tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · kg/m² berat badan normal dengan imt antara 18,5-22,9...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas Abdominal
2.1.1 Obesitas abdominal dan pengukuran antropometri
Obesitas dapat didefinisikan sebagai keadaan kelebihan lemak tubuh (Guyton
dan Hall, 2011). Obesitas adalah suatu keadaan patologis yang merupakan
kelainan metabolik dengan penimbunan lemak berlebih yang dapat
mengakibatkan penyakit multifaktorial (Effendi, 2013).
Secara klinis obesitas memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu wajah
membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada menggembung,
payudara membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit, dinding perut
berlipat/menggantung, kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan kedua
pangkal paha bagian dalam saling menempel, kulit di daerah lipatan menghitam
(Effendi, 2013).
Secara sederhana obesitas dapat dinilai berdasarkan perbandingan berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB), pengukuran lingkar pinggang, lingkar
panggul, lingkar lengan atas, tebal lipatan kulit area triseps, biseps, subskapula,
suprailiaka maupun evaluasi lemak tubuh total dengan menggunakan bio-
electrical impedance analysis (BIA) (Susantiningsih, 2015).
Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas untuk orang dewasa diatas
18 tahun diukur berdasarkan indeks masa tubuh (IMT) yang memiliki korelasi
kuat dengan lemak tubuh. Ini adalah cara sederhana yang mudah digunakan, tetapi
2
IMT memiliki kekurangan karena IMT diukur berdasarkan rasio berat badan (Kg)
terhadap tinggi badan kuadrat (m²) tetapi tidak memperhitungkan komposisi
lemak tubuh (Guyton dan Hall, 2011 dan RISKESDAS, 2013). Individu yang
kurus tetapi memiliki otot yang bagus, tanpa memiliki lemak berlebihan bisa saja
memiliki IMT >25kg/m², tetapi ini merupakan sebagian masalah kecil dalam
perbatasan kategori, sehingga tetap praktis untuk digunakan ( Gandy et al., 2011).
Pengukuran IMT pada suatu populasi sulit diinterprestasikan secara
individual karena terdapat fenotipe yang berbeda antar etnis dan bangsa. WHO
mengklasifikasikan IMT menjadi 4 kelas, yaitu berat badan kurang dengan IMT <
18,5 kg/m² berat badan normal dengan IMT antara 18,5-24,9 kg/m², kelebihan
berat badan dengan IMT 25,0-29,9 kg/m², Obesitas dengan IMT > 30 kg/m²
(WHO, 2014).
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan bebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar
perut menurut kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT
(kg/m2)
Resiko ko-morbiditas
Lingkar perut
< 90cm (laki laki) ≥ 90cm (laki laki)
< 80 cm (perempuan) ≥80cm (perempuan)
Berat badan
kurang
< 18,5 Rendah,resiko
meningkat pada
masalah klinis lain.
Sedang
Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih ≥ 23,0
Beresiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Obesitas I 25,0-29,9 Moderat Berat
Obesitas II ≥ 30 Berat Sangat berat
Sumber : WHO/WPR/IASO/IOTF dalam (The Asia-Pasific Perspective:
Redefining Obesity and its Treatment, 2000).
Indonesia menggunakan klasifikasi berat badan lebih dan obesitas WHO
sesuai dengan kriteria Asia Pasifik yaitu berat badan kurang dengan IMT < 18,5
3
kg/m² berat badan normal dengan IMT antara 18,5-22,9 kg/m², kelebihan berat
badan dengan IMT 23,0-24,9 kg/m², Obesitas dengan IMT > 25,0 kg/m²
(Sugondo, 2014).
Walaupun IMT memiliki korelasi yang kuat dengan lemak tubuh, tetapi
kadang kadang terjadi kesalahan dalam total body fat content. Selain jumlah
lemak, distribusi lemak juga menentukan risiko yang berhubungan dengan
obesitas (Lilyasari, 2007).
Berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh, kegemukan atau obesitas dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu tipe android yang sering disebut sebagai aple shape
(bentuk buah apel) dan tipe ginoid / pear shape (bentuk buah pir) (Mukhtar, 2012
dan Jarvie et al., 2010).
Gambar 2.1 Tipe Obesitas berdasarkan distribusi lemak
Sumber: (Jarvie et al., 2010).
Tipe android ditandai dengan penumpukan lemak berlebihan di bagian tubuh
sebelah atas, yaitu di sekitar dada, pundak, leher, wajah dan perut menyerupai
buah apel. Tipe ini oleh Vague dipertimbangkan sebagai android male-type
4
obesity lebih berisiko terhadap terjadinya T2DM, hiperlipidemia, hipertensi,
aterosklerosis pada arteri coroner, serebral dan perifer (Wajchenberg, 2013).
Tipe ginoid ditandai dengan penimbunan lemak di bagian tubuh sebelah
bawah, yaitu pinggul, pantat, paha dan bagian bawah. Kegemukan tipe ini banyak
terjadi pada wanita (Wajchenberg, 2013). Dari segi kesehatan tipe ginoid lebih
aman bila dibandingkan dengan tipe android karena risiko kemungkinan terkena
penyakit degeneratif lebih kecil. Obesitas tipe android ini dikenal juga dengan
sebutan obesitas sentral atau obesitas abdominal (Effendi, 2013).
Jaringan lemak abdominal adalah organ kompleks yang terdiri dari beberapa
kompartemen dan subkompartemen, yaitu lemak subkutan dan lemak intra
abdominal, lalu lemak intra abdominal terbagi lagi menjadi lemak retroperitoneal
dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi lemak mesenterik dan
omental. Lemak intraperitoneal ini dikenal sebagai jaringan adiposa viseral
(visceral adipose tissue) yang dianggap sebagai penanda resiko penyakit
metabolik (Klein, 2010).
