tinjauan yuridis terhadap praktik pinjaman online
TRANSCRIPT
1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PINJAMAN ONLINE
YANG DIBANDINGKAN DENGAN PRAKTIK PINJAMAN
KONVENSIONAL
SKRIPSI
Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
MIRZAN FERIDANI MANULLANG
NIM: 160200145
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
2
ABSTRAK
Mirzan Feri Dani Manullang*
Hasim Purba**
Aflah***
Penelitian skripsi ini berjudul Tinjauan yuridis terhadap praktik pinjaman
online yang dibandingkan dengan praktik pinjaman konvensional. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui ketentuan pelaksanaan pinjam meminjam
uang berbasis online dan perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban para
pihak didalam perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online serta untuk
mengetahui penyelesaian hukum apabila terjadi wanprestasi. Adapun mengenai
rumusan masalah yang dibahas yaitu mengenai ketentuan pelaksanaan pinjam
meminjam berbasis online di Indonesia, tentang perlindungan hukum dan hak
kewajiban para pihak dalam perjanjian pinjam meminjam berbasis online serta
mengenai penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa ataupun wanprestasi pada
perjanjian pinjam meminjam berbasis online.
Metode penelitian yang digunakan untuk mejawab rumusan masalah
tersebut adalah metode penelitian hukum normatif dengan menganalisis dan
mengkaji data sekunder berupa bahan hukum premier, bahan hukum sekunder,
bahan hukum tersier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan
teknik studi pustaka dan dianalisis secara normatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa ketentuan
perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online tidak terlepas dari syarat sah
perjanjian yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata, selain itu dalam
pelaksanaannya para pihak juga berpegang pada pasal 1338 KUH Perdata yang
menjadikan perjanjian sebagai dasar hukum bagi mereka serta POJK Nomor
77/POJK.01/2016. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan
pinjam meminjam uang berbasis online meliputi perlindungan hukum preventif
dan juga perlindungan hukum represif. Dalam hubungan hukum para pihak
apabila terjadi wanprestasi atau sengketa maka para pihak apabila terjadi
wanprestasi atau sengketa maka para pihak dapat menyelesaikan melalui dua cara
yaitu melalui litigasi dan non litigasi.
Kata kunci : Pinjaman online, Wanprestasi
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis mulai dari menjalani
perkuliahan hingga mengakhiri perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dengan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Adapun skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik
Pinjaman Online yang Dibandingkan Dengan Praktik Pinjaman
Konvensional”.
Dalam skripsi ini saya menyadari bahwa penyelesaiannya tidak terlepas
dari bimbingan, dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pertama sekali saya selaku penulis skripsi ini mengucapkan terimakasih kepada
orang tua saya yaitu Bapak Maraden F Manullang dan Ibu Siti Rupana Purba yang
dengan senantiasa seikhlas hati mendukung dan selalu memberikan doa terbaik
kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
Selain itu, penulis juga turut mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang turut serta dalam membimbing dan memberikan motivasi selama
proses perkuliahan sampai dengan pengerjaan skripsi ini. Untuk itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Prof. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
ii
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Samsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba,SH,.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I
yang telah memberikan bantuan serta arahan kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini
8. Ibu Aflah,SH,.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan waktu, bimbingan, serta bantuan kepada saya selama
menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibu Dr. Megarita, S.H., CN, selaku Dosen PA penulis sejak awal
perkuliahan yang telah memberikan bimbingan kepada saya dalam
perkuliahan.
10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang mengabdikan diri mengajar
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utarayang turut mendukung
seluruh perkuliahan penulis selama menjalani perkuliahan.
11. Saudara ku yang terkasih Awan Samudra Manullang yang tak henti-henti
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini
iii
12. Teman dekatku Mutiara Cinta Kasih Nasution yang selalu memberikan
semangat dan motivasi dikala pengerjaan skripsi ini
13. UKM Catur Universitas Sumatera Utara dan seluruh teman-teman anggota
yang ada didalamnya yang menjadi tempatku meraih prestasi selama
perkuliahan
14. UKM Debat Bahasa Indonesia dan Public Speaking Universitas Sumatera
Utara dan seluruh adik-adikku yang ada didalamnya yang menjadi
tempatku belajar public speaking dan debat semasa perkuliahan
15. Komunitas Generasi Baru Indonesia dan seluruh teman-temanku yang ada
didalamnya yang memberikan banyak pengalaman dan kemampuan
semasa perkuliahan
16. Teman-teman grup Solidaritas Fakultas Hukum 2016 yang telah
memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan
pengerjaan skripsi ini, Roy Manurung, Ishak Simanungkalit, Gunawan
Sembiring, Petra Ginting.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………...1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian............................................................................ 8
E. Keaslian Penulisan .......................................................................... .9
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10
G. Metode Penelitian ........................................................................... 11
H. Sistematia Penulisan ....................................................................... 13
BAB II: KETENTUAN PELAKSANAAN PINJAM-MEMINJAM BERBASIS
ONLINE…………………………………………………………….15
A. Pengertian Pinjam Meminjam Secara Konvensional dan Pinjam
Meminjam Berbasis Online
1. Pengertian pinjam meminjam secara konvensional ................... 15
2. Pengertian pinjam meminjam berbasis online ........................... 16
B. Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis
Online ............................................................................................ 17
C. Tata Cara Pelaksanaan Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis Online
1. Klausula Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis
Online……. .................................................................................... 24
v
2. Lahirnya Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online ...
......................................................................................................29
3. Berakhirnya Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
......................................................................................................33
BAB III: PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK MENGENAI HAK DAN
KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PINJAM
MEMINJAM UANG BERBASIS ONLINE………………..…36
A. Para Pihak Dalam Pinjam Meminjam Berbasis Online
1. Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
................................................................................................... 36
2. Pemberi Pinjaman ................................................................. 37
3. Penerima Pinjaman ................................................................ 38
4. Bank ...................................................................................... 38
5. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) .............................................. 39
B. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pinjam Meminjam Berbasis
Online
1. Hubungan Hukum Antara Pemberi Pinjaman dengan Penyelenggara
................................................................................................... 40
2. Hubungan Hukum antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima
Pinjaman ................................................................................... 43
3. Hubungan Hukum antara Penyelenggara dengan Bank ....... 45
4. Hubungan Hukum antara Penyelenggara dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) ........................................................................ 46
vi
C. Perlindungan Hukum dalam Pinjam Meminjam Berbasis Uang
Berbasis Online
1. Perlindungan Hukum Preventif ................................................. 48
2. Perlindungan Hukum Represif .................................................. 48
D. Perbandingan Pinjam Meminjam Uang Secara Konvensional dengan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
1. Persamaan antara Pinjam Meminjam Uang Secara Kovensional
dengan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online.. ....................... 51
2. Perbedaan antara Pinjam Meminjam Uang Secara Kovensional
dengan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online ......................... 57
3. Resiko Pada Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online ............. 60
BAB IV: PENYELESAIAN HUKUM DALAM HAL WANPRESTASI PADA
PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM SECARA ONLINE…….…63
A. Penerapan Asas-Asas Perjanjian Pada Kontrak Online ................ 63
B. Penggunaan Kontrak Online Dalam Transaksi Pinjam Meminjam
Berbasis Online ............................................................................. 68
C. Penyelesaian Hukum Pinjam Meminjam Berbasis Online Apabila
Terjadi Wanprestasi....................................................................... 72
BAB V: PENUTUP……………………………………………………………94
A. Kesimpulan.................................................................................... 94
B. Saran .............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekarang ini manusia memiliki kehidupan dengan segala aktivitas yang
tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi lebih menyebabkan perubahan baik dibidang sosial,ekonomi dan
budaya yang berlangsung begitu pesat. Dengan perkembangan teknologi yang
sangat maju,dibidang finansial atau keuangan juga memilki perkembangan kearah
yang lebih efisien dan modern.1
Kemajuan teknologi dalam perekonomian nasional ini ditingkatkan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat demi mewujudkan kehidupan perekonomian yang
lebih baik. Seiring dengan perkembangan era globalisasi dewasa ini,segala macam
aktivitas masyarakat tidak terlepas dari bantuan teknologi. Begitu pula pada sektor
keuangan yang kini mulai terintegrasi dengan platform sistem elektronik tersebut.
Salah satu kemajuan dalam bidang keuangan saat ini adanya adaptasi
Financial Technology yang disingkat menjadi fintech. Fintech itu sendiri berasal
dari istilah financial Technology. Menurut The National Digital Research
Centre(NDRC) fintech merupakan suatu inovasi pada sektor finansial. Tentunya
,inovasi finansial ini mendapat sentuhan teknologi modern. Keberadaan fintech
dapat mendatangkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman.
Salah satu contoh platform jasa keuangan yang ditawarkan oleh pelaku
usaha fintech adalah pinjam meminjam berbasis online. Praktik bisnis pinjam
1 Edi Suprayitno, Nur Ismawati, ”Sistem informasi Fintech Pinjaman Online Berbasis
web”, Jurnal Sistem Informasi,Teknologi Informasi dan Komputer Volume 9, Nomor 2, Tahun
2008, Halaman 100.
2
meminjam online menghubungkan pemberi pinjaman dengan peminjam secara
online.2
Financial technology sebagai perantara dari pihak yang kelebihan dana
(surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds) yang
memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary).
Fintech atau layanan pinjam meminjam uang berbasis online, berbeda
dengan layanan pinjam meminjam uang sebagaimana diatur dalam Pasal 1754
KUHPerdata. Pada perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana diatur dalam
Pasal 1754 KUHPerdata para pihak yang terlibat adalah pemberi pinjaman dan
penerima pinjaman dimana para pihak ini memiliki hubungan hukum secara
langsung melalui perjanjian pinjam meminjam. Pemberi pinjaman berkewajiban
untuk memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang yang
menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa penerima pinjaman akan
mengembalikan dalam jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula. Sedangkan dalam layanan fintech, pemberi pinjaman tidak bertemu langsung
dengan penerima pinjaman, bahkan diantara para pihak dapat saja tidak
mengetahui atau mengenal karena dalam fintech ini ada wadah yang
menghubungkan kepentingan keduanya.3
Pada masa sekarang pinjam meminjam berbasis online ini dianggap
menjadi suatu model solusi pembiayaan dengan cara financial technology yang
2 Raden Ani Eko Wahyuni,Bambang Eko Turisno, ”Praktik Finansial Teknologi Ilegal
Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika Bisnis”, Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019, Halaman 380. 3 Ratna Hartanto dan Juliyani Purnama Ramli, “Hubungan Hukum Para Pihak dalam
Peer to Peer Lending”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Volume 25, Nomor 2, Tahun 2018,
Halaman 322.
3
dianggap efektif dan efisien. Dari definisi diatas jelas bahwa dibuatnya teknologi
pinjam meminjam secara online ini untuk mempermudah masyarakat untuk
mendapatkan pinjaman tanpa harus terbatasi oleh ruang dan waktu selama gadget
seperti smartphone dan komputer yang digunakan dapat terkoneksi internet.
Selain itu proses pencairan pinjaman dan proses pengembalian dengan sistem
cicilan dilakukan melalui transfer ATM atau bank sehingga tidak memakan
waktu. Dengan kemudahan dan efesiensi ini diharapkan menjadi solusi keuangan
masyarakat.4
Kemudian suatu sebab pinjam meminjam berbasis online digemari
masyarakat adalah kesulitan dalam mengakses layanan keuangan formal dengan
berbagai persyaratan administrasi yang harus dipenuhi. Persyaratan administrasi
pinjaman online relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan pinjam meminjam
pada layanan keuangan formal.5
Sebelum lahirnya teknologi pinjam meminjam uang berbasis online,
masyarakat mendapatkan peminjaman dari bank atau lembaga lainnya melalui
serangkaian prosedur yang lumayan panjang sampai dana tersebut cair. Saat
ini,dengan adanya aplikasi fintech, masyarakat yang akan melakukan peminjaman
dapat mendownload berbagai aplikasi atau bisa juga dengan membuka website
yang memberikan jasa pinjam meminjam. Kemudahan tersebut memberikan daya
tarik tersendiri sehingga banyak yang memilih pinjam meminjam berbasis online.
Perbandingan kedua pinjaman tersebut cukup signifikan dimana bank biasa
4 Edi Suprayitno, Nur Ismawati, ”Sistem informasi Fintech Pinjaman Online Berbasis
web”, Jurnal Sistem Informasi,Teknologi Informasi dan Komputer, Volume 9, Nomor 2, 2008,
Halaman 101. 5 Raden Ani Eko Wahyuni,Bambang Eko Turisno, Loc.cit
4
mencairkan dananya direntang waktu 7 hingga 14 hari kerja,sedangkan layanan
pinjam meminjam berbasis online hanya dalam rentang 4 jam sampai 3 hari. Dari
kedua perbandingan diatas,pinjam meminjam berbasis online tentu menjadi
pilihan masyarakat baik dari akses kecepatan, tetapi disisi lain memiliki resiko
tersendiri. Layanan keuangan pinjam meminjam berbasis online ini bisa
digolongkan sebagai lembaga keuangan bukan bank, contoh penyelenggara
layanan pinjam-meminjam secara online adalah adalah kredivo dan uang teman.
Kedua penyelenggara layanan pinjam-meminjam berbasis online tersebut
berbentuk perusahaan akan tetapi termasuk kedalam perusahaan penyedia layanan
keuangan bukan bank.
Percepatan dan perkembangan teknologi informasi seperti uraian diatas
memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan peradaban umat
manusia. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua,karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban
dunia, tapi sekaligus menjadi sasaran yang efektif dalam perbuatan melawan
hukum. Perkembangan teknologi dari aspek keuangan menjadi tantangan baru
bagi pemerintah dalam mengatur regulasinya.
Kegiatan pinjam meminjam berbasis online ini harus dibarengi dengan
payung hukum yang bersifat adil dan berkepastian hukum, agar menciptakan
persaingan yang sehat dan memberikan kenyamanan bagi kreditur maupun debitur
didalam kegiatan pinjam meminjam berbasis online ini. Kenyamanan yang
dimaksud adalah bahwa debitur mendapat garansi terkait dengan kerahasiaan data
diri maupun segala bentuk jaminannya oleh karena tersebar dimuka umum sangat
5
mudah melalui media online. Begitu pula dengan kreditur yang wajib merasa
tenang dan aman dalam menjalankan usahanya,oleh karena proses pinjam
meminjam berbasis online tidak dilakukan dengan tatap muka langsung, sehingga
proses pengecekan ataupun pemeriksaan jaminan dan kemampuan membayar
menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk di analisis.6
Contohnya pada 2017 tepatnya, salah satu pengguna jejaring sosial
mengeluhkan di jejaring sosialnya terkait penagihan pinjaman yang dinilai
menyalahgunakan data pribadi nasabah dengan mengakses kontak ponsel nasabah
apabila terjadi keterlambatan dan gagal membayar pinjaman. Tentunya hal ini
sangat meresahkan nasabah dan kontak ponsel yang dihubungi oleh pihak pemberi
layanan pinjam meminjam uang berbasis online. Tidak hanya mengakses kontak
ponsel peminjam yang terlambat membayar, bahkan ada yang berupa terror,
denda harian, hingga bunga yang tinggi. Hal ini tentunya menjadi suatu
permaasalahan, untuk itu peminjam harus mendapatkan perlindungan mengenai
haknya dalam hal ini perlindungan data diri atau dokumen pribadi yang
diserahkan kepada si pemberi pinjaman sebagai jaminan.7
Isu hukum lain yang menarik dilihat tentang pinjam meminjam uang
berbasis online ini yaitu si peminjam menggunakan data diri yang bukan miliknya
dalam melakukan transaksi pinjam meminjam uang berbasis online ataupun si
debitur atau peminjam dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya yaitu
tidak membayar atau tidak mengembalikan pinjaman ke kreditur atau si penyedia
6 Istiqamah, “Analisis Pinjaman Online Oleh Fintech Dalam Kajian Hukum Perdata”,
Jurisprudentie, Volume 6, Nomor 2,Tahun 2019, Halaman 294. 7
Femina, Diteror Debt Collector Karena Utang Pada Aplikasi Pinjaman Online,
https://www.femina.co.id/True-Story/diteror-debt-collector-karena-utang-pada-aplikasi-pinjaman-
online, Diakses pada tanggal 5 Maret 2021 pukul 21.18.
6
layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online yang mana hal ini merugikan
pihak kreditur atau penyedia layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online.
Berbicara mengenai kepastian hukum seperti diatas maka tidak dapat
terlepas dari perjanjian atau kontrak para pihak yang didasari oleh adanya
kesepakatan, kemudian dalam pelaksanaan kontrak tentunya para pihak harus
didasarkan dengan sifat itikad baik, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan
melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari para pihak, dan juga hak ini
berkaitan dengan tujuan utama dari hukum yaitu menjamin kepastian hukum bagi
setiap orang.8
Di Indonesia sendiri peraturan mengenai pinjam meminjam berbasis online
belum diatur secara spesifik dalam undang-undang yang khusus namun ada
beberapa peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan dan penyelenggaran
pinjam meminjam berbasis online ini,antara lain, sebagai berikut :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik
4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial
8 Raden Ani Eko Wahyuni,Bambang Eko Turisno, ”Praktik Finansial Teknologi Ilegal
Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika Bisnis”, Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019, Halaman 381.
7
5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam
Meminjam Secara Online
6) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan 18/SEOJK.02/2017 tentang Pelaksanaan
Tata Kelola dan Manajemen Resiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi.
