tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · pembentukan akar, dominansi apikal, respon tropisme,...

13
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Jagung Jagung merupakan salah satu anggota dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae, ordo Andropogoneae, subordo Tripsacineae dan genus Zea. Jagung merupakan tanaman pangan beriklim panas dan pada dasarnya tumbuh pada temperatur antara 21-30 o C (70-86 F), meskipun benih berkecambah optimum pada temperatur yang lebih rendah, antara 18-21 o C (64-58 F) (Martin, 1989). Jagung menunjukkan pertumbuhan yang kerdil pada suhu dibawah 10 o C dan diatas 45 o C. Hasil atau produksi tinggi ditemukan di area dimana jagung membutuhkan waktu 130-140 hari untuk mencapai kematangan (White dan Johnson, 2003). Varietas-varietas yang adaptif pada hari panjang di daerah berilklim sedang akan menjadi pendek dan tidak produktif pada hari pendek di daerah beriklim tropis. Produktivitas jagung akan berkurang di tanah yang cukup masam (pH <5) atau tanah basa (pH >8) (Martin, 1989). Jagung merupakan salah satu spesies pertama yang diketahui memiliki lintasan fotosintesis asam dikarboksilat C4. Tanaman C4 lebih efisien dalam penggunaan air daripada kebanyakan tanaman C3. Daun jagung memiliki laju fotosintesis yang tinggi, tingkat kompensasi CO 2 yang rendah, dan tidak jenuh cahaya untuk fotosintesis, sekalipun saat cahaya matahari penuh (Fisher dan Palmer, 1992). Tanaman jagung memiliki struktur pembungaan monocious (berumah satu) dengan bunga jantan (staminate) di bagian ujung tanaman (tassel) dan bunga betina (pistillate) di tunas bagian tengah batang. Penyerbukan disempurnakan oleh transfer polen yang telah matang dari stamen yang berasal dari tassel ke tangkai putik (silk), organ penerima serbuk sari pada bunga betina (Poehlman dan Sleper, 1995). Tidak seperti serealia lainnya, tanaman jagung memproduksi hasil ekonominya (bijian) pada tunas samping (lateral). Jagung bersifat protandrous, yaitu bunga jantan mekar (pecahnya polen) biasanya terjadi satu atau dua hari sebelum muncul tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Oleh karena bunga betina dan bunga jantan terpisah dan memiliki sifat protandrous, jagung termasuk spesies tanaman menyerbuk silang (Fisher dan Palmer, 1992).

Upload: nguyentram

Post on 14-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Syarat Tumbuh Jagung

Jagung merupakan salah satu anggota dari famili Gramineae (Poaceae),

subfamili Panicoideae, ordo Andropogoneae, subordo Tripsacineae dan genus

Zea. Jagung merupakan tanaman pangan beriklim panas dan pada dasarnya

tumbuh pada temperatur antara 21-30 oC (70-86 F), meskipun benih berkecambah

optimum pada temperatur yang lebih rendah, antara 18-21 oC (64-58 F) (Martin,

1989). Jagung menunjukkan pertumbuhan yang kerdil pada suhu dibawah 10 oC

dan diatas 45 oC. Hasil atau produksi tinggi ditemukan di area dimana jagung

membutuhkan waktu 130-140 hari untuk mencapai kematangan (White dan

Johnson, 2003). Varietas-varietas yang adaptif pada hari panjang di daerah

berilklim sedang akan menjadi pendek dan tidak produktif pada hari pendek di

daerah beriklim tropis. Produktivitas jagung akan berkurang di tanah yang cukup

masam (pH <5) atau tanah basa (pH >8) (Martin, 1989).

Jagung merupakan salah satu spesies pertama yang diketahui memiliki

lintasan fotosintesis asam dikarboksilat C4. Tanaman C4 lebih efisien dalam

penggunaan air daripada kebanyakan tanaman C3. Daun jagung memiliki laju

fotosintesis yang tinggi, tingkat kompensasi CO2 yang rendah, dan tidak jenuh

cahaya untuk fotosintesis, sekalipun saat cahaya matahari penuh (Fisher dan

Palmer, 1992).