Gambar 2.2 Lemak viseral dan lemak sub kutan
(Sumber Effendi, 2013)
5
Obesitas abdominal dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu visceral
adipose tissue (VAT) menggunakan computed tomography (CT) adalah gold
standartnya, tetapi cara tersebut mahal biayanya, sulit tehniknya dan terekspos
radiasi (Roriz et al., 2014).
Ada beberapa cara lain yang dapat dipakai tetapi membutuhkan keahlian dan
ketrampilan khusus dari pengukurnya, antara lain waist to height ratio (WHtR),
conicity index (C index), visceral adiposity index (VAI) dan lipid accumulation
product (LAP) (Roriz et al., 2014).
WHtR dihitung berdasarkan rumus waist circumverence (WC) (cm) dibagi
tinggi (cm). Conicity index dihitung berdasarkan rumus yang dibuat oleh Valdez
pada tahun 1991 yaitu:
C index = WC (cm)
0.109 X √𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡(𝑘𝑔)/ℎ𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡(𝑚)
Rumus visceral adiposity index (VAI) dibuat oleh Amato dan kawan kawan
pada tahun 2010 yang dibedakan antara pria dan wanita yaitu:
VAI pria = (WC/36.38 +(1.89xBMI))x(TG/0.81)x(1.52/HDL)
VAI wanita = (WC/39.68 +(1.88xBMI))x(TG/1.03)x(1.31/HDL)
Pengukuran VAI ini dilakukan setelah pasien puasa 12 jam untuk
pemeriksaan laboratorium trigliserida (TG) dan high density lipoprotein (HDL)
kolesterol dengan menggunakan metode kolorimetri (Roriz et al., 2014).
Pengukuran lipid accumulation product (LAP) dihitung berdasarkan rumus
yang dibuat oleh Kahn dan kawan kawan pada tahun 2005 yang dibedakan antara
6
pria dan wanita yaitu:
LAP pria = (WC[cm]-65) x (Trigliserida (mmol/L)
LAP wanita = (WC[cm]-58) x (Trigliserida (mmol/L) (Roriz et al., 2014).
Roriz dan kawan kawan tahun 2014 melakukan evaluasi untuk menilai
ketepatan pengukuran antropometrik dari waist to height ratio (WHtR), conicity
index (C index), visceral adiposity index (VAI) dan lipid accumulation product
(LAP) dibandingkan dengan hasil pengukuran computed tomography (CT). C
index terbukti merupakan pengukuran paling akurat untuk mengidentifikasi
obesitas viseral terutama pada pria. Jadi C index dapat digunakan untuk
memprediksi risiko penyakit coroner dan penyakit kardiovaskuler sebaik WHtR
(Roriz et al., 2014).
Pada wanita lansia WHtR sedikit lebih akurat hasilnya jika dibandingkan
dengan C index, dan memiliki ketepatan akurasi yang sama dengan LAP. Untuk
pasien dengan sindrom metabolik, hasil LAP lebih akurat dibandingkan dengan
WHtR. Karena adanya pemeriksaan trigliserid dan HDL kolesterol maka dalam
hal memprediksi jumlah lemak viseral maka pemeriksaan LAP dan VAI kurang
akurasinya jika dibandingkan dengan WHtR dan C index (Roriz et al., 2014).
Untuk pemeriksaan antropometri di lapangan dengan banyak responden maka
cara yang akurat, banyak dipakai dan disarankan oleh WHO adalah dengan
menggunakan pengukuran lingkar pinggang (waist circumference) (WC). WHO
menyarankan cara pengukuran lingkar pinggang dengan menentukan dahulu arcus
costae kanan dan kiri, kemudian tentukan spina ishiadica anterior superior
(SIAS) kanan dan kiri, ukur sepanjang midclavicular line kanan kiri, dibagi 2,
7
pada akhir ekspirasi, menggunakan pakaian tipis, dilakukan pengukuran lingkar
perut menggunakan pita meteran fleksibel secara horisontal, dengan kedua
tungkai dilebarkan 20-30 cm (Sugondo, 2014).
Studi menunjukkan bahwa obesitas abdominal yang digambarkan dengan
ukuran lingkar pinggang, dengan cut-off yang berbeda antara pria dan wanita, juga
disesuaikan dengan etnis lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik
dan resiko kardiovaskuler (Soegondo dan Purnamasari, 2014).
Tabel 2.2 Ukuran lingkar pinggang sesuai etnis
Bangsa / grup etnis Lingkar Pinggang
Eropa
Di USA, berlaku sesuai NCEP ATP III
(≥Pria 102 cm, Wanita ≥88 cm)
Pria ≥ 94 cm
Wanita ≥ 80 cm
Asia Pasifik
Berdasarkan China, Melayu, Asia dan
Indian
Pria ≥ 90 cm
Wanita ≥ 80 cm
China Pria ≥ 90 cm
Wanita ≥ 80 cm
Jepang Pria ≥ 90 cm
Wanita ≥ 80 cm
Amerika tengah dan selatan Menggunakan data Asia Pasifik
sampai ada data yang lebih valid
Sub Saharan Afrika Menggunakan data Eropa sampai
ada data yang lebih valid
Mediteranian & Timur Tengah Menggunakan data Eropa sampai
ada data yang lebih valid
Sumber: (WHO, 2014).
Lingkar pinggang (lingkar perut) pada penderita obesitas abdominal
menggambarkan penumpukkan jaringan adiposa subkutan dan viseral. Dari
penelitian obesitas abdominal memiliki peningkatan resistensi insulin sebesar
81,6%, peningkatan tekanan darah 47,7%, hipertrigliseridemia sebesar 26,0%,
HDL kolesterol yang rendah sebesar 16,9%, serta peningkatan kadar gula darah
8
puasa sebesar 13,4%. Oleh karenanya semakin besar peluang terjadinya penyakit
kardiovaskuler (Effendi,2013)
Cara lainnya adalah dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan lingkar
pinggul yaitu waist-hip ratio (WHR) atau dikenal dengan rasio lingkar pinggang
panggul (RLPP) merupakan alternatif yang praktis untuk di klinik (Sugondo,
2014). Menurut WHO tahun 2008 batasan WHR atau RLPP untuk obesitas
abdominal area Asia Tenggara adalah pria > 0.90 dan wanita > 0.85 (Listiyana et
al., 2013).