7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua
atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik.
Dalam penyelenggaran dan pelaksanaan praktik pinjam meminjam
berbasis online ini juga dibutuhkan pengawasan oleh lembaga-lembaga yang
bergerak dibidang keuangan dalam hal ini pengawasan dibebankan kepada
Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki wewenang untuk mengawasi langsung
pelaksanaan praktik pinjam meminjam berbasis online ini, serta Bank Indonesia
juga sebagai salah satu lembaga keuangan yang independen memiliki kewenangan
terhadap pemberian izin kepada penyelenggara pinjam meminjam berbasis online
dan turut mengawasi pelaksanaannya.
Berdasarkan hal-hal diatas maka pembahasan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan pinjam meminjam berbasis online dianggap menarik,selain
karena belum ada regulasi Undang-Undang secara khusus membahas tentang
penyelenggaraan pinjam meminjam berbasis online ini juga menarik dibahas
secara teoritis mengenai pinjam meminjam berbasis online baik dilihat dari segi
subjek hukum, objek jaminan, resiko pelaksanaannya, hak dan kewajiban para
pihak, regulasi pinjam meminjam berbasis online dan pinjam meminjam secara
8
konvensional,bahkan perjanjian hingga bagaimana penyelesaian hukum apabila
terjadi wanprestasi dalam penyelenggaraan pinjam meminjam berbasis online ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan pada penulisan skripsi ini antara lain,sebagai
berikut:
1. Bagaimana ketentuan pelaksanaan pinjam meminjam berbasis online di
Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian pinjam meminjam berbasis online ?
3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam hal terjadi wanprestasi pada perjanjian
pinjam meminjam berbasis online ?
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain, sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui tentang ketentuan pelaksanaan pinjam meminjam berbasis
online di Indonesia
2. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian pinjam meminjam berbasis online
3. Untuk mengetahui tentang penyelesaian hukum apabila terjadi wanprestasi
pada perjanjian pinjam meminjam berbasis online
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini antara lain, sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
9
Untuk memberikan suatu pengetahuan,pengembangan penalaran, dan
wawasan mahasiswa atau kalangan akademis hingga masyarakat mengenai
hukum perdata pinjam meminjam khususnya pada pelaksanaan pinjam
meminjam yang dilakukan melalui media internet atau berbasis online
terutama berkaitan dengan peraturan yang berlaku yang nantinya diharapkan
mampu menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Untuk menjadi panduan ataupun referensi maupun sebagai masukan
bagi setiap orang yang akan melakukan transaksi pinjam meminjam berbasis
online ataupun sebagai bahan untuk memperdalam pengetahuan bagi
mahasiswa yang ingin mempelajari mengenai pinjam meminjam berbasis
online serta diharapkan dikemudian hari dapat menjadi perbandingan bagi
penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan mendalam mengenai permasalahan
dalam penelitian ini.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik
Pinjaman Online Yang Dibandingkan Dengan Praktik Pinjaman Konvensional”.
Penulisan skripsi ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran merupakan
berdasarkan usaha sendiri dan bukan sebuah hasil ciptaan orang lain ataupun hasil
dari penggandaan karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak
tertentu. Sebagai suatu pembanding yang menguatkan bahwa penulisan skripsi ini
asli adalah penulisan skripsi alumni Universitas Sumatera Utara, khususnya
fakultas hukum dengan tema pembahasan yang sama yaitu menyangkut hal
10
pinjam-meminjam berasis online, yaitu penulisan skripsi dengan judul aspek
hukum kontrak antara debitur dengan kreditur dalam perjanjian pinjam meminjam
berbasis teknologi informasi,dengan penulis Intan Kristin manullang, NIM
140200436, yang pada pembahasaanya menekankan pada bagaimana pelaksanaan
kontrak pada pinjam-meminjam berbasis online. Suatu perbedaan yang mendasar
terletak pada skripsi ini yaitu akan dibandingkan bagaimana perjanjian pinjam-
meminjam berbasis online dengan perbandingan pinjam-meminjam secara
konvensional, Pada skripsi ini juga telah dilakukan tahap pemeriksaan oleh
Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum atau Pusat Dokumentasi dan
Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal “04
Februari 2020” dan tidak ditemukan adanya judul skripsi yang sama, maka
dengan demikian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keaslian
penulisannnya. Jika dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama dan muncul
permasalahan,maka penulis bersedia untuk mempertanggungjawabkannya baik
secara moral maupun ilmiah.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pinjam-meminjam berdasarkan Pasal 1754 Burgerlijk werkboek adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang
sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
2. Pinjam-meminjam berbasis online adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman
11
dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah
secara langsung melalui sistem elektronik menggunakan jaringan internet.
3. Perjanjian berdasarkan Pasal 1313 Burgerlijk werkboek adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih sedangkan menurut Subekti suatu perjanjian didefinisikan sebagai suatu
peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
4. Penjanjian/kontrak online yaitu suatu ikatan atau hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik yang mana didalamnya para pihak saling berinteraksi
dan menciptakan suatu interaksi.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten,maka dari itu sudah seharusnya suatu sistematika penulisan
mengggunakan metode penelitian yang baik dan benar.9
Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian hukum normative (yuridis normative). Penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini juga disebut dengan penelitian
9 Soerjono Soekanto,Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawai Pers, Jakarta,
2013, Halaman 1.
12
hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup didalamnya penelitian
terhadap asas-asas hukum,penelitian terhadap sistematik hukum, perbandingan
hukum serta sejarah hukum.10
2. Sumber Data
Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer
Merupakan bahan hukum yang terdiri dari semua dokumen peraturan yang
mengikat,dan ditetapkan oleh pihak berwenang, yaitu peraturan perundang-
undangan. Baik dibidang hukum perdata maupun hukum acara perdata, Antara
lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi
elektronik mperubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
pinjaman online
5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
penyelenggaraan teknologi finansial.
b. Bahan hukum sekunder
Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer,antara lain :
10
Ibid, Halaman 14.
13
1) Rancangan undang-undang
2) Hasil-hasil penelitian
3) Jurnal
4) Modul
5) Majalah hukum.
c. Bahan hukum tersier
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,antara lain :
1) Kamus
2) Ensiklopedia atau sumber internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi
pustaka atau Library research. Studi pustaka merupakan suatu metode
pengumpulan data yang digunfakan untuk memperoleh data sekunder dengan cara
mengumpulkan dan menggali sumber-sumber yang tertulis, baik dari instansi
yang berhubungan, maupun literatur buku yang relevan ke pembahasan penelitian
yang digunakan demi kelengkapan penelitian.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data penulisan skripsi ini digunakan metode
kwalitatif.. Pendekatan ini berawal dari gagasan para ahli, kerangka teori, ataupun
pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya, pendekatan ini juga menyorot
terhadap masalah serta usaha pemecahannya.
H. Sistematika Penulisan
14
Secara sistematis skripsi ini terbagi atas lima bab yang tiap-tiap bab terdiri
atas beberapa sub bab yang saling berhubungan. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab i mengenai pendahuluan,berisikan tentang gambaran umum yang
berisi latar belakang pemikiran penulis sehingga mengangkat judul skripsi ini,
pemasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat
penelitian,keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta
sistematika penulisan skripsi.
Bab ii mengenai ketentuan pelaksanaan pinjam-meminjam berbasis online,
berisi tentang pengertian pinjam meminjam secara konvensional dan berbasis
online, aturan hukum perjanjian pinjam-meminjam berbasis online serta tata cara
pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam berbasis online.
Bab iii mengenai perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian pinjam-meminjam berbasis online.
Bab iv mengenai penyelesaian hukum dalam hal wanprestasi, berisi
tentang penerapan asas-asas perjanjian pada kontrak online,penggunaan kontrak
online dalam transaksi pinjam-meminjam berbasis online, serta penyelesaian
hukum apabila terjadi wanprestasi dalam pinjam meminjam berbasis online.
Bab v mengenai kesimpulan dan saran, merupakan bagian penutup dari
rangkaian bab-bab sebelumnya dalam penulisan skripsi ini. Bab ini berisi tentang
kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang dikemukakan.
15
BAB II
KETENTUAN PELAKSANAAN PINJAM-MEMINJAM BERBASIS
ONLINE
A. Pengertian Pinjam Meminjam Secara Konvensional dan Pinjam
Meminjam berbasis Online
1. Pengertian pinjam meminjam secara konvensional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna dari kata pinjam
adalah memakai barang(uang dan sebagainya) orang lain untuk waktu tertentu
(kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan).
Menurut ilmu fiqih, pinjam meminjam adalah transaksi antara dua pihak.
Misalnya orang yang menyerahkan uang kepada orang lain secara sukarela, dan
uang itu dikembalikan lagi kepada pihak pertamadalam waktu yang berbeda,
dengan hal yang serupa11
Pinjam meminjam merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam
meminjam antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang
diperjanjikan pada umumnya adalah uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai
pihak yang memberikan pinjaman, sedang pihak yang lain menerima pinjaman
uang. Uang yang dipinjamkan akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan yang diperjanjikan. Perjanjian pinjam meminjam uang termasuk
kedalam pinjam meminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam bab ketiga belas
buku ketiga KUH Perdata. Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan bahwa pinjam
meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
11
Abu sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam , Surabaya: Al-Ikhlas, 1993,
Halaman 125.
16
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula12
Berdasarkan Pasal 1754 KUH Perdata bahwa objek perjanjian pinjam
meminjam berupa barang-barang yang dapat habis karena pemakaian. Oleh
karena itu pihak yang meminjam akan mengembalikan barang yang dipinjam
dengan ukuran dan nilai yang sama, begitu juga dengan uang yang dipinjam harus
dikembalikan dengan nilai yang sama dan dapat dibelanjakan.
Didalam pinjam meminjam terdapat dua pihak yang melakukan
perjanjian,yaitu pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima
pinjaman uang. Istilah yang sering digunakan dalam hal tersebut adalah, untuk
pihak yang memberikan pinjaman adalah pihak yang berpiutang atau disebut juga
dengan kreditur, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut pihak yang
berutang atau debitur.13
2. Pengertian pinjam meminjam berbasis online
Dalam hal pinjam meminjam berbasis online mempunyai perbedaan
sendiri dibandingkan dengan penjelasan pinjam meminjam pada umumnya yang
telah disebutkan diatas, pengertian pinjam meminjam berbasis online itu sendiri
yaitu disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK
Nomor. 77/POJK.01/2016 bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis online
atau teknologi infomasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman atau kreditur dengan penerima pinjaman atau
12
Gatot Supramono, Perjanjian Pinjam Meminjam, Ctk. Pertama, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, 2013, Halaman 9. 13
Ibid, Halaman 10.
17
debitur dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang
rupiah secara langsung melalui sistem elektronik menggunakan jaringan internet.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan, informasi elektronik
dibidang layanan jasa keuangan. Sedangkan teknologi informasi adalah suatu
teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi dibidang layanan
jasa keuangan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diartikan bahwa pinjam
meminjam berbasis online memiliki kesamaan definisi dengan pinjam meminjam
pada umumnya, yaitu satu pihak memberikan pinjaman yang kemudian disebut
sebagai kreditur dan satu pihak lagi menerima pinjaman yang kemudian disebut
sebagai debitur yang mana debitur wajib untuk mengembalikan sejumlah utang
kepada debitur dalam jangka waktu yang ditentukan, namun perbedaan mendasar
diantara keduanya yaitu didalam pinjam meminjam berbasis online para pihak
tidak melakukan tatap muka langsung untuk melakukan perjanjian pinjam
meminjam melainkan melalui perantara teknologi informasi atau secara online.
B. Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis
Online
Perjanjian secara umum berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
18
Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian dari perjanjian adalah
merupakan suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua
pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu
hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.14
Menurut pendapat Ch. Gatot Wardoyo perjanjian pinjam meminjam uang
mempunyai fungsi sebagai perjanjian pokok, alat bukti mengenai batas-batas hak
dan kewajiban para pihak.15
.
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.16
Dari beberapa definisi perjanjian atau kontrak yang disebutkan diatas
dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat di dalam suatu kontrak atau perjanjian.
Penarikan kesimpulan unsur-unsur tersebut disesuaikan dengan makna kontrak
atau perjanjian yang berkembang di Indonesia.17
Dari makna perjanjian yang berkembang di Indonesia dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian,
yaitu:18
a. Ada para pihak
14
Wirjono Prodjodikoro,1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet VIII,
Bandung, Sumur, Halaman 11. 15
Hermansyah, 2011, Hukum Pebankan Nasional Indonesia, Cet. VI, Kencana, Jakarta,
Halaman 72. 16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1999, Halaman 100. 17
Sudikno Mertokusumo dalam Ridwan Khairandy, Halaman 66. 18
Ibid.
19
b. Ada kesepakatan yang membentuk perjanjian
c. Kesepakatan itu ditujukan untuk menimbulkan akbiat hukum; dan
d. Ada objek tertentu.
Dikaitkan dengan sistem hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia,
unsur-unsur perjanjian tersebut dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) klasifikasi
saja, yaitu unsur essensialia, unsur naturalia , unsur accidentalia. Menurut
Sudikno Mertokusumo:19
1. Unsur Essensialia, yaitu unsur yang mutlak harus ada agar perjanjian tersebut
sah menurut hukum, yaitu syarat sahnya perjanjian yang dianut dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari kesepakatan, adanya para
pihak yang telah cakap hukum, adanya suatu objek, dan adanya suatu sebab yang
halal, yaitu bahwa isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang , ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Unsur Naturalia, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus,
melainkan secara diam-diam melekat pada setiap perjanjian atau dianggap ada
dalam setiap perjanjian. Misalnya didalam perjanjian pinjam meminjam, si
penerima pinjaman mempunyai kewajiban untuk mengembalikan objek yang telah
dipinjamkan oleh si pemberi pinjaman.
3. Unsur Accidentalia, yaitu unsur-unsur yang harus secara tegas diperjanjikan
tersebut, unsur ini tidak diatur oleh undang-undang melainkan dari ketentuan
umum.
19
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
20
Dalam hukum perdata perjanjian dapat dibeda-bedakan menurut berbagai
cara. Adapun jenis-jenisnya antara lain:
1. Perjanjian-perjanjian yang timbal balik, timbal-balik tidak sempurna, dan
sepihak.
Yang dimaksud dengan perjanjian timbal-balik adalah perjanjian-pejanjian
yang jual-beli dan sewa-menyewa. Dari perjanjian timbal-balik tidak sempurna
bagi satu pihak senantiasa timbul suatu kewajiban pokok, sedangkan mungkin
pihak yang lainnya juga wajib untuk sesuatu, tanpa dapat dikatakan dengan pasti
bahwa disitu terdapat prestasi-prestasi yang saling seimbang. Sedangkan pada
perjanjian sepihak senantiasa hanya terjadi kewajiban-kewajiban bagi salah satu
pihak, contohnya pinjam mengganti.20
2. Perjanjian dapat dibuat dengan percuma atau dengan alas hak yang membebani.
Yang dimaksud perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah
perjanjian-perjanjian yang disitu terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu
selalu terdapat (kontra) prestasi dari pihak yang lainnya, sedangkan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra-prestasinya dapat berupa
suatu kewajiban dari pihak lainnya, tetapi juga pemenuhan suatu syarat yang
protestatif, misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang
tertentu jikalau B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A. Perjanjian
dengan percuma ialah perjanjian yang disitu menurut hukum terjadi keuntungan
hanya bagi salah satu pihak saja seperti pinjam-pakai.21
a. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama.
20
Sri Seodewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perutangan, Lyberty, Yogyakarta,1980,
Halaman 3. 21
Ibid.
21
b. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.
Perjanjian jual-beli misalnya menurut hukum perdata BW belum
mengakibatkan pindahnya eigendom dari barang yang dijual kepada pembeli.
Jual-beli itu disebut perjanjian obligatoir, artinya perjanjian yang menimbulkan
perutangan, yakni diantaranya berupa kewajiban bagi penjual untuk melakukan
levering kepada pembeli.22
3. Perjanjian yang konsensuil dan yang riil
Pada perjanjian ini berhubungan dengan sistim hukum romawi, yang
semula bagi perjanjian-perjanjian memerlukan hal-hal lain lagi kecuali
persetujuan kehendak belaka, kata-kata sakrametil harus juga diucapkan atau pula
perjanjiannya harus berdasarkan penyerahan nyata-nyata dari baeangnya , seperti
misalnya pada penyita nyata dari barangnya, seperti misalnya pada penitipan
barang, pinjam-pakai dan sebagainya.
Perjanjian demikian baru terjadi setelah barang yang dititipkan atau
dipinjamkan untuk dipakai itu diserahkan.biasanya perjanjian ini dipakai dalam
perjanjian-perjanjian penitipan barang, pinjam-pakai, dan pinjam mengganti atau
utang piutang.23
Dalam pembuatan perjanjian,juga harus memenuhi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam
perjanjian tersebut, diatur mengenai hak dan kewajiban para pihak. Dengan
adanya hak dan kewajiban para pihak, maka dalam hal ini, pihak pemberi
pinjaman harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telak disepakati guna
22
Ibid, Halaman 6. 23
Ibid, Halaman 7.
