mengapa wajah pasien bengkak
DESCRIPTION
faeTRANSCRIPT
I. Analisis Masalah
1. Mengapa wajah pasien bengkak?
Bengkak pada anak laki-laki tersebut berhubungan dengan teori
underfill. Pada teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia
merupakan faktor kunci terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan nterstisium dan
terjadilah bengkak (oedema). Akibat penurunan tekanan onkotik plasma
dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi retensi natriumdan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut (Sudoyo AW, 2009).
2. Mengapa bengkak hanya pada bagian wajah?
Hal tersebut bisa terjadi karena pada daerah wajah terdiri atas jaringan
ikat longgar yang dapat memudahkan cairan ke wajah, dan dengan
adannya faktor dari gaya gravitasi yang menyebabkan cairan menuju ke
tempat yang lebih rendah yaitu pada wajah. Sehingga biasanya pada pagi
hari bengkak akan memberat pada wajah, namun setelah melakukan
aktivitas bengkaknya akan turun (Sudoyo AW, 2009).
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Penegakan diagnosis?
Dalam mencari penyebab hematuria perlu digali data yang terjadi pada
saat episode hematuria, anatara lain:
1) Anamnesis
i. Bagaimanakah warna urin yang keluar?
ii. Apakah diikuti dengan keluarnya bekuan darah?
iii. Di bagian manakah pada saat miksi urine berwarna merah?
iv. Apakah diikuti dengan perasaan sakit? (Basuki, 2014)
Purnomo, Basuki B., 2014. Dasar-dasar Urologi: Edisi Ketiga. Jakarta:
Sagung Seto.
II. LO
1) Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
A. Definisi
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang
secara histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi
glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic
streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti
hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut
(UKK Nefrologi IDAI, 2012).
B. Epidemioogi
Pada suatu studi di Amerika Serikat didapatkan penyebab
GNA PS yang lebih dominan adalah faringitis. GNA PS banyak
terjadi pada negara-negara berkembang seperti Afrika, India Barat,
dan Timur Tengah, dipengaruhi oleh status nutrisi, penggunaan
antibiotik profilaksis, dan potensi dari Streptokokus (Sondang,
2003).
Mortalitas pada penderita GNA pada anak sangat jarang
(<1%). Tidak ada predileksi rasial. Pada laki-laki dua kali lebih
sering daripada pada wanita. GNA PS sering terjadi pada anak usia
2-12 tahun. 5% terjadi pada usia kurang dari 5 tahun (Sondang,
2003).
C. Etiologi
Penyebab utama GNA PS menurut (Sondang, 2003) adalah:
A. Streptokokus yang bersifat nefritogenik yaitu Streptokokus
grup A.
B. Pada pyodermatitis : Streptokokus M tipe 47,49,55,2,60, dan
57.
C. Pada infeksi tenggorokan : Streptokokus M tipe 1,2,4,3, 25, 49
dan 12
D. Morfologi kuman
(Gambar. 1.1 Morfologi Streptococcus.)
Bagian luar streptokokus grup A dibungkus oleh kapsul
asam hyaluronat untuk bertahan terhadap fagositosis dan sebagai
alat untuk melekatkan diri pada asel epitel.
Selain itu pada permukaan kuman juga terdapat polimer
karbohirat grup A, mukopeptide, dan protein M. Protein M adalah
suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambut-
rambut pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah
strain kuman tersebut bersifat rematogenik atau nefritogenik
E. Patofisiologi
GNA PS timbul setelah infeksi tertentu, terutama strain
tertentu yaitu grup A streptokokus. Daerah infeksi biasanya saluran
napas atas, termasuk telinga tengah, atau kulit (Sondang, 2003).
GNA PS berawal apabila host rentan yang terpapar kuman
Streptokokus grup A strain nefritogenik bereaksi untuk membentuk
antibodi terhadap antigen yang menyerang. GNA PS merupakan
kelainan kompleks imun. Kompleks imun yang mengandung
antigen streptokokus ini mengendap pada glomerulus. Ukuran
komplek streptokokus-imunoglobulin adalah 15 nm (streptokokus
10 nm dan imunoglobulin 5 nm). Sedangkan ukuran pore
membrana basalis pada anak dan dewasa adalah 2-3 nm dan 4-4,5
nm. Oleh karena itu GNA PS banyak terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Kompleks antigen-antibodi terbentuk dalam
aliran darah dan terkumpul dalam glomerulus. Akibat hal ini akan
terjadi inflamasi pada glomerulus dan akan mengaktifkan sistem
komplemen (Sondang, 2003).
