tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/60803/bab...
TRANSCRIPT
-
TINJAUAN PUSTAKA
Siswa Sekolah Dasar
Anak usia sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 sampai 12 tahun.
Menurut Hurlock (1999) masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late chilhood)
yang berlangsung dari usia enam tahun sampai anak menjadi matang secara
seksual, yaitu 13 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki. Namun
secara umum anak usia sekolah adalah anak yang masuk Sekolah Dasar (SD).
Anak SD dibagi menjadi dua bagian, yaitu kelas rendah yang berumur 6-9 tahun
dan kelas tinggi yang berumur 10-12 tahun. Menurut Kemendiknas (2010) usia
sekolah dasar adalah usia seorang anak mengikuti jenjang pendidikan formal
paling dasar dan setiap Warga Negara Indonesia berusia 7-15 tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) enam tahun
dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) tiga tahun.
Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar maka kemampuan
kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut didukung
oleh dunia dan minat anak yang bertambah luas di lingkungan sekolah sehingga
bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya
dirasakan kurang berarti bagi anak. Pikiran anak usia sekolah berkembang
secara berangsur-angsur dalam keadaan normal. Daya pikir anak masih pada
masa sebelumnya bersifat imajinatif dan egosentris, sedangkan pada usia
sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang ke arah berpikir konkrit, rasional,
dan objektif. Daya ingatannya menjadi sangat kuat sehingga anak benar-benar
dalam suatu stadium belajar (Desmita 2009).
Uang Saku
Uang jajan merupakan bagian dari alokasi pendapatan keluarga yang
diberikan pada anak untuk keperluan makan jajanan. Menurut Napitu (1994)
yang diacu dalam Stevanie (2011) pemberian uang jajan menjadi suatu
kebiasaan sehingga anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola
uang jajan yang dimiliki. Hasil penelitian Stevanie (2011) yang dilakukan di salah
satu sekolah dasar di kota Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
(52%) memiliki besar uang saku sebesar
-
5
siswa sekolah dasar di Kabupaten Bogor mengalokasikan uang saku yang
diberikan oleh orang tuaya untuk membeli jajan.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Pendidikan
Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir, dan
kerangka pikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian yang nantinya
merupakan bekal dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi
antar keluarga. Pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih
besar untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Menurut Suhardjo et al. (1988),
makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik juga semakin besar sehingga akan
mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh oleh seseorang. Menurut
Fikawati & Syafiq (2007) yang diacu dalam Stevanie (2011) berdasarkan
kepentingan keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap
terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan
secepatnya. Selain itu, pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan
dalam pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat dalam
menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana (Sukarni 1989).
Pekerjaan
Besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang akan dipengaruhi
oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Pekerjaan seseorang akan
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Hal ini karena pekerjaan
akan menentukan pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan ini akan digunakan
salah satunya untuk membeli makanan. Tingkat pendidikan akan berpengaruh
terhadap jenis pekerjaan. Menurut Fikawati & Syafiq (2007) yang diacu dalam
Stevanie (2011) bahwa semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang maka
peluang untuk memperoleh pekerjaan akan semakin besar. Tingkat konsumsi
pangan pada skala keluarga ditentukan olah adanya pangan yang cukup, yang
dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang
diperlukan. Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor
-
6
yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan (Sukandar
2007).
Pendapatan
Martianto dan Ariani (2004) dalam Aprilian (2010) menyebutkan bahwa
tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah
bahan pangan yang dikonsumsinya. Berdasarkan Hukum Bennet, semakin tinggi
pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi semakin baik pula.
Hal tersebut tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya
murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang
lebih baik. Rendahnya pendapatan yang dimiliki seseorang biasanya akan
mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari
pengurangan frekuensi makan (< tiga kali makan).
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas
makanan yang dikonsumsi. Winarno (1993) menyebutkan, tingkat ekonomi
(pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pemenuhan
kebutuhan pangan sebagian besar dipenuhi dengan mengonsumsi pangan
sumber karbohidrat lebih banyak yang disebabkan harga pangan tersebut lebih
murah dibandingkan pangan sumber zat gizi lain. Keluarga dengan pendapatan
terbatas akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya.
Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingginya pendapatan akan mencerminkan
kemampuan untuk membeli bahan pangan. Soekirman (2000) menyebutkan
secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah
permintaan pangan sehingga konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga adalah besarnya
rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan
keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga
lainnya.
Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan
non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan
mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001). Penurunan daya beli pada
skala keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta
aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama bagi warga kelas ekonomi ke bawah.
Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap
-
7
gangguan kesehatan dan gizi (Sukandar 2007). Apabila penghasilan keluarga
meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk meningkat mutunya. Golongan
ekonomi kuat cenderung boros dan konsumsinya melampaui kebutuhan sehari-
hari akibatnya berat badan terus menerus bertambah dan beberapa penyakit
karena kelebihan gizi sering ditemukan (Sukandar 2007). Jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi oleh keluarga dipengaruhi juga oleh status ekonomi.
Salah satu ukuran status ekonomi adalah pendapatan per kapita yang berarti
tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga atau pengeluaran total
keluarga dibagi jumlah anggota keluarga.
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber
daya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang
dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas
maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi
keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan
(Sukandar 2007). Menurut Hurlock (2004) membagi keluarga menjadi tiga
kategori berdasarkan jumlah anggota keluarga, yaitu besar (> 7 orang), sedang
(5-7 orang), dan kecil (
-
8
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang
sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya apabila
yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu
keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah
dari keluarga tersebut tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada
keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 1989).
Karakteristik Ibu
Umur
Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan
dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh
dan merawat anak menggunakan pengalaman orang terdahulu. Dengan
demikian pengasuhan gizi terhadap anak berdasarkan yang pengalaman dan
diperoleh dari orang tua mereka. Selain itu pada umumnya orang tua muda lebih
mendahulukan kepentingannya sendiri dibandingkan kewajibannya untuk
mengasuh dan mengurus anak. Hal ini menyebabkan secara kualitas dan
kuantitas pengasuhan yang dilakukan kurang terpenuhi. Sebaliknya orang tua
yang berumur lebih cenderung untuk melaksanakan kewajibannya dalam
mengasuh anak semaksimal mungkin dan sepenuh hati (Hurlock 1998). Menurut
Ghozaly (2011), umur orang tua contoh dapat dikelompokkan ke dalam usia
dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir
atau usia lanjut (>60 tahun).
Pendidikan
Salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi
keluarga adalah pendidikan orang tua terutama ibu. Pendidikan ibu adalah faktor
yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam menerima pesan dan
informasi gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Pendidikan ibu merupakan
salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu
berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan,
hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah
2003).
-
9
Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita dapat
mempengaruhi derajat kesehatan. Hasil penelitian Stevanie (2011) yang
dilakukan di salah satu sekolah dasar di kota Bogor menunjukkan bahwa
sebagian besar persentase pendidikan ibu siswa adalah pada tingkat SD (36%).
Adapun hasil Riskedas 2010 menunjukkan bahwa masih ada seorang ibu siswa
yang tidak bersekolah (Depkes RI 2010). Hasil analisis lanjut yang dilakukan oleh
Salimar (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan ibu
minimal SLTP.
Pekerjaan
Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan tentang kualitas dan kuantitas makanan. Pendapatan yang
meningkat berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan masalah keluarga
lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi hampir berlaku umum pada semua
tingkat pendapatan. Rendahnya pendapatan dan rendahnya daya beli tidak
memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-cara tertentu yang
menghalangi perbaikan gizi yang efektif, terutama untuk anak-anak (Suhardjo
1988).
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang menunjukkan
pemahaman responden tentang ilmu gizi, jenis zat gizi, serta interaksinya
terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi merupakan landasan yang
penting dalam menentukan konsumsi makanan (Khomsan 2000). Pengetahuan
gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap, persepsi,
dan perilaku gizi. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pengalaman yang
berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik,
buku petunjuk, petugas kesehatan, kerabat, dan sebagainya. Pengetahuan juga
merupakan hal yang mempengaruhi seseorang dalam memilih dan
mengonsumsi makanan. Semakin baik pengetahuan gizi seseorang maka akan
semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsinya
(Khomsan dkk 2009).
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan
-
10
gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati,
Damanhuri, dan Fachrurrozi 1992).
Pengetahuan tentang gizi yang harus dimiliki masyarakat antara lain
kebutuhan-kebutuhan gizi bagi tubuh (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral). Menurut Notoatmodjo (2005) masyarakat juga harus mengetahui jenis-
jenis makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh,
baik secara kualitatif dan kuantitatif, akibat atau penyakit-penyakit yang
disebabkan kekurangan gizi dan sebagainya. Pada umumnya penyelenggaraan
makanan dalam rumah tangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang
mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih
kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada semua putra-putrinya. Ibu
merupakan guru pertama bagi anak. Oleh karena itu ibu harus mengajarkan pola
makan yang beragam dan seimbang sejak dini.
Suhardjo et al. (1988), menyatakan bahwa terdapat tiga kenyataan yang
mendasari pentingnya pengetahuan gizi: 1) Status gizi yang cukup adalah
penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2) Setiap orang hanya akan cukup
gizi apabila makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan, dan energi,
dan 3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Pengetahuan
tentang gizi dan makanan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan
faktor penentu kesehatan seseorang.
