tradisi, makanan dan efek samping

7
Tradisi, Makanan dan Efek Samping Banyak orang yang tidak bisa mengingat masa kecilnya. Saya sendiri sepertinya hanya bisa mengingat masa kecil saya mulai usia lima tahun. Ketika usia tersebut, yang saya ingat hanya bermain, bermain dan bermain. Saat umur saya menginjak sepuluh tahun, saya ingat bahwa saat itu saya sudah sekolah, hidup tidak hanya diisi dengan bermain namun juga ada belajar. Namun yang terpenting di umur sepuluh tahun tersebut ialah mengenai betapa berat badan saya tidak normal dan melebihi batas dibandingkan dengan teman-teman seumur saya. Lalu apa hubungannya? Baiklah, saya akan menjabarkan lebih jauh mengenai asal usul keluarga saya. Kakek dan nenek saya dari pihak ayah dan ibu sama-sama berasal dari ranah minang. Meskipun ayah dan ibu saya tidak lahir di Padang, melainkan di Jakarta, namun ayah dan ibu masih sempat merasakan begitu kentalnya budaya padang di keluarganya masing-masing. Ayah saya, atau saya biasa memanggil beliau papa, dididik dalam tradisi minang yang cukup kental. Hal itu berpengaruh pula dengan selera makan papa. Nenek saya sangat ahli memasak makanan khas minang. Dengan enam orang anak yang telah dilahirkan beliau, termasuk suaminya sendiri, yaitu kakek saya, dapat dibayangkan betapa sibuknya nenek ketika memasak. Beliau harus memutar otak dan pintar mengolah uang guna mencukupi kebutuhan keluarga. Alhamdulillah keluarga papa saya cukup beruntung sehingga nenek saya selalu memasak makanan khas minang hampir setiap hari. Dan untungnya lagi, hingga umur lebih dari 70 tahun sekarang ini, nenek masih sanggup memasak makanan khas minang. Beliau sangat ahli memasak rendang.

Upload: yufendriansyah-auriga

Post on 21-Jul-2015

242 views

Category:

Health & Medicine


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tradisi, makanan dan efek samping

Tradisi, Makanan dan Efek Samping

Banyak orang yang tidak bisa mengingat masa kecilnya. Saya sendiri

sepertinya hanya bisa mengingat masa kecil saya mulai usia lima tahun. Ketika usia

tersebut, yang saya ingat hanya bermain, bermain dan bermain. Saat umur saya

menginjak sepuluh tahun, saya ingat bahwa saat itu saya sudah sekolah, hidup tidak

hanya diisi dengan bermain namun juga ada belajar. Namun yang terpenting di umur

sepuluh tahun tersebut ialah mengenai betapa berat badan saya tidak normal dan

melebihi batas dibandingkan dengan teman-teman seumur saya.

Lalu apa hubungannya? Baiklah, saya akan menjabarkan lebih jauh mengenai

asal usul keluarga saya. Kakek dan nenek saya dari pihak ayah dan ibu sama-sama

berasal dari ranah minang. Meskipun ayah dan ibu saya tidak lahir di Padang,

melainkan di Jakarta, namun ayah dan ibu masih sempat merasakan begitu kentalnya

budaya padang di keluarganya masing-masing.

Ayah saya, atau saya biasa memanggil beliau papa, dididik dalam tradisi

minang yang cukup kental. Hal itu berpengaruh pula dengan selera makan papa.

Nenek saya sangat ahli memasak makanan khas minang. Dengan enam orang anak

yang telah dilahirkan beliau, termasuk suaminya sendiri, yaitu kakek saya, dapat

dibayangkan betapa sibuknya nenek ketika memasak. Beliau harus memutar otak dan

pintar mengolah uang guna mencukupi kebutuhan keluarga. Alhamdulillah keluarga

papa saya cukup beruntung sehingga nenek saya selalu memasak makanan khas

minang hampir setiap hari. Dan untungnya lagi, hingga umur lebih dari 70 tahun

sekarang ini, nenek masih sanggup memasak makanan khas minang. Beliau sangat

ahli memasak rendang.

Page 2: Tradisi, makanan dan efek samping

Ibu saya, atau saya biasa memanggil beliau mama, juga dididik dalam tradisi

minang. Bahkan ibu dari mama, yaitu nenek, selalu menggunakan bahasa padang

dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun begitu, mama hanya mampu berkomunikasi

secara pasif. Mama tidak begitu pandai bila berbicara dalam bahasa padang, namun

cukup ahli untuk mengartikan apa yang nenek saya katakan. Seperti selayaknya gadis

jaman dahulu, mama dididik cukup keras. Tiap hari mama harus membantu nenek

untuk memasak dan berbelanja, apalagi mama merupakan anak bungsu di

keluarganya. Namun hal tersebut justru dijadikan kesempatan untuk belajar bagi

mama dan akhirnya, cuma mama yang dapat mewarisi segala keahlian nenek dalam

hal memasak dan meramu bahan masakan.