Gejala GNA PS biasanya berlangsung singkat. Dengan
berkhirnya serangan Ag Streptokokus, maka reaksi inflamasi akan
mereda dan struktur glomerulus kembali normal (Sondang, 2003).
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang
menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah
ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi
fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan
menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi
Na dan air (Sondang, 2003).
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa
retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini:
1) Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh
proses radang di glomerulus.
2) Overexpression dari epithelial sodium channel.
3) Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas
angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan
retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan
hipertensi (Sondang, 2003).
Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai
menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang
mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin,
aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat.
Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon
tersebut meningkat (Sondang, 2003).
F. Manifestasi klinis
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun
dan jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh
infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada
ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di
Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada
45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6% (UKK
Nefrologi IDAI, 2012).
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk
asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih
banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun
epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan
sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai
riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik (UKK
Nefrologi IDAI, 2012).
1) Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu
periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala
klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu
umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi
kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu.
Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka
harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent
haematuria.
2) Edema periorbital
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama
kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama.
Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan
genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom
nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya
gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema
pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena
adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang
atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah
melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi.
Kadangkadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak
tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan
penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat
cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial
yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
3) Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus
GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir
pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia
mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46- 100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin
tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air
cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria
makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan
berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat
berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6
bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik
dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh.
Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu
tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan
terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal,
mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.
4) Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70%
kasus GNAPS. Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%.
Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang
bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain.
Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan
diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati
sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur,
tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi
berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi
yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-
muntah, kesadaran menurun dan kejang-kejang. Penelitian
multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%.
5) Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus
GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2
LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau
timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya,
oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir
minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang
menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek.
6) Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah
bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS.
Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi
atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis.
Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi
atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air
sehingga terjadi hipervolemia.
7) Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat,
malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena
peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat
hematuria makroskopik yang berlangsung lama (UKK
Nefrologi IDAI, 2012).
G. Pemeriksaan penunjang
Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak
dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya.
Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk
isolasi dan identifikasi streptokokus (Sondang, 2003).
1) Laboratorium
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan
melakukan biakan tenggorok dan kulit. Beberapa uji serologis
terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk
membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain:
i. Antistreptozim
ii. ASTO
iii. Antihialuronidase
iv. DNAse B
Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO)
terjadi 10- 14 hari setelah infeksi streptokokus. Kenaikan titer
ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang
meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain
seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B
(DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang
terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang
meningkat pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO,
Ahase dan ADNase B dapat mendeteksi infeksi streptokokus
sebelumnya pada hampir 100% kasus (Sondang, 2003).
2) Pemeriksaan Pencitraan
a. Foto toraks dapat menunjukkan Congestif Heart Failure.
b. USG ginjal biasanya menunjukkan ukuran ginjal yang normal
(Sondang, 2003).
3) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan bila terjadi perubahan fungsi ginjal
yang menetap, abnormal urin dalam 18 bulan,
hipokomplemenemia yang menetap, dan terjadi sindrom nefrotik
(Sondang, 2003).
Indikasi Relatif menurut (Sondang, 2003).:
a. Tidak ada periode laten dianara infeksi streptokokus dan GNA
b. Anuria
c. Perubahan fungsi ginjal yang cepat
d. Kadar komplemen serum yang normal
e. Tidak ada peningkatan antibodi antistreptokokus
f. Terdapat manifestasi penyakit sistemik di ekstrarenal
g. GFR yang tidak mengalami perbaikan atau menetap dalam 2
minggu
h. Hipertensi yang menetap selama 2 minggu
Indikasi Absolut menurut (Sondang, 2003).:
a. GFR yang tidak kembali normal dalam 4 minggu
b. Hipokomplemenemia menetap dalam 6 minggu
c. Hematuria mikroskopik menetap dalam 18 bulan
d. Proteinuria menetap dalam 6 bulan
H. Diagnosis
Diagnosis Glomerular nefritis akut ditegakkan berdasarkan adanya
riwayat infeksi Streptokokus β hemolitikus grup A sebelumnya (7-
14 hari). Bila tidak didapatkan kultur positif, dapat dikonfirmasi
dengan peningkatan titer antistreptolisin-O (ASTO) atau
peningkatan antibodi antistreptokokus lainnya (Sondang, 2003).
