tinjauan hukum islam terhadap sistem kerja sama …
TRANSCRIPT
1
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KERJA SAMA
ANTARA NELAYAN DAN PEMILIK KAPAL
(STUDI MASYARAKAT NELAYAN KABUPATEN TAKALAR)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (S.H) pada Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar
OLEH
SLAMET PRIHATIN
NIM: 105251103616
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1442 H/ 2020
2
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KERJA SAMA
ANTARA NELAYAN DAN PEMILIK KAPAL
(STUDI MASYARAKAT NELAYAN KABUPATEN TAKALAR)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (S.H) pada Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar
OLEH
SLAMET PRIHATIN
NIM: 105251103616
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1442 H/ 2020
3
4
5
v
6
7
ABSTRAK
Slamet Prihatin. 105 251 103 616. 2020. Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Sistem Kerja sama Antara Nelayan dan Pemilik Kapal (Studi Masyarakat
Nelayan Kabupaten Takalar). Dibimbing oleh Ibu Hurriah Ali Hasan dan Bapak
Fahruddin Mansyur.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu bertujuan untuk
mengetahui sistem kerjasama antara nelayan dan pemilik kapal dan tinjauan
hukum Islam terhadap sistem kerjasama antara nelayan dan pemilik kapal di Desa
Bontosunggu Galesong Utara.
Penelitian ini dilakukan di Galesong Utara berlangsung selama 2 bulan
mulai dari tanggal 25 januari sampai dengan 25 maret 2020. Teknik pengumpulan
data dengan cara wawancara kepada 3 orang pemilik kapal dan 3 orang nelayan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kerja sama yang terjadi antara
nelayan dan pemilik kapal di Desa Bontosunggu adalah kerja sama mudharabah
yaitu pemilik kapal akan menyedikan modal lalu nelayan akan berkontribusi
dengan memberikan tenaga, kemampuan, dan loyalitasnya untuk mengelola
modal tersebut. Kerjasama mudharabah yang terjadi antara nelayan dan pemilik
kapal sudah memenuhui syariat hukum isam karena dalam praktiknya telah
memenuhi rukun dan syarat mudharabah.
Kata Kunci: Kerja sama, Mudharabah, Hukum Islam
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur senantiasa
teriring do’a dalam setiap hela nafas atas kehadirat Allah SWT.
Tuhan yang senatiasa melindungi hambanya dan segala Nikmat dan
Rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW. Para sahabat, dan
keluarganya serta ummat yang senantiasa istiqomah dijalan-
Nya.
Tiada pencapaian yang sempurna dalam setiap langkah,
karena rintangan tak akan meninggalkan harapan dan cita-cita
agung. Segalanya penulis lalui dengan kesungguhan dan keyakinan
untuk terus melangkah, akhirnya sampai dititik akhir
penyelesaian skripsi ini. Namun semua tidak lepas dari uluran
tangan berbagai pihak lewat dukungan, arahan, bimbingan, serta
bantuan moril dan materil.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga, peneliti
haturkan kepada:
1. Bapak Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE., MM. selaku Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar.
9
2. Bapak Dr. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I, selaku Dekan Fakultas
Agama Islam.
3. Bapak Dr. Ir. H. Muchlis Mappangaja, MP. Selaku Ketua Prodi
Hukum Ekonomi Syariah.
4. Bapak Hasanuddin, SE. Sy., selaku Sekretaris Prodi Hukum
Ekonomi Syariah yang senantiasa memberikan arahan-arahan selama
menempuh pendidikan.
5. Ibu Hurriah Ali Hasan, ST.,ME,.,Ph.D (Selaku Pembimbing I)
dan Bapak Fakhruddin Mansyur, S.E.I.,M.E.I (Selaku Pembimbing
II) dalam menyelesaikan Skripsi ini.
6. Bapak/Ibu para dosen Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar yang senantiasa membimbing penulis
selama menempuh pendidikan di Hukum Ekonomi Syariah.
7. Teman dan sahabat penulis, yang selalu memberikan dukungan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Terakhir ucapan terima kasih kepada keluarga, yang tiada henti-
hentinya mendoakan, memberi dorongan moril maupun materil
selama menempuh pendidikan.
Penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari
berbagai pihak yang sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa
suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya
10
kritikan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.
Makassar, 22 Juni 2020
Penulis
Slamet prihatin
11
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL………………………………………………….…..... i
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. ii
ABSTRAK…………………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI………………………………………………………………...... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………. . 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… . 6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………. . 6
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………. 6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Mudharabah………………………………………………. 10
B. Dasar Hukum Mudharabah………………………………………….. . 10
C. Rukun dan Syarat Mudharabah………………………………………. 14
D. Macam-macam Mudharabah…………………………………………. 17
E. Fatwa DSN-MUI Tentang Mudharabah…………………………….. . 18
F. Berakhirnya Akad Mudharabah………………………………………. 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian……………………………………………………….. 27
B. Lokasi dan Objek Penelitian………………………………………… . 27
12
C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Penelitian……………………............ 27
D. Sumber Data…………………………………………………….......... 28
E. Instrument Penelitian………………………………………….. .......... 29
F. Teknik Pengumpulan Data………………………………………......... 30
G. Teknik Analisis Data…………………………………………............. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian…………………………………… 35
B. Hasil dan Pembahasan………………………………………………… 41
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………… 52
B. Saran ……………………………………………………………………. 52
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 55
BIODATA……………………………………………………………………… 57
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 58
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia mempunyai
peranan penting bagi pembangunan nasional baik dari segi aspek ekonomi,
social, keamanan, dan ekologis. Dengan total luas laut Indonesia sekitar
5,8 juta kilometer persegi (km2) yang terdiri dari 2,3 juta km2perairan
kepulauan, 0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,7 km2 perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka posisi dan letak kepulauan Indonesia
yang bersifat archipelagic yang terdiri dari 17.504 pulau menjadi sangat
penting dalam sistem perdagangan dan penyedia bahan baku bagi
masyarakat nasional maupun internasional1.
Komitmen sebagai negara kepulauan terbesar menjadikan isu
perkembangan potensi sumber daya alam sebagai isu sentral untuk
membangun kesejahteraan masyarakat. Sebagai negara yang meiliki
wilayah laut lebih luas dari pada daratan, potensi yang melimpah tersebut
harus dimanfaatkan secara berkesinambungan tanpa mengabaikan
kesejahteraan masyarakat yang mengandalkan laut sebagai mata
pencahariannya2.
Dalam kamus besar Indonesia, pengertian nelayan adalah orang
yang mata pencaharian utama dan usahaya menangkap ikan di laut.
1 Apridar, dkk, Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 21. 2 Masyhuri Imron, Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan, Jurnal Masyarakat dan
Budaya, (2003), 63.
14
DiIndonesia nelayan biasa bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir
laut3.
Al-Qur’an secara jelas memberikan peluang kepada manusia untuk
menikmati kekayaan laut. Sebagaimana dalam Q.S Al-Maidah : 96 :
م علي يارة وحر كم أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعا لكم وللس
واتقوا حرما دمتم ما البر صيد تحشرون إليه الذي الل
Terjemahannnya:
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan
darat , selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan4.
Sebagaimana diketahui, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal.
Mereka terdiri dari beberapa kelompok, yang dilihat dari segi pemilikan
alat tangkap dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: nelayan buruh,
nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan
yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan
juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh
orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki
peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan
orang lain5.
Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerja sama antara satu
pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan
3 Lina Asmara Wati, Mimit Primyastanto, Ekonomi Produksi Perikanan dan Kelautan (UB
Press, 2018), 23. 4 Departemen Agama RI, Al-qur’an. 5 Masyhuri Imran, Kemiskinan Dalam Masyarakat Nelayan, (2003), Vol 5 No 1.
15
kebutuhan hidup atau keperluan-keperluan lain tidak bisa diabaikan.
Kerjasama dalam Islam merupakan suatu bentuk sikap saling tolong
menolong terhadap sesama yang disuruh dalam islam selama kerjasama itu
tidak dalam bentuk dosa dan permusuhan.
Kerjasama yang dimaksud di sini adalah kerjasama dalam bentuk
bagi hasil, yaitu kerjasama dalam berusaha untuk mendapatkan
keuntungan. Oleh karena itu kerjasama ini terlebih dahulu harus terjadi
dalam suatu akad atau perjanjian baik secara formal yaitu dengan ijab dan
qabul maupun dengan cara yang lain yang menunjukkan bahwa kedua
belah pihak telah melakukan kerjasama tersebut secara rela sama rela.
Untuk sahnya kerjasama, kedua belah pihak harus memenuhi syarat untuk
melakukan akad atau perjanjian kerjasama yaitu dewasa dalam arti
mempunyai kemampuan untuk bertindak dan sehat akalnya, serta atas
dasar kehendak sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
Salah satu akad kerja sama yang terjadi dalam masyarakat adalah
kerja sama mudharabah6. Mudharabah berasal dari kata al-darab, disebut
juga qirad, yang berasal dari kata al-qardu berarti al-qat’u (potongan)
karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungannya. Menurut para fuqaha, mudharabah
ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak
menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan
bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau
6 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), 23.