22
tercapainya suatu perlindungan hukum bagi peminjam, namun pada keadaan
tertetu pihak pemberi pinjaman tidak melaksanakan kewajibannya.24
Adapun syarat sah dari suatu perjanjian yang dimaksud menurut Pasal
1320 KUH Perdata yang disebutkan diatas yaitu antara lain :
1. Kesepakatan
Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam
perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana
cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakannya. Sebelum suatu perjanjian dibuat,biasanya salah satu pihak
terlebih dahulu melakukan suatu bentuk penawaran mengenai bentuk perjanjian
yang akan dibuat kepada lawan pihaknya. Lahirnya kesepakatan harus didasari
dengan adanya kebebasan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Pasal 1321
KUH Perdata menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila diberikan
tidak karena kekhilafan, atau dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan.25
2. Kecakapan
Disamping kesepakatan para pihak, juga ada syarat subyektif lainnya yaitu
kecakapan para pihak dalam perjanjian. Setiap orang yang sudah dewasa dan
memiliki pikiran yang sehat adalah cakap menurut hukum. Kedewasaan tersebut
menurut Pasal 330 KUH Perdata yaitu sudah berumur 21 tahun atau telah
menikah.
3. Suatu hal tertentu
24
I Ketut Oka Setiawan, 2018, Hukum Perikatan , Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, 2018,
Halaman 19. 25
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak , Megapoin, Bekasi, 2004, Halaman 47.
23
Untuk menimbulkan suatu kepastian hukum maka setiap perjanjian harus
mencantumkan secara jelas dan tegas apa yang menjadi obyek perjanjian.
Ketegasan obyek perjanjian tersebut dapat diartikan bahwa obyek perjajian dapat
dihitung dan dapat ditentukan jenisnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1333
KUH Perdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut menjelaskan bahwa semua jenis perjanjian
pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan tertentu. Pada perikatan untuk
memberikan sesuatu, maka benda yang diserahkan tersebut harus dapat ditentukan
secara pasti. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH
Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh satu pihak dalam perikatan pastilah
berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan
berwujud atau tidak berwujud.26
4. Suatu sebab yang halal
Mengenai sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 KUH
Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan”. Adapun sebab yang halal dimaksud dalam Pasal
ini yaitu antara lain:
a) Bukan tanpa sebab
b) Bukan sebab yang palsu
c) Bukan sebab yang terlarang
26
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari undang-undang,
Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 2005, Halaman 156.
24
Pada Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan lebih lanjut bahwa suatu perjanjian
yang dibuat para pihak adalah sah jika tidak bertentangan dengan sebab yang
dilarang. Selanjutnya Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan sebab yang halal
maksudnya adalah isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang disini adalah Undang-undang yuang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan
umum.27
Dua syarat yang pertama mewakili syarat subyektif, yang berhubungan
dengan subyek dalam perjanjian, dan dua syarat yang terakhir berhubungan
dengan syarat obyektif yang berkaitan dengan obyek perjanjian yang disepakati
oleh para pihak dan akan dilaksanakan sebagai prestasi atau utang dari para
pihak.28
C. Pelaksanaan Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis Online
1. Klausula Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Berbasis Online
Terkait dengan penyelenggaraan fintech, khususnya pinjam meminjam
berbasis online, perjanjian/klausula baku menjadi salah satu klausula dalam
Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang
berbasis online dengan penekanan pada 2 (dua) hal yang dilarang dicantumkan,
yakni perihal pengalihan tanggung jawab dan tunduknya konsumen pada
ketentuan baru/perubahan ketentuan.
27
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1996, Halaman 99. 28
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit.,Halaman. 53.
25
Pengertian dari klausula baku itu sendiri yaitu jika dilihat berdasarkan
Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
disebutkan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipatuhi oleh konsumen.
Pengertian lain dari klausula baku menurut kamus hukum ekonomi karya
Sri Rejeki Hartono, Paramita dan Fatimah, bahwa klausula baku mengandung
makna ketentuan khusus dalam suatu perjanjian, dapat bersifat memperluas atau
membatasi. Sedangkan menurut kamus hukum kontemporer karya M.Firdaus
Sholihin dan Wiwin Yulianingsih, klausula baku sebagai setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau
perjanjian mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.29
Pencantuman klausula baku dapat juga sangat merugikan konsumen
karena memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan pihak pelaku usaha,
dikarenakan beban yang semestinya dipikul oleh pelaku usaha, akan serta merta
berpindah menjadi beban bagi konsumen. Ketentuan mengenai pencantuman
klausula baku berdasarkan Undang-Undang Perlindungan konsumen yang
tercantum dalam Pasal 18, diuraikan bahwa “Pelaku usaha dalam menawarkan
barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila
29
“Bahasa hukum: Klausula Baku Klausula yang mengganggu”, www.hukumonline.com,
diakses pada tanggal 6 Februari 2021 Pukul 18.25.
26
menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha, menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/
atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”
Seiring perkembangan berbagai transaksi berbasis teknologi informasi,
perjanjian/klausula baku memasuki bentuk baru, yakni dalam bentuk kontrak
elektronik. Menurut UU ITE, kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak
yang dibuat dengan menggunakan sistem elektronik. Beberapa kontrak elektronik
yang sering digunakan antara lain clickwrap contract dan browsewrap
contract. Ketentuan dalam kontrak elektronik erat kaitannya dengan perjanjian
baku. Namun demikian, penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk
menyediakan fitur yang sekurang-kurangnya memberikan kesempatan bagi
pengguna untuk membaca perjanjian sebelum melakukan transaksi atau memilih
meneruskan atau berhenti melakukan aktivitas berikutnya.30
Dalam klausula baku ini sering kali kontrak tersebut sudah tercetak dalam
bentuk formular-formulir tertentu, yang dalam hal ini ketika kontrak
ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informasi
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya,
yang membuat salah satu pihak dalam kontrak tersebut hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah
dibuat oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut.
30
Siti Yuniarti, “Perjanjian Baku Dalam Fintech”
https://businesslaw.binus.ac.id/2018/12/31/perjanjian-baku-dalam-fintech/ (diakses pada 28
Oktober 2020, pukul 02.30).
27
Sjahdeni menekankan bahwa yang dibakukan dalam perjanjian ini bukan
formular perjanjiannya yaitu melainkan klausula-klausula yang ada didalamnya.31
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik dan/ atau dokumen
elektronik, dan atau hasil cetaknya baru sah dianggap sebagai alat bukti apabila
dihasilkan dari sistem elektronik. Perjanjian dalam transaksi elektronik tersebut
berbentuk klausula atau perjanjian baku/ standart contract, kondisi tersebut
dilandasi dengan adanya konsep hukum sistem terbuka yang diatur pada Pasal
1338 KUH Perdata pada ayat 1 yang lebih dikenal dengan asas kebebasan
berkontrak, yang didalam Pasal tersebut disebutkan “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
tersebut mengandung arti bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat
perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Kebebasan yang
dimaksud meliputi:32
1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat
perjanjian atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu
perjanjian
3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian
4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian
31
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Institut Bankir Indonesia, 1993, Jakarta,
Halaman 66. 32
Sukarmi, 2005, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Konsumen Yang
Disebabkan Oleh Perjanjian Baku (Standart Contract) Dalam Transaksi Elektronik”, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Halaman 241.
28
5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Berkaitan dengan perlindungan hak dari debitur pada pinjam meminjam
uang berbasis online tentang penggunaan klausula baku, Undang-Undang
Perlindungan konsumen telah memberikan perlindungan terhadap konsumen atas
adanya klausula baku pada pinjam meminjam uang berbasis online. “Pada Pasal
62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur hukuman bagi
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap ketentuan
pencantuman klausula.” Serta didalam ketentuan di pasal 63 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dapat diancam barang tertentu, ganti rugi, pengambilan
barang dari produksi pasar, pengumuman keputusan hakim, dan penghentian
aktivitas tertentu yang menyebabkan konsumen tidak untung.”33
Kemudian dapat disimpulkan bahwa penggunaan klausula atau perjanjian baku
pada perjanjian pinjam-meminjam berbasis online merupakan sah dan
berkekuatan hukum dan mengikat bagi para pihak selagi hal tersebut tidak
bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian seperti halnya yang
disebutkan dalam POJK nomor 77/POJK.01/2016, akan tetapi jika dirujuk pada
Undang-Undang nomor . 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentang
penggunaan klausula baku dalam perjanjian pinjam meminjam berbasis online
dilarang mengalihkan tanggungjawab usaha maupun hak konsumen, sebab
didalam klausula baku biasanya memberikan keuntungan sendiri bagi pihak
penyedia layanan atau pemberi pinjaman dikarenakan isi perjanjian atau klausula
ditetapkan oleh mereka dan pihak penerima pinjaman hanya bisa bertindak untuk
33
Miru Ahmadi, Prinsip-Prinsip perlindingan hukum bagi konsumen di Indonesia, Raja
Grafindo, 2013, Jakarta, Halaman. 24.
29
sepakat atau tidak dengan klausula tersebut dan tidak dapat bernegosiasi untuk
menentukan isi klausula atau kontrak didalamnya atau dengan kata lain
penggunaan klausula baku dalam perjanjian pinjam meminjam uang berbasis
online lebih menguntungkan pihak kreditur dibandingkan debitur.
2. Lahirnya Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
Perjanjian merupakan salah satu sumber dari adanya sebuah perikatan
yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang saling mengikatkan diri untuk berbuat
sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Terdapat beberapa faktor
penting dalam suatu perikatan, antara lain yaitu janji dan perikatan. Pada asasnya
janji menimbulkan perikatan: “Barangsiapa memberikan suatu janji, terikat
kepada janjinya, dalam arti ada kewajiban pada si pemberi janji untuk
memenuhinya dan di lain pihak lawan janjinya boleh berharap (mempunyai hak),
bahwa janji yang ia terima akan dilaksanakan. Dengan demikian janji-janji
tersebut menimbulkan hubungan antara yang memberikan dan menerima janji.34
Awal mula pelaksanaan pinjam meminjam berbasis online diawali dari
para pihak yang saling mengikatkan diri atau melakukan perjanjian. Selayaknya
perjanjian pada umumnya, perjanjian yang diselenggarakan dalam kegiatan
pinjam meminjam berbasis online ini dituangkan kedalam suatu kontrak. Pada
kegiatan kredit atau pinjam meminjam uang berbasis online seluruh perjanjian
yang dibuat antara debitur dengan kreditur tertuang didalam kontrak elektronik.
Pengaturan terkait dengan kontrak elektronik tercantum dalam Pasal 1 angka 17
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan
34
Subekti, Hukum Perjanjian , Ctk. 8, PT Intermasa, Jakarta, 1979, Halaman 15.
30
bahwa: “Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
sistem elektronik”. Kekuatan hukum kontrak elektronik dapat dilihat dalam Pasal
18 ayat (1) UU ITE yang menyatakan bahwa, “Transaksi elektronik yang
dituangkan kedalam kontrak elektronik mengikat para pihak”. Berdasarkan hal
tersebut dapat dilihat bahwa suatu transaksi yang menjadi perjanjian lalu
dituangkan didalam ontrak elektronik memiliki sifat atau bersifat mengikat para
pihak, yang dapat disamakan dengan perjanjian atau kontrak-kontrak pada
umumnya. Pada kegiatan kredit melalui media online yang mana perjanjiannya
tertuang didalam akta atau kontrak elektronik tentunya klasifikasi dari akta
tersebut merupakan akta dibawah tangan, bukan akta yang bersifat autentik atau
notariil.35
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa
perantaran seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri
oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, termasuk halnya pinjam meminjam
berbasis online ini.36
Perjanjian sebagaimana dengan tersebut diatas dilaksanakan dengan
menggunakan tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik berdasarkan
peraturan OJK adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang
dilekatkan, diasosiasikan, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang
35
Istiqamah, “Analisis Pinjaman Online Oleh Fintech Dalam Kajian Hukum Perdata”,
JurisprudentieVolume 6, Nomor 2,Tahun 2019, Halaman 298. 36
Soeroso, Perjanjian dibawah tangan : peristilahan yang berhubungan dengan perjanjian,
Ctk Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Halaman 7.
31
digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.37
Tanda tangan elektronik mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah selama memenuhi persyaratan:38
1. Data pembuatan bersifat privasi dan hanya diketahui oleh pemilik tanda
tangan.
2. Saat pembuatan tanda tangan, hanya pemilik asli yang memiliki kuasa
untuk menggunakannya.
3. Jika terdapat perubahan setelah pembuatan tanda tangan elektronik, bias
diketahui secara pasti.
4. Semua perubahan tentang informasi elektronik yang ada hubungannya
dengan tanda tangan, bisa diketahui.
5. Memiliki cara khusus untuk mengetahui dengan pasti pemilik tanda
tangannya.
6. Memiliki cara khusus untuk membuktikan bahwa pemilik tanda tangan
sudah memberikan persetujuan yang sah mengenai informasi elektronik
tertentu.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 mengenai perjanjian pinjam meminjam berbasis online pada
Pasal 18 disebutkan bahwa didalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam
berbasis online meliputi antara lain:
37
Nurhimmi Falahiyati, Tinjauan Hukum Kontrak Elektronik Dalam Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi (Transaksi Peer To Peer Lending), Justiqa/
Vol.02/N0.01/Februari 2020, Halaman 9. 38
Pasal 11 undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
elektronik.
32
1. Perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman
2. Perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.
Penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis online adalah
badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam berbasis online. Pemberi pinjaman adalah orang, badan
hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan
pinjam meminjam berbasis online. Sedangkan yang dimaksud dengan penerima
pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena
perjanjian layanan pinjam meminjam berbasis online.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut menimbulkan suatu
hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut lahir dari hubungan kontraktual para
pihak, baik bagi pemberi pinjaman, penerima pinjaman maupun penyelenggara.39
Pada Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 disebutkan bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara
pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam dokumen
elektronik. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana
39
Alfhica Rezita Sari, Skripsi,”Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam
Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending Di Indonesia”,
Yogyakarta: UII, 2018, Halaman 79.
33
dimaksud dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Perjanjian yang terkait antara pemberi pinjaman dengan
penerima pinjaman kemudian dituangkan didalam dokumen elektronik. Adapun
yang wajib termuat didalam dokumen elektronik yang dimaksud antara lain
meliputi :
1. nomor perjanjian
2. tanggal perjanjian
3. identitas para pihak
4. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak
5. jumlah pinjaman
6. suku bunga pinjaman
7. nilai angsuran
8. jangka waktu
9. objek jaminan (jika ada)
10. rincian biaya terkait
11. ketentuan mengenai denda
12. mekanisme penyelesaian sengketa.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam berbasis online dilaksanakan oleh para
pihak yaitu pemberi pinjaman dan juga penerima pinjaman yang perjanjiannya
dituangkan kedalam suatu kontrak elektronik yang kemudian kontrak elektronik
tersebut menjadi undang-undang yang harus dipatuhi bagi para pihak.
3. Berakhirnya Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
34
Berakhirnya perjanjian pinjam-meminjam uang berbasis online dapat
dikatakan juga bahwa perikatan yang telah disepakati oleh kreditur dan debitur
telah hapus. Pada Pasal 1381 KUH Perdata mengatur berbagai cara hapusnya
perikatan-perikatan. Adapun yang disebutkan dalam Pasal 1381 tentang hapusnya
perikatan yaitu karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan utang, karena
perjumpaan utang atau kompensasi, karena percampuran utang, karena
pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang, karena pembatalan
atau kebatalan utang, karena berlakunya syarat-syarat batal, serta karena lewatnya
waktu.40
Lima cara pertama yang tersebut didalam Pasal 1381 KUH Perdata
menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara
keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan
sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Sedangkan
pada empat cara terakhir maka kreditur tidak menerima prestasi, karena perikatan
tersebut gugur ataupun telah dianggap gugur.41
Dalam hal hapusnya perikatan pada perjanjian pinjam meminjam
dikarenakan pembayaran atau pemenuhan prestasi sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1382 yang isinya adalah “Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja
yang berkepentingan, sepertinya seorang yang turut berutang atau seorang
penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang
pihakketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu
40
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, Halaman 115. 41
Ibid, Halaman 116.
35
bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia
bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang”.42
Dengan terjadinya pembayaran atau pemenuhan prestasi, maka
terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak dan telah berakhirlah perjanjian pinjam
meminjam antara kreditur dan debitur.
42
Ibid, Halaman 116.
36
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM MENGENAI HAK DAN KEWAJIBAN PARA
PIHAK DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM BERBASIS
ONLINE
A. Para Pihak Dalam Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
1. Penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis online
Pengertian penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis
online telah diatur dalam Pasal 1 angka 6 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online. Penyelenggara dalam
ketentuan tersebut adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola,
dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis online. Bentuk
badan hukum penyelenggara dapat berupa perseroan terbatas atau koperasi.43
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, penyelenggara layanan jasa pinjam
meminjam uang berbasis online haruslah badan hukum dan tidak dapat dilakukan
oleh orang-perorangan maupun kegiatan usaha non badan hukum seperti
Maatschap, Firma, ataupun CV. Badan hukum yang dapat bertindak sebagai
penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online hanyalah
perseroan terbatas yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum
dan HAM atau Koperasi. Ditinjau dari kapasitas hukum, tentu badan hukum
memiliki kedudukan yang lebih baik jika dibandingkan dengan perusahaan non
badan hukum mengingat badan hukum merupakan subjek hukum atau pendukung
hak dan kewajiban yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas nama badan
43
Pasal 2 ayat (2) POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi.
