tinjauan yuridis tentang pelaksanaan …/tinjauan... · menyatakan dengan sesungguhnya ... dokter...

101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI Penulisan Hukum (skripsi) S1 Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Dhora Gumilang Indiarsono NIM. E0008139 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Upload: trinhdang

Post on 19-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user i

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN

TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO

KAB. WONOGIRI

Penulisan Hukum (skripsi) S1

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Dhora Gumilang Indiarsono

NIM. E0008139

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iv

PERNYATAAN

Nama : Dhora Gumilang Indiarsono

NIM : E0008139

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul :

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN

TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB.

WONOGIRI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam

penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)

dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012

yang membuat pernyataan

Dhora Gumilang Indiarsono

NIM. E0008139

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user v

ABSTRAK

Dhora Gumilang Indiarsono, E0008139.2012. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian dalam penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, dan untuk mengetahui permasalahan apa saja yang muncul serta upaya penyelesaiannya.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian dianalisis dengan model analisis kualitatif. Lokasi penelitian di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan baik buku-buku, peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, jurnal, dokumen-dokumen, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dapat dilakukan setelah tahapan/prosedur dalam proses penerimaan pasien, baik itu pasien rawat jalan maupun rawat inap dilalui dan pasien sudah memberikan persetujuan tindakan medik sebagai upaya dalam proses penyembuhan pasien. Pelaksanaan perjanjian terapeutik sangat terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik itu dokter maupun pasien.

Permasalahan yang muncul yakni hanya sebatas pada permasalahan yang bersifat teknis dan bukan mengenai permasalahan medis yang dapat menimbulkan suatu sengketa, sebab sampai saat ini di RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Kabupaten Wonogiri, permasalahan yang dapat menimbulkan suatu sengketa belum pernah terjadi. Permasalahan teknis ini dapat terjadi karena tingkat pemahaman yang kurang dari pihak pasien/keluarga pasien, tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam hal pemberian persetujuan tindakan medik, dan sikap pasif dari pasien/keluarga pasien yang terlalu menyerahkan semuanya kepada dokter yang merawat. Upaya penyelesaiannya, dokter harus senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan memberikan segala macam informasi secara jelas dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarga pasien.

Implikasi teoritis penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan perjanjian terapeutik dan penyelesaian terhadap permasalahan yang muncul di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi masyarakat agar lebih mengerti tentang konsep perjanjian terapeutik sehingga nantinya pemberian pelayanan kesehatan dapat lebih optimal.

Kata Kunci : perjanjian terapeutik, permasalahan, penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vi

ABSTRACT Dhora Gumilang Indiarsono, E0008139. 2012. A JURIDICAL REVIEW ON THE IMPLEMENTATION OF THERAPEUTIC AGREEMENT IN DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO LOCAL GENERAL HOSPITAL OF WONOGIRI REGENCY. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.

The research in this law writing aims to find out the implementation of therapeutic agreement in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency, and to find out the problems rising as well as the solution to them.

This research was an empirical legal study that was descriptive in nature. In this study, a qualitative approach was used with primary and secondary data that were then analyzed using qualitative model of analysis. The research was taken place in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency. Techniques of collecting data used were interview, observation and library study with books, legislations, articles, journals, documents, and etc.

Based on the result of research conducted, it could be found that the implementation of therapeutic agreement occurring in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency could be done after the procedure in patient admission process, both inpatient and outpatient, and the patient had given consent on the medical measure as the attempt in the process of healing patient. The implementation of therapeutic agreement was closely related to the fulfillment of

The problem rising was limited to the technical problem including that of

communication between physician and patient not the medical problem that could lead to a dispute because there had been no dispute occurring in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency up to now. This technical

ower knowledge, no consensus between the physician and patient in the term of consent giving to the

of therapeutic agreement. The solution to these problems was that the physician should always establish good communication by giving any information clearly with understandable language to the patients/family.

The theoretical implication of research was to get a description on the implementation of therapeutic agreement and solution to the problems rising in dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of Wonogiri Regency, while the practical implication was that the result of research was expected to give the community additional information to understand better the concept of therapeutic agreement so that the health care service could run more optimally.

Keywords: Therapeutic Agreement, Problems, Solution

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii

HALAMAN MOTTO

Jika Allah menolong kamu, maka tidak akan ada orang yang dapat

mengalahkan kamu, jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan

pertolongan) maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari

Allah sesudah itu, karena itu hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang

mukmin bertawakkal. (QS Ali Imron : 160)

Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

(QS Insyirah : 5-7)

Hargailah segala sesuatu yang masih kau miliki sebelum ia hilang darimu,

dan kau akhirnya menyadari betapa berharga semua itu bagimu.

(Abu Abdillah Al-Husainy)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Penulis persembahkan untuk :

Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa

memberikan kasih sayangnya dan mendidikku

dengan tidak kenal menyerah yang selalu

mengajarkan bahwa keberhasilan harus di awali

dengan perjuangan dengan penuh keprihatinan

dan ikhtiar kepada-NYA.

Adikku satu-satunya Rhevika Gurindra Hapsari.

Almameterku Universitas Sebelas Maret, tempat

ku bernaung menuntut ilmu

Para penegak hukum dan keadilan yang masih

bisa diharapkan demi setitik kebenaran yang

mulai luntur dengan

Semua anak bangsa yang masih peduli dengan

martabat dan harga diri bangsa...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas

rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum

(skripsi) ini dengan judul

PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN

Adapun penulisan hukum (skripsi) ini disusun

guna memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan S-1 dalam

bidang Ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulisan Hukum ini membahas tentang pelaksanaan perjanjian terapeutik

yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta

permasalahan dan upaya penyelesaiannya, sebab terkadang dalam pelaksanaanya

tentu masih terjadi permasalahan yang sering timbul baik itu berupa permasalahan

yang berujung menjadi sebuah sengketa ataupun hanya yang bersifat teknis semata

yang tidak menimbulkan suatu sengketa. Oleh karena itu, komunikasi yang baik

antara para pihak yang terlibat baik itu dokter maupun pasien akan sangat dibutuhkan

agar tujuan dalam upaya pemberian layanan kesehatan dapat berlangsung secara

optimal.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan Penulisan Hukum

(Skripsi) ini menemui berbagai rintangan, tantangan, dan hambatan yang harus

Penulis lewati dengan penuh kesabaran. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam

menyusun penulisan hukum (skripsi) ini, Penulis dibantu oleh banyak pihak. Tanpa

bantuan dari berbagai pihak tersebut Penulis yakin penyusunan skripsi ini tidak akan

berhasil. Maka dalam kesempatan ini, dengan penuh kerendahan hati dan rasa yang

tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Muh. Jamin, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik (PA) yang

telah memberikan izin melalui untaian tanda tangannya kepada Penulis dalam

setiap proses akademik di fakultas tercinta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user x

3. Ibu Endang Mintorowati, S.H.,M.H dan Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H.,

M.Hum selaku dosen pembimbing dan co.pembimbing skripsi yang telah

menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan

bagi tersusunnya skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam Penulisan

Hukum (Skripsi) ini.

5. Ketua Bagian Pengelola Penulisan Hukum (PPH), Ibu Wida Astuti, S.H.,M.H

dan Mas Wawan anggota Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang banyak

membantu Penulis dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

6. Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, Ibu

Dr.Setyarini, M.kes yang telah berkenan memberikan ijin penelitian bagi

Penulis untuk memperoleh data-data di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri guna menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

7. Bapak Suwarsono, SKM.,Msi selaku Ka.sub.bagian Rekam Medik, Bapak Dr.

Adhi Dharma, MM selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik, dan Bapak

Warsito, S.H. selaku Ka.Sub Bagian Hukum, Hubungan Masyarakat dan

Perpustakaan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk bisa bertukar pikiran dan

meminjamkan data yang diperlukan Penulis untuk mempermudah proses

penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

8. Para Dokter yang bertugas di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri yakni dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum dan dr. Nugroho

Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri, terima kasih atas waktunya yang telah diberikan

kepada Penulis untuk bisa sedikit bertukar pikiran mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

9. Para pasien maupun mantan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri yang sempat penulis ajak berdialog yakni Bapak Suswandi dan

Bapak Lukminto, terima kasih atas keterangan yang telah diberikan kepada

Penulis guna melengkapi data dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xi

10. Bapak, Ibu, serta keluarga tercinta yang tanpa henti telah memberikan cinta

dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan

yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan

Hukum (Skripsi) ini.

11. Teman-teman dan Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Hukum UNS,

Alfinus Martyanto, Advent Christiansen, Gangga, Christian Angga, Temon,

Rangga, Antoni Wibowo, Ira Oktafia, Norma Evita, Indah Kurniawati,

Megaria Dhiah, Ira Octapiani, Shinta Ayu, Devi, Umar, Triyono Trexjon, Aaf,

Radit, Ferry, Irwan, Komenk, terima kasih atas suka duka dan semua

kenangan yang telah diberikan kepada Penulis.

12. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum UNS, khususnya angkatan 2008

yang tidak dapat Penulis ungkapkan satu-persatu, terima kasih atas segala

dukungannya.

Pada akhirnya bagi pihak-pihak yang belum bisa penulis ungkapkan di sini,

Penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuannya hingga penulisan hukum

(skripsi) ini selesai. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau skripsi ini

masih jauh dari sempurna baik dari segi substansi maupun teknis penulisan. Untuk itu

sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat Penulis harapkan

demi perbaikan atau penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga

penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk

penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Juni 2012

Penulis,

Dhora Gumilang Indiarsono

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4

C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian................................................................................ 5

E. Metode Penelitian ................................................................................. 5

F. Sistematika Penulisan Hukum .............................................................. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ..................................................................................... 13

1. Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya ................................. 13

2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xiii

Konsumen Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan

Perjanjian Terapeutik ..................................................................... 22

3. Tinjauan tentang Perjanjian Terapeutik .......................................... 26

B. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 41

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri ................................................................... 43

1. Visi, Misi, Motto, Tugas Pokok, dan Fungsi Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri .............. 44

2. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 45

3. Tanaga Profesional Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 48

4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri ............................................... 50

B. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik antara Dokter dan Pasien di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri ........................................................................................... 54

1. Penerimaan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri ............................................................................ 54

2. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) dalam

Perjanjian Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri ............................................................................ 58

3. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pemenuhan Hak dan

Kewajiban Dokter dan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri ............................................................. 64

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xiv

C. Permasalahan yang Ditemukan dalam Pelaksanaan Perjanjian

Terapeutik di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri beserta Upaya Penyelesainnya ................... 71

1. Tingkat Pemahaman yang Kurang dari Pihak Pasien/

Keluarganya ................................................................................ 74

2. Tidak Tercapainya Kesepakatan antara Dokter dengan Pasien .. 78

3. Sikap dari Pasien/Keluarga Pasien yang Pasif (Terlalu

Menyerahkan Semuanya kepada Dokter yang Merawat) ........... 80

4. Ketidakberhasilan dalam Perjanjian Terapeutik ......................... 81

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ............................................................................................ 83

B. Saran .................................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data PNS RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xvi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Skema Model Analisis Interaktif. ....... 1

Gambar 2 Skema Kerangka Pikir ............................................................................ 41

Gambar 3 Bagan Struktur Organisasasi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Tindakan Medik

Lampiran 2 Surat Penolakan Tindakan Medik

Lampiran 3 Surat Ijin Pra Penelitian

Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 5 Surat Rekomendasi Bakesbangpol dan Linmas Kab. Wonogiri

Lampiran 5 Nota Dinas Pelaksanaan Penelitian

Lampiran 6 Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, pembangunan bidang kesehatan ditujukan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap warga negara agar dapat

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dan hal tersebut sejalan pula dengan

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

menyatakan dalam memperoleh

akses atas sumber daya di bidang kesehatan Dalam kerangka tersebut dijelaskan

bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyeleng-

garaan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.

Dalam hal penanganan kesehatan, pengetahuan dan keterampilan seseorang

sangatlah terbatas. Seseorang dalam kondisi kesehatan yang berkurang dan

mengalami keadaan yang sakit, maka tentunya tidak akan terlepas dari kebutuhan

terhadap tenaga medis seperti dokter untuk mengobatinya. Ketika seorang pasien

maupun keluarganya meminta pertolongan kepada dokter maka sudah menjadi

tanggung jawab bagi seorang dokter untuk memberikan tindakan upaya penyembuhan

kepada pasien yang membutuhkan pertolongannya.

Hubungan antara pasien dengan dokter dalam pelayanan medis dilandasi atas

kepercayaan sehingga menimbulkan suatu hubungan hukum. Dalam bidang

kedokteran hubungan hukum ini terjalin di bidang jasa yang disebut dengan

perjanjian terapeutik. Dalam perjanjian ini, pasien telah sepakat diberi pelayanan

medis untuk menanggulangi penderitaannya dan dokter juga sepakat untuk memberi

pelayanan medis berupa pemeriksaan, pengobatan dan pertolongan medis lain,

dengan kemampuan yang sebaik-baiknya.

Dalam setiap upaya pelayanan kesehatan tentunya peran dari sarana kesehatan

sangatlah penting. Adanya sarana kesehatan akan sangat membantu dalam

penyediaan fasilitas yang memadai demi tercapainya pelayanan kesehatan yang

optimal. Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan dianggap mampu untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

memberikan upaya pelayanan kesehatan yang optimal karena memiliki berbagai

macam fasilitas kesehatan mulai dari tenaga ahli kedokteran hingga peralatan medis

yang memadai. Rumah sakit memiliki tipe dan klasifikasi sendiri-sendiri sesuai

dengan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit umum

pemerintah berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit dibagi

menjadi 4 (empat) tipe yakni tipe A,B,C,dan D. Kelengkapan fasilitas maupun

kemampuan pelayanan rumah sakit dengan tipe tertentu tidak menjamin bila di rumah

sakit tersebut tidak ada suatu masalah terutama dalam pelaksanaan perjanjian

terapeutik yang ada di dalamnya. Hal ini juga sama seperti yang ada di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso merupakan Rumah Sakit tipe B non pendidikan yang berada di Kabupaten

Wonogiri yang menjadi RSUD milik pemerintah daerah satu-satunya yang ada di

Kabupaten Wonogiri. RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso ini diharapkan mampu

memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada seluruh masyarakat terutama

masyarakat yang ada di sekitar Kabupaten Wonogiri karena di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso sering menjadi rujukan dari beberapa Puskesmas maupun balai

kesehatan lainnya yang ada di sekitar Kabupaten Wonogiri.

Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik yang ada di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso sebenarnya hubungan antara para pihak baik itu dokter maupun

pasien adalah sejajar dan seimbang. Pasien tidak dipandang dalam posisi yang lemah

dan tergantung kepada dokternya sebab pasien juga mempunyai hak untuk

menentukan nasibnya sendiri, memilih dokternya sendiri maupun memilih metode

yang akan digunakan untuk menyembuhkan penyakitnya. Pasien sebagai pengguna

jasa layanan kesehatan tentu akan dijamin dalam pemenuhan hak-haknya sebab

dokter memberikan pelayanan kepada pasien sebagai konsumen jasa sebagaimana

yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan pasien sebagai konsumen pada dasarnya merupakan kewajiban bagi

para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk senantiasa menghormati hak-hak

pasien. Akan tetapi dalam kenyataannya kedudukan para pihak ini terkadang masih

belum seimbang. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien yang berobat di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso adalah mereka yang berprofesi sebagai petani maupun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

pedagang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga terkadang

pemahaman mereka mengenai bidang kedokteran tidak begitu baik.

Pasien yang datang untuk berobat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kabupaten Wonogiri hanya berharap agar penyakitnya segera sembuh dan tidak

terlalu mempermasalahkan terpenuhi atau tidaknya hak-hak mereka. Tujuan utama

bagi mereka adalah dengan biaya yang terjangkau, mereka dapat menikmati sarana

pelayanan kesehatan yang maksimal demi kesembuhan penyakit mereka. Pasien

selaku pengguna jasa layanan kesehatan seolah-olah tetap berada sebagai pihak yang

lemah dalam hubungan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sekalipun

dokter sebagai pemberi layanan kesehatan telah berusaha untuk memenuhi hak-hak

dari pasien. Pemikiran yang seperti ini yang selalu ada pada setiap pasien yang

berobat di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri karena

memang tingkat pemahaman mereka tidak bisa disamakan dengan pasien yang berada

di perkotaan yang memiliki pemikiran yang lebih modern. Adanya perbedaan tingkat

pemahaman yang tidak seimbang ini membuat pelaksanaan perjanjian terapeutik yang

ada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri mengalami suatu

kendala terutama dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Pasien selalu memiliki pola pikirnya sendiri dan pemahaman sendiri untuk

mencapai kesembuhan dan tidak melihat upaya pelayanan kesehatan yang telah

dilakukan sebab terkadang untuk mencapai tingkat kesembuhan, pasien perlu sedikit

pengorbanan dan ternyata hal inilah yang menjadi pertimbangan bagi pasien saat

memutuskan sesuatu. Banyaknya pertimbangan yang harus diambil oleh pasien

seperti masalah biaya, kesiapan mental, risiko yang mungkin timbul, pertimbangan

keluarga, dan pertimbangan lainnya membuat upaya dokter dalam pelayanan

kesehatan tidak dapat mencapai tujuan secara maksimal sebab tidak selamanya

kehendak dokter dalam upaya penyembuhan penyakit pasien bisa sejalan dengan

kehendak pasien itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa hal-hal

tersebut menarik untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut sehingga penulis tertarik untuk

mengangkat suatu penulisan skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS

TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DI RSUD dr.

SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian terapeutik yang dilakukan antara dokter

dan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri?

2. Permasalahan apa saja yang ditemukan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik

di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dan bagaimanakah

penyelesaian terhadap permasalahan yang ditemukan tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang

hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah

dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan dari perjanjian terapeutik yang dilakukan

antara dokter dan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri.

b. Untuk mengetahui permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaan perjanjian

terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dan untuk

mengetahui upaya penyelesaian terhadap permasalahan yang timbul tersebut.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di bidang

Hukum Perdata, khususnya mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik

antara dokter dan pasien.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata-1

(S1) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

D. Manfaat Penelitian

Salah satu aspek dalam kegiatan penelitian yang tidak dapat diabaikan adalah

mengenai manfaat penelitian. Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam

penulisan hukum ini sedikit banyak bermanfaat, baik bagi Penulis pada khususnya

maupun bagi pembaca pada umumnya karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan

oleh manfaat yang dihasilkan. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan

hukum ini adalah :

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum perdata

pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya yang berkenaan dengan

adanya perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.

b. Menambah literature dan bahan informasi ilmiah di bidang hukum tentang

perjanjian terapeutik mengingat bahwa peran dan fungsi dokter dan rumah

sakit sangat penting dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk

pola pikir ilmiah, sekaligus menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

b. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi

kepada masyarakat mengenai perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien

sekaligus untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis

berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu

sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam

suatu kerangka tertentu. (Soerjono Soekanto, 2010 :42).

Dengan kata lain pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan

sistematik secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran maupun ketidakbenaran

dari suatu gejala atau hipotesa. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian

hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti langsung ke lapangan, yang diteliti pada awalnya adalah data

sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di

lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2010 :52).

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif, hal tersebut sesuai dengan karakteristik

ilmu hukum. Penelitian hukum yang bersifat deskriptif ini dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-

gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 2010 :10). Deskriptif meliputi isi dan struktur

hukum positif yang digunakan penulis untuk menentukan makna aturan hukum

yang dijadikan rujukan dalam menyelesaiakan permasalahan hukum yang menjadi

obyek kajian.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan kualitatif,

yaitu pendekatan yang digunakan oleh penulis dengan mendasarkan pada apa yang

dinyatakan responden secara tertulis dan/atau lisan dan juga perilaku yang nyata,

diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2010 :250).

4. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis memilih lokasi di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Penulis memilih lokasi ini karena RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri merupakan salah satu rumah sakit yang

cukup berkembang sehingga diharapkan akan memudahkan penulis untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis

lakukan yakni berkaitan dengan perjanjian terapeutik.

5. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yakni

pelaku responden di lapangan maupun keterangan yang diberikan secara

lansung mengenai segala hal yang berhubungan dengan obyek penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data

primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku,

dokumen-dokumen, jurnal, artikel, internet, maupun sumber-sumber lain

yang terkait dengan masalah yang hendak diteliti.

6. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang memberikan informasi

secara langsung mengenai hal yang berkaitan dengan obyek penelitian.

Dalam hal ini data yang diperoleh adalah langsung dari lapangan. Penulis

memperoleh data langsung dari lokasi penelitian yang berasal dari:

1) Keterangan dokter RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

, diantaranya:

dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

2) Keterangan pihak RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

, diantaranya:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub bagian hukum RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Bapak Suwarsono, SKK.,Msi selaku Ka.Sub bagian rekam medik

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

Bapak Dr. Adhi Dharma MM selaku Ka.Sub bagian Pelayanan

Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

3) Keterangan dari pasien RSUD dr. Soediran Mangun Soemarso Kab.

Wonogiri, diantaranya:

Bapak Suswandi selaku mantan pasien yang pernah menjalani rawat

inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

Bapak Lukminto selaku pasien penderita diabetes yang sedang

menjalani rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang mendukung sumber

data primer. Data tersebut diperoleh dari peraturan perundang-undangan

diantaranya KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait,

buku-buku literatur mengenai perikatan/perjanjian terutama mengenai

perjanjian terapeutik, dokumen-dokumen, artikel, jurnal, internet maupun

sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian penulis.

7. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam penelitian pada umumnya, dikenal tiga jenis alat pengumpulan data,

yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

wawancara atau interview. (Soerjono Soekanto, 2010 :21)

a. Studi Dokumen atau Bahan Pustaka

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Penulis mengumpulkan, membaca, dan mengkaji dokumen, buku-buku,

peraturan perundang-undangan, majalah, dan bahan pustaka lainnya,

berbentuk data tertulis yang diperoleh dari lokasi penelitian atau tempat

lain.

b. Pengamatan atau Observasi

Merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati secara

langsung obyek yang ada di lapangan yakni mengenai segala sesuatu yang

berkaitan dengan obyek penelitian.

c. Wawancara

Metode ini merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dengan cara

mengadakan komunikasi secara langsung guna memperoleh data, baik lisan

maupun tertulis atas sejumlah keterangan dan data yang diperlukan. Penulis

akan menggunakan pedoman wawancara terstruktur sehingga dengan

adanya pedoman maka wawancara yang dilakukan dapat lebih terarah dan

tujuan dari wawancara tersebut dapat tercapai. Wawancara ini akan penulis

lakukan dengan :

1) dr. Tri Budi Astuti selaku Dokter Umum di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri

2) dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku Dokter Bedah di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

3) Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub bagian hukum RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

4) Bapak Suwarsono, SKK.,Msi selaku Ka.Sub bagian rekam medik

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

5) Bapak Dr. Adhi Dharma MM selaku Ka.Sub bidang Pelayanan Medik

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

6) Bapak Suswandi selaku mantan pasien yang pernah menjalani rawat

inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

7) Bapak Lukminto selaku pasien penderita diabetes yang sedang

menjalani rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

8. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan

interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan

bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga

komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu

ada verifikasi dan penelitian kembali mengumpulkan data di lapangan. (Heribertus

Sutopo, 2002 :8).

Tahapan dari kegiatan analisis data interaktif adalah sebagai berikut

(Heribertus Sutopo, 2002 :37) :

a. Reduksi Data

Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat

fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan

pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan

akhir penelitian selesai.

b. Penyajian Data

Sajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun dalam suatu

kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam konfigurasi yang

mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan kesimpulan riset dapat

dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis, diantaranya matrik, gambar,

skema, jaringan kerja, kegiatan, tabel, dan sebagainya.

c. Menarik Kesimpulan

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang

ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-

pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat,

akhirnya peneliti menarik kesimpulan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Berikut, akan penulis berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data:

Gambar 1 : skema model analisis kualitatif

Dengan model analisis ini maka penulis harus bergerak diantara empat

sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya akan bergerak

berputar dan kembali lagi diantara kegiatan reduksi, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan selama sisa waktu penelitian.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara

keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam

penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai hasil kepustakaan yang meliputi

dua hal yaitu Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Kerangka teori

akan diuraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pokok

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan

Reduksi Data

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

masalah dalam penelitian ini yang meliputi tinjauan mengenai perjanjian

pada umumnya, perjanjian terapeutik, dan pihak-pihak yang terkait

dalam perjanjian terapeutik. Sedangkan kerangka pemikiran

disampaikan dalam bentuk bagan dan uraian singkat.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan memaparkan tentang hasil dari penelitian yang telah

diperoleh dan dilanjutkan dengan pembahasan yang dilakukan terhadap

hasil penelitian. Dalam bab ini akan menjawab permasalahan yang

diangkat dalam rumusan masalah mengenai bagaimana pelaksanaan dari

perjanjian terapeutik, permasalahan yang timbul dalam perjanjian

terapeutik dan cara penyelesaiannya.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari apa yang telah dibahas

sebelumnya dan juga berisi saran yang ditujukan kepada pihak-pihak

yang terkait dengan permasalahan yang penulis teliti dalam penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perjanjian pada Umumnya

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanaka

suatu hal (R.Subekti, 2002 :1). Menurut J. Satrio, pengertian perjanjian secara

umum dibagi menjadi dua, yaitu (J Satrio, 1999:52):

1) Perjanjian dalam arti luas Yaitu suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau (dianggap dikehendaki) oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain.

2) Perjanjian dalam arti sempit Yang dimaksud perjanjian dalam hal ini adalah hanya ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang tercantum dalam Buku III KUHPerdata.

Dalam Pasal perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut

dirasa masih belum begitu sempurna dan mengandung banyak kelemahan. Oleh

karena itu beberapa ahli mencoba untuk menyempurnakannya. Dari ketentuan

Pasal tersebut menurut Abdulkadir Muhammad kurang memuaskan karena

mempunyai kelemahan, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78-79) :

a) Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dengan adanya p satu

datangnya hanya dari salah satu pihak saja, tidak dari kedua belah

terdapat konsensus antara para pihak. b) Di dalam p

konsensus, merupakan tindakan tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung suatu konsensus. Kata yang lebih tepat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

c) Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut diatas terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang sudah diatur dalam hukum perkawinan. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam hal harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d) Dalam perumusan pengertian mengenai perjanjian tidak dijelaskan dengan mengenai tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak mempunyai tujuan yang jelas.

Sehubungan dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut Abdulkadir

Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau

lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan

hukum harta kekayaan (Abdulkadir Muhammad, 1992 :78).

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai perjanjian tersebut maka

dapat Penulis simpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan yang

dilandasi dengan hukum dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

terhadap orang lain/lebih untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum

harta kekayaan.

b. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian

Dalam beberapa Pasal Buku III KUHPerdata terdapat di dalamnya asas-

asas umum hukum perjanjian antara lain :

1) Asas konsesualisme

Bahwa perjanjian itu terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak

mengenai pokok perjanjian. Asas konsesualisme ini berkaitan erat dengan

asas kebebasan berkontrak. Asas ini diatur dalam dalam Pasal 1320

KUHPerdata (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108).

2) Asas kebebasan berkontrak

Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, mempunyai arti bahwa para pihak dalam perjanjian diberi

kebebasan untuk menentukan isi perjanjian yang diadakan, asal tidak

bertentangan dengan (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 108):

a) Undang-undang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

b) Ketertiban umum

c) Kesusilaan, kesopanan, dan kepatutan (Pasal 1339 KUHPerdata)

d) Tidak diperoleh dengan paksaan dan penipuan (Pasal 1321

KUHPerdata).

3) Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja (R. Subekti, 2002 : 49). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal

1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan:

untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan

dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata

perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang

membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya

sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan:

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang

lain, mengandung suatu syarat semacam itu

4) Asas Kekuatan mengikat

Asas ini disebut juga asas Pacta Sunt Servanda/asas kepastian hukum. Asas

ini tercantum dalam Pasal

yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

ula tersebut berarti adanya larangan hukum bagi orang

lain untuk mencampuri isi dari suatu perjanjian, selama pelaksanaan

perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan. Jadi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sah

mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. (H. Salim, 2006 : 10).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

5) Asas Itikad Baik

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan

-tiap orang dalam membuat suatu perjanjian harus dilakukan

Itikad baik ini dapat dibedakan antara Itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Yang dimaksud itikad baik yang subyektif (subjective goeder trow) yaitu yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik sedangkan itikad baik obyektif (Objektive goeder trow) adalah kalau pendapat umum (jadi obyektif) menganggap tindakan yang begitu adalah bertentangan dengan itikad baik (J.Satrio, 1999:37).

Dalam pelaksanaan perjanjian itu sendiri, itikad baik yang dipakai yakni

itikad baik obyektif yang didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang

dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.

c. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat, yaitu (R.Subekti, 2002:17-19):

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

adalah bahwa

dalam perjanjian mutlak diperlukan adanya kesepakatan sebagai sebuah

landasan adanya perjanjian. Menurut Subekti dengan sepakat atau juga

dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan

perjanjian itu harus bersepakat setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal

pokok dari perjanjian yang diadakan.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pada hakekatnya seseorang yang cakap untuk membuat suatu

perjanjian adalah orang yang cakap untuk berbuat hukum. Menurut Subekti

orang yang berbuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Seseorang

diperbolehkan membuat suatu perjanjian apabila ia memenuhi persyaratan di

dalam undang-undang. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau

akil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pada

umumnya menurut KUHPerdata seseorang dikatakan cakap melakukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21

tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun dan

tidak berada di bawah pengampuan.

c. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah segala sesuatu yang diperjanjikan itu harus

jelas terperinci atau sekurang-kurangnya dapat diperinci, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi

mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal

Obyek perjanjian berupa suatu prestasi yang harus dipenuhi dan apa

yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya mengenai jumlah tidak

disebut asal dapat dihitung. Perjanjian harus mengenai hal tertentu artinya

apa yang diperjanjikan harus jelas hak dan kewajibannya bagi para pihak

apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

Pengertian sebab yang halal dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu

suatu sebab adalah terlarang, apabila di larang oleh undang-undang atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Pada

hakekatnya undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab

pada pihak dalam mengadakan perjanjian. Undang-undang hanya

memperdulikan isi dari perjanjian tersebut yaitu tidak dilarang oleh undang-

undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat

ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya

sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.

d. Akibat Hukum Perjanjian

1) Akibat hukum perjanjian yang sah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, dinyatakan bahwa

perjanjian yang sah mempunyai akibat hukum sebagai berikut :

a) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Pihak-pihak yang mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-

undang. Jika ada yang melanggar, maka dianggap sama dengan

melanggar undang-undang dan mempunyai akibat hukum yang berupa

sanksi yang telah di tetapkan oleh undang-undang

b) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak dan perjanjian

tersebut tidak dapat ditarik kembali, dapat di tarik kembali apabila ada

persetujuan dari pihak lain atau ada alasan yang cukup kuat menurut

undang-undang.

c) Pelaksanaan dengan ikhtikad baik

Itikad baik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

(1) Ikhtikad baik subyektif, dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang

dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam

sikap batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum.

(2) Ikhtikad baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian

harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan

sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat.

Dalam pelaksanaan perjanjian dengan ikhtikad baik, kebiasaan tidak

boleh menyampingkan atau menyingkirkan undang-undang dan apabila ia

bertentangan dengan undang-undang maka undang-undang yang dipakai.

Ini berarti bahwa undang-undang tetap berlaku meskipun sudah ada

kebiasaan yang mengatur.

2) Akibat hukum perjanjian yang tidak sah

Menurut R.Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian dapat Penulis

simpulkan bahwa perjanjian yang tidak sah dapat terjadi karena perjanjian

tersebut tidak memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Dengan demikian

akibat hukum dari perjanjian yang tidak sah, yaitu :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

a) Perjanjian dapat dibatalkan dan batalnya suatu perjanjian harus

dimintakan pembatalan kepada pengadilan negeri yang berwenang.

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian,

misalnya karena perjanjian itu dibuat dengan paksaan atau para

pihaknya masih di bawah umur maka. Oleh karena itu apabila tidak

dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para

pihak.

b) Perjanjian batal demi hukum dan batalnya suatu perjanjian tidak perlu

lagi dimintakan pembatalan karena tanpa adanya pembatalan perjanjian

tersebut akan di anggap batal dengan sendirinya/perjanjian dianggap

tidak pernah ada. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, misalnya

obyek perjanjian tidak ada atau perjanjian tidak didasari dengan itikad

baik.

e. Jenis Perjanjian Menurut Bentuknya

Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk

perjanjian. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum

dalam KUHPerdata maka perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi

dua macam, yaitu (H. Salim. 2008 : 19):

1) Perjanjian Lisan

Perjanjian lisan adalah perjanjian atau perjanjian yang dibuat oleh

para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320

BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.

Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil.

Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada

kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian

yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

2) Perjanjian Tertulis

a) Perjanjian formal, adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan

formalitas tertentu, misalnya : perjanjian hibah harus dibuat dengan

akta (Pasal 1682 BW). Perjanjian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik

terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh

Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT.

b) Perjanjian standar/perjanjian baku.

Istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal

dari bahasa Belanda, yaitu standaart contract atau standaart

voorwarden. Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa

dized contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang

diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman mengenai perjanjian baku

yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk

(Mariam Darus Badrulzaman, 1996: 35). Dari pengertian

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung

pengertian yang lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau

merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah dibakukan atau

distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir

atau bentuk perjanjian lain yang sifatnya tertentu.

Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya

dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama lainnya, yakni (Mariam

Darus Badrulzaman, 1996: 47):

a) Isinya ditetapkan sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih

kuat dari debitur.

b) Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian.

c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian

itu.

d) Bentuknya tertulis

e) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individu.

Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian

tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang

selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian

terlebih dahulu dan kemudian dibakukan lalu dicetak dalam jumlah

banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan. Perjanjian

baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah

menentukan isi dan bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya,

sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian baku ada ketidak

seimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat

perjanjian baku ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau

menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak dimungkinkan untuk

merubah isi perjanjian tersebut.

f. Berakhirnya Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian

itu telah dicapai, dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi

yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam

perjanjian tersebut. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat juga berakhir

karena hal-hal berikut ini (R. Setiawan, 1999 : 68) :

1) Lama waktu perjanjian yang ditentukan oleh para pihak telah terlewati;

2) Batas maksimal berlakunya suatu perjanjian ditentukan oleh undang-

undang;

3) Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak atau oleh undang-undang,

bahwa dengan suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir;

4) Adanya pernyataan penghentian oleh salah satu pihak. Misalnya, perjanjian

sewa-menyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian.