16
sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kiranya dapat
dipahami bahwa mudharabah atau qirad ialah akad antara pemilik modal
(harta) dengan pengelola modal tersebut dengan syarat bahwa keuntungan
diperoleh kedua belah pihak sesuai dengan jumlah kesepakatan7.
Dasar kebolehan praktik mudharabah adalah Q.S. Al-Baqarah :
198 :
م منعرفا كم جناح أن تبتغوا فضل من ربكم فإذا أفضت ليس علي
عند المشعر الحرام واذكروه كما هداكم وإن كنتم م ن فاذكروا الل
الين قبله لمن الض
Terjemahannya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat,
berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang
sesat8.
Di Desa Bontosunggu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten
Takalar terdapat praktik penerapan kerja sama yaitu antara pemilik kapal
(juragan) dengan nelayan. Perjanjian kerja sama antara nelayan dan
juragan ini berlangsung dalam satu musim (kurang lebih selama 1 minggu
hingga 2 minggu lamanya). Nelayan bekerja sama dengan juragan
berdasarkan sistem bagi hasil. Modal yang berupa biaya operasional
selama melaut seperti bahan bakar, es batu, bahan makanan selama melaut,
dan sebagainya berasal dari pemilik kapal. Sedangkan nelayan
memberikan kontribusi berupa tenaga, keterampilan, dan loyalitas dalam
7 Zaenuddin A. Naufal, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 141. 8 Departemen Agama RI, Al-qur’an.
17
kegiatan kerja sama ini. Bagian bagi hasil nelayan akan diberikan setelah
kerja sama berakhir.
Bagi hasil keuntungan yang diterapkan oleh pemilik kapal terhadap
hasil melaut ialah 50:50. Karena dalam satu kapal terdapat 10-20 orang
nelayan, bagian mereka sebesar 50% akan dibagi sejumlah nelayan yang
bekerja pada kapal tersebut. Sedangkan apabila mengalami kerugian,
hanya ditanggung oleh nelayan yang kemudian akan menjadi hutang untuk
dilunasi ketika memperoleh keuntungan pada saat melaut berikutnya.
Perhitungan keuntungan/kerugian ini akan dilakukan setelah nelayan
kembali dari melaut kemudian hasil penjualan ikan diperoleh.
Berdasarkan kesenjangan tersebut yang akhirnya membuat peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana praktik kerja sama
tersebut menurut perspektif hukum Islam. Maka untuk mengetahui hal
tersebut perlulah dilakukan sebuah kajian dan penelitian yang mendalam
mengenai kerja sama tersebut. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk
meneliti permasalahan ini dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Sistem KerjaSama antara Nelayan dan Pemilik Kapal
(Studi Masyarakat Nelayan Kabupaten Takalar)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah ini diuraikan
dalam pernyataan sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal di
Kabupaten Takalar ?
18
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap kerja sama antara nelayan
dan pemilik kapal di Kabupaten Takalar ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sistem kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal
di Kabupaten Takalar?
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap kerja sama antara
nelayan dan pemilik kapal di Kabupaten Takalar ?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang di harapkan dari pnelitian ini memberikan deskripsi
pengembangan kepada dua hal yang berbeda, yaitu :
1. Manfaat teoritis
Hasil penerapan ini diharapkan berguna sebagai bentuk sumbangsih
dalam rangka memperkaya ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan
dengan masalah ilmu muamamalah mengenai bentuk akad kerja yang
digunakan terkhusus mengenai kerja sama pemilik kapal dan nelayan
dalam melaksanakan usaha bersamanya.
2. Manfaat terapan (praktis)
a. Bagi dunia akademik
Sebagai sumbangsih pengetahuan bagi universitas selaku lembaga
pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan muamalah.
19
b. Bagi peneliti
Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis agar dapat memahami
tentang muamalah.
c. Bagi pemilik kapal dan nelayan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemilik
kapal dalam menerapkan ketentuan dalam kerja samanyadengan
pihak nelayan agar sesuai dengan konsepmudarabah sehingga
terhindar dari tindakan yang merugikan salah satu pihak.
8
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Kajian Teori
1. Pengertian mudharabah
Mudharabah atau qirad termasuk salah satu bentuk akad
shirkah (perkongsian). Mudharabah adalah istilah yang biasa
digunakan penduduk Irak, sedangkan orang Hijaz membahasakanya
dengan istilah qirad. Dengan demikian, mudharabah atau qirad adalah
dua istilah untuk maksud yang sama9. Istilah mudharabah berasal dari
kata darb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan
kakinya dalam menjalankan usaha.
Mudharabah telah dilakukan orang-orang Arab sebelum Islam.
Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul telah ber-
mudharabah dengan Khadijah dalam menjalankan perniagaan dari
Mekah ke negeri Syam. Bahkan ketika Rasulullah SAW diangkat
menjadi Rasul dan ummat Islam selesai menaklukkan Khaibar, beliau
pernah menyerahkan tanah pertanian kepada orang Yahudi dengan
cara mudharabah dengan hasil dibagi sama10.
Menurut bahasa, qirad diambil dari kata al-qardu yang berarti
(potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk
9 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 223. 10 Siah Khosyi’ah, Fiqih Muamalah Perbandingan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014),
152.
9
diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan
pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa
juga diambil dari kata al-muqaradah yang berarti (kesamaan), sebab
pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah, sebab setiap
yang melakukan akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus
mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut11.
Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang
diungkapkan oleh para ahli antara lain:
a. Menurut Sayyid Sabiq
Mudharabah adalah akad antara dua pihak dimana salah
satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada
pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai
dengan kesepakatan12.
b. Antonio mengutip pendapat Al-Syarbasyi sebagai berikut:
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola dan keuntungan
usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
11 Zaenudidin A. Naufal, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporere, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 141. 12 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 218.
10
Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola13.
c. Adiwarman A. Karim
Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari
salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana satu pihak
berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah
modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana
usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan14.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa mudharabah
adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal
kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal.
Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus
persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
2. Dasar hukum mudharabah
Kerja sama dalam permodalan mudharabah disyariatkan oleh
firman Allah, hadits, ijma dari para sahabat dan para imam. Para imam
mazhab sepakat bahwa mudharabah adalah boleh berdasarkan Al-
Quran, sunnah, ijma, dan qiyas.
Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam
islam berdasarkan pada Al-Quran, Sunnah, ijma, dan Qiyas.
13 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), 95. 14 Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2007), 204-205.
11
a. Berdasarkan Al-Quran
Adapun ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara
lain: Q.S Al-muzammil: 20:
وآخرون يضربون في الرض يبتغون من فضل الل
Terjemahannya:
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah15.
Yang menjadi argument ayat di atas adalah kata yadhribun
yang sama akarnya mudharabah yang berarti melakukan suatu
perjalanan usaha.
Q.S Al-jumuah: 10:
لة فانتشروا في الرض وابتغوا م ن فضل فإذا قضيت الص
واذ كثيرا لعلكم تفلحون الل كروا الل
Terjemahannya:
Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar
kamu beruntung16.
b. As-sunnah
Ketika Islam datang, Rasulullah mengakui dan menyetujui
akad mudharabah ini. Para sahabatnya pun melakukan perjalanan
dagang dengan mengelola modal orang lain berdasarkan akad
mudharabah sementara beliau tidak melarang hal itu. Sunnah
merupakan perkataan, perbuatan, dan pengakuan Rasulullah SAW.
Maka ketika beliau telah mengakui mudharabah, berarti
15 Departemen Agama RI, Al-qur’an. 16 Departemen Agama RI, Al-qur’an.
12
mudharabah telah ditetapkan oleh sunnah. Di antara hadits yang
berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibn Majah dari Suhaib bahwa:
م : صهيب ، قال : قال رسول الل صلى الل عليهوسل عن
لط ثلث فيهن البركة ، البيع إلى أجل ، والمقارضة ، وأخ
بيع البر بالشعير ، للبيت لا لل
Artinya :
Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang
ditangguhkan, melakukan qirad (memberi modal kepada orang
lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk
keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dari
Suhaib).
Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh
dan menjadi lebih baik terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual
beli yang dilakukan secara tempo atau pun akad mudharabah
sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. dalam hadith tersebut.
Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikan
diperbolehkannya praktik mudharabah17.
c. Ijma
Kesepakatan ulama akan bolehnya mudharabah dikutip dari
Dr. Wahbah Zuhaili dari kitab al-fiqh al-Islami wa Adillatuh.
Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan mudarabah
dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak
seorangpun dari mereka yang menyanggah atau menolak. Beliau
itu antara lain Umar Ibn al-khattab, Uthman Ibn Affan, Ali Ibn
17 Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 226.