Sarapan dan Jajan
Kebiasaan Sarapan
Kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan
dan perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan seperti frekuensi
makan, jenis makanan, kepercayaan terhadap makanan (pantangan), preferensi
terhadap makanan dan cara pemilihan makanan (Suhardjo 1989). Kebiasaan
makan pada anak usia sekolah tergantung pada kehidupan sosial di sekolah.
Anak usia sekolah cenderung lebih menyukai makan secara bersamaan dengan
teman sekolahnya. Kadang-kadang anak malas makan di rumah, hal ini
disebabkan akibat stres atau sakit (Hidayat dan Alimul 2004). Kebiasaan makan
anak yang dianalisis pada penelitian ini adalah kebiasaan sarapan dan jajan.
-
11
Sarapan akan menyumbangkan gizi sekitar 25% kebutuhan gizi ideal
(Khomsan 2005), sedangkan menurut Depkes (1995) sarapan pagi sebaiknya
menyediakan 20- 30% kebutuhan gizi sehari. Oleh karena itu, kebiasaan sarapan
yang baik perlu dibiasakan terhadap anak sekolah agar bekal kebutuhan gizi
sebelum aktifitas atau belajar di sekolah dapat terpenuhi. Terdapat beberapa
manfaat sarapan, antara lain yaitu sarapan menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah sehingga gairah dan kosentrasi
belajar di sekolah menjadi lebih baik dan berdampak positif terhadap prestasi
akademik di sekolah, sarapan dapat memberikan kontribusi penting akan
beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, mineral.
Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk proses fisiologis dalam tubuh
(Khomsan 2005), dan sarapan pagi bermanfaat untuk memelihara ketahanan
fisik dan meningkatkan produktivitas kerja (Depkes 1995). Selain itu, hidangan
saat sarapan pagi sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat
pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang (Depkes
1995).
Kebiasaan Jajan
Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi persepsi orang atas makanan adalah penampakkan,
rasa, lingkungan, mutu makanan, dan selera. Aspek negatif dari jajan yang
terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah (Khomsan
2002). Kebiasaan jajan anak sekolah sering kali tidak memperhatikan aspek gizi
dan higienitas. Unsur keamanan pangan belum mendapat cukup perhatian dari
masyarakat. Hal ini terkait erat dengan tingkat pendidikan dan ekonomi
penduduk Indonesia yang masih rendah (Khomsan 2004). Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi kebiasaan jajanan anak sekolah. Hasil penelitian
Yasmin dan Madanijah (2009) terhadap siswa Sekolah Dasar Negeri
Lawanggintung Bogor menunjukkan bahwa kebiasaan jajan anak sekolah tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, usia, dan pengetahuan gizi siswa.
Makanan Jajanan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman
yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan
sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa
-
12
boga, rumah makan atau restoran, dan hotel (Depkes RI 2003). Pangan jajanan
umumnya dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses penanganan atau
pengolahan lebih lanjut. Untuk beberapa pangan jajanan, tahapan akhir
pengolahannya dilakukan di tempat penjualan.
Peranan pangan jajanan di Indonesia sangat strategis dan mudah
dijumpai di lingkungan sekitar sekolah, serta pada umumnya rutin dikonsumsi
oleh sebagian besar anak usia sekolah. Dari hasil Survei Ekonomi Sosial
Nasional (SUSENAS) 2004 menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga untuk
pangan jajanan di Indonesia mencapai 18.84% perkapita per minggu dari total
makanan dan minuman atau 10.36% dari total pengeluaran keluarga (BPS
2004). Kontribusi pangan jajanan terhadap pemenuhan gizi juga dilaporkan
cukup penting, misalnya rata-rata kebutuhan energi dan protein murid SD dapat
terpenuhi olah pangan jajanan hingga sekitar 36% untuk energi dan 30% untuk
protein (Komalasari 1991).
Makanan jajanan yang biasa dikonsumsi anak bermacam-macam.
Berdasarkan penelitian Suci (2009), siomay merupakan makanan jajanan yang
paling disukai (46.5%) oleh murid SD di Jakarta dengan alasan rasa siomay yang
enak. Beberapa makanan favorit yang sering dibeli oleh sebagian murid SD di
Jakarta antara lain batagor (41.3%), es krim (31%), es sirop (25%), cakwe (26%),
dan nasi uduk (25%). Siswa SD dapat membeli pangan jajanan baik di kantin
sekolah, penjaja makanan di dalam pagar sekolah, dan penjaja makanan di luar
pagar sekolah. Hampir seluruh responden, yaitu sebagian murid SD di Jakarta,
pernah berkunjung ke kantin sekolah (98%). Sekitar 68% resonden menyatakan
pernah mengunjungi penjaja makanan di luar pagar sekolah dan 48%
menyatakan pernah mengunjungi penjaja makanan di dalam pagar sekolah.
