tinjauan pustaka kerbau - repository.ipb.ac.id · belakang (anus) sapi seperti, berwarna merah,...

16
TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Kerbau merupakan ternak penghasil daging merah dan susu. Kerbau di Indonesia juga banyak digunakan sebagai ternak pengangkut dan pembajak sawah. Beberapa daerah di Indonesia, khususnya Tanah Toraja, Sulawesi Selatan banyak menggunakan kerbau sebagai simbol upacara adat. Kerbau terbagi menjadi dua jenis yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Menurut Fahimuddin (1975) dua jenis kerbau tersebut tergolong pada spesies yang sama. Taksonomi kerbau dapat dilihat sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class : Mamalia Subclass : Theria Ordo : Artodactyla Subordo : Ruminantia Family : Bovidae Subfamily : Bovinae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus bubalis Kerbau rawa dan kebau sungai memiliki beberapa perbedaan. Kerbau rawa memiliki warna tubuh keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa ini sering digunakan sebagai ternak kerja. Pada umumnya kerbau rawa merupakan jenis kerbau penghasil daging dan sering ditemukan di daerah rawa atau berkubang pada tempat yang berlumpur. Kerbau sungai memiliki warna tubuh hitam atau abu-abu gelap dan tanduk melingkar atau lurus memanjang ke belakang. Pada umumnya kerbau sungai adalah jenis kerbau penghasil susu dan biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. (Fahimuddin, 1975). Perbedaan antara kerbau rawa dan kerbau sungai dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Upload: dinhnguyet

Post on 13-Mar-2019

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau merupakan ternak penghasil daging merah dan susu. Kerbau di

Indonesia juga banyak digunakan sebagai ternak pengangkut dan pembajak sawah.

Beberapa daerah di Indonesia, khususnya Tanah Toraja, Sulawesi Selatan banyak

menggunakan kerbau sebagai simbol upacara adat. Kerbau terbagi menjadi dua jenis

yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Menurut

Fahimuddin (1975) dua jenis kerbau tersebut tergolong pada spesies yang sama.

Taksonomi kerbau dapat dilihat sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Class : Mamalia

Subclass : Theria

Ordo : Artodactyla

Subordo : Ruminantia

Family : Bovidae

Subfamily : Bovinae

Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau rawa dan kebau sungai memiliki beberapa perbedaan. Kerbau rawa

memiliki warna tubuh keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang

mengarah ke belakang. Kerbau rawa ini sering digunakan sebagai ternak kerja. Pada

umumnya kerbau rawa merupakan jenis kerbau penghasil daging dan sering

ditemukan di daerah rawa atau berkubang pada tempat yang berlumpur. Kerbau

sungai memiliki warna tubuh hitam atau abu-abu gelap dan tanduk melingkar atau

lurus memanjang ke belakang. Pada umumnya kerbau sungai adalah jenis kerbau

penghasil susu dan biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. (Fahimuddin,

1975). Perbedaan antara kerbau rawa dan kerbau sungai dapat dilihat pada Gambar 1

dan 2.

3  

 

Sumb

Sumber : htt

ber : http://w

Gambtp://cybex.dep

Gamwww.ncbi.n

bar 1. Kerbptan.go.id/cate

mbar 2. Kerlm.nih.gov/

au Rawa egory/bidang/p

rbau Sunga/genome?ter

peternakan/ke

i rm=bubalus

erbau

s%20bubaliis

4

5  

Ternak kerbau merupakan ternak semiaquatic, dimana kerbau harus

dimandikan atau berkubang untuk mendapatkan produktivitas yang optimal. Tingkah

laku kerbau yang sering berkubang dikarenakan kondisi fisiologis kerbau yang

memiliki pori-pori keringat yang lebih kecil dibandingkan sapi. Peternak rakyat

dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semiintensif memandikan kerbau di sungai

atau di kandang pada pagi hari dan sore hari, sedangkan peternak dengan

pemeliharaan intensif memandikan dengan menyiran air ke tubuh kerbau di dalam

kandang.

Populasi Ternak Kerbau di Indonesia

Pendataan sapi potong, sapi perah dan kerbau 2011 yang merupakan program

Kementrian Pertanian bekerjasama dengan BPS (Badan Pusat Statistik, 2011)

menyatakan bahwa populasi kerbau tersebar merata di seluruh Indonesia. Hal ini

berbeda dengan sebaran populasi sapi potong dan sapi perah yang dominan berada di

pulau Jawa. Populasi kerbau terbesar berada di Sumatera dengan jumlah 512.821

ekor, serta populasi terendah terdapat di Pulau Maluku dan Papua sebesar 19.671

ekor. Rincian keseluruhan populasi kerbau, sapi potong, dan sapi perah dapat dilihat

pada Tabel 1. Hasil pendataan menunjukkan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

merupakan provinsi dengan populasi kerbau terbesar sebanyak 150 ribu ekor atau

11,5 persen dari populasi kerbau di Indonesia.