Tanaman jagung memiliki struktur pembungaan monocious (berumah

satu) dengan bunga jantan (staminate) di bagian ujung tanaman (tassel) dan bunga

betina (pistillate) di tunas bagian tengah batang. Penyerbukan disempurnakan oleh

transfer polen yang telah matang dari stamen yang berasal dari tassel ke tangkai

putik (silk), organ penerima serbuk sari pada bunga betina (Poehlman dan Sleper,

1995). Tidak seperti serealia lainnya, tanaman jagung memproduksi hasil

ekonominya (bijian) pada tunas samping (lateral). Jagung bersifat protandrous,

yaitu bunga jantan mekar (pecahnya polen) biasanya terjadi satu atau dua hari

sebelum muncul tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Oleh karena

bunga betina dan bunga jantan terpisah dan memiliki sifat protandrous, jagung

termasuk spesies tanaman menyerbuk silang (Fisher dan Palmer, 1992).

5

Heterozigositas dan keragaman genetik adalah karakteristik dari tanaman

menyerbuk silang. Berdasarkan ilmu pemuliaan, varietas jagung dapat dibedakan

menjadi dua yaitu varietas bersari bebas (open pollinated) dan hibrida. Sumber

polen pada jagung bersari bebas dapat berasal dari tetua yang berbeda. Hal ini

menyebabkan di suatu pertanaman jagung bersari bebas tidak ada jagung yang

benar-benar tepat memiliki genotipe yang sama (Poehlman dan Sleper, 1995).

Jagung hibrida menggantikan kultivar bersari bebas karena produksi

jagungnya yang lebih tinggi. Potensi untuk hasil tinggi adalah sasaran yang

kompleks disebabkan oleh ekspresi gen yang berasosiasi dengan pengambilan

nutrisi, fotosintesis, transpirasi, translokasi, dan metabolisme pada tanaman

jagung, serta interaksi gen dengan lingkungan. Produksi hasil juga dipengaruhi

oleh asosiasi gen dengan karakter-karakter yang berperan dalam stabilitas

produksi, seperti kemasakan optimum, kualitas batang, dan ketahanan terhadap

stres lingkungan atau ketahanan terhadap hama penyakit (Poehlman dan Sleper,

1995).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari

tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta

menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat

memperbanyak diri dan beregenerasi mejadi tanaman utuh kembali (Gunawan,

1992). Teknik ini digunakan untuk tujuan propagasi, modifikasi genotipe

(pemuliaan tanaman), produksi biomassa produk-produk biokimiawi, patologi

tanaman, penyimpanan dan pengawetan, penelitian ilmiah dan lain-lainnya

(Hartmann et al., 1990).

Hartmann et al. (1990) membedakan jenis regenerasi tanaman secara

vegetatif (somatik) pada kultur jaringan menjadi lima jenis, yaitu kultur ujung

meristem (meristem-tip culture), proliferasi tunas aksilar (axillary shoot

proliferation), induksi tunas adventif (adventitious shoot induction),

organogenesis, dan embriogenesis somatik. Bila embrio terbentuk langsung dari

kultur anther atau mikrospora prosesnya disebut androgenesis. Sedangkan proses

pembentukan embrio dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebut

6

ginogenesis. George et al. (2008) mengelompokkan jenis regenerasi tanaman

dalam dua tipe kultur yaitu kultur struktur terorganisir (cultures of organized

structures) dan kultur struktur tidak terorganisir (cultures of unorganized

structure). Pengelompokan kultur tersebut berdasarkan asal eksplan.

Kultur struktur terorganisir (kultur organ). Kultur organ digunakan

sebagai istilah umum untuk jenis-jenis kultur dimana suatu pertumbuhan bentuk

organ dapat dipelihara secara kontinyu. Hal ini mencakup kultur meristem

(meristem cultures), kultur tunas ujung atau kultur tunas, kultur node (node

culture) dari mata tunas leteral yang terpisah, kultur isolasi akar (isolated root

cultures dan kultur embrio (embryo cultures).