Kontribusi makanan jajanan sebaiknya tidak dihilangkan dari konsumsi
harian karena memberikan sumbangan yang cukup berarti. Hasil penelitian
Yasmin dan Madanijah (2010) menyatakan bahwa rata-rata konsumsi makanan
jajanan siswa SD sudah melebihi 20% energi, yaitu sebesar 426 kkal. Makanan
jajanan siswa memberikan kontribusi terhadap total konsumsi masing-masing
sebesar 26% energi, 18.7% protein, 22.9% lemak, 20% zat besi, 19.1% vitamin
A, dan 24.8% vitamin C. Konsumsi makanan jajanan memberikan kontribusi lebih
dari sepertiga rata-rata energi, vitamin dan mineral. Makanan jajanan kurang
mengandung densitas gizi daripada makanan utama. Makanan non-basic
menyumbang lebih banyak energi daripada lima kelompok makanan dasar
-
13
(Bremner et al. 1990). Kebiasaan menyediakan makanan camilan di rumah
secara berlebihan dan kurangnya aktivitas fisik karena rajin menonton televisi
atau bermain games dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya
kegemukan (Khomsan 2004).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang
dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang
penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau
berdasarkan aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai
sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari
(Kusharto dan Sadiyyah 2007 yang diacu dalam Rizki 2010).
Penilaian Konsumsi Pangan
Menurut Gibson (2005) penilaian konsumsi pangan individu dapat
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penilaian secara kuantitatif
terdiri atas food record dan recall. Metode kuantitatif didesain untuk mengukur
kuantitas konsumsi pangan individu selama periode satu hari. Penambahan
jumlah hari yang diukur akan dapat memperkirakan kebiasaan intake individu.
Metode penilaian secara kualitatif salah satunya adalah Food Frequency
Questionnaire.
Recall 24 Jam
Metode kuantitatif yang sering digunakan dalam penilaian konsumsi
pangan individu salah satunya adalah metode mengingat kembali atau recall 24
jam. Hal ini disebabkan metode ini cukup akurat, cepat pelaksanaannya, murah,
mudah, dan tidak memerlukan peralatan yang mahal dan rumit. Prinsip metode
recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu (Supariasa et al. 2001). Meskipun
demikian diperlukan orang yang ahli untuk dapat melakukannya, karena metode
ini mengandalkan ingatan responden. Disamping itu diperlukan ketepatan
menyampaikan ukuran rumah tangga (URT) dari pangan yang telah dikonsumsi
oleh responden, serta ketepatan pewawancara untuk menggali semua makanan
-
14
dan minuman yang dikonsumsi responden beserta ukuran rumah tangga (URT).
Recall konsumsi gizi atau pangan memiliki unit analisis terkecil selama 24 jam
atau sehari. Jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall adalah satu hari
(dalam kondisi variasi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam) dan
maksimal tujuh hari (Widajanti 2009).
Metode recall 24 jam memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode recall 24
jam memiliki kelebihan diantaranya adalah: (1) pelaksanaanya mudah dan tidak
membebani responden, (2) biaya relatif murah, (3) cepat, sehingga dapat
mencakup banyak responden, (4) dapat memberikan gambaran nyata yang
benar-benar dikonsumsi individu, sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari
(Supariasa et al. 2001). Recall 24 jam mempunyai kelemahan, antara lain tidak
selalu menunjukkan pola makan harian kerena umumnya pola makan tiap hari
bervariasi, responden dapat memberikan informasi overreport atau underreport,
memori responden terbatas sehingga informasi yang diperoleh tidak akurat
(Nelms et al. 2011).
Food Frequency Questionaire (FFQ)
Kuesioner ini digunakan untuk meranking orang berdasarkan besaran
asupan zat gizi, tetapi tidak dirancang untuk memperkirakan asupan secara
absolut. Untuk memperoleh asupan zat gizi secara relatif atau mutlak,
kebanyakan FFQ sering dilengkapi dengan ukuran khas setiap porsi dan jenis
makanan. Oleh karena itu, FFQ tidak jarang ditulis sebagai riwayat pangan semi
kuantitatif (Arisman 2004). FFQ sering digunakan dalam studi epidemiologi
hubungan antara kebiasaan makan dan penyakit (Kesse et al. 2001 dalam
Gibson 2005).
Kuesioner FFQ terdiri atas daftar makanan dan berhubungan dengan
sekelompok frekuensi penggunaan pangan. Daftar makanan fokus pada
kelompok pangan spesifik. Kategori frekuensi dapat harian, mingguan, bulanan,
atau tahunan. Metode ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan
metode ini adalah tidak mahal dan cepat. Kekurangan metode ini meliputi respon
responden kurang, daftar makanan yang disediakan tidak lengkap (Nelms et al.
2011), dan hanya menghasilkan data yang bersifat kualitatif (Arisman 2004).