Obesitas abdominal dan resistensi insulin dianggap sebagai bagian utama dari
semua kriteria SM, baik dari WHO, EGIR, NCEP-ATP III (2001), AACE 2003,
dan IDF 2005 (Soegondo dan Purnamasari, 2014).
2.1.2 Jaringan lemak
Obesitas terjadi bila jumlah dan besar sel lemak dalam tubuh bertambah, hal
ini timbul bila asupan energi dalam bentuk makanan lebih banyak yang masuk
jika dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan, dan akan disimpan sebagai
lemak dalam bentuk trigliserida (Guyton dan Hall, 2011).
Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi, tugas utamanya adalah
menyimpan energi yang berlebih dalam bentuk trigliserida melalui proses
lipogenesis, dan memobilisasi cadangan energi tersebut sebagai asam lemak bebas
dan gliserol bila terjadi kekurangan energi melalui proses lipolisis (Sugondo,
2014).
Obesitas adalah suatu kondisi inflamasi kronik tingkat rendah terutama pada
white adipose tissue (WAT), ditandai dengan adanya fungsi biologi adiposit dan
9
adanya akumulasi makrofag pada jaringan WAT (Susantiningsih, 2015).
Jaringan lemak pada mamalia terdiri dari dua jenis, yaitu jaringan lemak
putih (white adipose tissue / WAT) dan jaringan lemak coklat (brown adipose
tissue / BAT). WAT memiliki 3 fungsi yaitu isolasi panas, bantalan mekanik dan
yang terpenting adalah sebagai sumber energi. BAT berfungsi termogenesis untuk
mempertahankan panas tubuh dan penting untuk mencegah dan menurangi
obesitas melalui peningkatan penggunaan energi dan produksi panas ( Mukhtar,
2012 dan Sugondo, 2014).
Selama periode kelebihan kalori dan penggunaan energi sedikit maka akan
terjadi ketidakseimbangan energi. Ukuran adiposit akan membesar (hipertrofi) dan
jumlah adiposit bertambah banyak (hiperplasia), terjadi proses diferensiasi sel
prekursor preadiposit menjadi adiposit matang. Jaringan adiposa menjadi radang
dan terdapat infiltrasi makrofag yang kemudian meningkatkan kondisi
proinflamasi sehingga diferensiasi preadiposit gagal. Diferensiasi tersebut
meliputi perubahan morfologi, cell arrest, akumulasi lipid dan adiposit menjadi
resisten terhadap insulin ( Mukhtar, 2012).
2.2 Sindrom Metabolik
2.2.1 Epidemiologi
Sindroma Metabolik pertama kali diperkenalkan oleh Reaven GM pada tahun
1988 yang menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien pasien dengan
resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
yang disebutnya sebagai sindroma X (Soegondo dan Purnamasari, 2014). Kaplan
10
menemukan the deadly quartet yang terdiri atas obesitas, hipertensi, diabetes dan
hipertrigliseridemia sebagai faktor penyebab yang dapat meningkatkan penyakit
kardiovaskuler (Pusparini, 2007).
Pada Tahun 1991 Alberto dan Zimmet menyarankan bahwa obesitas
abdominal masuk dalam kriteria sindrom X , dan kemudian mengubah namanya
menjadi sindrom resistensi insulin atau metabolic syndrome (Pusparini, 2007).
Ada berbagai istilah yang sering digunakan untuk SM antara lain adalah Reaven’s
Syndrome, Metabolic Syndrome X, Insulin Resistance Syndrome, Cardiometabolic
Syndrome, dan di Australia lebih dikenal dengan istilah Coronary artery disease,
Hypertension, Atherosclerosis, Obesity and Stroke (CHAOS) (Effendi, 2013).
Sindrom Metabolik adalah sekumpulan gejala kelainan metabolik, baik lipid
maupun non lipid yang merupakan faktor risiko penyakit Diabetes Mellitus tipe 2
dan kardiovaskuler, yang terdiri dari obesitas abdominal, dislipidemia ateroganik
(peningkatan trigliserida dan penurunan high density lipoprotein (HDL) yang
rendah), tekanan darah yang meningkat, dan resistensi insulin (Effendi, 2013).
2.2.2 Insidensi
Menurut data IDF 2006 diperkirakan 20-25% penduduk dewasa mengidap
SM dan beresiko tiga kali lebih banyak terkena penyakit jantung dan stroke
dibandingkan dengan yang tidak. Dan penderita SM memiliki resiko 5 kali lipat
untuk terkena Diabetes Mellitus tipe 2 (IDF, 2006). Prevalensi SM di USA pada
usia > 20 tahun diperkirakan sekitar 25%, dan pada usia > 50 adalah sebesar 45%,
insidensi SM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk di asia, di Cina
penelitian berdasarkan kriteria diagnosis SM IDF sebesar 23,2% dan NCEP/ATP
11
III sebesar 16,2% (Effendi, 2013).
Di Indonesia dilakukan penelitian dengan menggunakan NCEP/ATP III yang
dimodifikasi dengan kriteria obesitas berdasarkan IMT Asia Pasific pada beberapa
penelitian yang dilakukan, didapatkan data di daerah pedesaan Bali sebesar 7,8%
dan di kota besar seperti Denpasar sampai sebesar 24,8%, Semarang 16,6%,
Bandung sebesar 22,94%, Depok 26,3%, Jakarta 28,4%, Makasar sebesar 33,4%,
dan prevalensi SM terbesar adalah di Surabaya yaitu sebesar 34% (Soegondo dan
Purnamasari, 2014).