Sampai akhirnya mama dan papa bertemu, kemudian menikah hingga lahirlah

tiga anak, termasuk saya sendiri sebagai anak kedua. Mama dan papa mendidik kami

secara bebas namun bertanggung jawab. Begitu juga mengenai tugas sehari-hari di

rumah. Dapat dibayangkan betapa repotnya orang tua saya ketika mendidik anak-

anaknya ketika kecil.

Kembali lagi ketika umur saya sepuluh tahun, saat itu saya kelas 3 sd. Pada

saat itu saya sedang mengalami masa pertumbuhan, setidaknya itulah yang mama

pikirkan. Nafsu makan saya tidak dapat dikontrol. Apapun saya makan, terutama

masakan mama. Mama memang hobi memasak, baginya memasak merupakan

kewajiban yang menyenangkan. Ketika saya selalu berkata lapar dan meminta makan,

dengan senang hati mama akan memasak makanan yang enak-enak. Mulai dari

makanan khas minang, makanan khas jawa ataupun makanan impor semisal spaghetti

atau macaroni.

Saya sendiri paling senang dengan makanan khas padang. Banyak sekali yang

saya suka. Rendang, gulai, dendeng batokok, dan apapun yang dimasak balado. Saya

suka makanan tersebut semenjak saya kecil.

Page 3: Tradisi, makanan dan efek samping

Sebenarnya, tidak semua makanan yang enak itu menyehatkan. Saya akan

jabarkan sedikit mengenai beberapa makanan khas minang yang “enak” tapi belum

tentu “sehat”. Pertama, saya akan menjabarkan tentang rendang. Rendang merupakan

makanan yang terdiri dari beberapa bahan rempah seperti cabai, jahe, lengkuas,

kunyit, daun salam, sereh dan juga daun jeruk. Tidak ketinggalan juga bawang merah

dan bawang putih. Bahan utama rendang ialah daging sapi, khususnya daging sapi

khas dalam bila ingin menghasilkan kualitas yang terbaik. Kemudian, ditambah

santan. Santan merupakan bahan utama rendang dan juga bahan utama beberapa

masakan khas minang lainnya. Keseluruhan bahan tadi diolah sedemikian rupa

sehingga menghasilkan rendang yang biasa kita kenal sekarang. Rendang yang

berwarna coklat kehitaman dan disertai bumbu rendang yang mampu membuat lidah

bergoyang.

Dari rendang saja, kita dapat melihat sejatinya makanan tersebut tidak sehat

seutuhnya. Daging, yang merupakan bahan utama, memang mengandung protein

hewani yang sangat bagus untuk gizi sesorang. Namun jangan lupakan juga

kandungan lemak di dalamnya yang justru lebih banyak menghasilkan efek negative.

Rendang dimasak dan diolah menggunakan minyak goreng dengan jumlah yang

sangat banyak. Bayangkan bagaimana minyak tersebut bergabung dengan santan!

Kedua bahan tersebut bergabung dan menjadi lemak yang sangat rentan terhadap

penyakit kolesterol. Rendang tidak hanya dapat diduetkan dengan daging sapi.

Banyak orang bahkan ibu saya sendiri sering mengkombinasikan rendang dengan hati

sapi dan paru sapi. Soal rasa, jangan tanya, karena sebelas duabelas saja dengan

daging sapi. Namun yang perlu dikhawatirkan ialah bahan utama itu sendiri. Jelas

hati dan paru sapi mengandung banyak lemak.

Contoh lain yang akan saya angkat ialah gulai. Makanan khas minang banyak

sekali yang menggunakan bumbu gulai. Gulai itu sendiri merupakan gabungan dan

kolaborasi sempurna dari beberapa rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, bawang

merah dan bawang putih, ketumbar, cabai dan tentu saja santan. Meskipun gulai dapat

Page 4: Tradisi, makanan dan efek samping

dimasak dengan bahan utama seperti ayam, kepala ikan kakap, daun singkong, otak,

bahkan dengkul atau kaki sapi, kami awak minang biasa menyebutnya gulai tunjang.

Walaupun dalam mengolah gulai tidak terlalu menggunakan banyak minyak goreng

namun bukan berarti makanan tersebut tidak mengandung “bahaya”.

Apakah cukup dengan rendang dan gulai saja saya dapat menafsirkan bahwa

makanan padang tdak selalu sehat? Tentu saja tidak. Justru budaya kami yang

membuat hal itu semakin parah. Kami awak minang, khususnya keluarga besar saya,

mempunyai suatu tradisi yang biasa disebut makan basamo. Tradisi tersebut ialah

beberapa orang makan bersama, lesehan tentunya, dengan menggunakan suatu

wadah, piring besar atau bisa juga nampan yang sangat besar. Makan basamo ini

biasanya diadakan ketika ada event-event tertentu seperti pernikahan atau ketika

lebaran. Saya sendiri sejak kecil selalu senang dengan tradisi ini.