Selama periode 2003-2011 berdasarkan hasil sensus pertanian dan pendataan

sapi potong, sapi perah dan kerbau 2011 perkembangan populasi kerbau

menunjukkan penurunan (Badan Pusat Statistik, 2011). Tingkat penurunan rata-rata

sebesar 0,58 persen per tahun atau setara dengan 7,8 ribu per tahunnya (Tabel 2).

Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mengalami penurunan masing-masing 2,61

persen dan 1,75 persen per tahun. Pertumbuhan populasi kerbau di Pulau Maluku dan

Papua menunjukkan peningkatan yang tertinggi yaitu sebesar 4,61 persen per tahun,

sedangkan daerah lainnya kurang dari 2 persen per tahun peningkatannya. Hilmawan

(2010) menyatakan bahwa penurunan populasi ternak kerbau antara lain disebabkan

oleh : 1) Meningkatnya pemotongan kerbau karena permintaan konsumsi masyarakat

yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan populasi kerbau, 2)

Keterbatasan lahan penggembalaan bagi ternak kerbau, 3) Sistem reproduksi kerbau

6  

yang tergolong lamban, 4) Kecenderungan masyarakat yang lebih tertarik dalam

budidaya ternak sapi potong terkait perputaran modal yang cepat.

Tabel 1. Sebaran Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Sapi Perah Beberapa Provinsi Berdasarkan Hasil Akhir Perhitungan Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) di Indonesia 2011

Provinsi Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Populasi % Populasi % Populasi %

Sumatera 2.724.384 18,3 2.838 0,40 512.821 39,2 1. Aceh 462.840 3,12 31 0,01 131.494 10,0 2. Sumatera Utara 541.698 3,65 894 0,15 114.289 8,76 3. Sumatera Barat 327.013 2,21 484 0,08 100.310 7,69 4. Riau 159.855 1,08 172 0,03 37.716 2,89 5. Jambi 119.888 0,81 81 0,01 46.538 3,57 6. Sumatera Selatan 246.295 1,66 154 0,03 29.143 2,23 7. Bengkulu 98.948 0,67 247 0,04 19.971 1,53 8. Lampung 742.776 5,01 201 0,03 33.124 2,54 9. Kep. Bangka Belitung 7.733 0,05 119 0,02 222 0,02 10. Kepulauan Riau 17.338 0,12 - - 14 0,00 Jawa 7.512.273 50,6 592.520 99,2 362.049 27,8 11. DKI Jakarta 1.691 0,01 2.728 0,46 192 0,01 12. Jawa Barat 422.989 2,85 139.970 23,4 130.157 9,97 13. Jawa Tengah 1.937.551 13,0 149.931 25,1 75.674 5,80 14. D.I Yogyakarta 375.844 2,54 3.522 0,59 1.208 0,09 15. Jawa Timur 4.727.298 31,8 296.350 49,6 32.675 2,50 16. Banten 46.900 0,32 19 0,00 123.143 9,44 Bali dan Nusa 2.101.916 14,1 189 0,03 257.610 19,7 17. Bali 637.473 4,30 139 0,02 2.181 0,17 18. Nusa Tenggara Barat 685.810 4,63 18 0,00 105.391 8,08 19. Nusa Tenggara Timur 778.633 5,25 32 0,01 150.038 11,5 Kalimantan 437.406 2,95 369 0,06 41.534 3,18 20. Kalimantan Barat 153.320 1,03 227 0,04 3.166 0,24 21. Kalimantan Tengah 54.647 0,37 - - 6.491 0,50 22. Kalimantan Selatan 138.691 0,94 110 0,02 23.843 1,83 23. Kalimantan Timur 90.748 0,61 32 0,01 8.034 0,62 Sulawesi 1.790.318 12,0 1.741 0,29 110.393 8,46 24. Sulawesi Utara 105.225 0,71 22 0,00 - - 25. Sulawesi Tengah 230.682 1,56 8 0,00 3.271 0,25 26. Sulawesi Selatan 983.985 6,64 1.690 0,28 96.505 7,39 27. Sulawesi Tengah 213.736 1,44 - - 2.492 0,19 28. Gorontalo 183.868 1,24 8 0,00 13 0,00 29. Sulawesi Barat 72.822 0,49 13 0,00 8.112 0,62 Maluku dan Papua 258.076 1,74 11 0,00 19.671 1,51 30. Maluku 73.976 0,50 - - 17.568 1,35 31. Maluku Utara 60.840 0,41 - - 863 0,07 32. Papua Barat 41.464 0,28 - - 1 0,00 33. Papua 81.796 0,55 11 0,00 1.239 0,09 Indonesia (Total) 14.824.373 100 597.213 100 1.305.07 100 Sumber : Badan Pusat Statistik 2011