Penelitian yang dilakukan di India tahun 2005, dari 187 penderita diabetes
yang keluarganya tidak menderita diabetes, didapatkan 33,1% memiliki
komponen faktor risiko SM, dengan pemeriksaan kadar antioksidan berupa
vitamin A, vitamin E dan vitamin E didapatkan sangat rendah (Sharma, 2005).
Penelitian yang dilakukan di Turki pada tahun 2009 didapati bahwa skor SAT
pada penderita SM yang menderita diabetes nilainya lebih rendah jika
dibandingkan dengan penderita SM tanpa diabetes dan orang normal (Ozbek et
al., 2011).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Aparna di daerah Tirupati India,
menemukan bahwa pasien SM non obese memiliki konsentrasi antioksidan yang
rendah terutama vitamin E, C dan carotenoids, dan pada pasien non obese yang
menderita SM memiliki konsentrasi antioksidan yang jauh lebih rendah lagi jika
dibandingankan orang yang sehat dengan menggunakan pemeriksaan antioksidan
ferric reducing ability of plasma (FRAP) assay (Aparna et al., 2012).
2.2.3 Penyebab Sindrom Metabolik
12
Faktor penyebab terjadinya SM sampai saat ini masih terus diteliti, tetapi
obesitas abdominal dan resistensi insulin adalah 2 faktor yang paling utama.
Faktor penyebab lainnya adalah genetik, perilaku sedentari, aging, keadaan pro
inflamasi, dan perubahan hormonal (IDF, 2006).
Terdapat pula lingkaran patogenesis yang saling berkaitan antara rendahnya
kadar testosteron dengan SM. Adipositas yang berkaitan dengan keadaan
hiperinsulin akan menekan sintesis SHBG (sex hormon binding globulin) dan
menurunkan sirkulasi hormon testosteron, yang juga akan berefek terhadap sinyal
LH (Luteneizing hormone) ke testis. Insulin dan leptin memiliki efek menekan
steroidogenesis testis. Oleh karena itu diyakini bahwa adipositas adalah faktor
yang signifikan dalam menurunkan tingkat sirkulasi testosteron, bahkan dapat
terjadi pada pria di bawah usia 40 tahun. Di sisi lain testosteron rendah dapat
menginduksi SM. Bahkan tanpa adanya risiko seperti diabetes dan penyakit
kardiovaskular, disarangements dalam hormon seks dapat berkontribusi tehadap
patogenesis SM (Pangkahila, 2015).
2.2.4 Kriteria diagnosis
Sejak ditemukannya sindrom ini, beberapa organisasi kesehatan membuat
kriteria SM agar dapat menjadi acuan dalam praktek klinis. Kriteria diagnostik
untuk SM ada beberapa antara lain kriteria SM WHO (1998), EGIR, NCEP-ATP
III tahun 2001 dan direvisi tahun 2004, AACE tahun 2003 dan kriteria SM yang
terbaru adalah IDF tahun 2005 (Effendi, 2013 dan Soegondo dan Purnamasari,
2014 ).
13
Tabel 2.3 Kriteria Klinis Sindrom Metabolik IDF 2005
Kriteria Klinis IDF 2005
Sesuai definisi IDF terbaru, SM ditegakkan berdasarkan :
Obesitas abdominal (diukur dari ukuran lingkar pinggang sesuai etnis)
Ditambah 2 dari 4 faktor dibawah ini :
Peningkatan Trigliserida
TG > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau
sudah mendapat terapi untuk peningkatan
trigliserid
Penurunan HDL kolesterol
HDL-C < 40mg/dL (1,03 mmol/L) pada
pria atau< 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada
wanita, atau sudah mendapat terapi untuk
kolesterol
Tekanan darah
Sistolik ≥130 atau Diastolik ≥85 mmHg
atau penderita yang sudah terdiagnosis
hipertensi
Glukosa Darah Puasa >100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau penderita
yang sudah terdiagnosis diabetes tipe 2
*Bila IMT > 30kg/m², maka sudah dikatakan obesitas abdominal, sehingga tidak
diperlukan pengukuran lingkar pinggang (IDF, 2006).
2.2.5. Hubungan SAT dengan komponen sindrom metabolik
2.2.5.1 Obesitas abdominal dan indeks masa tubuh
14
Gambar 2.3 Obesitas dan sindrom metabolik meningkatkan stres oksidatif
(Tangvarasittichai, 2015)
Pada gambar diatas dijelaskan bahwa obesitas abdominal dan SM
meningkatkan stress oksidatif. Pada obesitas abdominal terjadi penambahan
ukuran dan jumlah sel adiposa sehingga menimbulkan gangguan metabolik
sehingga terjadi hyperinsulinemia insulin resisten yang merupakan penyebab
T2DM. Selain sebagai cadangan energi, sel adiposa merupakan organ yang
memproduksi adipokin seperti sitokin proinflamasi, hormon antiinflamasi dan
substansi biologi lain.
Obesitas menyebabkan sitokin proinflamasi meningkat sehingga
menyebabkan inflamasi dinding vaskuler yang dapat memicu terjadinya
aterosklerosis. Selain itu obesitas pada obesitas terjadi peningkatan metabolisme
lemak yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ROS di sirkulasi
maupun jaringan adiposa. ROS akan merangsang inflamasi, mengaktivasi matriks
metaloproteinase, menginduksi apoptosis, menyebabkan agregasi trombosit dan
15
menstimulasi otot polos. ROS juga berperan dalam memodulasi tonus
pertumbuhan dan remodeling vaskular. Peningkatan ROS dalam sel adiposa akan
menyebabkan terganggunya keseimbangan reduksi oksidasi, sehingga terjadi
penurunan enzim antioksidan dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut stres oksidatif
(Lilyasari, 2007).
Dalam proses fisiologis obesitas terjadi peningkatan produksi ROS. Hasil
produksi tersebut adalah 3 ROS utama, yaitu superoxide radical, hydroxyl radical,
dan hydrogen peroxide. Peningkatan dari molekul ROS akan menyebabkan
terjadinya kerusakan makromolekul seperti lemak, protein dan asam nukleat.