Kultur struktur yang tidak terorganisir. Kultur jaringan umumya

digunakan sebagai sebuah istilah untuk mendeskripsikan semua jenis kultur

tanaman secara in vitro. Walaupun seharusnya hanya mengacu pada kultur

agregat sel yang tidak terorganisir. Jenis kultur berikut ini yang paling umum

dikenal yaitu: kultur kalus (atau jaringan), kultur suspensi, kultur protoplasma dan

kultur anther.

Kultur jaringan memerlukan media kultur yang mampu memenuhi

kebutuhan hara tanaman. Media kultur jaringan terdiri atas kompenen-komponen

yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: elemen mineral, senyawa

organik, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan pH media (Acquaah, 2004).

1. Elemen mineral

Elemen mineral terdiri atas nutrisi makro dan mikro seperti yang terdapat

dalam tanah mineral. Beberapa komposisi dari elemen mineral yang paling umum

digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Elemen mineral terdiri atas

nutrisi inorganik yang berfungsi sebagai nutrisi makro dan mikro bagi tanaman.

Nutrisi makro meliputi Nitrogen dari NO3 dan NH4, Fosfor (P), dan Pottasium

(K). Nutrisi mikro meliputi Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo, Co, dan I.

2. Senyawa Organik

Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor lain yang

mendukung pertumbuhan. Senyawa organik yang umum digunakan adalah gula,

7

vitamin, dan myo-inositol (Tabel 1). Gula yang paling umum adalah sukrosa, gula

utama yang ditransportasikan di hampir semua spesies tanaman (Acquaah, 2004).

Tabel 1. Senyawa organik yang umum digunakan dalam media kultur

jaringan

Senyawa Fungsi

Gula Biasanya sukrosa (terkadang fruktosa, glukosa, sorbitol); energi

karbon; berkontribusi dalam potensial osmotik.

Vitamin Biasanya thiamine (B1), tetapi juga nicotinic acid (niacin/ B2),

pyridoxine (B6), vitamin C, E; syarat untuk metabolisme

karbohidrat.

Myo-

inositol

Gula alkohol; memiliki peran pada perkembangan membran dan

dinding sel.

Organik

kompleks

Meliputi santan, ekstrak ragi (yeast), jus buah; secara umum

meningkatkan pertumbuhan.

Arang aktif Menyerap senyawa racun yang dikeluarkan oleh jaringan

tanaman; membantu dalam induksi akar.

3. Zat pengatur tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang

mampu mendorong, menghambat, atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan

dan perkembangan tanaman. Semua hormon tanaman sintetik yang mempunyai

sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon alami tanaman adalah

ZPT (Wattimena, 1992). Zat pengatur tumbuh sama artinya dengan hormon

pertumbuhan pada hewan dan memiliki dampak morfogenik pada kultur jaringan.

Manipulasi perkembangan dan pertumbuhan dari kultur sel dan jaringan dapat

dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi dari ZPT. Zat pengatur tumbuh

yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin (Tabel 2).

Auksin umumnya memicu pertumbuhan akar, sementara sitokinin memicu

pertumbuhan tunas (Acquaah, 2004).

8

Tabel 2. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur

jaringan

Senyawa Fungsi

Auksin Menyebabkan pemanjangan sel, akar adventif dan dormansi

apikal. Berguna juga untuk induksi kalus dari eksplan dan

embriogenesis somatik. Contoh auksin alami adalah Indole-3-

Acetic Acid (IAA), Indole-3-Butyric Acid (IBA), auksin sintetik

meliputi 1-Naphthalene Acetic Acid (NAA), 2.4-Dichlorophenoxy

Acetic Acid (2.4-D), 2.4.5-Trichloropenoxy Acetic Acid (2.4.5-T),

Dicamba, Tordon 4-CPA, dan Picloram.

Sitokinin Menyebabkan dampak yang berlawanan terkait dominansi apikal.