7  

Tabel 2. Perkembangan Populasi Kerbau Menurut Pulau 2003-2011

Regional Tahun Perkembangan Rataan /tahun 2003 2011 Ekor %

Sumatera 464.157 512.812 6.100 1,25 Jawa 448.566 363.490 -10.700 -2,61 Bali dan Nusa 296.794 257.610 -4.900 -1,75 Kalimantan 40.446 41.534 100 0,33 Sulawesi 103.553 110.393 900 0,80 Maluku dan Papua 13.718 19.671 700 4,61 INDONESIA 1.367.234 1.305.078 -7.800 -0,58 Sumber : Data Hasil Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011 (Badan Pusat Statistik 2011)

Produktivitas Kerbau Peran ternak kerbau bagi kehidupan peternak masih sangat penting. Menurut

Suhuby (2007) terdapat tiga alasan utama mengapa kerbau mempunyai peran

penting. Pertama, ternak kerbau memberikan kontribusi yang cukup besar bagi

kehidupan peternak dan petani di pedesaan sebagai sumber pendapatan asli daerah

(PAD) walaupun tanpa dukungan pemerintah dan tanpa perbaikan pola hidup.

Kedua, ternak kerbau masih dapat berproduksi dan bereproduksi dengan baik pada

kondisi alam dan agroekosistem yang sangat kritis, misalnya wilayah lahan kering

bagian Timur Indonesia (Pulau Sumbawa, Sumba, Flore, dll). Ketiga, ternak kerbau

dapat mengubah pakan yang sangat rendah nilai mutu gizinya seperti limbah

pertanian dan rumput alam yang bulky dan memiliki kandungan serat kasar yang

sangat tinggi, menjadi daging dan susu yang bergizi bagi manusia. Kerbau

merupakan ternak yang potensial untuk produksi daging, karena kerbau memiliki

bobot karkas yang lebih tinggi dibandingkan sapi lokal. Bobot hidup kerbau rawa

sebesar 370 kg, akan memperoleh bobot potong sebesar 360 kg, dengan karkas panas

sebesar 171,5 kg (Miskiyah dan Usmiati, 2009).

Produksi daging kerbau di Indonesia pada tahun 2010 hanya sebesar 37.299

ton, angka ini sangat kecil dibandingkan kontribusi daging sapi yang sebesar 435.299

ton (Tabel 3). Kebutuhan ternak potong/pedaging meningkat dari tahun ke tahun,

ternak sapi dan unggas merupakan ternak sumber daging (halal) utama di Indonesia.

Besarnya peran unggas dan sapi hingga saat ini disebabkan oleh pelaku industri dan

pemerintah hanya memfokuskan perhatian kepada dua jenis ternak ini saja. Hal ini

menyebabkan ternak sumber daging lainnya seperti kerbau, kambing, domba, dan

kuda kurang dapat dioptimalkan. Meningkatnya kebutuhan daging sapi di masa

8  

mendatang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan

masyarakat, tetapi peningkatan ini tidak diimbangi dengan laju populasi sapi yang

cenderung datar (Tabel 4). Maka dibutuhkan subtitusi dari ternak lain seperti kerbau

dan ternak ruminansia lainya untuk mengantisipasi terjadinya krisis kebutuhan

pangan hewani di Indonesia (Suhubdy, 2007).

Tabel 3. Produksi Daging Ternak (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010 Pulau Sapi Kerbau 2009 2010 2009 2010 Sumatera 78.529 82.035 16.338 17.336 Jawa 256.439 273.959 10.318 11.803 Bali 6.383 6.325 16 17 Nusa 13.053 13.909 3.015 3.040 Kalimantan 21.806 22.691 1.402 1.440 Sulawesi 27.414 30.217 3.205 3.294 Maluku 1.561 1.659 290 308 Papua 4.123 4.504 61 61 INDONESIA 409.308 435.299 34.645 37.299

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Tabel 4. Populasi Ternak (000 ekor) di Indonesia dari tahun 2007-2010 Ternak 2007 2008 2009 2010*)