13
Abu Talib, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Umar, Abdullah
Ibn Amir, Aisyah. Jika praktik sahabat dalam suatu amalan tertentu
yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak ada seorang pun
menyanggahnya maka hal itu adalah ijma.
d. Qiyas
Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan
mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi
al-musaqah, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang
perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan
orang lain dengan pekerjaan penyiraman, pemeliharaan, dan
merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang penyiram
mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di
depan dari output perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah,
pemilik dana sahib al-mal dianalogikan dengan pemilik kebun,
sementara pemelihara kebun dianalogikan dengan pengusaha
(entrepreneur). Mengingat dasar musaqah lebih valid dan tegas
yang diambil dari sunnah Rasulullah SAW, maka metodologi qiyas
dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya
mudharabah18.
3. Rukun dan syarat mudharabah
Bagi hasil dilaksanakan dengan didahului oleh sebuah
perjanjian sehingga ia pun harus memenuhi rukun dan syarat-
18 Zaenuddin A N aufal, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 142.
14
syaratnya. Akad muḍhārabah memiliki beberapa rukun yang telah
digariskan ulama guna menentukan sahnya akad tersebut. Rukun yang
dimaksud ialah ‘aqidain sahib al-mal (pemilik dana) dan muḍarib
(pengelola), sighat (ijab dan qabul), ra’sal-mal (modal), ribhun
(keuntungan), dan‘amal (pekerjaan)19.
Ulama mengajukan beberapa syarat terhadap rukun yang
melekat dalam akad muḍharabah, yaitu:
a. Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni sahib al
mal dan muḍarib adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi
wakil, sebab mudarib mengusahakan harta sahib al-mal. Namun
demikian tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah sah
dilakukan antara seorang muslim dengan orang kafir yang
dilindungi di negara Islam. Adapunulama Malikiyah memakruhkan
mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan
riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
b. Sighat dalam akad qirad adalah bahasa transaksi berupa ijab dan
qabul yang memuat perjanjian kontrak kerja sama antara sahib al-
mal dengan mudarib dengan sistem bagi hasil (profit sharing).
Syarat atau ketentuannya yakni ijab dan qabul dilakukan secara
berkesinambungan (muttasil) di mana tidak ada jeda waktu yang
mencerminkan qabulbukan lagi sebagai respon dari ijab, terbebas
dari penangguhan (ta’li), dan kesesuaian maksud (muwafawah fi
19 Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 227.
15
al-ma’na) meskipun beda redaksi karena dalam akad mudarabah,
yang dijadikan patokan adalah maknanya bukan bentuk lafalnya20.
c. Ra’s al-mal (modal) adalah sejumlah uang yang diberikan oleh
sahib almal kepada mudarib untuk tujuan investasi dalam akad
mudarabah. Modal disyaratkan harus diketahui jumlah dan
jenisnya (mata uang), dan modal harus disetor tunai kepada
mudarib. Sebagian ulama membolehkan modal berupa barang
inventoris ataupun aset perdagangan, bahkan madzhab Hambali
membolehkan penyediaan aset non-moneter (pesawat, kapal, alat
transportasi) sebagai modal. Modal tidak dapat berbentuk hutang
(pada pihak ketiga atau mudarib). Menurut Abu Hanifah, modal
berupa barang adalah sah. Pemberian barang tersebut sama artinya
dengan memberikan uang untuk diperniagakan yang labanya
kemudian dibagi bersama sesuai dengan asas qirad21. Modal harus
tersedia digunakan dalam bentuk tunai atau aset. Selain itu, modal
harus diserahkan/dibayarkan kepada mudarib dan memungkinkan
baginya untuk menggunakannya.
d. Amal (pekerjaan) merupakan kontribusi mudarib dalam kontrak
mudharabah yang disediakan oleh pemilik modal. Pekerjaan dalam
kaitan ini berhubungan dengan manajemen kontrak mudharabah
dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapakan oleh kedua belah
20 Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Diskursus Metodologi Konsep
Interaksi Sosial- Ekonomi) (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 262. 21 Khudori Soleh, Fiqh Konstektual (Jakarta: Pertja, 1999), 67.
16
pihak dalam transaksi22. Syarat yang harus dipenuhi ialah yakni
usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudarib tanpa adanya
intervensi dari pihak sahib al-mal, pemilik dana tidak boleh
membatasi tindakan dan usaha muda ribsedemikian rupa sehingga
dapat mempersempit ruang geraknya dalam memperoleh
keuntungan, mudarib tidak boleh menyalahi aturan syariah dalam
usaha perniagaannya, serta mudarib harus mematuhi syarat-syarat
yang ditentukan sahib al-mal sepanjang syarat itu tidak kontradiktif
dengan apa yang ada dalam kontrak mudarabah.
e. Ribhun (keuntungan) adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal, keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak
mudarabah. Syarat keuntungan yang harus terpenuhi adalah khusus
dimiliki secara shirkah oleh sahib al-maldan mudarib, margin
profit ditentukan secara persentase (juz’iyyah) misalnya bagian
sahib al-mal sebesar 60% dan mudarib 40% dari total profit
sehingga tidak sah apabila ditentukan secara nominal (qodriyyah).
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama
Hanafiyah akad itu fasid (rusak), demikian pula halnya apabila
pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian pada kerja sama
tersebut ditanggung bersama.
22 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 143.
17
4. Macam–macam mudharabah
Secara umum mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu,
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
isaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama
salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan ifal ma
syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang
memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/ specifited mudharabah adalah kebalikan
dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan
jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini
seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal
dalam memasuki jenis dunia usaha23.
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (NO: 115/DSN-MUI/IX/2017)
Tentang Mudharabah
a. Ketentuan umum
23 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), 97.
18
1. Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara
pemilik modal (malik/shahib al-mal) yang menyediakan seluruh
modal dengan pengelola (amil/mudharib) dan keuntungan usaha
dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.
2. Shahib al-mal/malik adalah pihak penyedia dana dalam usaha kerja
sama usaha mudharabah, baik berupa orang (syakhshiyah
thabi’iyah/ natuurlijke persoon) maupun yang dipersamakan
dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan
hukum (syakhshiyah I’tibariah/syakhshiyah hukmiyah/
recthsperson).
3. Amil/mudharib adalah pihak pengelola dana dalam usaha kerja
sama usaha mudharabah, baik berupa orang (syakhshiyah
thabi’iyah/naturlijke persoon) maupun yang disamakan dengan
orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
(syakhshiyah I’tibariah/syakhshiyah hukmiyah/retchperson).
4. Ra’s mal-mudharabah adalah modal usaha dalam usaha kerja sama
mudharabah.
5. Nisbah bagi hasil adalah nisbah atau perbandingan yang dinyatakan
dalam angka seperti persentase untuk membagi hasil usaha.
6. Mudharabah-muqayyadah adalah akad mudharabah yang dibatasi
jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
7. Mudharabah-muthlaqah adalah akad mudharabah yang tidak
dibatasi jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
19
8. Mudharabah-tsuna’iyyah adalah akad mudharabah yang dilakukan
secara langsung antara shahib al-mal dan mudharib.
9. Mudharabah-muytarakah adalah akad mudharabah yang
pengelolanya (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja
sama usaha.
10. Taqwim al-urudh adalah penaksiran barang yang menjadi ra’s al-
mal untuk diketahui nilai atau harganya.
11. Keuntungan usaha (ar-ribh) mudharabah adalah pendapatan usaha
berupa pertambahan dari investasi setelah dikuragi modal, atau
modal dan biaya-biaya.
12. Kerugian usaha (al-khasarah) mudharabah adalah hasil usaha, di
mana jumlah modal usaha yang diinvestasikan mengalami
penurunan atau jumlah modal dan biaya-biaya melebihi jumlah
pendapatan.
13. At-ta’addi adalah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya
tidak dilakukan.
14. At-taqsir adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya
dilakukan.
15. Mukhalafat asy-syuruth adalah menyalahi isi dan/atau substansi
atau syarat syarat yang disepakati dakam akad.
b. Ketentuan hukum bentuk mudharabah
Mudharabah boleh dilakukan dalam bentuk-bentuk berikut:
20
1. Mudharabah-muqayyadah adalah akad mudharabah yang dibatasi
jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
2. Mudharabah-muthlaqah adalah akad mudharabah yang tidak
dibatasi jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usaha.
3. Mudharabah-tsuna’iyyah adalah akad mudharabah yang dilakukan
secara langsung antara shahib al-mal dan mudharib.
4. Mudharabah-musytarakah adalah akad mudharabah yang
pengelolanya (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja
sama usaha.
c. Ketentuan shighat akad
1. Akad mudharabah harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah
dipahami dan dimengerti serta diterima para pihak.
2. Akad mudharabah boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat,
dan perbuatan/tindakan, serta dapat dilakukan secara elektronik
sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Mudharib dalam akad mudharabah tsunaiyyah tidak boleh
melakukan mudharabah ulang (mudharib yudharib) kecuali
mendapatkan izin dari shahib al-mal.
d. Ketentuan para pihak
1. Shahib al-mal dan mudhrib boleh berupa orang (syakhshiyah
thbi’iyah /natuurlijke persoon maupun yang disamakan dengan
orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
(syakhshiyah I’tirbariah/syakshiyah hukmiyah/recthperson).
21
2. Shahib al-mal dan mudharib wajib cakap hukum sesuai dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Shahib al-mal wajib memiliki modal yang diserahterimakan kepada
mudharib.
