tinjauan yuridis terhadap keputusan perkara … fileorang yang muda nantinya akan menggantikan yang...
TRANSCRIPT
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 66 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPUTUSAN PERKARA NOMOR :
06/2009/PDT/PA.SKH DAN NOMOR : 019/28/PDT.G.PA.SKH TENTANG
KEDUDUKAN ANAK TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN
Oleh:
Reni Sulistyawati
Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi
ABSTRACT
Marriage is the beginning of human life. And marriage is a very complex
thing. Because marriage is not just an agreement among men but to God‟s
covenant.
Doing marriage is one of the Sunnah Rasul. In the hadith that the Prophet
said: “0 young man who is capable of you and wish would marry (marriage),
because the real wedding that will keep the eyes of people who are riot kosher
dilihatnyadan will protect them from temptation lust.”
So it was clear to Muslims „No believe he should get married. Because it can
avoid the actions that are not kosher. Marriage is a matter that will be undertaken
by all human beings and citizens Indonesian country. Because marriage is a
starting point of the commencement of an ancestry. An institution of marriage that
eventually will form a family Marriage between a man and a woman who already
baligh based on the love to nurture in a family without any coercion.
The legal consequences of marriage will happen one of them is against a
chld born of the marriage. Children who are boin from the grounds of marriage
between two parents is a child legally valid. The status of a child born as a child
would affect the rights of parents.
As a legitimate child, a person is entitted mewaris of property from his
parents. The laws governing public life vas one of thero set about the marriage,
namely the Law of Marriage. In Indonesia there are few rules governing marriage.
For people who are Christian marriage valid F1uweljke Ordinance, for
Indonesians of European descent, Indonesians of Chinese descent Civil Code
applies, for indigenous communities and citizens Eastern descent Foreign
Customary Law applies. And for Muslim citzens apply Law No. 1 of 1974 which
came into force October 1, 1975 through 1975 PP No 9 About the Implementation
of Law No. I of 1974 on Marriage
Key Words: Position of Child, Marriage Due to Cancellation
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia
hidup dalam sebuah lingkungan,
yaitu lingkungan masyarakat.
Dimana dalam masyarakat itu
kehidupan manusia mencakup
beberapa aspek juga kepentingan
antar individu yang berbeda satu
sama lain. Oleh karena itu untuk
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 67 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
mengatur jalannya kehidupan
bermasyarakat dengan jamaknya
kepentingan yang ada maka
berlakulah sebuah hukum yang akan
mengatur kehidupan kelompok
manusia itu.
Dalam kelompok masyarakat
itu terdiri dan beberapa keluarga
yang menghimpun menjadi suatu
kelompok masyarakat. Dimana
keluarga itu beranggotakan individu-
individu yang terdiri dan bapak, ibu
dan anak. Dalam siklus kehidupan,
orang yang muda nantinya akan
menggantikan yang tua. Anak akan
tumbuh menjadi manusia dewasa
yang nantinya akan menjalani siklus
kehidupan sepeti telah diperintahkan
oleh Allah kepada manusia. Salah
satu bagian dan siklus kehidupan
manusia yang harus dijalani oleh
manusia adalah membentuk sebuah
keluarga dalam bingkai perkawinan
yang sah dengan tujuan beribadah
dan memperoleh keturunan.
Dan sebuah dasar perkawinan
terlahirlah sebuah hubungan hukum
antara seorang suami dengan seorang
isteri dalam sebuah keluarga yang
menjadi asal lahirnya anak. Seperti
Allah berfirman dalam QS. An-
Nisa:1 yang artinya adalah “Hai
sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri,
dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak dan
bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan Mengawasi
kamu”1
Dengan adanya anak maka
lengkaplah sebuah keluarga itu
menjadi keluarga yang utuh. Dengan
lahirnya hubungan hukum itu, maka
juga akan lahir kewajiban satu sarna
lain antar anggota keluarga.
Maka dari itu dikatakan bahwa
perkawinan merupakan awal dan
kehidupan manusia. Dan perkawinan
adalah suatu hal yang sangat
kompleks. Karena perkawinan bukan
hanya saja perjanjian antar manusia
tetapi perjanjian kepada Allah.
Melakukan perkawinan
merupakan salah satu dan sunnah
Rasul. Dalam hadist Rasul dikatakan
bahwa “Hai pemuda barang siapa
yang mampu diantara kamu serta
berkeinginan hendak kawin (nikah),
karena sesungguhnya kawin itu akan
menjauhkan mata dan orang yang
tidak halal dilihatnya dan akan
memeliharanya dari godaan
Syahwat.”