Pernyataan penghentian ini harus dengan memperhatikan tenggang waktu

pengakhiran menurut kebiasaan-kebiasaan setempat;

5) Karena putusan hakim;

6) Adanya kesepakatan para pihak karena yang menjadi tujuan bersama telah

tercapai.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

2. Tinjauan tentang Pelayanan Kesehatan terhadap Pasien selaku Konsumen

Jasa dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dalam Kaitannya dengan Perjanjian Terapeutik

a. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan

dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien sebab

pelayanan kesehatan ini terkait dengan tujuan dari perjanjian terapeutik itu

sendiri yakni untuk memberikan upaya semaksimal mungkin terhadap

penyembuhan penyakit pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan yang untuk selanjutnya disebut UU Kesehatan

secara umum pelayanan kesehatan mencakup Pelayanan kesehatan promotif

(kegiatan yang bersifat promosi kesehatan), Pelayanan kesehatan preventif

(kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit),

Pelayanan kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit), dan Pelayanan

kesehatan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).

Masyarakat selaku pihak yang menggunakan sarana kesehatan

tentunya juga diberikan hak guna menjamin mendapatkan pelayanan

kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran dan

pemahaman, baik dari pelaku medis maupun dari pasien itu sendiri tentang

hak dan kewajibannya, khususnya mengenai hak pasien.

Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the course of delivering healthcare services, patients are not discriminated against on grounds of their social status, political views, origin, nationality, religion, gender, sexual preferences, age, marital status, physical or mental disability, qualification or on any other grounds not related to their state of health. (James Macinko, International Journal for Equality in Health, 2002: Vol. IV).

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika dalam rangka

memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar

status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

kelamin, preferensi seksual, usia, status perkawinan , cacat fisik atau mental,

kualifikasi atau alasan lain yang tidak terkait dengan kondisi kesehatan

mereka.

Dalam UU Kesehatan telah diatur di dalam Pasal 4, 5 ayat (1), (2), (3),

7, dan Pasal 8, yang dapat disimpulkan bahwa Setiap orang berhak :

Atas kesehatan

Mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya

di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,

bermutu, dan terjangkau

Berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri

pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang

dan bertanggung jawab.

Memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk

tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya

dari tenaga kesehatan.

Dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik, UU Kesehatan telah

memberikan dasar pengaturan mengenai Tenaga Kesehatan. Berdasarkan

Pasal

diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

Kewenangan lainnya mengenai tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 23

ayat (1), (2) yakni Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan

pelayanan kesehatan yang sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

Kewenangan yang dimaksud disini adalah kewenangan yang diberikan

berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses registrasi dan pemberian

izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pasal

24 ayat (1), (2), yakni, Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan

pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur

operasional.

Selain itu, dalam UU Kesehatan juga memberikan perlindungan

terhadap pasien yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1), 57 ayat (1), dan 58 ayat

(1) yakni:

Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh

tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah

menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut

secara lengkap.

Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang

telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan

kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan

yang diterimanya.

b. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran yang untuk selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran adalah

untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima

pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi yang pada dasarnya tentu untuk

memberikan jaminan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat.

Bila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik, di dalam UU Praktik

Kedokteran ini telah memberikan landasan hukum yang pasti tentang

penyelenggaraan Praktik Kedokteran, diantaranya disebutkan dalam Pasal 36

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di

selaku pihak penerima layanan kesehatan terjamin hak-haknya dalam

mendapatkan layanan kesehatan dari orang yang tepat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Dalam pelaksanaan praktik, disebutkan dalam Pasal

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara

dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan

kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan

penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam hal ini perjanjian terapeutik yang

terjadi harus timbul berdasarkan kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait

yakni dokter dan pasien itu sendiri.

c. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yang untuk selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen

Pasal 1 butir (2), dijelaskan bahwa "Konsumen adalah setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan tidak

untuk diperdagangkan". Sedangkan butir (5) menyatakan bahwa "Jasa

adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. "

Dalam UU Perlindungan Konsumen memang tidak diatur dengan jelas

mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang

konsumen. Hal ini dikarenakan hubungan tenaga kesehatan/dokter dan

pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga

kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai

konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dengan kata lain bahwa pengertian

pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan adalah "Setiap orang

pemakai jasa layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter melalui suatu

sarana kesehatan yang disediakan bagi masyarakat."

Dibentuknya UU Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa

kedudukan konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu

konsumen tidak mengetahui hak-haknya. Sebagaimana pasien sebagai

konsumen jasa pelayanan kesehatan yang pada dasarnya memerlukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

perlindungan agar para penyelenggara pelayanan kesehatan bisa senantiasa

menghormati hak-hak pasien.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap berlaku pada jasa

pelayanan kesehatan dengan dasar hukum sebagai berikut:

1) Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa undang-

undang tersebut adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat

penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen (an umbrella act);

2) Ketentuan peralihan, Pasal 64 Undang UU Perlindungan Konsumen

-undangan yang

bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang

ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara

khusus dan atau tidak bertentangan dalam undang-

3) Menganut asas lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan

khusus mengesampingkan ketentuan umum. UU Kesehatan sebagai lex

specialis, UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika

kedua-duannya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat

khusus, yaitu UU Kesehatan. Namun jika dalam UU Kesehatan tidak

mengatur sendiri, maka undang-undang tentang kesehatan tidak mengatur

tersendiri, maka undang-undang tentang konsumen berlaku untuk jasa

pelayanan kesehatan.

Oleh karena itu diharapkan bahwa UU Kesehatan dapat berfungsi

sebagai alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan

pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya,

penjangkau perkembangan yang semakin kompleks yang akan terjadi dalam

kurun waktu mendatang dan pemberi kepastian dan perlindungan hukum

terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.

3. Tinjauan tentang Perjanjian Terapeutik

a. Pengertian Perjanjian Terapeutik

Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang

pengobatan atau penyembuhan. Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan antara dokter dan pasien.

Persetujuan yang terjadi antara dokter dengan pasien, bukan di bidang

pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostic kuratif,

preventif, rehabilitatif, maupun promotif maka persetujuan ini disebut

persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik. (Endang Kusuma Astuti,

20079: 39)

Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan

dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Men.Kes/X/1983 tentang

Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi Para Dokter di Indonesia,

disebutkan bahwa terapeutik adalah

hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling

percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan

Isfandyarie yang mengatakan bahwa, perjanjian terapeutik adalah perjanjian

antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter

untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien

berdasarkan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut (Any

Isfandyarie, 2006:57).

Pada umumnya hubungan perjanjian terapeutik dimulai saat seorang

pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati penyakitnya dan

dokter menyanggupinya. Dalam hubungan perjanjian terapeutik tersebut

timbulah hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter

dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan yang diatur dalam

hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan

kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang

wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak. Dengan demikian, perjanjian

terapeutik timbul karena adanya hubungan hukum antara dokter dengan pasien

dalam bidang pelayanan medik secara profesional didasarkan kompetensi yang

sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu dibidang kedokteran.

Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri khusus yang terletak pada

obyek yang diperjanjikan. Obyek dari perjanjian ini adalah berupa upaya/terapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

untuk penyembuhan pasien. Dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk

menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya, dimana dalam hal ini yang

dituntut bukan perjanjian berdasarkan hasil (resultaats verbitenis) namun yang

dituntut adalah suatu upaya yang maksimal yang dilakukan dokter atau usaha

yang maksimal atau yang lazim disebut perjanjian inspannings verbitenis.

Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa

tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai

keinginan pasien/keluarga, yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal.

Apabila seorang dokter telah melakukan upaya dengan hati-hati dan penuh

kesungguhan, tetapi hasilnya tidak memuaskan pasien atau keluarganya maka

pasien atau keluarga pasien tidak dapat serta merta menyalahkan dokter.

(Norma Sari, 2010: 12). Dalam hal ini pasien sebagai pihak yang menerima

pelayanan medis juga harus berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan

kesembuhan dirinya. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tidak akan

mencapai hasil yang diharapkan.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas maka

penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan mengenai konsep perjanjian

terapeutik. Pertama, perjanjian terapeutik merupakan suatu bentuk perjanjian

atau perikatan antara dokter dengan pasiennya, sehingga berlaku semua

ketentuan hukum perdata. Dalam perjanjian terapeutik, dokter maupun pasien

sama sekali tidak diperbolehkan untuk bersepakat melakukan tindakan atau

perbuatan yang dilarang ataupun melanggar hukum, misalnya aborsi. Kedua,

dokter maupun pasien seharusnya benar-benar mengerti tentang objek/isi dari

perjanjian tersebut, yakni usaha yang maksimal (inspanninsverbintenis) dalam

hal pemberian pelayanan kesehatan untuk melakukan penyembuhan terhadap

pasien. Pada akhirnya, pemahaman secara benar atas perjanjian terapeutik oleh

dokter maupun pasien akan berdampak positif dengan terwujudnya iklim

hubungan dokter-pasien yang harmonis.

b. Syarat Sahnya Perjanjian Terapeutik

baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan hukum umum yang termuat dalam

leh karena perjanjian terapeutik merupakan

perjanjian, maka terhadap perjanjian terapeutik juga berlaku hukum perikatan

yang timbul dalam Buku III KUHPerdata. (Veronica Komalawati, 2002 :139).

Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Bader Johan Nasution, untuk sahnya

perjanjian terapeutik sebagaimana perjanjian pada umumnya, maka harus

dipenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai

berikut (Bader Johan Nasution, 2005:12) :

1) Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya

2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3) Mengenai suatu hal tertentu

4) Untuk suatu sebab yang halal/diperbolehkan

Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian terapeutik tersebut harus

dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan akibat

yang ditimbulkannya di atur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung

asas pokok hukum perjanjian.

1) Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya

Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dapat diartikan bahwa secara yuridis,

yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan atau

paksaan dan penipuan dari salah satu pihak yang mengikatkan dirinya.

Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak

dimana masing-masing pihak mempunyai persesuaian kehendak yang

dalam perjanjian terapeutik dapat diartikan sebagai pihak pasien setuju

untuk diobati dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar

kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para

pihak harus sadar terhadap kesepakatan yang dibuat. Untuk itulah

diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan istilah

persetujuan tindakan medik (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 116).

2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Mengenai syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian di atur

dalam Pasal 1329 KUHPerdata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak di nyatakan

dan dalam Pasal 1330 KUHPerdata sebagai berikut :

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: (1) Orang-orang yang belum dewasa (2) Mereka yang ditaruh dalam pengampuan (3) Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh

undang-undang (sebagaimana perkembangan hukum terkini, ayat ini sudah tidak berlaku lagi karena dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka kaum perempuan saat ini cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri).

Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik dapat

meliputi berbagai macam golongan umur dan berbagai jenis pasien yang

terdiri dari yang cakap bertindak maupun yang tidak cakap bertindak. Hal ini

harus disadari oleh dokter sebagai salah satu pihak yang mengikatkan

dirinya dalam perjanjian terapeutik, agar tidak menimbulkan masalah

dikemudian hari. Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk

bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan atau kesepakatan yang dibuat

bisa di anggap tidak sah ) antara lain (Any Isfandyarie, 2006 : 61):

a) Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya orang gila,

pemabuk atau orang tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari

pengampunya dengan kata lain yang boleh membuat perikatan dengan

dokter adalah pengampunya.

b) Anak dibawah umur maka diperlukan persetujuan dari walinya atau orang

tuanya.

Adapun yang dimaksud dengan dewasa menurut Pasal 13 ayat (1)

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah Persetujuan diberikan oleh pasien

yang kompeten atau keluarga terdekat. Pasien yang kompeten adalah pasien

dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau

telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu

berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan

(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

membuat keputusan secara bebas. Oleh karena itu untuk seseorang yang

berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah, maka perjanjian terapeutik

harus ditandatangani oleh orang tua atau walinya yang merupakan pihak

yang berhak memberikan persetujuan.

3) Mengenai suatu hal tertentu

Dalam perjanjian terapeutik, mengenai hal tertentu yang

diperjanjikan adalah upaya penyembuhan (ispaningverbintenis) terhadap

penyakit yang tidak di larang oleh undang-undang karena dokter tidak

mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter

adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk

menyembuhkan pasien. Dalam melakukan upaya ini, dokter harus

melakukan dengan penuh kesungguhan dengan mengerahkan seluruh

kemampuan yang dimilikinya dengan berpedoman kepada standar profesi.

Upaya penyembuhan ini tentu saja tidak hanya bergantung pada

kesungguhan dan keahlian dokter dalam melakukan tugas profesionalnya,

tapi banyak faktor lain yang ikut berperan, diantaranya peran dari pasien itu

sendiri. (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 121)

Pasien sebagai pihak lainnya yang menerima pelayanan medis harus

juga berdaya upaya maksimal untuk mewujudkan kesembuhan dirinya

sebagai hal yang diperjanjikan. Tanpa bantuan pasien , maka upaya dokter

tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Pasien yang tidak kooperatif

merupakan bentuk perbuatan yang tidak bisa di pertanggungjawabkan oleh

dokter. Berikut kutipan contoh perilaku pasien yang tidak kooperatif (Anny

Isfandyarie, 2006 :63):

1) Pasien tidak menjelaskan tentang penyakitnya secara jelas (masih ada yang disembunyikan oleh pasien), misalnya : pasien seorang gadis, datang kepada dokter dengan keluhan terdapat benjolan di perut. Pada waktu dilakukan anamnesa, pasien mengaku kalau dia mengalami menstrulasi secara teratur. Dia tidak mengaku kalau pernah melakukan hubungan seksual. Disini ada kemungkinan dokter dapat keliru melakukan diagnose dan terapi, kehamilan dapat disangka dengan tumor rahim. Maka diperlukan pemeriksaan USG untuk membedakan hal tersebut. Pemeriksaan USG yang dilakukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

oleh dokter dalam hal ini, bukan sesuatu hal yang berlebihan yang melanggar etik atau dianggap sebagai suatu hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien. Hal ini memang perlu dilakukan karena pasien tidak berterus terang mengenai keadaan sakitnya.

2) Pasien seorang gadis mengeluh nyeri perut sebelah kanan bawah, memeriksakan diri kepada dokter ahli bedah. Setelah diperiksa, dokter ahli bedah memutuskan untuk melakukan tindakan pembedahan , karena dokter ahli bedah menduga adanya Apenddix Perforasi (usus buntu yang berlubang). Setelah dibuka ternyata ditemukan adanya kehamilan diluar kandungan, sehingga tindakan pembedahan berjalan lebih lama karena harus di konsultasikan dulu kepada dokter ahli kandungan. Dalam hal demikian pasien juga turut bersalah sehingga perpanjangan waktu operasi juga tidak dapat dipersalahkan kepada dokter yang merawat saja.

3) Pasien yang tidak meminum obat karena resepnya tidak di beli.

Contoh-contoh diatas merupakan kesalahan pasien yang bila

dikemudian hari terjadi faktor penghambat kesembuhan pasien atau bahkan

pasien tidak sembuh tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai kesalahan

dokter semata. Hal-hal inilah yang harus dipertimbangkan oleh dokter agar

bisa dijadikan alasan pembenar, tatkala dokter harus menghadapi tuntutan

pasien.

4) Sebab yang halal

Dalam obyek perjanjian sebelumnya, perjanjian akan dinyatakan sah

kalau yang diperjanjikan adalah sebab yang halal atau diperbolehkan yaitu

sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang atau sebab yang tidak

berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan yang

dimaksud dengan sebab ini dapat dianalogikan dengan tujuan dilakukannya

perjanjian.

Dalam perjanjian terapeutik, tujuan kesembuhan pasien merupakan

sebab yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk diperjanjikan,

sedangkan tindakan pengguguran kandungan tanpa indikasi medis dan

euthanasia adalah salah satu contoh sebab yang tidak diperbolehkan

(dilarang) oleh undang-undang untuk diperjanjikan, sehingga bila hal ini

diperjanjikan maka perjanjian terapeutik yang dibuat tidak sah karena tidak

memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

c. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Perjanjian Terapeutik

Jika perjanjian terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka

semua kewajiban timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun

pihak pasien. Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian di tuangkan dalam

Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1338

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan ikhtikad baik.

Pasal 1339

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Dari kedua Pasal diatas, dalam kaitannya dengan perjanjian terapeutik

dapat diambil pengertian sebagai berikut :

1) Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang bagi pihak pasien

maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak

memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang di

perjanjikan.

2) Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak

lain, misalnya : karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau

kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas

tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada dokter lain tanpa

indikasi medis yang jelas. Oleh karena itu, untuk mengalihkan pasien kepada

dokter lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau

keluarganya.

3) Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama berikhtikad baik

dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Mengenai itikad baik dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

obyektif. Itikad baik subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang

dalam melakukan perbuatan hukum yaitu apa yang terletak dalam sikap

batin seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum. Sedangkan itikad

baik obyektif merupakan pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada

norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan kebiasaan dalam

masyarakat. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan

ikhtikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter dan pasien harus

membantu menjawab dengan ikhtikad baik pula agar hasil yang dicapai

sesuai dengan tujuan di buatnya perjanjian terapeutik.

4) Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan di buatnya

perjanjian yaitu upaya pengobatan secara maksimal demi kesembuhan

pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan yang berlaku, dalam bidang

pelayanan medis maupun dari kemampuan pasien itu sendiri. Dokter harus

menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar medik yang

telah disepakati bersama dengan rumah sakit maupun dengan organisasi

profesi. Sebagai contoh misalnya : untuk pasien kelas 3 dokter bisa

memilihkan obat dengan harga yang terjangkau yang mempunyai efek

terapeutik yang cukup baik sedang untuk kelas VIP pemilihan obat mungkin

bisa hanya dengan mengacu kepada potensi obat saja.

Berdasarkan perjanjian terapeutik itulah lahir hak dan kewajiban antara

pasien dan dokter secara timbal balik. Dokter di satu pihak dan pasien di pihak

lain dalam satu hubungan perjanjian terapeutik ialah berkedudukan sama

sebagai subyek hukum dan dalam menanggung hak dan kewajiban.

d. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Terapeutik

1) Dokter

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan

kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat signifikan

karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu

pelayanan yang diberikan. Dokter dengan perangkat ilmu pengetahuan dan

teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

kegagalan penerapan ilmu kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan

dalam tindakan.

Pengertian dokter termuat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran , yang be Dokter

dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi

spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam

maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan

tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan

kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Dokter dengan

perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas.

Kekhasannya itu terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu

diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam

upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.

Dokter mempunyai kewajiban baik diminta maupun tidak diminta

untuk memberikan informasi dan penjelasan yang cukup kepada pasien atau

pihak lain yang berwenang sebelum melakukan tindakan medis. Dokter juga

wajib memberikan kesempatan untuk bertanya bagi pasien atau pihak lain

yang berwenang mengenai segala sesuatu yang di rasa belum jelas. Kecuali

dalam kondisi pasien yang gawat darurat atau dengan pertimbangan khusus

bahwa informasi dan penjelasan tersebut akan merugikan kepentingan

kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi maka dokter tidak

perlu memberikan informasi, sebagaimana dikatakan oleh Bailey dalam

International Journal of Caring Sciences. January-April.Vol.3 bahwa:

in a true life threatening emergency there is no problem with the obtaining of an informed concent. In the absence of a valid consent from a sane and sober adult patient, or from the parent orcommittee of a minor of incompetent person, consent is implied and physician has a positive duty to proceed with any reasonable effort to savage life or limb.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Dalam keadaan darurat memang tidak diperlukan adanya persetujuan

tindakan medik. Namun dengan tidak adanya persetujuan yang sah tersebut

dokter memiliki sebuah kewajiban yang harus dilakukannya yakni untuk

memberikan upaya pengobatan yang maksimal demi kesembuhan pasien.

Dalam perjanjian terapeutik, khususnya mengenai pelaksanaan

tindakan medis selain dokter, perawat atau tenaga medis lain juga berperan

dalam perjanjian terapeutik. Peran perawat atau tenaga kesehatan lainnya

adalah memastikan bahwa persetujuan tindakan sudah tersedia dan

ditandatangani oleh para pihak yang berwewenang sebelum tindakan medis

dilakukan. Apabila ternyata persetujuan tindakan medis belum ada maka

kewajiban perawat atau tenaga kesehatan lainnya untuk memberi informasi

ke dokter yang bersangkutan agar segera memproses persetujuan tindakan

medis. Terkadang perawat atau tenaga kesehatan lainnya bisa juga berperan

sebagai saksi.

2) Pasien

Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, Pasien adalah setiap orang yang melakukan

konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang

diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada

dokter/dokter gigi. Dengan kata lain pasien adalah merupakan orang sakit

yang dirawat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya ditempat praktek atau

rumah sakit. (Soerjono Soekanto, 2006 :63)

Pasien merupakan orang yang menjadi fokus ataupun sasaran dalam

usaha-usaha penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan

lainnya, pasien menjadi pihak yang paling berkepentingan dalam perjanjian

terpeutik sebab pasienlah yang menentukan keberlangsungan perjanjian

terapeutik ini, terutama dalam hal persetujuan tindakan medis. Sebagai

subjek hukum, pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipahami

baik oleh pasien, dokter maupun rumah sakit sebagai salah satu tempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

diselenggarakannya profesi kedokteran demi tercapainya tujuan upaya

kesehatan.

Dalam keadaan pasien tidak mampu secara hukum seperti yang diatur

dalam ketentuan perundang-undangan, maka peran keluarga atau pihak lain

yang berwewenang adalah sebagai pengganti pasien untuk memperoleh

informasi dan penjelasan serta memberikan/menolak persetujuan atas

tindakan yang disarankan oleh dokter. Termasuk dalam keluarga di sini

adalah suami atau istri si pasien, orang tua pasien, dan keluarga dekat pasien

yang lain yang memenuhi syarat dan ketentuan perundang-undangan

sehingga yang bersang- kutan berwenang untuk memberikan atau menolak

persetujuan tindakan medis yang di anjurkan oleh dokter

3) Rumah Sakit

Rumah sakit, dapat diartikan sebagai sarana pelayanan kesehatan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa : Rumah Sakit

adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

inap, rawat jalan, dan gawat darurat .

Pengertian rumah sakit juga di atur dalam Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor : 157/Men.Kes/SK/III/1999 Tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 159b/Men. Kes/Per/II/1988

tentang Rumah Sakit. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1)

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan

Pada dasarnya rumah sakit digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu rumah

sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Rumah sakit umum pemerintah

dibagi menjadi 4 (empat) tipe :

a) Tipe A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik

dan sub spesialistik yang luas.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

b) Tipe B, pelayanan spesialistik luas dan sub spesialistik terbatas.

c) Tipe C, pelayanan spesialistik minimal untuk 4 vak besar yaitu

penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obsteteriginekologi.

d) Tipe D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum.

Sedangkan untuk rumah sakit swasta dibagi menjadi 3 (tiga) tipe :

a) Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, pelayanan medik umum

b) Rumah Sakit Umum Swastas Madya, pelayanan spesialistik

c) Rumah Sakit Umum Swasta Utama, pelayanan spesialistik dan sub

spesialistik.

Mengenai standarisasi ketenagaan rumah sakit diatur oleh Peraturan

Menteri Kesehatan RI Nomor 262/Men.Kes/Per/VII/2004 tentang

Ketenagaan Rumah Sakit. Ketenagaan rumah sakit dibedakan atas empat

kelompok yaitu :

a) Tenaga medis : yakni lulusan Fakultas Kedokteran antara lain dokter

umum, dokter gigi dan lain sebagainya.

b) Tenaga paramedik : yakni lulusan sekolah atau Akademi Perawatan

Kesehatan

c) Tenaga para medis non keperawatan : yakni lulusan sekolah atau

Akademi Kesehatan lainnya.

d) Tenaga Non Medis : yakni di luar butir 1. 2 dan 3 seperti Apoteker,

Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam perjanjian terapeutik, peran Rumah Sakit atau sarana pelayanan

kesehatan lain adalah menyediakan formulir persetujuan tindakan medis

(perjanjian standart/perjanjian baku) dan menyimpan serta memelihara

dokumen persetujuan tindakan medis yang sudah ditandatangani para pihak

yang berwewenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. (Endang Kusuma Astuti, 2009 : 53)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

e. Berakhirnya Perjanjian Terapeutik

Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter-pasien sangatlah

penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir.

Dengan berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi

pasien untuk membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya

hubungan ini dapat disebabkan karena :

1) Sembuhnya pasien

Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah

tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien

maupun keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang

dideritanya sudah benar-benar sembuh, maka pasien dapat menghkiri

hubungan perjanjian terapeutik dengan dokter atau Rumah Sakit yang

merawatnya.

2) Dokter mengundurkan diri

Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter pasien

dengan alasan sebagai berikut :

a) Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.

b) Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia

bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain.

c) Karena dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama

kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan

persetujuan pasiennya.

d) Karena dokter tersebut merekomendasikan (merujuk) kedokter lain

atau Rumah Sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik

dan lengkap.

3) Pengakhiran oleh pasien

Merupakan hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan

pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah kedokter lain atau

Rumah Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena

kesembuhan dirinya juga merupakan tanggungjawabnya sendiri.

4) Meninggalnya pasien

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

5) Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak.

6) Di dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter

pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan kegawat

daruratan.

7) Lewat jangka waktu

8) Apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka waktu tertentu.

9) Persetujuan kedua belah pihak antar dokter dan pasiennya bahwa

hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2 : Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan Kerangka Pemikiran :

Kerangka berpikir merupakan gambaran bagaimana hubungan antara

konsep-konsep yang akan di teliti sehingga membentuk runtutan cara berpikir

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Pasien Informasi

Pelayanan Kesehatan

Dokter

Sepakat

Hak dan kewajiban Pasien Hak dan kewajiban Dokter

Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik

Permasalahan yang muncul dan Cara Penyelesaiannya

Perjanjian secara umum (KUH Perdata, Pasal 1319 dan 1320)

UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

Perjanjian Terapeutik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

dari adanya rumusan permasalahan hingga berhasil ditemukannya solusi dari

permasalahan yang diteliti. Kerangka berpikir dari penelitian ini akan di

uraikan sebagai berikut. Perjanjian terapeutik berawal dari suatu upaya

pelayanan kesehatan yang diberikan oleh sebuah sarana kesehatan yang dalam

hal ini adalah rumah sakit kepada setiap pasien sebagai konsumen jasa

pelayanan kesehatan yang didasarkan pada KUH Perdata dan peraturan

perundang-undangan terkait yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian terapeutik

timbul dari adanya kesepakatan antara pasien dengan dokter, yang

memberikan kewenangan terhadap dokter untuk melakukan tindakan medis

terhadap diri pasien. Tindakan medis tersebut bisa dilakukan di rumah sakit

atau di tempat praktik pribadi dokter, namun dalam penelitian ini hanya

terbatas pada perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri.

Akibat hukum dari perjanjian terapeutik adalah timbulnya hak dan

kewajiban bagi dokter dan pasien. Dokter berkewajiban untuk mengupa-

yakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat

berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan

pasien berkewajiban secara jujur menyampaikan apa yang dikeluhkannya

agar dapat ditemukan beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien

memilih terapi yang paling tepat untuk penyembuhannya. Dengan adanya hak

dan kewajiban yang dapat dilihat dari perbedaan kepentingan tersebut

munculah permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi yang berkaitan

dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik tersebut. Bisa jadi dalam

pelaksanaannya ada pihak-pihak yang belum memahami mengenai isi atau

obyek dari perjanjian tersebut. Permasalahan yang di kaji dalam penelitian ini

hanya terbatas pada isi perjanjian terapeutik yang dibuat antara dokter dan

pasien yang kemungkinan dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan

permasalahan dan tentunya diperlukan suatu solusi/cara untuk menyelesai-

kannya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 43

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik di bidang kesehatan,

salah satunya adalah RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang

terletak di Jalan Jend. A. Yani Nomor 40 Wonogiri yang ditetapkan ijin

operasionalnya oleh Departemen Kesehatan pada tanggal 13 Januari 1956 sebagai

rumah sakit tipe D. Seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang

menghendaki adanya peningkatan kualitas pelayanan publik maka RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dituntut untuk mampu melakukan

penyesuaian secara berkesinambungan terhadap segala paradigma dan tuntutan

yang timbul, termasuk tuntutan perbaikan dalam hal pelayanan kesehatan.

Pembenahan pun dilakukan dengan kerja keras oleh keluarga besar RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang membawa peningkatan tipe

menjadi rumah sakit tipe C pada tanggal 11 Juni 1983. Pada tahun 1993, RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mendapat penghargaan dari organisasi

kesehatan dunia (WHO) sebagai rumah sakit sayang bayi.

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri berusaha

mengembangkan profesionalisme dengan menggunakan penerimaan operasional-

nya dalam meningkatkan mutu pelayanan dan sumber daya manusianya. Tahun

1996 keluarlah SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 554/MENKES

/SK/IV/1996 tanggal 5 Juni 1996 tentang Peningkatan Kelas Rumah Sakit yang

membuat RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang merupakan

rumah sakit milik pemerintah daerah tinggkat II Wonogiri menjadi rumah sakit

kelas B non pendidikan. Hal ini membuat Menteri Kesehatan Republik Indonesia

di tahun 1998 menerbitkan kembali Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.TM.02.03.3.5.5751 tentang pemberian status akreditasi penuh

kepada Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Wonogiri karena telah memenuhi

standar pelayanan rumah sakit yang meliputi : administrasi manajemen, pelayanan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan dan rekam medik. Pada

tahun 2002 terbitlah sertifikat akreditasi penuh tingkat lanjut dari Departemen

Kesehatan Republik Indonesia No. YM.00.03.2.2.993 untuk rumah sakit Wonogiri

yang telah memenuhi standar pelayanan yang meliputi administrasi manajemen,

pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, rekam medik,

farmasi, K3, Radiologi, Laboratorium, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi di

rumah sakit, dan perinat risiko tinggi.

Tahun 1998, RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

mengajukan penilaian mutu terhadap 5 bidang yang kemudian pada tahun 2001

disempurnakan dengan mengajukan penilaian mutu 12 bidang pelayanan yang

disetujui oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, meliputi:

1. Administrasi dan manajemen

2. Pelayanan medis

3. Gawat Darurat

4. Keperawatan

5. Rekam medik

6. Farmasi

7. Keselamatan kerja, kebakaran, dan kewaspadaan bencana

8. Radiologi

9. Laboratorium

10. Kamar operasi

11. Pengendalian Infeksi nosokomial

12. Perinat risiko tinggi

Upaya ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas

pelayanan bagi pasien maupun masyarakat di Kabupaten Wonogiri dan sekitarnya.

Keinginan. Keinginan terhadap perbaikan mutu pelayanan merupakan kebutuhan

mutlak bagi institusi pelayanan publik seperti rumah sakit

a. Visi, Misi, Motto, Tugas Pokok dan Fungsi Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

a. Visi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Rumah sakit unggulan yang diminati masyarakat

b. Misi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

1) Meningkatkan dan mengembangkan kompetensi Sumber Daya

Manusia yang sesuai dengan standar kompetensi unggulan

2) Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan sesuai dengan standar

mutu pelayanan dan tuntutan kebutuhan masyarakat.

3) Memberikan pelayanan yang bermutu, efisien, efektif, adil, dan

terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

4) Mengelola keuangan secara rasional dan proporsional dalam rangka

efektifitas dan efisiensi dengan penerapan sistem akuntabilitas publik

yang bisa dipertanggungjawabkan secara profesioanal.

c. Motto RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Melayani dengan Hati

d. Tugas Pokok RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mempunyai tugas

pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan upaya

penyembuhan, pemulihan, peningkatan, pencegahan, pelayanan rujukan,

penelitian dan pengembangan serta pelayanan masyarakat.

e. Fungsi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

1) Perumusan kebijakan teknis bidang pelayanan kesehatan.

2) Pelayanan penunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di

bidang pelayanan kesehatan.

3) Penyusunan rencana dan program, monitoring, evaluasi, dan pelaporan

bidang pelayanan kesehatan.

4) Pelayanan medik

5) Pelayanan penunjang medik

6) Pelayanan keperawatan

7) Pelayanan rujukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

8) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan

9) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pengabdian

masyarakat.

10) Pengelolaan keuangan dan akuntansi

11) Pengelolaan urusan kepegawaian, hukum, hubungan masyarakat,

organisasi dan tata laksana, serta rumah tangga, perlengkapan dan

umum.

12) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas

pokok dan fungsinya.

2. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri

Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, mempunyai

berbagai fasilitas pelayanan yang ditujukan guna memberikan pelayanan

kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Fasilitas pelayanan yang ada di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan rawat jalan, terdiri dari :

1) Klinik anak

2) Klinik bedah umum

3) Klinik kebidanan dan kandungan

4) Klinik kulit dan kelamin

5) Klinik mata

6) Klinik penyakit dalam

7) Klinik saraf

8) Klinik THT

9) Klinik paru

10) Klinik fisioterapi

11) Klinik gigi dan mulut

12) Klinik umum

13) Klinik orthopedi

b. Pelayanan penunjang, terdiri dari:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

1) Laboratorium

2) Farmasi/apotik

3) Radiologi

4) Gizi

5) Pemulasaraan jenazah

6) Laundry

7) Sterilisasi

8) Kerohanian

9) Kasir

10) Pelayanan informasi

11) Rekam medik

12) Ambulance

c. Pelayanan Emergency, yakni berupa Instalasi Gawat Darurat (IGD) 24

jam

d. Instalansi bedah sental

e. Ruangan khusus, terdiri dari:

1) Ruang ICU

2) Ruang perinatal risiko tinggi

3) Kamar bersalin

4) Ruang isolasi

5) Ruang intermediate care

f. Pelayanan rawat inap, terdiri dari:

1) Ruang Pavilium

2) Ruang VIP

3) Ruang kelas I

4) Ruang kelas II dan III

g. Peralatan penunjang kesehatan, terdiri dari:

1) EKG (Rekam Jantung)

2) EEG (Rekam Otak)

3) USG

4) Slit lamp (Pemeriksaan dalam bola mata)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

5) Audiometri fungsi (Pemeriksaan fungsi pendengaran)

6) Elektro Cauteriasi

7) Brain Mapping dan EMG

8) Treadmill

9) Infant Incubator

10) Mobile X Ray

11) Ventilator

12) Mammografi

13) DC Shock

14) Respiator

15) Fluroscopy

16) Dan peralatan lainnya yang memadai

3. Tenaga Profesional Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri

Tenaga profesional yang ada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri, terdiri dari tenaga kerja dalam jabatan struktural, dokter baik

itu dokter umum maupun dokter spesialis, tenaga kerja berstatus Pegawai

Negeri Sipil dan Tenaga kontrak yang kesemuanya akan dijabarkan sebagai

berikut:

a. Jabatan Struktural, terdiri dari:

1) Direktur

2) Wakil Direktur Umum dan Keuangan

3) Wakil Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik

b. Dokter, terdiri dari:

1) Dokter Umum yang berjumlah 12 orang

2) Dokter Spesialis yang berjumlah 23 orang

c. Pegawai Negeri Sipil, yang sesuai pangkat dan golongan secara umum

berjumlah 437 orang yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Tabel 1 Data PNS RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri Tahun 2011

No. PANGKAT/GOLONGAN JUMLAH

1. Pembina Muda/IVc 3

2. Pembina Tingkat I/IVb 10

3. Pembina/Iva 10

4. Penata Tingkat I/IIId 46

5. Penata/IIIc 50

6. Penda Tingkat I/IIIb 58

7. Penda/IIIa 40

8. Pengatur Tingkat I/IId 50

9. Pengatur/Iic 95

10. Pengatur Tingkat I/IIb 14

11. Pengatur Muda/IIa 36

12. Juru Tingkat I/Id 1

13. Juru/Ic 12

14. Juru Muda Tingkat I/Ib -

15. Juru Muda/Ia 12

Jumlah 437

Sumber Data : RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

d. Tenaga kontrak yang berjumlah 94 orang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri mempunyai

struktur organisasi yang rapi dan terorganisir sehingga dapat terwujud tertib

administrasi. Hal ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap pelayanan

kesehatan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri yang akan

senantiasa menjadi lebih lancar, profesional, bermutu, dan terjangkau oleh

segenap lapisan masyarakat.

Dasar dari dibentuknya struktur organisasi RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri, yaitu:

1. Kep. Menkes RI No. 1747/Menkes/SK/XII/2000 , tentang : Pedoman

Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kab / Kota.

2. Kep. Menkes RI No. 1045/Menkes/PER/XI/2006, Tentang : Pedoman

Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan

3. Lampiran XXV Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 11 tahun

2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Struktur Organisasi RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

G

amba

r 2:

BA

GA

N O

RG

AN

ISA

SI R

UM

AH

SA

KIT

UM

UM

DA

ER

AH

Dr.

SO

ED

IRA

N M

AN

GU

N S

OE

MA

RSO

Su

mbe

r da

ta:

RSU

D d

r. S

oedi

ran

Man

gun

Sum

arso

Kab

. Won

ogir

i

DIR

EK

TU

R

D

r.S

ET

YA

RIN

I,MK

es.

WA

KIL

DIR

EK

TU

R

PE

LAY

AN

AN

DA

N P

EN

UN

JAN

G M

ED

IK

Dr.

BA

MB

AM

G E

SW

WA

KIL

DIR

EK

TU

R

UM

UM

DA

N K

EU

AN

GA

N

SR

I R

ED

JEK

I UT

AM

I, S

H,M

H

KA

. BA

GIA

N U

MU

M

S

UY

ON

O,S

.IP,M

M

KA

. BID

AN

G

PE

NU

NJA

NG

ME

DIK

D

r. H

ER

I TR

IYO

NO

,MM

.

KA

. BID

AN

G

PE

LAY

AN

AN

ME

DIK

D

r. A

DH

I DH

AR

MA

, MM

KA

. B

IDA

NG

P

ER

AW

AT

AN

H

AR

YO

NO

, SK

M.S

Ke

p

KA

. BA

GIA

N K

EU

AN

GA

N

S

UT

OP

O, S

H.M

M.

KA

. BA

GIA

N

PE

RE

NC

AN

AA

N P

RO

GR

AM

D

ra. R

HO

DIY

AH

, MM

.

KA

. SU

B B

AG

IAN

H

UK

UM

, HU

BU

NG

AN

M

AS

YA

RA

KA

T

DA

N

PE

RP

US

TA

KA

AN

W

AR

SIT

O,S

H

KA

. S

UB

BA

GIA

N

PE

NY

US

UN

AN

P

RO

GR

AM

, PE

LAP

OR

AN

D

AN

EV

AL

UA

SI (

PP

E )

ES

TE

RIA

RIN

I P

UD

YA

ST

UT

I,S

KM

.MM

.

KA

.SU

B B

AG

IAN

R

EK

AM

ME

DIK

S

UW

AR

SO

NO

, S

KM

.MS

i.

KA

. S

UB

BA

GIA

N

TA

TA

US

AH

A

N

UR

DIY

AT

MI,

SE

KA

. SU

B B

AG

IAN

K

EP

EG

AW

AIA

N

JOK

O S

UG

IYA

NT

O, S

E,M

M

KA

. SU

B B

AG

IAN

R

UM

AH

TA

NG

GA

DA

N

PE

RL

EN

GK

AP

AN

S

UL

AR

NO

, S.S

os.

KA

. SU

B B

AG

IAN

A

NG

GA

RA

N

N

UN

IK H

AR

YU

NI,

S.S

TP

.MM

KA

. S

UB

BA

GIA

N

PE

RB

EN

DA

HA

RA

AN

ISB

AN

DIA

H

HA

ST

UT

I, S

.So

s

KA

. SU

B B

AG

IAN

V

ER

IFIK

AS

I D

AN

P

ELA

PO

RA

N

Dra

. SR

I RE

JEK

I

SE

KS

I ET

IKA

, M

UT

U

KE

PE

RA

WA

TA

N D

AN

K

EB

IDA

NA

N

A

GU

S S

UT

AR

TO

, S.K

ep

KA

. S

EK

SI A

SU

HA

N

KE

PE

RW

TN

DA

N K

EB

ID.

S

ITI M

AW

AR

NI,

S.K

ep

SE

KS

I I

NF

EK

SI N

OS

OK

OM

IAL

D

AN

LO

UN

DR

Y

JHO

NY

BU

NT

OR

O,

SK

M

SE

KS

I A

LAT

KE

SE

HA

TA

N

S

UT

IYO

NO

, A

md

.KL

INS

TA

LAS

I B

ED

AH

C

EN

TR

AL

KE

LO

MP

OK

JA

BA

TA

N

FUN

GS

ION

AL

DA

SA

R :

1.

Ke

p. M

enke

s R

I N

o. 1

747/

Men

kes/

SK

/XII

/200

0 ,

tent

ang

: P

edo

ma

n S

tand

ar

Pe

laya

nan

Min

imal

dal

am

Bid

ang

Kes

ehat

an d

i Kab

/ K

ota

. 2.

K

ep.

M

enke

s R

I N

o.

1045

/Men

kes/

PE

R/X

I/20

06,

Te

ntan

g :

Pe

dom

an

Org

ani

sasi

Rum

ah

Sak

it d

i Lin

gkun

gan

Dep

arte

me

n K

ese

hata

n

IN

ST

AL

AS

I

INS

TA

LA

SI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Keterangan:

Berdasarkan gambar struktur organisasi RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri, secara umum dapat dijelaskan bahwa Direktur membawahi:

1. Wakil Direktur Umum dan Keuangan

a) Bagian Umum

b) Bagian Perencanaan Program

c) Bagian Keuangan

2. Wakil Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik

a) Bidang Perawatan

b) Bidang Pelayanan Medik

c) Bidang Penunjang Medik

3. Kelompok Jabatan Fungsional

Berikut pemaparan tugas dan wewenang masing-masing :

1. Tugas dan Wewenang Direktur RSUD, yaitu :

a) Memimpin dan mengurus RSUD sesuai dengan tujuan Pola Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD) RSUD dengan

senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil guna

b) Memelihara, menjaga, dan mengelola kekayaan Badan Layanan Umum

Daerah (BLUD) RSUD.

c) Mewakili Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD di dalam dan di

luar pengadilan, dan menetapkan peraturan, pedoman, petunjuk teknis,

dan prosedur tetap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD

d) Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengelola Badan

Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD sebagaimana digariskan oleh

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD)

RSUD

e) Menetapkan kebijakan operasional Badan Layanan Umum Daerah

(BLUD) RSUD.

f) Menyiapkan Rencana Strategis Bisnis (RBS) dan Rencana Bisnis

Anggaran (RBA) Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

g) Mengadakan dan memelihara pembukuan serta administrasi sesuai

ketentuan yang berlaku bagi RSUD yang melaksanakan Badan Layanan

Umum Daerah (BLUD)

h) Menetapkan oraganisasasi pendukung dan organisasi pelaksana dengan

uraian tugas masing-masing

i) Mendelegasikan sebagian kewenangan kepada jajaran di bawahnya

j) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian PNS sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku

k) Menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pegawai

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku

l) Menyiapkan laporan tahunan dan laporan berkala

m) Mendatangkan ahli, profesional, konsultan, atau lembaga independen

manakala diperlukan

n) Menandatangani perjanjian dengan pihak lain untuk jenis perjanjian yang

bersifat teknis operasional pelayanan

o) Meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dari semua wakil

direktur Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD

p) Menyampaikan dan mempertanggungjawabkan kinerja operasional serta

keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD

q) Memberikan penghargaan pegawai, karyawan, dan profesional yang

berprestasi tanpa atau dengan uang yang besarnya tidak melebihi

ketentuan yang berlaku

r) Memberikan sanksi yang bersifat mendidik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Tugas dan Kewenangan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD, yaitu:

a) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang umum

b) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang perencanaan program

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

c) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang keuangan

d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Direktur sesuai dengan tugas

dan fungsinya

3. Tugas dan Kewenangan Direktur Pelayanan dan Penunjang Medik RSUD,

yaitu :

a) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang perawatan

b) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang pelayanan medik

c) Pengkoordinasian perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan

pelayanan administrasi dan teknis di bidang penunjang medik

d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Direktur sesuai dengan tugas

dan fungsinya

4. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan jabatan

fungsional masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

B. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik antara Dokter dan Pasien di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Sebelum perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien dilaksanakan,

tentunya setiap pasien yang hendak berobat di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri harus melalui tahap-tahap/prosedur yang ada di RSUD.

Hal ini dimaksudkan demi kelancaran dalam proses pelayanan kesehatan terhadap

pasien. Dalam menjalankan tugasnya sebagai sarana kesehatan, setiap rumah sakit

mempunyai prosedur-prosedur tersendiri dalam penanganan terhadap setiap pasien

yang datang untuk berobat termasuk juga yang ada di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri.

1. Penerimaan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri, prosedur dalam penanganan terhadap pasien yang datang untuk berobat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

yakni setiap pasien yang datang ke RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri diwajibkan untuk melakukan pendaftaran. Pada tahap inilah

pasien/keluarga pasien telah bersepakat untuk memulai hubungan perjanjian

terapeutik dengan dokter yang akan merawat nantinya. Bahwa pasien/keluarga

pasien yang mendaftar telah bersepakat untuk dilakukan tahap selanjutnya yaitu

tahap penyembuhan dimana pada tahap ini pasien nantinya akan berhubungan

dengan dokter sebagai pihak yang melayani dalam upaya penyembuhan atas suatu

penyakit yang diderita pasien. Saat pasien bertemu dengan dokter dalam upaya

untuk penyembuhan penyakit pasien dan dokter telah bersedia untuk memberikan

upaya pelayanan kesehatan kepada pasien, maka saat itulah perjanjian terapeutik

terjadi. Guna memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pelaksanaan

perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri,

maka penulis akan menjelaskan mengenai prosedur pasien rawat jalan dan pasien

rawat inap.

Berikut penjelasan mengenai prosedur pasien rawat jalan di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri:

a. Setiap pasien yang datang sendiri atau atas dasar rujukan wajib mendaftar

terlebih dahulu. Dari tahap pendaftaran inilah dapat diketahui bahwa

pasien/keluarga pasien telah bersedia melakukan pengobatan di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso. Melalui pendaftaran tersebut, pasien/keluarga

pasien juga telah mengikatkan dirinya dalam sebuah instansi sebelum

melakukan tahap penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Melalui proses

mendaftar pula pihak rumah sakit telah bersedia memberikan pelayanan

kepada pasien dengan menunjuk dokter sesuai dengan keluhan penyakit

pasien dan memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur-prosedur

yang ada di rumah sakit sehingga pasien bisa bertemu langsung dengan dokter

untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyakit yang diderita pasien dan saat

itulah perjanjian terapeutik terjadi. Apabila pasien menggunakan kartu

Asuransi Kesehatan (Askes) atau dengan kartu Asuransi Keluarga Miskin

(Askin), pendaftaran perlu menggunakan syarat-syarat dengan menyertakan :

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

1) Kartu Askes atau Askin yang mencantumkan nama pasien yang

dikeluarkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati atau Walikota.

2) Surat keterangan tidak mampu, legalisir sampai tingkat kecamatan.

3) Surat rujukan dari puskesmas

4) Kartu keluarga

b. Pasien/keluarga pasien kemudian mendapat pengarahan dari pihak rumah

sakit yakni apabila sebelumnya pasien pernah berobat di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso, maka akan diambilkan rekor medik (RM) yang lama.

Apabila pasien belum pernah berobat maka akan dibuatkan nomor register

rekam medik untuk dibuatkan rekor medik yang baru. Rekor medik

merupakan catatan kesehatan pasien yang disimpan di bagian rekam medik

yang digunakan sewaktu-waktu apabila pasien atau dokter membutuhkan.

c. Setelah mendapat penjelasan dari pihak rumah sakit, pasien akan diantarkan

ke bagian poliklinik (Poli) atau Instalasi Gawat Darurat (IGD) tergantung dari

jenis penyakit pasien. Di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri, ada berbagai Poli yang dipisahkan sesuai dengan jenis penyakit dan

tiap Poli sudah disediakan dokter yang menangani jenis penyakit tertentu

sesuai dengan bidangnya masing-masing.

d. Di Poliklinik atau di UGD, pasien ditangani langsung oleh dokter dengan

dibantu perawatnya kemudian dokter akan menanyakan kondisi atau keluhan

penyakit yang diderita oleh pasien dan pasien wajib memberikan penjelasan

mengenai penyakit maupun keluhan yang dirasakannya secara jelas dan

lengkap, baru kemudian dokter berkewajiban memberikan infomasi yang jelas

dan lengkap juga mengenai ihwal penyakit yang diderita pasien tersebut

dengan segala akibat yang dapat diperhitungkan menurut ilmu kedokteran

dalam perawatannya. Dalam mengambil keputusan, pasien/keluarga pasien

memerlukan informasi yang lengkap mengenai diagnosisnya, perawatannya,

risiko yang mungkin terjadi dan ramalan tentang penyakitnya dengan istilah-

istulah yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga memudahkan pasien/

keluarga pasien untuk menentukan sikap. Apabila pasien menerima/memberi

ijin untuk dirawat, maka suatu persetujuan medis akan timbul dan kedua belah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

pihak telah sepakat untuk dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu tahap

pengobatan dan dokter akan segera melaksanakan pemeriksaan/pengobatan

terhadap penyakit pasien. Apabila pasien menolak maka proses pengobatan

tidak terjadi. Proses pengobatan juga tidak terjadi apabila dokter tidak

sanggup menangani penyakit pasien sehingga pasien bisa di rujuk ke rumah

sakit lain.

e. Pasien/keluarga pasien yang setuju untuk dilakukan tahap pengobatan oleh

dokter nantinya akan menerima informasi dari hasil anamnesa atas

penyakitnya dan harus mengikuti saran dokter mengenai obat dan pasien

boleh pulang dalam keadaan sembuh total atau mungkin perlu berobat ulang.

Sebagai contohnya yakni : Pasien X datang ingin berobat, Pasien X harus

mendaftarkan dirinya terlebih dahulu yang artinya siap untuk melakukan

pengobatan di Rumah Sakit. Pasien X mendaftar untuk mencabut giginya yang

sakit. Dari pihak rumah sakit, pasien akan dibawa ke Poli gigi. Pasien kemudian

bertemu dengan dokter dan menjelaskan bahwa giginya sedang sakit. Dokter

kemudian memeriksa penyebab gigi yang sakit tersebut dan menurut hasil

pemeriksaan ternyata giginya berlubang sehingga agar menghilangkan rasa sakit

tersebut maka giginya harus dicabut. Dokter bersedia mencabut gigi pasien X

apabila keduanya sudah melakukan kesepakatan. Pasien X sepakat untuk dicabut

maka dokter pun mencabut gigi dari pasien X tersebut. Sakit gigi pasien X sudah

hilang maka pasien pun diperbolehkan pulang dalam keadaan sembuh.