Sering menghambat embriogenesis dan induksi akar. Terdiri atas

sitokinin alami (contohnya zeatin) dan sintetik (contohnya

benzyladine atau BA, kinetin)

Giberellin Peran utamanya adalah untuk memicu pemanjangan batang dan

pembungaan. Hanya dua bentuk yang dapat digunakan dalam

kultur jaringan yaitu GA3 dan GA4+7.

Menurut Wattimena et al. (1992) peran fisiologi auksin adalah mendorong

pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xylem dan floem,

pembentukan akar, dominansi apikal, respon tropisme, menghambat pengguguran

daun, bunga dan buah, pada tanaman diocious berperan dalam pembentukan

bunga betina. Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel,

morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pemecahan dormansi,

pembukaan stomata, pembentukan buah partenokarpi dan pembentukan umbi

pada kentang. Sitokinin juga menghambat senescence dan absisi. Contoh sitokinin

sintetik lainnya adalah 2-iP, PBA. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-

masing ZPT tersebut (auksin dan sitokinin) tergantung dari: jenis eksplan, kondisi

(lingkungan kultur) serta jenis sitokinin dan auksin yang dipergunakan.

Morfogenesis dari eksplan pada kultur jaringan selalu bergantung pada

interaksi antara auksin dan sitokinin. Prinsip keseimbangan auksin dan sitokinin

9

dari Skoog dan Miller (1975) digambarkan oleh George dan Sherrington (1984)

dalam Wattimena et al. (1992) seperti pada Gambar 1.

.

Auksin Sitokonin

Tinggi Rendah

Gambar 1. Keseimbangan Auksin dan Sitokinin dalam Proses Morfogenesis

Gambar tersebut menjelaskan tentang keseimbangan auksin dan sitokinin

sebagai berikut:

1. Pembentukan akar pada stek in vitro hanya memerlukan auksin tanpa

sitokinin atau dengan sitokinin dalam konsentrasi rendah sekali.

2. Embriogenesis memerlukan nisbah auksin sitokinin yang tinggi

(konsentrasi auksin lebih tinggi dari konsentrasi sitokinin).

3. Pembentukan akar adventif dari kalus selain auksin tetap dibutuhkan

sitokinin.

4. Pembentukan kalus dari tanaman dikotil tetap memerlukan sitokinin

disamping auksin yang tinggi, sedangkan pada tanaman monokotil

pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa

sitokinin.

5. Pembentukan tunas adventif disamping memerlukan sitokinin dalam taraf

konsentrasi yang tinggi tetap diperlukan juga auksin dalam taraf

konsentrasi rendah.

Pembentukan akar

pada stek in vitro

Embriogenesis

Pembentukan tunas

adventif dari kalus

Inisiasi kalus

tanaman dikotil

Pembentukan tunas

adventif

Proliferasi tunas

aksilar

10

6. Proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi

yang tinggi, tanpa auksin atau dengan auksin dalam konsentrasi yang

rendah sekali.

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik adalah proses dimana sel somatik berkembang

melalui tahapan embriogeni menjadi tanaman utuh tanpa fusi gamet.

Embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung (direct) dengan sel

embriogenik berkembang secara langsung dari sel eksplan, atau secara tidak

langsung (indirect) dengan sejumlah ketidak teraturan, siklus mitosis non

embrionik yang terjadi antara jaringan eksplan terdiferensiasi dan struktur

embrionik (Merkle et al., 1990). Struik (1991) menyatakan dalam artian yang

lebih sederhana bahwa embriogenesis somatik dapat terjadi melalui dua jalur yang

berbeda, secara tidak langsung (setelah beberapa tipe kultur kalus) dan secara

langsung (tanpa fase pertumbuhan kalus). Secara skematis menurut Wattimena et

al. (1992) tahapan kultur kalus (morfogenesis secara tidak langsung) tersebut

adalah:

Pembentukan tunas secara tidak langsung Planlet

Eksplan Kalus

Embriogenesis tidak langsung Bibit

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel

jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Kalus dalam keadaan in vivo,

pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi

mikroorganisme: Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan

nematode. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George &

Sherrington dalam Gunawan, 1992). Kalus dalam kultur in vitro, dapat dihasilkan

dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin

dan kadang-kadang juga sitokinin. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua

bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan

sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon

11

dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan

menghasilkan kalus (Gunawan, 1992)