-
15
Kecukupan Gizi
Angka Kecukupan Gizi
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan
dan menyusui (Riyadi 2006). Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII, kecukupan zat gizi anak yang berusia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia
10-15 tahun adalah disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia 7-9 tahun serta pria dan wanita usia 10-15 tahun
Kategori umur
Zat Gizi
Energia
(kkal) Protein
a
(gram) Ca
d
(mg) P
d (mg) Fe
d
(mg) Vit A
b
(RE) Vit B12
b
(mg) Vit C
c
(mg)
Anak (7-9 tahun)
1800 45 500 400 10 500 0.9 45
Laki-laki (10-12 tahun)
2050 50 700 500 13 600 1 50
Perempuan (10-12 tahun)
2050 50 700 450 20 600 1 50
Laki-laki (13-15 tahun)
2400 64 700 450 14 500 1 50
Perempuan (13-15 tahun)
2100 62 700 450 19 500 1 60
Sumber: (aHardinsyah & Tambunan 2004;
bMuhilal & Sulaeman 2004;
cSetiawan & Rahayuningsih 2004;
dKartono & Soekatri 2004)
Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu, dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai
cadangan energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka
pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (IOM 2002
diacu dalam Hardinsyah dan Tambunan 2004).
Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan
protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan
minyak, buah berlemak (alpokat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari, dan
kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah
dan kacang kedelai), dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber
energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya,
umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan
-
16
kurma), dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein
antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya.
Kebutuhan energi golongan umur 10-15 tahun lebih besar daripada
golongan 7-9 tahun, karena pertumbuhannya lebih cepat, terutama penambahan
tinggi badan. Mulai umur 10-15 tahun kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda
dengan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik
sehingga membutuhkan energi lebih banyak sedangkan perempuan biasanya
sudah mulai haid sehingga memerlukan protein dan zat besi lebih banyak
(RSCM & Persagi 1990).
Protein
Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial
berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi
genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk
pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu
protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan. Mutu
protein juga ditentukan oleh daya cerna protein. Semakin lengkap komposisi dan
jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis
pangan atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya (Gibney, Vorster, &
Kok 2002) diacu dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004). Pangan hewani
mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Di
Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif
rendah yaitu 4% (Hardinsyah et al. 2001 di dalam Hardinsyah dan Tambunan
2004), yang menurut FAO RAPA (1989) sebaiknya sekitar 15% dari total energi.
Apabila terjadi defisiensi protein, maka akan menyebabkan gangguan pada
absorpsi dan transportasi zat-zat gizi termasuk besi (Almatsier 2006).
Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging,
unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan sumber yang berasal dari pangan nabati
seperti kedelai dan produk olahannya (tempe, tahu, dan kacang-kacangan
lainnya). Protein yang berasal dari pangan hewani mengandung 40% besi hem
dan 60% besi nonhem. Protein yang berasal dari bahan pangan hewani
mempunyai faktor yang membantu penyerapan zat besi, mutu cerna (digestibility)
dan daya manfaat (utilizable) yang tinggi dibandingkan dengan protein nabati
(Almatsier 2006).
Kebutuhan protein pada anak usia sekolah dibedakan menurut jenis
kelamin dan umur. Kebutuhan protein bayi dan anak relatif lebih besar apabila
-
17
dibandingkan dengan orang dewasa. Angka kebutuhan protein tergantung pula
pada mutu protein. Semakin baik mutu protein, semakin rendah angka
kebutuhan protein.
Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia
dewasa. Besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh antara lain
sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat
angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim
di dalam jaringan tubuh. Zat besi merupakan komponen penting dalam Hb darah,
mioglobin, sitokrom, dan enzim katalase dan peroksidase. Sebagian besar besi
dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana
asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di
dalam makanan (Almatsier 2006).
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat besi adalah keasaman
lambung dan bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan
besi nonheme. Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab,
misalnya konsumsi antasida berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi.
Vitamin C dan asam organik merupakan pemacu penyerapan besi nonheme,
sedangkan fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat
penyerapan besi nonheme (Gallagher 2004).
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat
dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonheme dalam
makanan nabati. Besi heme hanya merupakan bagian kecil dari besi yang
diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi total makanan), terutama di
Indonesia, namun yang dapat diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan
nonheme hanya 5%. Agar dapat diabsorpsi, besi nonheme di dalam usus halus
harus berada dalam bentuk terlarut. Besi nonheme diionisasi oleh asam
lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan dalam cairan pelarut
seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur
(Almatsier 2006).
Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang jumlahnya melimpah dalam tubuh, yaitu
sekitar 1.5% sampai 2% dari total berat badan atau antara 1-1.4 gram dalam 70
-
18
kg berat badan. Sekitar 99% total kalsium dalam tubuh terdapat pada tulang dan
gigi, dan 1% lainnya tersebar di cairan intraselular dan ekstraselular (Gallagher
2004; Gropper, Smith&Groff 2009). Kalsium dibutuhkan untuk mineralisasi dan
menjaga pertumbuhan pada anak. Kebutuhan aktual tergantung pada kecepatan
penyerapan individu dan faktor pangan lainnya seperti jumlah protein, vitamin D,
dan fosfor. Anak-anak membutuhkan kalsium per kilogram dua sampai empat
kali lebih banyak daripada dewasa. Karena susu dan dairy products adalah
sumber kalsium utama, anak-anak yang mengonsumsi pangan tersebut dalam
jumlah terbatas beresiko mengalami mineralisasi tulang yang buruk.
Konsumsi kalsium dan vitamin D yang kurang dapat menyebabkan
osteomalacia. Konsumsi kalsium yang rendah juga dapat menyebabkan
beberapa penyakit degeneratif, misalnya kanker kolon dan hipertensi. Kalsium
yang rendah juga berpengaruh terhadap kegemukan (Gallagher 2004). Sumber
kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan
tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia,
kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau
merupakan sumber kalsium yang baik namun bahan makanan ini mengandung
banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan
oksalat. Susu non-fat merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan
biologinya yang tinggi (Almatsier 2004).
Vitamin A
Vitamin A dalam bentuk aktif ditemukan pada pangan hewani sedangkan
tumbuhan mengandung senyawa yang dapat diubah menjadi vitamin A dalam
bentuk yang aktif, yaitu karatenoid. Karatenoid berperan sebagai antioksidan dan
hanya beberapa senyawa yang dapat diubah menjadi vitamin. Senyawa tersebut
dinamakan -karoten. Vitamin A mempunyai peran penting dan peran tersebut
terpisah antara fungsi penglihatan dan fungsi sistemik, seperti diferensiasi dan
fungsi permukaan sel, pertumbuhan dan perkembangan, fungsi imun, dan
reproduksi. Provitamin A hanya terdapat pada pangan hewani. Konsentrasi
vitamin A yang sangan tinggi terdapat pada minyak ikan kod dan minyak hati
ikan. Provitamin A dalam bentuk karatenoid ditemukan pada sayuran berwarna
hijau tua dan buah-buahan berwarna kuning atau jingga seperti wortel, bayam,
jeruk, kentang, dan sebagainya (Gallagher 2004).
Defisiensi vitamin A dapat bersifat primer dan sekunder. Defisiensi
vitamin A bersifat primer disebabkan karena ketidakcukupan asupan vitamin A
-
19
atau karatenoid. Defisiensi vitamin A bersifat sekunder merupakan hasil
malabsorbsi yang disebabkan ketidakcukupan asupan lemak, ketidakcukupan
cairan empedu dan pankreas, penyakit hati, malnutrisi energi protein, dan
defisiensi zink. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab utama terjadinya
kebutaan dan diperkirakan sekitar 250 juta adalah anak-anak. Penelitian
menunjukkan bahwa 4.4 juta anak usia sekolah di Asia Selatan mengalami
xeropthalmia karena defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A juga menyebabkan
kegagalan fungsi sistemik, yang ditandai dengan kegagalan perkembangan
embrionik, kegagalan spermatogenesis atau aborsi spontan, anemia, kegagalan
fungsi imunitas. Defisiensi vitamin A juga menyebabkan terjadinya keratinisasi
pada membran mukosa pada saluran pernapasan, saluran urin, kulit, dan epitel
pada mata (Gallagher 2004).
Hasil penelitian Jiang et al. (2008) pada anak di Cina menyatakan bahwa
konsentrasi serum retinol pada kelompok sosioekonomi rendah secara signifikan
lebih rendah daripada kelompok sosioekonomi tinggi. Hal ini disebabkan anak
pada kelompok sosioekonomi rendah di pedesaan mempunyai frekuensi
konsumsi daging lebih rendah daripada kelompok lainnya. Pendapatan keluarga
secara statistik juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap serum
retinol. Berdasarkan hasil penelitian ini juga disebutkan bahwa prevalensi anak
yang mengalami defisiensi vitamin A secara klinis adalah sebesar 11.7% dan
prevalensi anak yang diduga mengalami defisiensi vitamin A secara klinis adalah
sebesar 39.2%.
Defisiensi vitamin A berhubungan dengan pemberian makanan pada saat
bayi, hal ini dapat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu dan status
sosioekonomi. Kemiskinan berhubungan dengan ketidakcukupan asupan
makanan yang dapat menyebabkan rendahnya status vitamin A pada anak.