Maka jelaslah bagi orang
muslim yang beriman hendaklah dia
menikah karena dapat merghindarkan
dari perbuatan yang tidak halal.
Perkawinan merupakan hal
yang akan dijalani oleh semna orang
manusia dan warga negrara
Indonesia. Karena perkawinan
merupakan titik awal dari dimulainya
sebuah kelurga. Sebuah lembaga
1 Departemen Agama Republik
Indonesia.1992. Al Quran dan
Terjemahannya. Bandung: Gerna Risalah
Press Bandung. Hal: 114.
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 68 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
perkawinan itulah yang nantinya
akan membentuk sebuah keluarga.
Perkawinan terjadi antara
seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang sudah baligh
berdasarkan rasa cinta kasih untuk
membina dalam sebuah keluarga
tanpa adanya suatu paksaan.
Akibat hukum yang akan terjadi
dan perkawinan salah satunya adalah
terhadap anak yang lahir dan
perkawinan tersebut. Anak-anak
yang lahir dari dasar perkawinan
antara kedua orang tuanya adalah
anak sah menurut hukum. Status dan
seorang anak yang dilahirkan akan
mempengaruhi haknya sebagai anak
dan orang tuanya.
Sebagai anak sah, seseorartg
berhak rnewaris dan harta orang
tuanya. Hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat itu salah
satunya mengatur mengenai
perkawinan, yaitu dalam Hukum
Perkawinan.
Selain itu perkawinan di
Indonesia bagi umat agama Islam
juga berlaku Kompilasi Hukuni Islam
melalui Instruksi Presiden Nomor I
Tahun 1990. berlakunya KHI
diharapkan dapat meningkat peranan
Hakim Peradilan Agama untuk
berijtihad. karena masalah
perkawinan adalah masalah yang
sangat kompleks, yang melibatkan
beberapa pihak dan beberapa bidang.
Baik itu bidang hukum keluarga
ataupun bidang hara perkawinan.
Untak umat Islam di Indonesia
diberlakukan Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Selain dua masalah tersebut
perkawinan menyangkut status
hukum seseorang.
Sebagai seorang suami, sebagai
seorang isteri, orang tua, ataupun
status hukum sebagai anak sah.
Perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 pada asasnya
menganut asas monogami, tetapi
tidak menutup kemungkinan dilaku-
kannya perkawinan poligami karena
hal itu juga diatur dalam undang-
undang tersebut. Apabila perkawinan
dilakukan dengan tidak memenuhi
atau melanggar undang-undang maka
perkawinan dapat dibatalkan. Artinya
perkawinan diputus batal ikatan
antara seorang suami dengan
isterinya.
Hubungan keduanya sebagai
suami isteri tidak lagi menaji
hubungan yang sah dan halal
menurut agama maupun menurut
hukum positif Masalah menjadi
sangat rumit di sini. Menjadi rumit
akan harta perkawinan yang
diperoleh selama perkawnan juga
akari status anak menurut hukum.
Karena pembatalan perkawinan
berbeda masalah dengan perceraian.
Pada perceraian perkawinan yang
pernah terjadi adalah perkawinan
yang sah. Sedangkan dalam
pembatalan perkawinan tidak ada
perkawinan yang sah menurut
hukum. Status hukum anak jika
perkawinan orang tuanya batal
menjadi masalah yang perlu dikaji
secara mendalam. Baik itu
berdasarkan hukum atau undang-
undang juga melalui ijtihad yang
dilakukan hakim untuk dapat
memutuskan mengenai hal ini.
Pembatalan perkawinan
tentunya membawa akibat hukum
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 69 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
yang tidak jauh dan perceraian. Hal
tersebut turut mempengaruh status
anak yang dilahirkan, apakah anak
tersebut dianggap sebagai anak sah
dari sebuah perkawinan yang tidak
sah. Bertitik tolak dan masalah
tersehut bahwa penelili masih
melihat adanya permasalahan tentang
kedudukan anak akibat pembatalan
perkawinan orang tuanya.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah, dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah Pertimbangan Hakim
dalam membatalkan perkawinan
atas permohonan pihak yang
berhak?
2. Bagaimana status anak atas
perkawinan yang dibatalkan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apakah
pertimbangan Hakim dalam
membatalkan perkawinan atas
permohonan pihak yang berhak.
2. Untuk mengetahui Bagaimana
status anak atas perkawinan yang
dibatalkan.