Wattimena et al. (1992) mengelompokkan embriogenesis somatik secara

tidak langsung menjadi empat, yaitu: (1) embriogenesis pada kultur kalus primer

(kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi), (2) embriogenesis pada

kultur kalus sekunder yaitu kalus primer yang tidak memiliki kemampuan

bermorfogenesis, namun bisa diinduksi melalui subkultur ke medium yang

menginduksi morfogenesis, (3) embriogenesis dari kultur suspensi dimana embrio

somatik dapat diinisiasi dari kalus embriogenik maupun dari kalus non-

embriogenik, sel-selnya tetap memiliki kemampuan untuk beregenerasi

membentuk embriosomatik dan pada umumnya embrio diinisiasi dari kalus yang

dikulturkan dalam medium cair, (4) pembentukan protocorm pada kultur jaringan

anggrek dan dapat dikatakan sebagai embriogenesis. Disamping terbentuk

langsung dari eksplan, protocorm juga dapat terbentuk secara tidak langsung dari

kalus atau kultur suspensi.

Embrio somatik adalah suatu struktur bipolar yang bebas, yang secara fisik

tidak menempel pada jaringan asalnya dan dihasilkan dari suatu sel somatik (sel

yang tidak reproduktif dan mengandung dua set kromosom). Tidak seperti embrio

zigotik yang diproduksi secara seksual (hasil dari reproduksi seksual) (Struik,

1991). Vajrabhaya, (1988) menyebutkan bahwa embrio zigotik dan embrio

somatik berasal dari sumber yang berbeda, namun memiliki kesamaan urutan dari

bentuk embrio mulai tahapan globular, hati, dan torpedo (embriogenesis). Embrio

somatik bisa berasal dari sel tunggal atau bahkan protoplas, tetapi juga dapat

dikembangkan dari banyak sel yang berasal dari sumber yang sama. Menurut

Gray (2005) embrio zigotik dan non-zigotik memiliki pola perkembangan yang

sama, yaitu melalui tahap globular, skutelar, dan koleoptilar untuk tanaman

monokotil, atau tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledonari untuk tanaman

dikotil dan konifer. Zimmerman (1993) menggambarkan kesamaan tahapan

embriogenesis somatik dan zigotik seperti pada Gambar 2.

Embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu induksi sel dan

kalus embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) hardening

12

(Purnamaningsih, 2002). Von Arnold (2008) menyebutkan regenerasi tanaman

melalui embriogenesis somatik meliputi lima tahapan yaitu:

1. Inisiasi kultur embriogenik dengan mengkulturkan eksplan primer pada

medium yang ditambahkan ZPT, terutama auksin tetapi seringkali

sitokinin.

2. Proliferasi kultur embriogenik pada media solid atau cair yang

ditambahkan dengan ZPT pada konsentrasi yang sama seperti pada tahap

inisiasi.

3. Pra-pendewasaan embrio somatik pada media dengan pengurangan atau

tanpa ZPT; hal ini menghambat proliferasi dan menstimulasi

pembentukan dan perkembangan awal somatik embrio.

4. Pendewasaan embrio somatik dengan mengkulturkan pada media yang

ditambahkan ABA dan atau memiliki penurunan potensial osmotik.

5. Regenerasi tanaman pada medium tanpa ZPT.

Gambar 2. Perbandingan antara Embriogenesis Somatik dan Embriogenesis

Zigotik (Zimmerman, 1993)

Embriogenesis somatik dari tanaman monokotil seperti pada jagung

berbeda dengan yang biasa terjadi pada tanaman dikotil khususnya dalam bentuk

atau struktur embrio yang mengikuti pola globular, torpedo, heart dan

13

cotiledonary. Embrio non-zigotik untuk tanaman monokotil memiliki pola

perkembangan melalui tahap globular, scutellar, dan coleoptilar (Gray, 2005).