I. Penatalaksanaan
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan
dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang
sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN >
50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi,
hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria menetap (Sondang,
2003).
a. Pada hipertensi ringan (sistolik 130 mmHg dan diastolik 90
mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi.
b. Pada Hipertensi sedang (sistolik >140-150 mmHg dan
diastolik >100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin
oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual.
c. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB
intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10
mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8
m/kgBB/menit.
d. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik >
120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat
bersama furosemid 2 mg/kgBB iv.
e. Pada retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan
natrium. Asupan cairan sebanding dengan invensible water
loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari ) ditambah
setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan
tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB,
1-2 kali/hari.
Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit.
Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik
untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu
lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin
50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama
10 hari bila pasien alergi penisilin (Sondang, 2003).
Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal
ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea N
kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia
asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edem berat dan
bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan
bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari.
Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi.
Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada 5-10% anak
(Sondang, 2003).
J. Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis
GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit,
galur streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik,
tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis
glomerulus (Sondang, 2003).
Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak
yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada
dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis
yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang
baik (Sondang, 2003).
Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan
GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus
menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan
dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal
terminal. Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %
(Sondang, 2003).
Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka
penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan
kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan
lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi
kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden
penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari (Sondang, 2003).
• Dr. Sondang Maniur Lumbanbatu. Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus pada Anak Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada
Anak. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58 - 63
• Syarifuddin Rauf, Husein Albar, Jusli Aras. 2012. Konsensus
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
TAMBAHAN PERTEMUAN 2
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset
usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan.
Perawatan dan Pencegahan
Pada umumnya perawatan dan pencegahan pada nefrotik sindrom
adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah pemburukan fungsi ginjal
yaitu sebagai berikut:
1) Pengaturan minum : Hal ini dilakukan untuk pengobatan penyakit dasar
dan pengobatan cairan dan elektrolit, yaitu pemberian cairan intravena
sampai diuresis cukup maksimal.
2) Pengendalian hipertensi : Tekanan darah harus dikendalikan dengan obat-
obatan golongan tertentu, tekanan darah data diturunkan tanpa diturunkan
fungsi ginjal, misalnya dengan betabloker, methyldopa, vasodilator, juga
mengatur pemasukan garam.
3) Pengendalian darah : Peningkatan kalium darah dapat mengakibatkan
kemaitan mendadak, ini dapat dihindari dengan hati-hati dalam pemberian
obat-obatan dan diit buah-buahan, hiperkalemia dapat diagnosis dengan
pemeriksaan EEG dan EKG, bila hiperkalemia sudah terjadi maka
dilakukan pengurangan intake kalium, pemberian natrium bicarbonate
secara intra vena, pemberian cairan parental (glukosa), dan pemberian
insulin.
4) Penanggulangan anemia : Anemia merupakan keadaan yang sulit
ditanggulangi pada gagal ginjal kronis, usaha pertama dengan mengatasi
faktor defisiensi, untuk anemia normakrom trikositik dapat diberikan
supplemen zat besi oral, tranfusi darah hanya diberikan pada keadaan
mendesak misalnya insufisiensi karena anemia dan payah jantung.
5) Penanggulangan Asidosis : Pada umumnya asidosis baru timbul pada
tahap lanjut dari nefrotik sindrom. Sebelum memberikan pengobatan
khusus, faktor lain yang harus diatasi dulu misalnya rehidrasi. Pemberian
asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Pengobatan
natrium bikarbonat dapat diberikan melalui peroral dan parenteral, pada
permulaan diberi 100 mg natrium bicarbonate, diberikan melalui intravena
secara perlahan-lahan. Tetapi lain dengan dilakukan dengan cara
hemodialisis dan dialysis peritoneal.
6) Pengobatan dan pencegahan infeksi : Ginjal yang sedemikian rupa lebih
mudah mengalami infeksi, hal ini dapat memperburuk faal ginjal. Obat-
obatan antimikroba diberikan bila ada bakteriuria dengan memperhatikan
efek nefrotoksik, tindakan katetrisasi harus sedapat mungkin dihindari
karena dapat mempermudah terjadinya infeksi.
7) Pengaturan diit dan makanan : Gejala ureum dapat hilang bila protein
dapat dibatasi dengan syarat kebutuhan energi dapat terpenuhi dengan
baik, protein yang diberikan sebaiknya mengandung asam amino yang
esensial, diet yang hanya mengandung 20 gram protein yang dapat
menurunkan nitrogen darah, kalori diberikan sekitar 30 kal/kgBB dapat
dikurangi apabila didapati obesitas.
Apriliani, Subrian. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Anak
Kesehatan Masyarakat Pada Pasien Sindrom Nefrotik Di Lantai 3 Selatan
RSUP Fatmawati. Jakarta: Universitas Indonesia.