3. Untuk menambah pengetahuan
dan memperluas wawasan penulis
di bidang Hukum Perkawinan
Islam.
4. Untuk mengetahui bagaimana
penerapan teori dalam prakteknya.
D. Metodologi
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian normatif. Yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.
Penelitian ini digunakan untuk
memahami adanya hubungan antara
ilmu-ilmu hukum dengan hukum
positif yang memerlukan suatu telaah
terhadap unsur-unsur hukum.
Dalam penelitian ini akan
didiskripsikan secara lengkap
obyektif dan menyeluruh mengenai
pelaksanaan pembatalan perkawinan
dan akibatnya.
PEMBAHASAN
A. Sahnya Perkawinan Menurut
Undang-Undang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan
dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah
“Perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Perkawinan menurut
Islam bukanlah merupakan
perjanjian semata, yakni per-
janjian mengenai harta bersama,
teap perkawinan dalam Islam
lebih merupakan sesuatu yang
lebih sakral. Hal ini tersirat
dalam pengertian perkawinan
yang merupakan ikatan lahir
bathin antara seseorang pria
dengan seorang wanita. Berbeda
dengan pengertian perkawinan
dalam Hukum Perdata. Dalam
KUH Perdata di situ dinyatakan
bahwa undang-undang Perdata
memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-
hubungan perdata saja. Tetapi
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 70 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
menurut Islam, dalam
perkawinan terdapat suatu
perjanjian yang kokoh dan suci,
sebagaimana Firman Allah
dalam QS An Nisa 21, yang
artinya adalah “Bagaimana
kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu
Telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-
isteri, dan mereka (isteri-
isterimu) Telah mengambil dari
kamu pejanjian yang kuat”.
Perkawinan yang
dilakukan dalam Islam tidak
hanya meliputi bagian materi
saja, tapi lebih kepada materi
atan spiritual untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal
sesuai Ketuhanan Yang Maha
Esa. perkawinan itu merupakan
suatu perjanjian yang
membutuhkan komitmen yang
sungguh-sungguh dalam
mengarungi kehidupan keluarga
dengan pasangannya dan harus
dilakukan dengan penuh
tanggung jawab. Perkawinan
merupakan fithrah bagi manusia.
Karena nikah merupakan naluri
kemanusiaan, oleh karena itu
islam menganjurkan nikah.
Melaksanakan
perkawinan adalah wajib dalain
Islam. Karena Allah telah
memberikan perintahnya untuk
melaksanakan perkawinan dan
telah menjanjikan suatu perto-
longan bagi mereka yang
melaksanakan perkawinan.
Dalam QS An Nun : 32 yang
artinya “Dan kawinkanlah orarg-
orang yang sendirian diantara
kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dan hamba-
hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-haniba sahayamu
yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memam-
pukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
2. Perkawinan Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam
adalah fiqih Indonesia karena ia
disusun dengan memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat
Islam Indonesia. Walaupun
merupakan fiqih, tetapi
Kompilasi Hukum Islam
termasuk salah satu hukum
tertulis, karena Kompilasi
Hukum Islam berasal dan
beherapa undang-undang, yakni
UU Nomor 22 Tahun 1946jo
UU Nomor 32 Tahun 1954, UU
No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9
Tahun 1975 dan PP No. 28
Tahun 1977.
Konsep menurut
Kompilasi Hukum Islam dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 mengelai perkawinan
masih dalam konsep yang sama.
Tetapi dalma Kompilasi Hukmn
Islam memberikan pengertian
tentang perkawinan dalam Pasal
2 Kompilasi Hukum Islam
adalah sebagai benikut.
“Perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk mentaati
perintah Allah dan
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 71 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
melaksanakannya merupakan
ibadah.”
Menurut Kompilasi
Hukum Islam sebuah per-
kawinan itu sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan nasal 2 Undang-
undang Nomor I Tahun 1974
tentang perkawinan. Dalam
Kompilasi Hukun Islam ini
merujuk pada undang-undang
perkawinan.
3. Perkawinan Menurut Kitab
Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata)
Perkawinan dalam
KUHPeradata diatur dalam Fitel
IV Buku I yang tercantum dan
pasal 26. tetapi peraturan ini
sebagian bestir sudah tidak
berlaku lagi. Karena telah
digantikan dengan Undang-
undang Nomor I Tahun 1974
Tentang Perkawinan dengan
peraturan pelaksanaannya
Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. hal ini diatur dalam
Pasal 66 Undang-undang Nomor
I Tahun 1 974 tcntang
Perkawinan yang bcrbunyi
sebagal berikut “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas
undang-undang ini, maka dengar
dengan berlakunya Undang-
undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wethoek), Odonansi
Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonantie Christen
Indosiers S. „1993 No.74),
Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op de
Gemengde Huwelijken S. 1898
No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalarn Undang-undang
mi, dinyatakan tidak berlaku.”