37
hukum tersebut. Dengan ketentuan ini pula jelas bahwa Yayasan maupun badan
hukum lainnya tidak dapat menjalankan kegiatan layanan jasa pinjam meminjam
uang berbasis online. Persyaratan penyelenggara dalam bentuk badan hukum
perseroan terbatas atau koperasi ini telah sesuai dengan tujuan kepastian hukum
bagi para pihak dalam kegiatan usaha layanan jasa pinjam meminjam uang
berbasis online dimana hal ini merupakan kegiatan usaha yang bersifat mencari
keuntungan (profit oriented) dan melibatkan banyak pihak.
2. Pemberi pinjaman
Pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 POJK No.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi
Informasi adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai
piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis online.
Pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Pemberi
pinjaman terdiri dari orang perseorangan warga negara Indonesia, orang
perserorangan warga negara asing, badan hukum Indonesia/asing, dan/atau
lembaga internasional.44
Pemberi pinjaman dalam skema layanan jasa pinjam meminjam uang
berbasis online lebih luas jika dibandingkan dengan penyelenggara layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis online. Dalam hal ini, orang perorangan baik
WNI maupun WNA dapat bertindak selaku pemberi pinjaman. Hal yang perlu
diperhatikan agar kegiatan usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis online
44
Pasal 16 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi.
38
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yaitu diperlukan pemberlakuan
sistem “Know Your Customer” guna menghindari tindakan pencucian uang.
3. Penerima pinjaman
Penerima pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 POJK No.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi
Informasi adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena
perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Penerima
pinjaman dalam sistem layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online harus
berasal dan berdomisili di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penerima pinjaman dapat berupa orang perseorangan Warga Negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia.45
Berdasarkan ketentuan di atas, penerima pinjaman dalam layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis online bukanlah perorangan WNA ataupun
badan hukum asing. Namun, ketentuan tersebut belumlah cukup mengingat dalam
ketentuan tersebut hanya disebutkan bahwa penerima pinjaman adalah pihak yang
mempunyai utang tanpa menyebutkan dengan siapa penerima pinjaman
mengikatkan diri dalam perjanjian utang-piutang atau pinjam meminjam. Hal ini
seolah-olah penerima pinjaman memiliki perjanjian pinjam meminjam dengan
penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online dimana hal
tersebut mirip dengan kegiatan usaha perbankan dalam menerima dan
menyalurkan dana ke masyarakat.
4. Bank
45
Pasal 15 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi.
39
Pasal 24 POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi menentukan bahwa penyelenggara wajib
menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis online. Selain itu, penyelenggara juga wajib
menyediakan virtual account bagi setiap pemberi pinjaman dan dalam rangka
pelunasan pinjaman, penerima pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow
account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi pinjaman.
Escrow Account adalah rekening yang dibuka secara khusus untuk tujuan tertentu
guna menampung dana yang dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan
persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis.46
Virtual Account adalah nomor identifikasi pelanggan perusahaan (end
user) yang dibuat oleh Bank untuk selanjutnya diberikan oleh perusahaan kepada
pelanggannya (perorangan maupun non perorangan) sebagai identifikasi
penerimaan (collection). Tujuan penggunaan virtual account dan escrow account
dalam hal ini yaitu larangan bagi penyelenggara dalam melakukan penghimpunan
dana masyarakat melalui rekening penyelenggara. Guna mendukung penggunaan
virtual account dan escrow account tersebut maka penyelenggara harus
bekerjasama dengan pihak bank.
5. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang
46
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia No. 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia dengan Pihak Ekstern.
40
Otoritas Jasa Keuangan. OJK dalam sistem pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi ini bertindak selaku pemberi persetujuan pengajuan
pendaftaran dan perizinan penyelenggaraan sistem serta selaku pihak yang harus
mendapatkan laporan berkala atas penyelenggaraan sistem layanan jasa pinjam
meminjam uang berbasis online.
B. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Online
1. Hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan penyelenggara
Penyelenggara dalam layanan pinjam meminjam uang berbasis online
yang dikelolanya dapat menawarkan kepada masyarakat luas untuk berinvestasi
dengan mengambil posisi sebagai pemberi pinjaman dalam layanan pinjam
meminjam uang berbasis online. Dalam hal ini, jika calon pemberi pinjaman
tertarik untuk memberikan pinjaman melalui sistem layanan pinjam meminjam
uang berbasis online, maka pemberi pinjaman dan penyelenggara akan
menyepakati perjanjian tertentu. Hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan
penyelenggara lahir atas adanya perjanjian yang dituangkan dalam dokumen
elektronik diantara kedua belah pihak.47
Dalam perjanjian ini harus ditentukan paling sedikit tentang nomor
perjanjian,tanggal perjanjian, identitas para pihak, ketentuan mengenai hak dan
kewajiban para pihak, jumlah pinjaman, suku bunga pinjaman, besarnya komisi,
jangka waktu, rincian biaya terkait, ketentuan mengenai denda (jika ada),
mekanisme penyelesaian sengketa, dan mekanisme penyelesaian dalam hal
47
Pasal 19 ayat (1) POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi.
41
penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.48
Dana yang
dikelola oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis online yang
diperoleh dari pemberi pinjaman akan disalurkan oleh penyelenggara kepada
penerima pinjaman. hubungan hukum yang perlu ditegaskan antara pemberi
pinjaman dan penyelenggara dalam sistem layanan pinjam meminjam uang
berbasis online yaitu uang yang diserahkan oleh pemberi pinjaman tidaklah
ditujukan untuk dimiliki dan dikelola oleh penyelenggara seperti halnya dalam
perjanjian pinjam meminjam uang melainkan hanya disalurkan saja oleh
penyelenggara kepada penerima pinjaman. Dalam konsep ini, penyelenggara
hanyalah menyediakan fasilitas yang mempertemukan pemberi pinjaman dan
penerima pinjaman dan berdasarkan kuasa yang telah diberikan oleh pemberi
pinjaman, penyelenggara untuk dan atas nama pemberi pinjaman menyepakati
perjanjian pinjam meminjam uang milik pemberi pinjaman dengan penerima
pinjaman. Untuk jasa yang telah dilakukan tersebut, penyelenggara berhak
mendapatkan fee atau upah. Berdasarkan uraian tersebut, maka konstruksi
hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan penyelenggara adalah hubungan
hukum yang lahir dari perjanjian pemberian kuasa dengan pihak pemberi
pinjaman selaku pemberi kuasa dan pihak penyelenggara selaku penerima kuasa.
Pemberian kuasa (lastgeving) diatur dalam Buku III Bab XVI mulai dari
Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Pasal 1792 KUHPerdata
menyatakan bahwa : “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana
48
Pasal 19 ayat (2) POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi.
42
seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Berdasarkan definisi mengenai pemberian kuasa tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa surat kuasa (volmacht dalam bahasa Belanda atau Power of
Attorney dalam bahasa Inggris) adalah surat yang berisi pemberian kuasa dari
pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Dalam konsep pemberian kuasa, penerima kuasa dalam hal ini
penyelenggara memiliki beberapa kewajiban yaitu:49
a. Melaksanakan kuasa yang diberikan dengan sesempurna mungkin sesuai
dengan wewenang/volmacht yang dilimpahkan oleh si pemberi kuasa.
Pelaksanaan wewenang tadi harus diembannya dengan baik selama pemberian
kuasa belum berakhir
b. Wajib mempertanggungjawabkan kerugian yang timbul akibat kelalaian dan
ketidaksempurnaan dalam melaksanakan wewenang yang dilimpahkan pemberi
kuasa kepadanya
c. Wajib melaporkan dan membuat perhitungan pertanggungjawaban atas segala
sesuatu yang dilakukannya sehubungan dengan pelaksanaan tugas yang
dilimpahkan kepadanya (Pasal 1802 KUHPerdata)
d. Wajib bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh “kuasa substitusi”
e. Wajib membayar “bunga uang” tunai yang diterimanya jika uang yang
diterimanya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri.
49
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Halaman
310.
43
Sedangkan pemberi kuasa dalam hal ini si pemberi pinjaman memiliki kewajiban
yaitu:50
a. Wajib mengganti segala uang panjar dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
oleh si penerima kuasa dalam melaksanakan tugas yang dilimpahkan kepada si
penerima kuasa
b. Wajib membayar bunga atas pemakaian uang si penerima kuasa dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepada si penerima kuasa.
2. Hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman
Walaupun antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dalam sistem
layanan pinjam meminjam uang berbasis online tidak saling bertemu secara
langsung, hal mana disebabkan penerima pinjaman untuk mendapatkan pinjaman
dimaksud cukup membuka aplikasi pinjaman online dan mengisi formulir
pinjaman online, hubungan pinjam meminjam yang terjadi adalah antara pemberi
pinjaman dan penerima pinjaman. Perjanjian pinjam meminjam tadi tidak terjadi
antara penerima pinjaman dan penyelenggara. Hal ini harus dijaga agar konstruksi
hubungan hukum antara para pihak dalam sistem layanan pinjam meminjam uang
berbasis online berbeda dengan konstruksi hubungan hukum antara para pihak
dalam perbankan.
Dalam perbankan, bank menyalurkan dana kepada masyarakat melalui perjanjian
kredit atau pembiayaan. Pengertian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 11 UU Perbankan yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
50
Ibid., Halaman 311.
44
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Adapun pengertian pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 UU
Perbankan yaitu: Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tabungan setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil. Oleh karena itu, dalam sistem layanan pinjam
meminjam uang berbasis online, penyaluran pinjaman kepada penerima pinjaman
haruslah bukan antara penyelenggara dan penerima pinjaman melainkan antara
pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Untuk mewujudkan hal ini, pemberi
pinjaman harus memberikan kuasa dengan tegas kepada penyelenggara untuk
menyalurkan dananya kepada penerima pinjaman melalui escrow account dan
virtual account. Penerima pinjaman yang akan melunasi pinjamannya dalam hal
ini seharusnya dapat langsung membayarkannya melalui escrow account
penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account milik pemberi pinjaman
mengingat hubungan hukum atas perjanjian pinjam meminjam terjadi antara
pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Pasal 1754 KUHPerdata menentukan
bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Dalam
istilah “verbruik-lening” yaitu nama dalam bahasa Belanda untuk perjanjian
45
pinjam meminjam ini, perkataan “verbruik” berasal dari “verbruiken” yang berarti
menghabiskan.51
Adapun kewajiban pemberi pinjaman yaitu tidak boleh meminta kembali
apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam
perjanjian (Pasal 1759 KUHPerdata). Selain itu jika tidak telah ditetapkan suatu
waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut
pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran
kepada si peminjam (Pasal 1760 KUHPerdata).
Kewajiban penerima pinjaman yaitu wajib mengembalikan barang dalam
jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (Pasal 1763
KUHPerdata). Kewajiban lain dari si penerima pinjaman yaitu jika penerima
pinjaman tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumlah
dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana
harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian,
harus dikembalikan. Jika waktu dan tempat ini tidak telah ditetapkan, harus
diambil harga barang pada waktu dan tempat dimana perjanjian telah terjadi
(Pasal 1764 KUHPerdata), dan jika telah diperjanjikan bunga, maka bunga yang
telah diperjanjikan tersebut harus dibayar sampai saat pengembalian atau
penitipan uang pokoknya (Pasal 1766 KUHPerdata).
3. Hubungan Hukum antara Penyelenggara dan Bank
Hubungan hukum antara penyelenggara dan bank lahir atas adanya
perjanjian penggunaan virtual account dan escrow account sebagaimana
51
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Halaman 126.
46
diamanatkan Pasal 24 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Diharapkan dengan skema online ini,
yakni pengiriman informasi tagihan (collection) dapat secara online, penyediaan
informasi status pinjaman kepada para pihak juga secara online, dan penyediaan
escrow account dan virtual account di perbankan kepada para pihak sehingga
seluruh pelaksanaan pembayaran dana berlangsung dalam sistem perbankan.52
Ketentuan tersebut di atas memberikan kemudahan sekaligus kepastian
hukum bagi para pihak yaitu antara penyelenggara dan bank. Terlibatnya pihak
bank dalam skema layanan pinjam meminjam uang berbasis online sebagai pihak
penyedia virtual account dan escrow account ini menunjukkan bahwa sistem
pembukuan yang harus dijalankan oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam
uang berbasis online harus berjalan seefisien mungkin dan tetap dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Hubungan Hukum antara Penyelenggara dan OJK
Hubungan hukum antara penyelenggara dan OJK lahir atas dasar
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal ini POJK No.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi
Informasi. Berdasarkan ketentuan POJK ini, penyelenggara yang bermaksud
menjalankan penyelenggaraan sistem peer to peer harus mendapatkan izin dari
OJK.53
52
Hukumonline. “16 Hal yang Wajib Dipenuhi Pemain Peer to Peer Lending dalam
Fintech” http://m.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt586e1f6a2e0a2/16-hal-yang-wajib-
dipenuhi-pemain-peerto-peer-lending-dalam-fintech diakses pada tanggal 6 maret 2021. 53
Pasal 7 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi.
47
Setelah menjalankan sistem layanan pinjam meminjam uang berbasis
online harus memberikan laporan berkala ke OJK.54
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas penyelenggaraan layanan pinjam
meminjam uang berbasis online harus seizin dan dibawah pengawasan OJK.
Hubungan hukum antara penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis
online dan OJK adalah hubungan hukum yang lahir dari ketentuan peraturan
perundang-undangan bukan atas dasar perjanjian. OJK sebagai lembaga
independen yang dibentuk berdasar undang-undang memiliki kapasitas sebagai
pengawas kegiatan usaha yang dijalankan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Hal ini ditujukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi para pihak.
C. Perlindungan Hukum dalam Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
Perlindungan hukum akan menjadi esensial karena merupakan hak bagi
masyarakat dalam suatu negara. Kemudian disisi lain perlindungan hukum
menimbulkan kewajiban bagi negara, yaitu negara wajib memberikan
perlindungan bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Perlindungan hukum
adalah pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum sangat dibutuhkan untuk mereka
54
Pasal 9 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi.
48
yang lemah dan belum kuat secara ekonomi, politik dan untuk memperoleh
keadilan sosial.55
Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap
harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia di mata
hukum. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk yaitu sarana perlindungan
hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif.56
1. Perlindungan hukum secara preventif
Perlindungan hukum secara preventif adalah perlindungan hukum yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dengan demikian perlindungan
hukum ini dilakukan sebelum terjadinya sengketa. Perlindungan hukum bagi
pengguna layanan Fintech khususnya pinjam meminjam berbasis online sebelum
terjadinya sengketa dapat dilakukan dengan upaya-upaya pencegahan dari
penyelengara layanan pinjam meminjam berbasasis online tersebut. Upaya
penyelenggara sebelum terjadinya sengketa adalah dengan menerapkan prinsip
dasar perlindungan hukum bagi pengguna layanan. Prinsip-prinsip tersebut diatur
pada Pasal 29 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Online, antara lain yaitu prinsip transparansi, perlakuan
yang adil, keandalan, keberhasilan dan kemanan data, dan penyelesaian sengketa
pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.57
2. Perlindungan hukum secara represif
55
Basrowi, “Analisis Aspek dam Upaya Perlindungan Konsumen Fintech Syariah”,
Jurnal Lex Librum : Ilmu Hukum, Volume 5, Tahun 2019, Halaman 11. 56
Ibid.. 57
Ibid.
49
Perlindungan hukum secara represif adalah perlindungan hukum yang
tujuannya untuk menyelesaikan sengketa yang telah terjadi. Perlindungan hukum
ini baru bisa dilakukan setelah timbulnya sengketa terlebih dahulu. Sengketa
dalam layanan pinjam meminjam uang berbasis online bisa terjadi antara
pengguna dengan pengguna lainnya maupun antara pengguna dengan
penyelenggara layanan.58
Peranan Bank Indonesia dalam layanan pinjam meminjam uang berbasis
online yaitu sebagai Lembaga negara yang independent yang berwenang mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran nasional. Bank Indonesia mendorong
perkembangan layanan pinjam meminjam uang berbasis online guna merespon
dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada.
Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
sebagai salah satu payung hukum bagi pengembangan bisnis layanan pinjam
meminjam uang berbasis online. Perlindungan hukum bagi nasabah dan pelaku
usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis online diatur dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8
tahun 2019 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2019 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem
58
Ibid.
50
Pembayaran, dan Peraturan Bank Indonesia nomor 18/40/PBI/2016 tentang
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran Pelaku Usaha yang ingin
menjadi Penyedia Jasa Sistem Pembayaran.59
Kemudian jika mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor: 77/POJK.01/2016, tentang layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi. Didalam aturan tersebut, OJK mengatur berbagai hal
yang harus ditaati oleh penyelenggara bisnis pinjaman dari pengguna ke
pengguna, atau yang biasa disebut dengan peer to peer lending. Sehingga pada
akhirnya ini akan melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan
data, serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang dan
pendanaan terorisme, serta stabilitas sistem keuangan. Selain itu, layanan pinjam
meminjam berbasis online dalam peraturan Bank Indonesia diklasifikasikan
kedalam jenis usaha keuangan finansial teknologi yang diatur dalam Pasal 1
angka (1) PBI nomor 19/12/PBI/2017.60
Peranan OJK dalam layanan pinjam meminjam berbasis online yaitu
sebagai pengawasan terhadap permasalahan dan penyalahgunaan dalam layanan
pinjam meminjam berbasis online ini. Pengawasan dapat diartikan sebagai proses
untuk menjamin bahwa layanan pinjam meminjam ini berjalan sesuai sebagai
mana harusnya. Dalam hal OJK melaksanakan tugasnya dibidang pengaturan dan
59
Basrowi, “Analisis Aspek dam Upaya Perlindungan Konsumen Fintech Syariah”,
Jurnal Lex Librum : Ilmu Hukum, Volume 5, Tahun 2019. 60
Subhan Zein,Tinjauan Yuridis Pengawasan OJK Terhadap Aplikasi Pinjaman Dana
Berbasis Elektronik di Indonesia, Jurnal Bisnis dan Akuntansi Unsurya, Vol. 4, no 2, Juni 2019,
Halaman 118.