Prosedur pasien rawat inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap alur pasien rawat inap berlangsung setelah dokter bertemu dengan

pasien/keluarga pasien dan memeriksa penyakit pasien yang setelah diperiksa,

pasien dinyatakan harus mendapat perawatan yang intensif sehingga pasien

harus dirawat di rumah sakit.

b. Pasien/keluarga pasien akan menerima surat permintaan untuk dirawat dari

pihak rumah sakit. Dalam melakukan rawat inap diperlukan persetujuan dari

pasien/keluarga pasien dan dokter yang bersangkutan, dimana sebelumnya

pihak pasien/keluarga pasien akan diberikan penjelasan mengenai prosedur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

dan biaya-biaya serta peraturan-peraturan yang terkait yang ada di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Setelah pasien/keluarga pasien

menyetujui untuk dilakukan rawat inap maka pasien/keluarga pasien akan

menandatangani surat permintaan untuk dirawat dan menyerahkannya di

tempat penerimaan pasien rawat inap kemudian oleh pihak rumah sakit akan

dibuatkan rekor medik (RM) rawat inap.

c. Setelah terjadi kesepakatan antara pihak pasien/keluarga pasien dengan pihak

rumah sakit maka pasien dibawa ke ruang perawatan untuk mendapat

pengobatan selanjutnya. Apabila pasien tidak bersedia dirawat di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, maka pasien bisa dirujuk ke

rumah sakit lain. Selama perawatan, bila kondisi pasien segera membaik maka

pasien diperbolehkan pulang dalam keadaan sembuh total atau perlu berobat

ulang.

Dari keterangan mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi

melalui proses penerimaan pasien dari pasien rawat inap maupun yang rawat jalan,

dapat diketahui bahwa hubungan perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien

dilakukan sebagai upaya pelayanan medis terhadap pasien atas segala keluhan

penyakit yang diderita dimana dokter akan berupaya semaksimal mungkin untuk

menemukan terapi yang paling tepat terhadap penyakit pasien. Perjanjian

terapeutik terjadi saat pasien/keluarga pasien bertemu dengan dokter dan sepakat

untuk melakukan tindakan medis atau pengobatan. Kesepakatan diantara kedua

belah pihak tersebut dinyatakan dalam suatu persetujuan tindakan medik (informed

consent)

2. Persetujuan Tindakan Medik (informed consent) dalam Perjanjian

Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan disebut dengan istilah persetujuan tindakan kedokteran.

Istilah ini dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes

/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Permenkes

tersebut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan

secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

am pengertian umum Persetujuan tindakan medik

(informed consent) adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan

kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk

lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses

komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang

akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter).

Ada 2 (dua) bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu (Endang Kusuma Astuti,

2009 : 141-142) :

a. Implied Consent (dianggap diberikan)

1) Dalam Keadaan Normal

Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat,

tanpa pernyataan tegas. Umumnya tindakan dokter yang membutuhkan

implied consent ini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah

diketahui umum biasanya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter

dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang

diberikan/dilakukan pasien. Misalnya pasien yang akan disuntik atau

diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai

tanda persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya

2) Dalam Keadaan Darurat (emergency)

Demikian pula dalam keadaan darurat (emergency) sedangkan dokter

memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa

memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter

dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Hal ini

didasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/

Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa

Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau

mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

Seperti kasus sesak nafas, henti nafas atau henti jantung maupun akibat

kecelakaan. Jenis persetujuan ini disebut sebagai presumed consent, artinya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

bila pasien dalam keadaan sadar dianggap akan menyetujui tindakan medis

yang akan dilakukan dokter.

b. Expressed Consent (dinyatakan)

Expressed Consent adalah adalah persetujuan yang dapat dinyatakan secara

lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan biasanya diperlukan untuk tindakan

medis yang tidak mengandung risiko tinggi yang diberikan oleh pihak pasien,

misalnya : pengambilan darah untuk laboratorium. Dalam tindakan medis

yang bersifat invasive dan mengandung risiko, seperti tindakan pembedahan

dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan tindakan medik secara tertulis.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suwarsono, SKM.,Msi selaku

Ka.sub.bagian Rekam Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 Pukul 10.25 WIB, bahwa semua

tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

Persetujuan ini bisa tertulis maupun lisan tergantung dari risiko tindakan medis

yang diambil. Untuk pemberian persetujuan tindakan medik (informed consent)

secara tertulis di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri hanya

diberikan kepada para pasien yang menjalani rawat inap yang mana dalam upaya

pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya pihak dokter setempat harus

mengambil tindakan yang berisiko tinggi karena harus dioperasi maupun dengan

pemasangan alat bantu kesehatan yang lainnya sehingga keberadaan persetujuan

tindakan medis sangat diperlukan. Persetujuan tindakan medik terhadap pasien di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri dilakukan dalam bentuk

tertulis dan sudah dibakukan dalam bentuk formulir. Hal ini dimaksudkan demi

kelancaran pelaksanaan persetujuan tindakan medik, memudahkan pengarsipan

atas catatan medik seorang pasien dan untuk keperluan administrasi. Dengan

adanya bentuk baku ini, tentu akan menghemat waktu sebab antara dokter dan

pasien tidak perlu terjadi proses tawar menawar yang berkepanjangan selain itu

dalam kondisi-kondisi tertentu memang dibutuhkan persetujuan tindakan medik

dari pasien dengan cepat sehingga dengan bentuk baku ini akan mempercepat

dalam upaya dokter untuk segera melakukan tindakan medik terhadap pasien.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Tujuan dari persetujuan tindakan medik ini adalah untuk memberikan

kepastian hukum bagi pasien maupun dokter/tenaga kesehatan lainnya. Bagi pasien

adanya persetujuan tindakan medik berguna untuk melindungi pasien terhadap segala

tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan agar pasien mendapat

pelayanan kesehatan secara optimal dari dokter/tenaga kesehatan yang menanganinya.

Bagi pihak dokter, adanya persetujuan tindakan medik berguna sebagai alat bukti

terhadap setiap tindakan medik yang telah dilakukan bila dikemudian hari ada

tuntutan dari pasien. Selain itu, dibuatnya bentuk baku dalam formulir persetujuan

maupun penolakan tindakan medik tentu dimaksudkan agar didalamnya dimuat suatu

klausula atau syarat eksonerasi yakni syarat-syarat yang membatasi atau

membebaskan tanggung jawab salah satu atau perseorangan dalam melaksanakan

perjanjian. Adanya klausula atau syarat eksonerasi ini tentu akan sedikit

menguatkan kedudukan dokter sebab di dalam formulir persetujuan tindakan

medik, pasien bersedia menanggung segala risikonya sehingga bila apabila dalam

tindakan medik yang dilakukan terjadi risiko medik yang timbul maka pasien tidak

akan menuntut pihak dokter. Begitu pula dalam formulir penolakan persetujuan

tindakan medik, atas penolakan tersebut pasien tidak akan menuntut siapapun bila

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Persetujuan tindakan medik (informed consent) yang berwujud baku ini

isinya dibuat oleh pihak rumah sakit sendiri sehingga pasien/keluarga pasien

tinggal menandatanganinya saja untuk memperoleh persetujuan dilakukan

tindakan medis atau tidak. Walaupun konsep dari perjanjian baku cinderung tidak

menguntungkan salah satu pihak karena telah dibuat dan ditetapkan oleh pihak

yang kuat dan di dalamnya terdapat klausula atau syarat eksonerasi, namun dalam

hal pemberian upaya pelayanan kesehatan, maka pihak pasien/keluarga pasien

tetap harus menerima konsekuensi ini demi kelancaran dalam upaya penyembuhan

penyakit pasien.

Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya

merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini

juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis

pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perjanjian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya perjanjian

terapeutik dapat dilakukan pasien dengan menunjukkan kartu berobat, mengajukan

arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent)

yang diberikan oleh pasien.

Menurut penjelasan dari Bapak Suwarsono, SKM.,Msi bahwa prosedur

pemberian persetujuan tindakan medis (informed consent) di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri berdasarkan pada Standart Prosedur Operasional

Tetap Tindakan Medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

tertanggal 17 Juni 2011. Pemberlakuan Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Medik

(infomed consent) di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Realisasi persetujuan tindakan medik harus selalu didahului dengan suatu

perjanjian yaitu perjanjian terapeutik yang merupakan hubungan kontrak

antara dokter dengan pasien yang berawal dari hubungan kepercayaan dimana

nantinya akan melewati tahapan-tahapan sebagai proses dalam upaya

pelayanan medik yang akan dilakukan oleh dokter. Dalam setiap tahapnya

dibutuhkan adanya komunikasi antara pasien dengan dokter yang pada

hakekatnya didasarkan pada moral dan etik, baik oleh pasien maupun dokter.

Artinya bahwa komunikasi tersebut pasien harus dengan jujur menjelaskan

sejarah penyakit yang dideritanya, karena kesemuanya itu akan membantu

dokter dalam melakukan diagnosa sebelum tindakan terapi dilaksanakan.

b. Dokter memberikan informasi dan penjelasan secara lisan kepada pasien dan/

atau pihak keluarga dihadapan para saksi sesuai dengan penjelasan dari pasien

mengenai keluhan/penyakit yang dideritanya. Apabila berhalangan, informasi

dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter

lain/perawat yang dianggap mampu dengan sepengetahuan dokter yang

bersangkutan. Adapun isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan

dianggap cukup, jika paling sedikit ada enam hal pokok, yaitu :

1) Diagnosis penyakit dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis

yang akan dilakukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

2) Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan

tindakan medis yang akan dilakukan

3) Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin

terjadi

4) Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang

tersedia dan serta risikonya masing-masing

5) Informasi dan penjelasan tentang Prognosis (kemungkinan hasil

perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan

6) Perkiraan pembiayaan

c. Cara penyampaian informasi harus sesuai dengan tingkat pengetahuan pasien.

Seorang dokter harus menjaga agar penjelasan yang diberikan bisa mudah

dimengerti / dipahami pasien dan penjelasan yang diberikan tidak

menimbulkan rasa takut. Jika pasien dihinggapi rasa takut atau shock maka

informasi harus diberikan kepada keluarga terdekat.

d. Setelah pasien/pihak keluarganya mengerti betul tentang penjelasan yang

diberikan, pasien dan/atau keluarga menandatangani formulir persetujuan

tindakan medis atau penolakan tindakan medis. Cara pasien/pihak keluarga

menyatakan persetujuan dapat secara tertulis maupun lisan. Persetujuan secara

tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung risiko

tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis

yang tidak mengandung risiko.

e. Pihak yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak

tindakan medis, pada dasarnya yakni pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar

sepenuhnya. Menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut

peraturan perundang-undangan (diatas 21 tahun) atau telah/pernah menikah,

tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak

mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak

mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

bebas. Namun, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan,

persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga

terdekat, antara lain wali, kurator, suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak

kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk

menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah

pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan

penjelasan dan dibuat persetujuan.

f. Dokter (atau yang mendapat pelimpahan wewenang) maupun pasien/keluarga

dan para saksi dari kedua belah pihak yaitu dari pihak keluarga dan pihak

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri memberikan tanda

tangan baik itu menerima ataupun menolak tindakan medis ke dalam formulir

persetujuan tindakan medik ataupun penolakan tindakan medik setelah pihak

pasien/keluarga benar-benar memahami dan mengerti maksud dari penjelasan

yang telah diberikan oleh dokter. Pemberlakuan persetujuan ataupun

penolakan tindakan medik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri adalah berlaku sejak tanggal ditetapkan yang disaksikan oleh para

pihak terkait.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Lukminto selaku salah

seorang pasien rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2012 Pukul 11.35 WIB, bahwa sebagai salah

satu pasien rawat jalan, beliau sudah pernah memberikan suatu persetujuan

tindakan medik dan semuanya dirasa sudah sesuai dengan ketentuan. Pihak dokter

selalu memberikan segala informasi yang dibutuhkan terkait dengan tindakan

medik yang akan dilakukan disertai dengan segala macam alternatif tindakan yang

mungkin dilakukan. Semuanya hanya tinggal dari pasien itu sendiri, apakah mau

menunda, menolak, atau melanjutkan.

3. Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik dalam Pemenuhan Hak dan Kewajiban

Dokter dan Pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Setelah tahapan/prosedur dalam proses penerimaan pasien di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, baik itu pasien rawat jalan maupun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

rawat inap dilalui dan pasien sudah memberikan persetujuan tindakan medik

sebagai upaya dalam proses penyembuhan pasien maka perjanjian terapeutik dapat

dilaksanakan. Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik, tentu akan menimbulkan

hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien.

Hal tersebut menunjukkan adanya perikatan yang diatur dalam hukum perdata

tentang perikatan yang lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan

pasien menimbulkan prestasi dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-

masing pihak. Hak dan kewajiban dokter maupun pasien ini dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Hak dan

kewajiban dokter dapat dilihat dalam Pasal 50 dan 51. Dalam Pasal 50 Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, mengatur bahwa

seorang dokter mempunyai hak yakni :

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur

operasional;

c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;

dan

d. menerima imbalan jasa.

Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

Kedokteran, dokter mempunyai kewajiban yaitu:

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau

kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia

yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

atau kedokteran gigi.

Mengenai hak dan kewajiban pasien, dapat dilihat dalam pasal 52 dan 53

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yakni

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;

meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

menolak tindakan medis; dan

mendapatkan isi rekam medis.

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai

kewajiban :

memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan

memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

a. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Dokter dalam Pelaksanaan Perjanjian

Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban

dokter sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat saat

dokter bertemu dengan pasien dalam upayanya untuk memberikan jasa

pelayanan kesehatan terhadap pasien. Berdasarkan hasil wawancara Penulis

dengan dua orang dokter di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri yakni dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku dokter bedah umum

dan dr. Tri Budi Astuti selaku dokter umum pada hari Selasa tanggal 11 April

2012 pukul 12.23 WIB bahwa menurut penjelasan dari dr. Nugroho

Kusumawati, Sp.B pelaksanaan perjanjian terapeutik di klinik bedah umum

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri sudah dilaksanakan

dengan baik. Saat pasien bertemu dokter dengan segala keluhan penyakitnya,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

dokter telah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dokter senantiasa

membangun komunikasi dengan mengadakan tanya jawab terhadap pasien

guna memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai keluhan

penyakitnya, setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan terhadap pasien.

Apabila dokter dirasa mampu untuk memberikan pengobatan secara maksimal

terhadap penyakit pasien maka dokter akan merawat pasien dengan berbagai

upaya pengobatan yang ada sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.

Namun apabila dokter dirasa tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan/pengobatan maka dalam hal ini dokter tidak akan memaksakan

untuk terus merawat pasien sebab dokter tentunya harus melaksanakan

kewajibannya untuk merujuk pasien ke dokter/rumah sakit lain yang

mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik.

Hal yang sama juga disampaikan oleh dr. Tri Budi Astuti bahwa secara

keseluruhan dokter telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat

memenuhi hak-hak pasien. Seperti misalnya bila dalam keadaan darurat,

dokter juga telah memberikan pelayanan kesehatan secara maksimal dengan

langsung memberikan pertolongan sesuai dengan situasi maupun kondisi yang

ada. Dokter akan langsung segera melakukan berbagai upaya tindakan medik

tanpa perlu menunggu persetujuannya, demi kelangsungan hidup si pasien.

Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, terkait dengan pemenuhan hak dokter, pada

dasarnya semua sudah terpenuhi. Namun terkadang yang menjadi kendala

menurut penjelasan dari dr. Tri Budi Astuti yakni dalam hal hak dokter untuk

memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya

sebab terkadang pasien/keluarga pasien bersikap pasif dan terlalu meyerahkan

sepenuhnya kepada dokter yang merawat. Hal ini menurut beliau tidak hanya

dialami di klinik Umum semata tetapi mungkin juga dialami oleh Poliklinik

lainnya di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Selain itu,

pasien/keluarga pasien terkadang ada yang tidak jujur dan tidak jelas dalam

memberikan informasi mengenai keluhan penyakitnya sehingga dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

pelaksanaannya dokter harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan

pasien agar dokter dalam menjalankan kewajibannya tidak salah dalam

mendiagnosa penyakit maupun salah melakukan terapi.

b. Pemenuhan Hak dan Kewajiban Pasien dalam Pelaksanaan Perjanjian

Terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

Pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri dalam kaitannya dengan pemenuhan hak dan

kewajiban pasien ini sudah berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan

penjelasan dari dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B selaku dokter bedah umum

bahwa dalam setiap tindakan medik yang dilakukan, dokter sudah memenuhi

hak-hak yang dimiliki pasien dan ini dirasa sudah dilakukan oleh seluruh

dokter yang bertugas di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri.