Selengkapnya peraturan
mengenai perkawinan dalam
KUHPerdata diatur dalam Pasal
26 sampai dengan Pasal 102.
Dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 41 KUHPerdata, yang
terbagi dalam syarat-syarat:
Syarat materiil mutlak
Syarat ini adalah syarat yang
harus dipenuhi, apabila tidak
dipenuhi maka perkawinan tidak
dapat dilangsungkan. Syarat-
syarat tersebut antara lain
adalah:
a. kedua belah pihak masing-
masing harus tidak terikat
dengan suatu perkawinan
lain (Pasal 27 KUHPerdata)
b. kesepakatan yang bebas
dari kedua belah pihak
(Pasal 28 KUHPerdata)
c. masing-masing pihak harus
meneapai umur minimum
yang ditentukan oleh
undang-undang
d. seorang wanita tidak
diperbolehkan kawin lagi
sebelum lewat dan 300 dari
terhitung sejak bubarnya
perkawinan yang terakhir
e. harus ada ijin dari pihak
ketiga
B. Pembatalan Perkawinan
Dalam Proses Gugatan di
Pengadilan Agama
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 72 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
1. Gugatan Perdata
Hal yang penting dalam
proses pcnyelesaian perkara
perdata melalui jalur pengadilan
adalah mengenai pengajuan
gugatan. Pengajuan gugatan
hams memperhatikan hal-hal
yang telah diatur dalam Pasal
III-HR yang berbunyi:
I. Gugatan perdata, yang pada
tingkat pertama masuk
kekuasaan pengadilan
Negeri, hams dimasukkan
dengan surat permintaan
yang ditandatangani oleh
penggugat atau oleh
wakilnya menurut Pasal 123,
kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa
tergugat bertempat diam atau
jika tidak diketahui tempat
diamnya, tempat tinggai
sebetulnya.
II. Jika tergugat lelih dan
seorang, sedang mereka tidak
tinggal di dalam itu
dimajukan kepada ketia
pengadilan negeri di terdapat
tinggai salah seorang dan
tergugat itu, yang dipilih oleh
penggugat. Jika tergugat-
tergugat satu sama lain dalam
perhuhungan sebagai
perutang utama dari
penanggung, niaka
penggugat itu dimasukkan
kepada ketua pengadilan
negeri di tempat orang yang
berutang utama dan salah
seorang dan pada orang
benitang utama itu, kecuali
dalam hal yang ditentukan
pada ayat 2 dan Pasal 6 dan
reglemen tentang aturan
hakim dan mahkamah serta
kebijaksanaan kehakiman.
III. Bilamana tempat diam dan
tergugat tidak dikenal, lagi
pula tempat tinggal
sebetulnya tidak diketahui,
atau jika tergugat ttidak
dikenal, maka surat gugatan
itu dimasukkan kepada ketua
pengadilan negeri di tempat
tinggal penggugat atau salah
seorang dan pada penggugat,
atau jika surat gugat itu
tentang barang gelap, rnaka
surat gugat itu dimasukkan
kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa
terletak barang itu.
IV. Bila dengan surat syah
dipilih dan ditentukan suätu
tempat berkedudukan, maka
penggugat, jika Ia suka,
dapat rnemasukkan surat
gugat itu kepada perigadilan
negri dalam daerah hukun
siapa terletak tempat
kedudukan dipilih itu.
V. Peraturan tersebut dirnak-
sudkan agar pihak yang akan
mengajukan gugatan harus
memperhatikan dengan
cermat tempat pengajuan
suatu gugatan. Hal tersebut
berkaitan erat dengan
kewenangan relatif yang
dimiliki oleh pengadilan
negeri agar gugatan yang
diajukan tidak ditolak.
2. Perkawinan yang dapat
dibatalkan
Perkawinan yang dapat
dibatalkan adalah perkawinan
yang tidak sah menurut undang-
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 73 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
undang. Sebab-sebabnya suatu
perkwinan dapat dibatalkan
sudah diatur dalam Pasal 71
Kompilasi Hukum Islam, antaia
lain karena:
a. Poligami tanpa ijin, untuk
memperoleh ijin untuk
melakukan poligami, maka
seorang suami harus
mengajukan permohonan
secara tertulis kepada
Pengadilan. Ketentuan
mengenai poligami diatur
dalam Pasal 40, 41
Kompilasi Hukum Islam.