4. Mudharib wajib memiliki keahlian/ketrampilan melakukan usaha
dalam rangka mendapatkan keuntungan.
e. Ketentuan terkait ra’s al-mal
1. Modal usaha mudharabah harus diserahterimakan (al-taslim)
secara bertahap atau tunai sesuai kesepakatan.
2. Modal usaha mudharabah pada dasarnya wajib dalam bentuk uang,
namun boleh juga dalam bentuk barang atau kombinasi antara uang
dan barang.
3. Jika modal usaha dalam bentuk barang, wajib dilakukan taqwim al-
urudh ada saat akad.
4. Modal usaha yang diserahkan oleh shahib al-mal wajib dijelaskan
jumlah/nilai nominalnya.
5. Jenis mata uang yang digunakan sebagai ra’s al-mal wajib
disepakati oleh para pihak (shahib al-mal dan mdharib).
6. Jika shahib al-mal menyertakan ra’s al-mal berupa mata uang uang
yang berbeda, wajib dikonversi ke mata uang yang disepakati
sebagai ra’s al-mal pada saat akad.
7. Ra’s al-mal tidak boleh dalam bentuk piutang.
f. Ketentuan terkait bagi hasil
22
1. Sistem/metode pembagian keuntungan harus disepakati dan
dinyatakan secara jelas dalam akad.
2. Nisbah bagi hasil harus disepakati pada saat akad.
3. Nisbah bagi hasil sebagaimana angka 2 tidak boleh dalam bentuk
nominal atau angka persentase dari modal usaha.
4. Nisbah bagi hasil sebagaimanangka 2 tidak boleh menggunakan
angka persentase yang mengakibatkan keuntungan hanya dapat
diterima oleh salah satu pihak, sementara pihak lainnya tidak
berhak mendaptkan hasil usha mudharabah.
5. Nisbah bagi hasil boleh diubah sesuai kesepakatan.
6. Nisbah bagi hasil boleh dinyatakan dalam bentuk multinisbah.
g. Ketentuan kegiatan usaha
1. Usaha yang dilakukan mudharib harus usaha yang halal dan sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Mudharib dalam melakukan usaha mudharabah harus atas nama
entitas mudharabah, tidak boleh atas nama dirinya sendiri.
3. Biaya-biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas
mudharabah, boleh dibebankan kedalam entitas mudharabah.
4. Mudharib tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan
atau menghadiahkan ra’s al-mal dan keuntungan kepada pihak lain,
kecuali atas dasar izin dari shahib al-mal.
23
5. Mudharib tidak boleh melakukan perbuatan yang termasuk at-
ta’addi, at-taqshir, dan/atau mukhhalafat asy-yuruth.
h. Ketentuan terkait pembagian keuntungan dan kerugian
1. Keuntungan usaha mudharabah harus dihitung dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan/atau sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian mudharabah.
2. Seluruh keuntungan harus dibagikan sesuai nisbah bagi yang telah
disepakati, dan tidak boleh ada sejumlah tertentu dari keuntungan,
yang ditentukan di awal hanya untuk shahib al-mal atau mudharib.
3. Mudharib boleh mengusulkan kelebihan atau persentase
keuntungan untuk diberikan kepadanya jika keuntungan tersebut
melebihi jumlah tertentu.
4. Kerugian usaha mudaharabah menjadi tanggung jawab shahib al-
mal kecuali kerugian tersebut terjadi karena mudharib melakukan
tindakan yagng termasuk at-ta’addi, at-taqsir, dan/atau mukhalafat
asy-syuruth, atau mudharib melakukan pelanggaran terhadap
batasan dalam mudharabah muqayyadah.
i. Ketentuan aktivitas dan produk LKS
1. Jika akad mudharabah direalisasikan dalam bentuk pembiayaan
maka berlaku dhawabith dan hudud sebagaimana terdapat dalam
fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan mudharabah (qiradh).
24
2. Jika akad mudharabah direalisasikan dalam bentuk mudharabah-
musytarakah maka berlaku dhawabith dan hudud sebagaimana
terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 50/DSN-MUI/III/2006
tentang akad mudharabah musytarakah.
3. Jika akad mudharabah direalisasikan dalam bentuk mudharabah-
musytarakah pada aktivitas perasuransian syariah maka berlaku
dhawatibh dan hudud sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-
MUI Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad mudharabah
musytarakah pada asuransi syariah.
j. Ketentuan penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannnya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui lembaga penyelesaikan sengketa berdasarkan
syariah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Penerapan fatwa ini dalam kegiatan atau produk usaha wajib
terlebih dahulu mendapatkan opini dari Dewan Pengurus Syariah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapakn dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyta terdapat kekeliruan maka akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
6. Berakhirnya akad mudharabah
Di dalam kitab-kitab fiqih, sedikit sekali perhatian ayat yang
dicurahkan untruk mengkaji cara yang mewajibkan pembubaran
25
mudarabah. Jika semuanya berjalan pada waktu yang di setujui, maka
sahib al-mal dan mudarib bisa berunding untuk membereskan laporan
perdagangan, membagi keuntungan dan mengakhiri asosiasi mereka.
Dalam spekulasi usaha yang tidak sukes, mudarib harus
mengembalikan sisa modal kepada sahib-al mal atau berapapun besran
modal yang tidak hilang dan kedanya mungkin akan bekerja sama lagi
untuk meraih nasib yag lebih baik dalam usaha mereka di masa yang
akan datang24.
Selain pembubaran yang wajar ada sejumlah kejadian yang
otomatis dan secara spontan dapat mengakhiri perjanjian mudharabah.
Antara lain adalah keputusan salah satu pihak untuk mengakhiri
mudharabah, kematian, hilang akal, atau kemurtadan dari islam pada
salah satu pihak. Selain kemurtadan yang memang telah di atur oleh
fiqh secara tersendiri, mudharabah harus di bubarkan sesegera
mungkin jika semua aset nya telah dialihkan dalam bentuk tunai. Jika
semua modal telah di serahkan kembali kepda sahib al-mal atau ahli
waris mereka, saldonya (jika ada) kemudian dibagi kepada pihak-pihak
yang telah mereka sepakati sejak awal25.
24 Udovitch Abraham L, kerjasama Syariah dan Bagi Untung Rugi Dalam Sejarah Islam
Abad Pertengahan, (Kediri: Qubah, 2008), 317. 25 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 148-149.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif sesuai dengan
permasalahan dan tujuan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisa data secara
mendalam mengenai tinjauan hukum Islam terhadap sistem kerjasama
antara nelayan dan pemilik kapal. Berdasarkan konteks permasalahan
dalam penelitian ini maka penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan desain metode deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah26.
B. Lokasi dan objek penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat di mana peneliti melakukan
penelitian serta mengambil data yang diperlukan dalam rangka penelitian
yang dilakukan. lokasi penelitian bertempat di Desa Bontosunggu
Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Alasan peneliti
mengambil tempat di Desa Bontosunggu Kecamatan Galesong Utara
26 Moleong, Lexy , Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010), 6.
28
Kabupaten Takalar ialah karena di Desa Bontosunggu ini sebagian besar
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dengan sistem kerja sama
antara nelayan dan pemilik kapal. Selain itu, di sini belum pernah
dilakukan penelitian mengenai permasalahan yang peneliti angkat menjadi
skripsi sehingga peneliti berinisatif untuk melakukan penelitian di sini.
C. Fokus penelitian dan deskripsi penelitian
Dalam pandangan kualitatif, peneliti menfokuskan pada situasi
yang diteliti meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas
yang berinteraksi secara sinergi27.
Penelitian ini berfokus dalam 2 hal pokok, yaitu :
1. Sistem kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal di Kabupaten
Takalar ?
2. Tinjauan hukum Islam terhadap kerjasama antara nelayan dan pemilik
kapal di Kabupaten Takalar?
D. Sumber data
Sumber data penelitian adalah subjek darimana dapat diperoleh,
sumber data dalam penelitian ini mencakup sumber primer dan sekunder28.
1. Data primer
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang di lakukan oleh
subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian
27 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), 285. 28 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2012), 127.
29
(informan) yang berkenaan dengan variabel yang di teliti. Adapun
sumber data primer dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan
dan pemilik kapal di Desa Bontosunggu Galesong Utara.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan tidak memberikan
informasi secara langsung kepada peneliti. Sumber data sekunder ini
dapat berupa hasil pengolahan lebih lanjut dari data primer yang
disajikan dalam bentuk lain atau dari orang lain. Data sekunder peneliti
ini diperoleh dari studi kepustakaan seperti buku-buku yang berkaitan
dengan muamalah, kitab-kitab, website, dan lain sebagainya sesuai
dengan masalah yang di bahas oleh peneliti.
E. Instrument penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan instrument yaitu satu-
satunya instrument terpenting dalam penelitian kualitatif yaitu peneliti itu
sendiri.peneliti mungkin menggunakan alat alat bantu untuk
mengumpulkan data seperti tape recorder, video kaset, atau kamera. Tetapi
kegunaan atau pemanfaatan alat-alat ini sangat tergantung pada peneliti itu
sendiri.