Hal ini dapat dilihat saat dokter meminta persetujuan tindakan medik kepada

pasien, dimana dokter sudah memberikan penjelasan yang lengkap mengenai

tindakan medik yang dilakukan, berupa informasi dan penjelasan mengenai

diagnosis penyakit, tata cara tindakan medik yang akan dilakukan, risiko dan

komplikasi yang mungkin terjadi, alternatif tindakan medik lain, kemungkinan

hasil perawatan, maupun perkiraan biayanya. Dokter tidak pernah

memaksakan kepada pasien untuk harus menuruti kehendak/keinginannya

sebab dokter juga harus menghargai adanya hak menolak dari pasien. Hal ini

juga telah dilakukan oleh pihak rumah sakit dengan memberikan formulir

penolakan tindakan medik apabila pasien/keluarganya tidak bersedia

melakukan tindakan medik. Selain itu dokter juga telah memberikan

kesempatan kepada pasien bila ingin meminta pendapat dari dokter lain

(second opinion) terkait dengan pengobatan yang akan dilakukan. Dalam

setiap prosedur pelayanan maupun tindakan medik yang telah dilakukan di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, semuanya telah dicatat

dalam suatu catatan rekam medis, dimana saat pasien dinyatakan sembuh atau

perlu dirujuk ke dokter/rumah sakit lain, pasien akan mendapatkan isi rekam

medis tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Berdasarkan pejelasan tersebut, Penulis mencoba mengkonfirmasi

dengan keterangan pihak pasien melalui hasil wawancara pada hari Kamis

tanggal 12 April 2012 pukul 12.20 WIB dengan Bapak Suswandi selaku

mantan pasien yang pernah menjalani rawat inap di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, bahwa menurut pengalamannya menjalani

rawat inap selama satu minggu ternyata dokter sudah memenuhi hak-hak dari

pasien. Dokter di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri selalu

mengkomunikasikan segala sesuatunya dengan pasien/keluarga pasien mulai

dari pemilihan obat, pemasangan alat, maupun tahap terapi yang harus

dijalani. Hal yang menjadi permasalahannya menurut Bapak Suswandi yakni

tingkat pemahaman dari pasien ini yang masih relatif rendah sehingga

membuat pasien hanya selalu menyetujui apapun tindakan medik yang

dilakukan karena menganggap bila tidak dituruti akan membuat semakin

lamanya kesembuhan pasien padahal sebenarnya pasien memiliki hak untuk

memilih alternatif lain bila ia menghendaki.

Guna mencapai tujuan dari perjanjian terapeutik itu sendiri, tentunya

dalam pelaksanaanya, pasien harus menjalankan kewajibannya agar hubungan

timbal balik dalam perjanjian terapeutik itu dapat berjalan dengan baik. Hal

ini penting karena semaksimal apapun upaya penyembuhan yang telah

dilakukan oleh dokter akan sangat percuma bila pasien sendiri tidak

melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian terapeutik. Pada saat pasien

bertemu dengan dokter untuk berobat, pasien harus memberikan informasi

yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, kemudian setelah

dokter melakukan pemeriksaan, pasien juga harus mematuhi nasihat dan

petunjuk dokter. Apalagi bila pasien harus di rawat di rumah sakit, maka

pasien juga harus mematuhi ketentuan yang berlaku di rumah sakit dan

memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri secara keseluruhan, dokter sebenarnya telah

berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan kesembuhan dari pasien,

begitu juga sebaliknya. Pasien juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

mewujudkan kesembuhannya dengan senantiasa memenuhi kewajiban yang

harus dilakukan. Akan tetapi terkadang pasien dalam memberikan informasi

mengenai masalah kesehatannya tidak begitu lengkap dan cinderung bersikap

tertutup atau mungkin tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat

penyakit yang telah dideritanya. Hal inilah yang membuat upaya pelayanan

kesehatan yang diberikan sedikit mengalami kendala sehingga dokter harus

melakukan diagnosa dan pemeriksaan secara lebih teliti berdasarkan

kemampuan, keahlian dan pengalamannya. Selain itu terkadang pasien juga

sering lupa dalam melaksanakan nasihat dokter sehingga memperlama proses

penyembuhan penyakit pasien. Hal ini dapat dilihat pada saat pasien harus

mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan dosis yang berbeda-beda dimana

pasien seringkali lupa untuk meminum obat tersebut.

Menurut penjelasan dari dr. Nugroho Kusumawati, Sp.B bahwa dalam

proses pengobatan, apabila pasien beserta keluarga telah memberikan

persetujuan tindakan medis, dokter tidak dibenarkan untuk memutuskan

hubungan secara sepihak sebelum hubungan terapeutik berakhir kecuali

dengan alasan yang benar-benar selektif sekali. Sedangkan untuk pasien,

berdasarkan asas kepatutan dan kebiasaan dapat sewaktu-waktu memutuskan

hubungan secara sepihak. Hal ini dapat dilakukan karena tujuan yang hendak

dicapai dari perjanjian terapeutik adalah untuk kepentingan pasien itu sendiri

sehingga apabila dalam upaya dokter untuk menyembuhkan penyakit dari

pasien ternyata pasien sudah tidak percaya lagi terhadap kemampuan dokter

maka tidak ada gunanya jika memaksakan pasien untuk terus ditangani oleh

dokter yang bersangkutan sebab kondisi yang seperti itu akan menyebabkan

pasien tidak lagi bersikap kooperatif. Padahal keberhasilan pengobatan sangat

dipengaruhi oleh keyakinan/kepercayaan pasien terhadap dokter dan sikap

kooperatif dari pasien itu sendiri. Meski dokter sudah tidak percaya lagi,

namun dokter tetap mempunyai kewajiban moral untuk mengingatkan pasien

akan pentingnya meneruskan pengobatan ke dokter atau rumah sakit lain serta

menyerahkan catatan yang penting (rekam medis) kepada pasien agar dapat

diteruskan kepada dokter atau rumah sakit yang baru.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

C. Permasalahan yang Ditemukan dalam Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta Upaya

Penyelesaiannya

Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri tentunya tidak terlepas dari adanya suatu permasalahan yang

bisa saja terjadi. Adanya permasalah inilah yang patut untuk dikaji dan dicari

penyebabnya agar dapat segera diupayakan penyelesaiannya. Hal ini sangat penting

guna memperlancar pelaksanaan dari perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien

hingga tercapai tujuan dari perjanjian tersebut yakni memberikan pelayanan

kesehatan yang optimal melalui usaha semaksimal mungkin dalam upaya

penyembuhan penyakit pasien.

Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai permasalahan yang ditemui dalam

pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab.

Wonogiri, maka untuk memantapkan konsep dan pengertian, terlebih dahulu penulis

akan menjelaskan mengenai arti permasalahan itu sendiri. Permasalahan menurut

uatu yang bisa menjadikan masalah dalam

suatu kegiatan sehingga dapat menghambat proses dari kegiatan tersebut. Dalam

konteks penulisan ini yakni segala sesuatu yang bisa menjadikan masalah dalam

pelaksanaan perjanjian terapeutik.

Segala sesuatu yang bisa menjadikan masalah ini dapat berupa sengketa

maupun nonsengketa. Bila diartikan menurut arti katanya berdasar Kamus Besar

gga maksud dari

sengketa disini lebih bersifat kompleks karena dapat memicu konflik antar pihak-

pihak yang bersengketa. Sedangkan maksud dari nonsengketa disini merupakan

kebalikan dari sengketa dimana adanya perbedaan pendapat yang terjadi tidak

menyebabkan adanya pertengkaran maupun konflik yang berkepanjangan sehingga

permasalahan yang timbul lebih bersifat ringan. Dengan demikian konsep

permasalahan yang dimaksud dalam penulisan skripsi ini bukanlah permasalahan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

dalam arti yang sempit melainkan segala bentuk permasalahan yang timbul baik yang

bisa menjadikan sengketa maupun yang bersifat non sengketa.

Menurut penjelasan dari Bapak Warsito, S.H. selaku Ka.Sub Bagian Hukum,

Hubungan Masyarakat dan Perpustakaan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri pada hari Selasa tanggal 10 April 2012 pukul 10.45 WIB, bahwa di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, sampai saat ini masih belum

ditemukan permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa dalam pelaksanaan

perjanjian terapeutik apalagi permasalahannya sampai berimbas pada gugatan

ataupun tuntutan hukum dari pasien. Permasalahan yang ada sampai saat ini hanya

sebatas permasalahan yang mencakup segala sesuatu yang harus disempurnakan

mulai dari prosedur penerimaan pasien maupun dalam pemenuhan hak dan kewajiban

dari dokter dan pasien. Permasalahan ini tentu hanya sebatas permasalahan teknis

yang bersifat non sengketa yang masih bisa diselesaikan dengan peningkatan kinerja

dan pelayanan kepada pasien.

Semua permasalahan yang memicu terjadinya sengketa dapat diselesaikan

secara baik oleh pihak manajemen rumah sakit melalui jalur kekeluargaan. Hal ini

memang selalu diupayakan karena di Rumah sakit sendiri memang belum ada

Keputusan Direktur RSUD mengenai pembentukan tim penyelesaian sengketa medik

di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri. Harapan dari pihak rumah

sakit sendiri agar permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa ini tidak terjadi di

RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri untuk saat ini maupun di masa

yang akan datang. Kebanyakan permasalahan yang sering terjadi biasanya hanya

terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat teknis (indisipliner) semata,

tidak sampai pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kompleks hingga

berakhir menjadi suatu sengketa, seperti dokter tidak datang pada waktunya yang

membuat pasien harus menunggu terlalu lama. Hal ini mungkin bisa terjadi karena

kesibukan dokter di luar jadwal praktek Rumah Sakit. Mengenai permasalahan ini,

pihak rumah sakit akan menyelesaikannya secara internal, biasanya pihak rumah sakit

akan memberikan teguran secara lisan ataupun tertulis agar dokter yang bersangkutan

dapat lebih bisa membagi waktu sehingga kepentingan pasien tetap terpenuhi. Selain

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

itu, tidak adanya permasalahan yang menimbulkan suatu sengketa dalam pelaksanaan

perjanjian terapeutik juga dapat disebabkan karena:

a) Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pihak Rumah Sakit sudah sesuai

dengan Standart Operasional Prosedur sehingga setiap tindakan medis yang

dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Hal inilah yang membuat pasien merasa nyaman dan yakin dengan

setiap tindakan medis yang akan dilakukan sehingga timbul tingkat

kepercayaan yang tinggi antara pihak dokter dan pasien yang tentunya akan

meminimalisir suatu permasalahan yang berakhir menjadi suatu sengketa.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh dr. Tri Budi Astuti bahwa dokter dalam

setiap menjalankan setiap tindakan kedokteran tidak terlepas dari aturan-

aturan yang ada yakni selalu berdasar pada standar profesi dan standar

prosedur operasional. Dokter tidak bisa semena-mena melakukan suatu

tindakan diluar ketentuan yang ada atau diluar kemampuannya karena

setiap tindakan dokter dalam upaya penyembuhan tentu harus bisa

dipertanggungjawabkan.

b) Sikap pasien itu sendiri yang bersikap pasif dan lebih pasrah terhadap

segala risiko yang timbul, sekalipun bila hal itu dipermasalahkan mungkin

akan menimbulkan suatu sengketa.

Hal ini bisa disebabkan karena kebanyakan pasien yang berobat

memiliki profesi sebagai petani ataupun pedagang yang terkadang memiliki

tingkat pendidikan pasien yang masih rendah yang membuat mereka tidak

mau mempermasalahkan sesuatu bila terjadi hal yang tidak dikehendaki.

Menurut penjelasan dari Bapak Suswandi selaku salah satu mantan pasien

rawat inap di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri bahwa

sebagai pasien tentu harus memiliki banyak pertimbangan bila memang

ingin mempermasalahkan tindakan dokter yang dianggap telah

menyimpang atau menimbulkan kerugian yang besar bagi pasien.

Pertimbangan yang mungkin diambil diantaranya dilihat dari segi

proses, biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengangkat suatu

permasalahan cinderung berbelit-belit, mahal dan lama. Dalam hal ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

pasien harus mempertimbangkan tuntutan itu sebanding atau tidak dengan

proses, biaya, dan waktu yang dibutuhkan. Biasanya banyak pasien yang

enggan untuk bersengketa dan lebih memilih jalan damai/kekeluargaan.

Walaupun demikian tentunya dari pihak Rumah sakit juga tidak akan

seenaknya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada setiap pasien

yang berobat dan tetap akan memberikan pelayanan yang optimal demi

kesembuhan pasien.

Permasalahan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik yang menimbulkan

suatu sengketa di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri memang tidak

ada, tetapi tentunya permasalahan teknis yang bersifat non sengketa biasanya pasti

terjadi dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik sebab hal ini sangat terkait langsung

dengan kendala yang sering terjadi dan permasalahan teknis seperti ini biasanya dapat

langsung segera diselesaikan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak

Dr. Adhi Dharma, MM selaku Kepala Bidang Pelayanan Medik di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri pada hari Rabu tanggal 11 April 2012

pukul 11.10 WIB bahwa permasalahan yang sering timbul (non sengketa) dalam

perjanjian terapeutik dapat terjadi karena:

1. Tingkat pemahaman yang kurang dari pihak pasien/keluarganya.

Biasanya sangat terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan pasien/

keluarganya. Kurangnya pemahaman dari pasien ini bisa disebabkan karena:

a. Faktor bahasa

Bahasa seringkali menjadi masalah dalam penyampaian informasi sebab banyak

pasien yang masih awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua istilah-

istilah kedokteran dapat diterima dan diterjemahkan dengan mudah ke dalam

bahasa orang awam. Kesenjangan pengetahuan antara pasien selaku penerima

jasa layanan kesehatan dengan dokter selaku pemberi jasa layanan kesehatan

dapat dikatakan relatif cukup besar dan hal ini dapat menyebabkan informasi

yang disampaikan kurang efektif dimengerti oleh pihak pasien.

b. Faktor penyampaian informasi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

Informasi yang diberikan menyangkut segala sesuatu mengenai tindakan medis

yang akan dilakukan terkadang membuat pasien merasa bingung dan takut akan

risiko maupun komplikasi yang mungkin terjadi. Namun dalam hal ini dokter

harus memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan jujur menyangkut hal

tersebut. Terkadang dokter sebenarnya telah memberikan informasi dengan cara

penyampaian yang mudah dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarganya

tapi pasien/keluarga menganggapnya sebagai angin lalu dan langsung

mengambil keputusan tanpa mengerti betul maksud dari tindakan medis yang

akan dilakukan.

Permasalahan kurangnya pemahaman dari pasien karena faktor bahasa

dan faktor penyampaian informasi ini juga pernah dialami oleh Bapak

Lukminto salah satu pasien rawat jalan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri yang sedang menderita diabetes, bahwa memang pasien

mengalami kendala pada waktu komunikasi dengan dokter karena tingkat

pemahaman yang kurang mengenai bidang kedokteran, namun sebenarnya

sebagai pasien haruslah bersikap kritis dan selalu bertanya karena jika pasien

tidak mencoba bertanya maka tentunya dokter akan menganggap bahwa pasien

telah mengerti.

Adanya kedua faktor tersebut membuat pasien terkadang terpaksa untuk

mengatakan bahwa mereka telah mengerti akan tindakan medis yang dilakukan

beserta segala risiko yang mungkin bisa timbul maupun dengan tingkat

kesembuhan yang bisa dicapai, walaupun sebenarnya penjelasan yang telah

diberikan masih dirasa belum begitu dimengerti. Dalam hal ini ada 2 (dua)

contoh permasalahan yang pernah terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri terkait dengan permasalahan tersebut, yaitu:

1) Kasus kurangnya pemahaman pasien mengenai risiko yang mungkin

terjadi dalam setiap tindakan medis yang dilakukan dapat dilihat dari

contoh berikut: Nyonya S usia 45 tahun penderita tumor jinak rahim,

untuk menyembuhkan timor jinak tersebut tindakan medis yang harus

dilakukan adalah tindakan operasi pengangkatan tumor jinak. Dokter

yang merawat telah memberikan penjelasan mengenai tindakan medis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

yang harus dilakukan, tatacara tindakan medis, maupun risiko yang

mungkin terjadi. Pasien/keluarga saat itu mengaku telah memahami

segala konsekuensi dan risiko dari tindakan medis yang akan dilakukan

dan telah sepakat untuk melakukan operasi pengangkatan tumor dengan

menandatangani formulir persetujuan tindakan medik. Namun ternyata

setelah tindakan operasi dilakukan, pihak pasien merasa tidak puas

terhadap tindakan medis yang telah dilakukan dan pihak keluarga pasien

mengadu kepada dokter yang merawat bahwa memang setelah

dilakukan tindakan medis tidak dirasakan rasa sakit/nyeri pada perut

paska operasi tapi setelah itu pasien mengaku merasa sakit dan nyeri

yang berkepanjangan pada bagian perut. Pihak pasien/keluarga mengaku

kalau penjelasan yang telah diberikan tidak menerangkan efeknya bisa

sebesar ini dan hanya menjelaskan kalau kemungkinan bisa timbul rasa

nyeri sewaktu-waktu dan itupun bila diminumkan obat maka efek nyeri

akan segera reda tapi ternyata efek sakit dan nyeri itu masih dirasakan

oleh pasien yang membuat pasien merasa tersiksa.

Upaya penyelesaian terhadap permasalahan tersebut adalah dari

pihak Rumah Sakit berupaya mempertemukan dokter yang merawat

dengan paisen/keluarga agar bisa terjalin komunikasi yang baik

mengenai tingkat risiko yang timbul dari tindakan medis yang telah

dilakukan. Dokter yang merawat berusaha melakukan pendekatan

persuasif dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih

komprehensif secara detail dari awal tentang dampak/risiko yang akan

timbul. Mengenai keluhan perasaan nyeri pada perut yang dialami oleh

Nyonya S pasca operasi ini dapat diatasi oleh dokter yang merawat

dengan selalu melakukan observasi secara intensif terhadap pasien

selama 1 jam berturut-turut secara rutin dengan terus memperhatikan

asupan obat-obatan yang wajib dikonsumsi. Setelah upaya penyelesaian

itu dilakukan, pihak pasien/keluarga sudah merasa puas dan lebih

mengerti akan risiko tindakan medis yang diambil. Dengan penanganan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

yang tepat melalui observasi intensif dan penambahan asupan obat,

keluhan itupun mulai berkurang dan kondisi Nyonya S mulai membaik.