Dalam kondisi normal peningkatan ROS dalam tubuh akan dilawan oleh
antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri atau dari makanan yang kita
konsumsi. Tetapi dalam keadaan obesitas dimana terjadi kelainan metabolik,
jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh terhadap ROS turun.
Antioksidan tubuh tidak dapat mengalahkan tingginya ROS sehingga terjadi
peroksidasi lipid yang mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Tangvarasittichai,
2015).
2.2.5.2 Resistensi Insulin
Resistensi insulin pada penderita obesitas abdominal diduga merupakan
pencetus terjadinya SM. Insulin adalah suatu hormon yang terdiri dari rangkaian
asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Pada
keadaan yang normal, ketika ada rangsangan pada sel beta pulau langerhans
pankreas maka insulin akan disintesis, kemudian akan disekresikan ke dalam
darah untuk regulasi glukosa darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Manaf, 2014).
16
Insulin memiliki peran yang penting pada berbagai proses biologis dalam
tubuh, terutama metabolisme karbohidrat, dalam proses penggunaan glukosa di
seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak dan hati. Insulin penting dalam
penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam jaringan adiposa, sehingga bila
terjadi resistensi insulin maka proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak
akan terganggu (Sugondo, 2014).
Asupan makanan yang tinggi kandungan lemak dan karbohidratnya ketika
dikonsumsi akan menghasilkan energi ATP, lemak secara fungsional berperan
sebagai stress oksidatif yang mampu menyebabkan disrupsi pada reseptor insulin.
Asupan karbohidrat tinggi pada penderita dengan gen resistensi insulin ketika
memproduksi energi ATP maka pada membaran bagian dalam dari
mitokondrianya khususnya pada rantai transportasi elektron sel akan melepaskan
bye product ROS yang berlebihan. Jadi tanpa dielakkan akan mengakibatkan
resistensi insulin, dan dampaknya akan memperburuk tingkat sensitifitas insulin
sehingga memperburuk resistensi insulin yang mendorong timbulnya
ketidakseimbangan oksidan antioksidan atau stress oksidatif pada tingkat seluler.
Ini akan membuka akses bagi ROS berinteraksi dengan protein, lipid dan DNA
sehingga merusak makromolekul seluler yang berlanjut pada gangguan fungsi sel
(Effendi, 2013).
17
Gambar 2.4 Peran ROS terhadap aterosclerosis dan sumber produksi ROS pada
diabetes mellitus tipe 2 (Tangvarasittichai, 2015).
oxLDL: Oxidized low density lipoprotein; FFA: Free fatty acids; AGEs:
Advanced glycation end-products; VSMC: Vascular smooth muscle cells; ROS:
Reactive oxygen species.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien diabetes mellitus tipe 2
(T2DM) terjadi peningkatan produksi ROS yang mengakibatkan peningkatan
kerusakan oksidatif dan penurunan defenses mechanism (mekanisme pertahanan
diri) dari antioksidan. Produksi FFA dan glukosa yang berlebihan dapat
menimbulkan efek inflamasi melalui stress oksidatif dan dan penurunan
antioksidan (Tangvarasittichai, 2015). Peningkatan produksi ROS pada T2DM
diaktifkan melalui jalur yang merugikan termasuk jalur hexosamin, formasi AGEs
(advanced glycation end-products), dan PKCβ1/2. Kondisi hiperglikemia yang
18
persisten dapat meningkatkan oksidatif stress melalui beberapa mekanisme seperti
autooksidasi glukosa, jalur polyol, glikosilasi yang menghasilkan produk AGEs,
PKCβ1/2 kinase. Stress oksidatif berkembang dan mengakibatkan translokasi
nukleo-sitoplasmik sehingga memberikan faktor transkripsi yang pro-apoptotik
(FoxO1) mempengaruhi gen gen yang terkait insulin, transporter glukosa 2
(GLUT2) serta glukokinase yang menimbulkan kerusakan pada sel β (Efendi
2013 dan Tangvarasittichai, 2015). Tingginya asam lemak bebas, leptin dan
berbagai faktor sirkulasi pada pasien T2DM juga berperan terhadap produksi ROS
yang berlebih (Tangvarasittichai, 2015).
Inflamasi terjadi sebagai manifestasi dari stress oksidatif, dan dapat
menghasilkan mediator inflamasi termasuk adhesi molekul dan interleukin yang
dapat menimbulkan stress oksidatif (Tangvarasittichai, 2015). Saat ini konsep
bahwa aterosclerosis adalah penyakit inflamasi sudah dikenal. Inflamasi kronis
mungkin berperan terhadap patogenesis resistensi insulin dan T2DM.
(Tangvarasittichai, 2015).
Resistensi insulin adalah suatu keadaan menurunnya kemampuan reseptor
insulin yang mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi metabolik tubuh dan
akan meningkatkan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin
pada obesitas abdominal mendasari SM. Pemeriksaan resistensi insulin dilakukan
dengan pengukuran Homeostasis Model Asessment – Insulin Resistence (HOMA-
IR) (Soegondo dan Purnamasari, 2014). HOMA-IR didapatkan dari hasil
perhitunagn: insulin darah puasa (µU/ml) × glukosa darah puasa (mmol/ml) / 22.5
(Budhiarta, 2006 dan Simental-Mendía et al., 2012).
19
Dalam keadaan SM dimana obesitas abdominal dan resitensi insulin adalah
faktor pemicunya, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan
tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun (Tangvarasittichai,
2015).
2.2.5.3 Dislipidemia
Klasifikasi Dislipidemia dibagi menjadi primer dan sekunder. Dislipidemia
primer adalah dislipidemia yang tidak diketahui penyebabnya, dan dislipidemia
sekunder adalah dislipidemia yang memiliki penyakit dasar seperti diabetes,
sindroma nefrotik dan hipotiroidisme. Selain itu dislipidemia dapat dilihat
berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi,
hipertrigliseridemi, isolated low HDL-cholesterol, dan dislipidemia campuran.