Peneliti sebagai instrument disebut (participant-observer)
disamping memiliki kelebihan-kelebihan juga mengandung beberapa
kelemahan. Kelebihannya antara lain, pertama peneliti dapat langsung
melihat, merasakan, mengalami apa yang terjadi pada subjek yang
ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laun memahami makna
30
makna apa saja yang tersembunyi dibalik realita yang kasat mata. Ini
adalah salah satu tujuan yang hendak di capai melalui penelitian kualitatif.
Kedua, peneliti akan mampu menentukan kapan penyimpulan data
telah mencukupi, data telah jenuh, dan penelitian dihentikan. Dalam
penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak di batasi oleh instrument
misalnya kuisioner yang sengaja membatasi penelitian pada variabel-
variabel tertentu saja.
Ketiga, peneliti dapat langsung melakukan pengumpulan data,
menganalisanyamelakukan refleksi secara terus menerus, dan secara
gradual membangun pemahaman yang tuntas tentang suatu hal. Ingat,
dalam penelitian kualitatif, peneliti memang mengkonstruksi realitas yang
tersembunyi di dalam masyarakat29.
F. Teknik pengumpulan data
Adalah cara-cara yang ditempuh oleh penulis dalam rangka
mendapatkan data dan informasi yang di perlukan agar sesuai dengan ciri-
ciri penelitian kualitatif. Adapun cara-cara yang di tempuh dalm penelitian
ini, penulis menggunakan beberapa metode:
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yakni pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang di
29 Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000), 19.
31
wawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut.
Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna suatu topik tertentu.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur dengan menggunakan alat bantu berupa
pedoman wawancara. Model yang digunakan peneliti dalam
wawancara untuk mengungkapkan data yakni dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung kepada narasumber-narasumber
masyarakat nelayan Desa Bontosunggu Galesong Utara. Narasumber
ini meliputi : pemilik kapal, nelayan dan tokoh Agama.
2. Observasi
Observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subjek
(orang), objek (benda), atau kejadian yang sistematis tanpa adanya
pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti.
Dalam hal ini, peneliti tidak hanya mencatat suatu kejadian,
melainkan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan praktik
kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal di Desa Bontosunggu
Galesong Utara. Teknik pengamatan ini memungkinkan melihat dan
mengamati sendiri kemudian mencatat kejadian sebagaimana yang
terjadi pada keadaan sebenarnya, yaitu suatu aktivitas yang
32
memerhatikan dan mencermati bagaimana pelaksanaan praktik kerja
sama antara nelayan dan pemilik kapal.
Dengan metode observasi ini, peneliti secara langsung
melakukan pencatatan terhadap praktik kerja sama yang terjadi antara
nelayan dan pemilik kapal di Desa Bontosunggu Galesong Utara serta
mengamati dampak-dampak yang ditimbulkan dari praktik kerja sama
tersebut.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode mencari data mengenai hal-hal
atau variable yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen, agenda dan sebagainya. Metode dokumentasi digunakan
untuk mencari dan mengumpulkan data serta informasi yang tertulis
dengan permasalahan penelitian.
Selain triangulasi sumber, peneliti juga menggunakan metode
triangulasi dengan metode, terdapat dua strategi yaitu pengecekan
derajat kepercayaan penemuan hasilpenelitian berupa teknik
pengumpulan data dengan metode yang sama. Dengan cara
membandingkan data hasil pengamatan, hasil wawancara juga
dokumentasi yang peneliti peroleh dari hasil penelitian.
G. Teknik analisis data
Analisi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu
33
analisis berdasarkan data yang diperoleh, analisis data terdiri dari 3 (tiga)
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu30:
1. Reduksi data
Reduksi data yaitu proses pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi dta “kasar” peneliti
tidak perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi, data kualitatif dapat
disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara, yakni
melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat,
menggolongkannya dalan satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.
Kadang kala dapat juga mengubah data kedalam angka-angka atau
peringkat-peringkat, tetapi tindakan ini tidak selalu bijaksana. Reduksi
data di lakukan peneliti dengan memilih dan memutuskan data hasil
wawancara dan observasi di lapangan.
2. Penyajian data
Penyajian data adalah menyusun sekumpulan informasi yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian-penyajian data yang di rancangkan
guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk
yang padu dan mudah di raih misalnya dituangkan dalam berbagai
jenis matriks, grafik, dan bagan.
3. Penarikan kesimpulan/verifikasi
30 Rahman, Maman, Metode Penelitian Pendidikan Moral, (Semarang: Unnes Press,
2011), 173.
34
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat
keteraturan, pola-pola penjelasan, alur sebab-akibat dan proposi.
Kesimpulan juga diverifikasikan selama penelitan berlangsung.
Verifikasi adalah penarikan kembali yang melintas dalam pikiran
penganalisis selama penyimpulan, suatu tinjauan ulang pada catatan-
catatan lapangan dan meminta responden yang telah dijaring datanya
untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan peneliti. Makna-
makna yang muncul sebagai kesimpulan data teruji kebenarannnya,
kekokohannnya, dan kecocokannya31.
31 Miles, Matthew B dan A, Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Terjemahan
Tjetjet Rohendi Rohidi, (Jakarta, UI Press, 1992), 16-17.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Desa
Desa Bontosunggu berada dalam wilayah Kecamatan Galesong
Utara Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Potensi Desa
Bontosunggu berada dalam sektor perikanan/kelautan dan sektor
pertanian. Wilayah Desa berbatasan langsung dengan selat Makassar,
sehingga mayoritas penduduk berprofesi sebagai nelayan.
Sepanjang sejarah kelahirannya, Desa Bontosunggu telah
dipimpin sebanyak 6 orang kepala desa. Saat ini Desa Bontosunggu
dipimpin oleh Saparuddin Bani yang terpilih sejak Juni 2016 periode
sebelumnya 2010 – 2016 dijabat oleh M. Hasyim Rala.
2. Demografi
Kepadatan Desa Bontosunggu dari luas wilayah 0.01 Km2
berkisar 2 jiwa per meter dengan prediksi jumlah penduduk Desa
Bontosunggu untuk 5 (lima) tahun kedepan sebanyak 2.395 melihat
dari jumlah penduduk dengan luas wilayahnya pertumbuhan naik
sekitar 2.13% atau 0.43% pertahunnya.
Desa Bontosunggu yang membawahi 4 wilayah Dusun berikut
perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan di masing-masing Dusun :
36
Tabel 1.1
Jumlah penduduk (Rumah dan Kepala Keluarga) berdasarkan jenis
kelamin
Nama Dusun Jumlah Penduduk Jumlah jiwa
Rumah KK Laki-laki Perempuan
Tamasongo 278 308 549 552 1104
Bontosunggu 385 438 729 743 1472
Kalongkong 379 426 732 738 1470
Maccini Sombala 297 332 648 657 1305
Total 1338 1504 2658 2690 5348
Persentase 49.7% 50.3% 100%
Tabel 1.2
Jumlah siswa dan tenaga pengajar
No Jenis Pendidikan Jumlah Siswa Jumlah Pengajar
1 TK 110 orang 15 orang
2 TPA 220 orang 10 orang
3 SD 455 orang 32 orang
4 SMP/Sederajat Orang Orang
5 SMU/Sederajat
TOTAL Orang Orang
37
Desa Bontosunggu merupakan pusat perniagaan dimana
mayoritas penduduk berprofesi sebagai buruh kerja, petani dan nelayan
sehingga sektor ini juga menjadi tumpuan hidup sebagian besar
penduduknya dan sebagian penduduk berprofesi sebagai PNS,
pedagang, wiraswasta, jasa, dan lainnya. Berikut perbandingan
persentase jenis mata pencaharian.
Tabel 1.3
Keadaan ekonomi berdasarkan jenis pekerjaan
PEKERJAAN JUMLAH JIWA PERSENTASE
Petani 225 9.3 %
Nelayan 200 6.4 %
Buruh tani 54 2.3 %
Pegawai negeri 40 0.6 %
Pedagang/swasta 125 5.3 %
Jasa 76 3.2 %
Penggarap 123 5.2 %
Tukang kayu 25 1.1 %
Tukang batu 124 5.3 %
Lainnya 91 3.9 %
3. Pembagian Wilayah Desa
Desa Bontosunggu merupakan salah satu dari 9 Desa diwilayah
Kecamatan Galesong Utara, yang merupakan Desa Pesisir di
38
Kecamatan Galesong Utara, yang terletak 4 Km kearah Selatan dari
kota Kecamatan. Desa Bontosunggu mempunyai luas wilayah seluas
0,77 Km2. Jumlah penduduk Desa Bontosunggu sebanyak 5348 jiwa
yang terdiri dari 2658 laki-laki dan 2690 perempuan dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak 1504 KK.
a. Adapun batas wilayah Desa Bontosunggu :
Sebelah Timur : Desa Mandalle Kabupaten Gowa
Sebelah Utara : Desa Tamasaju
Sebelah Barat : Selat Makassar
Sebelah Selatan : Desa Pa’la’lakkang
b. Luas wilayah
Luas Desa Bontosunggu sekitar 0,77 Km2 dari luas tersebut sekitar
122 Ha merupakan lahan pertanian dan 275 Ha merupakan sawah
kering. Dari luas tersebut lahan digunakan sebagai tempat tinggal
pemukiman/perumahan, lokasi kantor pemerintahan dan tempat
perniagaan, lahan tambak serta lahan pertanian.
c. Keadaaan topografi
Secara umum keadaan topografi Desa Bontosunggu adalah daerah
dataran rendah. Dengan memiliki 3 wilayah dataran yaitu
perkampungan, persawahan dan wilayah pesisir. Semua dusun
memiliki garis pantai dan wilayah persawahan.
d. Iklim
39
Iklim Desa Bontosunggu sebagaimana Desa-Desa lain di wilayah
Indonesiaberiklim tropis dengan dua musim, yakni kemarau dan
hujan.
e. Wilayah administrasi pemerintahan desa
Desa Bontosunggu terdiri atas 4 Dusun yakni, Dusun Tamasongo,
Dusun Bbontosunggu, Dusun Kalongkong dan Dusun Maccini
Sombala dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 21 (RT)
dan ( ) RK.