Sapi potong 11.515 12.257 12.760 13.633Sapi Perah 374 458 475 495Kerbau 2.086 1.931 1.933 2.005Kuda 401 393 399 409Kambing 14.470 15.147 15.815 16.821Domba 9.514 9.605 10.199 10.932Babi 6.711 6.338 6.975 7.212Ayam Buras 272.251 243.423 249.964 268.957Ayam Petelur 111.489 107.955 99.768 103.841Ayam Pedaging 891.659 902.052 991.281 1.249.952Itik 35.867 38.840 42.318 45.292

Keterangan : *Angka Sementara Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2011

Reproduksi Kerbau Sistem reproduksi kerbau pada pertanian rakyat yang tidak ada recording dan

cara birahinya yang silent heat atau tidak mengeluarkan suara dan cenderung diam

merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembang biakan kerbau di Indonesia.

Menurut Lita (2009) Karakteristik reproduksi ternak kerbau di Muara Muntai,

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dapat dilihat pada Tabel 5.

9  

Sistem reproduksi ternak kerbau berbeda dengan sistem reproduksi ternak

sapi. Ternak sapi mengalami birahi pertama pada sekitar umur 1 tahun, beranak

pertama pada umur 2,5 tahun, dan lama bunting umur 283 hari. Tingkah laku birahi

sapi pun berbeda dengan kerbau. Sapi yang sedang birahi akan mengeluarkan suara

yang sering dan terlihat gelisah. Ciri-ciri lain yang dapat dilihat pada bagian

belakang (anus) sapi seperti, berwarna merah, bengkak, dan basah. Sistem reproduksi

ternak kerbau yang lebih lama dan susah terlihat saat birahi dibandingkan dengan

ternak sapi merupakan salah satu penyebab usaha ternak kerbau di Indonesia kurang

berkembang dengan baik dibandingkan ternak sapi (Affandy et al., 2007). Hal ini

menyebabkan populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke

tahun. Selain itu usaha pembibitan dan penggemukkan kerbau berskala industri

hampir tidak ada, dan Pemerintah lebih fokus pada pengembangan ternak sapi

sedangkan ternak kerbau kurang diperhatikan.

Tabel 5. Karakteistik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Muara Mutai Sifat Reproduksi Hasil Nusbah jantan : betina 1 : 4 Umur berahi pertama 2,8 tahun Umur Kawin 2,8 tahun Lama berahi - Panjang siklus berahi 18,5 hari Service per conception - Angka kebuntingan - Lama kebuntingan 365 hari Persentase kelahiran 75% Calf crop 67% Tingkat kematian anak 11% Umur kematian anak 1,7 bulan Berahi kembali 1,0 bulan Selang beranak 13 bulan Sumber : Lita (2009)

Kelebihan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai banyak kelebihan

dibandingkan ternak ruminansia lainnya. Kelebihan ternak kerbau dapat dilihat dari

habitat, karakteristik morfologi hingga pada anatominya, fisiologi pencernaan, dan

status nutrisinya. Sebagai ternak semi-aquatik kerbau dapat hidup dengan baik pada

dua kawasa (ecological zone). Kerbau di wilayah Timur Indonesia seperti di daerah

NTB, NTT dan Sulawesi memiliki produktivitas yang baik walaupun berada pada

10  

wilayah yang cukup kering dan panas, sedangkan kerbau rawa atau sungai di wilayah

Barat Indonesia seperti di daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan

dapat tetap berproduksi dengan habitat di dalam sungai dan rawa setiap harinya. Hal

ini menunjukkan bahwa ternak kerbau merupakan ternak yang sangat adaptif bila

ditempatkan dimana saja (Suhubdy, 2007).

Kelebihan ternak kerbau yang lainnya adalah kemampuannya yang luar biasa

dan spesifik dalam memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan dengan

protein kasar rendah dan serat kasar tinggi). Kemampuan ternak kerbau dalam

mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan ternak sapi dikarenakan kandungan

mikroba selulotik didalam tubuh kerbau lebih banyak dibandingkan ternak sapi

(Astuti, 2010). Hal ini dapat dilihat dengaan membandingkan jumlah kandungan

bakteri rumen kerbau dan sapi (Tabel 6).