Makanan yang berasal dari pangan hewani jarang diberikan kepada anak-anak
di daerah sosioekonomi rendah sehingga rata-rata konsentrasi serum retinol
rendah dan prevalensi defisiensi vitamin A tinggi (Jiang et al. 2008). Anak-anak
dengan aksesibilitas rendah terhadap pangan dengan kualitas tinggi (susu, telur,
sayuran, dan buah-buahan) mempunyai resiko tinggi defisiensi vitamin A
(Villalpando 2003). Sebanyak 27 g -karoten yang diperoleh dari sayuran
berwarna hijau tua dapat menghasilkan 1 g retinol. Oleh karena itu, hal yang
sulit untuk anak-anak mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang cukup apabila
sayuran hanya sumber -karoten.
-
20
Vitamin C
Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam
keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C
mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi)
terutamaapabilaterkena panas Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi
cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil.
Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau
kofaktor. Banyak proses metabolisme dipengaruhi oleh asam askorbat, namun
mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Vitamin C mereduksi besi feri
menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Absorpsi besi dalam
bentuk nonheme meningkat empat kali lipatapabilaada vitamin C. Vitamin C
berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati
(Almatsier 2006). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan
nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas,
rambutan, papaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di
dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol. (Almatsier 2006).
Status Gizi
Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan
kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Menurut
Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan
keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian gizi yang dilakukan secara langsung meliputi antropometri, biokimia,
klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki
kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Cara pengukuran status gizi yang paling sering dilakukan di masyarakat
adalah dengan menggunakan metode antropometri. Menurut Thuluvath dan
Triger (1994) dalam Yulita (2012) menyatakan bahwa pengukuran antropometri
merupakan indikator yang reliable terhadap pengukuran status gizi. Gibson
(2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri yang sering
digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks antropometri
dapat dinyatakan dalam istilah z-skor, persentil atau persen terhadap median.
-
21
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah
berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya
dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB). Indikator TB/U
menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan
status gizi saat ini secara sensitif dan spesifik.
Terdapat beberapa indikator dalam pengukuran antropometri. Depkes RI
(2011) menyatakan bahwa terdapat empat indikator yang dapat digunakan untuk
menilai status gizi anak, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menuurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks
massa tubu menurut umur (IMT/U). Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi
pada anak usia 5 hingga 19 tahun direkomendasikan menggunakan TB/U dan
IMT/U. Status gizi contoh menurut TB/U menggambarkan keadaan gizi sebagai
akumulasi dari masa lampau dengan berbagai faktor seperti kondisi ibu saat
hamil dan pola konsumsi zat gizi pada masa lalu (Yuniar R et al. 2010).
Pengkategorian status gizi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Kategori status gizi anak
Indeks Antropometri Variabel Kategori
TB/U z< -3 SD Sangat pendek -3 z < -2 SD Pendek -2 z +2 Normal z > +2 Tinggi
IMT/U z< -3 SD -Sangat kurus -3 z < -2 SD -Kurus -2 z < +1 SD -Normal +1 z < +2 SD -Gemuk > + 2 SD -Obesitas
Sumber: WHO (2007)
Menurut Supariasa et al. (2001) pengukuran status gizi dengan
menggunakan metode antropometri memiliki kekurangan dan kelebihan.
Kekurangan dari metode ini adalah (a) tidak sensitif, (b) faktor di luar gizi
(penyakit, genetik dan penurunan penggunanaan energi) dapat menurunkan
spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri, (c) kesalahan yang terjadi
pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas
pengukuran antropometri gizi. Sedangkan kelebihannya adalah (a) relatif tidak
membutuhkan tenaga ahli, (b) metode ini tepat dan akurat, (c) dapat mendeteksi
atau menggambarkan riwayat gizi dimasa lampau, (d) umumnya dapat
mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk, (e) dapat
mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.
-
22
Penilaian Status Gizi pada Anak
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data baik obyektif maupun
subyektif dan dibandingkan dengan baku yang tersedia. Komponen penilaian
status gizi, meliputi 1) antropometri, 2) pemeriksaan biokimiawi, 3) pemeriksaan
klinis dan riwayat mengenai kesehatan, dan 4) konsumsi pangan (Arisman 2004).
Antropometri
Antropometri merupakan pengukuran ukuran tubuh, berat, dan proporsi.
Komposisi tubuh menunjukkan distribusi penyusun tubuh (massa otot dan lemak
tubuh) sebagai bagian dari berat badan. Pengukuran antropometri bervariasi
menurut umur dan keadaan gizi individu. Antropometri dapat digunakan untuk
mendeteksi derajat malnutrisi namun tidak dapat digunakan untuk menentukan
defisiensi zat gizi secara spesifik. Kelebihan penilaian status gizi dengan
antropometri lainnya adalah dapat menilai riwayat gizi yang telah lampau (Gibson
2005).