NCEP-ATP III 2001 telah membuat batasan yang dapat dipakai secara umum
yaitu:
Tabel 2.4 Kadar Lipid serum
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid
menurut NCEP ATP III 2002 mg/dL
Kolesterol total
< 200mg/dL Optimal
200-239mg/dL Diinginkan
≥ 240mg/dL Tinggi
Kolesterol LDL
< 100mg/dL Optimal
20
100-129mg/dL Mendekati optimal
130-159mg/dL Diinginkan
160-189mg/dL Tinggi
≥190mg/dL Sangat tinggi.
Kolesterol HDL
< 40mg/dL Rendah
≥ 60mg/dL Tinggi.
Trigliserid < 150mg/dL Optimal
150-199mg/dL Diinginkan
200-499mg/dL Tinggi
≥ 500mg/dL Sangat tinggi
Sumber : executive summary of the third report of the National Cholesterol
Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel iii). JAMA
2001;285:2486-2497 (Adam, 2014).
Dislipidemia aterogenik pada SM ditandai dengan peningkatan trigliserida
dan penurunan HDL kolesterol sesuai kriteria SM yang terbaru adalah IDF tahun
2005. Kriteria trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sudah mendapat terapi
untuk peningkatan trigliserid dan HDL kolesterol < 40mg/dL (1,03 mmol/L) pada
pria atau< 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita, atau sudah mendapat terapi
untuk kolesterol (Soegondo dan Purnamasari, 2014).
Dislipidemia aterogenik terjadi akibat pengaruh insulin terhadap cholesterol
ester transfer protein (CETP) yang memperlancar transfer cholesteryl ester (CE)
dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terjadinya katabolisme dan
apoA, komponen protein HDL. Obesitas abdominal meningkatkan terjadinya
lipogenesis, peningkatan jumlah insulin sehingga sensitivitas insulin turun dan
terjadi resistensi insulin, akumulasi trigliserida serta meningkatkan apoptosis
adiposit yang menyebabkan produksi ROS meningkat, sehingga terjadi stres
oksidatif (Susantiningsih, 2015).
Peningkatan trigliserida dan penurunan HDL kolesterol pada obesitas
21
abdominal yang disertai resitensi insulin akan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh
berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun.
2.2.5.4 Peningkatan tekanan darah
Gambar 2.5 Peningkatan ROS pada obesitas, sindrom metabolik dan hipertensi
(Tangvarasittichai, 2015).
FFA: Free fatty acid; SM: Metabolic syndrome; HT: Hypertension; IGT: Impaired
glucose tolerance.
Sindrom metabolik terkait dengan salt sensitive hipertension (hipertensi yang
sensitif terhadap garam). ROS berperan dalam mekanisme sindrom metabolik dan
salt sensitive hipertension, yang mana akan menyebabkan terjadinya over
produksi dari ROS. Pembatasan asupan garam dan diet penurunan berat badan
pada pasien hipertensi yang mengalami obesitas ternyata dapat lebih menurukan
22
tekanan darah daripada pasien hipertensi yang tidak obesitas. Oksidatif stress pada
lemak abdominal meningkatkan sekresi adipositokin seperti TNF-α,
angiotensinogen dan asam lemak non ester. Pada pasien tinggi renin (non-
modulating salt sensitive hipertension) terjadi peningkatan level homeostasis
model assessment of insulin resistence (HOMA-IR). Pasien dengan salt sensitive
hipertension non obese memiliki sensitifitas insulin yang rendah dibandingkan
dengan non-salt sensitive hipertension. Resistensi insulin juga dapat
menyebabkan terjadinya obesitas dengan salt sensitive hipertension dan sindrom
metabolik. Peningkatan produksi ROS berlebih dari ginjal juga dapat
meningkatkan salt sensitive hipertension. Peningkatan oksidatif stress pada ginjal
berkontribusi pada perkembangan salt sensitive hipertension. Selanjutnya
produksi ROS yang berlebihan pada sel endotelial akan menekan vasodilatasi NO-
dependent yang juga berperan terhadap perkembangan salt sensitive hipertension
(Tangvarasittichai, 2015).
Resistensi insulin juga memegang peranan penting terhadap pathogenesis
hipertensi, insulin merangsang sistem saraf simpatis dengan meningkatkan
reabsobsi natrium ginjal, mempengaruhi transpor kation dan mengakibatkan
hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akan
menyebabkan terjadinya hipotensi akibat terjanya vasodilatasi, dengan demikian
disimpulkan bahwa hipertensi pada resistensi insulin terjadi akibat
ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor (Soegondo dan
Purnamasari, 2014).
Peningkatan tekanan darah sesuai kriteria SM yang terbaru berdasarkan IDF
23
tahun 2005 adalah sistolik ≥ 130mmHg dan diastolik ≥ 85mmHg (Effendi, 2013
dan Soegondo dan Purnamasari, 2014).
Peningkatan tekanan darah pada obesitas abdominal yang disertai resitensi
insulin akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, maka jumlah SAT yang
mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS
yang berlebihan turun (Tangvarasittichai, 2015).
2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas (free radical) oleh Soeatmaji (1998) didefinisikan sebagai
suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya smenjadi komponen yang tidak stabil dan
sangat reaktif. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa
tersebut sangat reaktif dalam mencari pasangan dengan cara mengikat elektron
yang berada di sekitarnya sehingga dapat merusak senyawa di sekitarnya dengan
membuat radikal bebas baru (Winarsi, 2011).