Ijin poligami diberikan
melalui putusan pengadilan,
yang sebelumnya pengadilan
telah memeriksa mengenai:
1) Ada atau tidaknya alasan
yang memungkinkan
seorang suami kawin lagi,
ialah:
a) bahwa isteri ticlak dapat
menjalankan
kewajibannya sebagai
isteri
b) bahwa isteri mendapat
cacat badan atau
penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c) Bahwa isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
2) Ada atau tidaknya
persetujuan dan isteri,
baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan,
persetujuan itu harus
diucapkan di depan
sidang pengadilan.
3) Ada atau tidaknya adanya
kemampuan suami untuk
menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan
anak-anak, dengan
memperlihatkan:
a) surat mengenal
penghasilan suami yang
ditandatangani
bendahara tempatnya
bekerja, atau
b) surat keterangan pajak
penghasilan
c) surat keterangan lain
yang dapat diterima oleh
pengadilan
4) Ada atau tidak adanya
jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak
mereka dengan
pernyataan atau janji dan
suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan
untuk itu.
a. isteri ternyata masih
terikat perkawinan
dengan pria lain ataupun
masih dalam masa iddah
dan suam lain.
b. perkawinan melanggar
batas umur perkawinan,
c. perkawinan tanpa wali
atau dengan wali yang
tidak berhak.
d. perkawinan yang di-
laksaanakan dengan
paksaan.
C. Akibat Pembatakn Perkawinan
dan Pengaruhuya Terhadap
Status Anak Yang Dilahirkan
1. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 74 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Menurut Pasal 38
Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 bahwa tata cara
pengajuan permohonan
pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan
pengajuan gugatan penceraian.
Adapun tata cara perceraian
telah diatur dalam Pasal 14
sampai dengan Pasal 36
Peraturan Pemerintah ini Tata
cara tersebut antara lain adalah:
a. Mengajukan surat per-
mohonan kepada Ketua
pengadilan Agama pasal 14
Peraturan pemerintah nomor
9 tahun 1975 Seorang suami
yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama
islam yang akan menceraikan
istrinya, mengajukan surat
kepada pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan
istrinya diserai dengan
alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan
agar diadakan untuk
keperluan itu.
Sesuai dengan bunyi
tersebut pemohon harus
datang ke pengadilan agama
daerah tempat tinggalnya dan
mengajukan surat
permohonan yang berisi
pemberitahuan bahwa ia
bermaksud membatalkan
perkawinannya yang disertai
dengan alasan-alasannya
serta meminta kepada
Pengadilan agar didakan
sidang untuk keperluan itu.
b. Pemanggilan para pihak oleh
pengadilan
1) Pemanggilan permulaan
2) Pemanggilan persi-
dangan
c. Pengajuan permohonan
pembatalan perkawinan
d. Pengadilan agama yang
berwenang mengadili (pasal
20 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975)
e. Batas waktu diajukannya
permohonan (Pasal 21
Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975)
f. Diterimanya permohonan
(Pasal 22 ayat (2) Peraturan
pemerintah Nomor 9 tahun
1975)
g. Permohonan yang diajukan
selama proses permohonan di
Pengadilan (Pasal 24
Peraturan pemerintah Nomor
9 tahun 1975)
h. Gugurnya permohonan (pasal
25 Peraturan pemerintah no.
9 tahun 1975)
i. Pemeriksaan permohonan
(pasal 29, 30, 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975)
j. Putusan pembatalan per-
kawinan (Pasal 34 Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun
1975)
D. Status anak akibat Pembatalan
Perkawinan
Seseorang memilih
pasangan hidupnya untuk dapat
mencapai tujuan tersebut dalam
perkawinnnya. Tetapi apa
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 75 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
jadinya jika suatu perkawinan
didasarkan atas ketidakjujuran.
Pastilah tujuan tersebut tidak
akan dapat tercapai. Seperti
halnya pada contoh kasus yang
telah penulis kemukakan di atas.
Dalam perkara nomor
06/2009/Pdt.G/PA.Skh dan
perkara nomor 01
9/2008/Pdt.GIPA.Skh per-
kawinan sudah memenuhi syarat
dan rukun perkawinan. Sehingga
perkawinan dapat terlaksana
sebagai perkawinan yang sah.