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin

yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut

merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena

reaksi enzimatik dan fotooksidasi (Purnamaningsih, 2002). Auksin sintetik,

seperti 2.4-D, yang cukup efektif untuk memacu pembentukan dan proliferasi

kultur embriogenik, biasanya tidak dimetabolisme oleh sel pada tingkat yang

sama seperti auksin alami. Oleh karena itu, untuk menstimulasi pertumbuhan

lebih lanjut dari embrio somatik perlu mentransfer kultur embriogenik pada

medium yang rendah atau tanpa auksin. Salah satu mekanisme dimana auksin

dapat mengatur embriogenesis adalah melalui pengasaman sitoplasma dan dinding

sel (Zimmerman, 1993).

Konsentrasi 2.4-D yang paling umum digunakan adalah satu sampai

sepuluh mikromolar. Kebutuhan auksin atau ZPT lain untuk inisiasi

embriogenesis somatik secara umum ditentukan oleh stadia perkembangan

jaringan eksplan (Kutschera, 1994 dalam Von Arnold, 2008). Gambar 3

menunjukkan struktur kimia dari 2.4-Dicholophenoxyacetic acid.

Gambar 3. Struktur Kimia Zat Pengatur Tumbuh 2.4-D

Regenerasi Tanaman dari Kultur Jaringan Jagung

Embriogenesis merupakan salah satu jalur regenerasi tanaman.

Embriogenesis dalam kultur in vitro dapat terjadi secara langsung (direct atau

terbentuk langsung dari eksplan awal tanpa melalui fase kalus) dan tidak langsung

14

(indirect atau melalui fase kalus). Embriogenesis secara langsung hampir selalu

terjadi dalam sistem embriogenesis (Merkle et al., 1990). Finer (1995) dalam

percobaan embriogenesis langsung pada jagung menyatakan bahwa produksi

kalus biasanya justru tidak diinginkan jika tujuan penelitian adalah embriogenesis.

Eksplan yang sering digunakan untuk menginduksi dan mempelajari

embriogenesis secara langsung adalah embrio zigotik muda (Merkle et al., 1990).

Jaringan ini secara alami telah embriogenik dan membutuhkan sedikit nutrisi

dibandingkan jaringan embriogenik lainnya untuk menginduksi respon embrio

somatik. Menurut Gunawan (1992), bagian tanaman seperti embrio muda,

hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk

didiferensiasi dan menghasilkan kalus. Embrio zigotik juga harus berada pada

suatu status perkembangan yang responsif. Umur embrio atau jumlah hari setelah

polinasi harus dievaluasi guna menentukan stadia untuk induksi optimal (Finer,

1995). Proses perkembangan embrio zigotik jagung berdasarkan stadia umur

setelah polinasi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan Embrio Zigotik Jagung (Rochon et al., 1998)

Keterangan: HSP= Hari Setelah Polinasi; A) pembelahan sel zigotik; B) pretransisional proembrio;

C) transisional proembrio; D) stadia koleoptilar; E) stadia koleptilar 1; F) Stadia

koleptilar 2; ep= embrio proper; bc= sel dasar; s= suspensor; m= meristem; sc=

skutelum; sa= apeks tunas; cr= cincin koleptilar; ea= aksis embrio.

Regenerasi tanaman dari kultur jaringan jagung pertama kali dilaporkan

oleh Green dan Phillips (1975). Embrio muda dari genotipe jagung tertentu,

khususnya A188, diletakkan dengan aksis tunas-akar menyentuh media

Murashige dan Skoog (MS) yang dimodifikasi dan berisi 2.4-D sebagai sumber

auksin. Posisi seperti ini memperlambat perkecambahan embrio dan

15

meningkatkan proliferasi sel skutelar untuk menghasilkan kalus yang dapat

diregenerasikan. Kalus yang dihasilkan kompak (pencampuran proliferasi dari

seluruh jaringan kalus, meristem tunas, dan struktur menyerupai skutelum). Kalus

ini telah dimodelkan sebagai kalus ‘Tipe I’. Istilah Tipe I digunakan untuk

mendeskripsikan kalus jagung yang kompak dan embriogenik, mengindikasikan

bahwa kalus yang kompak pada beberapa kasus mendukung organogenesis dan

embriogenesis. Kalus Tipe I telah ditemukan pada banyak nomor genotipe jagung.