Jika senyawa yang terikat oleh radikal bebas tersebut bersifat ionik maka
dampak negatif yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Tetapi bila elektron yang
terikat oleh radikal bebas berikatan kovalen akan sangat berbahaya. Umumnya
senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul molekul besar yang
disebut biomakromolekul penyusun sel, yaitu lemak, protein, asam nukleat dan
polisakarida. Molekul molekul tersebut berpengaruh pada fungsi biologis yang
sangat mendasar, sehingga dampak dari radikal bebas tersebut dapat menimbulkan
kerusakan sel, jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif hingga kanker
24
(Winarsi, 2011).
Radikal bebas dan senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species) sel
berasal dari proses metabolisme normal dalam tubuh dan dari luar tubuh. Radikal
bebas yang berasal dari dalam tubuh terbentuk akibat berbagai proses kimia
kompleks di dalam tubuh, berupa hasil proses oksidasi atau pembakaran sel yang
berlangsung pada proses respirasi, proses pencernaan dan proses metabolisme,
diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, peroksisom, lipoksigenase,
retikulum endoplasma dan inti sel, sitokrom P450. Peningkatan radikal bebas juga
dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan. Radikal bebas yang
berasal dari luar tubuh didapat dari polutan seperti asap rokok, asap kendaraan
bermotor, radiasi sinar matahari, radiasi ionisasi, makanan yang mengandung
pengawet, perasa dan pewarna makanan, alkohol, bahan racun yang berasal dari
lingkungan seperti pestisida, dan masih banyak lagi yang lainnya (Effendi, 2013).
Senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species) juga memiliki peran
penting dalam pesinyalan redoks untuk menjaga homeostasis seluler balance
antara produksi ROS dan antioksidan (Effendi, 2013).
Stress oksidatif terdapat pada keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi
kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan. Stress oksidatif timbul sejalan
dengan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan
alami pun semakin berkurang (Winarsi, 2011).
25
Gambar 2.6 Keseimbangan oksidan antioksidan (Effendi, 2013)
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah substansi nutrisi maupun non nutrisi yang terkandung
dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya
kerusakan oksidatif dalam tubuh (Winarsi, 2011). Dalam pengertian kimia,
antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, dalam arti biologis
pengertian antioksidan sangat luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam efek
negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam
(Winarsi, 2011).
26
Gambar 2.7 Efek antioksidan (Effendi, 2013)
Penggolongan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi
tiga yaitu : antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer atau
antioksidan endogenous adalah antioksidan yang dapat disintesis oleh tubuh.
Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Bekerja mencegah
pembentukan radikal bebas baru dengan cara memberikan atom hidrogen secara
cepat kepada senyawa radikal kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera
menjadi menjadi molekul yang lebih stabil sehingga kurang mempunyai dampak
negatif. Yang termasuk dalam antioksiden primer adalah Super Oxide Dismutase
(SOD), yang ada di dalam tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn
SOD) dan di sitoplasma (Cu Zn SOD), katalase (Cat) dalam sitoplasma, dapat
mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2, berbagai macam enzim peroksidase,
seperti glutation peroksidase (GSH-Px) yang dapat meredam H2O2 menjadi H2O
27
melalui system siklus redoks glutation. Senyawa yang mengandung gugusan
sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil
dengan mengkatalisir menjadi H2O. Sebagai antioksidan, enzim enzim tersebut
menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai
(polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil.
Antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioksidant (Winarsi,
2011).
Antioksidan sekunder adalah antioksidan eksogenus atau non enzimatik yang
berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh
tetapi berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E,
Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan kelompok ini disebut sebagai
sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanannya terbentuknya ROS
(reactive oxygen species) dihambat atau dirusak pembentukannya dengan
pengkelatan metal (Winarsi, 2011). Antioksidan bekerja sebagai pertahanan utama
tubuh terhadap kondisi stres oksidatif, dengan cara menangkap radikal bebas (free
radical scavenggers) dan mencegah reaktivitas amplifikasinya (Winarsi, 2011).
Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler
yang rusak sebagai akibat reaktivitas dari radikal bebas (Winarsi, 2011).
2.5 Hubungan Obesitas dan komponen Sindrom Metabolik terhadap
Antioksidan
Komponen utama dalam SM adalah obesitas, dimana pada obesitas terjadi
peningkatan jaringan lemak tubuh berlebihan yang diakibatkan oleh
28
ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang masuk dan pengeluaran energi.
Jaringan lemak (jaringan adiposit) adalah jaringan ikat yang berfungsi sebagai
depot penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida (Sugondo, 2014). Selain
sebagai tempat penyimpanan energi, juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin
yang mensekresikan berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam
proses metabolisme. Pada penderita obesitas, terjadi ketidakseimbangan pada
pelepasan adipositokin, sel adiposit akan berusaha mempertahankan
keseimbangan energi dengan melepaskan interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis
factor – α (TNF-α) serta monocyte chemotatic protein – 1 (MCP-1). Pelepasan
sitokin oleh sel adiposit tersebut menandai awalnya inflamasi. Obesitas adalah
bentuk inflamsi kronik, interleukin 6 dan TNF-α dapat memicu C-reactive protein
(CRP) di hati, CRP yang diproduksi secara terus menerus akan memperberat
inflamasi melalui aktivasi kronik terhadap sel endotel yang akan mengakibatkan
terjadinya disfungsi endotel (Pusparini, 2007).
Jaringan adiposa berfungsi sebagai organ endokrin yang mensekresikan
berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam proses metabolisme. Ini
terbukti dengan adanya struktur protein spesifik yang disekresikan oleh adiposit di
sirkulasi darah. Beberapa substansi seperti leptin, adipsin, tumor necrosis factor –
alfa (TNFα), transforming growth factor-beta (TGFβ), interleukin-6 (IL-6),
angiotensinogen, apolipoprotein-E, plasminogen activator inhibitor type (PAI-1),
tissue factor (TF), adiponectin, peroxisome proliferators acticated receptor gamma
(PPAR-γ), resistin, metallothionein, prostaglandin F-2 alpha (PDF2α), insulin like
factor-1 (IGF-1), macrophage inhibitory factor (MIF), nitric oxide (NO) serta
29
beberapa senyawa bioaktif yang khususnya berasal dari jaringan adiposa visceral.