2) Kasus kurangnya pemahaman pasien mengenai tingkat kesembuhan

yang bisa dicapai dapat dilihat dari contoh berikut : Tuan R adalah

korban kecelakaan yang mengalami patah kaki kiri. Saat itu

pasien/keluarga telah sepakat untuk melakukan tindakan operasi pada

bagian kaki guna memperbaiki kondisi tulang yang sempat patah

tersebut. Setelah mengalami perawatan selama 2 bulan di RSUD dr.

Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri kondisi Tuan R sudah

membaik dan sudah bisa berjalan. Namun yang menjadi kendala dalam

hal ini adalah pasien/keluarga merasa bahwa kondisinya itu masih

belum bisa dikatakan sembuh total sebab kondisi kakinya tidak seperti

semula dan pada waktu berjalan pun masih terasa pincang. Hal inilah

yang membuat ketika pihak dokter menyatakan kalau kondisi pasien

sudah bisa dinyatakan sembuh namun dari pasien/keluarga masih

mengharapkan tindakan medis kembali dari dokter agar memulihkan

kondisi kaki kiri pasien seperti semula. Pihak dokter tidak bisa

melakukan upaya penyembuhan lagi karena kondisi kakinya sudah

membaik dan bila dilakukan tindakan medis lagi dikawatirkan

menyebabkan kelumpuhan.

Upaya penyelesaian terhadap permasalahan tersebut adalah dari

pihak dokter harus mengkomunikasikan mengenai kriteria sembuh yang

maksimal dalam kondisi sebelum dilakukan tindakan dan setelah

dilakukan tindakan dengan segala risiko yang akan terjadi, termasuk

juga mempertimbangkan berbagai faktor dalam mengembalikan fungsi

tulang, seperti faktor usia, kelenturan tulang, maupun asupan nutrisinya.

Dokter perlu menjelaskan bahwa kondisi kaki tuan R tersebut yang

mungkin menurutnya masih belum dikatakan sembuh tapi melihat dari

perkembangan kondisi tulangnya sudah dirasa membaik dan kondisi

yang menurut Tuan R dirasa tidak seperti semula adalah suatu proses

penyembuhan yang maksimal mengingat faktor-faktor diluar dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

tindakan medik yang telah dilakukan seperti faktor usia maupun

kelenturan tulangnya. Hal ini agar pasien/keluarganya lebih memahami

dan mengerti bahwa pengertian sembuh tidak selamanya kembali seperti

sedia kala, karena itu dalam setiap tindakan medik kemungkinan bisa

meninggalkan jejak permanen sehingga tidak dimungkinkan kondisinya

kembali seperti semula. Untuk itu perlu dibangun komunikasi yang baik

dan mendalam mengenai kriteria kesembuhan yang bisa dicapai agar

pasien pun lebih bisa mengerti dan menerima kondisinya sekarang.

2. Tidak tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien.

Dalam perjanjian terapeutik, kesepakatan yang ada haruslah tidak

mengalami cacat kehendak antara dokter dan pasien agar dalam upaya pemberian

pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara maksimal. Akan tetapi dalam

pelaksanaan perjanjian terapeutik bisa terjadi adanya cacat kehendak. Hal ini dapat

terjadi karena adanya hak menolak dari pasien. Adanya hak menolak dari pasien

ini membuat kesepakatan yang ada antara dokter dan pasien dalam hal pemberian

pelayanan kesehatan tidak tercapai. Dokter yang berkepentingan untuk dapat

memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal guna kesembuhan pasien,

namun karena pertimbangan risiko yang timbul, biaya yang harus dikeluarkan, dan

pertimbangan-pertimbangan lainnya, pasien memberikan penolakan atas tindakan

medis yang dilakukan. Di satu sisi dokter berkewajiban secara moral untuk

menolong pasien namun di sisi lain dokter juga harus menghormati hak menolak

dari pasien. Permasalahan ini yang terkadang membuat tujuan dari pelaksanaan

perjanjian terapeutik sulit untuk dicapai sebab perbedaan kepentingan ini membuat

upaya maksimal dokter dalam penyembuhan penyakit pasien tidak berjalan dengan

baik. Sebagai salah satu contoh kasus yang pernah terjadi di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumarso Kab. Wonogiri terkait dengan permasalahan tersebut yaitu:

Tuan J, usia 24 tahun dengan diagnosis leukemia akut (kanker darah akut).

Salah satu tindakan untuk menolong pasien, adalah memasang DC (Dower

Cateter) yang digunakan untuk memantau produksi urine pasien selama dilakukan

pemberian cairan tertentu untuk menyelamatkan pasien. Agar dokter dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

mengetahui apakah tindakan pemberian cairan tersebut sudah cukup, kurang atau

berlebih. Pemasangan dower cateter ini merupakan tindakan yang sangat penting

agar produksi urine dapat dinilai dengan pasti.

Kepada pihak pasien sudah berusaha dijelaskan dengan gamblang rencana

tindakan medik yang akan dilakukan, prosedur tindakan medik secara mendetail,

kegunaan pemasangan Dower Cateter, risiko yang mungkin terjadi, akan tetapi

pihak pasien menolak pemasangan Dower Cateter tersebut dengan alasan pasien

merasa tidak nyaman dan takut dengan pemasangan Dower Cateter dan sudah

pasrah dengan segala akibatnya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

dengan tidak dipasangnya Dower Cateter. Akhirnya dokter menyodorkan formulir

penolakan tindakan medis setelah dokter memberi penjelasan. Pihak pasien

menyetujui untuk menandatangani formulir penolakan tersebut dan bersedia

menanggung segala risiko yang mungkin terjadi apabila tindakan medik yang

disarankan tersebut tidak dilakukan. Pihak dokter/Rumah Sakit menghormati

keputusan pihak pasien dengan tetap merawat/memberi pelayanan terbaiknya.

Dokter menyarankan menampung urine pasien didalam botol untuk

memperkirakan jumlah urine yang diproduksi. Hal ini sangat jauh dari pemantauan

yang seharusnya.

Upaya penyelesaian dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara dokter

dengan pihak pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan, yakni pada

prakteknya dokter telah menyadari sepenuhnya akan hak pasien untuk menentukan

nasibnya sendiri (the right of self determination), melalui hak menolak pasien dan

bahwa dokter hanyalah sebagai fasilitator yang mengupayakan kesembuhan bagi

diri si pasien itu sendiri. Oleh karenanya apabila dokter menyarankan suatu

tindakan medis tertentu sedangkan pasien tidak menyetujuinya meskipun sudah

mendapatkan penjelasan yang cukup, maka dokter akan menghargai pendapat

pihak pasien tersebut karena pasien memiliki hak untuk menentukan sendiri

keputusannya sesuai dengan pilihannya sendiri. Guna untuk melindungi dokter

dari risiko tuntutan hukum dikemudian hari kalau ternyata pilihan pasien

merugikan dirinya sendiri maka kepada pihak pasien yang menolak dilakukan

tindakan medis yang direncanakan atau akan dilakukan oleh dokter ini harus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

memberikan pernyataan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani

formulir penolakan tindakan medis.

3. Sikap dari pasien/keluarga pasien yang pasif (terlalu menyerahkan semuanya

kepada dokter yang merawat)

Dalam hal ini terkadang hanya terjalin komunikasi satu arah, yakni dari

pihak dokter semata, sedangkan dari pihak pasien/keluarga tidak berupaya untuk

memberikan masukan/saran terhadap tindakan medis yang akan dilakukan

sehingga dokter pun mengalami kendala dalam upaya pemberian pelayanan

kesehatan. Pihak pasien/keluarga terlalu menyerahkan semuanya kepada dokter

yang merawat. Permasalahan ini biasanya dapat di lihat dalam kasus yang sering

terjadi di klinik anak, yang kebanyakan pasiennya masih kecil sehingga sulit untuk

mengetahui maupun memperoleh informasi yang jelas mengenai gejala ataupun

keluhan yang dirasakan. Hal ini belum lagi ditambah dari sikap keluarga pasien

yang mengantarkan yang terkadang juga bersikap pasif terhadap gejala/keluhan

penyakit yang dirasakan si anak.

Sebagai contohnya pasien anak yang sedang demam tinggi ditemani oleh

kakek/nenek si anak yang ternyata dari pihak orang yang mengantarkan si anak

yang dianggap mampu untuk memberikan penjelasan mengenai gejala yang

dialami si anak ternyata hanya bersikap pasif dan terlalu menyerahkan sepenuhnya

kepada dokter yang merawat. Hal ini membuat dokter harus bersikap aktif untuk

terus menjalin komunikasi yang baik dengan pihak keluarga dalam upayanya

untuk mencari informasi yang lengkap mengenai gejala/keluhan penyakit yang

diderita si anak. Sikap pasif dari pasien yang masih kecil disini mungkin dapat

dibenarkan karena pasien masih dianggap belum cakap secara hukum sehingga

tentu segala sesuatunya akan diserahkan kepada pihak keluarga, tapi bila dari

pihak keluarga sendiri juga bersikap pasif maka tentunya akan menjadi kendala

dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik. Oleh karena itu upaya penyelesaian yang

bisa dilakukan adalah dari pihak dokter yang merawat harus bersikap sabar dan

senantiasa aktif untuk terus menjalin komunikasi dengan pihak keluarga sehingga

nantinya pihak keluarga akan lebih mengerti dan memahami tentang segala

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

tindakan medik yang akan dilakukan tanpa terlalu menyerahkan sepenuhnya

kepada pihak dokter, sebab tentunya yang mengetahui baik dan buruk nantinya

juga adalah dari pihak keluarga. Selain itu, guna memperoleh hasil diagnosa yang

akurat, dokter juga harus mencari sendiri gejala penyakit dari si anak menurut

pengetahuan maupun keahlian yang dimiliki dan bisa juga menurut pengalaman

dari dokter terhadap gejala penyakit yang sama.

4. Ketidakberhasilan dalam perjanjian terapeutik

Pemahaman masyarakat yang masih awam tentang konsep perjanjian

terapeutik terutama mengenai obyeknya, membuat pasien/keluarga pasien sering

salah dalam mengartikan berhasil atau tidaknya perjanjian terapeutik. Berhasil atau

tidaknya perjanjian terapeutik yang dilakukan selalu dikaitkan dengan sembuh

atau tidaknya pasien. Bahwa obyek dari perjanjian terapeutik adalah berupa upaya

atau terapi semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Jadi

menurut hukum, obyek perjanjian terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan

upaya semaksimal mungkin dari dokter untuk kesembuhan pasien. Dalam konsep

ini, dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien tetapi dokter

menjanjikan suatu upaya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang

semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Dalam melakukan

upaya ini, dokter harus memberikan jasa perawatan medis dengan benar, teliti,

penuh pertimbangan, dan kehati-hatian tinggi. Dokter harus melakukannya dengan

penuh kesungguhan, mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan yang

dimilikinya sesuai dengan standar profesi. Oleh karena itu, upaya penyembuhan

yang dilakukan oleh dokter tentu harus diimbangi juga dengan sikap pasien yang

kooperatif dan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan kesembuhan

dirinya sebab keberhasilan dari perjanjian terapeutik juga ditentukan dari sikap

pasien itu sendiri. Tanpa bantuan pasien, maka upaya dokter tentu tidak akan

mencapai hasil yang diharapkan.

Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik, selama dokter telah berusaha

semaksimal mungkin dimana dokter telah memberikan jasa perawatan medis

dengan benar, teliti, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian tinggi, telah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

melakukan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan seluruh kemampuan dan

keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional akan tetapi hasilnya ternyata pasien tidak sembuh, maka dokter tidak

bisa dipersalahkan atas tidak sembuhnya pasien. Ketidakberhasilan dalam upaya

penyembuhan pasien terjadi bukan karena kesalahan pihak dokter namun harus

dilihat juga sebagai kehendak dan takdir dari Tuhan. Namun lain halnya bila

dalam upaya penyembuhan penyakit pasien ternyata dokter melakukan

penyimpangan-penyimpangan terhadap standar profesi maupun standar prosedur

operasional, maka secara hukum dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau

perbuatan melawan hukum bahkan bisa saja dokter dituntut secara pidana apabila

dokter terbukti melakukan tindakan malpraktik kedokteran. Dalam hal ini, pasien

dituntut juga untuk bisa membuktikan bahwa dalam upaya penyembuhan penyakit

pasien, dokter telah melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Permasalahan yang terjadi, kebanyakan pasien/keluarga pasien sering

menyalahkan dokter bila penyakit pasien tidak bisa disembuhkan. Padahal dokter

sudah berupaya semaksimal mungkin melalui berbagai macam tindakan medik

yang dilakukan. Pasien/keluarga pasien seolah-olah tidak mau tahu upaya apa

yang telah dilakukan dan lebih menuntut hasil dari upaya medik itu yakni

kesembuhan pasien. Oleh karena itu, upaya penyelesaian yang bisa dilakukan

yakni dari pihak dokter yang merawat harus selalu memberikan penjelasan yang

sejelas-jelasnya agar bisa dimengerti oleh pasien/keluarga pasien bahwa dalam

pelayanan kesehatan ini dokter tidak bisa menjanjikan kesembuhan penyakit

pasien. Dalam hal ini dokter hanya dituntut untuk memberikan upaya pelayanan

kesehatan yang semaksimal mungkin terhadap pasien guna memperoleh hasil

berupa sembuhnya pasien sebab hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada

banyak faktor yang berkaitan (usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit,

komplikasi dan lain-lain) dan selebihnya bila hasil dari upaya yang telah dilakukan

dokter dirasa tidak berhasil maka dalam hal ini dokter tidak bisa dipersalahkan.

Pasien/keluarga pasien harus bisa menerima dan mengerti akan hasil dari upaya

pelayan kesehatan yang telah dilakukan, bahwa kesembuhan pasien bukanlah hal

yang dijadikan dasar keberhasilan dari perjanjian terapeutik.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 83

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, penulis dapat

menyimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Pelaksanaan perjanjian terapeutik yang terjadi di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri dapat dilakukan setelah tahapan/prosedur dalam proses

penerimaan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri, baik

itu pasien rawat jalan maupun rawat inap dilalui dan pasien sudah memberikan

persetujuan tindakan medik (informed consent) sebagai upaya dalam proses

penyembuhan pasien. Pelaksanaan perjanjian terapeutik sangat terkait dengan

pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik itu dokter maupun

pasien. Perjanjian terapeutik ini terjadi saat pasien/keluarga pasien bertemu

dengan dokter dan telah sepakat untuk melakukan tindakan medis atau

pengobatan.

2. Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD

dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri beserta upaya penyelesaiannya

yakni dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di RSUD dr. Soediran Mangun

Sumarso Kab. Wonogiri, permasalahan yang ditemukan hanya sebatas pada

permasalahan yang bersifat teknis yang mencakup permasalahan komunikasi

antara dokter dan pasien dan bukan mengenai permasalah medis yang dapat

menimbulkan suatu sengketa sebab di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri sampai saat ini belum pernah terjadi dan diharapkan agar jangan

sampai terjadi. Permasalahan teknis tersebut dapat terjadi karena tingkat

pemahaman yang kurang dari pihak pasien/keluarganya, tidak tercapainya

kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam hal pemberian persetujuan

tindakan medis, sikap dari pasien/keluarga pasien yang pasif yang terlalu

menyerahkan semuanya kepada dokter yang merawat, dan pemahaman

pasien/keluarga pasien, kaitannya dengan ketidakberhasilan dalam perjanjian

terapeutik. Upaya penyelesaian untuk mengatasi permasalahan yang muncul

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

tersebut yakni dokter harus senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan

memberikan segala macam informasi secara jelas dengan bahasa yang mudah

dimengerti dan dipahami oleh pasien/keluarga pasien sehingga nantinya pasien

/keluarga pasien dapat lebih mengerti terhadap setiap tindakan medis yang

dilakukan dan upaya pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat lebih

optimal.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan tersebut, maka penulis

hendak menyampaikan beberapa saran, yaitu:

1. Hendaknya di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri perlu

dibentuk suatu komite yang bertugas untuk memberikan bantuan hukum baik itu

kepada dokter maupun kepada pasien. Hal ini dimaksudkan untuk

mengantisapasi adanya suatu permasalahan yang dapat menimbulkan suatu

sengketa yang bisa berujung pada tuntutan hukum sebab sampai saat ini memang

di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri belum diketemukan

permasalahan medis yang menimbulkan sengketa. Selain itu juga untuk

memberikan perlindungan bagi masing-masing pihak terutama dari pihak pasien

selaku penerima jasa layanan kesehatan yang selalu diposisikan sebagai pihak

yang lemah.

2. Bagian rekam medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kab. Wonogiri

hendaknya mengakaji ulang mengenai format dari perjanjian terapeutik yang ada

antara dokter dan pasien yakni dalam formulir persetujuan maupun penolakan

tindakan medis sebab bentuk format perjanjian yang ada tersebut hanya berupa

suatu pernyataan semata dan bukan sebagai suatu perjanjian antara dokter dan

pasien. Hendaknya bagian rekam medik RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Kab. Wonogiri mengadakan perubahan dalam substansi isi dari formulir

persetujuan maupun penolakan tindakan medis dengan lebih mendasarkan pada

format perjanjian pada umumnya dimana didalamnya perlu dicantumkan

kedudukan masing-masing pihak.