Tetapi diketahui kemudian
hahwa salah satu pihak, yaitu
pihak isteri tidak mengutarakan
mengenai kebenaran keadaannya
yang sudah mengandung anak
hasil hubungan dengan orang lain
sebelum perkawinan tersebut
dilaksanakan.
Maka kemudian terjadi
salah sangka antara kedua belah
pihak dalam perkawinan. Seperti
tertuang dalam Pasal 72 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam salah
satu alasan dapat terjadinya
penibatalan perkawinan adalah
adanya salah sangka antara para
pihak dalam perkawinan pada
saat perkawinan dilaksanakan.
Hal tersebut diperkuat dalam
Pasal 27 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, bahwa suami atau
isteri dapat mengajukan permo-
honan pembatalan prkawinan
apabila terdapat salah sangka
pada diri suami atau isteri pada
saat dilangsungkannya perkara
ini.
Berdasarkan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dapat
didefinisikan pengertian anak
adalah seseorang yang belum
berusia delapan belas (18) tahun,
termasuk anak yang sedang
dalam kandungan. Sedangkan
dalani Undang-undang
sebelurnnya, yakni Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1919
tentang kesejahteran Anak, anak
didefinisikan sebagai seorang
yang belum berusia 21 tahun dan
belum pernah kawin.
Sebagai manusia yang baru,
anak memerlukan bimbingan dan
orang tuanya dalam menjalankan
kehidupan di dunia dengan
pedoman yang telah diberikan
oleh Allah Tuhan Yang Maha
Esa. Bimbingan dan orang tua itu
dibutuhkan oleh anak sampai
anak itu mercapai usia dewasa
dimana seorang anak dapat
menentukan dan memilih jalan
hidupnya. Seorang anak juga
merupakan tunas suatu bangsa,
dimana anak tersebut kelak akan
menjadi dewasa dan melanjutkan
kehidupan sejarah bangsa ini
Selain dan hal-hal tersebut
di atas, juga diketahui adanya
pengertian anak sah dan anak
tidak sah. Di dalam Kompilasi
hukum Islam memuat mengenai
ketentuan anak sah. Yaitu
sebagaimana tercantum dalam
Pasal 99 Kompilasi Hukum
Islam, yang berbunyi “Bahwa
anak yang sah adalah:
a. anak yang lahir dan
perkawinan yang sah
b. hasil pembuahan dan suami
isteri yang diluar rahim dan
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 76 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
dilahirkan oleh isteri ter-
sebut.
Sedangkan penjabaran
mengenai definisi pengertian
anak tidak sah tercantum pada
pasal selanjutnya yaitu Pasal 100
Kompilasi hukum Islam
mengenai anak yang lahir dan
perkawinan tidak sah. Dimana
Pasal itu berbunyi,” Anak yang
lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai huhungan masal
dengan ibunya dan keluarga
ibunya” Karena huhungan ayah
kandung anak tersehut dengan
ibunya tidak dalam hubungan
perkawinan yang sah, maka anak
tersebut tidak memiliki hubungan
hukum dengan ayah kandungnya.
Hal ini tentunya memiliki
beberapa konsekuensi
hukumnya.
Apabila seorang anak tidak
memiliki hubungan hukum
dengan ayahnya secara sah, maka
anak tersebut tidak rnempunyai
hak untuk mewaris dan ayah
tersebut. Hak mewarisi
merupakan salah satu hak yang
dimiliki oleh seorang anak, selain
dari itu anak juga berhak atas
pemelihataan dan penaikahan
yang diberikan oleh orang
tuanya.
Mengenai hak anak, hak
yang dimiliki anak yang tertuang
dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yang
berbunyi. “Setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tunibuh clan
berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar esuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dan
kekerasan dan diskriminasi.”
Dalam kehidupan sering kali
anak tidak mendapatkan hak.-hak
itu secara penuh, dikarenakan
masalah yang dialami oleh kedua
orang tuanya, yaitu karena
putusnya perkawinan orang
tuanya, baik karena perceraian
maupun karena batalnya
perkawinan antara kedua orang
tuanya. Dalam perccraian sering
kali dimohonkan mengenai hak
asuh anak setelah putusan cerai
itu diputuskan oleh Hakim.
Sehingga kehidupan anak akan
terjamin karena terdapat
pembagian kewajiban yang jelas
yang telah diputuskan oleh
Hakim untuk mengasuh dan
meme1ihia anak tersebut.