Tabel 1.4
Wilayah administrasi Desa (nama Dusun)
Nama Dusun Jumlah RT Jumlah RK
Bontosunggu 6 -
Tamasongo 5 -
Kalongkong 5 -
Maccini Sombala 5 -
4. Visi dan Misi Desa Bontosunggu
a. Visi Desa Bontosunggu
“Mewujudkan ekonomi kerakyatan yang tangguh menuju
masyarakat mandiri, demokratis, berkeadilan sosial, aman dan
sejahtera.
Adapun penjabaran dari Visi pembangunan Desa
Bontosunggu adalah sebagai berikut:
40
1. Ekonomi Kerakyatan : meningkatkan pendapatan masyarakat
berdasarkan usaha kecil dan usaha rumah tangga serta
memanfaatkan pasar desa.
2. Masyarakat Mandiri : masyarakat yang mampu merencanakan,
mengolah dan mengawasi pembangunan didesa dengan sistem
pemberdayaan nasyarakat.
3. Berkeadilan Sosial : masyarakat berkeadilan sosial adalah
masyarakat yang mendapatkan pelayanan serta mendapatkan akses
pemerintahan tanpa membeda-bedakan.
4. Sejahtera : dimaksudkan adalah bagaimana masyarakat
mendapatkan hak dan ketenangan yang sama dalam berbagai
macam bentuk kebutuhan kehidupan.
Konsisten dalam proses menuju visi tersebut diatas,
merupakan tindakan yang secara terus menerus harus dijaga. Arah
menuju tujuan tersebut dapat dideteksi melalui peningkatan
pelayanan kepada masyarakat sehingga Desa Bontosunggu menjadi
unggul dalam berbagai bidang pembangunan.
b. Misi Desa Bontosunggu
Sedangkan Misi Desa Bontosunggu adalah :
1. Menguatkan rasa persatuan seluruh masyarakat.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana perkantoran dan umum.
3. Pengembangan agribisnis berbasis kelompok.
4. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
41
5. Meningkatkan pelayanan masyarakat.
6. Pengembangan ekonomi masyarakat.
7. Membentuk dan mengembangkan Bum Desa.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Praktik Sistem Kerjasama Antara Nelayan dan Pemilik Kapal
Menjadi seorang nelayan adalah suatu perjuangan yang luar
biasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.
Seperti halnya yang terjadi di Desa Bontosunggu yang sebagian
penduduk pinggir pantai bekerja sebagai nelayan dan yang lainnya
sebagai pemilik modal. Mereka bekerja sama dengan maksud dan
tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan keuntungan. Kerjasama ini
terjadi karena penduduknya ada yang mempunyai peralatan melaut dan
juga ada yang tidak.
Bapak Azis Daeng Taba menjelaskan bahwa alasan beliau ikut
bekerja sama dengan pemilik kapal yang bernama Bapak H Lotteng
karena memang beliau tidak mempunyai perlengkapan melaut sendiri.
Alasan saya dulu mau ikut gabung sama yang punya kapal
karena saya tidak punya alat sendiri untuk pergi tangkap ikan,
jadi daripada tidak ada penghasilan ya kita kerjasama saja32.
Sistem pembagian yang dilakukan oleh pemilik kapal itu 30 % : 70 %
dari keuntungan. Jadi setelah ikannnya dijual maka dikurangi biaya
modal melaut setelah itu baru dibagi sesuai dengan kesepakatan.
32 Bapak Azis Daeng Taba, Hasil Wawancara, 9 Maret 2020.
42
Alasan Bapak Rasyid Nandri ikut bekerjasama dengan pemilik
kapal yang bernama Bapak H Narang selain karena beliau tidak
mempunyai perlengkapan melaut sendiri beliau juga merasa bahwa
tidak punya keahlian lain selain mencari ikan dan juga penghasilannya
sangat menjanjikan.
Alasan saya mau ikut kerjasama ini karena memang saya tidak
punya perlengkapan untuk pergi mencari ikan sendiri dan saya
tidak tau kerja yang lain Cuma bisa cari ikan saja, ya sudah kita
ikut orang saja33.
Sistem bagi hasil yang diterapkan sama pemilik kapal yaitu 50 % : 50
% dari keuntungan, setelah semua ikan dijual dikurangi modal terlebih
dahulu baru sisanya dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Sedangakan alasan Bapak Sunar Suang ikut bekerjasama
dengan pemilik kapal yang bernama Bapak Aisar Hamid karena beliau
tidak mempunyai perlengkapan melaut, mau bertani tidak punya lahan,
mau berdagang tidak punya keberanian, akhirnya beliau memilih untuk
ikut bekerja sama dan dipercaya sebagai nahkoda kapal dan mendapat
penghasilan yang cukup menjanjikan. Sistem bagi hasilnya yaitu 30 %
: 70 % dari keuntungan.
Alasan saya mau menjalankan kerja sama ini karena tidak
punya kapal sendiri untuk pergi tangkap ikan, mau saya tanam
sayur juga tidak punya tempatnya, mau coba jualan tapi belum
pernah jualan. Mau tidak mau ya kita harus ikut sama orang34.
Dari hasil wawancara kepada ketiga nelayan tersebut dapat
disimpulkan bahwa alasan mereka ikut bekerjasama dengan pemilik
33 Bapak Rasyid Nandri, Hasil Wawancara, 9 Maret 2020. 34 Bapak Sunar Suang, Hasil Wawancara, 9 Maret 2020.
43
kapal sebagai nelayan adalah karena mereka tidak mempunyai
perlengkapan melaut dan juga tidak mempunyai keahlian dibidang
lain.
Bentuk kerjasama ini melibatkan 2 pihak yaitu pihak pertama
selaku pemodal (pemilik kapal) dan pihak kedua selaku pengelola
(nelayan), yang mana bentuk kerjasama mereka dengan modal
berbentuk barang yaitu berupa kapal dan kebutuhan lainnya seperti cat,
bahan bakar, es batu balok, bahan makanan, dll. Ada juga pemilik
kapal yang memberikan modal berupa uang, dan uang itu akan
diserahkan kepada nelayan untuk dibelanjakan kebutuhan yang
semuanya sama saja antara 1 kapal dengan kapal lainnya. Dan
keuntungan yang akan di terima oleh pihak kedua atau pihak pengelola
(nelayan) ketika hasil tangkapan telah di jual dan keuntungan nelayan
dibagi setelah dikeluarkan terlebih dahulu modal, dan juga bagian dari
pemilik kapal35.
Akad yang digunakan dalam kerjasama yang terjadi di Desa
Bontosunggu ini adalah berbicara secara langsung antara pemilik kapal
dan nelayan, tidak ada perjanjian diatas hitam putih, hanya
bermodalkan kepercayaan antara kedua belah pihak, selain itu orang-
orang yang terlibat kerjasama ini adalah warga setempat yang mana
mereka juga sudah saling mengenal. Ketika melakukan perjanjian ini
kedua belah pihak akan membahas tentang sistem kerjasama, bagi
35 Bapak Aisar Hamid, Hasil Wawancara, 9 Mret 2020.
44
hasil, tugas serta tanggung jawab masing-masing. Nelayan mempunyai
tugas untuk mencari ikan, tetapi didalam satu kapal itu nelayan
mempunyai tugas dan peran masing-masing ada sebagai koki, juru
mudi, juru mesin, ABK, jadi mereka bekerja sesuai tugasnya masing-
masing. Sedangkan kewajiban pemilik kapal yaitu membiayai segala
apa yang diperlukan untuk melaut, serta membantu untuk membiayai
kehidupan keluarga anggota nelayan selama suami mereka sedang
melaksanakan kewajiban mereka36.
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada pemilik kapal dan
juga nelayan, secara umum sistem kerjasama yang dilakukan relative
sama. Pemilik kapal adalah pihak sebagai pemberi modal memberikan
semua kebutuhan melaut sementara itu nelayan berkontribusi dalam
hal waktu, tenaga, dan keahliana mereka.