Tabel 6. Jumlah Bakteri Rumen (x108/ml) pada Kerbau dan Sapi yang Diberikan Pakan Berserat Tinggi

Bakteri Sapi Kerbau Selulotik 2,58 6,86 Proteolitik 0,41 0,54 Amilolitik 8,63 11,05

Sumber : Astuti (2010), Kamra (2005)

Sistem Pemeliharaan Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Daerah Kalimantan Timur dilakukan

dengan cara ekstensif, dimana kerbau digembalakan pada padang rumput atau lahan

rawa dan pada malam hari kerbau beristirahat di kalangan. Kalangan adalah susunan

kayu yang dibangun sedemikian rupa di atas rawa sebagai tempat kerbau beristirahat

pada malam hari. Kalangan juga merupakan tempat kerbau betina melahirkan dan

merawat anaknya. Sistem pemeliharaan ekstensif sangat bergantung pada musim

hujan dan kemarau. Aktivitas kerbau pada musim hujan lebih banyak dihabiskan di

dalam kalangan, sedangkan pada musim kemarau kerbau banyak beraktivitas di

padang penggembalaan (Hamdan et al., 2005). Sistem pemeliharaan secara ekstensif

banyak dilakukan di kawasan Timur Indonesia, dimana kondisi agroklimat dan

topografi daerahnya didominasi hamparan lahan kering yang luas bervegetasi rumput

alam dan semak belukar sehingga (Suhubdy, 2007). Hilmawan (2010) menyatakan

bahwa kendala yang dihadapi peternak dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan

11  

semi intensif adalah musim dan terbatasnya lahan penggembalaan saat ini. Pada

musim kemarau peternak sulit memperoleh pakan hijauan sehingga harus mencari ke

tempat lain, sedangkan pada musim hujan sering terjadi banjir pada lahan

penggembalaan. Meningkatnya pembangunan infrastruktur di berbagai daerah

menyebabkan lahan penggembalaan ternak menyempit.

Sistem pemeliharaan kerbau tidak hanya secara ekstensif, di Kabupaten

Kudus, Jawa Timur ternak kerbau dipelihara menggunkan sistem pemeliharaan

semiintensif dan intensif. Sebanyak 26,67% peternak memelihara kerbau secara

intensif dan 73,33% secara semiintensif. Peternak di sekitar persawahan dan bantaran

sungai yang memiliki rerumputan umumnya melakukan pemeliharaan secara

semiintensif. Sedangkan pemeliharaan intensif pada umumnya dilakukan oleh

peternak kerbau yang disekitar perkandangannya tidak memiliki lahan. Menurut

Parakkasi (1999) Pemeliharaan sistem ekstensif bila ditinjau dari segi usaha tidak

merugi, karena biaya produksi hampir tidak ada. Namun untuk memenuhi kebutuhan

daging nasional sistem ini sangat tidak diharapkan. Hal ini disebabkan oleh lama

waktu yang dibutuhkan untuk penggemukkan sangat lama atau dapat dikatakan

produktivitasnya rendah. Pencapaian bobot badan 150 kg, memerlukan waktu sekitar

5 tahun. Sedangkan pemeliharaan dengan sistem intensif menghasilkan produksi

yang lebih efisien dan dapat memendekkan waktu produksi. Sistem pemeliharaan

intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum yang berkualitas baik

dan dapat memanfaatkan bahan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan

tembahan. Sistem intensif juga mempermudah dalam pengawasan kesehatan ternak

dan menggunakan lahan yang sedikit dibandingkan sistem ekstensif.

Pembibitan dan Penggemukan Kerbau

Pada umumnya usaha peternakan kerbau dibagi menjadi dua jenis yaitu usaha

pembibitan dan penggemukkan. Usaha Pembibitan adalah usaha memperbaiki dan

memperbanyak populasi ternak dengan melakukan seleksi terlebih dahulu untuk

menghasilkan bibit unggul bagi ternak pada generasi berikutnya. Aspek utama yang

harus diperbaiki dalam manajemen pembibitan kerbau adalah penyediaan bibit

unggul, peningkatan kualitas pakan, teknik reproduksi, dan pengawasan kesehatan,

utnuk mendukung perbaikan manajemen pembibitan tersebut diperlukan permodalan,

pemasaran, dan aspek penyuluhan (Hendayana dan Matondang, 2010).

12  

Usaha penggemukkan atau lebih banyak disebut program finish bertujuan

untuk memperbaiki kualitas karkas/daging. Banyak faktor yang mempengaruhi

kualitas tersebut, salah satu diantaranya adalah deposit lemak dalam karkas. Lama

proses penggemukan berhubungan dengan pertambahan bobot badan, grade, dan

komposisi karkas ternak. Hubungan tersebut yaitu semakin lama penggemukkan

maka pertambahan bobot badan semakin turun, tetapi persentase karkas meningkat

dan mencapai grade prime minimal mencapai grade standart. Lama penggemukkan

juga berpengaruh pada peningkatan kadar lemak, kadar air menurun, tetapi kadar

protein cenderung tetap (Parakkasi, 1999). Penggemukkan sapi/kerbau menggunakan

sistem feedlot adalah cara termurah pada kondisi negara-negara maju seperti

Amerika. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemeliharaan secara feedlot

pada ternak sapi/kerbau adalah ketersediaan feeder (sapi/kerbau yang digemukkan),

ketersediaan hijauan (segar/kering), konsentrat selama periode penggemukkan,

ketersediaan pasar yang baik, dan skill peternak harus terjamin (Parakkasi, 1999).