51
pengawasan, telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan pada Pasal 6 disebutkan bahwa:61
1. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan
2. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan
3. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga keuangan lainnya.
Dari Pasal tersebut dapat diketahui bahwa OJK mempunyai kewenangan
dalam mengatur dan mengawasi hampir seluruh sektor perbankan dan jasa
keuangan, termasuk juga dalam pelaksanaan kegiatan jasa keuangan yang bersifat
finansial teknologi atau berbasis online di Indonesia.
Sebagaimana amanah yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan harus mampu melindungi konsumen dan
masyarakat di sektor jasa keuangan. Peran aktif dari para otoritas pengaturan dan
pengawasan terkait sangatlah diperlukan untuk menyusun pengaturan dan
melakukan pengawasan produk dan layanan fintech dengan tetap memperhatikan
aspek perlindungan konsumen.
D. Perbandingan antara Pinjam Meminjam Uang secara Konvensional
dengan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
1. Persamaan Antara Pinjam Meminjam Secara Konvensional dengan Pinjam
Meminjam Berbasis Online
61 Ibid, Halaman 122.
52
Perusahaan penyelenggara pinjam meminjam berbasis online memiliki
kemiripan dengan perusahaan perbankan yang menerima uang dari deposan dan
menyalurkannya melalui fasilitas kredit atau pembiayaan, perusahaan penyedia
layanan pinjam meminjam berbasis online bukanlah termasuk kategori perbankan.
Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.62
Mengingat perusahaan yang menjalankan layanan pinjam meminjam
berbasis online bukanlah perbankan sementara pinjaman melalui layanan pinjam
meminjam berbasis online mirip dengan kegiatan usaha perbankan, maka dibawah
ini akan dilihat persamaan antara keduanya berdasarkan unsur-unsur yang ada
didalamnya.
a. Dasar Hukum Pinjam Meminjam
Suatu kontrak lahir berdasarkan kesepakatan antara para pihak, yang mana
kesepakatan tersebut tertuang didalam suatu perjanjian. Demikian pula halnya
pada pinjam meminjam uang yang diawali dengan adanya kesepakatan para pihak
yang tertuang dalam suatu perjanjian pinjam meminjam uang.
Pada pinjam meminjam uang berbasis online didasari dengan adanya
kesepakatan oleh para pihak untuk saling mengikatkan dirinya pada sebuah
perjanjian yang dinamakan perjanjian pinjam meminjam. Antara pihak pemberi
pinjaman dan penerima pinjaman saling sepakat untuk melakukan perjanjian
pinjam meminjam uang. Sedangkan pada pinjam meminjam uang secara
62
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
53
konvensional atau pada bank , suatu pinjam meminjam juga didasari dengan
kesepakatan antara pihak bank selaku pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai
pihak penerima pinjaman untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam uang.
Dikaitkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata yaitu asas pacta sunt
servanda, disebutkan bahwa suatu kontrak yang dibuat dan disepakati oleh para
pihak merupakan undang-undang tertinggi bagi mereka. Maka mengacu pada
Pasal ini baik dalam pinjam meminjam uang secara konvensional maupun pinjam
meminjam uang secara online mempunyai kesamaan yaitu bahwa diantara
peristiwa perjanjian antara keduanya didasari oleh kesepakatan para pihak untuk
saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian pinjam
meminjam.
b. Subjek Hukum
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject dalam bahasa
Belanda atau law of subject dalam bahasa Inggris. Pada umumnya rechtsubject
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian subjek hukum
menurut Algra adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi
mempunyai wewenang hukum. Pengertian dari wewenang hukum adalah
kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban, untuk menjadi subjek dari
hak-hak.
54
Subjek hukum mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting di
dalam bidang hukum, khususnya dalam hukum keperdataan karena subjek hukum
tersebutlah yang nanti mempunyai wewenang hukum.63
Subjek hukum itu sendiri terbagi atas dua yaitu manusia dan badan hukum.
Semua manusia mempunyai hak-hak subjekif sejak ia dilahirkan akan tetapi tidak
semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang-
orang yang telah dewasa dan atau sudah kawin. Ukuran kedewasaan berdasarkan
hukum keperdataan adalah sudah 21 tahun dan atau sudah kawin.64
Sedangkan badan hukum mempunyai pengertian sebagai suatu badan yang
dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti manusia atau orang
pribadi. Menurut Sri Soedewi Masjchoen badan hukum merupakan kumpulan
orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan yang
berwujud himpunan, dan dengan harta kekayaan yang disendirikan untuk suatu
tujuan tertentu.65
Dalam hal suatu perikatan yang timbul karena perjanjian, dikenal ada dua
macam subjek hukum yaitu debitur dan kreditur. Seperti yang telah dijelasakan
diatas, baik debitur maupun kreditur dapat berupa sebagai orang perorangan dan
juga dapat berupa suatu badan hukum. Definisi dari debitur adalah pihak yang
63
Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Sinar Grafika,
Yogyakarta, Maret 2001, Halaman 23. 64
Ibid, Halaman 24. 65
Ibid, Halaman 25.
55
dibebankan atas suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.66
Sedangkan kreditur adalah pihak yang mendapatkan suatu hak untuk
menerima pelaksanaan dari suatu yang diperjanjikan tersebut yaitu prestasi.67
Begitu juga pada peristiwa pinjam meminjam uang yang merupakan lahir
dari sebuah perjanjian yang kemudian menjadi subjek hukum juga lazimnya
disebut sebagai kreditur dan debitur, yang mana kreditur merupakan sebagai pihak
yang memberikan pinjaman tersebut sedangkan debitur sebagai pihak yang
menerima pinjaman dan mempunyai kewajiban untuk mengembalikannya dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati kedua belah pihak.
Pada peristiwa pinjam meminjam uang di perbankan para pihak yang dimaksud
adalah pihak bank dan juga pihak nasabah. Dalam hal ini bank merupakan sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur yang kemudian debitur atau nasabah
diwajibkan untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pelunasan utang setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Nasabah atau debitur dalam
perjanjian pinjam meminjam uang pada bank ini dapat berupa individua tau orang
perorang dan juga dapat berbentuk suatu badan hukum.
Jika dilihat pada perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online para
pihak yang turut dalam perjanjian tersebut yaitu pihak penerima pinjaman dan
juga pihak pemberi pinjaman. Penerima pinjaman atau dalam istilah yaitu sebagai
debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 POJK Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layaan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi
66
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan, Rajawai Pers, Makasar, 2018 Halaman 6. 67
Ibid, Halaman 9.
56
Informasi didefinisikan sebagai suatu orang dan/ atau badan hukum yang
mempuyai utang oleh sebab perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis
online atau teknologi informasi. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberi
pinjaman atau disebut dengan istilah sebagai kreditur menurut Pasal 1 angka 8
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layaan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi adalah orang, badan hukum, dan/ atau badan usaha yang
mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis
online.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa antara pinjam
meminjam uang berbasis online dengan pinjam meminjam uang secara
konvensional dalam hal ini bank mempunyai kesamaan subjek ,yaitu keduanya
terdiri atas pihak kreditur yang merupakan pemberi pinjaman sebagai pemegang
hak untuk menerima prestasi pengembalian dan juga terdapat debitur sebagai
penerima pinjaman yang mempunyai kewjiban uuntuk memenuhi prestasi yaitu
pengembalian utang kepada kreditur.
c. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam perjanjian pinjam meminjam uang, yang meminjamkan berhak atas
pengembalian uang tersebut. Disamping itu pula pemberi pinjaman berhak
menuntut Kembali objek atau uang yang dipinjamkannya, sesuai dengan batas
waktu yang telah diperjanjikan. Apabila dalam perjanjian tersebut tidak
ditentukan tentang batas waktu pengembalian tersebut maka bagi si peminjam
atau debitur untuk waktu pengembaliannya dengan mengingat keadaan dan
memberi kelonggaran si peminjam berdasarkan putusan hakim. Hal in diatur
57
dalam Pasal 1760 KUH Perdata bahwa dalam hal tidak ditetapkan waktu, maka
hakim berkuasa memberi kelonggaran kepada peminjam atau debitur, apabila
terjadi si kreditur atau pemberi pinjaman menuntut pengembaliannya.68
Berdasarkan pada Pasal 1759 KUH Perdata bahwa salah satu kewajiban
dari pemberi pinjaman adalah si kreditur tidak boleh meminta kembali apa yang
telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian
pinjam meminjam tersebut.
Kewajiban penerima pinjaman yaitu wajib mengembalikan barang dalam
jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang telah di perjanjikan, hal ini
dijelaskan dalam Pasal 1763 KUH Perdata. Kewajiban lain dari si penerima
pinjaman atau debitur yaitu apabila dalam perjanjian tersebut telah diperjanjikan
bunga, maka bunga yang telah diperjanjikan tersebut harus dibayarkan pada saat
pengembalian uang pokoknya sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1766 KUH
Perdata.
2. Perbedaan Antara Pinjam Meminjam Secara Konvensional dengan Pinjam
Meminjam Berbasis Online
Antara pinjam meminjam secara konvensional dan pinjam meminjam
secara online mempunyai perbedaan mendasar yaitu antara lain;
a. Pengaturan Bunga
Pada kegiatan pinjam meminjam uang secara konvensional yaitu melalui
kredit bank, pengaturan mengenai suku bunga secara jelas diatur oleh lembaga
yaitu Bank Indonesia yang mana Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank
68
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia ,
Alumnu, Bandung, 1982, Halaman 6.
58
Indonesia No. 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antar Bank.
Sedangkan dalam proses pelaksanaan pinjam meminjam uang berbasis online
pengaturan mengenai standarisasi bunga haruslah diperjelas kembali. Hal ini
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Teknologi Informasi pada Pasal 17 ayat 1
yang menyatakan bahwa :
“Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh
pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran
dan perekonomian nasional”.
Pada rumusan tersebut dapat ditafsirkan bahwa belum ada kepastian
mengenai peraturan suku bunga pada pinjam meminjam berbasis online, maka hal
tersebut merupakan perbedaan mendasar antara pinjam meminjam berbasis online
dengan pinjam meminjam secara konvensional.
b. Objek Jaminan
Bank dalam menjalankan usahanya menganut prinsip kehati-hatian,
termasuk dalam hal pemberian kredit, sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Dalam perjanjian pinjam meminjam
uang bank membutuhkan objek jaminan untuk meyakinkan atas kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya dikemudian hari sesuai dengan waktu yang
disepakati. Objek jaminan pada perjanjian pinjam meminjam konvensional atau
bank mempunyai fungsi yang salah satunya sebagai sesuatu yang dapat
menggantikan utang si debitur apabila tidak sanggup untuk melaksanakan
59
prestasinya atau apabila dbitur melakukan wanprestasi terhadap perjanjian pinjam
meminjam.
Berbeda dengan pinjam meminjam secara konvensional, pada pinjam
meminjam berbasis online tidak dikenal adanya objek jaminan, pada pinjam
meminjam berbasis online, debitur hanya perlu mendaftarkan diri dan mengisi
formulir identitas diri pada platform tempat mereka akan meminjam yang berupa
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat, identitas orangtua, pekerjaan,
yang mana keseluruhan identitas tersebut disertai dengan bukti foto, namun
dengan kata lain identitas tersebut yang menjadi jaminan antara debitur dengan
kreditur melainkan bukan suatu objek benda tertentu. Hal inilah yang menjadi
salah satu perbedaan mendasar antara objek jaminan pada pinjam meminjam uang
secara konvensional atau bank dengan pinjam meminjam uang berbasis online.
c. Proses Pelaksanaan
Pada pinjam meminjam secara konvensional keseluruhan proses dilakukan
dengan langsung antara pihak kreditur dan debitur tanpa adanya perantara alat
apapun,mulai dari pengajuan pinjaman, negosiasi perjanjian, hingga
penandatanganan perjanjian pinjam meminjam dilakukan secara langsung dengan
kontak fisik antara kreditur dan debitur. Berbeda dengan pelaksanaan pinjam
meminjam berbasis online, yang mana justu keseluruhan pelaksanaanya dilakukan
melalui perantara yang antara kreditur dengan debitur tidak secara langsung
bertemu untuk melakukan kegiatan tersebut melainkan dihubungkan dengan
sebuah jaringan diantara keduanya. Kemudian selain itu juga dokumen-dokumen
yang terkait juga memiliki bentuk yang berbeda, jika pada pinjam meminjam
60
secara konvensional bentuk dokumennya berbentuk fisik yang dapat disentuh
maka pada pinjam meminjam berbasis online bentuk dokumen terkait adalah
dokumen elektronik, demikian termasuk dengan dokumen kontrak atau perjanjian
yang berbentuk kontrak elektronik serta tanmdatangan didalam kontrak tersebut
juga merupakan tandatangan elektronik.
Demikianlah perbedaan antara pinjam meminjam uang secara
konvensional dengan pinjam meminjam uang berbasis online.
3. Resiko Pada Pinjam Meminjam Uang Berbasis Online
Ada beberapa resiko yang harus diketahui dan disimak dalam pinjam
meminjam uang berbasis online, antara lain yaitu:69
a. Resiko Bunga Tinggi
Resiko bunga tinggi bagi peminjam tidak seperti suku bunga perbankan
yang diatur ketat, pada pinjam meminjam uang berbasis online masih belum ada
aturan yang spesifik atau jelas. Saat ini suku bunga pada pinjam meminjam uang
berbasis online ditawarkan pada kisaran 14% sampai 30% perbulan. Besaran
suku bunga ini tergantung dengan yang ditentukan oleh penyedia layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis online masing-masing sebagai kreditur dalam hal
ini, dan besaran suku bunga tergantung scoring profil dari si peminjam selaku
debitur.
Jika memilki profil resiko yang rendah dan didukung oleh agunan yang
mencukupi, maka bisa jadi akan memiliki profil kredit yang dapat dipercayai oleh
kreditur, sehingga suku bunga yang didapatkan rendah. Sedangkan jika memiliki
69
Istiqamah, Op.Cit, Halaman 302.
61
profil kredit yang kurang baik maka akan mendapatkan suku bunga yang tinggi.
Dengan tingkat suku bunga yang tinggi, maka beban yang harus ditanggung untuk
melunasi utang-utang juga lebih besar.
b. Harus membayar biaya layanan
Jika pinjaman telah disetujui, maka diwajibkan untuk membayar biaya
layanan yang besarnya antara 3% sampai 5% dari nilai pinjamanm. Itu artinya jika
peminjam mendapatkan persetujuan pinjaman sebesar Rp.10.000.000,-, maka uan
yang bisa didapatkan hanya ada dikisaran Rp.9.500.000,- sampai Rp.9.700.000,-.
Besarnya biaya layanan berbeda-beda tergantung dari perusahaan penyedia
layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online atau pihak kreditur.
c. Jangka waktu pelunasan yang pendek
Jangka waktu atau tenor maksimal dari pinjam meminjam uang berbasis
online adalah 12 bulan. Dengan begitu dikatakan bahwa pinjam meminjam
berbasis online termasuk kedalam pinjaman jangka pendek, sehingga dipakai
untuk membiayai keperluan jangka pendek.
d. Limit kredit yang rendah
Dengan jangka waktu pelunasan yang sangat pendek, maka limit kredit
pinjam meminjam uang berbasis online juga lebih kecil dibandingkan dengan
jenis pinjaman perbankan. Dari satu penyedia layanan jasa pinjam meminjam
uang berbasis online bisa diajukan pinjaman antara Rp.1.000.000,- sampai
Rp.50.000.000,- dengan jaminan identitas diri.
e. Resiko bocornya data pribadi
62
Pada saat mengajukan pinjaman online, ada potensi bocornya data pribadi
yaitu berupa nomor handphone, kemudian juga data diri yang dimasukkan ketika
pada saat pendaftaran atau pengajuan pinjaman yang antara lain berupa foto,
identitas KTP ataupun identitas lainnya yang digunakan sebagai jaminan data diri.
63
BAB IV
PENYELESAIAN HUKUM DALAM HAL WANPRESTASI PADA
PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM SECARA ONLINE
A. Penerapan Asas-Asas Perjanjian Pada Kontrak Online
Asas-asas yang berlaku pada kontrak online pada dasarnya tidak memiliki
perbedaan dengan asas-asas yang berlaku pada perjanjian perdata pada umumnya,
Adapun asas-asas yang dimaksud tersebut adalah antara lain:
1. Asas kebebasan berkontrak
Walaupun pada umumnya dalam pinjam meminjam uang berbasis online
menggunakan klausula baku, yang mana debitur hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk bisa melakukan negosiasi terhadap klausula didalam perjanjian
pinjam meminjam tersebut, akan tetapi tidak boleh ada unsur keterpaksaan dalam
perjanjian tersebut, yang mana para pihak harus saling menyepakati klausula
didalam perjanjian tersebut terutama si debitur.
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari hukum
perjanjian. Asas ini dinamakan juga dengan asas otonomi “konsensualisme”, yang
menentukan ada atau tidak adanya suatu perjanjian.
Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata
mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan
untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membanghkitkan kepercayaan bahwa
perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang
bersumber pada moral.70
70
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, Halaman 83.
64
Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat didalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Ketentuan tersebut berbunyi: “Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.
“Semua” mengandung makna meliputi seluruh perjanjian,baik yang
Namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas
kebebasan berkontrak berhubungan denga nisi perjanjian, yaitu kebebasan
menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan dan sebuah
perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai
kekuatan yang mengikat.71
2. Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan tegas sedangkan dalam Pasal 1338
KUH Perdata ditemukan didalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan
bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang
dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.72
Penerapan asas ini didalam perjanjian pinjam meminjam uang berbasis
online sulit diterapkan disebabkan penggunaan klausula baku pada perjanjiannya
sehingga debitur hanya memiliki sedikit kesempatan untuk menyampaikan apa
yang diinginkannya didalam perjanjian tersebut.
3. Asas kepercayaan
71
Ibid, Halaman 84. 72
Ibid, Halaman 87.
65
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan diantara kedua pihak tersebut bawa satu sama lain akan memegang
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa
adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak akan mungkin terjadi diantara
para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai suatu undang-
undang.73
Dengan kreditur yang memberikan pinjaman kepada debitur maka dapat
dikatakan bahwa kreditur percaya bahwa debitur akan melaksanakan
kewajibannya kepada kreditur yaitu mengembalikan utang kepada kreditur sesuai
dengan jumlah yang disepakati dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan
pula.
4. Asas kekuatan mengikat
Demikianlah seterusnya bahwa dapat disimpulkan didalam suatu
perjanjian terkandung suautu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikanakan tetapi
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dukehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas moral, kepatutan dan kebiasaan
yang mengikat para pihak.74
Dalam hal perjanjian pinjam meminjam uang maka si debitur telah terikat
secara moral kepada si kreditur, dan apabila dikaitkan dengan kebiasaan maka
73
Ibid, Halaman 87. 74
Ibid, Halaman 88.
66
yang namanya utang maka si yang berutang wajib mengembalikan utangnya
kepada orang yang di utangi nya, dalam hal ini kreditur.
5. Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan hal
lainnya. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia
ciptaan tuhan yang mempunyai kedudukan yang sama.75
Antara kreditur dan debitur tidak ada perbedaan dan tidak ada
keistimewaan di dalam hukum, apabila debitur melakukan wanprestasi contohnya
tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang kepada kreditur maka
kreditur dapat menggugat debitur atas hal tersebut, begitu pula sebaliknya apabila
kreditur melakukan perbuatan diluar dari yang telah di sepakati dalam perjanjian
misalnya menagih utang sebelum waktu yang telah ditentukan atau menagih utang
dengan cara kekerasan maka debitur juga dapat menggugat kreditur atas hal
tersebut.
6. Asas keseimbangan
Asas ini mengkehendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, akan tetapi kreditur
memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dapat
75
Ibid, Halaman 88.
67
dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan
debitur seimbang.76
7. Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung suatu kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu
sebagai suatu undang-undang bagi para pihak.77
Asas ini masih berkaitan dengan Pasal 1338 ,yaitu perjanjian sebagai
undang-undang bagi para pihak, maka dari itu didalam perjanjian haruslah jelas
hal-hal apa saja yang diatur karena perjanjian tersebut sebagai patokan dalam
pelaksanaan pinjam meminjam uang berbasis online, salah satu contohnya
misalkan tentang penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi.
8. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari
para pihak debitur juga hal ini terlihat didalam zaakwaarneming, dimana
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela yang bersangkutan
mempunyai kewajiban untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas
ini juga terdapat didalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan hukum
itu berdasarkan pada “kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.78
9. Asas kepatutan
76
Ibid, Halaman 88. 77
Ibid, Halaman 88. 78
Ibid, Halaman 89.
68
Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini haruslah
dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga
oleh rasa keadilan dalam masyarakat.79
B. Penggunaan Kontrak Online Dalam Transaksi Pinjam Meminjam
Berbasis Online
Dalam era perkembangan ekonomi digital, masyarakat terus
mengembangkan inovasi, teknologi informasi dianggap telah mengubah
masyarakat yang menciptakan jenis-jenis dan peluang bisnis yang baru, serta
menciptakan jenis pekerjaan dan karir baru dalam kehidupan manusia, salah satu
contoh perkembangan yang diciptakan yaitu penyediaan layanan dalam kegiatan
pinjam meminjam yang salah satunya ditandai dengan adanya layanan jasa pinjam
meminjam uang berbasis online yang dinilai turut berkontribusi terhadap
pembangunan dan perekonomian nasional. Dari hal inilah kemudian muncul
istilah kontrak elektronik/ online demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang
berkembang mengikuti teknologi tersebut.
Ditinjau dari KUH Perdata di Indonesia penggunaan kontrak online atau
elektronik boleh saja dipergunakan, memang jika dilihat berdasarkan buku III
KUH Perdata di Indonesia kontrak online belum ada diatur, akan tetapi jika
ditinjau dari hukum perjanjian yang ada di Indonesia selama para pihak dalam
kontrak tersebut tidak menciderai makna dari perjanjian itu maka kontrak online
79
Ibid, Halaman 89.
69
sah dan dapat dipergunakan sebagaimana diatur didalam Pasal 1320 KUH Perdata
dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Pengaturan terkait dengan kontrak online tercantum dalam Pasal 1 angka
17 UU ITE yang bunyinya adalah “Kontrak elektronik adalah perjanjian para
pihak yang dibuat melalui sistem elektronik”. Kekuatan hukum kontrak online/
elekronik dapat dilihat didalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE yang bunyinya adalah
“Transaksi elektronik yang dituangkan kedalam kontrak elektronik merupakan
mengikat bagi para pihak”, maka jika dilihat dari penjelasan dua Pasal tersebut
dapat dikatakan bahwa suatu transaksi yang menjadi perjanjian lalu perjanjian
tersebut dituangkan kedalam kontrak online/ elektronik maka memiliki sifat yang
mengikat para pihak, hal ini berarti kontrak online memiliki kesamaan dengan
kontrak-kontrak atau perjanjian pada umumnya.
Pada perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online yang mana
perjanjiannya tertuang di dalam akta atau kontrak elektronik tentunya akta atau
kontrak tersebut termasuk kedalam akta dibawah tangan, bukan akta yang
termasuk bersifat otentik atau notarial. Meskipun kontrak atau akta tersebut
merupakan akta dibawah tangan, namun dapat dipertanggungjawabkan dan dapat
dijadikan sebagai alat bukti, akan tetapi kekuatan pembuktian akta dibawah
tangan tidak sesempurna kekuatan bukti akta otentik. Namun demikian
penggunaan kontrak online tidak mengurangi dan tidak mengingkari keabsahan
dari perjanjian sebagimana yang tercantum didalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kontrak online atau elektronik termasuk kedalam kategori kontrak tidak
bernama (innominaat) yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur didalam KUH
70
Perdata tetapi dapat ditemui pelaksanaannya didalam masyarakat akibat dari
perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisnis.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja perjanjian jual beli yang dilakukan
melalui media elektronik secara online tidak lain adalah perluasan dari konsep
perjanjian jual beli yang ada didalam KUH Perdata. Perrjanjian online ini
memiliki dasar hukum perdagangan konvensional atau jual beli dalam hukum
perdata.80
Jika dianalisis berdasarkan keterangan diatas maka hal demikian juga yang
terjadi dalam perjanjian pinjam meminjam berbasis online. Penggunaan kontrak
online atau elektronik dalam perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online
merupakan sebuah perkembangan dari perjanjian pinjam meminjam secara
konvensional yang dikenal pada umumnya, yang mana dikarenakan
perkembangan teknologi dan seiring juga dengan perkembangan masyarakat yang
awalnya hanya mengenal kegiatan pinjam meminjam hanya secara konvensional
kemudian karena perkembangan tersebut muncul kegiatan pinjam meminjam
berbasis online yang bersamaan dengan hal tersebut dibarengi dengan penggunaan
kontrak online atau elektronik.
Kontrak elektronik memiliki unsur-unsur yang termuat didalamnya, antara
lain sebagai berikut:81
1. Data identitas para pihak
2. Objek dan spesifikasi
80
Mieke Komar Kantaatmadja, Cyberlaw: Suatu Pengantar, cetakan I, ELIPS, Bandung,
2001, Halaman 15. 81
Pasal 48 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik.
71
3. Persyaratan transaksi elektronik
4. Harga dan biaya
5. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak
6. Ketentuan yang memberikan hak apabila ada salah satu pihak yang dirugikan
untuk dapat menerima ganti kerugian
7. Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik
Dalam kontrak elektronik sebagaimana yang dimaksud diatas
dilaksanakan juga dengan menggunakan tandatangan elektronik. Tandatangan
elektronik berdasarkan peraturan OJK adalah tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang dilekatkan, diasosiasikan atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Tanda tangan elektronik mempunyai kekuatan hukum yang sah selama
memenuhi persyaratan, antara lain sebagai berikut: 82
1. Data pembuatan bersifat privasi hanya diketahui oleh pemilik tanda tangan
2. Saat pembuatan tanda tangan, hanya pemilik asli yang memiliki kuasa untuk
menggunakannya
3. Jika terdapat perubahan setelah pembuatan tanda tangan elektronik, bisa
diketahui secara pasti
4. Semua perubahan tentang informasi elektronik yang ada hubungannya dengan
tanda tangan bisa diketahui
5. Memiliki cara khusus untuk mengetahui dengan pasti pemilik tanda tangannya.
82
Pasal 11 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
72
6. Memiliki cara khusus untuk membuktikan bahwa pemilik tanda tangan sudah
memberikan persetujuan yang sah mengenai informasi elektronik tertentu.
Mengacu kepada Pasal 5 undang-undang ITE dinyatakan bahwa dengan
terpenuhinya semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh UU ITE dan POJK
nomor 77/ POJK. 01/2016, maka transaksi elektronik berupa pinjam meminjam
uang berbasis online ini dituangkan kedalam kontrak online atau elektronik yang
mengikat para pihak serta segala informasi elektronik dan/ atau dokumen
elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah yang dapat diajukan ke
pengadilan.
C. Penyelesaian Hukum Pinjam Meminjam Berbasis Online Apabila Terjadi
Wanprestasi
1. Wanprestasi dan Kaitannya Dengan Hukum Perdata Indonesia
Dalam pelaksanaan pinjam meminjam uang berbasis online, terdapat
hubungan hukum antara para pihak yang meliputi pemberi pinjaman atau
kreditur, penyelenggara pinjaman, serta penerima pinjaman selaku debitur.
Hubungan hukum yang dimaksud disini adalah suatu hubungan yang didalamnya
terdapat hak dan kewajiban diantara para pihak yang terkait didalamnya.83
Pada pinjam meminjam uang berbasis online hubungan hukum tersebut
lahir dari adanya suatu perjanjian. Secara konvensional, perjanjian dapat terjadi
melalui tindakan langsung ataupun tidak langsung dari kedua belah pihak dimana
pihak pertama berpihak sebagai yang melakukan penawaran diterima oleh
penerima dengan kondisi-kondisi hukum yang jelas serta bertujuan menciptakan
83
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2006, Halaman 221.
73
suatu hubungan hukum. Kondisi-kondisi yang dimaksud adalah kesepakatan,
kecakapan, objek tertentu dan sebab yang halal.84
Pada dasarnya pihak penerima pinjaman atau debitur berkewajiban untuk
membayar utang sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Jika debitur terlambat
membayar utang dan sudah jatuh tempo, maka hal ini dapat dikenakan denda
sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan jika debitur masih tidak
mempunyai itikad baik untuk membayar utang, kreditur berhak untuk menggugat
debitur atas dasar wanprestasi.
Berdasarkan Pasal 1234 BW, disebutkan bahwa obyek dari perikatan
(prestasi) dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu. Oleh karena itu, jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi dalam
suatu perikatan, maka pihak tersebut dapat dikatakan cacat atau cidera janji.
Dari suatu perjanjian yang dibuat akan muncul suatu kewajiban bagi
debitur untuk melaksanakan suatu prestasi. Jika kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan maka debitur dianggap wanprestasi.85
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk
yaitu suatu keadaan tidak terlaksananya prestasi atas kesalahan debitur baik
dengan kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi tidak terjadi seketika, saat debitur
tidak memenuhi prestasinya. Perlu diberikan suatu tenggang waktu yang layak
seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Jadi, ketika para pihak dalam
perjanjian yang dibuat tidak menentukan tenggang waktu debitur berprestasi,
84
Ibid, Halaman 5. 85
Chandrika Radita Putri, “Tanggung gugat penyelenggara peer to peer lending jika
penerima pinjaman melakukan wanprestasi”, Jurisdiction, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2018,
Halaman 467.
74
maka wanprestasi tidak terjadi demi hukum. Jika waktu prestasinya telah
ditentukan pada perjanjian, belum berarti bahwa waktu tersebut sudah merupakan
batas waktu terakhir bagi debitur untuk memenuhi prestasinya.86
Untuk dapat dikatakan wanprestasi, diperlukan tenggang waktu yang layak
misalkan satu minggu, atau dalam waktu satu bulan. Dalam perjanjian walaupun
ditentukan suatu tenggang waktu, namun waktu tersebut bukan berarti batas akhir
debitur untuk memenuhi prestasinya. Pada perjanjian yang tidak menentukan
tenggang waktu terlaksananya prestasi, maka wanprestasi tidak terjadi demi
hukum. Debitur dapat dikatakan wanprestasi ketika telah ada pernyataan lalai
diluar pengadilan yang merupakan pesan kreditur kepada debitur
(Ingebrekestelling) maupun peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara
resmi melalui Pengadilan Negeri (Sommatie).87
Untuk menentukan saat terjadinya wanprestasi, undang-undang
memberikan pemecahannya dengan lembaga “pernyataan lalai” atau somasi
(ingebrekestelling) yang dapat ditemukan pada Pasal 1238 BW. Pernyataan lalai
atau somasi adalah pesan dari kreditor kepada debitur, dengan mana kreditur
memberitahukan pada saat kapan selambat-lambatnya ia mengharapkan
pemenuhan prestasi. Sejak saat itu maka debitur harus menanggung akibat
hukumnya. Jadi, pernyataan lalai merupakan syarat untuk menetapkan terjadinya
wanprestasi. Pada Pasal 1238 KUH Perdata disebutkan bahwa si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
86
Ibid. 87
Ibid.
75
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menerapkan, bahwa
si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.88
Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan
lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian. Dalam hal debitur
terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan, karena debitur
dianggap masih dapat berprestasi. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi,
Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu, tetapi Meijers berpendapat lain,
apabila karena kekeliruan debitor kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang
positif (positif contractbreuk), pernyataan lalai tidak perlu.89
Dengan dilampauinya waktu yang telah disebutkan dalam pernyataan lalai
itu, maka berarti debitur telah tidak memenuhi perikatan.90
Pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam hal seseorang melakukan suatu perbuatan melawan hukum, maka dia
berkewajiban membayar ganti rugi akan perbuatannya tersebut, hal yang berbeda
dengan tuntutan kerugian dalam wanprestasi, dalam tuntutan perbuatan melawan
hukum tidak ada peraturan yang jelas mengenai ganti kerugian tersebut, namun
sebagaimana diatur dalam Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata tersirat juga
penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak, menurut keadaan. Langkah hukum dan solusi yang tepat atas permasalahan
ini yaitu pinjaman yang sudah jatuh tempo berdasarkan perjanjian yang sudah
88
Ibid. 89
C. Asser, Pedoman Untuk Pengajian Hukum Perdata Belanda, Dian Rakyat, Jakarta,
Halaman 13. 90
Sedyo Prayogo, “Penerapan batas-batas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum
dalam perjanjian”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volune III, Nomor 2, Tahun 2016, Halaman 282.
76
disepakati, debitur memang harus bertanggungjawab, yaitu dengan mengusahakan
penyelesaian utang tersebut.
2. Wanprestasi pada pinjam meminjam uang berbasis online
Penyelenggaraan perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online ini
sama seperti perjanjian pinjam meminjam konvensional, hanya saja pada pinjam
meminjam uang berbasis online, terdapat pihak ketiga yaitu penyelenggara
sebagai perantara yang menghubungkan antara pihak pemberi pinjaman dan
penerima pinjaman.
3. Akibat hukum wanprestasi pada pinjam meminjam uang berbasis online
Tidak dipenuhinya prestasi yang diperjanjikan akan merugikan kreditur.
Karenanya, jika debitur melakukan wanprestasi, kreditur dapat menuntut beberapa
hal yaitu:91
a. Pemenuhan perjanjian (nakomen),
b. Pembatalan perjanjian (ontbinding)
c. Ganti rugi (schade vergoeding)
d. Pemenuhan perjanjian dengan ganti rugi
e. Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.
Ganti rugi ini dapat merupakan pengganti dari prestasi pokok, akan tetapi
dapat juga sebagai tambahan disamping prestasi pokoknya. Dalam hal pertama,
ganti rugi terjadi, karena debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan
yang terakhir karena debitur terlambat memenuhi prestasi.92
Adanya ganti rugi terdiri dari dua faktor:
91
Chandrika Radita Putri, Op.Cit, Halaman 486. 92
Ibid, Halaman 469.