Senyawa senyawa tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya stress oksidatif
dan SM (Susantiningsih, 2015 dan Spiegelman, 2001).
Proses lipolisis yang tinggi akan menyebabkan jumlah stress oksidatif yang
dihasilkan juga menjadi sangat tinggi, jumlah reactive oxygen species (ROS)
meningkat akibat peningkatan enzim oksidase dan disregulasi hormon adipositas.
Peningkatan jumlah stress oksidatif akan menyebabkan terjadinya gangguan
dalam proses metabolisme, baik asupan glukosa pada otot maupun pada jaringan
adiposa, resistensi insulin dan kerusakan sel menyebabkan terjadinya disfungsi
endotel, diikuti oleh terjadinya ateroskelrosis dan akhirnya menyebabkan
terjadinya penyakit kardiovaskuler (Pusparini, 2007).
30
Gambar 2.8 Mekanisme modulasi oksidan dan antioksidan balans pada obesitas
(Savini dan Catani, 2013).
AGEs: advanced glycation end products; ATF: NF-κB, activating transcription
factor; CPT2: carnitine palmitoyltransferase 2; CREB: cyclic AMP response
element binding; ER: endoplasmic reticulum; FAS: fatty acid synthase; FoxO:
forkhead box, sub-group O; HO-1: heme oxygenase-1; iNOS: inducible nitric
oxide synthase; LPS: lipopolysaccharide MCP-1: monocyte chemotactic protein-
1; miR: microRNA; NF-κB: nuclear factor-κB; Nox: NADPH oxidase; PKC:
protein kinase C; PPAR-α: peroxisome proliferator-activated receptor-α; SCD1:
stearoyl-CoA desaturase-1; SIRT: sirtuin; SREBP1: sucrose responsive element
binding protein1; STAT3: signal transducer and activator of transcription 3; TGF-
β: transforming growth factor-β; TNF-α: tumor necrosis factor-α.
Bagan di atas menerangkan mengenai mekanisme modulasi oksidan dan
antioksidan balans pada obesitas. Pada bagian kiri menggambarkan mekanisme
penyebab terjadinya oksidatif stress yang berlebihan pada obesitas dan komponen
SM yang akan menyebabkan ketidakseimbangan antara oksidan antioksidan,
sehingga jumlah SAT tubuh akan turun. Dan pada gambar kanan menggambarkan
strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki antioksidan tubuh. Edukasi
yang dapat diberikan antara lain dengan menurunkan berat badan, olahraga,
memperbanyak konsumsi asupan sayuran dan buah yang tinggi antioksidan,
pemberian suplemen antioksidan tambahan berupa vitamin C, E, A, B2, B6, B12,
probiotik, arginin, leucin dan sebagainya (Savini dan Catani, 2013).
2.6 Pemeriksaan Antioksidan
Metode pemeriksaan antioksidan ada beberapa cara. Dalam beberapa tahun
terakhir pemeriksaan oxygen radical absorbance capacity assays dan enhanced
chemiluminescence assay banyak digunakan untuk mengevaluasi makanan, serum
dan cairan biologis lainnya. Metode ini memerlukan peralatan dan tehnik
31
ketrampilan khusus untuk analisisnya. Metode lainnya yang juga dipakai adalah
electron spin resonance (ESR) dan chemiluminescence. Metode ini mengukur
kemampuan antioksidan melawan radikal bebas seperti 1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazyl (DPPH) radical, superoxide anion radical (O2), hydroxyl radical
(OH) atau peroxyl radical (ROO). Hasil yang diperoleh bisa berbeda beda
tergantung pada spesifikasi radikal bebas yang dipakai sebagai reaktan (Prakash et
al., 2006).
Metode pemeriksaan malondialdehyde (MDA) atau thiobarbituric acid
reactive-substances (TBARS) assays mengukur peroksidasi lipid pada membran.
Metode ini akan memakan waktu lama karena bergantung pada oksidasi dari
substrat yang dipengaruhi oleh suhu, tekanan, matriks dan lain lain, sehingga tidak
praktis bila jumlah sampel yang diukur banyak. Metode Oxygen Radical
Absorbance Capacity (ORAC) juga digunakan untuk memeriksa kapasitas
antioksidan pada buah dan sayur (Prakash et al., 2006).
Sebuah metode cepat, sederhana, dan murah untuk mengukur kapasitas
antioksidan makanan melibatkan penggunaan radikal bebas 2,2-Diphenyl-1-
picrylhydrazyl (DPPH). DPPH telah banyak digunakan untuk menguji
kemampuan senyawa yang bertindak sebagai radikal bebas atau donor hidrogen
dan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan pada makanan. Saat ini telah
digunakan untuk mendeteksi keseluruhan kapasitas antioksidan pada sistem
biologi yang kompleks. Pengukuran kapasitas antioksidan total membuat
pemahaman mengenai sifat makanan (Prakash et al., 2006).
Status antioksidan total adalah jumlah keseluruhan senyawa antioksidan
32
dalam serum dan plasma darah yang dapat menghambat pembentukkan radikal
bebas. Pemeriksaan SAT menggunakan RANDOX kit dan alat ADVIA 1800
dengan metode kolorimetri pada sampel darah vena. Nilai Normal untuk SAT
adalah sebesar 1.30-1.77 mmol/L plasma. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah
untuk menilai daya tahan tubuh atau perlindungan tubuh terhadap serangan
radikal bebas, atau sebagai skrining awal kerusakan sel akibat stress oksidatif
serta monitoring pemberian obat atau suplemen antioksidan (Randox kit manual,
2006). Dengan demikian maka pemeriksaan SAT dari RANDOX dapat dijadikan
acuan untuk menilai daya tahan tubuh terhadap serangan radikal bebas atau
sebagai skrining kerusakan sel akibat stress oksidatif pada SM.