. kerjasama antara nelayan dan pemilik kapal sama-sama
mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan. Pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak yaitu dalam bentuk bagi hasil.
Dimana proses bagi hasil ini akan dilakukan setelah mereka menjual
hasil tangkapan mereka. Besar presentase bagi hasil kerjasama antara
nelayan dan pemilik kapal di Desa Bontosunggu berbeda-beda,
tergantung dari kesepakatan awal saat mereka melakukan perjanjian
kerjasama. Penentuan bagi hasil ini biasanya di lakukan bersama
dengan cara berdiskusi antara kedua belah pihak, tetapi ada juga
36 Bapak H Narang, Hasil Wawancara, 16 Maret 2020.
45
penentuannya dilakukan oleh pemilik kapal itu sendiri. Mau itu
ditentukan bersama ataupun ditentukan sendiri oleh pemilik kapal,
selama ini saya merasa belum pernah ada kecurangan atau saya merasa
tidak adil karena perjanjian ini juga disepakati bersama oleh kedua
belah pihak37.
Perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh Bapak H Lotteng
yaitu setelah ikannya dijual maka akan dipotong dikeluarkan modal
terlebih dahulu, setelah itu keuntungan itu akan di potong 30 % untuk
pemilik kapal dan sisanya itulah yang akan menjadi keuntungan untuk
nelayan. Semua anggota mendapatkan bagian yang sama kecuali juru
mudi akan mendapatkan 2 bagian dari nelayan yang lainnya. Bagi hasil
ini dapat di contohkan sebagai berikut. Jumlah nelayan yang ikut
melaut ada 6 orang terdiri dari: 1 orang nahkoda, 1 orang juru mesin, 1
orang juru masak, dan 3 orang ABK. Lama waktu pencarian ikan
selama 7 hari, dengan total modal sebesar Rp 50.000.000. Dengan
hasil tangkapan sebesar Rp 100.000.000.
Laba kotor - Modal = RP 100.000.000 – Rp 50.000.000
= Rp 50.000.000
Nisbah pemilik kapal 30 % = Rp 15.000.000
Total bagi pemilik kapal = Rp 50.000.000 + 15.000.000
= Rp 65.000.00
Nisbah nelayan 70 % = Rp 35.000.000
37 Bapak Sunar Suang, Hasil Wawancara, 9 Maret 2020.
46
Karena total nelayan ada 6 orang, maka total bagian berjumlah 7
orang. Inilah bagian masing-masing nelayan :
Keuntungan nelayan = Rp 35.000.000 : 7
= Rp 5.000.000
Nahkoda = 2 x Rp 5.000.000
= Rp 10.000.000
KKM = 1 x Rp 5.000.000
= Rp 5.000.000
Juru masak = 1 x Rp 5.000.000
=Rp 5.000.000
ABK = 1 x Rp 5.000.000
= Rp 5.000.00038.
Perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh Bapak H Narang
yaitu setelah ikannya dijual maka akan dikeluarkan modal, setelah itu
hasilnya akan dibagi sama rata yaitu 50 % untuk pemilik kapal dan 50
% utuks nelayan. Semua anggota mendapatkan bagian yang sama
kecuali juru mudi akan mendapatkan 2 bagian dari nelayan yang
lainnya. Dalam kerja sama ini juga segala kerugian akan dibebankan
sepenuhnya kepada nelayan. Bagi hasil ini dapat di contohkan sebagai
berikut: Jumlah nelayan yang ikut melaut ada 8 orang terdiri dari: 1
orang nahkoda, 2 orang juru mesin, 1 orang juru masak, dan 4 orang
ABK. Lama waktu pencarian ikan selama 7 hari, dengan total modal
38 Bapak H Lotteng, Hasil Wawancara, 16 Maret 2020.
47
sebesar Rp 50.000.000. Dengan hasil tangkapan sebesar Rp
150.000.000.
Laba kotor – modal = RP 150.000.000 – Rp 50.000.000
= Rp 100.000.000
Nisbah pemilik kapal 50 % = Rp 50.000.000
Total bagi pemilik kapal yaitu = Rp 50.000.000 + Rp 50.000.000
= Rp 100.000.000
Nisbah nelayan 50 % = Rp50.000.000
Karena total nelayan ada 8 orang, maka total bagian berjumlah 9
orang. Inilah bagian masing-masing nelayan :
Keuntungan nelayan = Rp 50.000.000 : 9
= Rp 5.555.555
Nahkoda = 2 x Rp 5.555.555
= Rp 11.111.110
KKM = 1 x Rp 5.555.555
= Rp 5.555.555
Juru masak = 1 x Rp 5.555.555
=Rp 5.555.555
ABK = 1 x Rp 5.555.555
= Rp 5.555.55539.
Perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh Bapak Aisar
Hamid yaitu setelah ikannya dijual maka akan dikeluarkan modal,
39 Bapak H Narang, Hasil Wawancara, 16 Maret 2020.
48
setelah itu hasilnya akan dibagi sama rata yaitu 30 % untuk pemilik
kapal dan 70 % utuk nelayan. Semua anggota mendapatkan bagian
yang sama kecuali juru mudi akan mendapatkan 2 bagian dari nelayan
yang lainnya. Bagi hasil ini dapat di contohkan sebagai berikut. Jumlah
nelayan yang ikut melaut ada 6 orang terdiri dari: 1 orang nahkoda, 1
orang juru mesin, 1 orang juru masak, dan 3 orang ABK. Lama waktu
pencarian ikan selama 5 hari, dengan total modal sebesar Rp
40.000.000. Dengan hasil tangkapan sebesar Rp 100.000.000.
Laba kotor – modal = RP 100.000.000 – Rp 40.000.000
= Rp 60.000.000
Nisbah pemilik kapal 30 % = Rp 18.000.000
Total bagi pemilik kapal yaitu = Rp 18.000.000 + Rp 40.000.000
= Rp 58.000.000
Nisbah untuk nelayan 70 % = Rp 42.000.000
Karena total nelayan ada 6 orang, maka total bagian berjumlah 7
orang. Inilah bagian masing-masing nelayan :
Keuntungan nelayan = Rp 42.000.000 : 7
= Rp 6.000.000
Nahkoda = 2 x Rp 6.000.000
= Rp 12.000.000
KKM = 1 x Rp 6.000.000
= Rp 6.000.000
Juru masak = 1 x Rp 6.000.000
49
=Rp 6.000.000
ABK = 1 x Rp 6.000.000
= Rp 6.000.00040
Dalam sistem kerja sama ini pembebanan kerugian di setiap
kapal juga berbeda-beda, semuanya tergantung dari kesepakatan
antara nelayan dan pemilik kapal itu sendiri. Dari hasil wawancara
yang peneliti lakukan yang terdiri dari 3 orang pemilik kapal dan juga
3 orang nelayan di Desa Bontosunggu ini terdapat 1 orang pemilik
kapal yang membebankan kerugian kerjasama ini kepada nelayan.
Menurut Bapak H Lotteng selaku pemilik kapal beliau membebankan
kerugian kerjasama ini kepada nelayan karena beliau menganggap
bahwa nelayan yang mengelola usaha tersebut sedangkan beliau hanya
bertanggungjawab untuk memberikan modal serta membantu keluarga
mereka selama para nelayan ini pergi berlayar41.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap kerjasama antara nelayan dan
pemilik kapal di Kabupaten Takalar
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan tokoh agama
Ustad Saidin Mansyur:
Akad mudharabah adalah suaru akad/ kontrak/ perjanjian yang
sudah ditentukan dari awal antara pemilik modal dengan pengelola.
Dimana dalam perjanjian tersebut menjelaskan bahwa pemilik modal
adalah pemilik 100 % modal, sedangkan pengelola bertindak sebagai
40 Bapak Aisar Hamid, Hasil Wawancara, 9 Maret 2020. 41 Bapak H Lotteng, Hasil Wawancara, 16 Maret 2020.
50
pengelola modal tersebut untuk jenis usaha yang halal. Singkatnya
akad Mudharabah adalah akad kerja sama pemodal dengan pengelola
untuk suatu usaha. Pemodal menyiapkan modal dan pengelola sebagai
pelaksana kegiatan usaha dengan pembagian keuntungan sesuai yang
disepakati.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa kerjasama antara
pemilik kapal dan nelayan, menunjukkkan bahwa kerjasama antara
kedua belah pihak yaitu pemilik kapal dan nelayan adalah adalah
Mudharabah.
Kerjasama antara pemodal dengan nelayan, prinsipnya
kerjasama ini diperkenankan dalam islam. Dalam praktik kehidupan,
tidak semua orang sama dalam hal permodalan, skill mengelola usaha.
Karenanya, sering kali terjadi kerjasama yang saling memberi
keuntungan.
Dipesisir misalnya, lazim terjadi kerjasama antara pemodal
dengan nelayan. Umumnya, orang kaya/ pemodal menyerahkan modal
kepada nelayan untuk digunakan dalam rangka mencari ikan. Dimana
dalam kerjasama itu akan ada poin-poin kesepakatan kedua belah
pihak. Misalnya soal apakah usaha melaut oleh juragan/ sepenuhya
tanggungjawabnya. Kalau misalkan ada kerugian, kecelakaan apakah
juragan turut bertanggung jawab. Di sejumlah daerah ada juragan yang
turut melaut. Ada juga yang tidak sama sekali dan hanya menanti hasil
untuk dibagi keuntungannya setelah biaya operasional dikeluarkan.