Pengukuran Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi
gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi,
penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi sehingga
berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Sifat berat badan
yang sangat labil tersebut sehingga indeks BB/U lebih menggambarkan status
gizi pada saat ini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan
overweight. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan
mineral pada tulang. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi
keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, apabila umur tidak diketahui
dengan tepat (Supariasa et al. 2001).
Pengukuran berat badan sebaiknya dilakukan setelah perut kosong dan
sebelum makan. Alat pengukur berat badan berupa a beam balance with
nondetachable weights dan a spring balance. Alat beam balance with non-
detachable weights berat dan tidak umum digunakan di lapangan dan yang biasa
digunakan adalah a spring balance. Sebelum penimbangan dilakukan, alat ukur
dipastikan berada dalam keadaan setimbang dan penunjuk angka menunjuk
angka nol. Subyek yang diukur berdiri di tengah plat timbangan, pandangan lurus
-
23
ke depan, relaks, dan memakai pakaian seminimal mungkin. Sebaiknya
penimbangan dilakukan berulang. Alat penimbangan dikalibrasi setiap dipindah
dari suatu tempat (Gibson 2005).
Pengukuran Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan untuk anak dengan tinggi >85 cm sebaiknya
dilakukan dalam posisi berdiri. Alat pengukur tinggi badan yang disarankan
adalah mikrotoise atau pita nonstretchable yang digunakan pada posisi tegak.
Pakaian yang dikenakan pada saat pengukuran dianjurkan seminimal mungkin
agar postur badan dapat terlihat dengan jelas. Alas kaki juga sebaiknya dilepas
untuk meminimalisir kesalahan pengukuran. Pada alat yang lebih modern atau
yang disebut stature memiliki ketelitian sampai 0,1 mm. Subyek sebaiknya
mengambil napas dalam-dalam sebelum diukur dan berdiri tegak. Tangan
subyek dalam posisi bebas dan pundak dalam keadaan relaks. Pengukuran
diambil saat subyek menghirup napas maksimum dan mata pengukur sejajar
dengan tinggi subyek untuk menghindari kesalahan paralak. Tinggi badan yang
dicatat adalah yang mendekati milimeter (Gibson 2005).
Hubungan antara Pengetahuan Gizi Ibu, Kebiasaan Jajan, dan Status Gizi
Anak
Menurut Suhardjo (2008), dalam penyediaan makanan keluarga dalam
hal ini dilakukan oleh seorang ibu, banyak yang tidak memanfaatkan bahan
makanan yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya
pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi. Semakin banyak pengetahuan
gizinya, semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk
dikonsumsinya. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi yang rendah akan
memilih makanan yang paling menarik panca indera, dan tidak mengadakan
pilihan berdasarkan nilai gizi makanan. Sebaliknya ibu yang memiliki
pengetahuan gizi yang cukup, lebih mempergunakan pertimbangan rasional dan
pengetahuan tentang gizi makanan tersebut (Sediaoetama 2000). Pengetahuan
gizi tersebut juga akan membantu seorang ibu dalam mendidik anaknya
termasuk dalam perilaku jajan.
Kondisi status gizi yang baik dapat dicapai apabila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk
mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI 2003). Tingkat konsumsi
-
24
ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan
menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan
hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain (Soegeng Santoso
dan Anne Lies Ranti 1999 yang diacu dalam Lusiyana 2011). Dengan
pengetahuan tentang gizi yang baik, seorang ibu dapat memilih dan
menyelenggarakan makanan dengan baik berdasarkan konsep gizi seimbang
baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang memenuhi angka kecukupan gizi.
Kebiasaan jajan anak yang baik juga akan berpengaruh pada asupan makanan
yang sesuai dengan kebutuhan gizi yang dapat mempengaruhi status gizinya.
Kebiasaan jajan yang baik akan terbentuk sebagai hasil pola makan yang
baik. Khomsan (2002) menyebutkan bahwa jajanan bagi anak SD merupakan
fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal (a) merupakan
upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas di sekolah yang tinggi
(apalagi bagi anak yang tidak sarapan pagi), (b) pengenalan berbagai jenis
makanan jajanan akan menumbuhkan kebiasaan penganekaragaman pangan
sejak kecil, (c) memberikan perasaan meningkatnya gengsi anak. Tidak sedikit
anak tidak mau makan di rumah yang disebabkan oleh stres atau sakit
(Hidayat&Alimul 2004). Oleh karena itu, membentuk pola makan yang baik untuk
seorang anak menuntut kesabaran dan pengetahuan gizi seorang ibu. Pada usia
prasekolah, anak-anak sering kali mengalami fase sulit makan. Apabila
permasalahan perilaku ini berkepanjangan maka dapat mengganggu tumbuh
kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang.
Dengan disertai pola asuh yang baik, anak-anak akan tumbuh dan berkembang
secara optimal menjadi generasi yang sehat dan cerdas (Khomsan 2004).