Mengenai kedudukan hukum,
anak dalam perceraian adalah
menjadi anak sali dan orang
tuanya walaupun perkawinan
orang tuanya telah berakhir
karena putusan cerai karena anak
itu lahir dan perkawinan yang
sah.
Dalam kedua perkara ini
anak secara tidak langsung
mendapatkan pengingkaran dan
Pemohon. Bahwa anak yang
dikandung oleh Termohon adalah
bukan anak dan Pemohon seperti
didalilkan oleh Pemohon.
Walaupun putusan tidak berlaku
surut terhadap arak yang
dilahirkan, akan tetapi berbeda
dalam kasus ini karena secara
tidak langsung anak dingkari
oleh Pemohonan.
Tetapi menurut penulis,
pembuktian pengingkaran
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 77 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
terhadap anak tidak cukup hanya
dengan keterangan para saksi,
tetapi hams dibuktikan dengan
bukti medis atau ilmu kedokteran
yang dapat membuktikan bahwa
anak tersebut bukan anak dari
Pemohon. Putusan pengadilan
hanya memutus rnengenai
batalnya perkawinan saja, tidak
memperhatikan perihal anak.
Maka dalam kedua perkara ini
penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa status dan
anak yang dikandung oleh
Termohon dalam perkara-perkara
manapun anak yang dikandung
oleh Termohon dalam perkara
yang kedua menadi anak dan ibu.
Sehingga tidak mempunyai
hubungan nasab dengan
Pemohon. Pada intinya anak
yang Jahir dan suatu perkawinan
yang sudah dibatalkan melalui
putusan hakim, anak tetap
menjadi anak sah dari bapak dan
ibunya. Hal ini sesuai dengan
Pasal 75 huruf (b) Kompilasi
hukum Islam dimana ketentuan
tersehut menguatkan ketentuan
Pasal 28 angka (2) huruf (a)
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yakni putusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut
terhadap anak yang dilahirkan
tersebut.
Sebaiknya dalam perkara
pembatalan perkawinan, anak
diberi perhatian yang lebih. Agar
anak dapat tumbuh secara baik
layaknya anak yang lain dalam
keluarga yang utuh. Dalam hal
pembatalan perkawinan yang
telah menghasilkan anak-anak
yang sah, sebaknya perhatian
tidak hanya difokuskan kepada
dibatalkannya ikatan perkawinan
tersehut. Karena setelah
dibatalkannya perkawinan, hapak
dan ibu dan anak tersebu tidak
lagi hidup sebagai suami isteri,
sehingga anak harus hidup
dengan salah satu pihak. Dan
besar kemungkinan kebutuhan
anak baik secara materiil dan
spiritual mengalarni kekurangan
ataupun gangguan apabila tidak
diLentukan mengenal penibagian
kewajiban orang tua terhadap
anak.
Sebaiknya juga dalam
pembatalan tersebut, dalam hal
Perkara Nomor 06/2009/Pdt,
G/PA.Skh dan Perkara Nomor 01
9/2008/Pdt.G/PA.Skh, dilakukan
pengingkaran terhadap anak.
Sehingga kedudukan anak dapat
lebih jelas melalui putusan
hakim. Dalam era perkembangan
hukum saat mi muncul mengenai
wacana hukum yang tidak lagi
hanya mengutamakan asas
kepastian hukum, yaitu dikenal
dengan adanya aliran progresif.
Dalarn teorinya. aliran progresif
berpendapat bahwahukum dart
peradilan merupakan alat untuk
perubahan-perubahan sosial.
Sedangkan bagi aliran klasik
berpendapat bahwa Hakim
mengkonstantir bahwa undang-
undang dapat diterapkan pada
peristiwanya, kemudian Hakim
menerapkan menurut bunyi
undang-undang.
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 78 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan
awal dan kehidupan manusiaan
perkawinan adalah suatu hal
dyang sangat kompleks. Karena
perkawinan bukan hanya saja
perjanjian antar manusia tetapi
perjanjian kepada Allah.
Melakukan perkawinan
merupakan salah satu dan sunnah
Rasul. Dalam hadist Rasul
dikatakan bahwa; Hai pemuda
barang sapa yang mampu
diantara kmu serta berkeinginan
hendak kawin (nikah), karena
sesungguhnya kawin itu akan
menjauhkan mata dan orang yang
tidak halal dilihatnyadan akan
memeliharanya dan godaan
syahwat.”
Perkawinan terjadi antara
seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sudah baligh
berdasarkan rasa cinta dan kasih
untuk membina dalam sebuah
keluarga tanpa adanya suatu
paksaan.