51
Didalam kerjasama, kejujuran, tanggungjawab, keuletan sangat
dipentingkan agar mendapatkan hasil maksimal.
Q.S Al-maidah : 2 :
ثم وٱلع ن وتعاونوا على ٱلبر وٱلتقو ولا تعاونوا على ٱل دو
شديد ٱلعقاب إن ٱلل وٱتقوا ٱلل
Terjemahannya:
Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah maha berat siksa-Nya.
Dalam Q.S Al-Maidah ayat 2 berisi perintah saling tolong
menolong antar manusia dalam kebajikan. Kerjasama antara pemilik
kapal dan nelayan adalah bagian dari tolong menolong dimana pemilik
kapal menolong nelayan dengan menyediakan modal sedangkan
nelayan menolong pemilik kapal dengan cara mengelola modal yang
telah disediakan oleh pemilik kapal.
Dalam menjalin kerjasama harus saling mempercayai.
Kejujuran menjadi hal yang sangat penting, disamping profesionalitas
pelaksana usaha. Karenanya, suatu kesepakatan harus lahir dari
keikhlasan tanpa beban. Kalau didalamnya ada paksaan, spekulasi dll
maka tentu tidak sesuai dengan aturan syariah. Apalagi memang
kerjasama itu harus berbasis taawun/ tolong menolong dan bukan
untuk mengeksploitasi manusia atas manusia. Dalam menjalin
kerjasama pada prinsipnya syariah mengatur agar tidak ada tindak
52
eksploitasi, kecurangan, mau untung sendiri, kebohongan, spekulasi,
dll.
Dalam ketentuan kerjasama mudharabah ini, pemodal
bertanggung jawab penuh atas kerugian, jika kerugian bukan karena
kelalaian pengelola, tetapi apabila kerugian karena kelalaian dari
pengelola modal maka pengelola modal harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
53
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti dapat menyimpulkan bahwa :
1. Kerjasama yang terjadi antara pemilik kapal dan nelayan di Desa
Bontosunggu ini masuk dalam kerjasama Mudharabah. Yaitu salah
satu pihak selaku pemilik modal (pemilik kapal) dan pihak lainnya
adalah pengelola modal (nelayan).
2. Kerjasama yang terlaksana antara pemilik kapal dan nelayan
menggunakan akad mudharabah, seperti dalam Q.S Al-Maidah : 5:
ثم وٱلعدو ن وتعاونوا على ٱلبر وٱلتقو ولا تعاونوا على ٱل
شديد ٱلعقاب إن ٱلل وٱتقوا ٱلل
Terjemahannya:
Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksanya.
Ayat diatas memperbolehkan umat manusia untuk saling tolong
menolong dalam kebajikan seperti yang terjadi antara nelayan dan
pemilik kapal. Pemilik kapal membantu nelayan menyediakan modal
dan nelayan membantu pemilik kapal untuk mengelola modal tersebut.
B. SARAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka peneliti sampaikan beberapa saran
yaitu :
54
1. Akad kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal masih secara lisan.
Seharusnya menggunakan perjanjian diatas kertas (tertulis) guna
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya.
2. Penelitian masih membutuhkan tindakan lebih lanjut untuk mengetahui
peranan ayat terkait kajian lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
55
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A Karim. 2017. Bank Islam: Analsis Fiqih dan Keuangan. Jakarta:
PT Raja Grafindo.
Apridar, dkk. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung:
Jumanatul Ali Art (J-ART).
Djuwaini. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khosyi’ah, R. 2014. Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung: CV P ustaka Setia.
Lina A W.,Mimit P. 2018. Ekonomi Produksi Kelautan dan Perikanan.
Miles., Matthew B. 1992. Analisis data Kualitatif, Terjemahan Tjepjep Rohendi
Rohidi. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhammad A Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Insani Press.
Nawawi, I. 2012. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Rachmat, Maman. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Moral. Semarang: Unnes
Press.
Sayyid, S. 2006. Fiqh Sunnah Jilid IV. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Syafe’I, R. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Tim Laskar Pelangi. 2013. Metodologi Fiqih Muamalah (Diskursus Metodologi
Konsep Interaksi Sosial-Ekonomi. Kediri: Lirboyo Press.
56
Udovitch Abraham L. 2008. Kerja Sama Syariah dan Bagi Untung-Rugi dalam
Sejarah Islam Abad Pertengahan. Kediri: Qubah.
Wawancara dengan Bapak Azis Daeng Taba, nelayan Desa Bontosunggu.
Wawancara dengan Bapak Sunar Suang, nelayan Desa Bontosunggu.
Wawancara dengan Bapak Rasyid Nandri, Nelayan Desa Bontosunggu
Wawancara dengan Bapak H Lotteng, Pemilik kapal Desa Bontosunggu.
Wawancara dengan Bapak Aisar Hamid, Pemilik kapal Desa Bontosunggu.
Wawancara dengan Bapak H Narang, Pemilik Kapal Desa Bontosunggu.
Wawancara dengan Bapak Saidin Mansyur, tokoh Agama.
Zaenuddin A Naufal. 2012. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor:
Ghalia Nusantara.
57
RIWAYAT HIDUP
Slamet Prihatin, lahir di Kediri, 16 Maret 1995, putri ke 6 dari pasangan Sutoro
dan Parinem. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di SD Negeri Inpres
Waropen tahun 2006. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah
Serui tahun 2009. Lalu kemudian melanjutkan pendidikan di SMK
Muhammadiyah Serui pada tahun 2012. Lalu pada tahun 2016 penulis
melanjutkan pendidika Perguruan Tinggi di Universitas Muhammadiyah
Makassar Fakultas Agama Islam pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
(S1).
58
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA ( PEMILIK KAPAL )
1. Sudah berapa lama bapak mempunyai perahu ?
a. Sejak tahun berapa
b. Beli perahunya pakai modal siapa
c. Berapa banyak perahu yang bapak miliki
2. Sudah berapa lama bekerjasama dengan para nelayan ?
a. Ada berapa orang anggota
b. Apa saja tugas dan peran para nelayan
c. Setiap orang dapat berapa penghasilan
3. Darimana bapak mendapatkan modal untuk membeli peralatan melaut ?
4. Apakah bapak ikut pergi melaut bersama para nelayan ? alasannya
5. Apa saja hak dan kewajiban menjadi juragan (pemilik kapal) ?
6. Bagaimana sistem kerjasama yang bapak lakukan dengan para nelayan ?
7. Bagaimana awal mula terjalinnya kerjasama antara bapak dengan para
nelayan ?
8. Apa resiko yang biasanya dihadapi oleh para nelayan ketika melaut ?
9. Bagaimana cara nelayan ketika menghadapi resiko pekerjaannya ?
a. Siapa yang menanggung kerugian
10. Apa saja hasil tangkapan laut yang diperoleh nelayan ketika melaut ?
a. Di jual kemana
b. Bagaimana sistem jualnya
c. Yang menentukan harga siapa
59
11. Berapa banyak jumlah hasil tangkapan laut yang biasanya dihasilkan oleh
para nelayan ?
12. Bagaimana cara pembagian hasil kerjasama antara bapak dan para
nelayan?
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA (NELAYAN)
1. Bagaimana awal mula sehingga terjalin kerjasama antara bapak dengan
pemilik kapal ?
2. Sudah berapa lama bapak bekerja sebagai nelayan dan melakukan
kerjasama melaut dengan para pemilik kapal ?
3. Apa saja hak dan kewajiban menjadi nelayan ?
4. Bagaimana sistem kerjasama yang bapak lakukan dengan pemilik kapal ?
5. Apa saja resiko yang biasanya bapak hadapi ketika melaut ?
6. Bagaimana cara bapak menghadapi resiko tersebut ?
7. Bagaimana cara pembagian hasil kerjasama ini ?
8. Apakah ada kecurangan atau ketidakadilan ketika pembagian hasil
kerjasama ini ?
9. Bagaimna kalau bapak tidak bias ikut melaut karena sakit ?
a. Apa juragan akan membantu
10. Bagaimana kalau terjadi kecelakaan dilaut ?
DAFTAR WAWANCARA UNTUK TOKOH AGAMA
1. Apa itu akad Mudharabah ?
2. Bagaimana cara menjalankan akad mudharabah menurut syariat islam ?
3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap sistem kerja sama antara
nelayan dan pemilik kapal ?
60
4. Batasan dan persyaratan/kesepakatan kerja sama yang dibenarkan syariat
islam ?
5. Bagaiamana jika pemilik kapal membebankan kerugian usaha kepada
nelayan ?
6. Apakah kerja sama yang terjadi antara nelayan dan pemiik kapal di Desa
Bontosunggu sudah sesuai syariat ?
7. Saran untuk nelayan dan pemilik kapal ?
61
62
63