Karakteristik Kerbau dan Sapi

Ternak kerbau dan sapi merupakan ternak ruminansia yang memiliki banyak

persamaan. Salah satu persamaan antara ternak sapi dan kerbau adalah saluran

pencernaan dan proses yang terjadi di dalamya. Pencernaan ruminansia pada

umumnya dilakukan secara mekanik, fermentatif, dan enzimatik. Proses mekanik

terdiri dari pengunyahan atau perombakkan pakan didalam mulut menjadi partikel

yang lebih halus dan kontraksi yang terjadi di sepanjang usus. Pencernaan

fermentatif dilakukan oleh mikrobia yang hidup dalam beberapa bagian saluran

pencernaan ternak ruminansia, pada umumnya pencernaan fermentatif terjadi di

rumen. Pencernaan enzimatis dilakukan enzim yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh

yang berupa getah pencernaan (Tillman et al., 1991). Lambung ternak kerbau/sapi

terdiri dari empat bagian, yaitu retikulum, rumen, omasum, dan abomasums. Pada

bagian retikulum terjadi proses pencernaan secara mekanis, pada rumen terjadi

proses fermentasi yang dibantu oleh mikroorganisme (bakteri dan protozoa) yang

terkandung di dalamnya, dan pada bagian omasum dan abomasum terjadi proses

pencernaan secara enzimatis (Tillman et al., 1991).

Saluran pencernaan pakan yang sama antara sapi dan kerbau tidak berarti

kedua jenis ternak ini memiliki kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behavior yang

13  

sama. Menurut Suhubdy (2007) ternak kerbau memiliki potensi yang relatif mudah

dari segi kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behaviour, sehingga akan cocok

hidup pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan Kondisi Fisiologis Nutrisi Kerbau dan Sapi

Karakteristik Kerbau Sapi Jenis pakan Tidak terbatas/ tidak

selektif Terbatas/ selektif

Konsumsi BK pakan Relatif sedikit Relatif banyak Pola makan Merumput Merumput Kapasitas rumen/perut Lebih besar Relatif kecil Jumlah mikroba dalam rumen

Lebih banyak, bacteria selulotik = 6,86x 108/ml

Relatif sedikit, bacteria selulotik = 2,58 x 108/ml

Pergerakan rumen Relatif lambat Relatif cepat Waktu tinggal pakan dalam rumen

Lebih lama Relatif cepat

Aktivitas ruminasia Lama Relatif cepat Laju produksi saliva Cepat Lambat Kecernaan Lebih efisien terutama

untuk pakan berkualitas rendah

Kurang efisien

Laju pakan Lama Cepat Metabolisme puasa (kkal/Wkg0,75)

Rendah (68,4) Tinggi (81,6)

Habitat Semi-aquatik Dataran kering Sumber : Suhubdy (2007)

Penelitian terhadap sepuluh ekor ternak kerbau persilangan Filipina dan

sepuluh ekor sapi persilangan Phillippine dengan sistem pemeliharaan dan umur

yang sama (18-24 bulan) menunjukkan bahwa ternak kerbau memiliki konsumsi

pakan, konsumsi nutrient (PK, TDN, dan EM), pertambahan bobot badan, bobot

potong, dan konversi pakan yang lebih tinggi dibandingkan ternak sapi (Lapitan et

al., 2008). Tabel 8, memperlihatkan hasil penelitian tersebut.

14  

Tabel 8. Perbandingan Performa Kerbau dan Sapi yang Digemukkan Pada Sistem Pemeliharaan dan Umur yang Sama

Parameter Sapi Persilangan Kerbau Persilangan SEM Konsumsi BK Total (g/BW0,75/day)

81,2 93,0** 0,03

Konsumsi PK Total (g/BW0,75/day)

7,75 8,64** 0,14

Konsumsi TDN Total (g/BW0,75/day)

41,3 49,9** 1,31

Konsumsi ME Total (kcal/day)

9,68 14,2 0,61

BB Potong (kg) 296,3 389,3* 12,8 PBBH (g/day) 362,5 493,9* 22,9 FCR 14,5 14,8 0,79

Keterangan : *P<0,01 (sangat berbeda nyata), **P<0,05 (berbeda nyata), SEM (Standart Erorr of The Mean)

Sumber : (Lapitan et al., 2008)

Performa ternak kerbau yang lebih baik pada penelitian di Filipina

berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi daging kerbau di Indonesia. Seperti

contohnya konsumsi daging kerbau di daerah Banten, Jawa Barat lebih rendah

dibandingkan dengan konsumsi daging sapi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,

salah satu diantaranya adalah kualitas fisik daging kerbau yang berada di daerah

Banten memiliki nilai keempukkan yang rendah atau tergolong daging keras, lemak

yang berada pada ternak kerbau berwarna putih gelap dan putih kekuning-kuningan.