Akibat hukum yang akan
terjadi dan perkawinan salah
satunya adalah terhadap anak
yang lahir dan perkawinan
tersebut. Anak-anak yang lahir
dan dasar perkawinan antara
kedua orang tuanya adalah anak
sah menurut hukum. Status dan
seorang anak yang diiahirkan
akan mempengaruhi haknya
sebagai anak dan orang tuanya.
Sebagai anak sah,
seseorang berhak mewaris dnni
harta orang tuanya. Hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat
itu saah satunya mengatur
mengenai perkawinan, yaitu
dalam Hukum Perkawinan. Di
Indonesia terdapat beberapa
peraturan yang mengatur
perkawinan.
Mengenai kedudukan anak akibat
penbatalan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam,
disimpulkan berupa:
a. Sesuai dengan Pasal 28
Angka (2) Huruf (a), bahwa
pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap
keaudukan anak yang telah
dilahirkan dan perkawinan
yang telah dibatalkan.
b. Dalam permohonan
pembatalan perkawinan
dalarn Putusan Nomor
06/Pdt.G/20091PA. Skh,
Putusan Nomor 01
9/Pdt.G/2008/PA. Skh tidak
dimohonkan mengenai
perihal anak oleh Pemohon
c. Anak yang dikandizng oleh
terrnolicn pada kasus
pertama dan termohon pada
kasus kedua mempunyai
kedudukan hukuni bahwa ia
adalah anak dan si ibu. Anak
hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya sesuai
dngan Pasal 100 Komoilasi
Hukurn. Islam.
B. Saran
Berdasarkan data serta uraian
yang telah Penulis jelaskan pada
kesimpulan tersebut, maka yang
perlu menjad catatan uiituk
dipertimbangkan di masa yang
akan datang, yaitu:
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 79 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
1. Untuk para pihak yang
hendak melangsungkan
perkawinan hendaknya
mempersiapkan segala
kehutuhan dengan balk.
Selain itu para pihak yang
hendak melangsungkan
perkawinan hendaknya para
pihak bersikap jujur kepada
calon pasangannya masing-
masing. Dengan demikian,
tidak ada pihak yang
dirugikan karena merasa
tertipu katena keadaan salah
satu pihak yang belum
dikelahui oleh calon
pasangannya.
2. Bagi Hakim yang memutus
perkara perkawinan selain
harus mengutamakan asas
yuridis fermil hendaknya
juga niengutamakan asas
manfaat juga. Agar tujuan
utama dan adarya hukum
tersebut clapat terlaksana,
yaltu dapat inemberikan
kebahagiaan. Serta bagi
Hakim yang menangani
perkara pembatalan
peikawinari hendaknya
memberikan perhatiakan
mengenai hal ikhwal anak
yang slama mi kurang
mendapat perhatian dalam
kasus pembatalan
perkawinan. Dengan
dernikian, maka dapat lebih
jelas mengenai pembagian
kewajiban dalam memelihara
dan mengasuh anak.
Sehingga anak dalam
pernhatalan perkawinan
dapat tumbuh layaknya
seorang anak dalam keluarga
yang utuh. Dan anak tidak
mendapat tekanan soia1 dan
lingkunganya karena
pembatalan perkawinan yang
terjadi dalam perkawinan
orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin Ahmad, 2008. Hukum
Perkawinan Di Indonesia
(Studi Historis Metodologi).
Jambi: Syariah Press
Satrio. 2000. Hukum Keluarga
tentang Kedudukan Anak
dalam Undang-Undang.
Bandung. PT. Citra Aditya
Bakti
Mahkamah Agung RI.2009.
Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Agama
Buku II edisi 2009. Jakarta
Mohd Idris Ramulyo.2002. Hukum
Perwalian Islam Suatu
Analisis dari Undang-undang
Nomor1 tahun 1974 dan
Komplikasi Hukum Islam.
Jakarta. Bumi Aksara
R. Soetojo Prawirohamidjojo &
Marthalena Pohan. 2000.
Hukum orang dan Keluarga:
Airlangga University Press.
Soerjono Soekanto.2006. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta:UI
Press
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan
Anak
MEDIA SOERJO VOL. 12.No. 1 April 2013 80 ISSN : 1978-6239
Reni Sulistyawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Keputusan Perkara
Nomor : 06/2009/Pdt/Pa.Skh Dan Nomor : 019/28/Pdt.G.Pa.Skh
Tentang Kedudukan Anak Terhadap Pembatalan Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan