun al-manfaah, al-zinah dan al-fudhl dalam syari’at Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia sendiri. Dan itu tidak mempunyai pe-ngaruh sama sekali di dalam perubahan status hukum Islam. Wallahu a'lam bis sawaab.

Catatan kaki :

14. Dikutip oleh Wahbah Al- Zuhaily dalam Nazhariyyaat al-Dharu- urah al-Syari’ah, cetakan IV, Muassasah Al-Risalah , hal. 15.

15. Seputar masalah ini, para ulama berselisih pendapat dalam empat madzhab. Pertama mengatakan bahwa “Dasar segala sesuatu adalah larangan”. Kedua, “Dasar segala sesuatu adalah boleh”.Ketiga, madzhab ini cenderung abstain (mauquf). Keempat, madzhab ini membedakan antara manafi’ dan madhaar mereka berpendapat bahwa dasar manafi’ adalah boleh, dan dasar bagi madhaar adalah larangan. Selanjutnya untuk lebih rinci, lihat Nasr Farid dan Abdul Aziz Azzam dalam Madkhal fii al-Qawaaid al- Fiqhiyyah. Daar Al-Bayan, hal. 71, tahun 1994.

16. Ibid, hal. 76. 17. Legalisasi fiqih Islam mempunyai dua arti, pertama berarti iyjad

(pengadaan) dan kedua berarti bayan (keterangan). Arti pertama, disini berarti tindakan Allah dan Rasul-Nya. sedangkan arti kedua, berarti tindakan para ulama dan mujtahid. Untuk keterangan lebih jauh, lihat Abdul Wahhab Khollaf dalam Al-Shulthah al-Tasyri’iyyah wa al-Tanfiidziyyah wa al- Qadhaaiyyah.

18. Wahbah Al-Zuhaily, opcit. hal 45.

Page 17: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

19. Ahmad Al-Raisuny dalam Nazhariyyaat al-Maaqashid ‘inda Al-Imam Al-Syathiby. International Institute of Islamic Thought, hal. 13 cetakan I tahun 1992.

20. Wahbah Al-Zuhaily, opcit. hal 16. 21. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Muhammad ibn Hasan Al-

Syaibany adalah orang pertama yang menulis buku ilmu ushul fiqih dan bukan Imam Syafi’i. Namun pendapat ini sangat lemah melihat sandaran ilmiahnya sangat lemah.

22. Ahmad Al-Raisuny, opcit. hal. 34. 23. Ibid, hal. 8. 24. Ibid, hal. 10. 25. Ibid, hal. 15. 26. DR. Yusuf Al-Qardhowy dalam Madkhol li Dirasaat Al-Syari’ah, hal.

59, Maktabah Wahbah. Cairo. 27. Ibid, hal. 8. 28. Wahbah Al-Zuhaily, opcit. hal. 49. 29. DR. Yusuf Al-Qardhawi, opcit. hal. 152. 30. Ibid, hal. 153. 31. Abdul Wahhab Khollaf dalam Mashaadir al-Tasyri’ al-Islaamy fii maa

laa Nashsha fii hi, hal. 155 cetakan V 1982. Daar al- Qalam. Damascus.

32. Ahmad Muhammad Al-Mashry, dalam Al-Qawaaid al-Kulliyah li al-Fiqh al-Islaamy, hal. 238 Maktabah Al-Kulliyah Al- Azhariyah, cetakan 1993. Lihat pula Al-Zuhaily, hal 193 dalam kitab yang sama dengan catatan satu.

33. Wahbah Al-Zuhaily, opcit. hal. 66. 34. Ibid, hal. 67.35. Ibid hal. 193. 36. Ibid hal. 226. 37. Ibid hal. 321

*ABD. QADIR SALAM, LC Lahir di Rembang. Alumnus KMI Gontor tahun 1990 ini telah menamatkan studi S1-nya di Fakultas Syari’ah Islamiah Universitas Al Azhar Kairo. Pernah menjabat sebagai Sekjen Dewan Solidaritas Pelajar ASEAN di Mesir. Sebelumnya pernah juga aktif di organisasi-organisasi lain seperti KSW dan IKPM cabang Mesir. Kini tengah melanjutkan studinya pada jenjang S-2 di sebuah Universitas di Afrika Selatan.

http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Jan96/6.htm

Page 18: Teori Dharurah Dan Pengaruhnya

JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSADiterbitkan oleh:

Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - MesirWeb: http://www.kmnu.org, Email: [email protected]