Hal ini dikarenakan sistem pemeliharaan, umur potong dan bahan pakan yang

diberikan pada ternak kerbau berbeda dengan ternak sapi (Rosmaya, 2011).

Sapi Peranakan Ongole

Sapi peranakan ongole (PO) merupakan sapi hasil persilangan antara sapi

sumba ongole dengan sapi setempat di Jawa menghasilkan anakan yang mirip sapi

ongole (Sarwono dan Arianto, 2003). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

sapi PO baik dalam menanggapi perubahan maupun perbaikan pakan. Secara

fisiologis sapi PO mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis

(Astuti, 2003). Ciri-ciri sapi ongole menurut Sudarmono dan Sugeng (2008) yaitu,

ukuran tubuhnya besar dan panjang, warna tubuhnya putih, tetapi warna leher dan

punuk sampai leher berwarna putih keabu-abuan sedangkan lututnya hitam.

Kepalanya berukuran panjang, sedangkan telinganya agak tergantung, tanduknya

pendek dan tumpul yang pada bagian pangkalnya berukuran besar, tubuh kearah luar

belakang. Sapi ongole juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung, dan berlipat

yang tumbuh sampai tali pusar. Karakterisrik Sapi PO dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Sapi Peranakan Ongole

Kebutuhan Nutrisi Ternak Kerbau dan Sapi

Usaha Peternakan sangat dipengaruhi oleh biaya produksi yaitu biaya

pembelian pakan untuk ternak, maka dari itu pengusaha peternakan harus efisien

dalam menggunakan pakan tetapi tetap harus memenuhi kebutuhan nutrisi ternak.

Faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan adalah faktor ternak, faktor

bahan pakan, dan faktor lingkungan tempat pemeliharaan ternak. Faktor ternak

meliputi bobot badan, jenis kelamin, umur, genetik, dan tipe produksi (susu atau

daging). Faktor bahan pakan meliputi sifat fisik pakan, komposisi pakan, kecernaan,

dan tingkat konsumsi pakan. Sedangkan, faktor lingkungan yang secara langsung

mempengaruhi adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari tempat

pemeliharaan ternak (Parakkasi, 1999).

Pemberian pakan pada ternak harus memperhatikan komposisi pada pakan

yang diberikan. Pakan yang diberikan pada ternak yang dipelihara secara intensif

dalam program penggemukkan harus memiliki kandungan protein yang tinggi dan

15  

16  

kandungan lemak yang rendah. Kadar lemak yang dianggap ideal berkisar 8-12

persen atau konsumsi lemak/porsi : 8-9 g (Parakkasi 1999). Kebutuhan komposisi

pakan suatu ternak dapat dilihat dari bobot badan ternak tersebut, hal ini dapat di

lihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kebutuhan Zat Makanan Sapi Pedaging Jantan Berkerangka Sedang dalam Masa Pertumbuhan dan Penggemukkan (Konsentrasi dalam Bahan Kering)

Bobot badan (kg)

PBB Konsumsi Bahan Kering (kg)

Konsumsi Protein (kg)

Protein (%)

ME (Mkal/kg)

TDN (%)

180 0,6 4,8 0,57 13,4 2,24 61,5 0,9 5,0 0,65 13,1 2,40 65,5 1,1 5,0 0,72 14,4 2,56 70,0 1,4 4,9 0,78 16,1 2,80 76,5 225 0,6 5,7 0,61 10,7 2,24 61,5 0,9 5,8 0,68 11,7 2,40 65,5 1,1 5,9 0,76 12,8 2,56 70,0 1,4 5,8 0,81 14,1 2,80 76,5 270 0,6 6,5 0,65 10,0 2,24 61,5 0,9 6,7 0,72 10,8 2,40 65,5 1,1 6,8 0,79 11,6 2,56 70,0 1,4 6,6 0,81 12,7 2,80 76,5

Sumber : National Research Council, 1984

Minyak Ikan Lemuru

Menurut Rusmana et al. (2008) minyak ikan lemuru (Sardinella longiseps)

merupakan hasil samping pada industri pengalengan ikan lemuru yang cukup

potensial sebagai sumber asam lemak tak jenuh dengan kandungan sekitar 85,61%.

Minyak ikan lemuru dapat dimanfaatkan sebagai alternatif penangkap hidrogen

(hydrogen sinks) sehingga dapat menurunkan produksi gas metan. Ransum yang

banyak mengandung hijauan, sedikit banyak meningkatkan produksi metan dalam

rumen. Beberapa sifat positif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah

menurunkan produksi metan dalam rumen. Penambahan asam lemak tak jenuh dapat

menurunkan produksi metan tersebut, dengan demikian akan meningkatkan efisiensi

penggunaan energi dan dengan pemberian minyak ikan akan meningkatkan produksi

propionat (Parakkasi, 1999).

17  

Asam lemak yang masuk ke dalam rumen akan mengalami biohidrogenasi

yaitu terjadinya proses pengikatan hidrogen oleh asam lemak tak jenuh pada ikatan

rangkapnya sehingga membentuk radikal kompleks antara hidrogen dan asam lemak

tak jenuh (Ketaren, 1986). Asam lemak tidak jenuh dalam minyak ikan dapat

digolongkan menjadi tiga jenis yaitu asam linoleat (omega-3), linoleat (omega-6),

dan oleat (omega-9). Diantara ketiga jenis asam lemak tak jenuh ini, asam linoleat

(omega 3) adalah asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi gizi dan kesehatan.

EPA dan DHA adalah produksi dari omega-3 yang sangat berperan dalam

meningkatkan kecerdasan otak anak dan mempercepat pertumbuhan anak

(Simopaulus, 2002).

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Proses perlindungan pakan yang mengandung lemak (asam lemak poli tak

jenuh) dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti saponifikasi, menggunakan

formalin, menggunakan hidrolisis basa, dan hidrolisis asam. Campuran garam

karboksilat kering merupakan jenis perlindungan pakan dengan cara hidrolisis asam.

Minyak ikan yang diolah menggunakan proses hidrolisis asam memiliki waktu yang

lebih singkat dibandingkan proses hidrolisis basa. Pembuatan Campuran Garam

Karboksilat Kering (CGKK) menurut Tasse (2010) adalah dengan membuat garam

karboksilat terlebih dahulu melalui proses kimiawi dengan mereaksikan bahan

lemak, larutan asam klorida (HCL) dan KOH, garam karboksilat yang telah

terbentuk dicampur dengan onggok 1:5. Setelah tercampur dengan merata campuran

garam karboksilat dan onggok dikereringkan menggunakan oven bersuhu 32˚C

hingga kadar air 15%.

Menurut Tasse (2010) pemberian campuran garam karboksilat kering dalam

pakan sapi perah dapat menghasilkan inkorporasi EPA dan DHA dalam lemak susu.

Mekanisme proteksi asam lemak tak jenuh tidak didasari oleh titik cair asam lemak

tetapi pada level keasaman atau pH rumen dan usus halus. Garam kalium akan tetap

utuh pada lingkungan netral (pH 6-7), tetapi akan terurai pada lingkungan asam (pH

2-3). Pada lingkungan pH asam garam kalsium dipisahkan dalam bentuk lemak dan

kalium, saat itu lemak akan terbebas dan mudah dipecah dan diserap.

18  

Body Scoring

Penilaian suatu kondisi ternak dengan mengevaluasi nilai perlemakan serta

penonjolan kerangka dengan menduga rataan kondisi sapi dalam suatu pemeliharaan

disebut skor kondisi tubuh (body scoring). Skor kondisi tubuh merupakan metode

penilaian secara visual yang mempertimbangkan frame size atau bentuk tubuh

(Phillips, 2001). Kondisi tubuh dinilai dari satu (sangat kurus) sampai lima (sangat

gemuk). Pembagian lima point kategori skor kondisi pada umumnya berdasarka nilai

perlemakan dan perdagingan sapi, penggunaan metode ini pertama kali dikemukakan

tahun1917 digunakan untuk memprediksi rasio antara nilai lemak dan bukan lemak

pada sapi (Phillips, 2001).

Penggunaan skor kondisi tubuh dalam melihat kondisi tubuh ternak pada

pertumbuhan dan perlemakan memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah

mudah dipelajari, cepat, sederhana, murah, tidak memerlukan alat khusus dan cukup

akurat dalam beberapa situasi manajemen dan penelitian. (Rutter et al, 2000).

Gambar dan penjelasan mengenai kriteria skor body scoring dapat dilihat pada

lampiran 13.