Kalus tipe I yang dihasilkan memiliki ciri kompak dan pertumbuhannya lambat

(Somers et al., 1988)

Kalus jagung yang friable dan embriogenik (tipe II) diisolasi dari sektor

embriogenik yang ditemukan pada kalus tipe I A188 di laboratorium B.G.

Gengenbach. Kalus ini berisi proembrio somatik dan embrio lahir dari suspensor

(semacam suatu struktur, yang diperkirakan asal suatu sel tunggal). Oleh karena

remah (friable) atau kurang kompak, dan pertumbuhannya cepat, kalus tipe II

dipilih untuk digunakan dalam percobaan seleksi in vitro. Amstrong dan Green

(1985) kemudian mendemonstrasikan bahwa prolin dikombinasikan dengan

medium N6 mampu menginduksi kalus yang remah dan embriogenik pada

genotipe A188. Kemanjuran prolin dalam menginduksi kalus remah dan

embriogenik bergantung pada genotipe dan ukuran/ umur eksplan embrio muda.

Hanya sedikit genotipe yang menghasilkan kalus remah dan embriogenik jika

dibandingkan dengan jumlah yang menghasilkan kalus Tipe I. Berdasarkan studi

genetik frekuensi inisiasi kalus tipe I dan II, telah menunjukkan bahwa inisiasi

kalus yang dapat diregenerasikan pada jagung di kontrol dengan oleh hanya

sedikit gen (Somers et al., 1988). Secara skematis regenerasi tanaman jagung

dengan menggunakan eksplan embrio muda yang ditemukan oleh Green dan

Philips (1975) dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Eksplan (embrio muda) Kalus embriogenik tipe I (kompak) Planlet

2. Eksplan (kalus embriogenik tipe I) kalus embriogenik tipe II (remah)

Planlet

Springer et al. (1979) melalui pemeriksaan histologi kultur jaringan jagung

yang berasal dari embrio muda menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang

terjadi adalah dengan cara organogenesis. Lu et al. (1982) menemukan bahwa

16

regenerasi tanaman juga dapat terjadi melalui embriogenesis somatik. Kedua tipe

regenerasi tersebut berasal dari kalus yang keras, kompak, putih atau kuning yang

dideskripsikan sebagai struktur mirip skutelar (scutellar) (Lu et al., 1983). Studi

histologi memberikan fakta bahwa embriogenesis adalah jalur regenerasi tanaman

yang lebih umum terjadi pada poliferasi jaringan kompak yang berasal dari

skutelum embrio muda jagung (Vasil et al., 2005).

Finer (1995) memberikan contoh untuk embriogenesis somatik secara

langsung menggunakan jagung (genotipe A188 dan B73) sebagai perwakilan

tanaman monokotil. Eksplan yang digunakan adalah embrio muda. Respon

embrio sebagian besar bergantung pada stadia perkembangan eksplan. Terdapat

dua tipe yang berbeda dari kalus embriogenik terbentuk. Tipe I berwarna putih

hingga krem dan keras, dengan perkembangan struktur lanjut (ditandai oleh

kehadiran embrio yang berkembang dengan sangat baik dan terdapat struktur yang

berwarna hijau). Kalus Tipe II berwarna krem hingga kuning terang dan remah.

Somatik embrio muda terlihat dipermukaan kalus embriogenik jagung tipe II.

Stadia embrio lanjut (skutelar dan koleoptilar) pada kalus jagung Tipe I

berkembang sangat cepat selama dalam kultur media perkembangan. Kalus Tipe

II membentuk proliferasi embrio terlebih dahulu pada stadia perkembangan awal

dan karena hal tersebut, kalus tipe II membutuhkan waktu lebih lama untuk

membentuk stadia embrio lanjut. Studi embriogenesis somatik jagung lebih rinci

disajikan dalam tabel pada Lampiran 1.