77
a. kerugian yang nyata-nyata diderita.
b. keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Kedua faktor tersebut dicakup dalam pengertian biaya, kerugian dan
bunga. Makna biaya maksudnya pengeluaran yang nyata telah dikeluarkan, makna
kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan kreditor sebagai akibat dari
wanprestasi, dan makna bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh
kreditur jika tidak terjadi wanprestasi.93
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka undang-undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai. Pernyataan lalai tersebut merupakan upaya hukum yang diberikan
oleh undang-undang yang berperan sebagai pemberitahuan dari kreditur kepada
debitur yang menerangkan kapan selambat-lambatnya debitur diharapkan
memenuhi prestasinya.94
Dalam hal terjadinya wanprestasi akibat gagal bayar oleh penerima
pinjaman (debitur) pada kegiatan pinjam meminjam uang berbasis online, maka
penyelenggara pada dasarnya tidak memiliki akibat hukum secara langsung yang
membuat risiko dapat berpindah ke penyelenggara. Hal tersebut karena
penyelenggara hanya sebagai penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama
pemberi pinjaman.Penyelenggara selama bertindak sesuai dengan kewenangannya
yang disebutkan dalam surat kuasa khusus maupun sebagai penyedia layanan
maka tidak bertanggung gugat atas wanprestasi yang dilakukan oleh penerima
pinjaman.
93
Ibid. 94
C. Asser, Op.Cit, Halaman 12.
78
Sebagai pihak ketiga yang mempertemukan pemberi pinjaman dan debitur sebagai
pengguna pada platform yang disediakan, hubungan antara penyelenggara dan
pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman dirangkai dalam hubungan antara
penyelenggara sistem layanan elektronik dan pengguna dalam UU ITE. Dengan
begitu penyelenggara juga ikut bertanggung jawab dalam suatu tindakan baik
preventif maupun tindakan represif
Pada kegiatan pinjam meminjam uang berbasis online, penyelenggara
harus dapat mengelola serta mengoperasikan platform nya dengan baik termasuk
bertanggungjawab atas sistem profiling untuk mendapatkan calon penerima
pinjaman yang berkualitas. Sistem profiling juga harus jujur dan transparan
sehingga pemberi pinjaman dapat mempertimbangkan secara matang sebelum
melakukan pendanaan kepada calon penerima pinjaman.
Jika dalam melakukan sistem profiling ataupun seleksi calon penerima
pinjaman, penyelenggara melakukan manipulasi data seperti mengangkat
kredibilitas penerima pinjaman agar terlihat baik ataupun tidak transparan
sehingga menimbulkan kesesatan dan merugikan pemberi pinjaman, maka
penyelenggara ikut bertanggung gugat atas kerugian tersebut. Untuk itulah OJK
bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan
pada pinjam meminjam uang berbasis online.
Setiap Syarat dan Ketentuan Pengguna masing-masing platform walaupun
mengatur mengenai pembatasan tanggung jawab dan ganti kerugian, dalam
pelaksanaan kegiatan pinjam meminjam uang berbasis online juga tidak akan
terlepas dari peraturan perundang-undangan terkait yaitu UU Nomor 19 Tahun
79
2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang transaksi elektronik
beserta peraturan pelaksanannya, POJK Nomor 77 POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan peraturan
terkait lainnya yang melingkupi.95
4. Perlindungan Hukum Terhadap Pemberi Pinjaman
Ada dua macam Perwujudan perlindungan hukum dalam kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis online, yaitu; Perlindungan Hukum Preventif dan
Represif. Pada perlindungan hukum preventif, penyelenggara memberikan
analisis yang mendalam dengan proses yang ketat terhadap pengajuan pinjaman
pada platform dengan melihat kemampuan penerima pinjaman untuk membayar
dan melunasi pinjaman yang didasarkan pada hasil analisa dan penilaian dengan
metode yang berbeda antar platform. Penilaian terhadap kemampuan calon
penerima pinjaman merupakan hal yang penting karena tidak ada jaminan apapun
yang diberikan oleh penerima pinjaman dalam kegiatan pinjam meminjam uang
berbasis online. Penilaian tersebut sebagai tahapan untuk mengetahui adanya
itikad baik calon penerima pinjaman dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan syarat-syarat dan atau ketentuan-ketentuan sebagaimana yang
diatur dalam perjanjian sebelum pengajuan pinjaman disetujui.
Jika debitur telah dianggap wanprestasi, maka penyelesaian sengketa dapat
dilaksanakan melalui lembaga litigasi maupun non litigasi. Jika dalam perjanjian
telah ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan melalui arbitrase,
95
Chandrika Radita Putri, Op.Cit, Halaman 470.
80
maka pengadilan negeri tidak berwenang lagi untuk mengadili sengketa para
pihak.96
Undang-Undang ITE mengamanatkan setiap orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/ atau
menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian. Para pihak dapat
mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang dianggap telah
merugikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selain
penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata, para pihak juga dapat
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.97
Penyelesaian sengketa secara alternatif lebih dominan dipilih oleh para
pihak dibandingkan harus menyelesaikan sengketa melalui litigasi atau pengadilan
sebab proses pengadilan yang tergolong lama, biayanya mahal serta sulitnya
untuk mengeksekusi putusannya membuat para pihak lebih memilih jalur non
litigasi dalam penyelesaian sengketa pinjam meminjam uang berbasis online ini.
Kemudian keengganan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
jalur pengadilan dikaenakan proses penyelesaiannya yang bersifat menang-kalah,
sehingga dianggap dapat merugikan salah satu pihak. Penyelesaian sengketa
melalui diluar pengadilan lebih diminati dikarenakan lebih efektif dan juga
efisien.. Para pihak dapat memilih cara-cara penyelesaian sengketa sesuai dengan
kesepakatan bersama antara lain seperti : negosiasi, mediasi, konsiliasi, serta
96
Pasal 2 Juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. 97
Iswi Hsriysni, ”Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM
Tekfin”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 03, 2017, Halaman 09.
81
arbitrasi. Pada tahap awal maka para pihak yang bersengketa dianjurkan untuk
melakukan negosiasi tanpa melibatkan pihak ketiga. Jika negosiasi gagal maka
kemudian para pihak dapat menyepakati hadirnya pihak ketiga yang dapat
berstatus sebagai mediator, konsiliator ataupun arbiter.98
Disebutkan dengan jelas dalam BAB II, Pasal 6 angka 1 sampai dengan 9
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur non
litigasi dengan alternatif penyelesaian sengketa maka diselesaikan dalam
pertemuan langsung para pihak yang berkaitan yang hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis. Namun jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan,
maka para pihak membuat kesepakatan tertulis bahwa sengketa diselesaikan
melalui bantuan seseorang mediator. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase
maka dapat melihat ketentuan pada BAB III Undang-undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, sifat putusan adalah final, memiliki kekuatan hukum
yang tetap dan mengikat para pihak.
Walaupun begitu, Pengadilan masih dapat melakukan campur tangan
dalam proses arbitrase yang tertuang dalam UU Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diselesaikan
melalui lembaga penyelesaian sengketa secara alterntif diatas adalah:99
98
Ibid. 99
Ibid, Halaman10.
82
1. Hanyalah persengketaan perdata yang timbul diantara para pihak sehubungan
dengan kegiatan di sektor industri keuangan.
2. Terdapat kesepakatan diantara para pihak yang bersengketa bahwa
persengketaan akan diselesaikan melalui lembaga penyelesaian sengketa
alternatif.
3. Terdapat permohonan tertulis dari pihak yang bersengketa kepada lembaga
penyelesaian sengketa alternatif.
4. Persengketaan tersebut bukanlah persengketaan yang berkaitan dengan pidana,
contoh: penggelapan, penipuan.
5. Persengketaan tersebut tidak berkaitan dengan pelanggaran administratif,
contoh : pembekuan usaha, pencabutan izin.
Penyelesaian sengketa pinjam meminjam uang berbasis online, haruslah
dilakukan sesederhana mungkin sebagiamana yang disebutkan didalam Pasal 29
huruf e POJK nomor 77/POJK.01/2016 yang menjelaskan bahwa penyelesaian
sengketa antara para pihak harus dilakukan secara sederhana, cepat dan juga
dengan biaya yang terjangkau.
5. Macam-macam peraturan mekanisme penyelesaian sengketa transaksi online
Apabila di kelompokkan menjadi bagian-bagian, maka terdapat beberapa
peraturan hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa transaksi
online, antara lain sebagai berikut :100
a. Undang-Undang
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
100
Theresia Tri Utami, “Rechtvakum dalam penyelesaian pinjaman gagal bayar pada
pinjaman online di Indonesia”, Jurnal Rechtvinding, Tahun 2020.
83
Undang-Undang ini membagi 2(dua) bagian untuk penyelesaian sengketa
yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Gugatan ke pengadilan dapat dilakukan oleh konsumen, sekelompok
konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau instansi
yang mengalami kerugian. Dalam hal ini berarti apabila debitur mengalami
kerugian maka dapat memilih menggunakan cara penyelesaian diluar pengadilan
atau melalui gugatan ke pengadilan.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan bisnis
peer to peer lending atau layanan pinjam meminjam uang berbasis online di
Indonesia melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang tercantum dalam
Pasal 29. Dalam Pasal ini dijelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan memfasilitasi
penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku. Pada Pasal 30,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk melakukan pembelaan secara hukum
untuk melindungi konsumennya yang mengalami kerugian.
b. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik.
Pada Pasal 45 sampai Pasal 50 dijelaskan tentang persyaratan transaksi
elektronik. Disebutkan juga bahwa penyelenggara transaksi elektronik
menentukan pilihan hukum secara seimbang terhadap pelaksanaan transaksi
elektronik dan harus dimuat dalam kontrak elektronik. Peraturan ini juga
menjelaskan peran pemeritah dalam pemanfaatan teknologi informasi dan
84
transaksi elektronik yaitu penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, fasilitasi
infrastruktur, promosi dan edukasi, dan pengawasan. Masyarakat berhak untuk
mengajukan permohonan pemutusan akses informasi dan/atau dokumen
elektronik apabila melanggar ketentuan RechtsVinding Online yang ada,
meresahkan dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahukan cara atau
menyediakan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.
c. Peraturan Menteri
1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di
Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peraturan ini menugaskan (PPNS) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik
berdasarkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Peraturan Menteri ini melingkupi kedudukan, tugas dan tanggung
jawab PPNS, pemeriksaan kebenaran laporan atau pengaduan atau keterangan,
penyidikan dan penindakan oleh PPNS dan koordinasi eksternal.
d. Peraturan Bank Indonesia
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial.
85
Peraturan ini tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa transaksi
elektronik, namun peraturan ini pada Pasal 18 menyatakan bahwa kerja sama
dengan penyelenggara teknologi finansial dalam hal jasa sistem pembayaran harus
memperoleh persetujuan Bank Indonesia dan penyelenggara teknologi finansial
harus berstatus terdaftar.
e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada Otoritas Jasa
Keuangan apabila terindikasi sengketa dengan pelaku usaha jasa keuangan.
Konsumen juga bisa mendapat pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan
konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan yang tertera dalam
Pasal 41. Apabila penyelesaian pengaduan tidak mencapai kata sepakat, maka
konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar maupun melalui
pengadilan. Yang dimaksud dengan di luar pengadilan yaitu melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan sengketa dalam sektor jasa
keuangan yang diadukan oleh konsumen.
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Pada peraturan ini tidak dijelaskan tentang penyelesaian apabila terjadi
sengketa. Namun tercantum pada Pasal 21 yang menyatakan bahwa
penyelenggara dan pengguna harus melakukan mitigasi risiko. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, mitigasi risiko adalah upaya untuk mengurangi
86
kemungkinan terjadinya dan dampak risiko. Peraturan ini juga menerapkan sanksi
terhadap penyelenggara yang melakukan pelanggaran dan larangan dalam
peraturan OJK ini antara lain peringatan tertulis, denda (untuk membayar
sejumlah uang tertentu), pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.
Sampai saat ini, belum adanya peraturan khusus yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa di bidang financial technology khususnya penyelesaian
pinjaman gagal bayar di bidang pinjam meminjam uang berbasis online yang
semakin hari semakin berkembang pesat bisnisnya di Indonesia. Sejauh ini
Indonesia hanya memiliki peraturan yang mengatur secara umum tentang
penyelesaian sengketa.
Contoh kasus pada sengketa perdata pinjam meminjam uang berbasis
online yaitu antara lain, terdapat beberapa sengketa perdata mengenai pinjam
meminjam uang berbasis online baik melalui penyelesaian secara alternatif atau
gugatan ke pengadilan oleh para pihak, sengketa pertama yaitu yang tedaftar pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor registrasi Penetapan Nomor
53/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Pst, dalam hal ini terdapat para pihak yaitu PT.AMOOREA
INDO JAYA sebagai debitur yang menerima pinjaman uang dari penyelenggara
layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis online, kemudian pihak lain yaitu
PT.MEDIATOR KOMUNITAS INDONESIA(CROWDO) sebagai penyelenggara
layanan pinjam meminjam uang berbasis online, dalam sengketa ini PT.
AMOOREA INDO JAYA atau debitur berposisi sebagai penggugat dan PT.
MEDIATOR KOMUNITAS INDONESIA(CROWDO) sebagai tergugat, yang
didalam gugatannya pihak tergugat digugat telah melakukan perbuatan melawan
87
hukum, adapun uraian singkat dari sengketa tersebut adalah pihak PT.
AMOOREA INDO JAYA sebagai debitur melakukan pinjaman uang untuk tujuan
modal usaha kepada PT.MEDIATOR KOMUNITAS INDONESIA (CROWDO)
sebagai perusahaan penyelenggara jasa layanan pinjam meminjam uang berbasis
online, pihak debitur memberikan jaminan kepada kreditur yaitu dua unit mesin
produksi usaha yang dimiliki oleh debitur yang mana jaminan tersebut sesuai
perjanjiannya akan dilelang oleh kreditur apabila sesuai dengan waktu yang
ditentukan pihak kreditur tidak dapat melaksanakan kewajibannya yaitu
melakukan pelunasan utang-utang nya, dalam proses pelaksanaan kewajiban para
pihak, debitur mengalami kesulitan dalam dalam usaha nya sehingga terkendala
dalam melaksanakan kewajibannya yaitu melakukan pembayaran kredit kepada
pihak debitur akan tetapi pihak debitur memiliki itikad baik dengan tetap
melaksanakan kewajibannya, yang menjadi dasar debitur melakukan gugatan
adalah pihak kreditur tidak melaksanakan kewajibannya yaitu apabila sesuai
kesepakatan apabila debitur mengalami kesulitan dalam pelunasan utangnya maka
kreditur melakukan likuidasi terhadap asset yang dijaminkan oleh pihak debitur
atau melakukan pelelangan terhadap objek jaminan tersebut akan tetapi pihak
kreditur tidak melaksanakannya maka dari itu debitur menggugat pihak kreditur
telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Dalam perkara ini majelis hakim tidak mengeluarkan putusan bagi para
pihak dikarenakan dalam proses penyelesaian di pengadilan pihak debitur sebagai
penggugat mencabut gugatannya terhadap tergugat yaitu kreditur yang mana
88
pencabutan gugatan tersebut ditetapkan didalam penetapan Nomor
316/Pdt.G/2020/PN Jkt.Pst.101
Kemudian contoh kasus selanjutnya yang tercatat di pengadilan yaitu
Putusan Nomor 261/Pdt.G/2019/PN.Btm dengan para pihak yaitu Hasnawati
Sinaga selaku debitur pada layanan pinjam meminjam uang berbasis online dan
juga sebagai penggugat dalam sengketa ini kemudian sebagai pihak tergugat PT.
BPR INDOBARU FINANSIA yang merupakan penyelenggara layanan pinjam
meminjam uang berbasis online, dalam gugatannya disebutkan bahwa tergugat
melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melakukan pelelangan tanah
dan bangunan milik penggugat akibat dari si penggugat yang juga sebagai debitur
dari tergugat tidak mampu melaksanakan kewajibannya yaitu melunasi utang-
utang nya. Dalam sengketa ini majelis hakim mengadili dan menyatakan
menerima eksepsi yang disampaikan oleh pihak tergugat dan tidak dapat
menerima gugatan yang diajukan penggugat.102
Dua contoh kasus diatas adalah contoh sengketa perdata pinjam meminjam
uang berbasis online yang diselesaikan melalui jalur litigasi atau pengadilan yang
gugatannya tercatat di Direktori putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
baik yang dalam proses gugatannya diputuskan oleh majelis hakim yang
bersangkutan ataupun pihak penggugat melakukan pencabutan atas gugatannya.
Dilihat berdasarkan peraturan-peraturan yang berkaitan tentang
penyelesaian sengketa pinjam meminjam uang berbasis online banyak yang
101
PT.AMOOREA INDO JAYA melawan PT.MEDIATOR KOMUNITAS INDONESIA
(CROWDO), Penetapan Nomor 53/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Pst, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tahun
2020. 102
Hasnawati Sinaga melawan PT. BPR INDOBARU FINANSIA, Putusan Nomor
261/Pdt.G/2019/PN.Btm, Pengadilan Negeri Batam, Tahun 2019.
89
menjelaskan tentang penyelesaian sengketa diluar pengadilan antara lain mediasi,
negosiasi hingga arbitrasi. Akan tetapi hingga tahun 2021 atau saat ini belum
ditemukan data konkrit yang tercatat tentang kasus sengketa pada pinjam
meminjam uang berbasis online yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur
non litigasi. Yang paling umum ditemui dalam pinjam meminjam uang berbasis
online apabila pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya untuk melunasi
utangnya atau wanprestasi maka pihak kreditur atau penyelenggara layanan jasa
pinjam meminjam uang berbasis online akan menggunakan pihak ketiga yaitu
debt collector atau penagih utang agar debitur melaksanakan kewajibannya untuk
melunasi utangnya, Jika di analisis hal ini dapat dikatakan sebagai penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui non litigasi yang mana debt collector diberikan
kuasa oleh pihak kreditur atau penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang
berbasis online untuk menyelesaikan sengketa dengan pihak debitur. Sebagai
debitur apabila tidak sanggup untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dengan yang telah diperjanjikan diharapkan untuk menunjukkan itikad baik,
melalui debt collector yang menjadi perpanjangan kewenangan dari kreditur pihak
debitur dapat bernegosiasi untuk mengupayakan tindakan penjadwalan kembali
(rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), ataupun penataan kembali
(restructuring).103
Penggunaan debt collector diperbolehkan pada bidang perbankan dan
lazim digunakan untuk menyelesaikan apabila debitur wanprestasi atau debitur
103
Hukumonline, Penagihan Pinjaman Online Meresahkan? Perhatikan Tips Ini Agar
Tak Salah Langkah, https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e61064053e54/penagihan-pinjol-
meresahkan-perhatikan-tips-ini-agar-tak-salah-langkah-/. Diakses pada tanggal 9 Maret 2021
Pukul 03.38.
90
tidak melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang. Terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengatur antara lain yaitu Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
18/33/DKSP Tahun 2016 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu, didalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran
Bank Indonesia tersebut terdapat isi bahwa penggunaan jasa debt collector
diperbolehkan apabila sesuai dengan ketentuan dan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.104
Jika dilihat berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
penggunaan debt collector oleh kreditur atau penyedia layanan jasa pinjam
meminjam uang berbasis online juga boleh digunakan apabila debitur melakukan
sengketa wanprestasi yang mana debitur tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana yang telah disepakati didalam perjanjian pinjam meminjam uang
berbasis online dan penggunaan debt collector termasuk salah satu alternatif
penyelesaian sengketa antara pihak debitur dengan kreditur atau penyedia layanan
jasa pinjam meminjam uang berbasis online dan dapat disebut sebagai negosiasi
dalam penyelesaian sengketa yang mana arti dari negosiasi tersebut dilihat pada
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan Bersama atas
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
104
Hukumonline, Dasar Hukum Adanya Debt Collector,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5802/dasar-hukum-adanya-idebt-collector-i/,
Diakses pada tanggal 10 Maret 2021 Pukul 10.22.
91
6. Upaya hukum pemberi pinjaman (Kreditur) dalam pinjam meminjam uang
berbasis online
Jika penyelesaian perkara dilakukan melalui litigasi, maka ada beberapa
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas dengan putusan
Pengadilan Negeri. Upaya hukum diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu dengan maksud melawan
putusan hakim.
Putusan hakim baru dapat dilaksanakan jika telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Kekuatan hukum tetap maksudnya tidak ada lagi upaya hukum
untuk melawannya dengan begitu pihak yang dikalahkan harus melaksanakan
putusan tersebut dengan sukarela. Sebelum mencapai putusan yang inkracht,
hukum acara perdata Indonesia memberikan 2 macam upaya hukum kepada para
pihak yaitu; upaya hukum biasa yang terdiri dari Perlawanan (verzet) atas putusan
verstek, banding serta kasasi dan upaya hukum luar biasa yang terdiri dari
peninjauan kembali dan perlawanan dari pihak ketiga (derden verzet).105
Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan diluar hadirnya Tergugat.106
Perlawanan diajukan Tergugat kepada Ketua Pengadilan yang
memutuskan sengketanya setelah mengetahui putusan tersebut. Upaya hukum ini
diberikan kepada pihak Tergugat yang pada umumnya dikalahkan. Jika dalam
penyelesaian sengketa Penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan, maka
dapat mengajukan upaya hukum Banding.
105
Chandrika Radita Putri, Op.Cit, Halaman 471. 106
Pasal 125 ayat (3) Juncto 129 HIR, 149 ayat (3) Juncto Pasal 153 RBg.
92
Upaya hukum banding merupakan pemeriksanaan ulangan terhadap
putusan Pengadilan Negeri yang diajukan pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim atas perkara yang diperiksa. Menurut Riduan
Syahrani, upaya hukum banding dilandaskan pada ketentuan Pasal 188 s/d. 194
HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam Pasal 199 s.d 205 RBg (untuk
daerah di luar Jawa dan Madura). Namun Pasal 188 s/d. 194 HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi berdasarkan Pasal 3 juncto Pasal 5 UU Nomor 1 tahun 1951 (UU-
Darurat Nomor 1 tahun 1951) dan diganti dengan UU Nomor 20 tahun 1947
tentang peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.107
Kemungkinan putusan dalam tingkat banding dapat berupa menguatkan,
memperbaiki maupun membatalkan putusan Pengadilan Negeri.108
Kasasi diajukan kepada Mahkamah Agung untuk menguji putusan
pengadilan dibawahnya mengenai sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum
yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah
ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan dibawahnya.109
Dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf a, Mahkamah Agung bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Putusan kasasi dapat
berupa permohonan kasasi tidak dapat diterima, ditolak ataupun dikabulkan.
Upaya hukum Peninjauan Kembali ialah upaya hukum luar biasa yang
dilakukan atas putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah inkracht. Menurut
Sudikno, Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat
107
Chandrika Radita Putri, Op.Cit, Halaman. 472. 108
Ibid. 109
Ibid.
93
akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (verstek), dan yang
tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.110
Upaya hukum luar biasa yang terakhir ialah perlawanan pihak ketiga
(Derdenverzet). Pasal 1917 BW menyatakan bahwa suatu putusan hanya mengikat
para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun jika pihak
ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan maka pihak yang dirugikan
tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan terkait (ketentuan pada
Pasal 378 Rv). Perlawanan diajukan kepada Hakim yang menjatuhkan putusan
yang dilawan tersebut dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan
cara biasa (Pasal 379 Rv). Jika perlawanan dikabulkan, maka putusan yang
dilawan tersebut diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga (Pasal 382 Rv).111
110
Ibid, Halaman 473. 111
Ibid.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ketentuan dalam pelaksanaan perjanjian pada pinjam meminjam uang
berbasis online ini tidak terlepas dari syarat sah yang ada pada Pasal 1320
KUH Perdata, yang didalamnya harus ada kesepakatan para pihak yaitu
antara debitur dan kreditur , kemudian kecakapan para pihak dimana ini
dibuktikan dengan identitas para pihak yang dicantumkan sebelum
pelaksanaan perjanjian, kemudian pula suatu hal ternetu dalam hal ini
dimaksud pinjam meminjam uang tersebut serta suatu sebab yang halal,
yang berarti perbuatan pinjam meminjam uang berbasis online ini
didasarkan pada itikad baik para pihak. Kemudian pada pelaksanaannya,
pinjam meminjam uang berbasis online menjadikan perjanjian yang telah
disepakati oleh para pihak sebagai dasar hukum bagi mereka sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 1338 KUH Perdata serta tidak terlepas dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 77/POJK.01/2016 yang juga
menjadi salah satu dasar acuan dalam pelaksanaan kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis online ini dikarenakan hingga saat ini belum ada
peraturan khusus yang diterbitkan oleh pemerintah untuk menjadi
regulasinya.
2. Perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online diatur dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor
95
11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik, Perarturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang
Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran, Peraturan
Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran Pelaku Usaha yang ingin menjadi
Penyedia Jasa Sistem Pembayaran dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor: 77/POJK.01/2016. Terdapat dua macam perlindungan
hukum pada pinjam meminjam uang berbasis online yaitu perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum
secara preventif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya sengketa yang artinya perlindungan hukum ini
dilakukan sebelum terjadinya sengketa sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
perlindungan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada Pasal 29
POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Online, antara lain yaitu prinsip transparansi, perlakuan yang
adil, keandalan, keberhasilan dan kemanan data, dan penyelesaian
sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.
Sedangkan perlindungan hukum secara represif adalah perlindungan
hukum yang tujuannya untuk menyelesaikan sengketa yang telah terjadi.
Perlindungan hukum ini baru bisa dilakukan setelah timbulnya sengketa
96
terlebih dahulu. Dalam upaya perlindungan hukum didalam pinjam
meminjam uang berbasis online Otoritas Jasa Keuangan memiliki peranan
penting didalamnya yang meliputi pengawasan terhadap kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis online yang juga memastikan kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis online ini terlaksana sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi permasalahan yang berkaitan
tentang hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan pinjam meinjam
uang berbasis online.
3. Penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa atau wanprestasi pada
pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang berbasis online, sebaiknya
dilakukan sesederhana mungkin sebagiamana yang disebutkan didalam
Pasal 29 huruf e POJK nomor 77/POJK.01/2016 yang menjelaskan bahwa
penyelesaian sengketa antara para pihak harus dilakukan secara sederhana,
cepat dan juga dengan biaya yang terjangkau. Para pihak dapat menempuh
dua cara untuk menyelesaikan sengketa mereka, yaitu melalui litigasi dan
non litigasi. Secara teoritis apabila para pihak memilih untuk
menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan atau litigasi maka
diajukan gugatan perdata ke pengadilan yang bersangkutan, namun apabila
para pihak memilih untuk menyelesaikan segketa melalui non litigasi
maka para pihak dapat menyelesaikan melalui mediasi, negosiasi, ataupun
arbitrase yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, akan tetapi tidak
ditemukan sumber tertulis mengenai penyelesaian sengketa pada pinjam
97
meminjam uang berbasis online yang dilaksanakan diluar pengadilan hal
ini dapat diasumsikan terjadi karena penyelesaian sengketa yang dilakukan
diluar pengadilan pada umumnya tidak di publikasikan dan hanya para
pihak yang mengetahui hal tersebut.
B. Saran
1. Diperlukan undang-undang khusus yang mengatur tentang kegiatan
pinjam meminjam uang berbasis online sesegera mungkin agar terdapat
regulasi yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan pinjam meminjam uang
berbasis online sehingga tidak lagi hanya bertitik fokus pada peraturan
Otoritas Jasa Keuangan maka dari itu diharapkan kepada pemerintah untuk
serius memperhatikan kegiatan pinjam meminjam berbasis online ini
dikarenakan perkembangan teknologi yang mempengaruhi masyarakat
sudah memasuki tindakan atau pola perilaku masyarakat dalam sektor
bidang ekonomi atau bisnis, salah satunya yaitu kegiatan pinjam
meminjam berbasis online ini dengan kemudahan yang ada didalamnya
dibandingkan pinjaman di bank sehingga dapat mencuri perhatian
masyarakat dan yang ditakutkan adalah munculnya penyelenggara-
penyelenggara pemberi pinjaman online yang illegal sehingga dapat
merugikan masyarakat, maka dari itu diperlukan peranan pemerintah
untuk hal tersebut.
2. Disarankan kepada debitur yang ingin melakukan kegiatan pinjam
meminjam uang berbasis online untuk memperhatikan penyedia layanan
pinjam meminjam uang berbasis online dengan teliti dan utamakan
98
penyedia layanan tersebut legal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
serta diharapkan kepada debitur untuk memahami terlebih dahulu klausula
baku yang diberikan sebelum di sepakati. Kemudian para pihak
diharapkan untuk menjunjung perjanjian yang telah mereka sepakati dan
saling melaksanakan kewajiban masing-masing dan tidak melanggar hak
dari masing-masing pihak agar tidak terjadi sengketa diantara para pihak.
3. Apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan pinjam
meminjam uang berbasis online, maka penyelesaian menggunakan jalur
non litigasi lebih disarankan kepada para pihak dengan sebab alasan jalur
non litigasi akan lebih singkat penyelesaiannya dan para pihak akan
mendapatkan win win solution. Apabila para pihak memilih untuk
menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi atau gugatan perdata maka
para pihak harus siap unrk mendapatkan hasil yang mutlak dari keputusan
majelis hakim, sedangkan apabila para pihak memilih untuk
menyelesaikan sengketa melalui non litigasi maka para pihak itu sendiri
yang menyepakati bagaimana sengketa tersebut diselesaikan.
99
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asser, C. 1991. Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata Belanda, Jakarta:
Dian Rakyat.
Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Hadi, Abu Sura’I Abdul. 1993. Bunga Bank Dalam Islam , Surabaya: Al-Ikhlas.
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.
Hermansyah. 2011. Hukum Pebankan Nasional Indonesia, Cetakan VI, Jakarta:
Kencana.
Komar Kantaatmadja, Mieke. 2001. Cyberlaw: Suatu Pengantar, Cetakan I,
Bandung: ELIPS.
Mertokusumo,Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Sebagai Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
------------------------. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Yogyakarta:
Sinar Grafika.
Miru, Ahmadi. Sakka Pati. 2018. Hukum Perikatan, Makasar: Rajawai Pers.
---------------------------. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Perikatan yang Lahir dari Undang-
Undang, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Prodjodikoro ,Wirjono. 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,
Cetakan VIII, Bandung: Sumur.
Remy Sjahdeni, Sutan. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia ,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
100
Rusli ,Hardijan. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan
2, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Setiawan, I Ketut Oka. 2018. Hukum Perikatan , Cetakan III, Jakarta: Sinar
Grafika.
Subekti, R. 1979. Hukum Perjanjian , Cetakan 8, Jakarta: PT Intermasa.
------------. 1982. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia , Bandung: Alumni.
------------. 1995. Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2013. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
Rajawai Pers.
Soeroso. 2010. Perjanjian dibawah Tangan : Peristilahan yang Berhubungan
dengan Perjanjian, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika.
Sofwan, Sri Soedewi Masjhoen. 1980. Hukum Perutangan, Yogyakarta: Lyberty.
Supramono, Gatot. 2013. Perjanjian Pinjam Meminjam, Cetakan Pertama,
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Widjaya, I. G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak , Bekasi: Megapoin.
Jurnal
Ani Eko Wahyuni,Bambang Eko Turisno, Raden. 2019. Praktik Finansial
Teknologi Ilegal Dalam Bentuk Pinjaman Online Ditinjau Dari Etika
Bisnis, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 1, Nomor 3.
Basrowi. 2019. Analisis Aspek dam Upaya Perlindungan Konsumen Fintech
Syariah, Jurnal Lex Librum : Ilmu Hukum, Volume 5.
101
Falahiyati, Nurhimmi. 2020. Tinjauan Hukum Kontrak Elektronik Dalam Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Transaksi Peer To Peer
Lending), Justiqa, Volume 02, Nomor 1.
Hartanto, Ratna dan Juliyani Purnama Ramli. 2018. Hubungan Hukum Para
Pihak dalam Peer to Peer Lending, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,
Volume 25, Nomor 2.
Hariysni, Iswi. 2017. Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis
Jasa PM Tekfin, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 03.
Istiqamah. 2019. Analisis Pinjaman Online Oleh Fintech Dalam Kajian Hukum
Perdata, Jurisprudentie, Volume 6, Nomor 2.
Prayogo, Sedyo. 2016. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume
III, Nomor 2.
Radita Putri, Chandrika. 2018. Tanggung Gugat Penyelenggara Peer To Peer
Lending Jika Penerima Pinjaman Melakukan Wanprestasi, Jurisdiction,
Volume 1, Nomor 2.
Sari, Alfhica Rezita. 2018. Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam
Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending Di
Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sukarmi. 2005. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Konsumen yang
Disebabkan oleh Perjanjian Baku (Standart Contract) Dalam Transaksi
Elektronik, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Suprayitno, Edi dan Nur Ismawati. 2008. Sistem Informasi Fintech Pinjaman
Online Berbasis Web, Jurnal Sistem Informasi Teknologi Informasi dan
Komputer, Volume 9, Nomor 2.
Theresia Tri Utami. 2020. Rechtvakum Dalam Penyelesaian Pinjaman Gagal
Bayar pada Pinjaman Online di Indonesia, Jurnal Rechtvinding.
102
Zein, Subhan. 2019. Tinjauan Yuridis Pengawasan OJK Terhadap Aplikasi
Pinjaman Dana Berbasis Elektronik di Indonesia, Jurnal Bisnis dan
Akuntansi Unsurya, Volume 4, Nomor 2.
Peraturan Perundang-Undangan
HIR (Heirzen Inlandsch Reglement)
RBG (Rechtreglement voor de Buitengwesten)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Pinjam
Meminjam Secara Online.
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia No. 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro
Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.
103
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Batam, Putusan Nomor 261/Pdt.G/2019/PN.Btm.
Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Penetapan Nomor
53/Pdt.G/2020/PN.Jkt Pst.
Website
Femina, “Diteror Debt Collector Karena Utang Pada Aplikasi Pinjaman Online”,
https://www.femina.co.id/True-Story/diteror-debt-collector-karena-utang-
pada-aplikasi-pinjaman-online,
Hukumonline,“Bahasa hukum: Klausula Baku klausula yang mengganggu”.
----------------. “16 Hal yang Wajib Dipenuhi Pemain Peer to Peer Lending dalam
Fintech”.
------------------. “Penagihan Pinjaman Online Meresahkan? Perhatikan Tips Ini
Agar Tak Salah Langkah”.
----------------. “Dasar Hukum Adanya Debt Collector”.
Yuniarti, Siti “Perjanjian Baku Dalam Fintech”
https://businesslaw.binus.ac.id/2018/12/31/perjanjian-baku-dalam-fintech/.