Apakah bahayanya? Manusia merupakan makhluk social. Bahkan ketika

makan pun manusia lebih senang makan dengan ditemani dengan sesamanya. Begitu

pula kami awak minang, makan bersama dengan keluarga besar tentu menjadi hal

yang seru. Dapat saya bayangkan bagaimana kami tertawa bersama, membagi lauk

yang ada dengan sesama dan segala kelucuan dan kenikmatan yang ada ketika makan

basamo tersebut. Segala hal tersebut membuat lupa. Lupa bahwa sesungguhnya perut

kita telah menampung makanan yang lebih dari cukup. Hal itu terpengaruh karena

ketika makan, kita seolah-olah tidak bisa berhenti karena ada rasa kebersamaan yang

tinggi. Coba bandingkan dengan makan sendirian, rasa-rasanya kita akan heran

sendiri bagaimana dapat menghabiskan makanan sebanyak itu.

Bahaya lainnya bagi kami awak minang ialah nasi. Apa enaknya makan

dengan lauk yang sangat menggiurkan tanpa ditemani nasi? Tentu saja tidak nikmat!

Kami benar-benar menganggap bahwa nasi merupakan makan pokok. Saya sendiri

ingat ketika kecil makan nasi dengan sambal pun sudah terasa nikmat. Itulah

bahayanya. Seperti yang telah diketahui bersama nasi merupakan sumber karbohidrat

Page 5: Tradisi, makanan dan efek samping

tinggi. Namun juga mengandung gula yang sangat banyak. Kebiasan makan nasi ini

yang membuat kebanyakan kami masyarakat minang menderita dibetes. Di keluarga

besar kami, diabetes sudah menjadi hal yang biasa.

Lantas, bagaimana jika pola makan yang sedemikian rupa serta asupan

makanan yang telah saya sebutkan di atas telah saya alami sejak umur lima tahun dan

berlanjut hingga sekarang? Pada umur sepuluh tahun saya mempunyai berat badan di

atas normal. Dan sekarang pun di umur saya yang hampir 20 tahun saya masih

terlihat gemuk meskipun bukan obesitas dan untungnya saya tidak menderita diabetes

ataupun kolesterol. Namun bagaimana sepuluh atau duapuluh tahun lagi? Siapa

berani jamin?

Dan ternyata pola makan yang tidak bagus serta dampaknya yang buruk

bukan hanya menimpa kesehatan fisik saja. Bagaimana dengan psikis? Jujur, ketika

saya berumur sepuluh tahun, saya tidak menderita obesitas ataupun diabetes. Namun

secara tidak langsung saya mengalami gangguan psikis. Saya selalu malu dan minder

karena hampir tiap hari dicemooh dan dijahili akibat berat badan saya yang berlebih.

Untungnya dukungan keluarga dan banyak dari teman saya yang melindungi saya

sehingga dampak buruk tersebut tidak berlanjut lebih jauh. Namun bagaimana dengan

anak-anak lain yang kurang beruntung?

Oleh karena itu saya ingin memberikan saran bahwasannya, pola makan dan

terutama kesehatan harus diperhatikan sejak kecil. Saya dididik untuk bebas, orang

tua saya tidak pernah melarang dan menanhan keinginan saya untuk mengkonsumsi

makanan apapun. Hal tersebut tidak sepenuhnya positif. Orang tua seharunya terus

memantau dan mengkontrol asupan gizi anaknya. Karena penyakit yang kita derita

saat ini bisa jadi akibat pola kesehatan yang buruk dari beberapa tahun ke belakang,

atau bahkan sejak kecil.

Page 6: Tradisi, makanan dan efek samping

Dan juga hal yang penting, jangan biarkan tradisi dan makanan daerah asal

kita memberikan dampak buruk bagi kesehatan fisik maupun rohani kita. Karena

sesungguhnya tradisi dan makanan tersebut tidak dapat disalahkan. Semua

dikembalikan kepada kita, manusia, untuk memilih apa yang baik dan buruk untuk

kelangsungan hidup kita sendiri.

Page 7: Tradisi, makanan dan efek samping

Biodata Singkat

Nama : Yufendriansyah Auriga

Tempat lahir : Jakarta

Tanggal lahit : 1 November 1991

Agama : islam

Alamat : Jl. H. Iming 20 01/02 beji, depok utara 16421

Nomor telefon : (021) 7756109

Nomor handphone : 083874603863

Email : [email protected]

Status : Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)